Anda di halaman 1dari 36

USULAN PENELITIAN

PERAN PEMERINTAH DESA MEKARSARI DALAM


MENGEMBANGKAN OBJEK WISATA DARI
PRESPEKTIF HUKUM PEMERINTAH DESA

Oleh :

I KETUT LANUS
1914101074
PROGRAM STUDI HUKUM AGAMA HINDU
JURUSAN DHARMA SASTRA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI MPU KUTURAN
SINGARAJA
2023

USULAN PENELITIAN

OPTIMALISASI PEMERINTAH DESA MEKARSARI DALAM


MENGEMBANGKAN OBJEK WISATA DARI PRESPEKTIF
HUKUM PEMERINTAH DESA

TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI UNTUK


DIUJI OLEH:

Pembimbing I Pembimbing II

Putu Subawa,S.Pd.,M.Pd.H. Putu Ersa Rahayu Dewi, M.Pd


NIP. 197007052007101002 NIP. 19880701201901010

ii
LEMBAR PENGESAHAN

OPTIMALISASI PEMERINTAH DESA MEKARSARI DALAM


MENGEMBANGKAN OBJEK WISATA DARI PRESPEKTIF
HUKUM PEMERINTAH DESA

USULAN PENELITIAN INI TELAH DIUJI DAN DISETUJUI PADA


TANGGAL 09 FEBRUARI 2023

Ketua Penguji Sekretaris Penguji

Putu Subawa,S.Pd.,M.Pd.H. Putu Ersa Rahayu Dewi, M.Pd


NIP. 197007052007101002 NIP. 19880701201901010

Anggota
Penguji I

Ni Ketut Tri Srilaksmi, S.H., M.Ap.


NIP. 199006252019632018

Mengetahui,
Ketua Jurusan Dharma Sastra

Putu Subawa,S.Pd.,M.Pd.H.
NIP. 197007052007101002

iii
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul

“Optimalisasi Pemerintah Desa Mekarsari Dalam Mengembangkan Objek

Wisata Dari Prespektif Hukum Pemerintah Desa” beserta isinya adalah

benar-benar kerya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan dan mengutip

dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat

keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang

dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas

etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya

ini.

Singaraja, 9 Februari 2023


Yang membuat pernyataan

I Ketut Lanus
NIM. 1914101074

iv
KATA PENGANTAR

Om, Swastyastu

Angayubagia penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas asung kertha wara nugraha-Nya penulis dapat

menyusun dan menyelesaikan proposal yang berjudul: “Optimalisasi Pemerintah

Desa Mekarsari Dalam Mengembangkan Objek Wisata Dari Prespektif

Hukum Pemerintah Desa” dalam waktu yang telah ditentukan. Proposal ini

penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar sarjana (S1)

dilingkungan Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja.

Dengan telah berhasilnya menyusun proposal ini, maka sudah sewajarnya

penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat :

1. Dr. I Gede Suwindia, S.Ag., M.A selaku Ketua STAHN Mpu Kuturan

Singaraja, yang telah memberikan kesempatan dalam menyelesaikan

proposal ini.

2. Bapak Putu Subawa,S.Pd.,M.Pd.H selaku Ketua Jurusan Dharma Sastra,

STAHN Mpu Kuturan Singaraja, telah banyak memberikan arahan yang

sangat membantu dalam penyusunan proposal ini.

3. Putu Ary Prasetya Ningrum, S.H.,M.H selaku Ketua Prodi Hukum Hindu

STAHN Mpu Kuturan Sigaraja yang membantu selalu memberi petunjuk

dan arahan positif sehingga sangat membantu dalam penyusunan Proposal.

4. Bapak Putu Subawa, S.Pd.,M.Pd.H selaku Pembimbing I yang telah banyak

memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan proposal ini.

v
5. Ibu Putu Ersa Rahayu Dewi, M.Pd selaku Pembimbing II yang telah banyak

memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan proposal ini.

6. Para Informan yang banyak memberikan informasi dalam menyelesaikan

proposal ini.

7. Teman-teman yang banyak memberikan bantuan dalam penyusunan

proposal ini.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih sangat jauh dari sempurna

baik dari penulisan, materi, maupun isinya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan

kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran

yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan dari para pembaca. Akhirnya

dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengaharapkan kritik serta saran-

saran dari Bapak, Ibu, saudara sekalian yang bertujuan untuk memperbaiki

proposal ini. Semoga proposal ini ada manfaatnya.

Om Santi, Santih, Santih, Om.

Singaraja, 5 Pebruari

2023

Peneliti

vi
DAFTAR ISI

USULAN PENELITIAN ...................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 8

1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................................... 8

1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8

1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 9

1.4.2. Tujuan Khusus....................................................................................... 9

1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................... 9

1.5.1. Manfaat Teoritis .................................................................................. 10

1.5.2. Manfaat Praktis ................................................................................... 10

1.6. Landasan Teoritis ................................................................................... 10

1.6.1. Konsep Tindakan Pemerintah ............................................................. 10

1.6.2. Teori Pemidanaan (Midle Theory) ...................................................... 12

1.2.3.1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings

theorien) 12

vii
1.6.3. Teori Kewenangan .............................................................................. 21

1.7.Metode Penelitian ........................................................................................ 22

1.7.1. Jenis Penelitian .................................................................................... 23

1.7.3. Data dan Sumber Data......................................................................... 24

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................................. 25

1.7.5. Analisis ................................................................................................ 26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebagai negara kepulauan, masalah utama yang dihadapi Negara Indonesia

adalah pemerataan pembangunan. Siagian (1994) memberikan pengertian tentang

pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan

perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara

dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation

building)”. Adapun menurut W.W Rostow (Abdul: 2004:89) pembangunan

merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat

terbelakang ke masyarakat negara yang maju. Selanjutnya pembangunan menurut

Rogers (Rochajat,dkk: 2011:3) adalah perubahan yang berguna menuju sustu sistem

sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak suatu bangsa.

Kota seharusnya sudah bukan lagi menjadi fokus utama pembangunan

daripada pemerintahan pusat. Seperti yang kita ketahui, masih bayak desa yang

tertinggal atau memiliki keterbelakangan baik dalam aspek infrastuktur, fasilitas

Kesehatan dan Pendidikan. Pembangunan Nasional Negara Indonesia secara umum

ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan masyarakat secara adil dan

merata diseluruh pelosok wilayah NKRI, baik yang tinggal di daerah perdesaan

(rural area) maupun daerah perkotaan (urban area) (Budianta, 2010).

1
Dewasa ini, pemerataan pembangunan, bahkan sampai desa yang berada di

pelosok sudah mulai terealisasikan. Berbagai usaha telah dilakukan, pun dengan

hasilnya yang beberapa diantaranya sudah dapat dirasakan masyarakat. Seperti,

pembangunan infrastruktur jalan, pemerataan kualitas pedidikan dan Kesehatan. Ini

menunjukan, pemerintahan pusat serius menangani kesenjangan yang menjurangi

anatra desa dan kota.

Sejalan dengan UU No 6 tahun 2014 maka Desa didorong untuk mampu

mengembangkan berbagai inovasi dalam pengelolaan potensi desa guna

meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Seperti yang

diamanahkan dalam UU No 6 Tahun

2014, setidaknya terdapat lima hal penting tentang pembangunan masyarakat antara

lain, Pertama, mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk

pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; Kedua,

membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta

bertanggung jawab; Ketiga, meningkatkan pelayanan publik bagi warga

masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; Keempat,

Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan

masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari

ketahanan nasional; Kelima, memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek

pembangunan (Yunas, 2019).

Ada beberapa undang-undang yang membahas mengenai keleluasaan bagi

pemerintah desa untuk membuat kebijakan misalnya dalam UUD 1945 Pasal 18

ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi

2
atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang

tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang

diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD

1945 ditegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan. Dari isi UUD 1945 tersebut bisa kita lihat bahwa pemerintah

desa sudah dilimpahkan wewenang dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang

diperlukan untuk memajukan desa (TB, 2019).

Dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat maka desa perlu

dana untuk menjalankan programnya. Ada beberapa sumber dana yang dimiliki

oleh desa berdasarkan Pasal 72 UU 6/2014jo. Perppu 1/2020, desa memiliki

beberapa sumber pendapatan. Jika dirinci, pendapatnya berasal dari pendapatan

asli, alokasi APBN, bagian hasil pajak dan retribusi daerah, bantuan keuangan dari

APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga,

serta dana desa. Sebagai informasi tambahan, pendapatan asli desa merupakan

pendapatan yang didapat desa atas berbagai hal, seperti hasil usaha, hasil aset,

swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lainnya. Pada Pasal 1 angka 2 PP

60/2014jo. PP 8/2016 juga mengartikan dana desa adalah dana yang bersumber dari

APBN yang diperuntukan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota

dan dana desa ini digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan,

pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan

masyarakat (Hukumonline, 2022).

3
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa

dan untuk meningkatkan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, maka

sesungguhnya setiap desa mempunyai potensi sebagai sumber pendapatan asli desa.

Apabila desa melaksanakan kewenangan asal usul dan kewenangan berskala desa

maka peluang untuk memperoleh pendapatan asli desa terbuka lebar. Dalam

pelaksanaannya sangat dibutuhkan dukungan peraturan dari atas, sehingga

Pemerintah desa tidak salah arah tetapi justru sinergi dengan

Pemerintah diatasnya (Nain, 2019).

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang wilayahnya terdiri atas satu

pulau, yaitu pulau Bali dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Diantara pulau kecil

tersebut, Nusa Penida adalah pulau terbesar yang letaknya berada di tenggara pulau

Bali. Luas seluruh wilayah Provinsi Bali adalah 5633 km2.

Pulau Bali berbentuk seperti sebuah kipas yang direntangkan, pada bagian

tengahnya terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke timur. Pegunungan

ini sekaligus sebagai batas alam antara Bali bagian utara dan Bali bagian selatan.

Gunung Agung merupakan gunung yang tertinggi di Bali dengan tinggi mencapai

3142 MDPL (Meter Dari Permukaan Laut) yang terletak di Kabupaten

Karangasem. Gunung lainnya yaitu Gunung Batur yang terletak di Kabupaten

Bangli dengan ketinggian mencapai 1717 MDPL. (Somantri, 2017)

Dengan letak geografisnya yang membuat Bali kaya akan objek wisata

alamnya. Bali dan pariwisata merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Sebagai daerah tujuan wisata utama, tidak hanya dari keindahan alam tetapi juga

karena keunikan seni budayanya yang menjadi daya tarik wisatawan asing maupun

4
local. Oleh karena itu, sektor pariwisata menjadi andalan bukan hanya oleh

Pemerintah Provinsi Bali namun juga seluruh lapisan masyarakat.

Bali memiliki potensi yang sangat besar di dunia pariwisata, banyak faktor

yang akan menunjang potensi ini. Bali dianugerahkan memiliki alam yang indah

mulai dari pantai, laut, sungai, danau, gunung, dan hutan. Semua objek alam ini

sangat potensial untuk dijadikan objek wisata contohnya seperti Pantai Dreamland

yang merupakan objek wisata sangat terkenal. Pantai ini terletak di Kecamatan

Pecatu, Kabupaten Badung. Tidak hanya menyuguhkan pesona pasir putih khas

Bali selatan, pantai ini juga terletak diantara tebing-tebing yang membuat

pesonanya semakin indah.

Keunggulan budaya Bali juga tidak lepas dari penunjang pariwisata di Bali

yang tak kalah menarik. Kehidupan masyarakat Bali sangat erat dengan agama

hindunya sehingga setiap upacara keagamaan merupakan objek yang sangat khas.

Tempat ibadah umat hindu yaitu Pura memiliki daya tarik wisatawan yang sangat

kuat karena pementasan tari-tarian dan tradisi yang diminati oleh wisatawan.

Pura Uluwatu merupakan pura yang terletak pada kaki bali yaitu di Desa

Pecatu. Pura Uluwatu juga menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh wisatawan.

Pada hari-hari tertentu disana akan menampilkan pementasan tari kecak, yang

membuat Pura ini tidak pernah sepi dari kunjungan wisatawan.

Menurut Somantri (2017), selain Pura Uluwatu, Pura Taman Ayun yang

berarti taman yang indah juga menjadi objek wisata yang sering dikunjungi.

Halaman pura ditata sedemikian indah yang dikelilingi oleh kolam ikan. Pada pura

5
ini terdapat museum ogoh-ogoh yang dimana ogoh-ogoh sendiri merupakan

gambaran dari butakala yang diarak saat hari raya Nyepi.

Potensi yang sangat penting dalam kegiatan pariwisata adalah sarana dan

prasarana pendukungnya, seperti hotel, restaurant café, kolam renang, pusat

souvenir, dan sarana olahraga. Bali memiliki sarana dan prasarana yang lengkap.

(Somantri, 2017)

Di sekitaran Pantai Kuta banyak terdapat hotel dengan berbagai kelas,

hotel-hotel bintangnya dibuat sangat megah dengan fasilitas standar internasional.

Daerah ini dipenuhi dengan berbagai penginapan dari yang standar hingga yang

mewah, banyak wisatawan memilih kawasan ini untuk menginap dan

menjadikannya sebagai base berkeliling ke berbagai objek wisata lainnya di Bali.

Potensi-potensi ini harus pula didukung oleh proses perencanaan yang

efektif agar kehidupan pariwisata di Bali tidak berhenti. Temuan lainnya yang juga

berimplikasi terhadap perencanaan pariwisata Bali adalah adanya peningkatan

perhatian wisatawan terhadap masalah-masalah kebersihan dan efektivitas

pematokan harga produk wisata. (Suradnyana, 2018)

Dengan adanya potensi sebesar ini, tak heran jika desa-desa yang ada di

Pulau Bali berlomba-lomba untuk mengembangkan desanya menjadi desa wisata.

Desa wisata dianggap sebagai wadah pengembangan wilayah dan pemberdayaan

masyarakat. Pastinya tidak hanya dari sektor pariwisatanya yang berkembang tetapi

juga sektor ekonominya.

Pengelolaan daya tarik wisata yang tepat diharapkan dapat

memberdayakan masyarakat desa itu sendiri agar sesuai dengan prinsip utama

6
yaitu, desa membangun. Fokus dari prinsip ini adalah meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui pengembangan usaha produktif sesuai potensi dan sumber daya

local. (Putri, 2022)

Sejalan dengan tujuan pembangunan kepariwisataan, pemerintah

mengembangkan desa wisata dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran,

melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, serta memajukan kebudayaan.

Banyak sekali keuntungan dari mengembangkan desa wisata, yang menjadikan

warga di sekitar desa itu sangat terbantu dari sektor ekonomi. (Limanseto, 2021)

Desa Mekarsari merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Tabanan

yang memiliki potensi menjadi desa wisata yang cukup besar. Destinasi utama di

desa ini adalah wisata air terjun leke-leke atau yang dikenal dengan nama kipuan

kebo. Lokasi air terjun ini berada di jalur Denpasar-Singaraja searah dengan objek

wisata bedugul. Harga yang terjangkau dengan pesona alam yang amat indah

menjadikan objek wisata ini sangat ramai dikunjungi wisatawan tidak hanya local

tetapi dari mancanegara.

Dalam mengembangkan desa wisata, peran pemerintah sangatlah

diperlukan. Pemerintah Desa Mekarsari menaruh perhatian khusus tentang potensi

besar yang dimiliki untuk menjadi desa wisata. Pemerintah disana berperan sebagai

fasilitator yang memberikan atau menyediakan fasilitas dan pengelola objek wisata.

Selain menjadi fasilitator, pemerintah Desa Mekarsari juga perlu

menegaskan kebijakan-kebijakan yang sekiranya menunjang pengembangan desa

wisata. Kebijakan yang dimaksud mulai dari yang terpenting adalah kebijakan

7
anggaran, dikarenakan tanpa anggaran kebijakan lain tidak akan bernilai. Yang

kedua terkait dengan kebijakan fasilitas yang akan diberikan oleh pemerintah desa,

kemudian juga perlu diprioritaskan adalah pelatihan sumber daya manusia serta

pembinaan desa wisata.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana dasar pengaturan kebijakan pemerintah Desa Mekarsari

dalam pengembangan objek wisata di wilayahnya?

2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pemerintah Desa Mekarsari dalam

pengembangan objek wisata di wilayahnya?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah dalam penulisan ini terbatas pada optimalisasi

kebijakan pemerintah Desa Mekarsari dalam pengembangan objek wisata dari

perspektif hukum pemerintahan Desa

1.4. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian dilakukan oleh peneliti sudah tentu ada

tujuan yang hendak dicapai, karena melalui tujuan yang jelas akan

mendapatkan hasil, petunjuk yang ingin dicapai titik adapun tujuan

dalam penelitian ada dua yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan

yang bersifat khusus sebagai berikut:

8
1.4.1 Tujuan Umum

Setiap penulisan karya ilmiah memiliki tujuan ataupun maksud tertentu,

adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah


secara tertulis

2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada

bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa

3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum.

4. Untuk mengetahui Ruang lingkup masalah dalam penulisan ini terbatas

pada optimalisasi kebijakan pemerintah Desa Mekarsari dalam

pengembangan objek wisata dari perspektif hukum pemerintahan Desa

1.4.2. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini, adalah:

1. Untuk meneliti dasar pengaturan kebijakan pemerintah Desa Mekarsari

dalam pengembangan objek wisata di wilayahnya.

2. Untuk mengidentifikasi formulasi kebijakan pemerintah Desa

Mekarsari dalam pengembangan objek wisata di wilayahnya.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan nilai guna dari kegiatan penelitian karena

melalui pelaksanaan penelitian diharapkan mendapat hasil yang maksimal serta

manfaat baik secara teori maupun praktek detik adapun manfaat yang peneliti

sampaikan sebagai berikut:

9
1.5.1. Manfaat Teoritis

1. Untuk dapat memperkaya pengembangan teori ilmu pengetahuan guna

menambah pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum pemerintahan

2. Untuk memperoleh pemahaman dan gambar tentang hukum pariwisata

1.5.2. Manfaat Praktis

1. Untuk memberikan masukan kepada pemerintah Desa dalam rangka

menerapkan suatu kebijakan pemerintah

2. Untuk dapat dipakai sebagai acuan bagi para praktisi hukum terkait

dengan pengelolaan objek wisata.

1.6. Landasan Teoritis

Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan dasar berpijak bagi

peneliti dalam mengadakan pembahasan terhadap masalah-masalah yang diteliti,

titik dasar-dasar teori yang digunakan sudah tentu ada kaitannya dengan

permasalahan yang diteliti. Hal ini dimaksud agar dalam penelitian didapatkan hasil

analisis yang dapat dipertanggungjawabkan.

1.6.1. Konsep Tindakan Pemerintah

Dalam meyelenggarakan tugas pemerintahan, maka pemerintah

melakukan tindakantindakan pemerintahan. Para sarjana mempergunakan istilah

yang berbeda-beda mengenai tindakan pemerintahan (bestuurshandeling). Philipus

M. Hadjon dan Kuntjoro Purbopranoto menggunakan istilah “tindak

pemerintahan”. Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan administrasi negara”, Van

Vollenhoven menggunakan istilah “tindakan pemerintah”, Sedangkan Baschan

Mustafa menyebutnya dengan istilah “perbuatan administrasi negara”.

10
Menurut penulis istilah yang cocok mengartian “bestuurshandeling”

adalah pendapat dari Philipus M. Hadjon dan Kuntjoro Purbopranoto, yaitu tindak

pemerintahan. Bestuur berarti pemerintahan dan handeling berani tindak, yang

menurut Philipus M. Hadjon berarti tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh

administrasi negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.

Tindak pemerintahan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Pertama,

tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum (rechtshandelingen) dan Kedua,

tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (vetliyke handeling). Menurut C.J.N.

Versteden, tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya

dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum.

Sedangkan mengenai pengertian tindakan hukum, menurut H.J. Romeijn tindakan

hukum administrasi merupakan suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ

administrasi dalam keadaan khusus yang dimaksudkan untuk menimbulkan suatu

akibat hukum dalam bidang administrasi. Menurut J.B.J.M.ten Berge, tindakan

hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.

Tindakan hukum inilah yang penting bagi hukum administrasi.

Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum kemudian dibedakan

mcnjadi tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat. Tindakan yang

berdasarkan hukum publik kemudian dibagi lagi menjadi tindakan sepihak

(eenzydig) dan berbagai pihak (meerzijdige). Tindakan hukum sepihak dibagi lagi

menjadi interne beschikking (keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan

hubungan-hubungan dalam (lingkungan) alat Negara yang membuatnya) dan

11
externe beschikking (keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan hubungan-

hubungan antara dua atau lebih a1at Negara).

1.6.2. Teori Pemidanaan (Midle Theory)

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga

golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),

teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings

theorien).

1.2.3.1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan.

Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada

orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya

kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer

dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang

pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya

absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law,

bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk

mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi

masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang

bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharunya menerima

ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada

pada anggota masyarkat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai

berikut: Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang

12
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung

unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan

suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana. Apabila

manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan

oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran

utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori

pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu

akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak

memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan. Teori pembalasan atau

absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan

subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah

pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.

Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan: Oleh karena

itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk

membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena

dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal,

mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat penulis,

membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang kejam memperkosa

rasa keadilan. Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan

narapidana sadar atau tidak.

Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar,

mungkin juga akan lebih jahat. Pidana yang ringan pun kadang-kadang dapat

merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu

13
usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor,

misalnya apakah pelaku tindak pidana itu mempunyai lapangan kerja atau tidak.

Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya

akan tetap menjadi lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada

kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali. Ada beberapa ciri dari

teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:

a. tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

b. pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana

untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat; kesalahan merupakan

satu-satunya syarat bagi adanya pidana;

c. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

d. pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan

tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan

kembali pelanggar.

Dilihat dari sejarahnya mungkin teori ini dipandang tepat pada zamannya.

Akan tetapi dalam konteks perkembangan masyarakat yang semakin beradab, maka

sulit untuk menjelaskan bahwa seseorang dipidana hanya karena orang telah

melakukan kejahatan. Meskipun rasa dendam ada pada setiap diri manusia dan

kelompok masyarakat, akan tetapi pemikiran yang rasional jelas tidak bijak untuk

mengikuti tuntutan balas dendam. Justru tugas pemikir untuk mengarahkan

perasaan dendam pada tindakan yang lebih bermartabat dan bermanfaat. Dalam

konteks sistem hukum pidana Indonesia, karakteristik teori pembalasan jelas tidak

14
sesuai (bertentangan) dengan filosofi pemidanaan berdasarkan sistem

pemasyarakatan yang dianut di Indonesia.

1.2.3.2. Teori Relatif Atau Teori Tujuan (doel theorien)

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi

terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif

bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam

masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari

pemidanaan yaitu :

a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving


van de

maatschappelijke orde);

b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat

dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane

maatschappelijke nadeel);

c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

e. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan

tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori

tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini

adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est”

(karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan

15
melakukan kejahatan). Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk

mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain,

pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas

kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

Filsuf Inggris yakni Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang

pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham

bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar

kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus

ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih

berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan.

Mengenai tujuan-tujuan dari pidana adalah:

a. mencegah semua pelanggaran;

b. mencegah pelanggaran yang paling jahat;

c. menekan kejahatan;

d. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu:

a. prevensi umum (generale preventie),

b. prevensi khusus (speciale preventie).

Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai


berikut:

Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak

melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader)

tidak melanggar. Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk

mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan

16
memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan

melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa

tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya

lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki

narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna. Dari uraian

di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori

utilitarian, yaitu:

a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);

b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si


pelaku saja

(misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya
pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan.

e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan,

tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima

apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat.

Selanjut Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif (teori tujuan)

berporos pada tiga tujuan utama pemidanan, yaitu: Preventif, Deterrence, dan

Reformatif. Teori ini diadopsi di Indonesia dan dijadikan dasar teori

pemasyarakatan. Namun ternyata teori pemasyarakatan banyak juga kelemahannya.

17
Karena latar belakang pelaku kejahatan dan jenis kejahatan yang beragam. Dari

gambaran di atas, teori tujuan ini juga tidak terlepas dari berbagai kelemahannya.

Berkenaan dengan pandangan Jeremy Bentham, bahwa manusia merupakan

makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan

menghindari kesusahan. Perlu dipersoalkan, karena kejahatan dilakukan dengan

motif yang beragam. Tidak semua kejahatan dapat dilakukan dengan rasional,

dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia melakukan tidak atas dasar

rasionya tapi lebih pada dorongan emosional yang kuat sehingga mengalahkan

rasionya. Ini artinya dari sisi motif kejahatan dapat diklasifikasikan atas kejahatan

dengan motif rasional dan kejahatan dengan motif emosional.

1.2.3.3. Teori Gabungan (verenigings theorien)

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan

ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan

teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori

tersebut memiliki kelemahan-kelemahan

yaitu :

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam

penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan

pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena

pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan

18
masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan

mencegah kejahatan dengan menakutnakuti sulit dilaksanakan.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan

pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu

merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki

narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk

memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat. Teori

integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh

melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat.

2. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib

masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang

beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

3. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal
di atas.

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan

terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum.

Disamping itu Roeslan

Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa

pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana

adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali

dalam masyarakat. Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan

pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis,

19
ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak

pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian

dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun

masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki

kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat

tujuan pemidanaan tersebut adalah:

a. pencegahan (umum dan khusus),

b. perlindungan masyarakat,

c. memelihara solidaritas masyarakat,

d. pengimbalan/pengimbangan.

Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan

pemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspek

pidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan

memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus

mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban. Dari

sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana dan pemidanaan

sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwa tujuan pidana

dan pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasan semata, atau

untuk pencegahan saja. Akan tetapi penulis sependapat bahwa tujuan pidana dan

pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif.

Teori gabungan pada hakekatnya lahir dari ketidakpuasan terhadap gagasan teori

pembalasan maupun unsur-unsur yang positif dari kedua teori tersebut yang

kemudian dijadikan titik tolak dari teori gabungan. Teori ini berusaha untuk

20
menciptakan keseimbangan antara unsur pembalasan dengan tujuan memperbaiki

pelaku kejahatan. Meskipun dimulai dengan menekan kekurangan dari toeri

pembalasan

1.6.3. Teori Kewenangan

Wewenang merupakan bagian yang penting dalam hukum administrasi

Negara. Wewenang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hak

atau kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak

untuk melakukan praktik kekuasaan, namun adapun pengertian kewenangan

(authority) berdasarkan Black’s Law Dictionary adalah “Right to exercise powers;

to implement and enforce laws; to exact obedience; to command; to judge. Control

over; jurisdiction. Often synonymous with power”.

Menurut F.P.C.L Tonnaer pengertian kewenangan dalam bukunya Ridwan

HR menyatakan : Overheidsbevoeghdheid wordt in dit verband opgevat als het

vermogen om positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen

burger onderling en tussen overhead en te scheppen (kewenangan pemerintah

dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif

dan dengan begitu dapat menciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan

warga negara).

Pengertian kewenangan menurut Ridwan H.R. adalah “Kewenangan yang

biasanya terdiri dari beberapa wewenang, adalah kekuasaan terhadap segolongan

orang-orang tertentu ataupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau

bidang urusan tertentu yang bulat, seperti urusan-urusan pemerintahan”.

21
Selain kewenangan tersebut pemerintah juga memiliki kebebasan bertindak

melalui Freies Ermessen atau kewenangan diskresi. Menurut Laica Marsuki

mengatakan Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan

atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan,

diembankan dalam kaitan menjalankan bestuurzorg. Terhadap diskresi perlu

ditetapkan adanya batas toleransi.

Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kewenangan yang tidak terbatas, yaitu

adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas

inisiatif sendiri, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, kewenangan

pemerintah ini tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.

Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah

(eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:

1. Apabila terjadi kekosongan


hukum;

2. Adanya kebebasan

interprestasi; 3. Adanya

delegasi perundang-

undangan;

4. Demi pemenuhan kepentingan umum.

1.7.Metode Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

22
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisanya. Untuk itu diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta

hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-

permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.

Menurut Soerjono Soekanto, “penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang

berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara metodelogis,

sistematis dan konsisten.

Metodelogis berarti sesuai dengan metode atau cara-cara tertentu, sistematis dan

konsisten” Dengan demikian hasil penelitian diharapkan memberikan penegasan

tentang apa yang seharusnya dilakukan atas isu yang diajukan.

1.7.1. Jenis Penelitian

Ilmu hukum mengenal dua jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif ciri-cirinya adalah beranjak

dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum, tidak menggunakan hipotesis,

menggunakan landasan teoritis dan menggunakan bahan hukum yang terdiri atas

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian hukum

normatif, karena terdapat tataran norma yang konflik. Norma konflik yang

dimaksud yaitu dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dengan cara

arbitrase yang diinginkan oleh para pihak, maka putusan tersebut bersifat final dan

mengikat, sesuai dengan ketentuan pasal 60 UndangUndang 30 tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa putusan

23
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para

pihak.

Namun dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa para pihak dapat

mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas)

hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Sehingga jika diteliti

lebih mendalam norma tersebut bertentangan dengan putusan arbitrase melalui

BPSK yang dimana putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Sehingga dengan

demikian ketentuan pasal 60 UU

Arbitrase dan APS dengan Pasal 56 ayat (2) UUPK saling kontradiktif.

1.7.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam ialah penelitian

kualititatif yaitu penelitian yang membutuhkan populasi dan sampel.

Penelitian kualitatif adalah penelitian tantang riset yang bersifat

deskriptif dan cenderung menggunakan analisis, landasan teori harus

sesuai dengan fakta dilapangan. Faktanya berasal dari identitas dan

peran informasi.

1.7.3. Data dan Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif, bahan hukum yang dipergunakan yaitu bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Yang termasuk Bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini antara lain:

A. Bahan-bahan hukum primer yaitu dokumen hukum yang mempunyai kekuatan


hukum

mengikat dan terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

24
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang


Mahkamah Agung.

4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

5. Keputusan Menteri perindustrian dan perdagangan Nomor

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK.

B. Bahan-bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan


hukum

primer, dan terdiri dari:

1. Buku-buku yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen dan


arbitrase.

2. Hasil karya ilmiah yang berhubungan dengan judul penelitian.

3. Kamus dan ensiklopedia hukum.

4. Hasil-hasil pertemuan ilmiah seperti: seminar, pentaloka, diskusi, simposium

dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dengan melakukan studi kepustakaan

(library research)yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum atau literature

yang terkait dengan penelitian. Penelitian bahan hukum diawali dengan

pengoleksian dan pengorganisasian bahanbahan hukum kedalam suatu sistem

informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum

tersebut. Bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni

dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan-bahan hukum primer

25
dan bahan hukum sekunder, dan kemudian dilakukan identifikasi terhadap bahan-

bahan hukum yang relevan dengan penelitian.

1.7.5. Analisis

Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara

analisis kualitatif dan komprehensif. Analisis kualitatif artinya menguraikan bahan-

bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimatbyang teratur, runtun, logis dan

tidak tumpang tindih serta efketif, sehingga memudahkan interpretasi bahan-bahan

hukum dan pemahaman hasil

analisa.

Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik deskriptif,

evaluatif dan argumentatif yang selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada

alasanalasan yang bersifat penalaran hukum, yaitu dengan mengemukakan doktrin

dan asas-asas yangada kaitannya dengan penelitian.

1.7.5 Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian hukum aspek empiris dikenal dengan model analisis seperti Data

Kualitatif dan Analisis Data Kuantitatif. Penerapan masing-masing analisis

tersebut diatas sangat tergantung dari sifat penelitian dan sifat data yang

dikumpulkan oleh si peneliti.Analisis Kualitatif yaitu Suatu penelitian yang

sifatnya eksploratif dan deskriptif. Dalam hal ini data yang dikumpulkan data

naturalistic yang terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi angka-angka, data

sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus- kasus

sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi, hubungan antar variable

26
tidak jelas, sampel lebih bersifatnon probalitas, dan pengumpulan data

menggunakan pedoman wawancara dan

Observasi. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif juga sering disebut dengan

analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang dikumpul baik data

primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun

data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan thema, diaktagorisasikan dan

diklasifisikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan

interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi social, dan dilakukan

penafsiran dari prespektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara

deskritif kualitatif dan sistematis.

DAFTAR PUSTAKA

Utrecht, 1958, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta.


Andi Hamzah, 1998, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinneka Cipta, Jakarta.
Andi Hamzah, Op.Cit.
Bambang Sunggono, 1997, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.Barda Nawawi, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Henry Campbell Black, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA.
I Made Pasek Diantha, 2017, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam
Justifikasi Teori
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.
J.E. Sahetapy, 1989, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
Alumni,
Bandung.

27
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan
Hukum Pidana, Cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan
Administrasi Negara, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung.
Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak
Pemerintahan
(Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya.
Prakoso dan Nurwachid, 1998, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai
Efektifitas Pidana
Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Ridwan H.R, 2011, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Ketujuh, Rajawali Pers,
Jakarta.
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai