Anda di halaman 1dari 192

i

PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas penyertaan, bimbingan dan perlindungan-Nyalah
hingga penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini.
Gagasan yang melatari permasalahan ini timbul dari
adanya fakta bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang kota, kurangnya sosialisasi rencana tata ruang
kota, dan belum transparannya pelaksanaan musyawarah dalam
pengadaan tanah di Kota Manokwari. Oleh karena itu dengan
tesis ini,penulis menyumbangkan beberapa konsep yang dapat
dijadikan rujukan oleh pemerintah daerah guna memberikan
perlindungan terhadap hak-hak rakyat atas tanah dan berkenaan
dengan implementasi rencana tata ruang kota.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis hadapi banyak
kendala, namun adanya bantuan berbagai pihak, tesis ini selesai
oada waktunya. Untuk itu penulis haturkan penghargaan dan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: Bapak Prof. Dr.
Amier Syariffudin, SH. sebagai ketua komisi penasihat dan Dr. H.
Kaimuddin Salle, SH.,MH. sebagai anggota komisi penasihat atas
bantuan dan bimbingan yang telah diberikan sejak pengajuan
judul, proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan
tesis ini.
ii
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya
disampaikan pula kepada:
1. Bapak Prof. dr. A. Husni Tandra, Ph.D selaku Direktur
Program Pascasarjana, Prof. Dr. Ir.Ananto Yudono, M.Eng
selaku Asdir I, Dr. Hafied Cangara, M.Sc selaku Asdir II, Dr.
H.A.S Alam selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum, dan
para karyawan PPS Unhas.
2. Para Dosen selaku panitia ujian tesis, masing-masing Bapak
Prof. Dr. Achmad Ali, SH.,MH. Prof. Dr. Amier Sjariffudin, SH.
Dr. H. Kaimuddin Salle, SH.,MH. Dr. Ir.Abrar, SH.,MH. Dan M.
Arfin Hamid, SH.,MH.
3. Bupati (Drs. D. Mandacan) dan Wakil Bupati (D. Kawab, SH)
Manokwari yang memperkenankan penulis melanjutkan
pendidikan pada Program Pascasarjana Unhas, dan bantuan
financial selama penulis menempuh pendidikan.
4. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Manokwari (Ny. C.E.
Siagian / Latuputty, SH. alm), Ketua STIH Manokwari (Decky
Kawab, SH.), Kabag Kepegawaian Setda Manokwari (Drs.
N.D. Mandacan) atas segala fasilitas dan kemudahan,
bantuan financial dan bantuan semangat dalam proses
penyelesaian studi ini.
5. Rekan-rekan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Manokwari
(Drs. I Wayan Semol cs.) Rekan dan sahabat antara lain
iii
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Bapak F. Timisela,SH., M. Djen Pelu, SH., Drs. Romanus
Ogiara, Ir. Y. Kaleb Karubaba, M.Si, Yordan B.D. Komnaris,
SH, Antonius Renyaan, SH.
6. Ibu Serafia Hammar / Matanubun, dan Ibu mertua Martha
Kombong, adik Dra. Elka Suryani Kalembang dan adik
Estefanus Oratmangun.
7. Keluarga J. Melsasail, adik Maria Gema Gelgani R. Hammar,
Florentinus Gunawan R. Hammar, SE.,Valentina D. Watik R.
Hammar, S.Hut., Florentina Klara, Theresia Stelamaris R.
Hammar.
8. Ayah J.E. Hammar (alm) dan Mertua Y. Kalembang (alm).
Terima kasih dan penghargaan yang khusus kepada
Isteriku Elsiana Ribka Kalembang, SH. dan anak-anakku Yunus
Tekad Kurniadi Ruslak Hammar dan Imanuel Inriyanto Ruslak
Hammar yang dengan tabah mendampingi dan memberikan
semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan.
Semua pihak, yang begitu banyak terlibat dan tidak dapat
disebut satu persatu dalam tulisan ini, semoga Tuhan
memberkati dan melindungi kita dalam hidup dan kehidupan ini.
Makassar, 05 April 2001
Penulis
iv
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
ABSTRAK
Roberth Kurniawan Ruslak Hammar. Penataan Ruang Kota
dan Implikasinya terhadap Perlindungan Hak-hak Rakyat atas
Tanah di Kota Manokwari (dibimbing oleh Amier Sjariffudin
dan H. Kaimuddin Salle).
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Manokwari Irian Jaya, dengan
tujuan untuk mengetahui, mendiskripsikan dan memberikan
solusi terhadap permasalahan yang berkenaan dengan
pelaksanaan ruang kota dan hubungannya dengan perlindungan
hak-hak rakyat atas tanah di Kota Manokwari.
Analisis yang digunakan ialah analisis kualitatif dan analisis
kuantitatif. Anilisis kualitatif dimaksudkan untuk mengkaji
masalah inkonsistensi penataan ruang kota terhadap Rencana
Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Manokwari, dan analisis
kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui hubungan penataan
ruang kota dengan perlindungan hak-hak rakyat atas tanah.
Hasil penelitian ini menunjukkan hal-hal berikut. Pertama,
pelaksanaan penataan ruang kota di Manokwari tidak konsisten
dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Manokwari
karena pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Hal ini mengakibatkan pemanfaatan tanah (ruang) tidak dapat
dikendalikan. Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang kota dan kurangnya sosialisasi rencana tata
ruang serta tidak transparannya pelaksanaan musyawarah dalam
pengadaan tanah, berarti hak-hak rakyat atas tanah di Kota
Manokwari kurang terlindungi.
v
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
ABSTRACT
Roberth Kurniawan Ruslak Hammar. The Urban Space
Management and Its Implication to the Protection of Human
Rights on the Land in Manokwari City. (supervised by Amier
Sjariffudin and H. Kaimuddin Salle)
This research was carried out in Manokwari Irian Jaya. It
aimed to investigate, descrube and reveal some solution toward
the problem dealing with the implementation of urban space
management and its relation to the protection of human rights
on the land.
The analysis of the research was gualitative one and it
was used to examine the implementation of urban space
management. The quantitative analysis was also used to
investigate the relationship of urban space management with the
protection of human rights on the land.
The result of this research indicated : first, the
implementation of urban space management in Manokwari was
not in accordance with the General Plan of Urban Space
Management of Manokwari; second, the low level of social
participation in the urban space management, lack of
socialization of urban space plan, and the deliberation which was
not transparent in the provision af land implied that the peoples
rights on the land were not properly protected.
vi
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR ISI
PRAKATA........................................................................ i
ABSTRAK........................................................................ iv
ABSTRACT...................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................... vi
DAFTAR TABEL............................................................... ix
DAFTAR GAMBAR........................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................ 6
C. Tujuan Penelitian......................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian .................................................... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................... 8
A. Penataan Ruang Kota................................................... 8
1. Pengertian Ruang Kota ........................................... 8
2. Pengertian Kota dan Perkotaan................................ 10
3. Konsepsi Hak Mengusai Negara dan Penataan Ruang 12
4. Perkembangan Peraturan Penataan Ruang Kota
di Indonesia........................................................... 32
5. Dasar Hukum Pembentukan Kota dan
Peraturan Perkotaan............................................... 40
vii
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
B. Tanah dan Tata Guna Tanah ........................................ 44
1. Tanah dan Maknanya ............................................. 44
2. Hak-hak Masyarakat atas Tanah .............................. 47
3. Tata Guna Tanah ................................................... 53
C. Perlindungan terhadap Hak-hak Rakyat atas Tanah ........ 56
D. Kerangka Pemikiran ..................................................... 81
E. Hipotesis Penelitian...................................................... 86
BAB III. METODE PENELITIAN ..................................... 87
A. Daerah Penelitian ........................................................ 87
B. Definisi Operasional Variabel......................................... 88
C. Populasi dan Sampel .................................................... 91
D. Jenis dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data dan
Alat yang Digunakan.................................................... 92
E. Teknik Analisis............................................................. 93
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......... 96
A. Penataan Ruang Kota
1. Sejarah singkat Hari Jadi Kota Manokwari................. 96
2. Kebijaksanaan Penataan Tanah Wilayah
Bagian Kota ........................................................... 98
3. Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota.... 104
4. Inkonsistensi Penataan Ruang Kota ......................... 109
B. Analisis Hubungan Penataan Ruang Kota dengan
Perlindungan Hak-hak Rakyat atas Tanah ...................... 125
1. Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kota.... 126
viii
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
2. Sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota ....................... 134
3. Musyawarah dalam pengadaan tanah ...................... 142
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN..................................... 160
A. Simpulan..................................................................... 160
B. Saran.......................................................................... 160
DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 164
ix
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pemanfaatan Lahan tiap BWK di Kota Manokwari ........... 103
2. Izin Lokasi di Kota Manokwari s.d. tahun 2000 ............... 105
3. Izin mendirikan bangunan ............................................ 107
4. Konsistensi pelaksanaan pembangunan dengan RUTRK .. 111
5. Deviasi Rencana induk Kota Manokwari tahun 1984-
2004 .......................................................................... 112
6. Penyebab inkonsistensi pembangunan dengan RUTRK.... 115
7. Kendala pengaturan penggunaan tanah di Kota
Manokwari .................................................................. 121
8. Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kota......... 126
9. Hubungan Partipasi dengan Perlindungan ...................... 127
10. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang .... 131
11. Paradigma baru penataan ruang pada era reformasi
dan otonomi................................................................ 132
12. Pengetahuan Responden tentang RUTRK Manokwari ..... 134
13. Sumber Pengetahuan Responden tentang RUTRK
Manokwari .................................................................. 135
14. Intensitas Sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota
Manokwari ................................................................. 136
15. Hubungan Sosialisasi dengan Perlindungan.................... 137
16. Keikutsertaan Responden dalam musyawarah ................ 143
x
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
17. Pengetahuan Responden tentang Dasar Perhitungan
Besar penggantian yang layak atas tanah, bangunan
dan tanaman............................................................... 145
18. Bentuk ganti rugi yang ditawarkan ................................ 147
19. Intimidasi dalam musyawarah dan atau proses
pengadaan tanah......................................................... 148
20. Dihormati dan dihargai dalam musyawarah.................... 149
21. Realisasi pemberian ganti rugi ...................................... 150
22. Hubungan Musyawarah dengan perlindungan ................ 151
xi
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Fungsi Hukum Administrasi Van Wijk dan P.de
Haan .......................................................................... 58
2. Skema Fungsi Pembinaan dan Pengayoman................... 59
3. Skema Kerangka Pemikiran .......................................... 85
xii
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner dan Pedoman Wawancara
2. Analisis Statistik
1
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ruang wilayah negara Indonesia dengan sumber daya
alam yang tiada tara membentang bagaikan zamrud
khatulistiwa, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
wajib dilindungi, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan
pemanfaatannya secara berkelanjutan demi kelangsungan
hidup masyarakat, bangsa dan negara.
Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam didasari
keyakinan bahwa kebahagiaan hidup dapat tercapai apabila
didasarkan atas keserasian, keselarasan dan keseimbangan
baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan alam maupun hubungan
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan tersebut
merupakan landasan ideal dan moral dalam implementasi
penataan ruang di Republik ini.
Selain landasan ideal, dan moral, penataan ruang sebagai
salah satu manifestasi pelaksanaan pembangunan didasari pula
pada landasan konstitusional (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945) dan
landasan operasional (Tap MPR No. IV/MPR/99 tentang GBHN)
yang menghendaki agar sumber daya alam dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
2
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
keseimbangan antara kemakmuran lahiriah dan kepuasan
batiniah. Di samping itu patut dikembangkan kebijakan
pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan
tanah secara adil, transparan, produktif dengan mengutamakan
hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat,
serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan wajib
memperhatikan asas serasi, selaras dan seimbang dalam
pemanfaatan ruang.
Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam
terdiri atas wilayah, nasional, wilayah provinsi, wilayah
kabupaten/kota sebagai subsistem. Masing-masing subsistem
meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya
dukung yang berbeda satu dari yang lain.
Sebagai pengejawantahan otonomi daerah, kabupaten dan
kota memiliki kewenangan dalam penataan ruang wilayahnya
yakni perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk menjamin tercapainya
tujuan penataan ruang, diperlukan dasar hukum guna menjamin
kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang, atau dengan
kata lain pembangunan yang dilaksanakan harus sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
3
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Dalam penataan ruang seyogianya konsisten dengan
rencana tata ruang; masyarakat berpartisipasi dalam
perencanaan tata ruang, pengendalian/pengawasan
pelaksanaan rencana tata ruang; setiap orang berhak
mengetahui rencana tata ruang; setiap orang berhak menikmati
manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang dan berhak memperoleh penggantian yang
layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan. Selain itu penyelenggaraan penataan
ruang diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan tetap menghormati hakhak rakyat, serta
penyelenggaraan pembinaan oleh pemerintah yakni
mensosialisasikan rencana tata ruang kota guna menumbuhkan
dan mengembangkan kesadaran, tanggung jawab masyarakat
melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan latihan.
Halhal tersebut di atas merupakan manifestasi
perlindungan hakhak rakyat, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, dan UndangUndang Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Daerah
Kabupaten Dati II Manokwari Nomor 9 Tahun 1987 tentang
Rencana Induk Kota Manokwari Tahun 19842004 jo Nomor 11
Tahun 1994 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dati II
Manokwari.
4
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Namun realitas menunjukkan bahwa pelaksanaan penataan
ruang kota Manokwari belum konsisten; di beberapa wilayah
kota terjadi kesemrawutan, dan penyimpangan peruntukan.
Karubaba (1999:57) menyatakan adanya kecenderungan lokasi
pemukiman berkembang mendekati dan memunculkan
kerawanan pengrusakan hutan di sekitar hutan lindung Wosi
maupun Taman wisata Gunung Meja. Selain kurangnya
partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses rencana tata
ruang kota, kurangnya sosialisasi rencana tata ruang kota,
diabaikan pula asas musyawarah dalam pengadaan tanah, dan
tidak menghormati hakhak warga atas tanah dalam
pelaksanaan proyekproyek pembangunan, bahkan pemaksaan
dan intimidasi mewarnai proses penggusuran tanah. Kondisi
tersebut selaras dengan kondisi umum di Papua yakni rakyat
papua sebagai pemilik tanah sering dikalahkan oleh alasan
hukum dan dalih pembangunan nasional. Padahal menurut
Dhuroruddin dan Ikrar, (1999:210) yang dilakukan sebenarnya
bukan pembangunan nasional, melainkan lebih untuk
kepentingan pengusaha yang berkuasa atau penguasa yang
berusaha. Jadi fenomena yang terjadi adalah kesemrawutan
kota, penyimpangan peruntukan; ketidaktahuan masyarakat
mengenai rencana tata ruang kota, hakhak masyarakat atas
tanah tidak dihormati dan pemasungan kebebasan masyarakat
bermusyawarah dalam pengadaan tanah, dan ganti rugi tanah
sekadar imbalan jasa.
5
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Penelitian ini menarik, karena di kota Manokwari sarat
dengan berbagai konflik pertanahan akibat pelaksanaan
pembangunan, antara lain tuntutan ganti rugi tambahan
terhadap tanahtanah yang telah dijual atau dibebaskan
sebelumnya, serta tumpang tindih kepemilikan atas tanah. Di
samping belum ada penelitian sejenis sebelumnya.
Oleh karena itu penelitian ini melahirkan isu adanya
inkonsistensi pelaksanaan penataan ruang kota, dan kurangnya
perlindungan terhadap hak-hak rakyat atas tanah akibat
penataan ruang di Kota Manokwari.
Guna menjamin orisinalitas penelitian ini, maka
dikemukakan penelitian hukum yang berkenaan dengan
penataan ruang adalah:
1. Waty S. Maryono. 1991. Pengaturan Tata Ruang di
Kotamadya Ujung Pandang. Tesis PPS Unhas Makassar.
2. Abrar. 1994. Aspek Hukum Pertanahan dalam Rencana
Umum Tata Ruang Kotamadya Ujung Pandang.Tesis PPS
Unhas Makassar, mengkaji penggunaan tanah, kendala dan
dampak penggunaan tanah dalam RUTR.
3. Djafar Chan. 1997. Analisis Hukum Pelaksanaan Konsolidasi
Tanah untuk Penataan Ruang Kota di Kotamadya Padang.
Tesis PPS Unhas.
6
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
4. Husein Alting. 1999. Aspek Hukum Pelaksanaan Penataan
Ruang Kota di Kota Administratif Ternate Propinsi Maluku.
Tesis PPS Unhas.
5. Laode Ary. 2000. Analisis Hukum Pelaksanaan Pengadaan
Tanah dalam rangka Penataan Ruang Kota di Kota Kendari.
Tesis PPS Unhas.
Tulisan tersebut tidak menyentuh substansi pokok dalam
tesis ini yakni perlindungan terhadap hak-hak rakyat atas tanah.
B. Rumusan Masalah
Masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Sejauh mana konsistensi pelaksanaan penataan ruang kota
Manokwari terhadap Rencana Tata Ruang Kota Manokwari?
2. Sejauh mana hubungan partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang kota, sosialisasi rencana tata ruang kota,
dan musyawarah dalam pengadaan tanah dengan
perlindungan hak-hak rakyat atas tanah di Kota Manokwari?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
7
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
1. Mengetahui, problematik yang berkenaan dengan konsistensi
pelaksanaan penataan ruang kota di Kota Manokwari.
2. Mengetahui hubungan pelaksanaan penataan ruang kota
dengan perlindungan hak-hak rakyat atas tanah di Kota
Manokwari.
D. Kegunaan Penelitian
Keluaran penelitian ini diharapkan berguna sebagai
berikut:
1. Segi keilmuan, sebagai khazanah memperkaya ilmu
hukum, khususnya Hukum Agraria, dan referensi bagi
peneliti selanjutnya.
2. Segi terapan, temuan penelitian ini diharapkan berguna
sebagai salah satu acuan bagi Pemerintah Daerah
Kabupaten Manokwari dalam implementasi Rencana Tata
Ruang Kota, khususnya Kota Manokwari.
8
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penataan Ruang Kota
1. Pengertian Ruang
Ruang dapat diartikan sebagai wadah kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya dan sebagai sumber daya
alam. Ruang baik sebagai wadah maupun sebagai sumber
daya alam terbatas. Sebagai wadah ia terbatas pada besaran
wilayah, sedangkan sebagai sumber daya, ia terbatas daya
dukungnya. Oleh karena itu menurut Kantaatmadja (1994:115)
pemanfaatan ruang perlu ditata agar tidak terjadi pemborosan
dan penurunan kualitas ruang.
Ruang (space) diartikan pula sebagai seluruh permukaan
bumi yang merupakan lapisan biosfera, tempat hidup
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang dapat
merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografi yaitu
batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan yang
terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di
bawahnya serta lapisan udara di atasnya. Seseorang
pemegang hak atas tanah berhak menggunakan seluruh
ruang. Jayadinata (1999:12) menyatakan bahwa penggunaan
tanah dapat berarti pula tata ruang.
9
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, pada Pasal 1 sub 1 dinyatakan bahwa: Ruang adalah
wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
mahkluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Penataan
Ruang dinyatakan bahwa ruang meliputi ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara, beserta sumber daya alam
yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan
penghidupan manusia. Dalam kegiatannya manusia dan
mahkluk hidup lain membutuhkan ruang sebagai lokasi
berbagai pemanfaatan ruang, atau sebaliknya suatu ruang dapat
mewadahi berbagai kegiatan sesuai dengan kondisi alam
setempat dan teknologi yang diterapkan.
Ruang daratan menurut Parlindungan (1993:17) berupa
hak untuk memiliki dan menempati satuan ruang dalam
bangunan sebagai tempat tinggal; hak untuk melakukan
kegiatan usaha dan atau aktivitas sosial; hak untuk membangun
dan mengelola prasarana transportasi. Dalam penjelasan
Undangundang Penataan Ruang dinyatakan bahwa ruang
daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan daratan termasuk permukaan perairan darat dan sisi
darat dari garis laut terendah.
10
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
2. Pengertian Kota dan Perkotaan
Menurut Ilhami (1990:4):
Kota adalah kelompok orang-orang dalam jumlah tertentu
hidup dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah
geografis tertentu berpola hubungan rasional, ekonomis
dan individualistis. Sedangkan pengertian kota Secara
struktural adalah suatu area/daerah atau wilayah yang
secara administratif memiliki batas-batas dengan di
dalamnya terdapat komponen-komponen yang meliputi,
antara lain: penduduk dengan ukuran tertentu, sistem
ekonomi, sistem sosial, sarana maupun maupun
infrastruktur yang kesemuanya merupakan satu
kelengkapan keseluruhan. Pengertian kota secara
fungsional adalah sebagai pusat pemukiman penduduk
maupun pertumbuhan dalam sistem pengembangan
kehidupan sosio kultural yang luas.
Bintarto (1983:36) mengemukakan bahwa:
Kota ditinjau dari segi geografi dapat diartikan suatu sistem
jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan
kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan
strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang
materialistis, atau dapat pula diartikan sebagi bentang
budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam dan non
alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang
cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat
heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah
belakangnya.
11
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun
1987 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, pada Pasal 1
sub a dinyatakan bahwa:
Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk
yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur
dalam peraturan perundangan serta permukiman yang
telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kekotaan.
Dalam Pasal 1 sub 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 Tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa:
Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Dalam Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
1985 / / 503
1595 650
KPTS

Tentang
Tugas-tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota, pada
Pasal 1 sub a dinyatakan bahwa:
Perkotaan adalah satuan permukiman bukan perdesaan
yang berperan di dalam satuan wilayah pengembangan
dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa, menurut
pengamatan tertentu.
12
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
3. Konsepsi Hak Menguasai Negara dan Penataan Ruang
Hak Menguasai Negara termanifestasi pada mengatur,
mengurus dan mengawas. Implementasinya antara lain pada
Rencana (Het Plan) yang merupakan keseluruhan tindakan
yang saling berkaitan dari tata usaha negara yang
mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang
tertib/teratur (Hadjon, dkk, 1997:156).
Hak Menguasai Negara diatur pada Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yakni Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Budi Harsono (Ruwiastuti, 2000:111) mengemukakan
bahwa hak menguasai negara didasarkan pada teori, negara
tanpa harus menjadi pemilik tanahpun, selaku penguasa dapat
memberikan tanah-tanah yang dikuasai itu, asal ada peraturan
perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk itu.
Hak Menguasai Negara tersebut diimplementasikan pada
Pasal 2 ayat (2) UUPA memberi wewenang kepada negara
untuk:
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
13
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan negara tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal
14 UUPA yakni Pemerintah membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air
dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di
dalamnya:
a. Untuk keperluan negara.
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya.
c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
kebudayaan dan lain-lainnya kesejahteraan.
d. Untuk memperkembangkan produksi pertanian, peternakan
dan perikanan serta sejalan dengan itu.
e. Untuk memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
Berdasarkan rencana umum tersebut pemerintah daerah
mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air
dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di
dalamnya. Implementasi kewenangan tersebut diatur dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992, Pasal 1 sub 2
dan 3 dinyatakan bahwa:
14
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tata ruang adalah wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan
ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Kartasasmita (1996:426-427) menyatakan bahwa:
Penataan ruang secara umum mengandung pengertian
sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan,
pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian
pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus berhubungan
satu sama lain.
Rapoport (Kartasasmita 1996:427) menyatakan bahwa
tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang
berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaraan
kehidupan.
Perihal perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai manifestasi penataan
ruang, sebagaimana uraian berikut ini.
1. Perencanaan Tata Ruang Kota
Perencanaan tata ruang dilakukan guna menentukan
arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari segi
ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung
lingkungan, serta fungsi pertahanan keamanan;
mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah
15
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
pembangunan dalam suatu wilayah perencanaan; perumusan
perencanaan tata ruang; dan penetapan rencana tata ruang.
Menurut Budihardjo (1995:24) penyusunan rencana
tata ruang harus dilandasi pemikiran perspektif menuju
keadaan pada masa depan yang didambakan, bertitik tolak
dari data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dapat dipakai, serta memperhatikan keragaman wawasan
kegiatan tiap sektor.
Perencanaan kota adalah kegiatan penyusunan dan
peninjauan kembali rencanarencana kota. Sedangkan
rencana kota merupakan rencana yang disusun dalam rangka
pengaturan pemanfaatan ruang kota yang terdiri atas
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Rencana Detail
Tata Ruang Kota (RDTRK), dan Rencana Teknik Ruang Kota
(RTRK).
Dalam pelaksanaan pembangunan di daerah kota
diperlukan rencana tata ruang yang menjadi pedoman bagi
pemerintah daerah untuk menetapkam lokasi kegiatan
pembangunan dalam memanfaatakan ruang. Pedoman
tersebut digunakan pula dalam penyusunan program
pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di
daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam
pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang,
16
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
sehingga sesuai dengan rencana tata ruang kota yang sudah
ditetapkan.
Implikasi UU No. 24 Tahun 1992 tampak pada Pasal 4
Keppres No. 55 Tahun 1993 yaitu kebutuhan tanah yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum harus sesuai dan berdasarkan pada
rencana umum tata ruang yang telah ditetapkan. Bagi
daerah yang belum menetapkan rencana umum tata ruang,
pengadaan tanah dilakukan berdasarkan perencanaan ruang
wilayah atau kota yang telah ada. Menurut Soejono dan
Abdurrahman (1998:73) dalam pengadaan tanah, rencana
tata ruang dijadikan kriteria yang menentukan. Akan tetapi,
masih ada satu hal yang belum tercakup dalam Keppres No.
55 Tahun 1993 yakni yang berkenaan dengan penetapan
suatu rencana tata ruang tertentu atau karena perubahan
fungsi ruang yang mengakibatkan harus diambilnya hak-hak
atas tanah dari masyarakat.
Berkenaan dengan pelaksanaan pembangunan, dalam
UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup
wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang.
Dinyatakan pula bahwa dalam menerbitkan izin atau kegiatan
wajib diperhatikan rencana tata ruang dan pendapat
masyarakat.
17
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Mengenai rencana tata ruang kota, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)
RUTRK adalah rencana pemanfaatan ruang kota
yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan
antar sektor dalam rangka penyusunan program
program pembangunan kota.
RUTRK mempunyai wilayah perencanaan yang
terikat pada batas wilayah administrasi kota, merupakan
rumusan kebijaksanaan pemanfaatan ruang kota.
Rencana ini merupakan rencana struktur dan strategi
pengembangan kota, ditetapkan guna menjamin
konsistensi perkembangan kota secara internal, serta
sebagai dasar bagi penyusunan program-program
pembangunan kota lintas sektoral dan daerah dalam
jangka panjang. RUTRK memuat rumusan tentang
kebijaksanaan pengembangan kota, rencana
pemanfaatan ruang kota, rencana struktur utama tingkat
pelayanan kota, rencana sistem utama transportasi,
jaringan utilitas kota, rencana pemanfaatan air baku,
indikasi unit pelayanan kota dan rencana pengelolaan
pembangunan kota.
18
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
RUTRK dilengkapi peta skala 1:10.000 untuk kota
yang berpenduduk kurang dari 1.000.000 jiwa, dan skala
1:20.000 untuk kota yang berpenduduk lebih dari
1.000.000 jiwa.
b. Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)
RDTRK adalah rencana pemanfaatan ruang kota
secara terinci yang disusun untuk penyiapan perwujudan
ruang kota dalam rangka pelaksanaan proyek
pembangunan kota.
RDTRK mempunyai wilayah perencanaan
mencakup sebagian atau seluruh wilayah administrasi
kota yang dapat merupakan satu atau beberapa kawasan
tertentu, memuat rumusan kebijaksanaan pemanfaatan
ruang kota, yang disusun dan ditetapkan untuk
menyiapkan perwujudan ruang bagian wilayah kota
dalam rangka pelaksanaan program dan pengendalian
pembangunan kota baik yang dilakukan oleh pemerintah
maupun masyarakat dalam jangka panjang maupun
menengah. RDTRK berisikan rumusan tentang
kebijaksanaan pengembangan penduduk, rencana
pemanfaatan ruang bagian wilayah kota, rencana
struktur tingkat pelayanan bagian wilayah kota, rencana
sistem jaringan fungsi jalan bagian wilayah kota, rencana
kepadatan bangunan lingkungan, rencana ketinggian
19
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
bangunan, rencana garis sempadan, rencana indikasi unit
pelayanan bagian wilayah kota dan rencana tahapan
pelaksanaan pembangunan bagian wilayah kota. RDTRK
dilengkapi peta-peta rencana dengan skala 1:5.000
dengan penggambaran geometrik yang dibantu dengan
titik-titik kendali.
Menurut Sinulingga (1999:141) RDTRK dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian pemanfaatan ruang
kota yang berkaitan dengan izin membangun. Sebelum
seseorang atau badan usaha memakai Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), seseorang harus memperoleh advis
planning ataupun KSB (Keterangan Situasi Bangunan)
dari Dinas Tata Kota, yang memuat keteraangan tentang
peruntukan lahan dari lokasi yang dimohon, lebar jalan
yang terdapat pada lokasi, dan garis sempadan
bangunan depan, kiri dan kanan.
c. Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK)
RTRK adalah rencana geometris pemanfaatan
ruang kota yang disusun untuk penyiapan perwujudan
ruang kota dalam rangka pelaksanaan proyek
pembangunan kota.
RTRK mempunyai wilayah perencanaan yang
mencakup sebagian atau seluruh kawasan tertentu yang
20
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
dapat merupakan satu atau beberapa unit lingkungan
perencanaan, berisikan rumusan rencana tapak
pemanfaatan ruang kota, rencana prakonstruksi
bangunan gedung, rencana prakonstruksi bukan
bangunan gedung dan ruang terbuka beserta rencana
indikasi proyek-proyek.
RTRK dilengkapi dengan gambar rencana pada
peta-peta rencana dengan skala sama atau lebih besar
dari 1:1.000.
Tugas dan tanggung jawab perencanaan dan
pelaksanaan RUTRK, RDTRK, dan RTRK merupakan
wewenang Pemerintah Daerah . Tugas dan tanggung
jawab perencanaan kota meliputi kegiatan penelitian,
penyusunan, penetapan rencana dan peninjauan
kembali rencana kota. Tugas dan tanggung jawab
pelaksanaan rencana tata ruang kota meliputi
pelaksanaan pembangunan kota, pengendalian tata
ruang.
Pelaksanaan kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan rencana tata ruang kota tersebut di atas
diselenggaran oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA). Dalam pelaksanaannya dituntut
untuk mengadakan koordinasi, integrasi dan
21
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
sinkronisasi dengan berbagai instansi yang terkait serta
diwajibkan memperhatikan aspirasi masyarakat.
Berkenaan dengan penataan ruang kota, Menteri
Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 2 Tahun 1987 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota. Rencana Kota adalah
rencana pembangunan kota yang disiapkan secara
teknis dan non teknis, baik yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang
merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka
bumi wilayah kota termasuk ruang di atas dan di
bawahnya serta pedoman pengarahan dan
pengendalian bagi pelaksanaan pembangunan kota.
Tujuan perencanaan kota adalah agar kehidupan
dan penghidupan warga kota aman, tertib, lancar dan
sehat melalui perwujudan pemanfaatan ruang kota
yang serasi dan seimbang sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan
perkembangan kota.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 2 Tahun 1987 Rencana Kota meliputi: Rencana
Umum Tata Ruang Kota; Rencana Detail Tata Ruang
Kota; Rencana Teknik Ruang Kota. Namun penyusunan
rencana kota tidak harus disusun sebagai suatu urutan
22
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
sebagaimana di atas, tetapi dapat disiapkan atas
dasar suatu kebutuhan dan kepentingan. Rencana kota
merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan
ruang kota, rencana struktur dan strategi pembangunan
kota, disusun guna menjamin konsistensi perkembangan
kota secara internal dan merupakan dasar bagi
penyusunan program-program pembangunan kota lintas
sektoral dan daerah dalam jangka panjang di dalam
batas wilayah administrasi kota.
2. Pemanfaatan Ruang
Dalam pelaksanaan penataan ruang berasaskan
kepada:
1. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara
terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang dan berkelanjutan.
2. Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan
hukum.
Parlindungan (1993:15) menyatakan bahwa
makna semua kepentingan adalah penataan ruang dapat
menjamin seluruh kepentingan pemerintah dan
masyarakat secara adil dengan memperhatikan golongan
ekonomi lemah. Berdaya guna dan berhasil guna harus
dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan
23
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
potensi dan fungsi ruang. Sedangkan serasi, selaras dan
seimbang adalah bahwa penataan ruang dapat menjamin
terwujudnya keserasian, keselarasaan dan keseimbangan
struktur dan pola pemanfaatan ruang bagi penyebaran
penduduk antar wilayah, pertumbuhana dan
perkembangan antar sektor, antar daerah serta antar
sektor dan daerah dalam satu wawasan nusantara. Yang
dimaksud dengan berkelanjutan adalah penataan ruang
menjamin kelestarian kemampuan daya dukung sumber
daya alam dengan memperhatikan kepentingan lahir
batin antar generasi.
Dalam penjelasan Pasal 15 UU No. 24 Tahun
1992 menegaskan bahwa pemanfaatan ruang adalah
rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan
yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang. Pemanfaatan
ruang diselenggarakan secara bertahap melalui
penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan
yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang akan
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan. Yang perlu mendapat
perhatian dalam pelaksanaan program pemanfaatan
24
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
ruang adalah sumber mobilisasi dana serta alokasi
pembiayaan sesuai dengan rencana tata ruang.
Hal-hal yang perlu dikembangkan dalam
pemanfaatan ruang adalah:
a. Pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata
guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya.
b. Perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif
dengan menghormati hak penduduk sebagai warga
negara.
c. Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna
tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna
sumber daya alam lainnya.
Perangkat insentif adalah pengaturan yang
bertujuan memberikan ransangan terhadap kegiatan
yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang.
Perangkat insentif tersebut dapat dituangkan dalam
peraturan yang dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Di bidang ekonomi melalui tata cara pemberian
kompensasi, imbalan dan tata cara penyelenggaraan
sewa ruang dan urun sahan.
b. Di bidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan
sarana dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum,
25
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
telepon, dan sebagainya untuk melayanai
pengembangan kawasan sesuai dengan rencana tata
ruang.
Sedangkan perangkat disinsentif adalah
pengaturan yang bertujuan membatasi pertumbuhan
atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan
rencana tata ruang.
Misalnya dalam bentuk:
a. Pengenaan pajak yang tinggi.
b. Ketidaksediaan sarana dan prasarana.
Hal yang patut diperhatikan dalam pengenaan
insentif dan disinsentif adalah tidak boleh mengurangi
hak penduduk sebagai warga negara yang meliputi
pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, dan
hak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya.
Terwujudnya keserasian, keselarasan dan
keseimbangan pemanfaatan ruang akan sangat
menentukan kualitas ruang, yang keberhasilannya akan
sangat tergantung pada bagaimana mengindahkan
faktor-faktor daya dukung lingkungan seperti wilayah
resapan air; konservasi flora dan fauna; estetika
lingkungan seperti bentang alam, pertanian, arsitektur
bangunan, lokasi seperti jarak antara perumahan dengan
26
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
tempat kerja, jarak antara perumahan dengan fasilitas
umum dan struktur, seperti pusat lingkungan dalam
perumahan, pusat kegiatan dalam kawasan perkotaan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan
ruang adalah strategi dan arahan kebijaksanaan yang
mempertimbangkan kemampuan teknologi dan ilmu
pengetahuan, data dan informasi serta biaya yang
diperlukan. Kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk mengolah dan merencanakan penataan ruang
tersebut antara lain pengetahuan tentang lingkungan
hidup, sosiologi, watak orang/penduduk Indonesia di
desa maupun di kota, adatistiadat dan agama yang
banyak memegang peranan. Hal tersebut menurut
Parlindungan (1993:23) bermanfaat untuk membedakan
daerah perkotaan yang menginginkan suatu privacy dan
security serta daerah pedesaan (rural) yang
menginginkan kebersamaan tanpa tembok pemisah
antara hak seorang dengan yang lainnya.
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Parlindungan (1993:23) mengemukakan bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui
kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan
ruang. Pengawasan dalam konteks ini adalah usaha
untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan
27
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
fungsi ruang. Sedangkan penertiban adalah tindakan
yang dilakukan agar rencana tersebut terwujud dan
menindak pelaku pelanggaran atau pun kejahatan
dengan pengenaan sanksi, baik sanksi administrasi,
sanksi perdata maupun sanksi pidana.
Menurut Budihardjo (1997
a
:55), kelemahan
mekanisme pengendalian pembangunan disebabkan
antara lain Pemda tidak mempunyai akses terhadap
rencana-rencana pembangunan sektoral, yang dibuat
dan ditentukan oleh pusat. Selain itu juga karena
rencana-rencana yang telah disusun bisa berubah total
akibat adanya investasi berskala besar yang tidak diduga
sebelumnya.
Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Penataan
Ruang menegaskan bahwa pengawasan terhadap
pemanfaatan ruang diselenggarakan dalam bentuk
pelaporan, pemantauan dan evaluasi. Pelaporan adalah
kegiatan pemberian informasi secara objektif mengenai
pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang. Pemantauan adalah
usaha atau perbuatan mengamati, mengawasi dan
memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang
dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang. Sedangkan evaluasi adalah usaha untuk menilai
28
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang dalam mencapai
tujuan rencana tata ruang.
Proses perkembangan kota menurut Jayadinata
(1992:140) sangat cepat berimplikasi terhadap
keterbatasan ketersediaan daya tampung lahan untuk
pembangunan, akibat pertumbuhan dan distribusi
penduduk yang kian pesat dan tidak merata serta tingkat
kualitas yang belum memenuhi harapan. Di samping
meningkatnya kegiatan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang tercermin pada perluasaan ruang kota
guna memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana.
Kondisi terbatasnya ketersediaan lahan
berhadapan dengan kebutuhan yang membengkak,
menyebabkan dihalalkannya segala cara untuk
mendapatkan lahan. Kondisi ini akan berlanjut dan
mengarah pada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan peruntukannya.
Dengan kondisi semacam itu dipandang perlu
diadakan evaluasi terhadap rencana tata ruang kota,
yang telah disusun untuk mengetahui sampai sejauh
mana penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota.
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara
rencana dan pelaksanaannya sekurang-kurangnya sekali
dalam lima tahun setelah dioperasional.
29
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Berkenaan dengan kegiatan kegiatan evaluasi
rencana kota, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Kota, pada Pasal 33 disebutkan bahwa :
1) Untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan
rencana antara satu tahap dengan tahap berikutnya
serta keterpaduan antar sektor dan sub sektor dan
untuk penyesuaian rencana dengan perubahan di
bidang sosial ekonomi maupun fisik. Pemerintah
Daerah melaksanakan kegiatan evaluasi atau
peninjauan kembali rencana kota.
2) Kegiatan peninjauan kembali rencana kota
dilaksanakan secara berkala setiap masa akhir
repelita.
3) Revisi rencana kota dilaksanakan apabila hasil
peninjauan kembali menunjukkan perubahan dan
penyimpangan yang mendasar.
Metode evaluasi didasarkan pada hierarki rencana
kota yaitu RUTRK, RDTRK, dan RTRK melalui kegiatan
yang meliputi pengumpulan data tentang pemanfaatan
lahan pada kondisi terakhir dengan klasifikasi sesuai
kedalam rencana. Selanjutnya dilakukan analisa teknik
tindih (super impose) peta kondisi existing dengan peta
rencana untuk melihat kesesuaian wujud fisiknya.
Inti kegiatan evaluasi adalah menilai sampai
sejauh mana suatu rencana kota telah atau dapat
30
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
dilaksanakan, atau sebagai upaya menilai efektivitas
rencana kota melalui pengendalian pemanfaatan lahan
kota. Dengan demikian bahan kajian utama adalah
rencana kota sebagai tolok ukur, dan sebagai
pembanding adalah hasil monitoring implementasi
rencana. Wujud monitoring berupa monitoring terhadap
pelaksanaan penyusunan kegiatan proyek sektoral
tahunan, perubahan pemanfaatan lahan, dan
pelaksanaan rencana kegiatan atau proyek sektoral dan
daerah pertahun.
Didasari atas evaluasi yang telah dilakukan,
diterbitkan rekomendasi mengenai perlu tidaknya
kegiatan revisi rencana kota. Rekomendasi tersebut ada
tiga kemungkinan yaitu:
1. Tidak perlu diadakan perubahan terhadap rencana
kota karena masih valid untuk digunakan sebagai alat
pengendalian pemanfaatan ruang kota
(Penyimpangan : 0-2 %).
2. Rencana kota perlu direvisi karena beberapa kawasan
telah mengalami perubahan fungsi (Penyimpangan
: 21-50 %).
3. Rencana kota perlu direvisi total dalam arti bahwa
rencana kota perlu disusun ulang, karena
31
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
perkembangan di lapangan menunjukkan banyaknya
penyimpangan terhadap rencana kota
(Penyimpangan: 50 %).
Manakala hasil evaluasi merekomendasikan
adanya revisi separuh atau revisi total, maka kegiatan
evaluasi dan revisi rencana kota merupakan kesatuan
pekerjaan yang tak terpisahkan.
Peninjauan kembali rencana tata ruang diperlukan
agar sesuai dengan tuntutan pembangunan dan
perkembangan, namun bukanlah perubahan secara total,
melainkan modifikasi yang menurut Budihardjo
(1997
b
:68) tidak bersifat strukural yakni tidak
mengubah kerangka umum dalam arti kebijakan
menyeluruh yang strategis dengan perspektif jangka
panjang.
4. Perkembangan Peraturan Penataan Ruang Kota di
Indonesia
Peraturan penataan ruang kota di Indonesia mulai
diperhatikan sejak kota Jayakarta (Batavia) dikuasai oleh
Belanda pada awal abad ke-17, namun peraturan secara intensif
baru dikembangkan pada awal abad ke-20. Peraturan pertama
yang mengatur kota Batavia adalah De Statuten van 1642
yang dikeluarkan oleh VOC. Substansi peraturan ini mengatur
32
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
antara lain pembangunan jalan, jembatan, dan bangunan
lainnya, wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota
Menurut Syahbana bahwa peraturan ini dapat dianggap cukup
lengkap karena telah mencakup peraturan-peraturan untuk
berbagai unsur kota, bangunan dan prasarana (Zulkaidi 1995:9).
Pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda
menetapkan Wethoudende Decentralisatie van Bestuur in
Nederlandsch-Indie, Stb. 1903 Nomor 329. Undang-undang
Desentralisasi ini mengatur pembentukan pemerintahan kota dan
daerah. Pengaturan tugas pemerintah kota dalam undang-
undang ini antara lain pembangunan dan pemeliharaan jalan dan
saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan, perbaikan
perumahan, dan perluasan kota. Berdasarkan undang-undang
ini, dibentuklah beberapa pemerintahan kota otonom yang
disebut Gemente.
Pada tahun 1905 ditetapkan Localen-Raden
Ordonantie, Stb. 1905 Nomor 191, substansinya mengatur
wewenang kepada pemerintah kota untuk menentukan
persyaratan pembangunan.
Zulkaidi (1995:10) menyatakan bahwa persiapan
peraturan pembangunan kota di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari usaha Ir. Thomas Karsten. Dalam aktivitasnya
(19201940) telah menghasilkan dasar-dasar yang kokoh bagi
pengembangan peraturan pembangunan kota, antara lain
33
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
penyusunan rencana umum, rencana detail, dan peraturan
bangunan.
Karsten, dalam laporannya kepada Kongres
Desentralisasi tentang pembangunan kota Hindia Belanda
(Indiese Stedebouw) pada tahun 1920, selain berisi konsep
dasar pembangunan kota dan peranan pemerintah kota,
mengatur pula petunjuk praktis yang dapat digunakan sebagai
pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana. Peraturan
yang penting bagi perencanaan kota yang disahkan tahun 1926
adalah Bijblad 11272. Peraturan ini menjadi dasar bagi kegiatan
perencanaan kota sebelum perang kemerdekaan. Peraturan ini
memberi kewenangan kepada pemerintah kota untuk
menghibahkan lahan pemerintah kepada pihak ketiga jika lahan
tersebut telah ditetapkan untuk perumahan dalam rencana
struktur kota (Zulkaidi, 1995:10).
Bagoers dan de Ruijter sebagaimana dikutip oleh
Zulkaidi (1995:10) menyatakan bahwa pada tahun 1929, Karsten
menghasilkan Petunjuk Singkat Penyusunan Kebijaksanaan Garis
Sempadan Bangunan untuk Kota dan Kabupaten (Korte
Handleiding voor de praktise rooilijnpolitiek in
gemeenten en regenschappen) yang mengatur
kebijaksanaan garis sempadan bangunan.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada tahun 1933
Kongres Desentralisasi di Indonesia meminta Pemerintah Hindia
34
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Belanda untuk memusatkan persiapan peraturan perencanaan
kota di tingkat pusat. Kemudian dibentuklah Panitia
Perencanaan Kota pada tahun 1934 untuk menyiapkan peraturan
perencanaan kota sebagai pengganti Bijblad 11272. Bersamaan
dengan itu pemerintah Hindia Belanda menetapkan Undang-
Undang Perbaikan Kampung (Kampong Verbetering
Ordonantie) 1934. Undang-undang ini dibuat untuk mengatur
perbaikan jalan, gang, drainase, dan prasarana kesehatan
lainnya di kampung-kampung kota.
Syahbana (Zulkaidi 1995:10) menyatakan bahwa pada
tahun 1938 pemerintah Hindia Belanda menyusun Rancangan
Undang-Undang Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa
(Stadsverordenings Ordonantie Stadgemeenten Java)
yang mengatur panduan dan persyaratan pembangunan kota
untuk mengatur kawasan-kawasan perumahan, transportasi,
tempat kerja dan rekreasi. Sementara itu Karsten menghasilkan
lagi dua publikasi penting yaitu (1) Arahan Perencanaan Kota
Hindia Belanda (Indische stedebouwkundige richtlijnen)
Tahun 1940, dan (2) Normalisasi Profil Jalan (Normalisatie van
wegprofielen) Tahun 1941, juga sebuah peraturan Kawasan
dan Peruntukan (Kringen en Typen Verordening) untuk
mengatur lebih lanjut pembangunan wilayah kota yang telah
ditentukan zoningnya.
35
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang
kemerdekaan Indonesia menyebabkan Rancangan Undang-
undang Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa baru disahkan
pada tahun 1948 dengan nama Undang-undang Pembentukan
Kota (Stadsvormingsordonnantie, SVO) stb 1948 Nomor 168
untuk sejumlah kota tertentu yakni Batavia, Tegal, Pekalongan,
Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang,
Banjarmasin, Cilacap, Tangerang, Bekasi Kebayoran dan Pasar
Minggu.Substansi SVO mengatur zoning, konservasi bangunan
bersejarah, kondisi perumahan, jenis dan kepadatan bangunan,
ruang terbuka, transportasi, lalulintas air bersih, dan sebagainya.
Undang-undang ini memberi kewenangan kepada kota untuk
menyusun Rencana Umum atau Rencanan Detail yang disahkan
oleh Letnan Gubernur Jenderal (kemudian diganti dengan
Presiden setelah diadopsi ke dalam hukum Indonesia). Menurut
Syahbana (Zulkaidi, 1995:11) bahwa SVO mencakup ketentuan-
ketentuan berkenaan dengan proses konsultasi, kompensasi
(ganti rugi), pungutan dan perpajakan bagi lahan yang
mendapat manfaat dari perencanaan dan pembangunan kota.
Peraturan pelaksanan SVO, adalah Peraturan Pembentukan Kota
(Stadsvormingsverordening, SVV) stb 1949 Nomor 40.
Pada tanggal 21 Desember 1948 dibentuk Panitia yang
diketuai oleh Prof. Jac P. Thijsse, mempersiapkan Undang-
undang Perencanaan Fisik (Wet op de Ruimtelijke
36
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Ordening). SVO dan SVV diberlakukan di Indonesia
berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 18/2/6,
diperkuat dengan Keppres Nomor 1/1976 hingga diterbitkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992.
Perkembangan kota yang sedemikian pesat
mengakibatkan SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan
ruang kota di Indonesia. Karena itu pemerintah Indonesia
mengajukan RUU Bina Kota pada tahun 1970 namun tidak
disetujui akibat munculnya sejumlah konsep baru dalam
pembangunan kota dan adanya perubahan struktur administrasi
dan pemerintahan dengan disahkannya Undang-undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Nasib yang sama menimpa dua RUU Tata Guna Tanah yang
diajukan oleh Depdagri tahun 1980 dan 1982, tidak disetujui.
Zulkaidi (1995:11) menyatakan bahwa di awal 1970-
an, Indonesia mulai memberikan perhatian pada penataan
ruang kota. Pada 1973 Departemen Dalam Negeri
mengeluarkan SE Mendagri Nomor Pemda 18/3/6 tentang
Perencanaan Pembangunan Kota untuk Ibukota Kabupaten yang
masih mengacu kepada SVO, sedangkan Departemen Pekerjaan
Umum lebih menekankan aspek teknis penataan ruang kota.
Departemen Dalam Negeri menerbitkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1980 tentang Penyusunan
Rencana Kota, disertai peraturan pelaksanannya yakni Instruksi
37
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Menteri Dalam Negeri Nomor 650-1232 tentang Pelaksanaan
Permendagri Nomor 2 Tahun 1980 dan Inmendagri Nomor 650-
1233 tentang Prosedur Penyusunan Perencanaan Kota.
Peraturan-peraturan ini menurut Zulkaidi (1995:11) merupakan
pedoman penting bagi perencanaan kota pada saat itu walaupun
isinya berlainan dengan SVO.
Atas dasar pertimbangan bahwa Depdagri hanya
mengatur masalah administratif, sedangkan masalah teknis
dilaksanakan oleh DPU, menteri kedua departemen
mengeluarkan SKB Mendagri dan Menteri PU Nomor 650-1595
dan Nomor 503/KPTS/1985 tentangTugas-tugas dan Tanggung
Jawab Perencanaan Kota, yang menyerahkan urusan
administrasi ke Depdagri dan urusan teknis ke DPU serta
menyeragamkan jenis dan spesialisasi rencana kota. SKB ini
diikuti Kepmen PU Nomor 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan
Tata Ruang Kota, yang mengatur aspek teknis perencanaan
kota, dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota, yang mengatur aspek administratif
perencanaan kota. Dilengkapi dengan Kepmendagri Nomor 59
Tahun 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Permendagri Nomor
2 Tahun 1987 yang ternyata berisi aspek teknis yang hampir
sama dengan isi Kepmen PU Nomor 640/KPTS/1987.
Depdagri menerbitkan beberapa peraturan berkenaan
dengan penataan ruang kota yakni:
38
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
- Kepmendagri Nomor 650-658/1985 tentang Keterbukaan
Rencana Kota untuk Umum.
- Permendagri Nomor 7/1986 tentang Penetapan Batas
Wilayah Kota di Seluruh Indonesia.
- Inmendagri Nomor 14/1988 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.
- SE Mendagri Nomor 650/2109/Bangda/1988 tentang
Petunjuk Pemantapan Penyiapan Perencanaan, Pelaksanaan
dan Pemeliharaan ( P3KT).
- SE Mendagri Nomor 650/1164/Bangda/1988 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Kota Ibukota
Kabupaten.
Akhirnya 1992 Indonesia berhasil menyusun Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
disingkat UUPR. UUPR (yang diprakarsai oleh Kantor Menteri
Negara KLH dengan melibatkan berbagai instansi antara lain
PPN/Bapenas, DPU dan Depdagri) dimaksudkan untuk
menyelesaikan persoalan definisi dan tumpang tindih
pengawasan pemanfaatan sumber daya alam dan ruang beserta
isinya.
Zulkaidi (1995:12) mengemukakan bahwa UUPR
mencabut SVO tetapi tidak mengatur prosedur perencanaan kota
lebih rinci, melainkan hanya menyatakan bahwa penataan ruang
39
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
kota akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
(pasal 31). Sehubungan dengan belum ditetapkannya PP
tersebut, prosedur perencanaan kota masih tetap mengacu pada
Permendagri Nomor 2/1987, Kepmendagri Nomor 59/1988, dan
Kepmen PU Nomor 640/KPTS/1986.
Peraturan pelaksanaan UUPR yang telah ditetapkan
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang; dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1988 tentang Tata Cara
Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang
di Daerah.
Berkenaan dengan semangat reformasi dan otonomi
daerah, telah ditetapkan berbagai perundang-undangan tentang
otonomi daerah, antara lain UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, sehingga UUPR perlu direvisi agar selaras
dengan semangat otonomi daerah.
5. Dasar Hukum Pembentukan Kota dan Peraturan
Perkotaan
Peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan pembentukan kota, pertanahan, penataan ruang dan
lingkungan (Ilhami, 1990:8-11; dan Abrar, 1994:12-14) antara
lain:
40
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
1. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Pembentukan Kota. Lembaran Negara
Tahun 1948 Nomor 168 Stadsvormingordinantie/SVO 1948.
dan Peraturan Pemerintah Tentang Pembentukan Kota.
Lembaran Negara No. 40 Tahun 1949 disebut
Stadsvormingsverordening/S.V.V. Tahun 1949.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, mengatur tentang
kota yang dapat dibentuk sebagai kotapraja dengan
ketentuan jumlah penduduk sekurang-kurangnya mencapai
50.000 jiwa.
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, tentang Kota
(Kotaraya, Kotamadya, Kotapraja, dengan memperhatikan
faktor sosial, ekonomis, kependudukan, dan lain-lain.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
6. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
8. Undan-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite
Nasional Daerah; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 1
41
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan
Tugas-tugas Pemerintahan Pusat dalam Bidang
Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan
Penyerahan Keuangan kepada Pemerintah Daerah; Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah; telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; telah
diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
10. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun.
11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Permukiman.
12. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, telah diganti dengan Peraturan
42
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan ganti kerugian oleh Pengadilan Tinggi
sehubungan dengan Pencabutan hak-hak atau tanah dan
benda-benda yang ada di atasnya.
15. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
16. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan Pembangunban untuk
Kepentingan Umum.
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1980
tentang Penyusunan Rencana Kota.
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1988
tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses
Perencanaan Tata Ruang di Daerah.
20. Keputusan Bersama Mendagri dan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 650-1595 : 503/KPTS/1985 tentang Tugas dan
Tanggung Jawab Perencanaan Kota.
43
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
21. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 1988
tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 2 tahun 1987.
22. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650 658 tentang
Tatahukum Rencana Kota untuk Umum.
23. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988
tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah
Perkotaan.
24. Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Manokwari Nomor 9
Tahun 1987 tentang Rencana Induk kota Manokwari Tahun
1984-2004.
25. Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Manokwari Nomor 11
Tahun 1994 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dati II
Manokwari.
26. Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Manokwari
Nomor 322 Tahun 1996 tentang Pemberlakuan Peraturan
Daerah Kabupaten Dati II Manokwari No. 11 Tahun 1994
tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dati II Manokwari.
44
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
B. Tanah dan Tata Guna Tanah
1. Tanah dan maknanya
Tanah erat hubungannya dengan kehidupan
manusia. Setiap orang menurut Soehadi (Tanpa Tahun:14)
tentu memerlukan tanah, bukan hanya dalam kehidupan
tetapi untuk matipun manusia membutuhkan tanah.
Ter Haar (Salle, 1999: 32) mengemukakan bahwa:
Hubungan antara manusia dan tanah, yaitu tanah
tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan
mereka, tanah tempat mereka dimakamkan dan yang
menjadi tempat kediaman orang-orang halus
pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah tempat
meresap daya-daya hidup, termasuk juga hidupnya
ummat, oleh karenanya tergantung dari padanya,
maka pertalian itu yang dirasakan dan berakar dalam
alam pikirannya itu dapat dan seharusnya dianggap
sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking) ummat
manusia dengan tanah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah
adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas
sekali. Dijelaskan pula bahwa tanah juga mencakup aspek
kultural, kualitas, politis, hukum, pemilikan hak dan juga
makna spiritualnnya. Tanah juga dihubungkan dengan
tempat kelahiran dengan sebutan tanah tumpah darah, ibu
pertiwi dan sebagainya.
45
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tanah sebagai sumber hidup patut dihormati dan
lindungi agar hidup manusia dapat terjamin. Namun,
menurut Erari (1999:25) realitas menunjukkan bahwa tanah
tidak lagi dihargai, dihormati dan dilindungi, bahkan tanah
menjadi sumber konflik. Konflik tersebut, menurut Salindehu
(1987:17) disebabkan tanah dipandang sebagai benda yang
bernilai ekonomi semata.
Erari (1999:25-26) mengemukakan bahwa:
Tanah yang dipandang sekadar dari aspek ekonomi,
telah menjadi titik tolak dari berbagai undang-
undang dan peraturan kendati secara
konstitusional, soal tanah berada di bawah kontrol
UUD ! 45 Pasal 33 yang jelas menyebutkan bahwa
tanah, air, udara dan segala kekayaan yang terdapat
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk kepentingan rakyat, telah menjadi referensi
utama dalam hal pemanfaatan tanah di Indonesia,
sehingga interpretasi pasal 33 UUD 1945 adalah
pertama, negara mempunyai kepentingan dalam hal
penguasaan tanah di Indonesia; dan kedua,
penguasaan tersebut hendaknyan menjamin semua
penduduk Indonesia yang memperoleh hak yang
sama dari tanah dan semua kekayaan yang terdapat
di dalamnya.
Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Irian Jaya
(1997:193) dalam penelitiannya terungkap bahwa bagi
masyarakat Papua, tanah bukanlah komoditi. Tanah adalah
46
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
sesuatu yang dianggap sakral. Tanah diibaratkan bagaikan
ibu yang begitu erat hubungan batin dengan anaknya.
Makna tanah dikemukakan oleh Mathias Haryadi
(Erari, 1999:27-28) sebagai berikut:
Tanah bagi rakyat adalah basis paling elementer
yang menentukan hidup matinya manusia. Tanah
adalah pijakan fundamental yang menentukan
kelangsungan hidup manusia, yang mengandung tiga
arti. Pertama, tanah adalah tempat manusia
mendirikan rumah, di atas tanah dan dalam rumah ia
tinggal, manusia menemukan basis hidup dan
identitasnya. Kedua, di atas tanah itu manusia
berhubungan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Ketiga, tanah memiliki arti ekonomi yang sangat
kaya, satu-satunya dan tak mungkin tergantikan.
2. Hak-hak Masyarakat atas Tanah
Hak-hak masyarakat atas tanah yang digusur akibat
penataan ruang kota terdiri atas hak-hak adat masyarakat
atas tanah, dan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
a. Hak-hak masyarakat adat atas tanah.
Fauzi (1997:14) menyatakan bahwa tanah memiliki
dimensi waktu, peringatan akan keberadaan nenek
moyang sebagai dasar kehidupan sosial, budaya, religi,
ekonomi, politis, dan sebagai tali ikatan dengan generasi
yang akan datang.
47
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Masyarakat Indonesia, menurut Sudiyat
(Syamsudin,dkk, 1998:34) beralam pikiran peran serta
integral harmonis ke dalam kehidupan alam semesta
mendambakan suasana selaras, serasi, seimbang-dinamis
di dalam hidup bermasyarakat. Sebaliknya kepentingan
perorangan dinilai sebagai integral dari kehidupan
bersama sebagai suatu keutuhan. Hal ini terbukti adanya
hak milik perorangan atas tanah, di samping hak ulayat
persekutuan hukum). Wignjodipoero (1995:198)
mengemukakan bahwa hak ulayat merupakan
seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adat yang berhubungan dengan tanah,
memanfaatkan tanah, memungut hasil hutan, dan juga
berburu hewan di situ.
VanVollenhoven (Ohorella, 1993:172)
mengemukakan pengertian beschikkingsrecht adalah:
Wewenang dari suatu atau lain persekutuan
hukum untuk menguasai tanah dan air yang tidak
diolah atau diolah dalam daerah kekuasaannya
untuk kepentingan warganya atau orang asing
(untuk yang terakhir biasanya dengan suatu
pungutan), hak itu ditarakan dengan
pertanggungan jawab dari persekutuan hukum itu
atas apa yang terjadi di dalam daerahnya.
48
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Berkenaan dengan Hak Pertuanan
(beschikkingsrecht) Ter Haar (1983:71) mengemukakan
bahwa:
Masyarakat dusun (dorpsgemeenschap) dan
masyarakat wilayah (streekgemeenschap) berhak
atas tanah, mempunyai hak tertentu atas tanah,
dan melakukan hak itu, baik ke luar maupun ke
dalam. Berdasarkan atas berlakunya keluar, maka
gerombolan itu sebagai kesatuan berkuasa
memungut hasil dari tanah itu dengan menolak
lain-lain orang berbuat sedemikian itu, pula
sebagai kesatuan ia bertanggung jawab terhadap
orang-orang luaran masyarakat atas perbuatan-
perbuatan pelanggaran (delikten) di bumi
masyarakat situ yang sudah dilakukan oleh orang-
orang yang tak dapat diketemukan. Berdasarkan
atas berlakunya hak ke dalam maka masyarakat
itu mengatur pemungutan hasil oleh anggota-
anggotanya, yang berdasarkan atas hak daripada
masyarakat itu bersama, dan agar masing-masing
anggota mendapat bagiannya yang sah, maka
masyarakat itu juga berhadapan dengan anggota-
anggotanya, dengan jalan membatasi tuntutan-
tuntutan dan hak-hak perseorangan (untuk
kepentingan masyarakat) dan dengan jalan
melepaskan tanah-tanah yang langsung
diperuntukan kepentingan-kepentingan
masyarakat-masyarakat dari usaha-usaha
perseorangan yang memungut hasilnya untuk diri
sendiri.
Hak ulayat atau hak patuanan (beschikkingrecht)
meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan
49
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
wilayah masyarakat hukum, baik yang sudah dihaki oleh
seseorang maupun yang belum. Menurut Harsono
(1999:186) dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah
res nullius.
Hak ulayat diakui keberadaannya sepanjang
kenyataannya masih ada. Hal ini diketahui dari kegiatan
sehari-hari kepala adat dan para tetua adat sebagai
pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan
dan memimpin penggunaan tanah ulayat yang menurut
Van Dijk (1979:56-57) memiliki kekuatan berlaku ke luar
dan ke dalam. Berkenaan dengan hak ulayat, Gautama
(1990:26) menyatakan bahwa di samping diakui,
pelaksanaan hak ulayat dibatasi, dalam arti sedemikian
rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara,
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan di Republik
Indonesia.
Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, pada intinya mengakui adanya hak ulayat
masyarakat hukum adat, dan dipandang perlu dapat
didaftarkan.
50
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Dalam masyarakat hukum adat, selain hak ulayat
ada pula hak perseorangan. Hak perseorangan ini
bersumber dari hak ulayat. Antara hak ulayat dan hak
perseoraangan selalu ada pengaruh timbal balik. Makin
sering usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang
tanah, makin eratlah hubungan dengan tanah dan makin
kuat pula haknya atas tanah tersebut.
Sejalan dengan hak-hak perseorangan kaitannya
dengan kepentingan masyarakat, menarik disimak
konsepsi hukum adat Makassar, sebagaimana
dikemukakan oleh Salle (1999:10) bahwa:
Konsepsi hak milik bagi orang Makassar
disimpulkan bahwa jabatan raja adalah amanah
rakyat, sehingga rakyat bergantung pada raja,
bahkan menjadi abdi, abdi kepada raja, tidak
termasuk atas hak milik yang dipunyai oleh
rakyat. Kalau raja akan membeli hak milik rakyat
maka ia wajib memberikan ganti rugi yang wajar
atau menggantinya dengan barang pengganti
yang sesuai dengan nilainya. Rakyat akan
memberi permintaan sesuatu secara wajar
sepanjang tidak berdasarkan kesewenangan.
Pengakuan hak-hak adat atas tanah oleh UUPA
menurut Lev (Abdurrahman, 1994
a
:76) bahwa para
perancang UUPA mengatakan undang-undang karya
mereka itu didasarkan pada hukum adat, tetapi nyatanya
51
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
UUPA banyak melakukan langkah-langkah besar ke arah
penghapusan hak-hak milik adat. Alasannya semua tanah
itu harus tunduk pada tuntutan kepentingan nasional dan
tujuan persatuan nasional, sekalipun masih mengizinkan
beberapa kebijaksanaan administrartif sesuai dengan
hukum adat setempat. UUPA ini jelas sekali mengingkari
hak-hak adat yang khas. Maksudnya untuk menciptakan
suatu hukum tanah yang umum bagi seluruh negara.
b. Hak-hak Atas Tanah menurut UUPA
Pasal-pasal UUPA menyebutkan adanya dan macam
hak-hak atas tanah adalah pasal 4 ayat (1) dan (2),
pasal 16 ayat (1) dan pasal 53.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut :
(1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan,
52
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang
ada di atasnya sekadar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum
yang lebih tinggi.
Hak-hak atas tanah yang dimaksud pasal 4 UUPA
ditentukan dalam pasal 16 ayat (1) adalah hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa,
hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan
hak-hak lain yang bersifat sementara sebagaiman di atur
dalam pasal 53 UUPA yaitu hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.
3. Tata Guna Tanah
Menurut Jayadinata (1999:10) tata guna tanah adalah
pengaturan penggunaan tanah. Tujuannya menurut Sandy
(1984:7) untuk:
a. Mencegah penggunaan tanah yang salah tempat,
atau ingin menuju penggunaan tanah yang optimal.
b. Mencegah adanya salah urus sehingga tanah itu
salah, rusak, atau menuju penggunaan tanah yang
lestari.
c. Mencegah adanya tuna kendali atau menuju ke
arah penggunaan tanah yang senantiasa
diserasikan oleh adanya kendali.
53
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Landasan hukum tata guna tanah bersumber pada
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang hak menguasai dari
negara. Implementasinya sebagaimana diatur dalam pasal 2
ayat (2) UUPA dan Pasal 14 UUPA.
Dalam rangka rencana tata guna tanah, menurut
Parlindungan (1993:38-39) untuk sampai kepada suatu
perencanaan yang matang untuk pengembangan tata guna
tanah tersebut antara lain:
a. Keterpaduan antar instansi, dan perlu menginsyafi
bahwa sudah terlalu lama kita bicara secara
sektoral dan selalu tidak menguntungkan kepada
pembangunan.
b. Berbagai kendala yang harus diatasi seperti tidak
meratanya penduduk di seluruh Indonesia.
c. Berbagai produk hukum yang meninjau dari
sesuatu objek yang berlainan solusinya.
d. Belum ada daftar yang mantap atas seluruh asset
yang ada, seperti, hak-hak atas tanah yang ada,
jenis-jenis hak, kemampuan dari tanah tanah
tersebut penggunaannya yang belum tertib.
Masih tidak beraturan penggunaan tanah, adanya
industri di daerah permukinan dan sebagainya.
e. Keterkaitan antara perpajakan dengan
pemukiman yang terbina baik.
f. Perkembangan industri yang mempergunakan
tanah-tanah pertanian subur dan berdampak
mengganggu keswasembadaan pangan
nasional.
54
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Thomas (Catanese & Snyder, 1996:266)
mengemukakan bahwa perencanaan tata guna tanah
merupakan kunci untuk mengarahkan pembangunan kota.
Menurut Ilhami (1990:122) faktor dominan yang
berpengaruh terhadap penggunaan tanah di daerah
perkotaan adalah pemenuhan kebutuhan spiritual dan
material oleh masyarakat, dengan penggunaan ruang untuk
melakukan kegiatan, tidak tergantung pada kualitas
kemampuan tanah.
Kebutuhan akan penggunaan tanah di kota semakin
meningkat dipengaruhi oleh nilai tanah. Menurut Chapin
(Jayadinata, 1999:28) bahwa:
a. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan
tujuan ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan
jual beli tanah di pasaran bebas;
b. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan
dengan pengaturan untuk masyarakat umum
dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
c. Nilai sosial, yang merupakan hal yang mendasar
bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang
dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya)
dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku
yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi,
kepercayaan dan sebagainya.
55
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Jayadinata (1999:157) mengemukakan bahwa
penentu tata guna tanah bersifat sosial yakni perilaku
masyarakat berhubungan dengan nilai dan cita-cita mereka,
penentu yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi;
serta kepentingan umum sebagai penentu tata guna tanah
meliputi kesehatan, keamanan, moral, dan kesejahteraan
umum, kemudahan keindahan, dan sebagainya.
C. Perlindungan Terhadap Hakhak Rakyat atas Tanah
Sarana perlindungan hukum bagi rakyat (termasuk hak
hak rakyat atas tanah) dalam kepustakaan hukum dikenal ada
dua jenis sarana perlindungan hukum yang sifatnya preventif
dan represif.
Hadjon (1987:2) mengemukakan bahwa pada
perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk definitif.
Dengan demikian perlindungan hukum yang preventif bertujuan
mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat
signifikant bagi tindak pemerintahan yang didasarkan kepada
kebebasan bertindak. Dengan adanya perlindungan hukum yang
preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
56
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Menurut Hadjon (1987:3) sarana perlindungan hukum
yang preventif agak ketinggalan bila dibandingkan dengan
sarana perlindungan yang represif, namun dewasa ini sarana
perlindungan hukum yang preventif dirasakan penting manakala
dihubungkan dengan asas freies Ermessen. Misalnya keberatan
(inspraak) dari rakyat atau dimintai pendapatnya mengenai
rencana keputusan. Di Eropa dikenal misalnya, the right to be
heard and access to information yang bermakna bahwa individu
yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-
haknya dan kepentingannya. Intinya rakyat memiliki hak untuk
didengar, sehingga memungkinkan meminimalisasi sengketa
antara pemerintah dan rakyat.
Perlindungan hukum ini berkenaan dengan tiga fungsi
hukum administrasi yang diketengahkan oleh P. de Haan cs
yakni norma, instrumen, jaminan; sedangkan menurut Van Wijk-
Koninjnenbelt Hukum administrasi merupakan instrumen yuridis
bagi penguasa untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat;
dan disisi lain memungkinkan anggota masyarakat
mempengaruhi penguasa dan memberikan perlindungan
terhadap penguasa (Hadjon, 1997: 27-28).
Elaborasi Van Wijk dan P. de Haan dapat digambarkan
(Hadjon, 1997:28) sebagai berikut:
57
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Gambar 1
Skema Fungsi Hukum Administrasi Van Wijk dan P.de
Haan
Sturen sancties
partisipasi-bijv.via:
- inspraak; adviering
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa hukum
administrasi meliputi:
- mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan
mengendalikan masyarakat;
- mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam
proses pengaturan dan pengendalian tersebut;
- perlindungan hukum (rechtsbescherming)
- (hukum administrasi Belanda) menetapkan norma-
norma fundamental bagi penguasa untuk
pemerintahan yang baik:(algemene beginselen van
behoorlijk bestuur/abbb),yakni asas persamaan, asas
kepercayaan, asas kepastian hukum, asas
kecermatan, asas pemberian alasan (motivasi),
Larangan detournament de pouvoir, dan larangan
bertindak sewenang-wenang.
PENGUASA
- MASYARAKAT
- PENDUDUK
Perlindungan hukum
58
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Hadjon (1997:29) mengetengahkan fungsi pemerintah
yang lebih diarahkan kepada fungsi pembinaan dan
pengayoman. Fungsi tersebut dengan sendirinya mengharapkan
peningkatan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi
pemerintah, sebagaimana skema berikut:
Gambar 2
Skema Fungsi Pembinaan dan Pengayoman
Pembinaan
pengayoman
partisipasi
Dalam kajian tesis ini yang dikaji hanyalah sarana
perlindungan hukum yang preventif, sebagaimana diatur dalam
undangundang penataan ruang yakni:
a. Berperan serta dalam proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang;
b. Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang;
pemerintah rakyat
59
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
c. Menikmati manfaat tata ruang dan atau
pertambahan nilai ruang akibat dari penataan
ruang;
d. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi
yang dialaminya sebagai akibat pembangunan;
e. Mendapatkan perlindungan atas kelangsungan
hidup sebagai akibat pelaksanaan pembangunan.
Intinya perlindungan terhadap hak-hak rakyat atas tanah
yang preventif termanifestasi dalam partisipasi masyarakat
dalam penataan ruang, sosialisasi rencana tata ruang,
musyawarah yang terbuka dan demokratis serta penggantian
yang layak.
Secara filosofis, juridis, sosiologis perlindungan hak-hak
rakyat atas tanah mengacu pada konsepsi hak asasi manusia
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia, dan Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998, serta UU
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Piagam Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa:
- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan hak milik (Pasal
23).
60
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
- Setiap orang berhak atas lingkungan hidup baik dan
sehat (Pasal 28).
- Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal
32).
- Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk
hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman (Pasal 41).
- Hak warga negara untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi dijamin dan dilindungi (Pasal
42).
- Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung
jawab Pemerintah (Pasal 43).
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:
- Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2).
- Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
61
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah (Pasal 6 ayat
1)
- Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk
atas hak tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman (Pasal 6 ayat 2).
- Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat (Pasal 9 ayat 3)
- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya
(Pasal 29 ayat 1).
- Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan
sewenang-wenang dan secara melawan hukum
(Pasal 36 ayat 2).
- Pencabutan hak milik atas suatu benda demi
kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan
mengganti kerugian yang wajar dan segera serta
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 37 ayat 1).
- Pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
Undang-undang ini, peraturan perundangan lain,
62
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
dan hukum internasional tentang hak asasi manusia
yang diterima oleh negara Republik Indonesia
(Pasal 71).
Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup dan
penataan ruang wajib diperhatikan secara proposional potensi,
aspirasi dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Misalnya, perhatian terhadap
masyarakat adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada
sumber daya alam yang terdapat di sekitarnya.
Wujud perlindungan terhadap hak-hak rakyat atas tanah
berkenaan dengan penataan ruang kota sebagaimana uraian
berikut ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi diartikan sebagai kesediaan untuk membantu
keberhasilan setiap program sesuai kemampuan setiap orang,
atau mengambil bagian dalam kegiatan bersama, atau
mengambil bagian dalam pelaksanaan layanan-layanan
pemerintah.
Partisipasi menurut PBB, sebagaimana dikemukakan oleh
Slamet (Alting, 1999:51) yaitu :
63
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Keterlibatan aktif dan bermakna pada massa penduduk
pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, (a) dalam proses
pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-
tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-
sumber; (b) pelaksanaan program-program dan proyek-
proyek secara sukarela; (c) memanfaatkan hasil-hasil
dari suatu program atau suatu proyek.
Duseldorp (Masengi, 1999:18-19) mengemukakan bahwa
Partisipasi masyarakat dapat digolongkan dalam berbagai bentuk
sebagai berikut:
a. Partisipasi Bebas yaitu partisipasi yang dapat terjadi
bila individu atau sekelompok masyarakat
melibatkan diri dalam kegiatan tersebut secara
sukarela dengan penuh kesadaran. Partisipasi bebas
terdiri atas:
1). Partisipasi Spontan, yaitu suatu partisipasi yang
didasarkan pada keyakinan dan kebenaran
tanpa adanya pengaruh dari orang lain.
2). Partisipasi Terbujuk yaitu bila seseorang
tergerak untuk berpartisipasi karena adanya
pihak lain yang menggerakkannya baik melalui
sosialisasi ataupun pengaruh sehingga secara
sukarela ikut beraktivitas dalam suatu kelompok
tertentu. Pihak yang mempengaruhi atau yang
menggerakan dapat berasal dari aparat
pemerintah, pimpinan suatu agama, atau ketua
adat dan lembaga lainnya.
b. Partisipasi Terpaksa yaitu partisipasi yang muncul
karena adanya hal-hal yang membatasi ataupun
karena situasi dan kondisi. Partisipasi terpaksa ini
dibagi atas:
64
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
1). Partisipasi terpaksa karena adanya peraturan
yang mengikat. Dalam rangka menjaga
ketertiban umum, maka setiap,orang dibatasi
ruang geraknya karena apabila terjadi suatu
pelanggaran norma hukum dapat dikenakan
sanksi.
2). Partisipasi terpaksa karena situasi dan kondisi
adalah keterlibatan seseorang untuk
berpartisipasi karena sudah tidak ada upaya
lain. Partisipasi ini dapat bersifat positif atau
negatif tergantung dari situasi dan kondisi.
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat
penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil-hasil
penataan ruang bermuara pada kepentingan masyarakat.
Masyarakat berperan sebagai mitra pemerintah dalam
penataan ruang dengan mendayagunakan kemampuannya
secara aktif sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam
mencapai tujuan penataan ruang . Partisipasi masyarakat
tersebut dapat diselenggarakan oleh orang-seorang , kelompok
atau badan hukum.
Masengi (1999:19) mengemukakan bahwa dalam rangka
menumbuhkembangkan kegiatan agar masyarakat dapat
berperan serta dalam pembangunan secara aktif, maka para
petugas lapangan harus dapat menggali dan menangkap aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat serta dapat memanfaatkannya
sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan ataupun
65
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
pelaksanaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa peran serta
masyarakat dapat berupa:
a. Partisipasi para ilmuan; dapat berupa hasil seminar,
lokakarya, dan diskusi yang membahas tata ruang.
b. Partisipasi para pengusaha; dapat berwujud saran
tentang pemanfaatan lokasi dan bantuan fasilitas.
c. Partisipasi praktisi hukum; dapat berwujud saran
pencegahan dan atau penyelesaian masalah.
d. Masyarakat umum; baik secara perorangan,
kelompok dan atau melalui tokoh masyarakat dan
pemimpin informal yang mewakili masyarakat secara
aktif memberikan saran, pertimbangan, dan pendapat
serta mengikuti perkembangan selanjutnya.
Muhaimin (1987:138) mengemukakan bahwa
kebijaksanaan pemerintah dalam partisipasi masyarakat dapat
berupa kebijaksanaan lepas tangan, kebijaksanaan
pembatasan, kebijaksanaan pendukung.
Kebijaksanaan lepas tangan mengandung makna bahwa
pemerintah secara resmi mengakomodasikan dalam rangkaian
program pembangunan, namun tidak disertai dengan
penyediaan dana. Terlaksananya program tersebut tergantung
pada seberapa besar inisiatif, kemampuan dan kemauan
masyarakat sendiri. Sedangkan kebijaksanaan pembatasan
bermakna bahwa perencanaan program, penyediaan dana,
pengelolaan dan pengendalian merupakan tanggung jawab
66
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
pemerintah. Jadi masyarakat dalam keadaan pasif. Selanjutnya
kebijaksanaan mendukung bermakna bahwa pelaksanaan suatu
kegiatan pembangunan merupakan tanggung jawab bersama
pemerintah dan masyarakat, dan pemerintah berperan
menciptakan iklim yang kondusif guna menumbuhkan partisipasi
masyarakat.
Partisipasi masyarakat di atur dalam UU No. 24 tahun
1992, Pasal 4 ayat (2) sub b yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak berperan serta dalam penyusunan rencana tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfatan
ruang. Sedangkan Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa
Penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran
serta masyarakat.
Dalam penjelasan UU Penataan Ruang dikatakan bahwa
setiap orang dapat mengajukan usul, memberi saran, atau
mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka
penataan ruang.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun
1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota pada Pasal
14 ayat (2) dinyatakan bahwa
kegiatan diskusi dan seminar sebagai forum terbuka
yang melibatkan berbagai instansi yang terkait dan
wakil-wakil anggota masyarakat kota untuk mendapatkan
keterpaduan serta penampungan aspirasi masyarakat
dalam proses penilaian keadaan dan pengembangan kota
67
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
untuk memperoleh alternatif konsepsi yang paling tepat
dan baik.
Gary Hack (Catanaese dan Snyder, 1996:247-248)
mengemukakan bahwa salah satu kunci efektifnya perencanaan
adalah keterlibatan masyarakat. Hal ini perlu untuk mencapai
kesepakatan masyarakat dalam pelaksanaan kerja . Untuk
mendapatkan masukan berupa tanggapan dan gagasan-
gagasan, maka yang paliang umum ialah mengadakan lokakarya
atau dengar pendapat secara umum mengenai pokok-pokok
permasalahan dalam perencanaan tata ruang kota. Untuk
menjangkau masyarakat yang tidak berminat menghadiri rapat
umum dapat dilakukan wawancara sudut jalan, model yang
dipampangkan pada tempat yang terlihat dengan jelas, dengan
kesempatan untuk berkomentar, dan dapat dimuat dalam berita
media massa.
Perihal partisipasi masyarakat dinyatakan oleh
Nurmandi (1999:134), bahwa tanah tidak dapat dilepaskan
dengan penguasaan tanah oleh masyarakat, oleh karena itu
sistem penatagunaan tanah dengan partisipasi aktif masyarakat,
sudah waktunya untuk dimasyarakatkan.
Budihardjo, (1995:54-55) mengemukakan bahwa :
Dalam proses pembangunan daerah yang berlangsung
hingga saat ini, nampaknya partisipasi masyarakat masih
berada pada tingkat yang belum menentukan. Mestinya,
68
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
mulai dari awal penentuan tujuan dan sasaran
pembangunan daerah yang dijadikan titik tolak
perencanaan, masyarakat sudah ikut aktif menyampaikan
aspirasinya. Selama ini, yang disebut partisipasi
masyarakat lebih berupa penyampaian informasi tentang
rencana dan program pembangunan yang telah disusun
oleh para pembuat keputusan dan penentu
kebijaksanaan. Akibatnya, cukup banyak program yang
tidak sesuai betul dengan harapan dan dambaan
masyarakat. Partisipasi masyarakat ini penting, agar
pembangunan daerah yang dilaksanakan betul-betul akan
mewadahi tuntutan kebutuhan masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kota sangat
penting, karena penataan ruang bermakna penataan tanah atau
lahan. Di atas tanah tersebut melekat hak-hak rakyat atas tanah.
Dengan demikian masyarakat patut terlibat dan memberikan
masukan-masukan berharga menyangkut kepentingannya sendiri
dalam konteks kepentingan bersama tanpa mengabaikan
kepentingan masing-masing pemegang hak atas tanah. Hal ini
merupakan salah satu perwujudan perlindungan terhadap
masyarakat pemegang hak atas tanah.
2. Sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota
Dalam rangka perlindungan hak-hak rakyat atas tanah,
maka penataan ruang yang telah ditetapkan perlu
disosialisasikan kepada masyarakat, karena masyarakat berhak
mengetahui dan berperan serta dalam penyusunan,
pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, serta berhak
69
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
mendapatkan penggantian yang layak dari pelaksanaan tata
ruang yang merugikan kepentingannya. Termasuk sosialisasi
setiap perkembangan keadaan yang menyebabkan ditinjau
kembali aturan dan rencana tata ruang, yang tentunya tidak
mengorbankan kepentingan rakyat, sebagaimana penjelasan
Pasal 13 ayat (3) UU No. 24 Tahun 1992, yang menyatakan
bahwa hak orang harus tetap dilindungi.
Dalam pelaksanaan penataan ruang, sering ditemui
kesulitan karena masyarakat tidak mengetahui aturan tersebut,
maka Pasal 25 UU No. 24 Tahun 1992 menegaskan agar
disebarluaskan informasi tentang penataan ruang tersebut;
karena setiap orang berhak mengetahui rencana tata ruang
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU. No. 24 Tahun
1992.
Hartono (1991:114) mengemukakan bahwa
penyebarluasan rencana penataan ruang melalui mass media,
jauh sebelum pelaksanaan pembangunan, agar dapat diketahui
umum, khususnya oleh penduduk yang terkena proyek
pembangunan. Dengan demikian warga masyarakat tidak
dikejutkan oleh kebijaksanaan pemerintah yang mendadak,
sehingga nasibnya menjadi telantar. Apalagi ganti rugi yang
diterima sama sekali tidak sepadan dengan nilai tanah yang
harus dikorbankan. Untuk itu hukum tidak hanya memperhatikan
pembangunan saja tetapi sekaligus memberikan jaminan
70
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
keadilan sosial dan kepastian hukum di dalam masyarakat.
Adapun kepastian itu hanya terjamin apabila ada transparansi
karena rencana tata ruang kota sudah diketahui oleh umum.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, H. Ridwan Musa
Gani mensinyalir bahwa kesemrawutan pembangunan kota
Makassar sebagai akibat masyarakat tidak mengetahui rencana
tata ruang kota. Untuk mensosialisasikan rencana tata ruang
kota, paling efektif bila diumumkan secara luas melalui media
cetak agar masyarakat segera mengetahuinya. Fenomena
kesemrawutan pembangunan kota selama ini karena rakyat tidak
mengetahui peruntukan suatu lokasi (Harian Fajar, Rabu, 27-10-
1999). Berkenaan dengan sosialisasi RUTRK, menurut Abrar
(1994:31) bahwa kurangnya pengetahuan dan pemahaman
warga kota Makassar tentang RUTRK itu sebagai pertanda
kurang efektifnya publikasi selama ini. Untuk itu perlu dilakukan
cara lain, misalnya disetiap sudut-sudut kota atau ditempat-
tempat ramai dibuat peta, di samping melalui surat kabar, radio
dan televisi.
Untuk itu, menurut Kartasasmita (1996:432) upaya-
upaya sosialisasi penataan ruang bagi seluruh pelaku
pembangunan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan
interpretasi atau terdapat ekspektasi yang kurang sesuai
terhadap kedalaman maupun isi dari tiap-tiap tingkatan
penataan ruang.
71
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Sosialisasi penataan ruang sangat penting, karena rakyat
mengetahui hal-hal apa saja yang akan dilakukan di atas
tanahnya. Sehingga pemegang hak atas tanah sedini mungkin
dapat mengatur dan merencanakan apa yang akan dilakukannya
berkaitan penggusuran tanahnya guna kepentingan
pembangunan.
Berkenaan dengan sosialisasi aturan penataan ruang,
maka dalam rangka memfungsikan hukum sebagai a tool of
social engineering atau alat rekayasa sosial, sangatlah penting
sosialisasi aturan hukum secara baik sebelum dilaksanakan agar
benar-benar efektif berlakunya. Efektivitas hukum berkaitan
dengan kesadaran atau ketaatan hukum. Menurut Kelman (Ali,
1998:193) bahwa ketaatan hukum dapat dibedakan
kualitasnya dalam tiga jenis yaitu:
(1) Ketaatan yang bersifat complience, yaitu jika
seseorang taat terhadap suatuatu aturan hanya
karena ia takut terkena sanksi.
(2) Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika
seseorang taat terhadap suatu aturan hanya
karena takut hubungan baiknya dengan seseorang
menjadi rusak.
(3) Ketaatan yang bersifat internalization yaitu jika
seseorang taat terhadap suatu aturan benar-
benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengan
nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
72
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Berkenaan dengan efektivitas hukum, Ali (1998:193)
mengemukakan bahwa:
Kapan suatu aturan atau undang-undang dianggap
tidak efektif berlakunya? Jawabannya tentu saja jika
sebagian besar masyarakat tidak menaatinya. Namun
demikian jika sebagian besar masyarakat terlihat
menaati aturan atau undang-undang tersebut, maka
ukuran atau kualitas efektivitas aturan atau undang-
undang itupun masih dapat dipertanyakan, Semakin
banyak warga masyarakat menaati suatu undang-
undang hanya dengan ketaataan yang bersifat
compliance atau identification saja, berarti kualitas
keefektifan masih rendah, sebaliknya semakin banyak
warga yang menaati aturan dan undang-undang
dengan ketaatan yang bersifat internalization, maka
semakin tinggi kualitas efektivitas aturan atau undang-
undang itu.
Penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial
seyogianya memperhatikan empat asas utama sebagaimana
dikemukakan oleh Adam Podgorecky ( Ali. 1998:285) sebagai
berikut:
1. Menguasai dengan baik situasi yang dihadapi.
2. Membuat suatu analisis tentang penilaian-penilaian
yang ada serta menempatkan dalam suatu urutan
hierarkis.
3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis seperti;
apakah suatu metode yang dipikirkan untuk
digunakan pada akhirnya nanti memang akan
membawa kepada tujuan sebagaimana dikehendaki.
73
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
4. Pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang
ada.
Jadi proses sosialisasi rancangan perundang-undangan
dan peraturan perundang-undangan bertujuan agar masyarakat
mengetahui kehadiran dan substansi materi suatu peraturan
serta dapat menyesuaikan diri dengan tujuan yang dikehendaki
oleh peraturan tersebut. Hal ini tentunya berhubungan dengan
empat unsur kesadaran hukum, sebagaimana dikemukakan oleh
Soekanto (1982:239) yaitu pengetahuan tentang hukum,
pengetahuan tentang isi hukum, sikap hukum dan pola perilaku
hukum.
3. Musyawarah Dalam Pengadaan Tanah
Perlindungan hak-hak rakyat atas tanah tercermin pada
Pasal 24, pasal 13 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (2) sub c UU No. 24
Tahun 1992, yang pada pokoknya mengatur antara lain,
penyelenggaraan penataan ruang tetap menghormati hak yang
dimiliki orang, dan setiap orang berhak memperoleh
penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Menghormati hak yang dimiliki orang, mengandung
makna menghargai, menjunjung tinggi, mengakui dan menaati
peraturan yang berlaku (Perundang-undangan, Hukum Adat,
Hukum kebiasaan) terhadap hak yang dimiliki orang.
74
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Perolehan penggantian yang layak, oleh Keppres 55
Tahun 1993 dikenal dengan istilah ganti kerugian. Dalam Pasal
1 ayat (7) disebutkan bahwa ganti kerugian adalah
penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman atau
dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai
akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Menurut Salle (1999:4) ditetapkannya Keppres No.
55/1993 dengan ciri yang menonjol yaitu jaminan keseimbangan
hak dan kewajiban para pihak sehingga diharapkan terjamin
perlindungan hukum pemegang hak atas tanah, dan adanya
pembatasan kepentingan umum yang tidak akan merugikan
kepentingan perorangan.
Dalam Pasal 15 Keppres No. 55/1993 diatur Dasar dan
tata cara penentuan ganti kerugian yakni:
1. Harga tanah didasarkan atas nilai nyata dan
sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual
objek pajak bumi dan bangunan (NJOP) yang
terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi
pemerintah daerah yang bertanggung jawab di
bidang bangunan;
3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh pemerintah
daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Wujud perolehan ganti kerugian dapat berupa uang,
tanah pengganti, pemukiman kembali, atau akumulasi dari
75
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
ketiga bentuk tersebut atau cara lain sesuai kesepakatan (pasal
13 Keppres 55 Tahun 1993).
Menurut Husein (1997:64) apabila penentuan harga
tanah menggunakan kriteria NJOP, maka apakah penentuan
harga objek pajak itu sudah objektif? hal ini perlu
dipertimbangkan, karena harga tanah bukan sekadar harga fisik
ekonomi yang nilainya terus meningkat, melainkan hak dan
kenikmatan yang terpencar dari tanah.
Berkenaan dengan ganti kerugian, menurut Nasucha
(1995:31) ada tiga pendekatan metode penilaian tanah, yaitu:
a. Pendekatan biaya (cost approach) yaitu penilaian
yang didasarkan pada seluruh biaya yang telah
dikeluarkan untuk meperoleh tanah tersebut,
termasuk biaya perbaikan atau peningkatan,
dikurangi biaya penyusutan.
b. Pendekatan pasar (market approach) yaitu penilaian
yang didasarkan pada mekanisme pasar (transaksi
jual beli) yang terjadi.
c. Pendekatan pendapatan (income approach) yaitu
penilaian yang dilakukan berdasarkan nilai hasil
produksi dari tanah yang bersangkutan.
Yunus (2000:88) mengemukakan bahwa nilai lahan
berkaitan erat dengan penggunaannya. Semakin tinggi
aksesibilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai lahannya dan
biasanya hal ini dikaitkan dengan beradanya konsumen akan
76
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
barang atau jasa. Derajat keterjangkauan ini berkaitan dengan
potential shoppers yang banyak dan kemudahan untuk
datang/pergi ke/dari lokasi tersebut ke pasar.
Pemberian penggantian yang layak melalui sarana
musyawarah yang menunjukkan adanya perlindungan dan
penghormatan tarhadap hakhak rakyat atas tanah sangat
tergantung pada seberapa besar ganti kerugian dan cara yang
digunakan dalam menggusur tanah rakyat.
Musyawarah menurut Ensiklopedia Indonesia diartikan
sebagai suatu cara pengambilan keputusan berdasarkan
pendirian seluruh anggota yang terlibat dan tidak berdasarkan
pada pendapat golongan tertentu. Dalam musyawarah pihak
pihak yang berapat harus saling menyesuaikan pendirian dan
pendapat masing masing, sehingga memperoleh kata sepakat
yang menjadi keputusan bersama.
Keppres No.55 Tahun 1993 pasal 1 ayat 5 menyatakan
bahwa musyawarah adalah suatu proses atau kegiatan saling
mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan
keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang
hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk
memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian.
77
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Husein (1997:4950) mengemukakan bahwa:
Pelaksanaan asas musyawarah harus dilakukan dengan
sungguh sungguh, tidak cukup hanya ditulis sebagai
bahan pelengkap dan alasan pembenar saja. Aspek
musyawarah tanpa diikuti dengan kesadaran dan tekad
yang besar untuk mewujudkannya, maka akan
menyebarkan fitnah yang tak berkesudahan.
Selanjutnya dikatakan bahwa oleh karena itu para pihak
yang terlibat tidak hanya menekankan pada tercapainya tujuan
menguasai tanah dengan segera, tanpa prosedur yang bertele
tele, tetapi harus sesuai dengan tujuan sebenarnya dari
penggusuran.
Sangat ideal apabila pengadaan tanah diperoleh dengan
cara peralihan berdasarkan kesepakatan antara pemegang hak
dan pihak yang memerlukan tanah, serta hak dan kewajiban
yang proposional dari kedua pihak, serta diberikan kesempatan
saluran, dorongan dan arahan berguna untuk mengekspresikan
hak dan kewajiban secara proposional. Namun demikian tidaklah
berarti bahwa pihak yang memerlukan tanah atau pemerintah
mengkondisikan pihak rakyat untuk tidak dapat mengemukakan
aspirasinya dengan cara ditakuti, diteror, diintimidasi, atau
berlindung dibalik peraturan yang tidak memberikan kesempatan
kepada pemegang hak atas tanah untuk ikut berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan menyangkut dirinya sendiri.
78
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Kendatipun penggusuran tanah untuk pelaksanaan
pembangunan, namun tanah sebagai komoditas umumnya
berada ditangan orang perorangan yang belum tentu
sepenuhnya bersedia menyerahkan tanahnya kepada pemerintah
untuk membangun suatu proyek. Menurut Abdurrahman
(1994
b
:5-6) memaksa orang untuk menyerahkan tanahnya pada
dasarnya sebuah perkosaan hak yang tidak seharusnya terjadi
dalam Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Menurut
Husein (1995:21) dalam era reformasi seperti sekarang
seharusnya tidak ada lagi penggusuran tanah mengatasnamakan
pemerintah, atau menujang kepentingan umum yang dilakukan
oleh swasta, melainkan penggusuran tanah untuk kepentingan
seluruh rakyat.
Pada hakekatnya pemenuhan rasa keadilan dalam
penggusuran tanah bertitik tolak pada ukuran formal pasal 33
UUD 1945 dan UUPA sampai seberapa jauh hakhak rakyat
dilindungi. Dilakukannya musyawarah sangat vital terhadap
seluruh kegiatan penggusuran tanah. Mulai dari penentuan
lokasi, izin lokasi, Pencadangan tanah, pembebasan, penetapan
ganti rugi, pemberian ganti rugi, dan seterusnya, harus benar
benar dimusyawarahkan dengan para pihak.
Namun praktek menunjukkan masih terjadi keresahan
dalam masyarakat. Hal ini menurut Mahendra (1996:283)
disebabkan dua hal yaitu: pertama, penyebab bersumber dari
79
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
birokrat pelaksana. Birokrat tidak memiliki pemahaman
keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan
perseorangan; keberpihakan birokrat lebih kepada pemerintah
dan atau pengusaha, disamping mengejar targettarget sebagai
ukuran prestasi, selain kolusi antara birokrat dan pengusaha.
Kedua, kelemahan normatif,yakni UUPA tidak mengenal istilah
pembebasan tanah yaitu melepaskan hubungan hukum yang
semula diantara pemegang hak dengan cara pemberian ganti
rugi. Selain itu pembebasan tanah mengandung konotasi bahwa
pemegang hak yang tanahnya dibebaskan dalam posisi yang
tidak seimbang dengan pihak yang membebaskan. Disamping itu
pemegang hak tidak terwakili dalam Panitia Pembebasan Tanah.
Menurut Abdurrahman (1994
b
:6) bahwa ada beberapa
alternatif untuk menghindari terjadinya konflik yaitu:
Rakyat tidak perlu melepaskan hak atas tanahnya kepada
Pemerintah dan untuk itu ia mendapat imbalan dalam
bentuk ganti kerugian, akan tetapi tetap menjadikan
rakyat berkuasa atas tanah tersebut mungkin melalui
sistem sewa dalam jangka waktu tertentu dan setelah
jangka waktu berakhir dapat diperpanjang lagi atau
dengan memasukkan warga masyarakat setempat
sebagai pemegang saham dari proyekproyek yang
dibangun di atas bekas tanah mereka.
80
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
D. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) mengatur
tentang pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa, guna
pencapaian tujuan negara melalui pembangunan yang
berkelanjutan.
Pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 antara lain
tercermin dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, yang
mengatur antara lain hak-hak atas tanah. Di samping
pengaturan hak mengusai negara (mengatur, mengurus,
mengawas) kaitannya dengan tata ruang dalam Pasal 2 ayat
(2) UUPA mengatur wewenang negara untuk:
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan
penggunaan persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa.
2. menentukan dan mengatur hubunganhubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa.
3. menentukan dan mengatur hubunganhubungan
hukum antara orang orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Mengenai tugas kewenangan tersebut secara khusus
diatur dalam Pasal 14 UUPA yang mewajibkan pemerintah
menyusun suatu rencana umum, yang kemudian dirinci lebih
81
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
lanjut dalam rencana regional dan daerah oleh Pemerintah
Daerah.
Kewenangan membuat rencana tersebut diatur dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
mengatur antara lain perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan penataan ruang
dilakukan secara integral dengan pengelolaan lingkungan hidup
dengan memperhatikan nilai-nilai, adat istiadat dan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal
9 UU No. 23 Tahun 1997.
Perlindungan hukum bagi rakyat bersumber dari
pembukaan UUD 1945 alinia ke empat yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan keadilan sosial. Dalam Pasal 18B ayat (2) dinyatakan
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Pasal
27, dan Pasal 28D ayat (1) setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Pasal 28F
hak untuk memperoleh informasi; Pasal 28G setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda; Pasal 28H setiap orang berhak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat; Pasal 28I identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati. Pasal 33 ayat
82
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
3, bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Perlindungan Hak-hak rakyat lebih lanjut diatur dalam
Tap MPR No. XVII/1998 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU No. 5/1960 yang mengatur antara lain hak-hak atas
tanah dan pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat adat atas
tanah, dan UU No. 24/1992 yang mengatur tentang
perlindungan terhadap hak-hak rakyat berkenaan dengan
implementasi rencana tata ruang yakni:
1. Hak untuk berpartisipasi / hak untuk didengar.
2. Hak untuk mendapatkan informasi/ pendidikan.
3. Hak untuk mendapat kerugian / penggantian yang layak.
4. Hak untuk menikmati manfaat tata ruang dan atau
pertambahan nilai ruang.
5. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dalam
musyawarah.
Pelaksanaan penataan ruang kota, menjadi
kewenangan, dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD
yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Kota, yang terdiri
atas Recana Umum Tata ruang Kota, Rencana Detail Tata
Ruang Kota dan Rencana Teknik Ruang Kota.
Implementasi Rencana Tata Ruang Kota Manokwari
yang merupakan sasaran penelitian ini adalah:
83
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
- Konsistensi antara aturan dengan pelaksanaan rencana
tata ruang kota; sebagai pengejawantahan penataan
kota yang aman, tertib, lancar, sehat melalui
pemanfaatan ruang kota sesuai kebutuhan dan daya
dukung.
- Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kota;
Sosialisasi rencana tata ruang kota; dan Musyawarah
dalam pengadaan tanah; sebagai pengejawantahan
perlindungan hak-hak rakyat atas tanah.
84
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Gambar 3
Skema Kerangka Pemikiran
UUD 1945
Rencana Tata Ruang Kota
(Peraturan Daerah)
Konsistensi Pelaksanaan
Rencana Tata Ruang Kota
Partisipasi masyarakat
Dalam Pelaksanaan
Rencana Tata Ruang Kota
Pelaksanaan Sosialisasi
Rencana Tata Ruang Kota
Pelaksanaan Musyawarah
dalam Pengadaan Tanah
Perlindungan
hak-hak
Rakyat atas
Tanah
Tap MPR No.XVII/1998
UU No. 5/1960
UU No. 24/1992
UU No. 23/1997
UU No. 39/1999
85
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Hipotesis Penelitian
1. Jika pelaksanaan penataan ruang kota Manokwari konsisten
dengan rencana tata ruang kota Manokwari, maka
pemanfaatan tanah ( ruang ) dapat dikendalikan.
2. Jika masyarakat berpartisipasi dalam penataan ruang kota;
tersosialisasinya rencana tata ruang kota; dan pelaksanaan
musyawarah yang terbuka dan demokratis dalam pengadaan
tanah, maka hak-hak rakyat atas tanah akan terlindungi.
86
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Daerah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Manokwari Ibu kota
Kecamatan sekaligus Kabupaten Manokwari; terletak pada
bagian kepala burung head of bird Propinsi Papua yang secara
geografis berada pada 13445 13235 Bujur Timur dan 015
hingga 325 Lintang Selatan.
Wilayah administrasi kota Manokwari terdiri atas 9
(sembilan) kelurahan yaitu Kelurahan Andai, Sowi, Wosi,
Sanggeng, Manokwari Barat, Padarni, Amban, Manokwari Timur,
dan Pasir Putih yang berbatasan dengan Samudera Pasifik di
sebelah utara, Kali Maripi di sebelah selatan, Teluk Doreh di
sebelah timur, dan perbukitan hutan pendidikan Tuwan wawi di
sebelah barat, dengan luas wilayah 72.100 Ha atau sekitar
17,04 % dari total luas kecamatan Manokwari 423.1100 Ha.
Jumlah penduduk kota Manokwari sampai dengan awal
tahun 1998 sebanyak 50,881 jiwa atau 68,33 % dari total
penduduk Kecamatan Manokwari. Jumlah tersebut terdiri atas
25,863 jiwa penduduk laki-laki dan 25,018 jiwa penduduk
perempuan (Pemda Manokwari, 1998:20).
87
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
B. Definisi Operasional Variabel
1. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang
yang terdiri atas fungsi ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
2. Penataan Ruang Kota adalah kebijaksanaan Pemerintah
Daerah dalam menetapkan peruntukan ruang kota, baik
sebagai kawasan permukiman, pola jaringan prasarana,
sarana sosial dan ekonomi, dan kawasan lainnya.
3. Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat
pemegang hak atas tanah dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian pemanfaatan ruang kota.
Indikator yaitu:
- Menyampaikan saran, pertimbangan, pendapat,
tanggapan, keberatan, masukan kepada pemda baik lisan
maupun tertulis.
- Menaati rencana tata ruang kota.
4. Sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah berupa pengumuman, dan
menyebarluaskan rencana tata ruang kota kepada
masyarakat, serta menumbuhkan dan mengembangkan
kesadaran dan tanggung jawab masyarakat melalui
penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan latihan.
88
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Indikator yaitu:
- Diumumkannya rencana tata ruang kota
- Penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan latihan.
- Mengetahui rencana tata ruang kota.
5. Pelaksanaan Musyawarah dalam pengadaan tanah adalah
suatu kondisi yang mencerminkan masyarakat pemegang
hak atas tanah didengar dan dihargai pendapatnya, yang
dilakukan secara terbuka tanpa kekerasan dan intimidasi.
Indikator yaitu:
- Masyarakat hadir dalam musyawarah
- Didengar pendapatnya, saling menghargai
- Adanya kesepakatan ganti rugi tanpa kekerasan dan
intimidasi.
6. Perlindungan hak-hak rakyat atas tanah adalah suatu kondisi
yang mencerminkan adanya partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang kota, masyarakat mengetahui rencana tata
ruang, pelaksanaan musyawarah yang demokratis menuju
pada pemberian ganti rugi yang layak.
Indikator yaitu:
- Masyarakat mengetahui rencana tata ruang
89
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
- Adanya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang
kota
- Adanya sosialisasi rencana tata ruang
- Adanya musyawarah yang terbuka dan demokratis
- Ganti rugi yang layak.
Parameter: Perlindungan hak-hak rakyat atas tanah adalah:
1. Dilindungi:
- Berpartisipasi dalam Rencana Tata Ruang Kota
- Mengetahui Rencana Tata Ruang Kota
- Musyawarah yang terbuka tanpa kekerasan dan
intimidasi, dan penggantian yang layak.
2. Kurang dilindungi:
- Kurang berpartisipasi.
- Kurang mengetahui Rencana Tata Ruang Kota.
- Musyawarah yang dilakukan sekadar formalitas,
dan ganti rugi tanah ditetapkan sepihak.
3. Tidak dilindungi:
- Tidak berpartisipasi
- Tidak mengetahui Rencana Tata Ruang Kota
- Musyawarah dilakukan setelah ada konflik, dan
tanpa ganti rugi (uang sekadar imbalan jasa).
90
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah pemegang hak atas tanah
di Kota Manokwari yang tersebar dalam 9 kelurahan, dan
Pejabat Pemda Manokwari dari instansi yang berwenang;
dengan karakteristik sebagai berikut:
a. Pemegang Hak Atas Tanah di kota Manokwari (Kepala
suku, Tetua adat dan warga kota), yang tanahnya
terkena proyek pembangunan, sebanyak 101 orang.
b. Pejabat Pemda yang dianggap mengetahui Rencana Tata
Ruang Kota Manokwari dari instansi yang berwenang
yaitu, Sekretariat Daerah, Bappeda, Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Pariwisata, Badan Pertanahan Kabupaten,
Camat Manokwari, Lurah se Kota Manokwari, Panitia
Pembebasan Tanah, Pengelola Proyek Pembangunan,
sebanyak 35 orang.
Jadi keseluruhan populasi dalam penelitian ini sebanyak
136 orang.
2. Sampel Penelitian
a. Untuk menjawab permasalahan pertama, responden
sebanyak 32 orang ditentukan secara random sampling
dari populasi sebanyak 35 orang
91
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
(sesuai tabel krejcie) dari Pejabat Instansi yang
berwenang.
b. Untuk menjawab permasalahan kedua, sampel penelitian
ditentukan sebesar 80 orang responden (sesuai tabel
krejcie) dari populasi masyarakat yang tanahnya terkena
proyek pembangunan, sebanyak 101 orang.
D. Jenis dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data
dan Alat yang Digunakan
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data empirik yang diperoleh dari
responden.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui hasil
penelusuran dan penelaahan studi kepustakaan serta
informasi dari pejabat instansi yang berwenang.
2. Teknik Pengumpulan Data, Alat yang Digunakan.
Guna mendapatkan data dipergunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut :
a. Observasi, teknik pengamatan yang dilakukan untuk
mengamati keadaan dan posisi pemanfaatan ruang.
92
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
b. Kuesioner, suatu alat pengumpul data, berisi daftar
pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada
responden. Pertanyaan-pertanyaan adalah berstruktur
dan tak berstruktur (lihat Faisal,1995:122).
c. Wawancara, teknik pengumpulan data dilakukan secara
bebas dalam bentuk tanya jawab dengan responden
maupun informan dengan menggunakan pedoman
wawancara, yang merupakan instrumen (lihat Soekanto,
1986:229 ; Soemitro, 1990:57).
E. Teknik Analisis
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dimaksudkan
mendeskripsikan tentang konsistensi pelaksanaan rencana tata
ruang kota. Sedangkan analisis kuantitatif dimaksudkan untuk
mengetahui hubungan penataan ruang kota dengan
perlindungan hak-hak rakyat atas tanah.
Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif
dan inferensial nonparametris. Analisis statistik deskriptif yang
digunakan adalah analisis statistik deskriptif persentase, dengan
rumus sebagai berikut:
P = % 100
N
f
Keterangan:
93
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
P = Persentase
f = Frekuensi pada klasifikasi atau kategori
N = Jumlah frekuensi dari seluruh klasifikasi atau kategori
variasi.
(Soemitro, 1990:81).
Formula statistik inferensial nonparametris yang digunakan
adalah:
X
2
=


h
h o
f
f f
2
) (
Di mana :
X
2
= Chi kuadrat
f
o
= Frekuensi yang diperoleh melalui hasil angket
f
h
= Frekuensi yang diharapkan.
Selanjutnya, untuk mengetahui derajat keeratan hubungan
antara variabel X yaitu partisipasi masyarakat, sosialisasi rencana
tata ruang, dan pelaksanaan musyawarah dalam pengadaan
tanah, dengan variabel Y yakni perlindungan hak-hak rakyat atas
tanah, digunakan uji koefisien kontingensi pearson dengan
formula:
94
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
KKP =
N X
X

2
2
Di mana :
KKP atau C = Koefisien kontingensi
X
2
hitung = Uji Chi Squere
N = Jumlah responden
Nilai KKP atau C dikonsultasikan dengan pedoman interpretasi
koefisien korelasi (Sugiyono, 1998:149) untuk mengetahui
tingkat keeratan hubungan berikut ini:
0,00 - 0,199 = sangat rendah.
0,20 - 0,399 = rendah.
0,40 - 0,599 = sedang.
0,60 - 0,799 = kuat.
0,80 - 1,000 = sangat kuat.
95
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penataan Ruang Kota Manokwari
1. Sejarah Singkat Hari Jadi Kota Manokwari
Kota Manokwari yang dikenal sebagai Kota
BERSEJARAH (bersih, sehat, sejahtera, rapi, aman dan
harmonis), dengan moto Tanna Naripi Sosane Besien
(Bekerja keras untuk hati senang), sejarahnya merupakan
bagian integral dari sejarah Irian Jaya, tanah Papua yang
dimulai pada abad ke-7, yang pada masa itu Irian Jaya tanah
Papua dikenal dengan sebutan Janggi oleh pedagang dari
Kerajaan Sriwijaya.
Mpu Prapanca (1365) dalam Kitab Negara Kertagama
dinyatakan bahwa Irian Jaya termasuk wilayah kerajaan
Majapahit. Buktinya dalam syair ke-15 didapati kata-kata
Ewanim yang ditafsirkan merupakan sebutan untuk Onim, dan
Sian untuk Kowiai yang keduanya merupakan daerah yang
terletak di Teluk Bintuni, Kabupaten Manokwari (Pemda
Manokwari, 1994:1).
Pada abad ke-14 Pantai Utara sampai Barat daerah
Kepala Burung sampai Namatota (Kabupaten Fak-fak) di sebelah
selatan, serta kepulauan Raja Ampat, dan sepanjang pesisir
Teluk Bintuni, termasuk dalam daerah Kekuasaan Sultan Tidore.
96
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Hal ini menunjukkan bahwa suku-suku bangsa Papua sejak
dahulu sudah mempunyai hubungan dengan suku-suku bangsa
di wilayah barat.
Pada tahun 1511 dua pelaut Eropa berkebangsaan
Portogis yakni Antonio D. Anease dan Fransisco Sorreano yang
pertama melihat pantai utara Irian dalam pelayarannya mencari
rempah-rempah, namun mereka tidak mendarat di pantai itu.
Don Jorge Demenezes orang Eropa pertama berkebangsaan
Portogis-lah yang pertama mendarat, dan memberi nama pulau
ini dengan penamaan Papua. Kata papua berasal dari kata
Melayu kuno Papuwah yang bermakna orang berambut keriting.
Sedangkan Ynigo Ortis de Retes merupakan orang pertama yang
memberi nama New Guinea, ketika berlabuh di muara sungai
Membramo (Pemda Manokwari, 1994:1).
Diantara sekian banyak bangsa yang pernah datang ke
Irian Jaya, tanah Papua, Belandalah yang kemudian berhasil
menguasai tanah papua, ditandai dengan Proklamasi Fort du
Bus, pada tanggal 24 Agustus 1898 oleh A. J. van Delden,
Komisaris Pemerintah Kerajaan Belanda. Guna memperkuat
pemerintahan Hindia Belanda, dibentuklah wilayah Irian Jaya,
dengan pos pemerintahan yang pertama di Manokwari
(Pemda Manokwari, 1994:2).
Pada hari selasa tanggal 8 November 1898 Residen
Ternate Dr. D.W. Horst melantik L. A. van Oosterzee menjadi
97
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
kontrolir wilayah Onderafdeling Irian Bagian Utara, wilayahnya
meliputi Tanjung Yermousba sampai ke Jayapura. Berdasarkan
stb 1898 Nomor 142, Kota Manokwari yang terletak di Teluk
Doreri ditetapkan sebagai tempat kedudukan kontrolir atau
ibukota Onderafdeling Irian Bagian Utara, yang pada waktu itu
termasuk wilayah Keresidenan Ternate. Berdasarkan Peristiwa
tersebut, tanggal 8 November 1898 ditetapkan sebagai hari jadi
Kota Manokwari, sebagaimana telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Manokwari Nomor 16
Tahun 1995 (Pemda Manokwari, 1994:3).
2. Kebijaksanaan Penataan Tanah Wilayah Bagian Kota
Manokwari
Rencana Umum Tata Ruang Kota pada dasarnya
merupakan penataan tanah/ruang suatu kota yang dilakukan
secara terpadu dan terkoordinasi dengan sumber daya manusia
dan sumber daya alam. Dalam penataan, dikehendaki adanya
keselarasan pengembangan dan pembangunan antara ruang
buatan/fisik bangunan dan lingkungan sehingga menjadi satu
kesatuan tata lingkungan yang dinamis dan terencana.
Penataan tanah perkotaan bertujuan untuk mengatur
ruang suatu kota sehingga terjadi interaksi ruang yang
terencana. Hal-hal yang diatur adalah Konsolidasi Tanah dan
Penyediaan Sarana dan Prasarana Perkotaan. Konsolidasi tanah
bertujuan mengoptimalisasi penggunaan tanah, pemanfaatan,
98
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
peningkatan produktivitas dan konservasi kelestarian lingkungan,
di samping pengembangan kota lebih terencana dan terkendali.
Sedangkan Penyediaan sarana dan prasarana kota merupakan
salah satu elemen yang direncanakan penggunaannya bagi
kepentingan pembangunan kota. Semua prosedur dan kegiatan
pembangunan kota yang berkenaan dengan penggunaan tanah
berdasarkan Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Keppres No. 97
Tahun 1993 implementasinya mengacu pada rencana tata ruang
yang berlaku yang telah disahkan menjadi peraturan daerah oleh
DPRD.
Kebijaksanaan penatagunaan tanah bagian wilayah kota
Manokwari, tercermin dalam RUTRK (Revisi Rencana Induk Kota
Manokwari 19852003) bertujuan:
1. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan yang
merupakan usaha dalam menciptakan keserasian dan
keseimbangan fungsi dan intensitas penggunaaan lahan
bagianbagian wilayah kota.
2. Menciptakan pengaturan dan perencanaan kota menurut
karakteristik wilayah dan fungsinya sehingga tercipta
keserasian dan keteraturan masingmasing bagian wilayah
kota.
3. Pencapaian tertib bangunan sebagai upaya pengendalian dan
pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kota.
4. Memberikan kemudahan bagi masyarakat kota maupun
aparat pengelola kota dalam ijin membangun.
Penataan tanah bagian wilayah kota terbagi dalam 4
BWK dengan karakteristik sebagai berikut:
99
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
1. BWK Pusat Kota (BWK A), merupakan pusat kegiatan kota
yang berorientasi pada kegiatan perdagangan,
pemerintahan, jasa komersial dan pelabuhan. Pada masa
mendatang BWK ini dikembangkan sebagai pusat kegiatan
perdagangan (central bussines distric) dan kegiatan sosial
budaya (civic center) dengan luas 1.093 hektar. BWK A ini
berfungsi sebagai:
a. Pusat pelayanan perdagangan dan jasa, dengan
pengembangan pada kawasan yang sudah ada yaitu
sekitar jalan Merdeka, Yos Soedarso dan Jl. Soedirman.
b. Pusata pelayanan pemerintahan (kabupaten) dengan
pengembangan kawasan yang sudah ada yaitu sekitar
jalan percetakan.
c. Pusat pelayanan jasa komersial (perdagangan,
perkantoran, dan pariwisata), dengan pengembangan
kawasan berorientasi pada kawasan teluk Sawaibu.
d. Pusat kegiatan pelabuhan dengan pengembangan pada
kawasan yang sudah ada dengan melakukan penataan
tata ruang yang sesuai antara kegiatan penunjang yaitu
industriindustri pengolahan, galangan kapal dan
perumahan.
100
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
2. BWK Barat (BWK B)
Bagian ini direncanakan mengemban fungsi sebagai pusat
pendidikan tinggi, pusat penelitian kehutanan dan rekreasi
yang bersifat alam. Elemen utama terdiri atas kawasan
pendidikan dengan luas 2.400 hektar. BWK B ini berfungsi:
a. Pusat pelayanan pendidikan tingkat universitas dan
kegiatan penelitiaan, meliputi daerah Amban dan daerah
mengarah ke Bakaro.
b. Kawasan untuk kegiatan perkantoran dan perumahan
karyawan/ mahasiswa, penduduk (fungsi penunjang).
c. Sebagai daerah hijau, resapan air, maupun sebagai
penahan gempuran ombak laut.
3. BWK Timur (BWK C)
Bagian ini direncakan untuk pengembangan kegiatan yang
memiliki intensitas rendah yakni kegiatan perumahan,
pertanian, perkebunan, peternakan. Elemen utama berupa
kawasan perumahan dan hutan lindung serta pelestarian
perumahan penduduk asli, dengan luas 4.680 hektar. Pusat
jasa pelayanan berlokasi di Nuni. Fungsi kawasan ini sebagai
pusat kegiatan perumahan, dan bersifat melayani kegiatan
perdagangan dan jasa pada BWK A.
101
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
4. BWK Selatan (BWK D)
Fungsi yang diemban kawasan dengan luas 1.400 hektar,di
daerah Arfai ini adalah :
a. Pusat kegiatan Pemerintah Propinsi
b. Pusat industri kecil
c. Pusat kegiatan transportasi udara
d. Pelabuhan ekspor kelapa sawit
e. Jasa pelayanan (perdagangan, TVRI, RRI).
Sedangkan elemen penunjang meliputi Kawasan militer,
rekreasi dan perumahan.
102
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 1. Pemanfaatan Lahan Tiap BWK di Kota
Manokwari
No BWK BLOK
LUAS
BLOK
LAHAN
TERBANGUN
LAHAN YANG
DIKEMBANGKAN
KETERANGAN
A 1
2
3
4
5
6
7
8
133
177
56
20
60
288
64
420
30
52
25
14
54
83
55
188
0
0
31
5
6
200
9
215
1.
TOTAL LUAS 1.218 501 466
Perbaikan Lingkungan
Pengembangan baru
B 1
2
3
4
5
360
520
840
440
240
16
8
2
60
14
180
400
0
0
0
2.
TOTAL LUAS 2.400 100 580
Pengembangan baru
Konservasi
Konservasi
Konsevasi
C 1
2
1.120
3.560
6
52
800
600
Pembangunan 3.
TOTAL LUAS 4.680 58 1.400
D 1
2
3
800
480
120
20
39
30
600
400
80
4.
TOTAL LUAS 1.400 89 1.080
Pembangunan baru
Sumber: RUTRK (19852003)
103
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
3. Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kota
Manokwari, patut dilakukan pengawasan agar pelaksanaan
pembangunan konsisten dengan rencana tata ruang kota.
Instrumen pengawasan sebagaimana tertuang dalam
RUTRK (1985 2003) Kompilasi Data, dan RUTRK (rencana)
19982007, sebagai berikut:
1. Izin Lokasi/Advis Planning.
Ijin lokasi adalah ijin yang diberikan kepada orang
dan atau badan usaha yang menyatakan diperbolehkan
dimanfaatkannya lahan untuk mendirikan bangunan sesuai
peruntukan sebagaimana diatur dalam rencana tata ruang
kota.
Menurut Kepala Seksi Penatagunaan Tanah Kantor
Pertanahan Kabupaten Manokwari (wawancara, 15 Januari
2001) bahwa izin lokasi di kota Manokwari selama ini sesuai
dengan tata guna tanah, karena dalam izin lokasi telah
terkoordinasi secara terintegrasi antara instansi teknis terkait
melalui rapat koordinasi izin lokasi.
Selain izin lokasi digunakan sebagai instrumen
pengendalian tata guna tanah, lebih lanjut dikatakn bahwa
penerbitan sertifikat tanah dipertimbangkan pula peruntukan
tanah dan kesesuaiannya dengan rencana tata ruang, yang
104
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
operasionalnya dalam bentuk aspek tata guna tanah
(wawancara 15 Januari 2001).
Izin lokasi, khusus di kota Manokwari sebagaimana
tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Izin Lokasi di kota Manokwari s.d. tahun 2000
No. Nama Penerima Izin Nomor izin dan Tgl Luas Lokasi
1. PT.Wamesa Alam
Wisata
06/IL/1996
27 November 1996
6 Ha Kelurahan Sowi
(Arfai)
2. Irman Jaya Martabe 04/IL/1996
28 Agustus 1996
5 Ha Kelurahan
Manokwari Barat
3. Irman Jaya Martabe 05/IL/1996
11 November 1996
5 Ha Kelurahan Amban
4. PT. Artha Makmur
Permai
02/IL/1997
23 Juni 1997
10 Ha Kelurahan Sowi
5. PT. Artha Makmur
Permai
01/IL/1998
13 Januari 1998
12 Ha Kelurahan Sowi
6. Puskopad A Dam VIII
Trikora
02/IL/1998
16 Maret 1998
1,5 Ha Kelurahan Sowi
7. Puskopad A Dam VIII
Trikora
250 Tahun1999
28 Juni 1999
1 Ha Kelurahan Pasir
Putih
Sumber: Data Sekunder diolah
Menurut Nurmandi (1999:136) izin lokasi adalah
perizinan pembangunan perumahan atau kegiatan fungsional
105
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
lainnya yang dimaksudkan untuk mengarahkan dan
mengendalikan perkembangan pemanfaatan dan
penggunaan lahan dan mengarahkan pembangunan ke
lokasi-lokasi yang tepat guna dari segi penyediaan sarana
dan prasarana. Selanjutnya dinyatakan bahwa permasalahan
yang sering dihadapi adalah produk izin lokasi yang ada tidak
terintegrasi dengan prosedur dan produk pembebasan lahan;
sering kali izin lokasi tidak didasarkan kepada rencana tata
ruang, karena setelah memperoleh izin dari BPN, mereka
tidak melakukan koordinasi dengan Bappeda.
2. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Izin ini diberikan kepada perorangan maupun badan
usaha untuk memperoleh izin bangunan. Pemberian IMB ini
harus diperhatikan ketentuanketentuan sebagai berikut:
a. Izin mendirikan bangunan ditetapkan berdasarkan
RUTRK IMB diberikan kepada setiap pemohon dengan
persyaratan yaitu :
1). Izin lokasi dari Bappeda
2). Formulir permohonan
3). Surat bukti hak atas tanah
4). Gambar rencana bangunan dan rencana konstruksi.
Di samping itu harus mendapatkan keterangan
tentang arahan perencanaan dari Dinas Pekerjaan Umum
106
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
tentang rencana mendirikan bangunan yang meliputi:
jenis peruntukan tanah dan bangunan, garis sempadan
bangunan (GSB) yang berlaku, koefisien dasar bangunan
(KDB) yang diizinkan, koefisien Lantai bangunan (KLB)
yang diizinkan.
b. IMB dapat diberikan pula, manakala kawasan tersebut
belum ada rencana tata ruang kotanya, namun dapat
berpedoman pada ketentuanketentuan teknis
sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan daerah
tentang bangunan.
Tabel 3. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
n = 80
No. Kategori jawaban Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Ada IMB
IMB dalam proses
Tidak ada IMB
36
-
44
45
-
55
Jumlah 80 100
Sumber: Data primer diolah
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 80 responden yang
menjawab memiliki IMB sebanyak 36 orang atau 45 persen.
Sedangkan 44 responden atau 55 persen tidak memiliki IMB.
107
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
3. Izin Penggunaan Bangunan (IPB)
IPB diperlukan guna mengontrol penggunaan
bangunan yang telah dibangun, terutama keandalan
kontruksi bangunannya.
Pengajuan IPB dilakukan secara tertulis kepada Bupati
melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten bersamaan
dengan pengajuan IMB.
Izin Penggunaan Bangunan mencakup beberapa materi
pokok antara lain :bangunan yang akan didirikan
penggunaannya harus sesuai dengan rencana penggunaan
lahan, ratio antara luas lantai bangunan dengan luas lahan,
garis sempadan jalan, jumlah tingkat bangunan, bentuk dan
tipe yang secara keseluruhan telah ditetapkan dalam rencana
tata ruang kota.
4. Izin Penghapusan Bangunan ( IHB )
IHB yaitu izin yang diberikan untuk
menghapuskan/merobohkan bangunan secara total baik
secara fisik maupun secara fungsi, sebagaimana tercantum
dalam IMB.
IHB merupakan wewenang Bupati, dan dapat
memerintahkan pemilik bangunan untuk merobohkan
bangunan yang dinyatakan tidak layak secara fisik
108
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
bangunan/rapuh; dan tidak sesuai dengan tata ruang kota
dan ketentuan lain yang berlaku.
Dasar hukum mengenai izin mendirikan bangunan,
ijin penggunaan bangunan, dan ijin penghapusan bangunan di
atur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/1989
tentang Tata Cara Mendirikan Bangunan, dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 32 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan.
4. Inkonsistensi Penataan Ruang Kota.
Rencana Tata Ruang Kota Manokwari adalah rencana
yang menjadi pedoman peruntukan lahan (ruang) di suatu
kawasan tertentu. Pedoman tersebut diperlukan agar
penggunaan lahan (ruang) dapat mendatangkan manfaat
maksimal bagi masyarakat, sekaligus untuk menghindari dampak
yang merugikan berbagai pihak.
Untuk menjamin Rencana Tata Ruang Kota Manokwari
ditaati oleh semua pihak, maka Rencana Tata Ruang Kota
tersebut ditetapkan oleh legislatif bersama-sama dengan
eksekutif menjadi peraturan daerah, sebagaimana Peraturan
Daerah Kabupaten Dati II Manokwari Nomor 9 Tahun 1987
tentang Rencana Induk Kota Manokwari Tahun 1984-2004.
Pada kenyataannya Rencana Tata Ruang Kota tersebut
belum sepenuhnya ditaati, masih terdapat pelanggaran. Bentuk
109
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
pelanggaran yang terjadi adalah penggunaan lahan tidak sesuai
dengan peruntukan suatu kawasan, atau penggunaan bangunan
tidak sesuai dengan peruntukan, seperti penggunaan rumah
tinggal sebagai tempat kegiatan usaha, serta mendirikan
bangunan tidak sesuai dengan ijin pemberiannya.
Menurut Mokoginta (1999:131) guna memberikan
perlindungan terhadap masyarakat luas, maka segala sesuatu
yang berhubungan dengan pelaksaanaan Rencana Umum Tata
Ruang Kota, termasuk rencana-rencana detailnya, wajib
dijelaskan oleh pemerintah. Pemaparan rencana tersebut
bertujuan agar masyarakat memahami, dan mematuhi ketentuan
tersebut, sehingga kekeliruan yang bakal merugikan banyak
pihak, terhindar.
Namun realitas menunjukkan terjadi inkonsistensi
sebagaimana nampak pada tabel berikut ini.
110
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 4 : Pelaksanaan pembangunan kota Manokwari
konsisten dengan RUTRK kota Manokwari.
n = 32
No. Pendapat Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Konsisten
Belum konsisten
Tidak konsisten
2
30
0
6,25
93,75
0
J U M L A H 32 100
Sumber : Data primer diolah
Dari tabel tersebut terdeskripsi bahwa responden yang
menjawab pelaksanaan pembangunan Kota Manokwari konsisten
dengan RUTRK adalah dua orang atau 6,25 persen. Hal ini
disebabkan responden mendasarkan penilaiannya pada ruang
lingkup kerjanya saja, yakni dengan alasan setiap rekomendasi
yang dikeluarkan sudah sesuai dengan RUTRK. Hal tersebut
benar dalam konteks lingkup kerja instansional, namun
konsistensi pembangunan yang sesuai dengan RUTRK harus
dikaji secara holistik. Respoden yang menjawab pelaksanaan
pembangunan Kota Manokwari belum konsisten dengan RUTRK
adalah 30 Orang atau 93,75 persen. Alasan belum konsistennya
pelaksanaan pembangunan Kota Manokwari terkuak pada
pembahasan penilaian dan evaluasi RUTRK 1984-2004.
Deskripsi mengenai seberapa jauh inkonsistensi
pelaksanaan Rencana Umum Tata Ruang Kota, maka acuannya
adalah Rencana Induk Kota Manokwari tahun 19842004. Pada
111
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
tahun 1998, Pemerintah Daerah melakukan revisi terhadap
RUTRK akibat terjadi deviasi atau penyimpangan (inkonsistensi)
sebagaimana dalam tabel berikut ini.
Tabel 5: Deviasi Rencana Induk Kota Manokwari Tahun
19842004
No. R I K 1985 2004 Fakta / Eksisting Deviasi
1 2 3 4
1. Wilayah perencanaan terdiri atas
5 kelurahan
Wilayah perencanaan
dimekarkan menjadi 9
kelurahan dan 3 desa
Terjadi
deviasi
2. Pengembangan Tata Ruang
Diarahkan pada kawasan-kawasan
kota yang belum terbangun,
realokasi bagi penggunaan ruang
yang tidak sesuai menurut
fungsinya dijaga kelestariannya.
Kecenderungan
perkembangan kota
Manokwari berkembang
mengikuti jaringan jalan
Terjadi
deviasi
3. Arah pengembangan fisik kota
Pengembangan fisik kota
mengarah ke sebelah utara,
selatan dan timur
Pengembangan kota
hanya terjadi di sekitar
kawasan fisik kota ,dan
utara pusat kota (
Amban) mengikuti
jaringan jalan.
Kurang
berkemban
gnya
pembangun
an fisik di
sebelah
timur dan
selatan
pusat kota.
4. Struktur pengembangan kota
Pada BWK A diarahkan fungsinya
sebagai pusat pelayanan
perdagangan, jasa, industri,
pemerintahan, pelabuhan laut,
pelayanan sosial ekonomi.
BWK B diarahkan fungsinya untuk
kegiatan pendidikan, pemukiman
dan konservasi.
Adanya pergeseran
peruntukan lahan
pengembangan di semua
BWK
Terjadi
deviasi
112
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
BWK C diarahkan fungsinya untuk
pelayanan kegiatan permukiman
dan kawasan hijau.
BWK D diarahkan fungsinya untuk
kegiatan bandara, kawasan
cadangan pemerintah propinsi dan
pemukiman
5. Rencana pemanfaatan lahan
i. BWK pusat kota ( BWK A )
direncanakan bagi
pengembangan lahan kegiatan
utama kota yaitu kegiatan jasa
dan perdagangan,
pemerintahan, industri,
pelabuhan laut, rekreasi pantai,
terminal regional dan kota,
pasar pusat.
ii. BWK barat pusat kota (BWK B)
di-rencanakan bagi
pengembangan lahan kegiatan
pusat pendidikan perguruan
tinggi ( Uncen ), hutan lindung
dan konservasi, kawasan hijau
dan peru- mahan.
iii. BWK timur pusat kota (BWK C)
di- rencanakan bagi
pengembangan lahan kegiatan
perumahan penduduk dan
daerah hijau.
iv. BWK selatan pusat kota (BWK
D) direncanakan bagi
pengembangan la- han
kegiatan Bandara Rendani,
kawasan cadangan
pemerintahan propinsi, terminal
regional dan per- gudangan
perumahan dan kebun
campuran.
* Pada BWK A terjadi
perubahan dan
pergeseran fungsi lahan
berbagai kegiatan kota.
* Pola penggunaan dan
pemanfaatan lahan di
BWK B ini sudah mulai
tumbuh dan berkembang
kawasan pemukiman
penduduk terutama di
sepanjang jaringan jalan.
* Pada BWK C
peruntukan lahan
kegiatannya masih
banyak didominasi oleh
peruntukan lahan hutan
dan kebun campuran.
*Pada BWK D
peruntukan lahan ke-
giatan sudah mulai
tumbuh dan ber-
kembang fisik bangunan
terutama di sekitar
jaringan jalan yang ada.
Terjadi
pergeseran
penggunaa
n lahan.
Terjadi
pergeseran
penggunaa
n lahan
Terjadi
pergeseran
penggunaa
n lahan
Terjadi
pergeseran
penggunaa
n lahan
113
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
6. Kependudukan
a. Laju pertumbuhan penduduk
rata- rata pertahun adalah
sebesar 4 % sehingga proyeksi
s.d akhir tahun perencanaan
2004 adalah 75.117 jiwa.
b. Rencana kepadatan dan
distribusi penduduk di masing-
masing BWK berdasarkan
proyeksi penduduk ta-hun 2004
sesuai dengan fungsi masing-
masing BWK.
Laju pertumbuhan
penduduk kota sebesar
1,23 % per tahun, jika
dipro- yeksikan sampai
akhir tahun perencanaan
2004 sebesar 61.729
jiwa.
Terjadinya
laju
pertumbuha
n penduduk
yang
berbeda
menye-
babkan pola
sebaran
penduduk
akan
berbeda.
7. Transportasi
a. Pelabuhan laut
Direncanakan pengembangan
dan perluasan fasilitas
pelabuhan di BWK A yaitu di
sekitar pesisir pantai teluk
Sawaibu.
Tidak terjadi perluasan
kawasan
Perluasan
dan
pengemban
gan
kawasan
pelabuhan
tidak
terealisasi.
b.Perhubungan darat
Jaringan jalan baru
direncanakan di setiap BWK
yang menghubungkan antar
BWK dan ke pusat pelayanan
yang meliputi :
- Rencana jalan arteri sekunder
yang menghubungkan BWK C
BWK D
- Rencana jalan arteri sekunder
di pantai utara BWK B.
- Rencana jalan lokal sekunder
di BWK A, BWK B dan BWK
Kawasan yang
direncanakan masih
berupa lahan hutan dan
kebun campuran
Terjadi
deviasi
114
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
8.
D.
Rencana Terminal dan
pergudangan dialokasikan di
Maripi (BWK D )
Kawasan Hutan Lindung (hutan
jati)
Lokasi terminal regional
yang baru berada di
kelurahan Wosi.
Permukiman penduduk
Terjadi
deviasi
Terjadi
deviasi
Sumber : Data Sekunder dan Primer, diolah.
Penyebab belum konsistennya pembangunan di Kota
Manokwari disebabkan hal-hal sebagaimana jawaban responden
pada tabel berikut ini:
Tabel 6 : Penyebab belum konsistennya pelaksanaan
pembangunan dengan RUTRK.
n = 32
No. Pendapat Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
4.
5.
Kebijakan Pemda
Kurangnya koordinasi antar instansi
pelaksana pembangunan kota.
Kurang efektif fungsi pengawasan
pembangunan
oleh instansi berwenang.
Lemahnya pengendalian sosial
warga kota terhadap pelaksanaan
RUTRK
Manajemen belum didukung oleh
ketersediaan sumber daya birokrat
yang memadai.
2
13
6
3
6
6,66
43,33
20
10
20
J U M L A H 32 100
Sumber : Data primer diolah
115
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Inkonsistensi tersebut terjadi akibat:
1. Kebijakan Pemerintah Daerah.
Penyimpangan tata ruang kota diakibatkan oleh
kebijakan pemerintah daerah dijawab oleh 2 responden atau
6,66 persen. Pada umumnya penyimpangan semacam ini
terjadi dalam hal ada sesuatu proyek atau ada investor yang
mengingini suatu lahan guna penanaman modal. Karena
orientasi pemda hanya pada peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD) sehingga lokasi yang dikehendaki oleh investor
disetujui, kendatipun diketahui bahwa hal itu bertentangan
dengan RUTRK. Hal ini dilakukan karena ketakutan investor
akan mengalihkan modalnya ke daerah lain.
2. Kurangnya koordinasi antar instansi pelaksana pembangunan
kota.
Kurang koordinasi dijawab oleh 13 responden atau
43,33 persen. Pelaksanaan pembangunan kota belum
terkoordinasi dengan baik antara berbagai instansi terkait
akibat masih kuatnya ego sektoral. Bentuk koordinasi harus
lebih konkret, bukan saja pada saat rapat koordinasi
pembangunan daerah, melainkan yang penting adalah rapat
koordinasi antara instansi pengelola proyek dengan instansi
terkait (antara Bappeda, BPN, PU, Panitia Pengadaan Tanah)
sebelum proyek dilaksanakan.
116
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
3. Kurang efektif fungsi pengawasan pembangunan oleh
instansi yang berwenang .
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang
kota, patut dilakukan pengawasan agar pelaksanaan
pembangunan konsisten dengan rencana tata ruang kota.
Kurangnya pengawasan menurut responden sebanyak 6
orang atau 20 persen. Hal ini menunjukkan berbagai
instrumen pengawasan pembangunan belum digunakan
secara optimal oleh pemerintah daerah. Akibatnya terjadi
kesemrawutan dan degradasi estetika kota. Instrumen
pengawasan berkaitan dengan perizinan antara lain Izin
Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Penggunaan
Bangunan, Izin Penghapusan Bangunan, Surat Izin Tempat
Usaha.
4. Lemahnya pengendalian sosial warga kota terhadap
pelaksanaan RUTRK.
Responden yang menjawab lemahnya pengendalian
sosial warga sebanyak 3 orang atau 10 persen. Secara umum
seyogianya warga kota berperan aktif mengontrol
pelaksanaan Rencana Umum Tata Ruang Kota. Namun
Realitas menunjukkan bahwa masyarakat di kota Manokwari
tidak dapat mengontrol bahkan melakukan pelanggaran
terhadap rencana tata ruang karena disinformasi rencana
pembangunan yang sesuai dengan RUTRK. Hal ini
117
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
disebabkan masyarakat selama ini tidak mengetahui RUTRK,
bahkan tidak diikutsertakan dalam perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Di
samping masyarakat selama ini belum diberdayakan.
5. Manajemen perkotaan belum didukung oleh ketersediaan
SDM Birokrat yang memadai.
Berdasarkan tabel responden yang menjawab
penyebab ini sebanyak 6 orang atau 20 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah klasik yang selama ini
menghantui pelaksanaan pembangunan kota adalah belum
memadainya ketersediaan sumber daya manusia, khususnya
sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam
pelaksanaan pembangunan kota. Akibatnya terjadi
perbedaan penafsiran terhadap rencana tata ruang, seperti
penerbitan SITU (surat izin tempat usaha), SIU (surat izin
usaha) diberikan kepada pengusaha dengan alasan sudah
sesuai dengan prosedur, yakni pernyataan tidak
berkeberatan dari warga sekitar tempat usaha, rekomendasi
Lurah, Camat, ada IMB (izin mendirikan bangunan)tanpa
melihat kawasan tempat usaha tersebut apakah untuk
pemukiman ataukah untuk perdagangan (tanpa
mempersoalkan faktor peruntukan).
118
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Menurut Kepala Seksi Penatagunaan Tanah Kantor
Pertanahan Kabupaten Manokwari, bahwa pelaksanaan
pembangunan kota Manokwari menyimpang dari tata guna
tanah yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan pertumbuhan
penduduk di kawasan perkotaan mendorong terjadinya
pemanfaatan tanah perkotaan tidak terarah sesuai tata guna
tanah, terutama pada pusat-pusat kegiatan perkotaan, seperti di
kompleks pasar, sepanjang pantai/pelabuhan. Dinyatakan pula
bahwa tata guna tanah yang dibuat oleh BPN merupakan
implementasi kebijakan Pemerintah Daerah sebagaimana dalam
Pola Dasar Pembangunan daerah dan Rencana Tata Ruang kota
(wawancara 15 Januari 2001).
Tidak konsistennya pelaksanaan Rencana Tata Ruang
Kota merupakan suatu pelanggaran dengan pertimbangan
bahwa secara normatif Rencana Tata Ruang Kota Manokwari
merupakan produk hukum yang mengikat karena memiliki nilai
legalitas sebagai peraturan daerah. Konsekuensinya semua
pembangunan fisik harus sesuai dengan ketentuan Rencana Tata
Ruang Kota, sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan
pembangunan di suatu wilayah tertentu. Oleh karena itu setiap
bentuk pelanggaran dan penyimpangan, seharusnya dikenakan
sanksi.
119
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeda
Kabupaten Manokwari mengemukakan bahwa Rencana Tata
Ruang itu bersifat fleksibel, menyesuaikan dengan keadaan yang
ada, hanya pada hal-hal yang prinsip seperti hutan lindung, itu
yang dibakukan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa
inkonsistensi penataan ruang kota Manokwari disebabkan
perkembangan penduduk (wawancara, 22 Januari 2001).
Meskipun Rencana tata Ruang Kota bersifat dinamis,
artinya pemerintah daerah sewaktu-waktu dapat menyesuaikan
dengan perkembangan di suatu kawasan, penyesuaian tersebut
seharusnya tidak berdasarkan kebijaksanaan pemerintah
semata, melainkan mengikutsertakan DPRD karena derajat
hukum Rencana Tata Ruang Kota Manokwari sebagai peraturan
daerah.
Penyebab tidak konsistennya pelaksanaan pembangunan
dengan rencana tata ruang kota tersebut di atas terbentur pada
berbagai hambatan atau kendala sebagaimana pada tabel 7
berikut ini:
120
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 7: Kendala pengaturan penggunaan tanah di kota
Manokwari
n = 32
No. Pendapat Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
4.
Sistem administrasi pertanahan
belum baik dan lengkap
Informasi pertanahan belum akurat
Kurangnya publikasi RUTRK dan
peraturan pertanahan
Ketidakpastian pemilikan tanah adat
4
3
20
5
12,5
9,375
62,5
15,625
J U M L A H 32 100
Sumber : Data primer diolah
Dari tabel tersebut ternyata bahwa responden yang
menjawab sistem administrasi pertanahan belum baik dan
lengkap sebanyak 4 responden atau 12,5 persen. Sedangkan
yang menjawab informasi pertanahan belum akurat sebanyak 3
responden atau 9,375 persen. Jawaban responden tersebut
dihubungkan dengan kondisi administrasi di kantor pertanahan,
sulit mendapatkan informasi yang tepat mengenai status tanah
dan kepemilikannya apabila hendak dibutuhkan tanah untuk
sesuatu kegiatan pembangunan. Di samping itu kadangkala
terjadi perbedaan tata letak pada peta atau surat ukur dengan
kondisi senyatanya, bahkan terjadi duplikasi pengukuran atau
sertifikat.
121
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Kendala yang menonjol dalam pengaturan penggunaan
tanah di kota Manokwari menurut responden adalah kurangnya
publikasi RUTRK dan peraturan pertanahan yakni 20
responden atau 62,5 persen. Selama ini RUTRK kurang
dipublikasikan kepada masyarakat. Publikasi yang terjadi hanya
kepada aparatur (pejabat) pemerintah yang terkait saja.
Sedangkan sosialisasi kepada masyarakat hanya bersifat
insedental, melalui pengumuman, penyuluhan yang sering salah
sasaran (masyarakat yang tanahnya menjadi objek penataan
tidak diikutkan). Selain ketiga kategori jawaban di atas, maka
jawaban yang keempat adalah ketidakpastian pemilikan tanah
adat oleh 5 responden atau 15,625 persen.
Ketidakpastian pemilikan tanah adat, merupakan salah
satu fenomena aktual. Kondisi ini diwarnai adanya berbagai
tuntutan masyarakat adat terhadap tanah, baik yang telah
dibebaskan oleh pemerintah maupun yang dibeli oleh
masyarakat. Ada dua ciri yang menimbulkan ketidakpastian
yaitu: pertama, adanya tuntutan tambahan pembayaran oleh
bekas pemilik dan atau keturunannya terhadap tanah yang telah
dijual, dengan alasan harga jual saat itu tidak layak (terlalu
kecil). Kedua, tuntutan pembayaran oleh pihak ketiga terhadap
tanah yang telah dibebaskan oleh pemerintah (termasuk tanah
konversi hak barat) dan tanah yang telah dijual lainnya, dengan
alasan pihak yang menjual pertama tidak memiliki alas hak yang
122
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
kuat. Kondisi ini menimbulkan keresahan bahkan konflik antar
masyarakat. Ironisnya berbagai tuntutan tersebut direspons
secara tidak proporsional oleh Pemerintah Daerah Manokwari.
Pada awalnya ada satu kasus disampaikan ke Pengadilan Negeri
Manokwari, namun kemudian terjadi perdamaian dengan alasan
situasi politik yang rawan. Konsekwensinya Pemerintah Daerah
memenuhi tuntutan masyarakat (pihak ketiga), tanpa suatu
penyelesaian hukum yang tepat untuk mengetahui alas hak yang
sebenarnya. Dampaknya kini bermunculan berbagai tuntutan
dari pihak ketiga, bahkan disertai kekerasan yang tentunya
mempengaruhi kinerja pemerintah daerah.
Berbagai penyimpangan Rencana Tata Ruang kota dan
berbagai kendala tersebut di atas selaras dengan hambatan
penatan ruang sebagaimana dikemukakan oleh Kartasasmita
(1996:431) bahwa upaya penataan ruang selama ini
menghadapi berbagai hambatan, antara lain karena data dan
informasi yang kurang lengkap, termasuk ketidakseragaman
peta dasar yang digunakan dalam penataan ruang; kemampuan
sumber daya manusia yang masih terbatas terutama di daerah;
kurangnya koordinasi antarpihak yang terlibat dalam
penyusunan rencana tata ruang; masih banyaknya pihak yang
berkepentingan dalam penataan ruang yang belum memahami
secara benar mengenai penataan ruang; dan kurang
123
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
transparannya penataan ruang dan kebijaksanaan penggunaan
lahan (ruang).
Menurut Mokoginta (1999:134) penetapan rencana tata
ruang kota sebagai peraturan daerah belum sepenuhnya mampu
mengatur pelaksanaan peruntukan sesuai rencana. Dan yang
mempunyai andil besar terhadap terjadinya penyimpangan,
bukan masyarakat tetapi juga aparat pemerintah daerah.
Sebagai suatu konsep, Rencana Tata Ruang Kota tidak
mampu mengantisipasi akselerasi pembangunan. Padahal, dalam
penerapannya mengandung sifat kedinamisan. Namun karena
mengandung risiko hukum, maka proses perencanaan dan atau
revisi seyogianya mengikutsertakan masyarakat dalam hal ini
DPRD, dan harus disebarluaskan kepada seluruh masyarakat.
Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan atau
penyimpangan penggunaan bangunan, maka pendirian suatu
bangunan, selain harus memiliki izin mendirikan bangunan
(IMB), juga lengkap dengan izin penggunaan bangunan (IPB).
Guna mencegah penyalahgunaan dan penyimpangan, maka
faktor pengawasan mutlak diperlukan. Menurut Mokoginta
(1999:135) aparat yang terlibat dalam fungsi pengawasan
hendaknya tidak terbatas pada pengertian struktural birokratis,
tetapi juga dari masyarakat, terutama dari kalangan pers. Selain
pengawasan diperlukan pula penerapan asas-asas pemerintahan
yang baik antara lain asas kepastian hukum. Hal ini kurang
124
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
diperhatikan, di mana hingga kini revisi RUTRK belum ditetapkan
menjadi peraturan daerah, sebagaimana dikemukakan Kabag
Hukum Setda Kabupaten Manokwari bahwa Rencana Induk Kota
Manokwari berdasarkan Perda No. 9 Tahun 1987 mengalami
revisi, namun perubahan tersebut belum ditetapkan menjadi
peraturan daerah. Hal ini disebabkan terjadinya kebuntuan
dalam pembahasan di DPRD (sebelum pemilu 1999) karena
pihak eksekutif tak dapat meyakinkan DPRD mengenai salah
satu kebijaksanaan bagian wilayah kota (BWK) di Kota
Manokwari (Wawancara, 18 Januari 2001).
B. Analisis Hubungan Penataan Ruang Kota dengan
Perlindungan Hak-hak Rakyat atas Tanah.
Pengejawantahan perlindungan hak-hak rakyat atas
tanah yang bersifat preventif terindikasi pada pelaksaanaan
partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, sosialisasi rencana
tata ruang, dan musyawarah dalam pengadaan tanah,
sebagaimana terungkap dalam hasil penelitian dan analisis
berikut ini.
1. Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang Kota.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian tinjauan
pustaka bahwa partisipasi masyarakat berupa partisipasi para
ilmuan, pengusaha, praktisi hukum dan partisipasi masyarakat
umum.
125
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Partisipasi masyarakat yang merupakan fokus penelitian
ini adalah partisipasi masyarakat umum. Wujud partisipasi ini
adalah keaktifan masyarakat baik secara individu maupun
melalui pemuka masyarakat yang mewakili masyarakat dalam
mengajukan keberatan, saran, pertimbangan dan memantau
pelaksanaan selanjutnya. Konkretnya masyarakat yang tanahnya
terkena penataan ruang, misalnya untuk pembuatan jalan,
pelebaran jalan, fasilitas umum, kawasan konservasi, dan
kepentingan umum lainnya, diajak untuk menyampaikan
pemikiran dan pendapatnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat dalam penataan ruang di Kota Manokwari
sebagaimana terdeskripsi pada tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang
kota Manokwari
n = 80
No. Jawaban Responden Frekuensi Persentasi
1.
2.
3.
Ikut dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi
Ikut dalam perencanaan saja, ikut dalam
pelaksanaan saja, ikut dalam evaluasi saja, atau
kombinasi.
Tidak pernah ikut
-
3
77
-
3,75
96,25
J U M L A H 80 100
Sumber : Data primer diolah
126
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Dari tabel tersebut ternyata bahwa dari 80 responden,
yang ikut dalam perencanaan saja, pelaksanaan saja, atau
evaluasi saja sebanyak 3 responden atau 3,75 persen yang
berpartisipasi dalam rencana tata ruang. Dari 80 responden
yang menjawab tidak pernah ikut, baik dalam perencanaan,
pemanfaatan, maupun evaluasi rencana tata ruang adalah 77
responden atau 96,25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
penataan ruang kota Manokwari selama ini belum
mengikutsertakan masyarakat, terutama masyarakat umum
dalam keseluruhan proses penataan ruang kota.
Untuk mengetahui hubungan antara variabel Partisipasi
masyarakat dalam penataan ruang kota (X
1
) dengan variabel
Perlindungan Hak-hak rakyat atas Tanah di kota Manokwari (Y
1
)
sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel 9. Hubungan partisipasi dengan perlindungan
n=80
KX
1
Tidak
Partisipasi
Kurang
Partisipasi
Partisipasi
Tidak dilindungi
16
20,0
9
11,3
5
6,3
30
37,5
Kurang dilindungi
9
11,3
19
23,8
10
12,5
38
47,5
Dilindungi
4
5,0
7
8,8
1
1,3
11
15,0
Jumlah
29
36,3
35
43,8
16
20,0
80
100
Sumber: Data primer diolah
KY
1
127
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Berdasarkan analisis statistik (lihat lampiran), bahwa:
X
2
hitung = 8,05888
db = 4
X2 tabel = (0,95 . 4) = 9,488 dan (0,99. 4) = 13,28
Koefisien Kontingensi Pearson (KKP) = 0,30252
Nilai KKP tersebut dikonsultasikan dengan pedoman
interpretasi koefisien korelasi (Sugiyono, 1998:149), maka
tingkat keeratan hubungan antara partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang kota (X1) dengan Perlindungan hak-hak rakyat
atas tanah di Kota Manokwari (Y) berada pada level 0,20
0,399 yang bermakna hubungan atau asosiasi rendah.
Hal ini bermakna bahwa dalam pelaksanaan penataan
ruang di Kota Manokwari, masyarakat tidak diikutsertakan dalam
penyusunan maupun revisi Rencana.
Kondisi tersebut selaras dengan pernyataan
Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeda
Kabupaten Manokwari bahwa: selama ini hanya kepala desa
yang diikutsertakan dalam seminar rencana tata ruang
(wawancara 22 Januari 2001). Sedangkan menurut Kepala Seksi
Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten
Manokwari bahwa ketidakikutsertaan masyarakat dalam
penyusunan maupun revisi rencana tata ruang disebabkan target
128
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
waktu yang tersedia dalam proyek terbatas (wawancara, 17
Januari 2001).
Hal tersebut merupakan pemungkiran terhadap
perintah UU No. 24 Tahun 1992, Pasal 4 ayat (2) sub b yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak berperan serta dalam
penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfatan ruang. Dan Pasal 12 ayat (1) yang
dinyatakan bahwa Penataan ruang dilakukan oleh pemerintah
dengan peran serta masyarakat. Dan juga PP No. 69 Tahun
1996 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penatan
Ruang (pasal 15 s.d. pasal 20), dan Permendagri No. 9 tahun
1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses
Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Hal ini belum sejalan
dengan semangat reformasi dan otonomi daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 92 UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan, pemerintah
daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak swasta,
sebagai perwujudan upaya pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan perkotaan.
Disadari bahwa kendatipun peraturan mengenai tata
cara peran serta masyarakat baru ditetapkan pada tahun 1998,
namun sejak ditetapkannya UU No. 24 Tahun 1992, tidak
terindikasi kehendak pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah
129
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Kabupaten Manokwari mengikutsertakan masyarakat dalam
penataan ruang kota. Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 ayat
(5), ayat (6) Perda No. 9 Tahun 1987 tentang Rencana Induk
Kota Manokwari Tahun 1984 2004, yang menyatakan bahwa
masyarakat Manokwari berperan aktif untuk mengajukan saran
dalam penyusunan Rencana Induk Kota Manokwari kepada
Pemerintah daerah, sebagai bahan pertimbangan dalam
penyempurnaan Rencana Induk Kota Manokwari.
Kondisi di Kota Manokwari tersebut sejalan dengan
kondisi umum di Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh
Budiharjo (1997:135) bahwa keterlibatan masyarakat dalam
perumusan arah dan tujuan perencanaan kota boleh dikata kecil
sekali. Itulah sebabnya Davidoff menekankan peran perencana
(planner) sebagai jembatan untuk menyerap aspirasi masyarakat
agar dapat dimasukan sebagai salah satu pertimbangan utama
dalam rencana kota. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa
mengingat penduduk perkotaan bukanlah masyarakat
paguyuban yang serba homogen (Gemeinschaft) melainkan
masyarakat patembayan yang heterogen (Gessellschaft),
tentunya persepsi dan aspirasi serta tuntutan kebutuhan mereka
berbeda.
Guna mengatasi masalah tersebut Budiharjo
(1997:135) menyatakan bahwa diperlukan komunikasi yang
berkesinambungan antara penentu kebijakan, perencana kota,
130
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
masyarakat dan media massa, agar dapat diperoleh profil
perkotaan yang jernih dan jelas pula manfaatnya.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam penataan ruang
diatur dalam PP No. 69 Tahun 1996 sebagai berikut ini:
Tabel 10. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam
Penataan Ruang
Proses Perencanaan Tata
Ruang
Pemanfaatan Ruang Pengendalian
Pemanfaatan Ruang
- Memperjelas status hak dan
kepemilikan.
- Pemberian informasi,
Pertimbangan/
pendapat.
- Pengajuan keberatan.
- Kerjasama penelitian dan
pengembangan.
- Bantuan tenaga ahli.
- Bantuan dana.
- Bantuan pemikiran/
- pertimbangan.
- Penyelenggaraan
kegiatanpembangunan
- Pelepasan/pengalihan hak
kepemilikan.
- Konsolidasi pemanfaatan
sumber daya alam (tanah,
air, laut, udara).
- Bantuan teknis.
- Pengawasan.
- Pemberian
informasi/pelaksanaan
kegiatan.
- Bantuan
pemikiran/pertimbangan.
- Menjelaskan hak atas
tanah.
- Menjaga konsistensi.
Sumber: PP No. 69 Tahun 1996
Tujuan peran serta masyarakat, sebagaimana dikemukakan
oleh Ibrahim (1999:13) adalah:
- Meningkatkan mutu proses dan produk penataan ruang.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat memahami
pentingnya pemanfaatan tanah, air laut dan udara serta
sumber daya alam lainnya demi terciptanya tertib ruang
(pendidikan dan information exchange).
131
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
- Menciptakan mekanisme keterbukaan tentang kebijaksanaan
penataan ruang (transparansi kebijakan).
- Menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran dan
tanggung jawab masyarakat dalam penataan ruang terutama
membantu memberikan informasi tentang pelanggaran
pemanfaatan ruang (kontribusi tanggung jawab dan power
sharing)
- Menjamin pelibatan secara aktif peran serta masyarakat
dalam kegiatan penataan ruang dengan hak dan
kewajibannya (demokrasi partisipatori).
Pada masa lalu peran pemerintah sangat dominan
dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang.
Sedangkan partisipasi masyarakat baru pada tahap awal, artinya
partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Oleh karena
terjadi perubahan paradigma dengan adanya semangat
reformasi dan otonomi daerah, maka sudah saatnya masyarakat
diberdayakan menuju kehidupan yang lebih demokratis.
Berkenaan dengan itu, Ibrahim (1999:14) menawarkan
paradigma baru penataan ruang sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel 11. Paradigma Baru Penataan Ruang pada
Era Reformasi dan Otonomi
ASPEK DAHULU KE DEPAN
- Kewenangan dan
tanggung jawab
- Pemerintah
menyiapkan,
melaksanakan,
mengendalikan.
- Pemerintah dan
masyarakat menyiapkan,
melaksanakan, dan
mengendalikan.
- Publikasi dan
Transparasi
- Kebijakan tata ruang
tertutup,
- Masayarakat mempunyai
hak yang sama untuk
132
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
- diketahui sekelompok
orang,
- Pemda pasif.
mengetahui rencana tata
ruang, dipublikasikan.
- Partisipasi Masyarakat - Konsep rencana tata
ruang disiapkan
pemda,kemudian
masyarakat
menanggapi.
- Konsep rencana tata
ruang disiapkan pemda
dengan partisipasi
masyarakat.
- Proses Pendidikan - Pemda menyiapkan
rencana tata ruang
dan masyarakat
menerima.
- Pemda aktif melakukan
sosialisasi dan
pemberdayaan
masyarakat.
Sumber: Buletin Tata Ruang Edisi 1 Agustus-Oktober 1999
Paradigma baru, khususnya mengenai partisipasi oleh
Suryono Herlambang dalam tulisannya berjudul Amburadulnya
Rencana Jakarta 2010 (Kompas, 13 Desember 2000)
dikemukakan bahwa ada kecenderungan pemerintah menjauhi
semangat reformasi. Indikatornya adalah unsur transparansi dan
partisipasi masih dianggap sebagai prosedur retorik. Pokoknya
kalau sudah mengundang beberapa kelompok warga dan telah
disetujui DPRD, dianggap cukup. Kalau mayoritas warga yang
lain tidak tahu, itu kesalahan warga sendiri. Padahal saat ini
transparansi dan partisipasi harus dipandang sebagai kewajiban
aktif pemda. Untuk menjaring tanggapan warga, pemda
seharusnya membuat sistem informasi yang terbuka dan aktif
menyebarkan informasi.
Hal senada ditegaskan pula oleh Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah Erna Witoelar pada kunjungan kerja ke
133
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Bima Nusa Tenggara Barat (Kompas, 19 Desember 2000)
bahwa: pemerintah maupun aparat birokrasi perlu memberi jalan
bagi tumbuhnya partisipasi aktif rakyat sejak perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, masyarakat
merasa dilibatkan dalam proses pembangunan, sekaligus
menumbuhkan rasa memiliki lebih besar terhadap infrastruktur
pembangunan.
2. Sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota
Sosialisasi rencana tata ruang kota merupakan
kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang Penataan Ruang. Untuk mengetahui sosialisasi
Rencana Tata Ruang Kota Manokwari, dapat terindikasi lewat
pengetahuan responden, sumber pengetahuan, dan intensitas
sosialisasi, sebagaimana tabel-tabel di bawah ini:
Tabel 12. Pengetahuan Responden tentang RUTRK
Manokwari
n = 80
No. Jawaban Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Mengetahui
Ragu-ragu
Tidak mengetahui
34
5
41
42,5
6,25
51,25
J U M L A H 80 100
Sumber : Data primer diolah
134
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 12 menunjukkan bahwa responden yang
mengetahui Rencana Tata Ruang Kota Manokwari adalah 34
responden atau 42,5 persen. Pengetahuan yang dimiliki bersifat
parsial, hanya wilayah bagian kota di mana terletak tanahnya.
Sedangkan responden yang ragu-ragu sebanyak 5 orang atau
6,25 persen, dan yang tidak mengetahui sebanyak 41
responden atau 51,25 persen.
Sumber pengetahuan responden mengenai Rencana
Tata Ruang Kota Manokwari sebagaimana pada tabel berikut
ini:
Tabel 13. Sumber Pengetahuan Responden tentang
Rencana Tata Ruang Kota Manokwari
n = 34
No. Jawaban Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Pendidikan dan latihan
Penyuluhan
Pengumuman, Radio,
Pameran
Pembangunan, dan lain-lain
-
-
34
-
-
100
J U M L A H 34 100
Sumber : Data primer diolah
Pengetahuan responden yang bersumber dari
pengumuman, radio, pameran pembangunan, dan lain-lain
sebanyak 34 responden atau 100 persen (atau 42,5 persen dari
80 responden).
135
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Intensitas sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota
Manokwari, sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel 14. Intensitas Sosialisasi Rencana Tata Ruang
Kota Manokwari
n = 80
No. Jawaban Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Selalu
Kadang kadang
Tidak pernah
2
12
66
2,5
15
82,5
J U M L A H 80 100
Sumber : Data primer diolah.
Dari tabel 14 terdeskripsi bahwa Pemerintah Daerah
Kabupaten Manokwari tidak selalu melakukan sosialisasi Rencana
Tata Ruang Kota Manokwari. Hal ini ternyata dengan hanya ada
2 responden atau 2,5 persen yang menjawab selalu. Setelah
dicermati, ternyata kedua responden tersebut adalah aparat
kelurahan, yang selama ini selalu mendapat penyuluhan tentang
setiap perkembangan rencana tata ruang. Sedangkan
Responden yang menjawab kadang-kadang sebanyak 12
responden atau 15 persen. Dan yang menjawab tidak pernah
sebanyak 66 responden atau 82,5 persen.
Untuk mengetahui hubungan antara variabel Sosialisasai
Rencana Tata Ruang Kota Manokwari (X
2
) dengan variabel
Perlindungan Hak-hak rakyat atas Tanah di kota Manokwari (Y)
sebagaimana tabel berikut ini.
136
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 15. Hubungan sosialisasi dengan perlindungan
n=80
KX
2
Tidak Sosialisasi Kurang Sosialisasi Sosialisasi
Tidak dilindungi
10
12,5
16
20,0
4
5,0
30
37,5
Kurang dilindungi
1
1,3
28
35,0
9
11,3
38
47,5
Dilindungi
0
0,0
5
6,3
7
8,8
12
15,0
Jumlah
11
13,8
49
61,3
20
25,0
80
100
Sumber: Data primer diolah
Berdasarkan analisis statistik (lihat lampiran), bahwa:
X
2
hitung = 22, 44434
db = 4
X
2
tabel = (0,95 . 4) = 9,488 dan (0,99. 4) = 13,28
Koefisien Kontingensi Pearson (KKP) = 0,46807
Nilai KKP tersebut dikonsultasikan dengan pedoman
interpretasi koefisien korelasi (Sugiyono, 1998:149), maka
tingkat keeratan hubungan antara sosialisasi rencana tata ruang
kota (X2) dengan Perlindungan hak-hak rakyat atas tanah di
KY
137
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Kota Manokwari (Y) berada pada level 0,40 0,599 yang
bermakna hubungan atau asosiasi sedang.
Kondisi realitas tersebut selaras dengan penjelasan
Kepala Seksi Penatagunaan Tanah Kantor Pertanahan
Kabupaten Manokwari (wawancara, 15 Januari 2001) bahwa
kontribusi Kantor Pertanahan adalah melakukan penyuluhan
hukum berkaitan dengan revisi rencana tata ruang kepada
aparat pemerintahan kecamatan dan kelurahan. Hal tersebut
dibenarkan pula oleh Sekretaris Lurah Padarni bahwa
penyuluhan tentang penataan ruang kota sering kami dilibatkan,
hanya masyarakat belum pernah diikutsertakan dalam
penyuluhan tersebut (wawancara 19 Januari 2001).
Menurut Kepala Bagian Penyusunan Program Sekretariat
Daerah Kabupaten Manokwari bahwa selama ini sosialisasi
rencana tata ruang, dilakukan melalui program penyuluhan
hukum terpadu. Khusus sosialisasi program pelebaran jalan
protokol (dua jalur) dilakukan dengan cara mengumpulkan
masyarakat dan memberikan pengertian tentang pentingnya
pembangunan untuk kepentingan umum, dan sosialisasi harga
tanah sesuai SK harga dasar tanah, serta pemberian ganti rugi
yang bersifat imbalan jasa (wawancara, 18 Januari 2001).
Namun kenyataannya sebagian besar masyarakat yang tanahnya
terkena proyek jalan dua jalur (Jalan Yos. Sudarso dan Jalan
Trikora, Jalan Pahlawan) tidak tersentuh kegiatan sosialisasi
138
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Frans Bonsapia yang
tanahnya terkena proyek bahwa tidak ada penyuluhan hukum
kepada masyarakat. Setelah proyek pelebaran jalan menjadi
masalah baru ada pertemuan, sekaligus penyuluhan hukum
tanah, itupun hanya sekali (wawancara, 17 Januari 2001).
Menurut Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah
Bappeda Kabupaten manokwari, bahwa sosialisasi belum bersifat
operasional, perlu dana dari pemerintah, namun materi Rencana
Tata Ruang Kota Manokwari disampaikan kepada Camat untuk
dipedomani (wawancara 22 Januari 2001). Sedangkan Kepala
Seksi Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten
Manokwari menyatakan bahwa sosialisasi ke masyarakat belum
dilaksanakan karena masih mencari bentuk sosialisasi yang
tepat. Selama ini sosialisasi tata ruang baru sampai ke tingkat
lurah (Wawancara, 17 Januari 2001).
Kondisi tersebut menunjukkan Pemerintah Daerah
Kabupaten Manokwari dalam melaksanakan pembangunan
belum transparan, dan sosialisasi rencana tata ruang kota belum
dijadikan prioritas dalam berbagai program kerja. Hal ini
menyimpang dari ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam
pasal 25 UU No. 24 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa, agar
disebarluaskan informasi tentang penataan ruang;
menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung
jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan
139
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
dan pelatihan. Dalam pasal 4 ayat (2) UU. No. 24 Tahun 1992
dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengetahui rencana tata
ruang. Selain bertentangan dengan Undang-undang Penataan
Ruang, bertentangan pula dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Dati II Manokwari No. 9 Tahun 1987 tentang Rencana Induk
Kota Manokwari Tahun 1984 2004, pasal 5 ayat (4) yang
menyatakan bahwa Rencana Induk Kota Manokwari terbuka
untuk umum dan diletakan di kantor pemerintah daerah pada
tempat-tempat yang mudah untuk dilihat pada setiap saat.
Mokoginta (1999:132) mengemukakan sisi menarik
yang patut mendapat perhatian bahwa disinformasi tentang
rencana peruntukan lahan (ruang), tidak semata-mata karena
warga masyarakat tak mampu menyimak penjelasan pejabat,
tetapi juga terkesan aparat cenderung menutup peluang untuk
masyarakat, dalam mendapatkan informasi tentang rencana
pembangunan secara rinci. Hal ini antara lain tercermin pada
kasus-kasus penggusuran yang terjadi secara mendadak, atau
terjadinya perubahan peruntukan lahan (ruang) di suatu
kawasan secara tiba-tiba.
Dalam pelaksanaan rencana tata ruang kota, diperlukan
transparansi dan kejujuran dalam implementasinya. Manakala
hal ini kurang diperhatikan, dikuatirkan menimbulkan persepsi
yang kurang baik dari masyarakat. Menurut Masengi (1999:33)
hal tersebut dapat terjadi karena:
140
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
a. Masyarakat belum mengerti tentang aturan perundangan di
bidang penataan ruang sehingga timbul salah persepsi.
b. Kurangnya sosialisasi peraturan.
c. Keterbatasan pola pikir masyarakat.
d. Adanya pengaruh negatif dari pihak lain demi keuntungan
politik atau ekonomi.
e. Aparatur tidak jujur dan tidak terbuka.
Selanjutnya Masengi menyatakan bahwa peranan
aparatur sangat dominan karena sifat masyarakat Indonesia
yang majemuk dan tersebar diseluruh pelosok tanah air dengan
kemampuan serta sifat kebudayaan yang beraneka ragam. Oleh
karena itu sangat diperlukan adanya kegiatan sosialisasai
perencanaan yang akan melibatkan kepentingan rakyat banyak.
Dampak dari kurangnya sosialisasi memunculkan
tindakan masyarakat yang menghambat pembangunan, menurut
Masengi (1999:33) dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Masyarakat menjadi pasif, apatis dalam pembangunan
bahkan dapat muncul sikap tidak percaya kepada aparat
pemerintah.
2. Kebijaksanaan pemerintah tidak dapat dilaksanakan
dengan baik dan akan muncul gejolak antisipatif
masyarakat.
141
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Seharusnya peraturan perundang-undangan di bidang
penataan ruang efektif berlaku. Namun kenyataan selama ini di
Kota Manokwari peraturan-peraturan tersebut tidak efektif. Oleh
karena itu diperlukan sosialisasi baik sebelum maupun sesudah
ditetapkan menjadi suatu produk hukum.
3. Musyawarah dalam Pengadaan Tanah
Tanah baik tanah adat maupun tanah yang bersertifikat
dapat terkena pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang. Khusus di Kota Manokwari, tanah adat yang terkena
pembangunan kota adalah tanah adat (Mewi adat) milik suku
Meyah, yang merupakan bagian dari suku besar Arfak.
Suku Meyah, salah satu komponen suku besar Arfak
mengenal tanah dengan sebutan Mewi (mebi) yang bermakna
tanah yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat berdasarkan
silsilah, atau garis keturunan. Menurut N.D. Mandacan, tokoh
pemuda suku Meyah, bahwa Tanah adat yang disebut Mewi adat
adalah tanah atau suatu wilayah yang dikuasai oleh suku besar
Arfak yang terdiri atas suku Meyah, Karoon, Kebar, Sough dan
Atam, lazim disingkat MEKKESA. Lebih lanjut Dinyatakan bahwa
Mewi adat adalah tanah yang diperuntukan untuk semua warga
suku. Namun pengaruh desakan ekonomi, pemimpin komunitas
adat mengabaikan anggota komunitas kebanyakan, dan
mementingkan anggota suku keturunan kepala suku semata
(wawancara, 22 Januari 2001).
142
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Terlepas dari tanah adat (Mewi adat) dengan berbagai
persoalannya, maka yang urgen adalah aspek musyawarah
dalam pengadaan tanah di kota Manokwari yang terdeskripsi
melalui keikutsertaan masyarakat dalam musyawarah akibat
tanahnya terkena proyek pembangunan di Kota Manokwari,
sebagaimana tertera pada tabel berikut ini:
Tabel 16. Keikutsertaan dalam musyawarah
n = 80
No. Jawaban Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Ikut serta dalam musyawarah
Ada pemberitahuan tetapi
berhalangan hadir
Tidak ikut dalam musyawarah
karena tidak ada pemberitahuan
39
6
35
48,75
7,5
43,75
J U M L A H 80 100
Sumber: Data primer diolah.
Dari tabel tersebut ternyata bahwa dari 80 responden
yang ikut dalam musyawarah sebanyak 39 responden atau 48,75
persen. Sedangkan yang yang berhalangan hadir sebanyak 6
responden atau 7,5 persen, dan responden yang tidak hadir
dalam musyawarah karena tidak ada pemberitahuan sebanyak
35 responden atau 43,75 persen.
Kendatipun ada musyawarah, namun musyawarah
tersebut dilakukan setelah terjadi sengketa antara Pemerintah
143
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Daerah Manokwari dengan masyarakat pemegang hak atas
tanah, antara lain pada pelaksanaan proyek jalan dua jalur pada
jalan Yos. Sudarso dan jalan Trikora. Hal ini menunjukkan hak-
hak rakyat atas tanah kurang mendapat perlindungan.
Semestinya sebelum pelaksanaan proyek, perlu dilakukan
sosialisasi, sekaligus masyarakat yang tanahnya terkena proyek
diundang oleh panitia pengadaan tanah atau instansi pengelola
guna penyamaan visi dan persepsi, sekaligus menyepakati
besarnya ganti rugi.
Penggantian yang layak akibat pelaksanaan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang, harus
sesuai dengan harga umum setempat, dengan berpedoman pada
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun terakhir dari tanah yang
bersangkutan. Namun dalam pelaksanaan pengadaan tanah,
masyarakat yang terkena proyek tidak mengetahui dasar
perhitungan penggantian yang layak, sebagaimana terdeskripsi
pada tabel berikut:
144
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 17. Pengetahuan Responden tentang dasar
perhitungan besarnya penggantian yang layak atas
tanah, bangunan dan tanaman.
n = 80
No. Jawaban Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Mengetahui
Ragu - ragu
Tidak mengetahui
3
7
70
3,75
8,75
87,5
J U M L A H 80 100
Sumber : Data primer diolah.
Data pada tabel menunjukkan bahwa responden yang
mengetahui dasar perhitungan besarnya penggantian yang layak
sebanyak 3 responden atau 3,75 persen. Yang ragu-ragu
sebanyak 7 responden atau 8,75 persen, dan yang tidak
mengetahui sebanyak 70 responden atau 87,5 persen.
Seyogianya panitia pengadaan tanah, dan atau instansi
pengelola yang bermusyawarah dengan masyarakat, harus
menjelaskan secara transparan mengenai dasar perhitungan
besarnya penggantian yang layak, sebagaimana diatur dalam
Keppres No. 55 Tahun 1993. Bukannya menggunakan Surat
Keputusan Bupati tentang harga dasar tanah, yang tidak
disesuaikan dengan harga umum setempat untuk tahun terakhir.
145
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Husein (1997:46) mengemukakan bahwa penentuan
penggantian yang layak patut dipertimbangkan hal ikwal
menyangkut masa depan kehidupan keluarga tergusur,
pekerjaan atau mata pencaharian, perumahan, kehidupan sosial,
lingkungan sekitarnya, serta penderitaan jiwa dan nasib terputus
dari sejarah desa nenek moyang yang telah mapan setua sekian
abad, yang dikemukakan oleh Romo Mangunwijaya
(Husein,1997:65) yang memperkenalkan istilah ganti untung
untuk menggantikan istilah ganti rugi. Bagi Soemarjono (Husein,
1997:46) ganti kerugian tersebut adil apabila ganti kerugian
yang diberikan tidak membuat pemiliknya menjadi sengsara dari
pada sebelumnya, tetapi sebaliknya tidak menjadi kaya raya.
Bentuk penggantian yang layak, dapat berupa uang,
tanah pengganti, bangunan rumah, atau kombinasi dari
ketiganya. Khusus di Kota Manokwari, bentuk penggantian yang
ditawarkan sebagaimana pada tabel berikut:
Tabel 18. Bentuk ganti rugi yang ditawarkan
n = 80
No. Jawaban Responden Frekuensi Persentase
1.
2.
Uang
Tanah pengganti saja; bangunan
rumah saja; atau kombinasi uang
dan tanah pengganti;uang dan
bangunan rumah; tanah
72
5
90
6,25
146
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
3. pengganti dan bangunan rumah
Gabungan uang, tanah pengganti
dan bangunan rumah
3 3,75
J U M L A H 80 100
Sumber : Data primer diolah
Dari tabel tersebut ternyata bahwa responden yang
menjawab bentuk ganti rugi berupa uang sebanyak 72 atau 90
persen. Sedangkan yang menjawab tanah pengganti, atau
bangunan rumah atau kombinasinya sebanyak 5 responden atau
6,25 persen, dan yang menjawab bentuk pengantian yang
ditawarkan yakni gabungan uang, tanah pengganti dan
bangunan rumah sebanyak 3 responden atau 3,75 persen.
Hakekatnya apapun bentuk penggantian yang diberikan
oleh instansi pengguna tanah (IPT) tidak dipersoalkan, asal
dasar perhitungan dilakukan secara transparan, dan sesuai
aturan yang berlaku, serta ada persetujuan dari masyarakat
pemegang hak atas tanah.
Perlindungan terhadap masyarakat pemegang hak atas
tanah, terindikasi selain pada besarnya penggantian yang layak,
juga pada tiadanya tekanan, paksaan dan pembayaran
penggantian yang layak tepat waktu. Hal-hal tersebut terurai
pada tabel di bawah ini:
147
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 19. Intimidasi dalam Musyawarah dan atau
proses pengadaan tanah berlangsung
n=80
No. Jawaban responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Tidak ada
Ragu-ragu
Ada
40
33
7
50
41,25
8,75
J U M L A H 80 100
Sumber: Data primer diolah
Pada tabel tersebut di atas ternyata bahwa intimidasi
dalam pelaksanaan musyawarah dan atau selama proses
pengadaan tanah berlangsung dijawab oleh responden tidak ada
intimidasi sebanyak 40 responden atau 50 persen. Sedangkan
yang menjawab ragu-ragu sebanyak 33 responden atau 41,25
persen. Dan yang menjawab ada intimidasi sebanyak 7
responden atau 8,75 persen.
Mengenai dihormati dan dihargainya hak-hak masyarakat
selama musyawarah, dan atau selama pelaksanaan proyek
berlangsung, sebagaimana tabel berikut:
148
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 20. Dihormati dan dihargai dalam musyawarah
dan atau selama pelaksanaan proyek
berlangsung
n=80
No. Jawaban responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Dihormati/dihargai
Kurang dihormati/dihargai
Tidak dihormati/dihargai
33
23
24
41,25
28,75
30
J U M L A H 80 100
Sumber: Data primer diolah
Dari tabel terdeskripsi bahwa responden yang menjawab
dihormati dan dihargai sebanyak 33 responden atau 41,25
persen. Sedangkan yang menjawab kurang dihormati/dihargai
sebanyak 23 responden atau 28,75 persen. Dan yang menjawab
tidak dihormati/dihargai sebanyak 24 responden atau 30 persen.
Kurangnya atau tidak dihormati/dihargainya hak-hak
rakyat atas tanah terjadi pada pelaksanaan proyek jalan dua
jalur (Jl. Yos Sudarso, Jl. Trikora, Jl. Pahlawan) di Kota
Manokwari, yang pada umumnya menyatakan bahwa pada
prinsipnya tidak akan menghalangi pemerintah/kontraktor untuk
mengadakan kegiatannya, bahkan mendukung upaya
pemerintah daerah dalam rangka pengembangan kota. Hanya
yang disesalkan adalah pihak kontraktor terlalu gegabah untuk
menggusur pagar dan tanaman yang ada di atas tanah yang
terkena pelebaran jalan tanpa seizin pemilik. Dikemukakan pula
bahwa pada saat pagar rumah dirusak oleh pelaksana kontraktor
149
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
dengan menggunakan whel loader, telah ditegur. Namun
menurut kontraktor akan segera diperbaiki, ternyata tidak
terealisasi.
Mengenai realisasi penggantian (ganti rugi) atas tanah
akibat penataan ruang, sebagaimana tabel di bawah ini:
Tabel 21. Realisasi pemberian ganti rugi
n=80
No. Jawaban responden Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
Diberikan ganti rugi
Belum diberikan ganti rugi
Tidak diberikan ganti rugi
80
-
-
100
-
-
J U M L A H 80 100
Sumber: Data primer diolah
Berdasarkan tabel, ternyata bahwa semua responden
menjawab dalam pengadaan tanah dibayar ganti rugi. Namun
ganti rugi yang dibayarkan tersebut melalui perjuangan yang
panjang dan melelahkan. Khususnya jalan dua jalur yang
dilaksanakan sejak tahun 1998, pembayaran ganti rugi baru
terealisasi Desember 2000.
Untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan
musyawarah dalam pengadaan tanah (X
3
) dengan perlindungan
hak-hak rakyat atas tanah di Kota Manokwari (Y) sebagaimana
pada tabel dan hasil analisis berikut ini:
150
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Tabel 22. Hubungan musyawarah dengan perlindungan
n=80
KX3
Tidak
Musyawarah
Kurang
musyawarah
Musyawarah
Tidak dilindungi
28
35,0
2
2,5
0
0,0
30
37,5
Kurang dilindungi
12
15,0
13
16,3
13
16,3
38
47,5
Dilindungi
1
1,3
3
3,8
8
10,0
12
15,0
Jumlah
41
51,.3
18
22,5
21
26,3
80
100
Sumber: Data primer diolah
Berdasarkan analisis statistik (lihat lampiran), bahwa:
X
2
hitung = 39,50029
db = 4
X2 tabel = (0,95 . 4) = 9,488 dan (0,99. 4) = 13,28
Koefisien Kontingensi Pearson (KKP) = 0,57493
Nilai KKP tersebut dikonsultasikan dengan pedoman
interpretasi koefisien korelasi (Sugiyono, 1998:149), maka
tingkat keeratan hubungan antara musyawarah dalam
pengadaan tanah (X3) dengan Perlindungan hak-hak rakyat
KY
151
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
atas tanah di Kota Manokwari (Y) berada pada level 0,40
0,599 yang bermakna hubungan atau asosiasi sedang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan
musyawarah dalam pengadaan tanah masih bersifat formalistis,
belum menyentuh makna sesungguhnya dari suatu musyawarah.
Kondisi ini antara lain terungkap pada proyek pelebaran jalan di
Kota Manokwari, sebagaimana hasil wawancara berikut ini:
menurut Frans Bonsapia besar ganti rugi tanah yang ditawarkan
panitia adalah Rp. 35.000.- per meter persegi. Namun
masyarakat meminta Rp. 80.000/M2, dan diperhitungkan pula
bangunan dan tanaman. Alasannya bahwa sebelum proyek
dilaksanakan panitia/pengelola proyek telah memberikan ganti
rugi kepada B. Sarungalo sebesar Rp. 80.000/M2 (wawancara,
17 Januari 2001).
Hal tersebut diperkuat oleh J.A. Taruk Datu, bahwa
dalam pelebaran jalan kami meminta ganti rugi sebesar Rp.
80.000/M2 karena sebelumnya B. Sarungalo dibayar sebesar
permintaan kami tersebut, mengapa kami ditawarkan Rp.
35.000/M2. Dikemukakan pula bahwa dalam rapat pertama di
Kantor Dinas Pekerjaan Umum, ada jaminan dari Kepala Kantor
Pertanahan saat itu Drs. A. Mangelep, bahwa tanah-tanah yang
terkena pelebaran jalan akan diukur kembali tanpa pungutan
biaya, namun hingga kini belum terealisasi (wawancara, 19
Januari 2001).
152
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Pemegang hak atas tanah pada umumnya setuju tanah
diambil asal ganti kerugian atas tanah, pagar dan tanaman
warga diperhatikan oleh pemerintah. Dikemukakan pula bahwa
tidak disetujuinya harga tanah yang ditawarkan karena harga
tanah terlalu rendah serta tidak membuat rincian terhadap pagar
dan tanaman secara transparan.
Kekecewaan rakyat yang tanahnya terkena proyek jalan
dua jalur, pada umumnya disebabkan tidak ada pemberitahuan
sebelumnya, tidak ada pertemuan. Padahal akibatnya antara lain
berkurangnya luas tanah pada sertifikat yang ada. Ketidakadilan
dirasakan pula oleh warga yang tanahnya terkena proyek jalan
ke pasar baru wosi, sebagaimana informasi dari responden
bahwa dalam pelaksanaan pelebaran jalan pasir (ke pasar baru
Wosi) tahun 1992 tidak adil, di mana sebenarnya pengambilan
tanah ke kanan dan ke kiri jalan harus proporsional. Namun
ternyata pelebaran tersebut hanya ke kanan saja. Sangat
disesalkan di mana oknum pimpro, tanahnya disebelah kiri tidak
terkena pelebaran jalan.
Jika dicermati besarnya ganti rugi yang ditawarkan,
ternyata Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari masih
menggunakan penetapan harga dasar tanah dan tanaman
berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Manokwari No. 213 Tahun 1997. Misalnya biaya ganti rugi tanah
akibat pelebaran jalan Pahlawan, Yos Sudarso, Trikora sebesar
153
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Rp. 35.000/M2. Hal ini bertentangan dengan Keppres No. 55
Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pada Pasal 15 antara
lain dinyatakan bahwa harga tanah yang didasarkan atas nilai
nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek
Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang
bersangkutan.
Berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah XV
Direktorat Jenderal Pajak Maluku dan Irian Jaya Nomor: KEP-
15/WPJ.15/BD.05/97 dan Nomor: KEP-28/WPJ.15/BD.05/1998
tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek
Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan bangunan untuk
Kabupaten Tingkat II manokwari, maka untuk jalan protokol
NJOP tahun 1998 sebesar Rp. 73.000.-
Upaya pemegang hak atas tanah memperjuangkan ganti
rugi sebesar Rp. 80.000/M2 (kendatipun tidak mengetahui dasar
perhitungan besarnya ganti rugi) akhirnya diterima oleh Pemda,
dan ganti rugi tersebut baru dibayar pada Desember 2000.
Padahal proyek tersebut dilaksanakan tahun 1998.
Keterlambatan pembayaran merupakan salah satu wujud
kurangnya perhatian Pemda terhadap hak-hak rakyat atas tanah.
Anehnya bahwa proyek pelebaran jalan dipaksakan untuk
dilaksanakan pada tahun anggaran 1998, tanpa menyediakan
biaya ganti rugi. Seharusnya pelaksanaan proyek pembangunan
154
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
yang disertai dengan pembebasan tanah, maka biaya
pembebasan diselesaikan dahulu, baru pelaksanaan proyek.
Hal yang ironis adalah tidak terealisasinya janji Kepala
Pertanahan Kabupaten Manokwari saat itu bahwa tanah yang
telah bersertifikat yang terkena proyek jalan dua jalur akan
dibuatkan sertifikat baru tanpa biaya. Hal ini sangat merugikan
masyarakat, karena untuk memproses sertifikat baru, harus
mengeluarkan biaya dari uang ganti rugi tanah, yang belum
tentu mencukupi beban biaya sertifikasi tanah. Apabila
pemegang sertifikat tidak mengajukan pembuatan sertifikat
baru, maka kerugian yang diderita semakin membebani, karena
pemegang hak atas tanah tetap membayar Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) berdasarkan sertifikat yang dimilikinya sebelum
pelaksanaan proyek jalan dua jalur.
M. Djen Pelu salah satu birokrat di Kantor Pertanahan
Manokwari, menyatakan bahwa seharusnya sertifikat hak atas
tanah yang terkena akibat pelaksanaan pembangunan ditarik
dari pemegangnya pada saat pendataan dan pengukuran luas
tanah yang terkena proyek. Kemudian dibuatkan sertifikat baru
yang dibiayai oleh proyek yang bersangkutan (wawancara 20
Januari 2001).
Sangat ideal apabila tanah yang akan digusur diperoleh
dengan cara peralihan berdasarkan kesepakatan antara
pemegang hak dan pihak yang memerlukan tanah, serta hak dan
155
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
kewajiban yang proposional dari kedua pihak, serta diberikan
kesempatan saluran, dorongan dan arahan berguna untuk
mengekspresikan hak dan kewajiban secara proposional.
Mencapai kondisi yang ideal ini tidaklah mudah karena berbagai
faktor yang mempengaruhi. Faktorfaktor tersebut menurut
Mahendra (1996:282) adalah:
1. Sulitnya mencapai kesepakatan harga tanah.
2. Dampak sosial ekonomis yang ditimbulkan baik ditinjau dari
sudut pemegang hak maupun pihak yang memerlukan
tanah.
3. Perhitungan waktu penyelesaian proyek yang bersangkutan.
Ketidakadilan yang dirasakan oleh warga masyarakat
yang tanahnya tergusur menurut Mahendra (1996:283)
sebagai berikut:
- Dalam penentuan proyek masyarakat tidak didengar atau
diberitahukan lebih dahulu.
- Manfaat proyek tidak langsung dirasakan oleh warga
masyarakat yang terkena proyek.
- Dalam proses pembebasan tanah warga masyarakat tidak
diajak bermusyawarah.
- Besarnya harga ganti rugi yang ditetapkan oleh panitia tidak
memenuhi harapan warga masyarakat.
- Dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi masih terjadi
pungutan-pungutan yang tidak sah.
- Nasib warga tergusur tidak mendapat perhatian yang
selayaknya.
156
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
- Penyimpangan peruntukan tidak sesuai dengan tujuan
pembebasannya.
- Sering terjadi intimidasi.
Berkenaan dengan pengadaan tanah, menarik disimak
kondisi pengadaan tanah di negeri Belanda, sebagaimana
dikemukakan oleh Laica Marzuki (Salle, 1999:41) bahwa di
negeri Belanda penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian
dalam Onteigening oleh pemegang hak atas tanah dinilai
demikian layaknya sehingga pemegang hak atas tanah justeru
sangat senang jika tanah mereka akan terkena Onteigening.
Sebabnya ialah karena proses penentuan bentuk dan besarnya
ganti kerugian demikian terbuka sehingga dijamin akan jauh
lebih besar dibandingkan dengan harga sesungguhnya dari
tanah tersebut, jika seandainya dilakukan dengan proses jual beli
biasa.
Menyimak kondisi yang terjadi di Kota Manokwai,
terindikasi tengah terjadi perebutan ruang. Perebutan ruang
menurut Surbakti (Yusri, 1998:24) dikelompokan dalam delapan
kategori yaitu: Pertama, konflik antara Pemda dengan warga
yang timbul karena perubahan peruntukan tanah yang tidak
transparan dan berulang; kedua, konflik antara Pemda dengan
perusahaan swasta akibat swasta menyerobot tanah Pemda;
ketiga, konflik warga pemilik tanah dengan investor tetapi
Pemda dinilai oleh warga berpihak kepada investor ketika yang
157
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
terakhir ini melakukan transaksi jual beli tanah; keempat,
konflik Pemda dengan warga yang tanahnya digusur dengan
adanya pelebaran jalan atau kepentingan umum lain karena
ganti rugi yang diberikan dinilai oleh warga terlalu rendah;
kelima, konflik eksekutif dengan DPRD dan publik karena
Pemda mengalihkan asset Pemda tanpa persetujuan DPRD;
keenam, konflik yang berdemensi tiga yaitu warga, investor dan
Pemda yang timbul karena eksekutif membebaskan tanah
dengan alasan untuk kepentingan pemerintah, sehingga ganti
rugi yang ditetapkan rendah; tapi kenyataannya digunakan
untuk kepentingan swasta; ketujuh, penggunaan fasilitas
umum yang wajib diberikan oleh pihak developer kepada Pemda
tidak hanya tak jelas tetapi juga hasil penjualan tanah itu tidak
menentu; kedelapan, konflik yang timbul akibat kesalahan
prosedural dikalangan eksekutif. Dari delapan kategori tersebut,
yang terjadi di kota Manokwari yang paling menonjol Konflik
Pemda dengan warga yang tanahnya digusur dengan adanya
pelebaran jalan atau kepentingan umum lain. Hal tersebut
disebabkan pelaksanaan proyek (khusus jalan dua jalur)
dilakukan tanpa pemberitahuan dan perundingan terlebih dahulu
dengan masyarakat. Kendatipun terjadi konflik antara
masyarakat pemegang hak atas tanah dengan pemerintah
daerah, namun masyarakat umumnya tidak memiliki keberanian
untuk menyampaikan protes, aspirasi sesuai tuntunan hati
nuraninya.
158
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Secara umum kondisi di Kota Manokwari menunjukkan
bahwa pelaksanaan penataan ruang kota di Kota Manokwari
kurang memberikan perlindungan bagi pemegang hak atas
tanah, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 24 Tahun
1992 Pasal 4 ayat(2) sub c bahwa setiap orang berhak
memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang
dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan rencana tata ruang; dan Pasal 24 ayat (3)
bahwa pelaksanaan penataan ruang untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dilakukan dengan tetap menghormati hak
yang dimiliki orang.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
159
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
A. Simpulan
1. Penataan ruang kota di Kota Manokwari tidak konsisten
dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)
Manokwari sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Dati II Manokwari No. 9 Tahun 1987,
mengakibatkan pemanfaatan tanah (ruang) tidak dapat
dikendalikan.
2. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang
kota; dan kurangnya sosialisasi rencana tata ruang kota,
serta pelaksanaan musyawarah yang tidak transparan
dalam pengadaan tanah, menunjukkan hak-hak rakyat atas
tanah di Kota Manokwari kurang terlindungi.
B. Saran
1. Berkenaan dengan konsistensi aturan perundang-undangan
dengan pelaksanaan pembangunan :
a. Dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Manokwari,
diharapkan Pemerintah Daerah maupun masyarakat
wajib menjadikan Rencana Tata Ruang Kota yang telah
ditetapkan oleh Pemda dan DPRD sebagai acuan. Jika
terjadi perubahan peruntukan, sebaiknya pemerintah,
DPRD dan masyarakat membahas terlebih dahulu, dan
kemudian ditetapkan menjadi peraturan daerah guna
160
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
kepastian hukum (sebagai manifestasi asas-asas
pemerintahan yang baik, dan perlindungan hukum),
atau minimal sudah ada kesepakatan antara eksekutif
dan legislatif, barulah proyek pembangunan yang
dikehendaki dapat dilaksanakan.
b. Guna terjaminnya konsistensi penataan ruang,
diharapkan instansi yang memiliki kewenangan di
bidang perizinan pembangunan, benar-benar
menerapkan dan menegakkan instrumen pengawasan
secara konsisten dan konsekuen.
c. Pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Manokwari sangat diperlukan antara lain
peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang
RUTRK guna meningkatkan fungsi pengawasan
pembangunan, dan fungsi legislasi khususnya
pembuatan peraturan daerah tentang revisi RUTRK
Manokwari yang selama ini mengalami kebuntuan,
guna kepastian hukum antara lain terhadap hak-hak
rakyat atas tanah yang terkena proyek pembangunan.
2. Guna memberikan perlindungan kepada masyarakat
pemegang hak atas tanah di Kota Manokwari sebagai salah
satu perwujudan kesungguhan pemerintah
memberdayakan masyarakat menuju masyarakat madani,
diharapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari:
161
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
a. Dalam penyusunan dan atau revisi rencana tata ruang
yang akan ditetapkan menjadi peraturan daerah guna
memberikan kepastian hukum sebagai manifestasi
perlindungan hukum, hendaknya mengikutsertakan
masyarakat, baik masyarakat ilmuan (Perguruan Tinggi
selaku konsultan), pengusaha, dan masyarakat umum
(khususnya masyarakat yang tanahnya terkena
penataan) agar dapat memberikan saran, pendapat
bahkan keberatan mengenai rencana tata ruang
dimaksud.
b. Rancangan rencana tata ruang dan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan, bahkan proyek pembangunan
yang timbul akibat dan sesuai dengan penataan ruang
hendaknya disosialisasikan (pengumuman: media
elektronik maupun non elektronik, peta dan gambar di
sudut jalan, penyuluhan, pendidikan dan latihan) baik
sebelum maupun setelah ditetapkan menjadi peraturan
daerah, secara periodik dan kontinyu kepada
masyarakat, karena merupakan hak masyarakat yang
patut dilindungi sebagaimana amanat Undang-undang
Penataan Ruang.
c. Jika ada tanah rakyat yang terkena proyek
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang,
maka sebelum proyek dilaksanakan sebaiknya
162
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
dimusyawarahkan secara terbuka dan diberikan
penggantian yang layak (sebagaimana diatur dalam
Keppres No. 55 Tahun 1993) terlebih dahulu sebelum
proyek tersebut dilaksanakan. Hal ini penting guna
menghindari kemungkinan timbul sengketa atau
perebutan ruang antara pemerintah dan rakyat
pemegang hak atas tanah.
163
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1994
a
. Kedudukan Hukum Adat dalam
Perundang-undangan Agraria Indonesia.
Akademika Pussindo, Jakarta.
1994
b
. Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Abrar. 1994. Aspek Hukum Pertanahan Dalam Rencana
Umum Tata Ruang Kotamadya Ujung
Pandang. Tesis, Program Pascasarjana-Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Ali, A. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum.
Yarsif Watampone, Jakarta.
Alting, H. 1999. Aspek Hukum Pelaksanaan Penataan
Ruang Kota di Kota Administratif Ternate
Propinsi Maluku. Tesis Pascasarjana Unhas,
Ujung Pandang.
Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Budihardjo, E. 1995. Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang
dan Pembangunan Daerah Untuk
Meningkatkan Ketahanan Nasional. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
1997
a
. Tata Ruang Perkotaan. Alumni,
Bandung.
1997
b
. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang
Kota. Andi Yogyakarta.
164
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Dhuroruddin H. dan Ikrar N.B. 1999. Berbagai Faktor
Separatisme di Irian Jaya, dalam Syamsuddin
Haris, dkk. Indonesia diambang Perpecahan.
Erlangga, Jakarta.
Erari, K. P. 1999. Tanah Kita Hidup Kita. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Faisal, S. 1995. Format-format Penelitian Sosial. Rajawali
Press, Jakarta.
Fauzi, Noer. 1997. Argumentasi Konferensi Tanah dan
Pembangunan, Dalam Noer Fauzi (penyunting)
Tanah dan Pembangunan. Sinar Harapan,
Jakarta.
Gary H. 1996. Perencanaan Fisik dan Rancangan Perkotaan,
Dalam Catanese, A.J. dan Snyder, J.C. (editor).
Perencanaan Kota, Edisi Kedua. Erlangga,
Jakarta.
Gautama, S. 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hadjon, P.M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia. Bina Ilmu, Surabaya.
Hadjon,P.M., dkk. 1997. Pengantar Hukum Adminstrasi
Indonesia. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Harsono, B. 1999. Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya,
Jilid 1. Jambatan, Jakarta.
165
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Hartono, S, C.F.G. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem
Hukum Nasional. Alumni, Bandung.
Husein, A.S. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah.
Sinar Harapan, Jakarta.
1997. Konflik Pertanahan, Dimensi Keadilan
dan Kepentingan Ekonomi. Sinar Harapan,
Jakarta.
Ibrahim, S. 1999. Paradigma Baru Peran Serta Masyarakat dalam
Penataan Ruang. Dalam Buletin Tata Ruang,
Edisi pertama, Agustus-September 1999 BKTRN,
Jakarta.
Ilhami. 1990. Strategi Pembangunan Perkotaan di
Indonesia. Usaha Nasional, Surabaya
Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan
Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Edisi
ketiga, ITB, Bandung.
Kantaatmadja, M.K. 1994. Hukum Angkasa dan Hukum Tata
Ruang. Mandar Maju, Bandung.
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat. Cides,
Jakarta.
Karubaba, Y.K. 1999. Perencanaan Tata Guna Lahan
Perkotaan, Studi Kota Manokwari di Propinsi
Irian Jaya dalam Mengantisipasi
Perkembangan Penduduk. Tesis Pascasarjana
Unhas, Ujung Pandang.
Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Irian Jaya. 1997. Prinsip
Hak Menguasai Tanah dan Kasus-kasus Sengketa
Pertanahan di Irian Jaya, Dalam Indiarto, Bachriadi,
dkk (editor) Reformasi Agraria, Perubahan
166
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan
Agraria di Indonesia. Fakultas Ekonomi UI,
Jakarta.
Mahendra, A.A.O. 1996. Menguak Masalah Hukum,
Demokrasi dan Pertanahan. Sinar Harapan,
Jakarta.
Masenggi, C.P. 1999. Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang. Dalam Buletin Tata Ruang, Edisi
pertama, Agustus-September 1999 Badan
KoordinasiTata Ruang Nasional, Jakarta.
Mokoginta, L. 1999. Jakarta untuk Rakyat. Pustaka Sinar
Harapan, Yayasan Sattwika, Jakarta.
Muhaimin, Y. 1987. Menatap Masalah Pembangunan
Indonesia. Lembaga Kajian Masyarakat Indonesia,
Grafitakama offset.
Nasucha, C. 1995. Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur
Perpajakan Atas Tanah. Megapoin, Jakarta.
Nurmandi, A. 1999. Manajemen Perkotaan. Lingkaran
Bangsa, Yogyakarta.
Ohorella, M.G. 1993. Hukum Adat Mengenai Tanah dan Air
di Pulau Ambon dan Sumbangannya
Terhadap Pembangunan Hukum Agraria
Nasional (UUPA) dan Undang-undang
Lainnya. Disertasi Program Pascasarjana Unhas,
Ujung Pandang.
Parlindungan, A.P. 1993. Komentar Atas Undang-Undang
Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992).
Mandar Maju, Jakarta.
167
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Pemda Manokwari. 1985. Rencana Induk Kota Manokwari,
Tahun 1985/19862003/ 2004.
1997. Rencana Umum Tata Ruang
Kota Manokwari, (Revisi Rencana Induk
Manokwari 1985/2003), Kompilasi Data.
1998. Rencana Umum Tata Ruang
Kota Manokwari Tahun 19982007.
Monografi Kabupaten Dati II
Manokwari 1994-1999.
Ruwiastuti. 2000. Sengketa Agraria: Masalah Besar Bagi
Masyarakat Adat,. Dalam Fauzi (ed) Sesat Pikir
Politik Hukum Agraria. KPA dan Pustaka Pelajar.
Salindehu, J. 1987. Masalah Tanah dalam Pembangunan.
Sinar Grafika, Jakarta.
Salle, A. 1999. Hukum Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum. Ringkasan Disertasi,
Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
Salle, K. 1999. Kearifan Lingkungan menurut Pasang
(Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat pada
Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang
Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba).
Ringkasan Hasil Seminar Penelitian Disertasi
Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
Sandy, I.M. 1980. Masalah Tata Guna Tanah, Tata
lingkungan Indonesia. Jurusan Geografi, FIPIA,
UI, Jakarta.
168
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Sinulingga, B.D. 1999. Pembangunan Kota Tinjauan
Regional dan Lokal. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Soehadi, R. Tanpa Tahun. Penyelesaian Sengketa Tentang
Tanah Sesudah Berlakunya UUPA. Usaha
Nasional, Surabaya.
Soejono dan Abdurrahman. 1998. Prosedur Pendaftaran
Tanah: tentang Hak Milik, Hak Sewa Guna,
dan Hak Guna Bangunan. Rineka Cipta, Jakarta.
Soekanto, S. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan
Hukum. Rajawali Press, Jakarta.
1986. Pengantar Penelitian Hukum.
UI, Press, Jakarta.
Soemitro, R.H. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sudiyat, I. 1998. Perkembangan beberapa bidang Hukum Adat
sebagai Hukum Klasik Modern , Dalam Syamsuddin,
M. dkk (penyunting). Hukum Adat dan
Modernisasi Hukum. F.H.UII Yogyakarta.
Sugiyono. 1998. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta,
Bandung.
Ter Haar, B.- Poespanoto,S.K. Ng. 1983. Asas-Asas dan
Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Thomas, H. R. 11996. Perencanaan Tata guna Lahan, dalam
Catanese,A.J. dan Snyder,J.C. (editor),
Perencanaan Kota Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta.
169
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
Van Dijk, R, Soehardi, A. 1979. Pengantar Hukum Adat
Indonesia. Sumur, Bandung.
Wignjodipuro, S. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat. PT. Toko Gunung Mulia, Jakarta.
Yunus, H.S. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Yusri, M. A. 1998. Analisis Hukum Perebutan Ruang di
Kawasan Pesisir. Tesis, Pascasarjana Unhas,
Makassar.
Zulkaidi. 1995. Meninjau Kembali Persoalan Hukum Kerangka
Peraturan Penataan Ruang Kota di Indonesia,
dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Nomor 17 Tahun VI-Februari 1995. P3WK-ITB,
Bandung.
170
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR PERTANYAAN
IDENTITAS PENELITI
Nama : Roberth K.R. Hammar, SH
No. Pokok : P2HA 99002
Program Studi : Ilmu Hukum/Keagrariaan
Program : Pascasarjana ( S2 ) Universitas
Hasanuddin Makassar
PRAKATA
Respoden dan Informan yang terhormat, saya mohon
bantuan Bapak, Ibu kiranya dapat memberikan jawaban sesuai
kondisi senyatanya yang diketahui dan dialami. Judul penelitian
ini adalah Penataan Ruang Kota dan Implikasinya
Terhadap Perlindungan Hak-hak Rakyat Atas Tanah di
kota Manokwari.
Atas kesediaan dan bantuan,disampaikan terima kasih.
Identitas Responden / Informan
Nama :
Umur :
Pendidikan Terakhir :
Pekerjaan / Jabatan :
Alamat :
171
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR PERTANYAAN
Formulir : A1 (Responden)
(Konsistensi penataan ruang kota untuk menjawab masalah
pertama)
Petunjuk:
Cara menjawab pertanyaan ini adalah:
a. memilih jawaban yang tersedia (dapat disertai komentar)
b. Jawaban yang diberikan sesuai dengan kondisi nyata, yang
saudara alami.
1. Apakah pelaksanaan pembangunan kota Manokwari
konsisten dengan RUTRK kota Manokwari?
A. Konsisten
B. Belum Konsisten
C. Tidak Konsisten
2. Belum Konsistennya pelaksanaan pembangunan dengan
RUTRK disebabkan
A. Kebijakan Pemda
B. Kurangnya koordinasi antar instansi pelaksana
pembangunan kota
C. Kurang efektif fungsi pengawasan pembangunan oleh
instansi berwenang
D. Lemahnya pengendalian sosial warga kota terhadap
pelaksanaan RUTRK
E. Manajemen perkotaan belum didukung oleh
ketersediaan SDM Birokrat yang memadai.
3. Apakah realisasi penggunaan tanah konsisten dengan tata
guna tanah dalam RUTRK
A. Konsisten
B. Belum Konsisten
C. Tidak Konsisten.
172
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
4. Apakah penatagunaan tanah di kota Manokwari
sinkron/bersinergis dengan RUTRK kota Manokwari
A. Sangat Sinkron
B. Kurang Sinkron
C. Tidak Sinkron.
5. Apa kendala pengaturan penggunaan tanah di kota
Manokwari?
A. Sistem Administrasi pertanahan belum baik dan lengkap
B. Informasi pertanahan belum akurat
C. Kurangnya publikasi RUTRK dan peraturan pertanahan
D. Ketidakpastian pemilikan tanah adat.
173
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
DAFTAR PERTANYAAN
Formulir : A 2 untuk Masyarakat (Responden)
(Partisipasi, Sosialisasi Musyawarah, dan Perlindungan menjawab
masalah kedua)
Petunjuk:
a. Cara menjawab pertanyaan ini adalah:
- memilih jawaban yang tersedia (dapat disertai
komentar).
- memberi jawaban tanpa pilihan jawaban.
b. Jawaban yang diberikan sesuai dengan kondisi nyata, yang
saudara alami.
1. Apa status tanah yang saudara kuasai:
A. Bersertifikat Hak Milik
B. Bersertifikat Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
C. Hak Adat
2. Apakah rumah yang saudara miliki ada ijin Mendirikan
Bangunan (IMB)
A. Ada
B. IMB dalam proses
C. Tidak ada
3. Apakah saudara ikutserta dalam pelaksanaan penataan
ruang kota Manokwari?
A. Ikut dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
B. Ikut dalam perencanaan saja, pelaksanan saja; atau
evaluasi saja; atau gabungan, misalnya perencanaan dan
pelaksanaan; atau pelaksanaan dan evaluasi.
C. Tidak pernah ikut.
4. Apabila saudara pernah mengikuti pembahasan penataan
ruang kota Manokwari, dalam bentuk apa?
A. Menyampaikan surat dan atau pertemuan, diskusi dan
sejenisnya dengan Pemerintah Daerah atau DPRD.
B. Pertemuan sampai ditingkat kecamatan.
174
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
C. Pertemuan di tingkat RT, RW, Kelurahan.
5. Apakah ada tanah saudara yang terkena proyek (misalnya,
pembuatan jalan, pelebaran jalan, lapangan terbang, bangun
sekolah, kantor dan sebagainya)?
A. Ada B. Tidak ada
6. Apakah saudara diberitahukan oleh pemerintah sebelumnya
bahwa tanah saudara (sebagian atau seluruhnya) akan
diambil guna pelebaran jalan, atau proyek lainnya?
A. Diberitahukan B. Tidak diberitahukan
7. Apabila diberitahukan, dengan cara apa pemberitahuan
tersebut disampaikan?
A. Tertulis (surat) B. Lisan
8. Siapa yang memberitahukan?
A. Panitia Pengadaan Tanah
B. Aparat Pemerintah
C. Pengelola Proyek
9. Sewaktu mendengar atau mengetahui tanah saudara diambil
oleh pemerintah untuk proyek apakah saudara:
A. Setuju B. Ragu-ragu C. Tidak Setuju
10. Berapa banyak pertemuan yang dilakukan oleh Pemerintah
dengan saudara guna membicarakan tentang pembebasan
tanah?
A. Lebih dari 3 kali
B. Kurang dari 3 kali
C. Tidak pernah
11. Apakah saudara mengetahui Rencana Tata Ruang Kota
Manokwari?
A. Mengatahui
175
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
B. Ragu-ragu
C. Tidak Mengetahui
12. Apabila saudara mengetahui, melalui sarana apa saudara
mengetahui Rencana Tata Ruang tersebut!
A. Pendidikan dan latihan
B. Penyuluhan
C. Pameran pembangunan, Pengumuman, radio, koran,
brosur.
13. Apakah ada penyuluhan, atau pendidikan dan latihan
mengenai tata ruang kota yang dilakukan oleh pemerintah
(Bappeda, PU, dll) yang pernah saudara ikuti?
A. Sering kali
B. Kadang-kadang
C. Tidak pernah
14. Apakah ada pengumuman, penyuluhan tentang proyek yang
berkaitan dengan pengambilan tanah untuk pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah?
A. Selalu
B. Kadang-kadang
C. Tidak Pernah
15. Instansi mana yang memberikan informasi pertanahan di
kota Manokwari?
A. Dinas Pekerjaan Umum (Tata Kota dan Pengawasan
Pembangunan)
B. Kantor Pertanahan Kabupaten Manokwari
C. Tidak tahu
16. Apa kendala pengaturan penggunaan tanah di kota
Manokwari?
A. Informasi pertanahan belum akurat, dan Sistem
Administrasi pertanahan belum baik dan lengkap
176
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
B. Kurangnya publikasi terhadap RUTRK dan peraturan
pertanahan
C. Adanya tuntutan
17. Apakah saudara hadir pada saat musyawarah penentuan
besarnya ganti rugi?
A. Hadir
B. Ada pemberitahuan tetapi berhalangan hadir
C. Tidak hadir karena tidak ada pemberitahuan
18. Apakah saudara mengetahui tentang dasar perhitungan
besarnya ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman?
A. Mengetahui
B. Ragu-ragu
C. Tidak mengetahui
19. Dalam pertemuan atau rapat, siapa yang menentukan
besarnya ganti rugi!
A. Panitia Pengadaan Tanah
B. Pemerintah (Bupati, Intansi pengelola)
C. Badan Pertanahan, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan
Umum
20. Apakah saudara setuju dengan besarnya ganti rugi yang
ditawarkan?
A. Setuju
B. Ragu-ragu
C. Tidak setuju
21. Apabila saudara tidak setuju dengan besarnya ganti rugi
yang ditawarkan, apa alasan Saudara?
A. Tidak memperhitungkan bangunan dan tanaman.
B. Harga terlalu rendah
C. Harga terlalu rendah, tidak memperhitungkan bangunan
dan tanaman
177
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
22. Apakah ada tekanan dari pihak-pihak tertentu yang saudara
rasakan pada waktu membahas besarnya ganti rugi dan
atau selama proses pembebasan tanah (proyek)
berlangsung?
A. Tidak ada B. Ragu-ragu C. Ada
23. Dalam mengikuti rapat apakah ada pemaksaan untuk
mengikuti apa yang ditetapkan oleh panitia pembebasan
tanah?
A. Tidak ada B. Ragu-ragu C. Ada
24. Apakah Saudara merasa dihormati dan dihargai dalam rapat
penentuan besarnya ganti rugi dan atau selama pelaksanaan
proyek berlangsung?
A. Dihormati/dihargai
B. Kurang dihormati
C. Tidak dihormati/tidak dihargai
25. Bagaimana bentuk ganti rugi yang ditawarkan kepada
saudara?
A. Uang
B. Tanah pengganti saja; bangunan rumah saja atau
kombinasi uang dan tanah pengganti; uang dan
bangunan rumah; atau tanah pengganti dan bangunan
rumah.
C. Kombinasi uang, tanah pengganti dan bangunan rumah.
26. Menurut Saudara Apakah besarnya ganti rugi yang diberikan.
A. Memuaskan
B. Kurang memuaskan
C. Tidak memuaskan
178
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
27. Apakah Saudara mengetahui bahwa seharusnya penentuan
besarnya ganti rugi tanah disesuaikan dengan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) tanah yang bersangkutan?
A. Tahu B. Ragu-ragu C. Tidak
28. Apakah tanah yang diambil guna pelebaran tanah dan atau
proyek lain, diberikan ganti rugi?
A. Diberikan ganti rugi
B. Belum diberikan ganti rugi
C. Tidak diberikan ganti rugi
29. Berapa luas tanah saudara yang diambil atau terkena proyek
pembangunan?
30. Berapa besar harga tanah yang dibebaskan satu meter
persegi?
179
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
PEDOMAN WAWANCARA
Pokok-pokok materi yang akan dipertanyakan.
1. Konsistensi penataan ruang kota Manokwari.
2. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang kota.
3. Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kota
Manokwari.
4. Sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota Manokwari.
5. Sosialisasi projek pembangunan.
6. Musyawarah dalam pengadaan tanah di kota Manokwari.
7. Ganti kerugian atas tanah, bangunan dan tanaman.
180
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI KOTA
MANOKWARI
PENATAAN RUANG KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PERLINDUNGAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH DI
KOTA MANOKWARI
BIODATA PENULIS
Roberth K.R. Hammar, SH.,MH. lahir di
Larat-Kota 18 Agustus 1965, anak dari J.E.
Hammar dan S. Matanubun, menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengah di Tual Maluku
Tenggara. Sedangkan strata satu
diselesaikannya tahun 1990 di Sekolah Tinggi
Ilmu Hukum (STIH) Manokwari, dan pada
September 1999 terdaftar sebagai mahasiswa
strata dua pada Program Magister Hukum
Keagrariaan Universitas Hasanuddin Makassar, dan menyelesaikan
kuliah pada tanggal 5 April 2001.
Penulis aktif dalam berbagi organisasi, baik organisasi pemuda maupun
politik yakni AMPI, KNPI, Golkar, Kosgoro 1957, KONI dll. Penulis di
samping tugas pokoknya di Birokrasi sebagai Kepala Bagian Hukum
Dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Daerah Kabupaten Manokwari, ia
juga Dosen dan Pimpinan Perguruan Tinggi, yakni: Pembantu Ketua III
(1995-1997) dan Pembantu Ketua I (1997-1998) Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum (STIH) Manokwari, dan kini menjabat Ketua Sekolah Tinggi
Ilmu Hukum (STIH) Bintuni (2002-Sekarang), Pembantu Ketua I
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mah-Eisa (2002-Sekarang), Ketua
Badan Pengurus Sekolah Tinggi Teologia (STT) Erikson Triit Manokwari
(2004-2009); juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak.
Dalam jabatan Birokrasi ia berpangkat Pembina/IVa Sedangkan
jabatan akademik Lektor.
Ia menikahi Elsiana Ribka Kalembang, SH dan telah dikaruniai 3 (tiga)
orang anak yakni Yunus Tekad Kurniadi (12 Tahun); Immanuel
Inriyanto (8 Tahun) dan Angela Triwahyuni (4 Tahun).

Anda mungkin juga menyukai