Anda di halaman 1dari 61

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK

(Curcuma xanthoriza, Roxb) dan TEMUIRENG (Curcuma


aeruginosa, Roxb) SEBAGAI KONTROL HELMINTHIASIS
TERHADAP PACKED CELL VOLUME (PCV),
SWEATING RATE DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN
PEDET SAPI POTONG BRAHMAN CROSS LEPAS SAPIH






Oleh :

Agus Setiawan
NIM. 0310510007
















JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2008


41
EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK
(Curcuma xanthoriza, Roxb) dan TEMUIRENG (Curcuma
aeruginosa, Roxb) SEBAGAI KONTROL HELMINTHIASIS
TERHADAP PACKED CELL VOLUME (PCV),
SWEATING RATE DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN
PEDET SAPI POTONG BRAHMAN CROSS LEPAS SAPIH






Oleh :

Agus Setiawan
NIM. 0310510007











Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang




JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2008

42
EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK DAN
TEMUIRENG SEBAGAI KONTROL HELMINTHIASIS
TERHADAP PCV, SWEATING RATE DAN PERTAMBAHAN
BOBOT BADAN PEDET SAPI POTONG BRAHMAN CROSS
LEPAS SAPIH


Oleh :
Agus Setiawan
0310510007
Telah dinyatakan lulus dalam Ujian Sarjana
Pada hari/ tanggal: Rabu, 30 April 2008

Menyetujui
Susunan Tim Penguji


Pembimbing Utama Anggota Tim Penguji



drh. Rositawati Indrati, MP Ir. Ita Wahyu Nursita, MSc
NIP : 131 573 910 NIP: 131 759 597
Tanggal ..... Tanggal

Pembimbing Pendamping




Prof. Dr. Ir. H. Woro Busono, MS
NIP. 130 935 813
Tanggal

Mengesahkan:
Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya




Prof. Dr. Ir. Hartutik, MP
NIP: 131 125 348
Tanggal.............................
43
RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di Blitar pada tanggal 26 April 1985 sebagai putra
bungsu dari pasangan Bapak Maskur dan Ibu Lis Partini. Pada tahun 1997
menyelesaikan pendidikan dasar dari SDN Krenceng I Kec. Nglegok Kab. Blitar,
pada tahun 2000 menyelesaikan pendidikan menengah pertama dari SLTPN 3
Kota Blitar dan pada tahun 2003 menyelesaikan pendidikan menengah atas dari
SMUN I Kota Blitar.
Peneliti melanjutkan pendidikan sarjana pada tahun 2003 di Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Selama kuliah peneliti aktif sebagai pengurus
Himpunan Mahasiswa J urusan Produksi Ternak, sebagai ketua bidang
pengembangan organisasi. Peneliti juga aktif dalam berbagai kegiatan seminar,
diklat dan pelatihan bidang keilmuan.
44
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul
Efektivitas Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorriza) Dan
Temuireng (Curcuma aeruginsa) Sebagai Kontrol Helminthiasis Terhadap PCV,
Sweating rate Dan Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Brahman Cross
Lepas Sapih.
Pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat disampaikan terima kasih
kepada:
1. Ibu drh. Rositawati Indrati, MP selaku dosen pembimbing utama dan Prof. Dr.
Ir. H. Woro Busono, MS selaku dosen pembimbing pendamping atas
bimbingan dan arahan yang diberikan selama penyusunan skripsi.
2. Laboratorium Epidemiologi dan civitas akademik Fakultas Peternakan
Unibraw atas fasilitas dan bantuan administrasi untuk kelancaran penelitian.
3. Pimpinan beserta seluruh staf Usaha Peternakan Aliansi Pasuruan, atas kerja
sama dan fasilitas yang diberikan.
4. Bapak dan Ibu atas semua dukungan material maupun spiritual yang diberikan
selama penelitian hingga penyelesaian penulisan skripsi.
Besar harapan peneliti bahwa skripsi ini bermanfaat bagi peneliti
khususnya, pihak-pihak lain yang berkepentingan serta segenap pembaca pada
umumnya.

Malang, J uni 2008

Peneliti
45
ABSTRACT

EFFECTIVITY OF TEMULAWAK (Curcuma Xanthorriza) AND
TEMUIRENG (Curcuma Aeroginosa) EXTRACT AS HELMINTHIASIS
CONTROL TO PCV, SWEATING RATE, AND DAILY WEIGHT GAIN
OF CALF BRAHMAN CROSS

This research was conducted at Usaha Peternakan Aliansi in Kecamatan
Sengon, Kabupaten Pasuruan in August 11
th
to Oct 5
th
2007.
This research was aimed to know the effectivity of temulawak (Curcuma
xanthorriza) and temuireng (Curcuma aeruginosa) extract for anthelmintics as
control helminthiasis.
The material carried out was 30 calves with average of 30-92 kg consist of
P
O
(control), P
1
(given the extract for 3 days consecutive without replication), P
2

(given the extract for 3 days consecutive and with replication after 3 week).
Parameters measured was EPG from the faeces, PCV from the blood, sweating
rate by CCD, and body weight gain. Data were analyzed with Anova and were
subjected effect of the treatment by least significant difference test method.
The result showed that giving the extract to know the helminthiasis control
decreased the EPG, but increase sweating rate and body weight gain.
The conclusion of this research that temulawak and temuireng extract
could be used as natural anthelminthics alternatives for controling the helminth.
46
RINGKASAN

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK DAN
TEMUIRENG SEBAGAI KONTROL HELMINTHIASIS TERHADAP
PCV, SWEATING RATE DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PEDET
SAPI POTONG BRAHMAN CROSS LEPAS SAPIH

Penelitian dilaksanakan di Usaha Peternakan Aliansi di Kecamatan
Sengon Kabupaten Pasuruan pada tanggal 11 Agustus 2007 sampai dengan
tanggal 5 Oktober 2007.
Tujuan penelitian adalah mengetahui efektifitas pemberian ekstrak
temulawak dan temuireng untuk anthelmintik sebagai kontrol helminthiasis
terhadap PCV, sweatingrate, dan pertambahan bobot badan pedet sapi potong
lepas sapih. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan alternatif
anthelmintik alami serta dosis pemberian efektif untuk kontrol helmintiasis.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedet sapi potong lepas
sapih dengan kisaran bobot badan 30 92 kg sebanyak 30 ekor yang ditempatkan
dalam 3 kandang kelompok. Setiap kelompok kandang berisi 10 ekor pedet.
Kandang berukuran 5 x 8 m, beratap asbes dengan dinding terbuka dan lantai
semen. Pengambilan sampel secara sampling dengan batasan pedet lepas sapih
dan tingkat infeksi cacing telah diperiksa sebelum perlakuan dimulai. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode percobaan dengan tiga macam
perlakuan. Perlakuan tersebut adalah P0 : tidak diberikan ekstrak selama
penelitian, P1 : diberikan ekstrak tiga hari berturut-turut pada minggu ke-1 tanpa
pengulangan, P2 : diberikan ekstrak tiga hari berturut-turut pada minggu ke-1 dan
diulang pada minggu ke-4. Setiap minggu diambil sampel feses untuk
pemeriksaan EPG. Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum perlakuan,
memasuki minggu ke-4 dan minggu ke-8. Pengukuran sweating rate dilakukan
setiap minggu. Penimbangan pedet dilakukan 2 kali, yaitu awal sebelum
perlakuan dan setelah penelitian. Variabel yang diamati meliputi jumlah EPG,
nilai PCV, sweating rate, dan pertambahan bobot badan. Hasil pengamatan EPG
dan PCV dideskripsikan. Data sweating rate dan PBB dianalisis dengan metode
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan diteruskan dengan Uji Beda Nyata J ujur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak akan
menurunkan infeksi cacing yang dihitung berdasarkan nilai EPG. Secara statistik
pemberian ekstrak berpengaruh nyata untuk meningkatkan bobot badan,
metabolisme tubuh serta daya adaptasi terhadap lingkungan yang ditunjukkan
dengan sweating rate.
Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak temulawak dan temuireng dapat
digunakan sebagai alternatif anthelmintik alami untuk mengontrol helminthiasis,
serta meningkatkan status kesehatan untuk mendapatkan pertambahan bobot
badan yang optimal. Dosis pemberian yang efektif adalah 250 mg/ekor/pemberian
selama 3 hari berturut-turut.




47
DAFTAR ISI

Halaman
RIWAYAT HIDUP............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iv
ABSTRACT........................................................................................................ v
RINGKASAN..................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
1.4 Kegunaan...................................................................................................... 4
1.5 Kerangka Pikir .............................................................................................. 5
1.6 Hipotesis........................................................................................................ 6

BAB II TINJ AUAN PUSTAKA......................................................................... 8
2.1 Ekstrak Temulawak dan Ekstrak Temuireng................................................ 8
2.2 Helminthiasis................................................................................................ 10
2.3 Packed Cell Volume (PCV)........................................................................... 13
2.4 Sweating Rate................................................................................................ 15
2.5.Pedet Sapi Potong Lepas Sapih..................................................................... 15
2.6. Pertambahan Bobot Badan........................................................................... 16

BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN............................................ 17
3.1 Lokasi Penelitian........................................................................................... 17
3.2 Materi Penelitian........................................................................................... 17
3.3 Metode Penelitian......................................................................................... 18
3.4 Metode Pengukuran Sweating Rate ............................................................. 20
3.5 Analisa Data.................................................................................................. 21
3.6 Batasan Istilah............................................................................................... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 22
4.1 Pengaruh pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthorriza) dan
temuireng (Curcuma aeruginosa) sebagai kontrol helminthiasis................ 22
4.1.1 Dinamika EPG kelompok kontrol (P0)............................................... 22
4.1.2 Pengaruh pemberian ekstrak temulawak dan temuireng tanpa
pengulangan (P1) sebagai kontrol helminthiasis................................. 24
4.1.3 Pengaruh pemberian ekstrak temulawak dan temuireng dengan
pengulangan (P2) sebagai kontrol helminthiasis................................. 26
4.2 Pengaruh pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthorriza) dan
temuireng (Curcuma aeruginosa) terhadap PCV ....................................... 28
4.3 Pengaruh pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthoriza) dan
temuireng (Curcuma aeruginosa) terhadap sweatingrate .......................... 30
48
4.4 Pengaruh pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthoriza) dan
temuireng (Curcuma aeruginosa) terhadap pertambahan bobot
badan pedet sapi potong lepas sapih........................................................... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 35
5.1 Kesimpulan................................................................................................... 35
5.2 Saran.............................................................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36

LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 39
49
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran : Halaman
1. Hasil pemeriksaan EPG 41
2. Hasil pengukuran dan analisis sweating rate 44
3. Hasil penimbangan PBB pedet .. 48
4. Analisis PBB pedet sapi potong lepas sapih .. 50
50
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorriza) ............................. 8
2. Rimpang Temuireng (Curcuma Aeruginosa) .............................. 10
3. Siklus hidup Nematoda 23

51
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha
peternakan. Arti sehat bagi ternak adalah kondisi dimana di dalam tubuh ternak
berlangsung proses-proses normal, baik proses fisis, kimiawi, biokimiawi dan
fisiologis yang normal. Timbulnya penyakit pada ternak merupakan proses
dinamis dari hasil interaksi tiga faktor, yaitu : ternak, agen penyakit (pathogen)
dan lingkungan (Imbang, 2003).
Dalam usaha peningkatan produktivitas ternak potong banyak hambatan
yang harus ditanggulangi. Pada lingkungan tropis basah, tingkat helminthiasis
(infeksi cacing) pada ternak cukup tinggi, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan. Telur-telur cacing masuk ke tubuh ternak melalui hijauan yang
dikonsumsi dan berkembang dalam saluran pencernakan. Pertumbuhan cacing
yang tinggi akan mengganggu proses penyerapan nutrisi dan membuat ternak
tampak kurus.
Dewasa ini banyak orang kembali ke cara alami untuk mempertahankan
kesehatan, salah satunya dengan memanfaatkan tanaman (herbal). Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza, Roxb) dan temuireng (Curcuma aeruginosa, Roxb)
adalah satu dari berbagai jenis tanaman yang bermanfaat untuk kesehatan.
Tanaman ini dapat digunakan untuk manusia maupun ternak. Tanaman ini dapat
ditemukan di seluruh wilayah Indonesia pada ketinggian 400 m-750 m dpl.
Temuireng merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan
untuk membunuh cacing. Berdasarkan hasil sebuah penelitian in vitro terhadap
52
cacing Ascarissum yang direndam selama 24 jam dalam ekstrak temuireng dengan
konsentrasi 60 % dapat membunuh cacing sebesar 68 % (Anonymous, 1998).
Selanjutnya dari hasil penelitian Purnomo, Hendrawan, dan Rositawati (1998),
menyebutkan bahwa pemberian temuireng sebanyak 21 g per hari memberikan
pengaruh yang sangat nyata untuk mengatasi cacing.
Rimpang temu lawak dan temu ireng mengandung kurkumin dan minyak
atsiri yang dapat digunakan untuk membasmi cacing dan meningkatkan
metabolisme tubuh (Widowati, 2007). Zat aktif dalam temulawak dan temuireng
yaitu curcumin 1,4 - 4% dan minyak atsiri 5%, monoterpen dan
tetrahydrocurcuminoids, demethoxycurcumin dan bisdemethoxycurcumin
Minyak atsiri mempunyai bau yang khas dan curcumin memberi sifat pada
temulawak dan temuireng sehingga dapat menyembuhkan penyakit. Perasan
airnya digunakan untuk membasmi cacing pita dan cacing kremi pada manusia
dan ternak. Kedua zat tersebut mengantagonis asetilkolin dan menekan kontraksi
otot polos sehingga menekan pertumbuhan cacing (Rismunandar, 2004).
Pemberian anthelmintik hasil fraksinasi minyak atsiri rimpang temuireng pada
pedet terhadap toxocariosis dengan dosis 240 mg selama dua hari berturut-turut
dapat menurunkan tingkat infeksi (Koesdarto, 2005).
Pada penelitian ini temuireng yang telah terbukti efektif dalam membunuh
cacing digabungkan dengan temulawak yang berfungsi untuk meningkatkan
fungsi hati dan memperbaiki metabolisme tubuh. Ekstrak yang diberikan dalam
penelitian diperoleh dengan mengekstraksi tepung temulawak dan temuireng.
Cacing dalam pencernakan dimungkinkan terdiri dari berbagai macam
jenis dan fase pertumbuhan yang berbeda. Dari hasil penelitian Hendrawan,
53
Rositawati dan Nasich, bahwa pemberian temuireng yang dicampur dengan Urea
Molases Blok (UMB) dapat membunuh cacing-cacing dewasa. Berdasarkan hal
tersebut perlakuan pemberian ekstrak dilakukan selama 3 hari berturut-turut,
dengan harapan akan lebih efektif dalam membunuh cacing. Perlakuan diulang
kembali pada minggu ke-4 karena siklus hidup cacing adalah 21 hari, sehingga
waktu tersebut efektif untuk memberikan eksrak kembali.
Pemberian rimpang temulawak dan temuireng akan menurunkan tingkat
infeksi cacing yang dapat diketahui dengan penurunan nilai EPG (Egg Per Gram).
Penurunan nilai EPG akan berkorelasi positif dengan nilai PCV darah yang
merupakan gambaran umum kualitas darah untuk mengindikasikan kesehatan
ternak. Penurunan infeksi cacing akan meningkatkan penyerapan nutrisi dan efek
dari temulawak dapat meningkatkan laju metabolisme dalam tubuh ternak untuk
menghasilkan energi. Proses pembentukan energi akan menghasilkan kalor yang
dapat dilihat melalui laju perkeringatan (sweating rate) (Willson, 1972).
Meningkatnya penyerapan nutrisi dan laju metabolisme akan meningkatkan
pertambahan bobot badan.




1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza,
Roxb) dan ekstrak temuireng (Curcuma aeruginosa, Roxb) sebagai kontrol
helminthiasis terhadap PCV, sweating rate dan pertambahan bobot badan
pedet sapi potong lepas sapih.
54
2. Bagaimana pengaruh pengulangan pemberian ekstrak temulawak (Curcuma
xanthorrhiza, Roxb) dan ekstrak temuireng (Curcuma aeruginosa, Roxb)
sebagai kontrol helminthiasis terhadap PCV, sweating rate dan pertambahan
bobot badan pedet sapi potong lepas sapih.

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak temulawak dan temuireng sebagai
kontrol helminthiasis terhadap PCV, sweating rate, dan pertambahan bobot
badan pedet sapi potong lepas sapih.
2. Mengetahui dosis pemberian ekstrak temulawak dan temuireng yang efektif
sebagai kontrol helminthiasis terhadap PCV, sweating rate, dan pertambahan
bobot badan pedet sapi potong lepas sapih.

1.4. Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk meningkatkan
produktivitas ternak:
1. Sebagai alternatif anthelmintik untuk mengontrol helminthiasis dan
memperbaiki fungsi hati serta laju metabolisme yang digambarkan prosentase
PCV, sweating rate untuk mendapatkan pertambahan bobot badan optimal.
2. Acuan menentukan dosis pemberian efektif sebagai kontrol helminthiasis
dalam usaha meningkatkan produktivitas.
1.5. Kerangka Pikir
Helminthiasis merupakan penyakit akibat infeksi cacing dalam tubuh.
Kontrol terhadap helminthiasis dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
55
Egg Per Gram (EPG) yaitu jumlah telur cacing dalam tiap gram feses. Parasit
cacing tidak langsung menyebabkan kematian, tetapi merugikan dari segi
ekonomis salah satunya dengan penurunan bobot badan (Imbang, 2003).
Parasit dalam tubuh ternak dapat berasal dari cacing dan protozoa. Parasit
cacing yang terdapat dalam sampel penelitian antara lain Haemonchus contortus,
Toxocara vitulorum, Trichostrongylus sp. Parasit cacing yang terdapat dalam
saluran pencernakan akan menghisap sari makanan, menghisap darah atau cairan
tubuh dan bahkan memakan jaringan tubuh. Parasit cacing akan menurunkan
bobot badan dan menghambat pertumbuhan badan, serta menurunkan daya tahan
tubuh ternak terhadap penyakit lain. Sebagian besar nematoda dalam usus bisa
menyebabkan sumbatan (obstruksi) (Imbang, 2003).
Ekstrak temulawak mengandung kurkumin yang berfungsi sebagai anti
peradangan, antioksidan, antibakteri, imunostimulan, sebagai kolagogum,
hipolipidemik, hepatoprotektor yang akan meningkatkan fungsi hati, dan sebagai
tonikum/penyegar, sehingga laju metabolisme akan meningkat (Anonymous,
2005). Dengan meningkatnya laju metabolisme akan meningkatkan panas tubuh
sebagai hasil pemecahan nutrisi untuk membentuk energi yang menyebabkan laju
perkeringatan (sweating rate) meningkat. Peningkatan metabolisme tubuh akan
meningkatkan penyerapan nutrisi untuk pertumbuhan.
Temuireng mengandung zat aktif seperti minyak atsiri, tanin, kurkumol,
kurkumenol, isokurkumenol, kurzerenon, kurdion, kurkumalakton, germakron, a,
, g-elemene, linderazulene, kurkumin, demethyoxykurkumin,
bisdemethyoxykurkumin (Yasni, 1993). Zat aktif tersebut dapat membunuh cacing
seperti halnya piperazin sitrat (obat cacing sintetis). J ika jumlah cacing dalam
56
saluran pencernaan berkurang, maka jumlah telur cacing dalam feses (EPG) juga
berkurang.
Penurunan EPG akan meningkatkan kesehatan ternak. Tingkat kesehatan
secara umum akan digambarkan oleh nilai PCV. Menurut Murray (1990), PCV
merupakan ukuran yang menggambarkan kemampuan ternak untuk bertahan dari
anemia akibat adanya infestasi suatu penyakit. Dengan meningkatnya status
kesehatan diharapkan akan dapat meningkatkan bobot badan pedet sapi potong
lepas sapih.
1.6. Hipotesis
1. Pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza, Roxb) dan temuireng
(Curcuma aeruginosa, Roxb) sebagai kontrol helminthiasis akan berpengaruh
terhadap packed cell volume, sweating rate dan pertambahan bobot badan
pedet sapi potong lepas sapih.
2. Pengulangan pemberian ekstrak temulawak dan temuireng akan meningkatkan
efektivitas sebagai kontrol helminthiasis terhadap PCV, sweating rate, dan
pertambahan bobot badan pedet sapi potong lepas sapih.


57
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekstrak Temulawak dan Ekstrak Temuireng
Temulawak adalah salah satu tumbuhan dari 19 jenis temu-temuan
keluarga Zingiberaceae yang tumbuh di Indonesia dan sudah lama dikenal sebagai
tumbuhan obat yang digunakan untuk menjaga kesehatan dan pengobatan
tradisional. Kandungan kimia rimpang temulawak adalah zat pati (sebagai
kandungan terbanyak, biasanya digunakan sebagai bahan makanan), kurkuminoid,
dan minyak atsiri. Dari hasil penelitian diketahui bahwa khasiat temulawak
terutama disebabkan oleh dua kandungan kimia utamanya, yaitu kurkuminoid dan
minyak atsiri (Yasni, 1993).

Gambar 1. Rimpang Temulawak
Kurkuminoid adalah komponen pemberi warna kuning pada rimpang
temulawak yang terdiri atas dua jenis senyawa yaitu kurkumin dan
desmetoksikurkumin yang bermanfaat menetralkan racun, meningkatkan sekresi
empedu, menurunkan kadar kolesterol dan trigeliserida darah, anti bakteri, serta
dapat mencegah terjadinya perlemakan dalam sel-sel hati dan sebagai anti oksidan
penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya (Yasni, 1993).
58
Minyak atsiri pada temulawak adalah cairan berwarna kuning atau jingga
yang mempunyai rasa yang tajam dengan bau khas aromatik, terdiri atas 32
komponen (senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen) yang secara umum
bersifat meningkatkan produksi getah empedu dan bersifat antiinflamatori.
Kandungan utama dalam minyak atsiri temulawak adalah: xanthorrhizol (21%),
germakren, isofuranogermakren, trisiklin, afla-aromadendren (Yasni, 1993).
Temuireng (curcuma aeruginosa Roxb) adalah famili Zingiberaceae yang
tumbuh menyebar dari Kamboja sampai ke pulau J awa pada ketiggian 400-750 m
dpl. Rimpang temuireng mengandung minyak atsiri, tanin, kurkumol, kurkumenol,
isokurkumenol, kurzerenon, kurdion, kurkumalakton, germakron, a, , g-elemene,
linderazulene, kurkumin, demethyoxykurkumin, bisdemethyoxykurkumin (Yasni,
1993). Menurut Widowati (2007), temuireng (C. aeruginosa) merupakan tanaman
obat dari satu famili Zingiberaceae. Di dalam rimpang kedua temu-temuan ini
terdapat zat aktif yang dapat membunuh cacing ascaris seperti halnya piperazin
sitrat (obat sintetis yang paling efektif memberantas cacing ascaris).
Ekstraksi pada temulawak dan temuireng dilakukan untuk mendapatkan
curcumin yang dapat digunakan sebagai anti parasit cacing. Selain itu juga untuk
meningkatkan proses metabolisme dalam tubuh.


59
Gambar 2. Rimpang Temuireng

2.2. Helminthiasis
Helminthiasis merupakan tingkat infeksi cacing dalam saluran pencernaan.
Kontrol terhadap helminthiasis dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
Egg Per Gram (EPG) yaitu jumlah telur cacing dalam tiap gram feses. Parasit
cacing tidak langsung menyebabkan kematian, tetapi merugikan dari segi
ekonomis. Kerugian akibat parasit cacing antara lain: penurunan bobot badan,
penurunan kualitas daging, kulit dan jerohan, serta penurunan produktivitas ternak
sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja (Imbang, 2003).
Beberapa parasit internal yang penting yaitu cacing gelang (Ascaris suum),
cacing nodul (Oesophagostomum sp),cacing cambuk (Thrichuris sp) dan koksidia
(Isospora suis) (Williamson dan Payne, 1993). Parasit cacing pada ternak
ruminansia antara lain (Imbang, 2003):
1. Fasciola sp
Fasciolosis pada sapi dan kerbau biasanya bersifat kronik, sedangkan
pada domba dan kambing bersifat akut. Parasit fasciolosis akan menurunkan
bobot badan dan menghambat pertumbuhan badan, serta menurunkan daya
tahan tubuh ternak terhadap penyakit lain. Siklus hidup fasciola dimulai dari
telur yang masuk ke dalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama
feses hospes definitif. Di luar tubuh ternak, telur berkembang menjadi
mirasidium kemudian masuk ke tubuh siput muda dari genus gymnaea
rubiginosa. Dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista,
redia dan serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan bisa berenang.
Pada tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi meta serkaria yang
60
berbentuk kista. Ternak akan terinfeksi apabila minum air atau makan
tanaman yang mengandung kista.
2. Nematoda
Cacing ini biasa disebut cacing gilig yang menghisap sari makanan
yang dibutuhkan oleh induk semang, menghisap darah atau cairan tubuh dan
bahkan memakan jaringan tubuh. Sebagian besar nematoda dalam usus bisa
menyebabkan sumbatan (obstruksi). Beberapa spesies nematoda pada ternak
ruminansia antara lain:
1. Haemonchus contortus
Merupakan cacing penghisap darah yang mampu menghabiskan
0,49 ml darah per ekor cacing per hari, sehingga menyebabkan anemia.
Panjang haemonchus contortus betina antara 18 30 mm dan jantan antara
10 20 mm.


2. Toxocara vitulorum (Neoascaris vitulorum)
Cacing ini termasuk klas nematoda yang memiliki kemampuan
lintas hati, paru-paru dan plasenta. ukuran panjang cacing ini adalah 30
mm dan lebar 25 mm, warna kekuningan dengan telur agak bulat dan
berdinding tebal. Habitatnya adalah di usus kecil sapi dan kerbau. Siklus
hidup Toxocara vitulorum dimulai dari telur yang tertelan sapi atau kerbau
dan menetas menjadi larva di usus halus. Larva kemudian bermigrasi ke
hati, paru-paru, ginjal, plasenta dan masuk cairan amnion serta masuk ke
dalam kelenjar mammae dan keluar bersama kolustrum.
61
3. Bunostonum sp (cacing kait)
Tempat hidup cacing kait di dalam usus halus. Panjang cacing
jantan antara 12 -17 mm dan betina antara 19 -26 mm. Bagian depan
(kepala) cacing membengkok ke atas yang berfungsi sebagai pengait pada
dinding usus. Cacing ini memakan jaringan tubuh dan darah sehingga
menyebabkan anemia, nafsu makan turun dan tubuh ternak menjadi
lemah.
4. Oesophagostomum sp (cacing bungkul)
Merupakan cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar.
Ukuran rata-rata cacing bungkul betina dewasa 13,8 19,8 mm dan jantan
dewasa 11,2 14,3 mm.
5. Trichostrongylus sp (cacing rambut)
Merupakan cacing rambut ukurannya sangat kecil dengan panjang
kurang dari 10 mm dan menempel kuat pada dinding usus halus kambing
dan domba. Cacing ini menyerap nutrisi dalam usus halus sehingga
menghambat pertumbuhan.
6. Cestoda
Bentuk cacing cestoda pipih, bersegmen dan berwarna putih
kekuningan. Panjang cacing cestoda bisa mencapai 600 cm dan lebar 1 -6
cm. Tungau dijadikan inang antara bagi cacing ini.
Pratiwi dan Rositawati (1989), menyatakan bahwa cacing termasuk
endoparasit yaitu parasit yang hidup dalam alat alat tubuh hospes (hati, limpa,
paru, ginjal, dan otak) dan dalam sistem pencernakan, sistem sirkulasi, sistem
pernafasan dan lain-lain tempat yang tidak berhubungan langsung dengan dunia
62
luar. Parasit dalam dapat dicegah dengan pengendalian kebersihan kandang,
penggembalakan rotasi, pemberian obat dan penyemprotan obat yang sistematis
tergantung basah keringnya lokasi di daerah tersebut (Soedomo, 1984).

2.3. Packed Cell Volume (PCV)
Darah adalah cairan dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel yang terendam
plasma dan sebagian besar terdapat dalam pembuluh. Fungsi darah adalah sebagai
berikut (Frandson, 1992):
1. Membawa nutrient yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke
jaringan tubuh.
2. Membawa oksigen dari paru ke jaringan.
3. Membawa karbon dioksida dari jaringan ke paru.
4. Membawa berbagai produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke ginjal
untuk di ekskresikan.
5. Membawa hormone dari kelenjar endokrin ke organ-organ lain dalam tubuh.
6. Berperan penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas
dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh.
7. Ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan air.
8. Berperan dalam sistem buffer, seperti bikarbonat di dalam darah membantu
mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh.
9. Penggumpalan atau pembekuan darah mencegah terjadinya kehilangan darah
yang berlebihan pada waktu luka.
10. Mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit.
Packed Cell Volume (PCV) adalah prosentase dari volume sel darah yang
digunakan untuk mengidentifikasikan ternak yang toleran terhadap serangan
63
parasit. Nilai PCV biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan sel darah
merah total (Frandson, 1992). Kemampuan ternak dalam mempertahankan PCV
dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk mengidentifikasi ternak yang
toleran terhadap parasit. PCV merupakan ukuran yang menggambarkan
kemampuan ternak untuk bertahan dari anemia akibat adanya infestasi suatu
penyakit (Murray, 1990).
Pemeriksaan PCV dengan menggunakan alat hematokrit merupakan
petunjuk terhadap gambaran haemoglobin dan jumlah total erythrocyte. Nilai
hematokrit berbanding lurus dengan jumlah sel darah merah dan berbanding
terbalik dengan jumlah cairan plasma, PCV akan naik jika cairan plasma
berkurang (Hariono, 1982).
2.4. Sweating rate
Salah satu cara untuk mempertahankan suhu tubuh adalah dengan
evaporasi yaitu mengeluarkan energi ekstra dari dalam tubuh ternak untuk
mengimbangi suhu udara luar tubuh atau panas dalam tubuhnya sendiri (J unus,
1985). Menurut Willson (1972), pelepasan panas secara evaporasi terjadi bila
pelepasa panas insensible (konduksi, konveksi, radiasi) dalam waktu lama tidsk
dapat mengimbangi cekaman panas tubuhnya. Pelepasan dengan evaporasi dapat
ditingkatkan dengan sweating, licking permukaaan kulit dan painting.
Keringat yang disekresikan tubuh pada permukaan kulit berasal dari
kelenjar keringat yang kemampuan sekresinya dirangsang dan dikontrol oleh
aktivitas syaraf simpatico cholinergic efferent (Swenson,1984). Menurut
Soedomo (1984) menyatakan bahwa, sapi adalah ternak homeotherm yang dapat
menjaga temperatur tubuhnya dalam kisaran yang baik untuk aktivitas biologis
64
optimal. Temperatur dalam tubuh sapi berkisar antara 38,0-39,3C. Menurut Hill
(1988), menyatakan bahwa sapi potong dapat tumbuh optimum di daerah yang
suhunya berkisar 10 28
0
C dengan kelembapan antara 60 85%. Cara
pengeluaran panas oleh sapi dengan penguapan tergantung temperatur luar,
ketersediaan air, luas permukaan penguapan dan derajat aliran udara.

2.5. Pedet Sapi Potong Lepas Sapih
Pedet sapi potong lepas sapih adalah anak sapi yang berumur lebih dari
tiga bulan dan sudah tidak menyusu pada induknya (Prihatman, 2000). Pedet
sapih ditempatkan terpisah dari induknya, agar puting induk tidak rusak dan induk
dapat memanfaatkan nutrisi untuk hidup pokok dan perkembangan fetus dalam
tubuhnya (Hardjopranjoto, 1995).
Pemeliharaan pedet sapih dapat digembalakan atau dikandangkan untuk
memudahkan kontrol pemeliharaan. Pedet sangat peka terhadap serangan parasit
dalam tubuh, seperti cacing gelang, cacing pita, cacing tambang, cacing paru-
paru,coccidia, dan parasit lain (Soedomo,1984).

2.6. Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan menurut Williamson dan Payne (1993) adalah perubahan
bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume
ataupun massa. Pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang,
ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta
diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan
sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proporsional dari
bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan
mempunyai dua aspek yaitu: menyangkut peningkatan massa persatuan waktu,
65
dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai akibat
dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen (Gillespie, 1992).
Pertumbuhan pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh bangsa, jenis
kelamin, kualitas pakan, umur dan bobot sapih serta lingkungan misalnya suhu
udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan penyakit (Ebert, 2006).
66
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Usaha Peternakan Aliansi di Kecamatan
Sengon Kabupaten Pasuruan pada tanggal 11 Agustus 2007 sampai dengan
Oktober 2007.

3.2. Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedet sapi potong lepas
sapih dengan kisaran bobot badan 30 92 kg sebanyak 30 ekor yang ditempatkan
dalam 3 kandang kelompok. Setiap kelompok kandang berisi 10 ekor pedet.
Kandang berukuran 5 x 8 m yang beratap asbes dengan dinding terbuka dan lantai
semen.
Ekstrak Temulawak dan Temuireng yang digunakan diperoleh dari
produsen komersil di Kota Batu Malang. Pemberian ekstrak dilakukan dalam
bentuk tablet dengan proporsi seimbang untuk memudahkan pemberian.
Pakan yang digunakan adalah rumput gajah dan konsentrat. Rumput gajah
diberikan sebanyak 5 kg/ekor/hari, sedangkan konsentrat diberikan 0,5
kg/ekor/hari. Pemberian konsentrat dilakukan satu kali yaitu pada pukul 10.00
WIB, dan pakan hijauan diberikan pukul 13.00 WIB. Air minum diberikan secara
ad libitum.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Timbangan digital untuk mengukur bobot badan.
2. Tabung haematokrit
67
3. Mikroskop
4. Sentrifuge
5. Vibromixer
6. Venoject
7. Cobalt chloride paper disc 5 %.

3.3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan. Pengambilan
sampel dilakukan secara sampling dengan batasan pedet telah lepas sapih dan
tidak diberi obat cacing serta tingkat infeksi cacing yang diperiksa dengan
perhitungan jumlah telur cacing dalam tiap gram feses (EPG) sebelum penelitian
dimulai.
Pengelompokan pedet untuk perlakuan didasarkan pada tingkat infeksi
cacing sebelum penelitian, umur antara 3-6 bulan dan bobot badan.
Penelitian ini dilakukan dengan tiga perlakuan berupa perbedaan
pengulangan pemberian ekstrak temulawak dan temuireng. Skema penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1.
68
Tabel 1. J adwal pemberian ekstrak temulawak dan temuireng selama penelitian
minggu
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8
P0 X X X X X X X X
P1 ### X X X X X X X
P2 ### X X ### X X X X

Keterangan :
P0 : Perlakuan dengan tanpa memberikan ekstrak temulawak dan temuireng

P1 : Perlakuan dengan memberikan ekstrak temulawak dan temuireng pada
minggu pertama selama 3 hari berturut-turut

P2 : Perlakuan dengan memberikan ekstrak temulawak dan temuireng pada
minggu pertama selama tiga hari berturut-turut dan kemudian perlakuan
diulangi pada mulai minggu ke empat selama tiga hari berturut-turut.

X : Tidak diberikan ekstrak temulawak dan temuireng

# : Pemberian ekstrak temulawak dan temuireng
Pemeriksaan feses untuk menghitung jumlah EPG dilakukan dengan
metode apung. Alat dan bahan yang digunakan adalah:
1. Mikroskop 2. Vibromixer
3. Timbagan 4. Gelas ukur 600 ml
5. Pipet 6. Chamber glass
7. Larutan garam jenuh 8. Sampel feses
Metode pemeriksaan feses adalah sebagai berikut:
1. Sampel feses ditimbang sebanyak 2,5 gr dan dimasukkan kedalam gelas ukur,
kemudian ditambahkan larutan garam jenuh sampai 100 ml.
2. Diaduk dengan vibromixer selama 10-15 menit.
3. Larutan diambil dengan pipet dan diisikan ke dalam chamber glass kemudian
ditutup dengan objek glass.
69
4. Didiamkan 10 menit, kemudian diperiksa dengan mikroskop dan dihitung
jumlah EPG-nya.
Pemeriksaan PCV harus segera dilakukan setelah pengambilan darah,
karena sampel darah bersifat mudah rusak. Metode pemeriksaan PCV adalah
sebagai berikut:
1. Sampel darah dari venoject diambil dengan pipet kemudian dimasukkan ke
dalam tabung haematokrit sampai batas skala.
2. Disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit.
3. Diambil kemudian ditempatkan kembali pada sedimentation yang telah
distabilkan terlebih dahulu.
4. Nilai PCV diperoleh dengan melihat eritrosit yang megendap di dasar tabung
dan diukur tinggiya dengan skala sedimentation.

3.4. Metode Pengukuran Sweating rate
Pengukuran sweating rate dilakukan dengan metode CCD (Cobalt
Chloride Disc). Metode pengukuran sweating rate adalah sebagai berikut:
1. Sampel ditangkap dan diistirahatkan selama 15 menit.
2. Buat petak dengan ukuran 2x5 cm pada paha belakang dengan mengerok bulu
sampai bersih.
3. Tempelkan CCD bersamaan dengan menyalakan stop watch.
4. Hitung waktu perubahan CCD dari biru menjadi merah muda.
5. Nilai sweating rate diperoleh dengan rumus : 6990/t,
Keterangan: t adalah waktu dalam detik yang diperlukan CCD untuk berubah
warna dari biru menjadi merah muda.
(Gaughan, Mader, Holt, J osey, dan Rowan, 1999).
70
Prosedur pembuatan Cobalt chloride disc 5 % adalah sebagai berikut:
1. Kertas saring Whatman no.1 dicelupkan ke dalam larutan cobalt chloride 5 %
selama 1 menit.
2. Dikeringkan pada suhu ruang selama 2 jam.
3. Dibentuk lingkaran berdiameter 5,3 mm dengan perforator.
4. Lingkaran tersebut kemudian direkatkan pada objek glass berjajar tiga dengan
jarak 0,5 cm dan ditutup isolasi transparan.
5. Dikeringkan dalam oven 80 C.

3.5. Analisa Data
Data hasil penelitian EPG dan PCV akan dideskripsikan untuk mengetahui
efektifitas perlakuan. Data sweating rate dan pertambahan bobot badan pedet,
dianalisa menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). J ika terdapat
perbedaan, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata J ujur untuk mengetahui
besarnya pengaruh perbedaan perlakuan terhadap variabel yang diamati.

3.6. Batasan Istilah
1. Helminthiasis : adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing di dalam
tubuh.
2. Pedet sapi potong : anak sapi potong yang telah berumur tiga bulan dan sudah
tidak menyusu pada induknya.
3. Sweating Rate :laju perkeringatan yang diukur dengan mengamati kecepatan
waktu perubahan warna cobalt chloride disc 5 % dari warna
biru ke merah muda (lilac).
71
3. Packed cell volume : adalah prosentase dari volume sel darah yang
digunakan untuk mengidentifikasikan ternak yang
toleran terhadap serangan parasit.
4. Pertambahan bobot badan : selisih antara bobot badan awal dengan bobot badan
akhir pada saat penelitian.
5. Egg per gram (EPG) : jumlah telur cacing dalam tiap gram feses.

72
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthoriza) Dan
Temuireng (Curcuma aeruginosa ) Sebagai Kontrol Helminthiasis

4.1.1 Dinamika EPG Kontrol Perlakuan (P
O
)
Hasil pengamatan EPG pada kontrol perlakuan diperlihatkan pada
Lampiran 1. Pada Lampiran 1.1 memperlihatkan dari 10 ekor pedet yang diperiksa
terdapat 4 ekor yang terinfeksi. EPG untuk masing-masing pedet yang terinfeksi
adalah : 1 sejumlah 80; 2 sejumlah 40; 3 sejumlah 300; dan 4 sejumlah 1180.
Pengamatan terhadap EPG dilakukan selama 8 minggu. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa pada minggu ke-2, 3, 4 dan 5 tidak ditemukan telur cacing.
Tetapi pada minggu ke-6 dari 4 ekor pedet yang terinfeksi pada minggu pertama,
ditemukan kembali pada minggu ke-6, sedangkan 1 ekor tidak teramati kembali.
Selain itu pada minggu ke-6 terdapat 1 ekor pedet yang sebelumnya tidak
terinfeksi, kemudian menunjukkan EPG dengan jumlah 20. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat dinamika telur cacing pada kelompok kontrol (P
O
). Dinamika
tersebut menunjukkan bahwa cacing yang berada dalam tubuh pedet berbeda
dalam fase dan lama daur hidup (Anonymous, 2008).
Penurunan EPG pada P
O
dipengaruhi oleh pemberian pakan yang baik
sehingga memenuhi semua kebutuhan gizi ternak. Menurut Levine (1990), bahwa
daya tahan tubuh ternak terhadap infeksi parasit cacing dipengaruhi oleh jenis
kelamin, umur dan gizi ternak. Umur berpengaruh terhadap konsentrasi imunitas
alami (pasif) dan imunitas aktif yang terdapat dalam tubuh ternak.
Infeksi parasit cacing pada pedet dimungkinkan berasal dari lingkungan.
Telur cacing yang keluar bersama feses akan mengkontaminasi hijauan pakan
73
ternak, air minum maupun lantai kandang. Model tempat pakan dan tempat
minum yang agak rendah memungkinkan pakan dan air minum tercemar feses.
Tingkah laku pedet merenggut pakan yang jatuh di lantai, memungkinkan pakan
yang terkontaminasi feses termakan oleh pedet. Pakan yang dikonsumsi pedet
tidak selalu terkontaminasi feses, sehingga infiltrasi telur cacing ke dalam tubuh
pedet tidak terjadi setiap hari. Oleh karena itu, terdapat perbedaan fase hidup
cacing dalam tubuh pedet.

(Anonymous, 1993)
Gambar 3. Siklus hidup Nematoda
Nematoda termasuk cacing gastro intestinal. Siklus hidup Nematoda
dimulai dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa dalam inang
defininitif dan dikeluarkan bersama feses. Telur berembryo akan berkembang
menjadi Larva 1 (L
1
), yang kemudian berkembang menjadi Larva 2 (L
2
) yang
terlindungi oleh kulit (cuticle). Larva 2 akan berkembang menjadi Larva 3 (L
2
)
yang merupakan fase infektif. Perkembangan telur menjadi larva infektif
tergantung pada temperatur. Pada konndisi di bawah normal (kelembaban tinggi
74
dan temperatur hangat), proses perkembangan memerlukan waktu 7-10 hari.
Ruminan terinfeksi dengan menelan Larva 3 (L
3
). Kebanyakan larva tertelan
bersamaan dengan merumput dan masuk ke abomasum atau usus. Beberapa hari
berikutnya Larva 3 (L
3
) menetas mejadi Larva 4 (L
4
) dan dikelilingi membran
mukosa (di dalam kelenjar lambung). Setelah 10-14 hari kemudian berkembang
menjadi Larva 5 (L
5
) (Anonymous, 1993).
Telur cacing yang ikut masuk bersama pakan dan air minum akan menetas
menjadi larva di dalam usus setelah 24 jam pasca ingesti. Larva cacing akan
berpindah menuju organ yang sesuai untuk berkembang menjadi dewasa. Cacing
dewasa dalam usus akan berkembang dengan menyerap sari makanan dari inang
(Anonymous, 2008). Telur cacing yang ditemukan pada minggu ke-5
menunjukkan bahwa fase hidup cacing dalam tiap individu pedet berbeda.

4.1.2. Pengaruh Pemberian Ekstrak Temulawak Dan Temuireng Tanpa
Pengulangan (P
1
) Sebagai Kontrol Helminthiasis

Hasil pengamatan EPG kelompok P
1
sebelum dan sesudah perlakuan
diperlihatkan pada Lampiran 1.2. Dari hasil pengamatan sebelum perlakuan
pemberian ekstrak temulawak dan temuireng menunjukkan bahwa dari 10 ekor
pedet yang diperiksa ditemukan 1 ekor pedet yang terinfeksi dengan jumlah EPG
160. berdasarkan jumlah EPG yang ditemukan, pedet tersebut termasuk dalam
katagori infeksi sedang. Menurut Housen dan Perry (1994), bahwa infeksi cacing
pada hewan muda dikategorikan kedalam tiga tingkat, yaitu ringan antara 50-200,
sedang antara 200-800, dan berat lebih dari 800.
Setelah perlakuan menunjukkan bahwa pedet yang sebelumnya terinfeksi,
tidak ditemukan telur cacing pada minggu berikutnya. Pada 2 ekor pedet yang
75
sebelum perlakuan tidak terinfeksi, tampak ditemukan telur cacing pada minggu
ke-2 dengan jumlah EPG masing-masing 160 dan 20. Infeksi tersebut termasuk
dalam kategori ringan. Selanjutnya tidak ditemukan telur cacing sampai minggu
ke-8. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa munculnya telur cacing pada 2
ekor pedet setelah 1 minggu perlakuan dapat disebabkan karena terdapat
perbedaan fase hidup cacing dalam tubuh tiap individu.
Pada minggu sebelum diberikan perlakuan sebagian cacing masih dalam
fase telur sehingga ekstrak tidak efektif untuk menghilangkan telur cacing. Pada
minggu berikutnya tidak ditemukan telur cacing sampai minggu ke-8. Kandungan
zat dalam ekstrak secara umum akan membunuh cacing, meningkatkan produksi
getah empedu, anti bakteri, anti inflamatori dan meningkatkan fungsi hati
(Widowati, 2007).
Tidak ditemukannya telur cacing setelah minggu ke-2 menunjukkan
bahwa ekstrak efektif untuk membunuh cacing. Ekstrak akan memperbaiki fungsi
hati dan mempercepat pengosongan lambung yang akan meningkatkan konsumsi
pakan. Berkurangnya jumlah cacing dalam saluran pencernakan akan
meningkatkan absorbsi pakan untuk memenuhi kebutuhan tubuh ternak. Dalam
kondisi yang baik, dan dukungan nutrisi yang cukup ternak dapat meningkatkan
kekebalan tubuh dari serangan parasit cacing.

76
4.1.3. Pengaruh Pemberian Ekstrak Temulawak Dan Temuireng Dengan
Pengulangan (P
2
) Sebagai Kontrol Helminthiasis

Pengulangan pemberian ekstrak ini bertujuan untuk mengetahui metode
pemberian ekstrak yang efektif sebagai alternatif anthelmintik. Hasil pengamatan
EPG pedet yang diberikan pengulangan perlakuan ekstrak temulawak dan
temuireng diperlihatkan pada Lampiran 1. 3. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa sebelum perlakuan ditemukan 2 ekor pedet yang terinfeksi cacing dengan
jumlah EPG yang terhitung 40 dan 60, semuanya masih dalam kategori infeksi
ringan. J enis cacing yang menginfeksi tiap individu berbeda.
Pada minggu ke-3 atau 2 minggu setelah perlakuan, ditemukan 2 ekor
pedet yang terinfeksi cacing dengan jumlah EPG yang terhitung masing-masing
20 dan termasuk dalam kategori infeksi ringan. J enis cacing yang menginfeksi
pada pedet 1 yaitu Toxoxara vitulorum, sedangkan pada pedet 2 yaitu
Tricosthrongylus.
Pada minggu ke-4 dilakukan pengulangan pemberian ekstrak temulawak
dan temuireng untuk mengatasi infeksi. Pada minggu ke-6 atau 2 minggu setelah
pengulangan perlakuan ditemukan seekor pedet yang terinfeksi cacing Toxoxara
sp. J umlah EPG yang ditemukan adalah 220 dan termasuk dalam kategori infeksi
sedang. Pada minggu ke-7 terdapat 3 ekor pedet yang terinfeksi cacing. J umlah
dan jenis telur cacing yang ditemukan yaitu: 20 Dicrocoleum sp, 180 Toxoxara
vitulorum sp, dan 20 Tricosthrongylus sp. Ketiga pedet tersebut termasuk dalam
kategori infeksi ringan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa munculnya telur cacing dalam
feses terjadi pada individu yang berbeda antara sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan. Tetapi terdapat 2 ekor pedet yang selama penelitian ditemukan 2 kali
77
terinfeksi. Pedet 150/13, pada minggu ke-3 ditemukan jumlah EPG 20 kemudian
pada minggu ke-7 ditemukan 40 dan tidak ditemukan sampai minggu ke-8. Hal ini
disebabkan karena saat sebelum perlakuan cacing masih dalam fase telur atau
larva, sehingga saat pemberian ekstrak, tidak efektif untuk mengatasinya. Larva
(L
2
) yang tertelan secara mekanik akan terbawa ke duodenum atau jejenum hingga
menetas setelah 24 jam pasca ingesti. Setelah penetasan telur, larva berubah
menjadi L
3
yang melanjutkan fase histotropik dengan membenamkan diri kedalam
lapisan mukosa duodenum sehingga pemberian obat tidak akan mempengaruhinya
(Anonymous, 2008).
Menurut Soulsby (1986) bahwa infeksi cacing Toxocara merupakan
masalah besar bagi negara di Asia dan Afrika pada anak sapi dan kerbau. Keadaan
yang menciri karena infeksi Toxocara ditandai dengan peningkatan jumlah sel
eosinofil lebih dari 70 % dibandingkan kondisi normal. Pada anak sapi yang
dipelihara dengan manajemen yang baik, mortalitas pedet akibat Toxocara
berkisar 25-30%. Pada pedet 171/22 telur cacing ditemukan pertama pada minggu
ke-6 dengan jumlah EPG 220 dan ditemukan lagi pada minggu berikutnya dengan
jumlah 180. Penurunan jumlah ini disebabkan karena ekstrak yang diberikan akan
merelaksasi otot polos sehingga cacing tidak bertahan dalam usus, selain itu zat
dalam ekstrak akan meningkatkan sekresi zat anti bakteri, antiinflamatori, serta
memperbaiki fungsi hati (Yasni dkk, 1993). Dalam ekstrak temulawak dan
temuireng mengandung zat-zat yang dapat membunuh cacing seperti halnya obat
sintetis (Yasni dkk, 1993).
78
J enis cacing yang menginfeksi beragam, selama penelitian beberapa jenis
cacing yang ditemukan antara lain: Dicrocoleum sp, Thricostrongylus sp,
Toxoxara vitulorum dan Bunostonum sp.

4.2. Pengaruh Pemberian Ekstrak Temulawak Dan Temuireng Terhadap
Packed Cell Volume
Hasil pemeriksaan PCV pada awal dan akhir penelitian diperlihatkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Pengaruh Pemberian Ekstrak Temulawak dan Temuireng
Terhadap Persentase PCV Pedet Sapi Potong Lepas Sapih
PCV (%)
Perlakuan Awal Akhir
P
O
38,88 45,60
P
1
47,88 44,80
P
2
37,69 41,90

Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa pedet dalam kondisi normal atau tidak
menderita anemia. Persentase PCV tersebut masih dalam taraf normal, karena
menurut Coles (1986), persentase PCV normal berkisar antara 32 35 %. Pada
ternak muda persentase PCV akan lebih tinggi berkisar antara 40-60 % (Coles,
1986).
PCV merupakan jumlah total eritrosit dan plasma dalam darah. Nilai PCV
akan menunjukkan jumlah haemoglobin yang terkandung dalam darah.
Peningkatan nilai PCV di atas normal, mengakibatkan polisitemia atau eritrosis
yang terjadi akibat kenaikan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Bijanti dan
Partosoewignjo, 1998).
Pemberian ekstrak temulawak dan temuireng tidak mempengaruhi kadar
PCV secara langsung. Hal tersebut disebabkan karena persentase PCV selama
penelitian dalam taraf normal, walaupun terinfeksi namun masih dalam kategori
ringan, sehingga tidak menimbulkan gejala yang menciri. Pada awal penelitian
79
kadar PCV perlakuan 1 (P
O
) 38,88 % dan meningkat 7,95 % pada akhir
penelitian. Peningkatan kadar PCV dapat disebabkan karena pakan yang diberikan
baik sehingga kebutuhan gizi ternak tercukupi sehingga akan memenuhi
kebutuhan sel-sel dalam tubuh untuk menghasilkan darah.
Packed cell volume dapat digunakan untuk mengestimasi pengaruh parasit
pada fisiologi pedet. Kemampuan ternak dalam mempertahankan PCV dapat
digunakan sebagai salah satu metode untuk mengidentifikasi ternak yang toleran
terhadap penyakit. PCV merupakan ukuran yang menggambarkan kemampuan
ternak untuk bertahan dari perkembangan anemia akibat adanya infestasi suatu
parasit (Murray, 1990).
Pada P
1
kadar PCV menurun 3,32 % pada akhir penelitian. Pada P
2
kadar
PCV naik 5,29 % pada akhir penelitian. Fluktuasi kadar PCV pada pedet masih
dalam kategori normal, sehingga tidak menimbulkan gangguan secara fisiologis.
Status fisiologi dari setiap individu berbeda dalam hal merespon perubahan
kondisi lingkungan.
Infeksi berbagai parasit dalam tubuh dapat mengakibatkan anemia.
Anemia disebabkan karena hilangnya darah. Cacing mampu menghisap darah 0,8
ml dalam 24 jam serta berpindah-pindah tempat untuk menghisap darah yang
digunakan untuk pemenuhan metabolisme cacing sendiri (Ressang, 1983). Faktor
yang mempengaruhi nilai PCV adalah spesies hewan, umur jenis kelamin,
aktivitas, lokasi tempat hidup dan nutrisi (Benjamin, 1978). Pemberian ekstrak
akan meningkatkan konsumsi sehingga kebutuhan nutrisi ternak tercukupi.
Menurut Setianingrum (1999) menyatakan bahwa pemberian ekstrak temulawak
80
dan temuireng dengan dosis rendah akan mempercepat proses pengosongan
lambung sehingga meningkatkan nafsu makan.
Lingkungan kandang yang berada di daerah dataran tinggi dengan
fluktuasi suhu yang tinggi membuat ternak harus mengikat oksigen lebih banyak,
karena di dataran tinggi kadar oksigen relatif lebih rendah. Untuk mencukupi
kebutuhan oksigen ternak harus beradaptasi dengan meningkatkan eritrosit
sehingga kadar PCV meningkat. Penurunan nilai PCV di bawah normal akan
menyebabkan anemia (Sadikin, 2001).

4.3. Pengaruh Pemberian Ekstrak Temulawak Dan Temuireng Terhadap
Sweating Rate
Pengaruh pemberian ekstrak temulawak dan temuireng terhadap sweating
rate diketahui dengan melakukan pengukuran pada sebelum dan sesudah
penelitian menggunakan metode CCD yang didasarkan pada lamanya waktu yang
diperlukan CCD untuk berubah dari biru menjadi merah muda. Hasil pengukuran
sweating rate selama penelitian diperlihatkan pada Lampiran 2. Rataan
pengukuran sweating rate selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 2.
81
Tabel 2. Rataan sweating rate pedet sapi potong lepas sapih
Perlakuan Minggu
0 1 2
1 164,4934 167,6894 163,2449
2 105,5563 181,8874 171,1837
3 120,5519 111,2191 152,6056
4 120,6892 139,8 120,5528
5 109,5323 101,3256 125,4615
6 22,82762 111,8472 120,1984
7 13,49475 105,9334 123,5825
8 15,02048 111,8472 131,5852
Rata-rata 114.122.6
a
128.930.7
b
138.620.6
b
Keterangan : Notasi dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P <0,05)

Sweating rate atau laju perkeringatan adalah salah satu cara untuk
mempertahankan keseimbangan panas tubuh (homeostaisis). Keringat
disekresikan untuk melalui kulit untuk mengurangi panas tubuh. Sumber panas
dapat berasal dari dalam tubuh (internal) dan lingkungan (eksternal). Panas
internal dihasilkan dari proses pemecahan nutrisi untuk menghasilkan energi.
Panas eksternal sangat dipengaruhi oleh intensitas matahari, ketinggian tempat
dan ketersediaan air.
Sekresi keringat dilakukan melalui kelenjar keringat yang tersebar luas
dalam kulit. Kelenjar keringat merupakan kelenjar simpleks, bergelembung,
tubulosa, duktusnya lebih tidak bercabang dan lebih kecil bagian tengahnya dari
pada bagian sekretoris. Bagian sekretoris kelenjar ini tertanam dalam dermis dan
dikelilingi sel-sel mioepitel. Cairan yang disekresikan oleh kelenjar ini tidak
kental dan sedikit mengandung protein. Unsur utamanya H
2
O, N
a
Cl, urea, amonia
dan asam nitrat (J unqueira dan Carneiro, 1995).
Hasil analisis statistik pada Lampiran 2, menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak temulawak dan temuireng berpengaruh nyata (P <0,05) terhadap sweating
82
rate. Pengujian dilanjutkan dengan BNJ 5 % dan menunjukkan bahwa P
O
berbeda
nyata dengan P
1
dan P
2
. Akan tetapi P
1
dan perlakuan 3 (P
2
) memberikan respon
yang sama terhadap pemberian ekstrak.
Perbedaan nilai sweating rate pada pedet dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: lokasi pengukuran pada permukaan tubuh pedet, bangsa pedet, adaptasi
ternak terhadap kondisi lingkungan (cekaman panas), kondisi klimat sebelum dan
selama pengukuran, waktu pengukuran, keberadaan ternak di luar atau di dalam
kandang, dan ketersediaan air untuk mencukupi kebutuhan ternak (Gaughan, dkk,
1999).
Nilai sweating rate adalah subyektif, karena tergantung pada kemampuan
beradaptasi tiap individu sehingga tidak bisa ditentukan standart nilainya.
Pengaruh sweating rate pada ternak akan langsung dicerminkan dalam produksi,
misalnya pertambahan bobot badan yang optimal (Stuart, Williams, dan
Schneider, 2002).

4.4. Pengaruh Pemberian Ekstrak Temulawak Dan Temuireng Terhadap
Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Lepas Sapih
Pertambahan bobot badan merupakan selisih hasil penimbangan pada awal
dan akhir penelitian. Penimbangan bobot badan dilakukan pada waktu dan kondisi
ternak yang sama, yaitu pada sore hari setelah semua pedet diberi pakan.
Penimbangan dilakukan dengan timbangan digital. Hasil penimbangan
diperlihatkan pada Lampiran 3. Pertambahan bobot badan pedet sapi potong lepas
sapih selama penelitian tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Data pertambahan bobot badan pedet sapi potong lepas sapih (kg)
perlakuan ulangan
0 1 2
1 28.44 14.93 26.7
2 11 10.22 38.5
83
3 40.69 17.34 34.17
4 35.36 11.21 8
5 14.46 23.5 24.45
6 30.18 14.06 26.5
7 12.59 22.5 21.5
8 33.28 10.34 30.22
9 16.5 -3.5 30.74
10 37.35 26.486 32.33
Rata-rata 25.9911.2
b
14.718.6
ab
27.318.4
b
Keterangan : Notasi dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P <0,05)

Dari Tabel 4 diketahui rata-rata pertambahan bobot badan pedet lepas
sapih P
0
=25, 99 11, 24 kg (10, 48%), P
1
=14, 71 8, 61 kg (9, 14%) dan P
2
=
27, 31 8, 39 kg (14, 36%). Perbedaan pertambahan bobot badan disebabkan
karena kurkumin yang terdapat dalam ekstrak akan mempercepat pengosongan
lambung, sehingga meningkatkan konsumsi pakan (Setianingrum, 1999).
Hasil analisis menunjukkan pemberian ekstrak temulawak dan temuireng
akan meningkatkan bobot badan (P < 0,05). Setiap perlakuan memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap pertambahan bobot badan. F
hitung
kelompok
kurang dari F
tabel 0,05,
menunjukkan bahwa dalam satu perlakuan individu
memberikan respon yang sama terhadap perlakuan yang diberikan.
Bobot badan pedet yang terinfeksi parasit 24-40 % lebih rendah dari pada
pedet sehat, sehingga secara ekonomis akan sangat merugikan (Anonymous,
2008). Menurut Koesdarto, Subekti dan Studiawan (2001), bahwa kerugian secara
ekonomis disebabkan karena ternak yang terinfeksi memerlukan lebih banyak
protein untuk kelangsungan hidupnya. Kerusakan jaringan organ pencernakan
atau tidak terpenuhinya kebutuhan protein yang mungkin terjadi dapat
menurunkan produktivitas.
84
Interaksi antara inang dengan parasit akan mempengaruhi penyerapan
asam amino di usus halus, protein dan energi yang dipergunakan untuk membuat
produk akhir fermentasi rumen. Selanjutnya berakibat pada retensi nitrogen yang
secara langsung akan berpengaruh pula terhadap konsumsi pakan (Koesdarto dkk,
2001).
Pemberian ekstrak yang berfungsi sebagai anthelmintik akan
meningkatkan efektifitas absorbsi pakan dalam saluran pencernakan. Menurunnya
jumlah cacing dalam saluran pencernakan akan meningkatkan status kesehatan,
sehingga pemenuhan nutrisi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak
tercukupi. Ekstrak akan memperbaiki fungsi hati dan melancarkan metabolisme
tubuh dengan fungsi mengedarkan zat yang dibutuhkan oleh jaringan untuk
regenerasi sel-sel pertumbuhan.
Secara umum infeksi cacing intestinal akan mengurangi fungsi
kemampuan mukosa usus dalam transpor glukosa dan metabolit lainnya. Apabila
keseimbangan ini cukup besar, akan menyebabkan turunnya nafsu makan serta
tingginya kadar nitrogen dalam tinja yang dibuang karena tidak dipergunakan.
Akibatnya akan terjadi keterlambatan pertumbuhan pada pedet. Infeksi endo
parasit akan lebih bersifat patogenik, terutama bersamaan dengan kondisi ternak
yang buruk (Koesdarto dkk, 2001).
Ekstrak temulawak dan temuireng secara umum berfungsi untuk
menormalkan jaringan yang terganggu (Setianingrum 1999). Kandungan zar
kimia dalam ekstrak yaitu kurkumin dan minyak atsiri dapat menetralkan racun,
meningkatkan sekresi empedu, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida
darah, anti bakteri, meningkatkan nafsu makan, serta dapat mencegah terjadinya
85
perlemakan dalam sel-sel hati dan sebagai anti oksidan penangkal senyawa-
senyawa radikal bebas yang berbahaya (Setianingrum, 1999). Meningkatnya
konsumsi ternak dengan didukung status kesehatan yang baik akan meningkatkan
efisiensi penyerapan zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan
produksi yang ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan.



86
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthorhiza) dan temuireng
(Curcuma aeroginosa) efektif sebagai kontrol helminthiasis. Pemberian ekstrak
tidak mempengaruhi kadar PCV, tetapi berpengaruh terhadap laju metabolisme
dan adaptasi lingkungan yang dicerminkan oleh sweating rate dan peningkatan
PBB sampai 14,36 % dibandingkan dengan kontrol.
Aturan pemberian ekstrak yang efektif adalah 250 mg/ekor/hari selama 3
hari berturut-turut.
5.2. Saran
Ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza, Roxb) dan temuireng
(Curcuma aeruginosa, Roxb) dapat digunakan sebagai alternatif anthelmintik.
Dosis pemberian ekstrak yang efektif adalah 250 mg/ekor/hari selama 3 hari
berturut-turut dan diulang pada minggu ke-4 untuk meningkatkan pertambahan
bobot badan pedet sapi potong lepas sapih.

87
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1993. The Epidemiology of Helminth Parasites
http://www.ilri.org/InfoServ/Webpub/Fulldocs/X5492e/x5492e00.gif.

Anonymous. 1998. Pucat Karena Cacing, Temu Giring Obatnya. Suara
Indonesia. Surabaya.

Anonymous. 2005. Rebiocurcuma. Biochemical Pharmacology.

Anonymous. 2008. Parasit Pada Unggas.
http://www.fao.org/docs/eims/upload//213701/agal_duckfarmingindonesia
_210906.pdf

Benjamin, M.M. 1978. Outline of Veterinary Clinichal Pathology. 3
rd

ed. The
Iowa State University Press. Ames. Iowa.

Bijanti, R. Dan Partosoewignjo, S. 1998. Hematologi Veteriner I Hematopoesis,
Eritrosit da Leukosit. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlagga.
Surabaya.

Coles, E, H. 1986. Veterinary Clinical Hematology. 4
th
ed. Saunders Company.
Philadelphia.

Imbang, Dwi. 2003. Ilmu Kesehatan Ternak. Fakultas Peternakan Perikanan.
Universitas Muhammadiyah. Malang.

Ebert. 2006. Identification Of Beef Animal. www.extention-animal-scientic.com

Frandson, R. D. 1992. Anatomi Dan Fisiologi Ternak Edisi 4. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.

Gaughan, J ; Mader, T. Holt, S; J osey, J , Dan Rowan, J . 1999. Heat Tolerance of
Boran and Tuli Crossbred Steers1. School of Veterinary Science and
animal Production, University of Queensland, Gatton College,Queensland,
Australia 4345 and Department of Animal Science, University of
Nebraska, Northeast Research and Extension Center, Concord 68728
http://www.ilri.org/InfoServ/Webpub/Fulldocs/IntegratedWater/IWMI/Do
cuments/related_doucments/HTML/x5525e/x5525e08.htm

Gilliespie, J ames.R. 1992. Modern Liverstock dan Poultry Production Fourth
Edition. Delmar. Publishers.Hrc.

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University
Press. Surabaya

88
Hariono, B. 1982. Patologi Klinik. Badan Usaha Penerbitan. Fakultas Kedokteran
Hewan. UGM Press. Yogyakarta

Hill,D.H. 1988. Cattle and Buffalo Meat Production In The Tropic. Longman and
Technical. London.

Housen, J . dan Perry, B. 1994. The Epidemiology, Diagnosis and Control of
Helminth Parasities of Ruminants. International Laboratory for Research
on Animal Disesase, P. O. BOX. 30709. Nairobi. Kenya.

Hendrawan, Rosita, Nasich. 2000. Efektivitas Cara Pemberian Temuireng
(Curcuma Aeruginosa) Dalam Urea Molases Blok Terhadap Kontrol
Helminthiasis Pada Sapi Perah Laktasi. Fapet Unibraw. Malang.

J unus, M. 1985. Kehidupan Ternak Di Lingkungan Tropis. Fakultas Peternakan.
Nuffic. Universitas Brawijaya. Malang.

J unqueira, LC, dkk. Histology Dasar (Basic Histologi). EGC. J akarta.

Koesdarto, S. 2005. Penyakit Parasitik Pada Pengembangan Sapi Madura,
Pengukuhan Guru Besar. FKH Unair. Surabaya.

Koesdarto, S. Subekti, S. Studiawan, H. 2001. Model Pengendalian Siklus Infeksi
Toxocariasis dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng
(Curcuma Aeruginosa Roxb) di Pulau Madura. J . Penelitian Media
eksakta. Vol. 2.

Levine, Norman, D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Murray M, Trail and.Dleteren. 1990. Trypanotolerance In Cattle And Prospects
For The Control Of Tripanosomasis By Selective Breeding Rev. Sci. off.
Epiz. Vol 9(2). Pp 369-386.

Prihatman, K. 2000. Budidaya Ternak Sapi Potong. www.ristek.go.id

Purnomo, Hendrawan, Rositawati. 1998. Pengaruh Pemberian Temuireng
(Curcuma Aeruginosa) Secara Per Os Sebagai Kontrol Helminthiasis.
Fapet Unibraw. Malang.

Reksohadiprodjo, Soedomo. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE.
Yogyakarta.

Rismunandar. 2004. Rempah-Rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Penerbit Sinar
Baru. Bandung.

Ressang, A.A. 1983. Patologi Khusus Veteriner Edisi ke-2. Dirjen Pendidikan
Tinggi Depdikbud dan BPPH wilayah VI. Denpasar.
89
Sadikin, M. 2001. Biokimia Darah. Widya Medika. J akarta.

Setianingrum. 1999. Pengaruh Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Untuk
Meningkatkan Nafsu Makan Pada Penderita Anoreksia Primer. FK
UNDIP. Semarang.

Soulsby, E.J .L. 1986. Textbook of Veterinary Clinical Parasitologi I. Helminths.
Blackwell Scientific. Oxford.

Stuart M. C. Lee, W. J on Williams, and Suzanne M. Schneider. 2002. Role Of
Skin Blood Flow And Sweating Rate In Exercise Thermoregulation After
Bed Rest.
http://jap.physiology.org/cgi/content/full/92/5/2026

Sudardjat, S. 1991. Epidemiologi Penyakit Hewan. Direktorat Bina Kesehatan
Hewan. Dirjend Peternakan. Departemen Pertanian. J akarta.

Suprapto, I.A. 1981. Laporan Penelitian Parasitologi. Lab. Kesehatan Hewan.
Malang.

Swenson, M. J . 1984. Dukes Physiology Of Domestic Animal. Nine edition.
Conell University Press. Itacha.

Trisunuwati, P. dan Indrati, R. 1989. Pengantar penyakit pada ternak dan
penanggulangannya. Lab. Epidemiologi. Fapet. Unibraw. Malang.

Widowati, Lucie. 2007. Pemanfaatan Tanaman Obat. Puslitbang Farmasi. Depkes
RI. J akarta.

Williamson dan Payne. 1993. Pengantar Peternakan Daerah Tropis. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.

Willson, J A. 1972. Principles Of Animal Physiology. The Mac Millan. New
York.

Yasni, Sedarnawati; Yoshiie, Kiyotaka; Oda, Hiroshi; Sugano, Michihiro;
Imaizumi, Katsumi. 1993. Dietary Curcuma xanthorrhiza Roxb. Increased
mitogenic responses of splenic lymphocytes in rats, and alters population
of the lymphocytes in mice. J Nutr Sci Vitaminol 39: 345-354.

90
Lampiran 1. 1. Hasil Pemeriksaan EPG Perlakuan 0 (kontrol)












Minggu
No
Awal 1 2 3 4 5 6 7 8
1 100 80 0 0 0 0 80 0 0
2 60 40 0 0 0 0 100 0 0
3 40 0 0 0 0 0 0 0 0
4 180 300 0 0 0 0 220 0 0
5 40 0 0 0 0 0 0 0 0
6 1100 1180 0 0 0 0 0 0 0
7 20 0 0 0 0 0 0 0 0
8 60 0 0 0 0 0 0 0 0
9 40 0 0 0 0 0 0 0 0
10 20 0 0 0 0 0 20 0 0

91
Lanjutan lampiran 1.
Lampiran 1. 2. Hasil Pengamatan EPG Perlakuan 1 (P
1
)
Minggu
No
Awal 1 2 3 4 5 6 7 8
1 100 0 0 0 0 0 0 0 0
2 60 0 0 0 0 0 0 0 0
3 180 0 160 0 0 0 0 0 0
4 80 0 0 0 0 0 0 0 0
5 40 0 0 0 0 0 0 0 0
6 40 0 0 0 0 0 0 0 0
7 60 0 20 0 0 0 0 0 0
8 180 160 0 0 0 0 0 0 0
9 20 0 0 0 0 0 0 0 0
10 40 0 0 0 0 0 0 0 0


92
93
Lanjutan lampiran 1.
Lampiran 1. 3. Hasil Pengamatan EPG Perlakuan 2 (P
2
)
Minggu
No
Awal 1 2 3 4 5 6 7 8
1 40 0 0 20 0 0 0 40 0
2 80 0 0 20 0 0 0 0 0
3 100 0 0 0 0 0 0 0 0
4 80 40 0 0 0 0 0 0 0
5 60 0 0 0 0 0 220 180 0
6 40 0 0 0 0 0 0 0 0
7 180 60 0 0 0 0 0 0 0
8 60 0 0 0 0 0 0 0 0
9 80 0 0 0 0 0 0 20 0
10 80 0 0 0 0 0 0 0 0


Lampiran 2. Hasil Pengukuran dan Analisis sweating rate
Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8 Total
1 164.4934 105.5563 120.5519 120.6892 109.5323 100.3584 94.78613 96.91738 912.885
2 167.6894 181.8874 111.2191 139.8 101.3256 111.8472 105.9334 111.8472 1031.549
3 163.2449 171.1837 152.6056 120.5528 125.4615 120.1984 123.5825 131.5852 1108.415

495.4276 458.6273 384.3766 381.042 336.3195 332.404 324.302 340.3497 3052.849


4
4

Analisis Ragam Sweating rate
388328.5
8 3
) 5852 , 131 ... 4934 , 164 (
2
2
1 1
=
+ +
=

=

= =
x
pn
Y
FK
p
i
n
j
ij

( )
15591.35
388328.5 131,5852 ... 164,4934
2 2
1 1
2
=
+ + =

=

= =
FK Y JK
p
i
n
j
ij total

( )
9451.057
388328.5
3
35 , 340 ... 43 , 495

2 2
2
=

+ +
=
=

FK
p
Y
JK
j i
ij
Kelompok

( )
2425.886
5 , 388328
8
415 , 1108 549 , 1031 885 , 912

2 2 2
2
=

+ +
=
=

FK
r
Y
JK
j i
ij
Perlakuan



Perlakuan Kelompok total Percobaan Galat
JK JK JK JK =
=15591.35 - 9451.057 - 2425.886
=3714.406
KT
Kelompok
=J K
kelompok
/ r-1
=19451,057/ (8-1)
=1350.151

KT
Perlakuan
=J K
Perlakuan
/p-1
=2425,886 / (3-1)
=1212.943
KT =J K
Galat Galat
/ (p-1)(r-1)
=3714,406 / (3-1)(8-1)
=265.3147
F
hitung kelompok
=KT / KT
kelompok Galat
=1350,151 / 265,3147
=5.088866
F
hitung perlakuan
=KT / KT
perlakuan Galat

=1212,943 / 265,3147
=4.571714
45

Analisis Ragam
SK DB J K KT F hitung 5% 1%
Kelompok 7 9451,057 1350,151 5,088866 2,77 4,28
Perlakuan 2 2425,886 1212,943 4,571714 3,74 6,51
Galat 14 3714,406 265,3147
Total 23 15591,35

46
47
Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) 5 %
Antar perlakuan

=
r
Ktgalat
sed =

8
3147 , 265

= 8, 144
sed
ftab
BNJ

=
2
2
05 , 0
% 5 = 144 , 8
2
2
74 , 3
x


= 10,769

Perlakuan Rataan Notasi
1 107.5443 a
2 111.8472 b
3 128.5233 b

Antar kelompok

=
t
Ktgalat
sed =

3
3147 , 265

= 9, 404
sed
ftab
BNJ

=
2
2
05 , 0
% 5 = 404 , 9
2
2
28 , 4
x


= 14,23
Perlakuan Rataan Notasi
1 107.5443 a
2 111.8472 a
3 128.5233 b
Lampiran 3. Hasil Penimbangan Pertambahan Bobot Badan Pedet
PERLAKUAN
1 2 3



No
BB
Awal
BB
Akhir PBB No
BB
Awal
BB
Akhir PBB No
BB
Awal
BB
Akhir PBB
002/10 77 93,5 16,5 52/20 92 96,5 4,5 150/13 70 75,8 5,8
83/35 82 98,6 16,6 53/38 74 90,2 16,2 29/42 30,5 69,8 39,3
017/14 85,5 114,2 28,7 126/17 72 89,9 17,9 42/17 61,5 82,6 21,1
114/07 84 107,6 23,6 56/34 74,5 92,3 17,8 158/05 66,5 82,4 15,9
212/21 83 93,2 10,2 022/11 75 95,3 20,3 171/22 46 63,4 17,4
124/41
85 108,5 23,5 96/02 78 91,1 13,1 233/08 66,5 92,3 25,8
187/12 83,5 98,2 14,7 169/19 79,5 99,2 19,7 112/46 58,5 83,2 24,7
68/06 83,5 103,6 20,1 140/15 71,5 86,2 14,7 111/23 66 83,8 17,8
87/37 63,5 81,6 18,1 222/39 84,5 83,8 -0,7 191/04 66 85,6 19,6
192/26 88,5 107,6 19,1 210/03 69,5 101 31,5 167/20 69,5 83,6 14,1
rata-rata 81,55 100,66 19,11 rata-rata 77,05 92,55 15,5 rata-rata 60,1 80,25 20,15


Lampiran 4. Analisis Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Lepas Sapih


Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 6 7 8 9 10 5
total
1 28.44 11 40.69 35.36 14.46 30.18 12.59 33.28 16.5 37.35 259.85
2 14.93 10.22 17.34 11.21 23.5 14.06 22.5 10.34 -3.5 26.486 147.086
3 26.7 38.5 34.17 8 24.45 26.5 21.5 30.22 30.74 32.33 273.11

680.046 96.166 43.74 73.84 56.59 70.74 62.41 54.57 92.2 59.72 70.07

4
8

4
9

Analisis Statistik Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Lepas Sapih
15415,42
10 3
) 33 , 32 ... 44 , 28 (
2
2
1 1
=
+ +
=

=

= =
x
pn
Y
FK
p
i
n
j
ij

( )
3396,69
15415,42 33 , 32 ... 28,44
2 2
1 1
2
=
+ + =

=

= =
FK Y JK
p
i
n
j
ij total

( )
807,9228
42 , 15415
3
166 , 96 ... 07 , 70

2 2
2
=

+ +
=
=

FK
p
Y
JK
j i
ij
Kelompok

( )
959,1199
42 , 15415
10
11 , 273 086 , 147 85 , 259

2 2 2
2
=

+ +
=
=

FK
r
Y
JK
j i
ij
Perlakuan



Perlakuan Kelompok total Percobaan Galat
JK JK JK JK =
=3396,69-807,9228-959,1199
=1629,648
KT
Kelompok
=J K
kelompok
/ r-1
=807,9228/ (10-1)
=89,76921
KT
Perlakuan
=J K
Perlakuan
/p-1
=959,1199/ (3-1)
=479,5599
KT =J K
Galat Galat
/ (p-1)(r-1)
=1629,648/(3-1)(10-1)
=90,53597
F
hitung kelompok
=KT / KT
kelompok Galat
=89,76921/90,53597
=0,991531
F
hitung perlakuan
=KT / KT
perlakuan Galat

=479,5599 / 990,53597

=5,296899
Analisis Ragam
SK DB J K KT F hitung 5% 1%
Kelompok 2 807,9228 89,76921 0,991531 3,35 5,49
Perlakuan 9 959,1199 479,5599 5,296899 3,35 5,49
Galat 18 1629,648 90,53597
Total 29 83,84282


Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) 5 %

10
53597 , 90

=
r
Ktgalat
sed =
= 4,255
255 , 4
2
2
35 , 3
x

sed
ftab
BNJ

=
2
2
05 , 0
% 5 =
= 5,0399

Perlakuan PBB Notasi
1 (P0) 25.985 b
2 (P1) 14.7086 ab
3 (P2) 27.311 b

Anda mungkin juga menyukai