Anda di halaman 1dari 8

HUKUM ADAT WARIS

Posted by IMAM SYAFI'I 029 on 1 Agustus 2012


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Mempelajari hukum adat waris pada dasarnya sangat menarik. Tidak saja disebabkan karena
hukum adat waris itu menjadi salah satu bagian penting dari disiplin hukum, tetapi disebabkan
juga oleh kenyataan bahwa hukum adat waris masih tetap exis di kehidupan sosial sehari-hari
khususnya di pedesaan.
Jika kita lihat, banyak sekali polemik yang timbul akibat perselisihan pembagian waris
dikalangan masyarakat. Padahal, hukum waris telah diatur dalam hukum adat, hukum perdata
dan hukum islam. Dengan banyaknya polemik masalah yang muncul, maka kali ini kita akan
kembali menkaji hal-hal yang terkait mengenai hal ini.
1. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan kita bahas adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum adat waris ?
2. Apa yang dimaksud dengan pewaris, waris, warisan dan pewarisan?
3. Apa saja bentuk-bentuk harta warisan ?
4. Apa saja macam-macam harta warisan ?
5. Bagaimana dan apa saja sistem kewarisan dalam hukum adat ?
6. Apa saja hak dan kewajiban ahli waris ?
7. Bagaimana metode peradilan warisan menurut hukum adat?






BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Adat Waris[1]
Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta
peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari para pewaris kepada waris dari
generasi kegenerasi berikutnya.
Menurut Ter Haar dikatakan bahwa hukum wari adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur
tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi kegenerasi ( Ter Haar, 1950: 197; Hilman Hadi
Kusuma 1980; 17 ).
Dengan demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu; adanya harta peninggalan atau
harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta warisan dan adanya ahli waris yang
menerima harta peninggalan.
1. Pengertian Pewaris, Waris, Warisan dan Pewarisan[2]
Pengertian Pewaris
Pewari adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang akan diteruskannya dan akan dibagi-
bagikannya kepada para waris setelah ia wafat.
Pengertian Waris
Waris adalah orang yang mendapat harta warisan, sedangkan ahli waris adalah orang yang
berhak mendapat harta warisan.
Pengertian Warisan
Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris
Penertian pewarisan
Pewarisan adalah proses penerusan harta peninggalan atau warisan dari pewaris kepada para
warisnya.
1. Bentuk-Bentuk Harta Warisan[3]
1. Harta Warisan yang Berwujud yaitu seperti sebidang tanah, bangunan rumah,
hewan ternak, kendaraan bermotor, mobil dan lain sebagainya.
2. Harta warisan yang Tidak Berwujud yaitu seperti kedudukan atau jabatan adat,
gelar-gelar adat, hutang-hutang, ilmu ghaib, pesan, amanat dan perjanjian.
3. Macam-Macam Harta Warisan[4]
1. Harta Warisan yang Tidak Dibagi-bagi
Adanya hartapeninggalan tetap tinggal tak terbagi-bagi itu dalambeberapa lingkungan hukum
adat, ada hubungannya dengan aturan, bahwa harta benda yang ditinggalkanoleh pewaris itu
tidak mungkin dimilkioleh ahli waris secara perorangan, melainkan harus dimiliki secara
bersama-sama dengan ahli waris lainnya, yang satu dengan yang lain merupakan satu kebulatan
yang tak dapat terbagi-bagi.
Misalnya pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, terdapat harta yang
tidak dapat dibagi-bagi. Oleh karenanya yang menguasai warisan adalah seluruh anggota
keluarganya. Seperti; harta pusaka rendah, harta pusaka tinggi dan harta pencaharian.
1. Harta Peninggalan yang Dibagi-bagi
Pembagian harta peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan daripada ahli waris secara
bersama-sama. Biasanya pembagian itu diselengarakan dengan pemufakatan atau atas kehendak
bersama daripada ahli waris. Apabila ternyata tidak terjadi permufakatan dalam penyelenggaraan
harta warisan, maka hakim (hakim adat atau pengadilan negri) berwenang atas permohonan para
ahli waris, untuk menetapkan cara pembagian harta peninggalan serta memimpin sendiri
pelaksanaan pembagiannya.
Hal ini yang banyak diaanut oleh beberapa uku di Indonesia seperti; Jawa, Madura, Sumatera
Selatan, Aceh, Kalimantan,Sulawesi dan sebagainya.
1. Sistem Kewarisan Hukum Adat[5]
Di Indonesia terdapat tiga sistem kewarisan hukum adat, yaitu sebagai berikut :
1. Sistem Kewarisan Individual
Cirinya adalah harta peninggalan dapat dibagi-bagikan diantara ahli waris. Misalnya dalam
masyarakat bilateral Jawa.
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan hak milik, yang
berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga
mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat. Maka kewarisan tersebut disebut
kewarisan individual.
1. Sistem Kewarisan Kolektif
Cirinya adalah harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama
merupakan semacam badan hukum untuk harta tersebut, disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-
bagikan. Misalnya pada masyarakat matrilinealn Minangkabau.
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama)
dari pewaris yang tidak terbagi-bagi secara perorangan, maka kewarisan yang demikian itu
disebut kewarisan kolektif.
Menurut kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi,
melaikan diperbolehkan untuk memakai, mengolah atau mengusahakan maupun menikmati
hasilnya. Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang
disebut harta pusaka, berupa sebidang tanah, sawah pusaka, rumah gadang dan lain sebagainya.
1. Sistem Kewarisan Mayorat
Cirinya adalah harta peninggalan diwariskan seluruhnya (sebagian besar sejumlah harta pokok
dari satu keluarga) pada seorang anak saja. Misalnya :
di Bali terdapat hak Mayora anak laki-laki yang tertua dan di tanah Semendo di sumatra Selatan
yang mendapat hak Mayora adalah anak perempuan tertua.
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak
pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak
dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka
dapat mandiri, maka sistem ini disebut kewarisan mayorat.
1. Hak dan Kewajiban Ahli Waris
1. Hak dan Kedudukan Anak Sebagai Ahli Waris[6]
~ Hak dan kedudukan anak sah ( anak kandung ) sebagai ahli waris. Dalam hukum waris adat
anak kandung lebih didahulukan dalam pembagian warisan dari pada yang lain, baik itu anak
laki-laki maupun perempuan. Ia mendapat warisan yang lebih besar dari yang lainya. Hanya saja,
mengenai pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan di beberapa daerah
diatur secara berlainan. Menurut adat Jawa, anak laki-laki maupun perempuan mendapat hak dan
kedudukan yang sama atas peninggalan harta orang tuanya.
~ Hak dan kedudukan laki-laki sebagai ahli waris. Biasanya, di sebagian besar daerah hukum
adat di Indonesia, yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki. Karena anak laki-laki yang
paling besar tanggung jawabnya terhadap keutuhan keluarga dan dianggap sebagai
pengganti/penerus ayahnya. Di tanah Batak yang mendapatkan warisan hanya anak laki-laki,
sedangkan anak perempuan tidak berhak mendapatkan warisan karena perempuan
perkawinannya keluar dari kerabat bapaknya. Beitu pula di Bali dan di Lampung anak laki-laki
tertua yang mendapat harta warisan.
~ Hak dan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris. Di beberapa daerah hhukum adat,
anak perempuan anak perempuan pun dapat menjadi ahli waris. Bahkan, adapula yang
kedudukannya lebih tinggi dari anak laki-laki. Misalnya ;
Di Jawa, anak perempuan memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki.
Di Minangkabau ( yang menganut garis keturunan matrilineal ), yang mana anak-anak
merupakan kerabat ibunya.
Di kalangan suku Sumendodan suku Dayak Landak dan suku Dayak Tayan di
Kalimantan, yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan tertua. Dan jika tidak ada
maka digantikan oleh anak laki-laki termuda. Disini anak perempuan yang mengurus
harta warisan dan kedudukannya lebih tinggi dari pada laki-laki
~ Hak dan kedudukan anak luar kawin sebagai ahli waris. Anak yang lahir diluar perkawinan
menurut hukum waris di Jawa, hanyalah menjadi ahli waris ibunya saja. Serta didalam harta
peninggalan famili ibu saja. Karena menurut hukum adat di Jawa anak luar kawin tidak
mempunyai garis keturunan dari pihak bapak.
~ Hak dan kedudukan anak angkat sebagai ahli waris. Pada dasarnya menurut hukum waris
adat, anak angkat berhak atas warisan sebagai anak. Misalnya, di Lampung anak angkat yang
mearisi bapak angkat adalah tegak-tegik penerus keturunan bapak angkatnya.
~ Hak dan kedudukan anak tiri sebagai ahli waris. Anak tiri yang hidup serumah dengan ibu
kandung dan bapak tiri (bapak kandung dan ibu tiri) adalah anggota rumah tangga puala. Di
Lampung, anak tiri dari ibu kandung (ada bapak tiri) maka ia akan bersetatus sebagai anak
kandung biasa dan pada dasarnya tidak berhak mewarisi (walaupun ia anak laki tertua). Tetapi ia
mendapatkan jaminan hidup dari ayah tirinya. Adapun di Jawa Barat, sama halnya dengan anak
angkat, seorang anak tiri akan menerima dari bagian orang tua tirinya.
1. Hak dan Kedudukan Janda/Duda Sebagai Ahli Waris[7]
~ Hak dan kedudukan janda sebagai ahli waris. Yaitu dilihat dari sudut bahwa ia adalah orang
luar dari keluarga suaminya. Tetapi sebaliknya, satu kenyataan bahwa ia adalah seorang istri
dan ibu dalam rumah tangga suaminya, dan turut membinanya, dan oleh karenanya ikut memiliki
harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Maka dalam unsur kewarisan, dapaylah
disimpulkan, bahwa :
v Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari hasil barang gono-gini maupun
dari hasil barang asal suami: jangan sampai terlantar selnjutnya sesudah suaminya meninggal
dunia.
v Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-
barang itu, lebih-lebih jika memiliki anak, harta itu tetap merupakan kesatuan dibawah asuhan
janda yang tidak dibagi-bagi.
v Janda berhak menahan pembagian barang asal suaminya, jikalau dan sekedar serta selama
barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya.
v Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak didalam keadaan terpaksa
diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi, anak minta sebagian untuk modal
usaha dan sebagainya.
Kemudian, berdasarkan putusan kasasi mahkamah agung RI No.110K/Sip/1960, janda adalah
ahli waris dari suaminya. Patut diperhatikan, bahwa harus ada dua syarat untuk janda guna
mendapatkan kedudukan seebagai ahli waris, antara lain :
Janda harus telah lama hidup bersama dan mengikuti suka duka dalam keluarga.
Janda sesudah suami meninggal tidak menunjukkan sikap atau cenderung memutuskan
hubungan dengan keluarga suami, juga tidak segera kawin lagi atau pada umumnya tidak
menelantarkan anak-anaknya.
~ Hak dan kedudukan duda sebagai ahli waris. Di beberapa daerah hukum adat di Indonesia,
duda pada hakekatnya, berhak mendapatkan harta warisan dari peninggalan istrinya. Di Jawa,
kedudukan duda terhadap harta peninggalan pada dasarnya sama dengan janda. Misalnya di Jawa
Barat, seorang duda akan menerima bagian sama besar dengan anak.
1. Hak dan Kedudukan Ahli Waris Lainya[8]
Disamping anak dan janda/duda sebagai ahli waris,terdapat pula ahli waris lain yang berhak
mewarisi,yaitu antara lain:
Orang tua pewaris,apabila keturunan (anak) tidak ada.
Saudara-saudara sekandungpewaris beserta ketunannya,apabila orang tua pewaris telah
meninggal dunia.
Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak menentu,apbala saudara-saudara sekandung
pewaris beserta ketunannya tidak ada.
Persekutuan adat,apabila para ahli waris sudah tidak ada lagi.
Misalnya didaerah Jawa Barat,apbila pewaris tidak mempunyai ahli waris maka harta
peninggalan akan di serahkan kepada desa atau diserahkan kepada Baitul Mal.
1. Kewajiban Ahli Waris[9]
Pada dasarnya ahli waris dengan harta peninggalan yang di tinggalkan oleh pewaris,wajib:
Menyelenggarakan upacara mayat dan penguburan,sehingga seorang ahli waris tanpa
setahu ahli waris lainnya dapat menjual sesuatu bagian tertentu dari pada harta
peninggalan untuk keperluan itu.
Membayar biaya-biaya pemakaman yang mana harus di dahulukan,sebelum harta itu
dibagi-bagi.
Membayar utang-utang pewaris.
Menyenggarakan upacara atau sematan dalam memperingati hari meninggalnya pewaris.
Misalnya: Didaerah Batak,Dayak dan Bali para ahli waris wajib bayar utang pewaris dengan
syarat yang berpiutang memberitahukan haknya kepada ahli waris dlam waktu 40 hari sesudah
meninggalnya pewaris atau sebelum selamatan.
1. Peradilan Warisan[10]
Peradilan yang dimaksud disini adalah cara bagaimana menyelesaikan sesuatu masalah yang
timbul dikarenakan adanya perbedaan atau adanya persengketaan mengenai harta warisan, baik
harta warisan dalam wujud harta benda yang berwujud maupun harta benda yang tidak berwujud,
melainkan berupa hak dan kewajiban, kedudukan, kehormatan, jabatan adat, gelar-gelar dan lain
sebagainya.
Adapun peradilan warisan dalam ilmu hukum adat adalah sebagai berikut :
Musyawarah Keluarga. Apabila terjadi sengketa harta warisan, maka biasanya semua
keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah orang anggota waris
yang berwibawa bertempat dirumah pewaris. Contohnya di Lampung dan suku Bugis.
Musyawarah Adat. Apabila musyawarah keluarga di atas tidak berhasil, maka
masalahnya diajukan dan diadakan musyawarah adat yang dihadiri oleh ketua adat atau
pemuka kerabat keturunan. Contohnya di Aceh.
Perkara di Pengadilan. Dimasa sekarang ini banyak yang berpendapat bahwa membawa
sengketa warisan ke pengadilan, sesungguhnya bukanlah untuk mencari
penyelesaiandamai dan adil sesuai kesadaran hukum di masyarakat, tetapi mencari jalan
keadilan menurut undang-undang, yurispodensi dan perasaan hakim.
Pembuktian. Didalam memeriksa perkara warisan dimuka pengadilan hakim harus
berusaha sedemikian rupauntuk mendamaikan kedua pihak,kecuali telah diusahakan
sedemikian rupa para pihak berperkara tidak mau mengikutin nasihat hakim dan ingin
perkara terus diperiksa. Untuk memeriksa perkara warisan diperlukan hal-hal sebagai
berikut :
o Pengakuan. Yaitu berupa keterangan atau isyarat yang dikemukakan, diakui, dan
dibenarkan oleh pihakberperkara di depan hakim, baik itu diucapkan, ditulis atau
dibenarkan oleh para pihak dengan langsung atau perantaraan kuasa hukumnya.
o Surat-surat. Yaitu surat pembuktian tentang hak milik harta warisan
o Saksi-saksi. Yaitu oerang lain yang mengerti duduk perkara harta warisan itu.
Hukum adat melarang seseorang yang ada hubungan keluarga bertali darah atau
bertali adat untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Sebagaimana dalam
pasal 145 HIR/172 RBg.
o Petunjuk atau Dugaan. Yang dimaksud petunjuk atau dugaan bukan hanya berupa
kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui kearah peristiwa yang
belum diketahui (pasal 1915 KUH perdata) tetapi juga berupa tanda kearah
kebenaran sesuatu masalah.
KESIMPULAN
Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta
peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari para pewaris kepada waris dari
generasi kegenerasi berikutnya.
Hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu; adanya harta peninggalan atau harta warisan,
adanya pewaris yang meninggalkan harta warisan dan adanya ahli waris yang menerima harta
peninggalan.
Bentuk warisan ada dua yaitu, warisan yang berwujud dan yang tidak berwujud.
Sistem kewarisan hukum adat ada tiga yaitu: individual, kolektif dan mayorat.
Ahli waris mendapatkan hak-hak dari peninggalan pewaris.
Ahli waris harus menunaikan kewajiban-kewajibannya sebelum menerima warisan.
Ada beberapa metode dalam pembagian warisan dalam hukum adat jika terjadi sengketa, yaitu
msyawarah keluarga, musyawarah adat, perkara pengadilan dan pembuktian.
DAFTAR PUSTAKA
Simanjuntak, S.H. P.N.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan,
2009.
SH.M.Hum. Sugiatminingsih. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: 2009.
SH. Prof. H. Hilman Hadikusuma. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandar
Lampung; Mandar Maju, 1992.
S.H. Soleman B. Taneko. Hukum Adat. Bandung ; PT. Eresco Bandung, 1987.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2002.
SH. Prof. Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1999.

[1] Lht ; Prof. H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Hal : 211
[2] Lht ; Prof. H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Hal : 214
[3] Lht ; Prof. H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Hal : 213
[4] Lht ; P.N.H. Simanjuntak, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Hal : 300
[5]Lht : Sugiatminingsih SH. M.Hum. Pengantar Hukum Indonesia. Hal : 109
[6] Lht ; P.N.H. Simanjuntak, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Hal : 306
[7] Lht ; P.N.H. Simanjuntak, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Hal : 310
[8] Lht ; P.N.H. Simanjuntak, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Hal ; 314
[9] Lht ; P.N.H. Simanjuntak, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Hal ; 315
[10] Lht. Prof. Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Waris. Hal : 116

Anda mungkin juga menyukai