Anda di halaman 1dari 12

REVITALISASI PANCASILA

Oleh: Azyumardi Azra.




Dalam pekan terakhir paling tidak, Pancasila kembali menjadi wacana publik. Beberapa
lembaga, baik pemerintah maupun nonpemerintah menyelenggarakan diskusi, simposium, dan
semacamnya mengenai Pancasila. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga
menyampaikan pidato politik tentang Pancasila pada Hari Pancasila 1 Juni, yang pada intinya
menekankan pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Bagi saya yang sejak Juni 2004 melalui berbagai artikel dan wawancara mengimbau perlunya
membangkitkan kembali wacana publik tentang Pancasila, perkembangan tersebut cukup
menggembirakan. Karena dengan demikian, Pancasila yang merupakan landasan bersama
(common platform) atau sering juga disebut di kalangan kaum Muslimin sebagai kalimatun
sawa, kembali mendapat perhatian yang sepantasnya sudah harus diberikan sejak beberapa
tahun lalu.

Jika kita mengimbau perlunya menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila, maka itu
bukanlah didasari romantisme historis, kerinduan belaka terhadap masa lalu. Masa lalu yang
pahit bagi Pancasila sudah dialami negara-bangsa Indonesia, ketika indoktrinasi P4 atas berbagai
lapisan masyarakat, membuat Pancasila seolah-olah kehilangan nama baik.
Pemerintah Orde Baru tidak hanya melakukan dominasi dan hegemoni atas pemaknaan
Pancasila, tetapi juga melakukan berbagai kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan
pandangan dunia dan nilai-nilai Pancasila. Semua ini membuat banyak orang enggan
membicarakan Pancasila; pembicaraan tentang Pancasila bahkan nyaris sebagai sesuatu yang
tabu.

Revitalisasi Pancasila mendesak karena beberapa alasan internal dan eksternal. Secara internal,
sejak masa berlangsungnya Masa Reformasi, beberapa faktor pemersatu bangsa jelas
mengalami kemerosotan. Negara-bangsa yang berpusat di Jakarta semakin berkurang
otoritasnya; sentralisme sebaliknya digantikan dengan desentralisasi dan otonomisasi daerah.
Dalam hal terakhir ini kita menyaksikan bangkitnya sentimen provinsialisme dan etnisitas yang
cenderung mengabaikan kepentingan dan integrasi nasional.

Pada saat yang sama, penghapusan kewajiban asas tunggal Pancasila yang diberlakukan sejak
1985, yang diikuti liberalisasi politik dengan sistem multipartai, juga menghasilkan berbagai
ekses. Fragmentasi politik, baik di tingkat elite dan akar rumput terus berlanjut, yang sering
berakhir dengan lenyapnya keadaban publik (public civility), dan cenderung disintegratif.

Pada saat yang sama, liberalisasi politik berbarengan dengan kegagalan negara menegakkan
hukum, memberikan momentum bagi menguatnya religious-based ideologies, yang cenderung
divisif, karena adanya berbagai aliran pemikiran, mazhab, dan semacamnya di dalam agama.
Bisa disaksikan, parpol-parpol yang berlandaskan agama --baik Islam maupun Kristen-- terus
rentan pada perpecahan; landasan agama tidak mampu mengatasi perbedaan-perbedaan yang
berimpitan dengan kontestasi pengaruh dan kekuasaan. Pada saat yang sama, terlihat pula
peningkatan berbagai kelompok masyarakat yang bergerak atas religious-based ideologies dan
atas nama agama.

Yang tak kurang pentingnya adalah serbuan globalisasi, yang tidak hanya menimbulkan
disorientasi dan dislokasi sosial, tetapi juga bahkan mengakibatkan memudarnya identitas
nasional dan bahkan jati diri bangsa. Globalisasi yang sesungguhnya juga punya nilai positif,
sebaliknya justru lebih banyak menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Revitalisasi Pancasila yang urgen itu bisa dimulai dengan menjadikan dasar negara ini
kembali sebagai wacana publik, sehingga masyarakat merasakan bahwa Pancasila masih ada,
dan masih dibutuhkan bagi negara-bangsa Indonesia. Selama 63 tahun lebih, Pancasila mampu
mengayomi anak-anak bangsa yang begitu majemuk; viabilitas Pancasila dengan demikian telah
teruji sebagai kerangka dasar bersama negara-bangsa Indonesia.

Selanjutnya, perlu dilakukan penilaian kembali (reassesment) tentang penafsiran dan pemahaman
Pancasila, yang telah pernah dirumuskan di masa silam. Penafsiran monolitik sepatutnya
ditinggalkan; apalagi kalau penafsiran tunggal tersebut didominasi rezim penguasa, yang
menggunakan untuk kepentingan kekuasaan. Publik dan masyarakat memiliki hak semestinyalah
terlibat dalam reassesment, dan rekontekstualisasi penafsiran Pancasila di tengah situasi dan
tantangan yang terus berubah.

Terakhir, reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Inilah tantangan yang tidak kurang beratnya. Karena selama masih terdapat dalam
masyarakat banyak kontradiksi yang tidak sesuai dengan esensi dan nilai-nilai Pancasila, ketika
itulah orang menganggap Pancasila sebagai lips-service belaka.




http://aryantoabidin.blogspot.com/2009/09/revitalisasi-pancasila.html



















Revitalisasi Pancasila
Kamis, 27 November 2008 23:30

SIMPUL - Berbagai peristiwa sejarah di negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan
dan kesatuanlah yang membawa negeri Indonesia ini menjadi negeri yang besar. Dilihat dari
banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak budaya yang ada membuat bangsa ini
menjadi rentan pergesekan, oleh karena...
Berbagai peristiwa sejarah di negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan dan kesatuanlah
yang membawa negeri Indonesia ini menjadi negeri yang besar. Dilihat dari banyak ragamnya suku,
bangsa, ras, bahasa dan corak budaya yang ada membuat bangsa ini menjadi rentan pergesekan,
oleh karena itu para pendiri Indonesia telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara.
Pancasila merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah cita-cita yang luhur.
Inilah alasan dalam talk show RRI ke-12 hari Kamis, 30 Agustus 2007 mengangkat tema tentang
pentingnya Pancasila sebagai kekuatan bangsa. Kegiatan ini menghadirkan Talkshow: 1. Rurid
Rudianto (Yayasan Satu Indonesia dan Peserta Sekolah Demokrasi II; 2. Abidah (Pengajar dan
Peserta Sekolah Demokrasi II); 3. Isiyantoyo (Pemuda dan Peserta Sekolah Demokrasi II).

Pancasila dilambangkan seekor burung garuda yang dalam kisah pewayangan melambangkan anak
yang berjuang mencari air suci untuk ibunya/ sedangkan pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika
berartikan berbeda tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung tersebut sebuah perisai
yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan serangan perang pada jaman dulu, jadi kalau
diartikan untuk menjaga integritas bangsa Indonesia baik itu ancaman dari dalam maupun dari luar
yaitu dengan menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima sila.

Seringkali bangsa kita ini mengalami disintegrasi dan kemudian bersatu kembali konon kata
beberapa tokoh adalah berkat kesaktian Pancasila. Sampai pemerintah juga menetapkan hari
kesaktian pancasila tanggal 1 Oktober. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Pancasila hingga saat
ini masih kuat relevansinya bagi sebuah ideology Negara seperti Indonesia ini.

Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan global ini adalah masih banyaknya kemiskinan,
kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila kita
mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa
menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan
NKRI masih bisa terjaga.

Untuk itu perlu adanya revitalisasi ideologi Pancasila ditengah munculnya arus globalisme yang
dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan mengancam eksistensinya sebagai
sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap berkembang kita memang tidak suka
dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita
menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang
malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan globalisasi adalah bagaimana
kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila dalam setiap kita berpikir dan bertindak.
http://www.simpuldemokrasi.com/program-sekolah-demokrasi/media-radio/media-radio-iii/1506-
revitalisasi-pancasila.html
Kedudukan, Fungsi serta Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara

Follow any responses to this article
Subscribe to entry RSS 2.0
Subscribe to entry RSS 0.92
Subscribe to responses RSS
Posted by Smart Click on 12 March 2011

(Kedudukan, Fungsi serta Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara) Setiap negara
harus mempunyai dasar negara. Dasar negara merupakan fundamen atau pondasi dari bangunan
negara. Kuatnya fundamen negara akan menguatkan berdirinya negara itu. Kerapuhan fundamen
suatu negara, beraikbat lemahnya negara tersebut. Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila
sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara), Staats
fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee).

Negara kita Indonesia. Dalam pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara ini dilandasi
oleh filsafat atau ideologi pancasila. Fundamen negara ini harus tetap kuat dan kokoh serta
tidak mungkin diubah. Mengubah fundamen, dasar, atau ideology berarti mengubah eksistensi
dan sifat negara. Keutuhan negara dan bangsa bertolak dari sudut kuat atau lemahnya bangsa itu
berpegang kepada dasar negaranya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara yaitu Pancasila sebagai dasar dari penyelenggaraan
kehidupan bernegara bagi negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara
seperti tersebut di atas, sesuai dengan apa yang tersurat dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 alenia 4 antara lain menegaskan: .., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalm permusyawaratan perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan kedudukan yang istimewa tersebut, selanjutnya dalam proses penyelenggaraan
kehidupan bernegara memiliki fungsi yang kuat pula. Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945
menggariskan ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi pancasila dalam proses
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Berikut ini dikemukakan ketentuan-ketentuan yang
menunujukkan fungsi dari masing-masing sila pancasila dalam proses penyelenggaraan
kehidupan bernegara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu:
kehidupan bernegara bagi Negara Republik Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa,
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah
menurut agama dan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing
pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui eksistensinya di Indonesia, negara
Indonesia memberikan hak dan kebebasan setiap warga negara terhadap agama dan kepercayaan
yang dianutnya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab, antara lain : pengakuan negara terhadap hak bagi setiap bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, negara menghendaki agar manusia Indonesia tidak memeperlakukan sesame manusia
dengan cara sewenang-wenang sebagai manifestasi sifat bangsa yang berbudaya tinggi,
pengakuan negara terhadap hak perlakuan sama dan sederajat bagi setiap manusia, jaminan
kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta kewajiban menjunjung tinggi
hokum dan pemerintahan yang ada bafi setiap warga negara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Persatuan Indonesia, yaitu: perlindungan
negara terhadp segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiba dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, negara mengatasi segala
paham golongan dan segala paham perseorangan, serta pengakuan negara terhadap kebhineka-
tunggal-ikaan dari bangsa Indonesia dan kehidupannya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kerkyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata perwakilan, yaitu: penerapan kedaulatan dalam
negara Indonesia yang berada di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, penerapan azas
musyawarah dan mufakat dalam pengambilan segala keputusan dalam negara Indonesia, dan
baru menggunakan pungutan suara terbanyak bila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, jaminan
bahwa seluruh warga negara dapat memperoleh keadlan yang sama sebagai formulasi negara
hokum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka, serta penyelenggaraan kehidupan bernegara
yang didasarkan atas konstitusi dan tidak bersifat absolute.
Yang terakhir adalah ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Keadlan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, antara lain: negara menghendaki agar perekonomian Indonesia
berdasarkan atas azas kekeluaraan, penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara serta menguasai hajat hidup orang banyak oleh negara, negara menghendaki agar
kekayaan alam yang terdapat di atas dan di dalam bumi dan air Indonesia dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat banyak, negara menghendaki agar setiap warga negara Indonesia mendapat
perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual, negara
menghendaki agar setiap warga negara Indonesia memperoleh pengajaran secara maksimal,
negara Republik Iindonesia mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional yang pelaksanaannya ditur berdasarkan Undang-Undang, pencanangan bahwa
pemerataan pendidikan agar dapat dinikmati seluruh warga negara Indonesia menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga, dan negara berusaha membentuk
manusia Indonesia seutuhnya.
Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Pada
bulan Juni 1945,64 tahun yang lalu, lahirlah sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat
bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang
merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap
bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan
kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai
pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah
diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka
yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-
sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12
tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr
Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila
itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah
karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang
Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham
positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai
keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari
Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan
hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh
Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh
bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk
berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan.
Sebab yang keempat adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila,
yakin bahwa Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.
Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus
diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan
menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi
yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda
maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan
guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945
dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas
nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu
disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR
No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische
grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI
yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir
detre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila
merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakanintelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam
masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila
sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum
semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka
Bhinneka Tunggal Ika.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: Jika kita hendak mendirikan
Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka
Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik Negara tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan
dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia
adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya,
membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu,Kirdi
Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan,
dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan
martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan
beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan
mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum,
yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan
sosial).
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga
merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak
azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan
itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah
manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman
sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-
piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu
sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari
pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha
memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan
Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh
ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Prof.
Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila Ketuhanan
Yang Mahaesa sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang
lain haruslah dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Secara tegas, Dr. Hamka
mengatakan: Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila
bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya
hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya
berisi:
1. Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan
Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-
Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Isi Pembukaan UUD 1945 adalah nilai-nilai luhur yang universal sehingga Pancasila di
dalamnya merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa. Gagasan vital yang
menjadi isi Pancasila sebagai dasar negara merupakan jawaban kepribadian bangsa sehingga
dalam kualitas awalnya Pancasila merupakan dasar negara, tetapi dalam perkembngannya
menjadi ideologi dari berbagai kegiatan yang berimplikasi positif atau negatif.
Pancasila bertolak belakang dengan kapitalisme ataupun komunisme. Pancasila justru merombak
realitas keterbelakangan yang diwariskan Belanda dan Jepang untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. Pancasila sudah berkembang menjadi berbagai tahap semenjak ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945,yaitu :
1. Tahun 1945-1948 merupakan tahap politis. Orientasi Pancasila diarahkan pada Aand
character building. Semangat persatuan dikobarkan demi keselamatan NKRI terutama untuk
menanggulangi ancaman dalam negeri dan luar negeri. Di dalam tahap dengan atmosfer politis
dominan, perlu upaya memugar Pancasila sebagai dasar negara secara ilmiah filsafati. Pancasila
mampu dijadikan pangkal sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang
dalam karya-karyanya ditunjukkan segi ontologik, epismologik dan aksiologiknya sebagai raison
detre bagi Pancasila (Notonagoro, 1950)
Resonansi Pancasila yang tidak bisa diubah siapapun tecantum pada Tap MPRS No.
XX/MPRS/1966. Dengan keberhasilan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, maka
dapatlah dinyatakan bahwa persatuan dan kesatuan nasional sebagai suatu state building.
2. Tahun 1969-1994 merupakan tahap pembangunan ekonomi sebagai upaya mengisi
kemerdekaan melalui Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). Orientasinya diarahkan
pada ekonomi, tetapi cenderung ekonomi menjadi ideologi
Secara politis pada tahap ini bahaya yang dihadapi tidak sekedar bahaya latent sisa G 30S/PKI,
tetapi efek PJP 1 yang menimbulkan ketidakmerataan pembangunan dan sikap konsumerisme.
Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang mengancam pada disintegrasi bangsa.
Distorsi di berbagai bidang kehidupan perlu diantisipasi dengan tepat tanpa perlu mengorbankan
persatuan dan kesatuan nasional. Tantangan memang trerarahkan oleh Orde Baru, sejauh mana
pelakasanaan Pancasila secara murni dan konsekuen harus ditunjukkan.
Komunisme telah runtuh karena adanya krisis ekonomi negara ibu yaitu Uni Sovyet dan
ditumpasnya harkat dan martaba tmanusia beserta hak-hak asasinya sehingga perlahan
komunisme membunuh dirinya sendiri. Negara-negara satelit mulai memisahkan diri untuk
mencoba paham demokrasi yang baru. Namun, kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat
semakin meluas seolah menjadi penguasa tunggal. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar
negara tidak hanya sekedar dihantui oleh bahaya subversinya komunis, melainkan juga harus
berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme.
3. Tahun 1995-2020 merupakan tahap repostioning Pancasila. Dunia kini sedang dihadapkan
pada gelombang perubahan yang cepat sebagai implikasi arus globalisasi.
Globalisasi sebagai suatu proses pada hakikatnaya telah berlangsung jauh sebelum abad ke-20
sekarang, yaitu secara bertahap, berawal embrionial di abad 15 ditandai dengan
munculnyanegara-negara kebangsaan, munculnya gagasan kebebasan individu yang dipacu jiwa
renaissance dan aufklarung.
Hakikat globalisasi sebagai suatu kenyataan subyektif menunjukkan suatu proses dalam kesadran
manusia yang melihat dirinya sebagai partisipan dalam masyarakat dunia yang semakin menyatu,
sedangkana kenyataan obyektif globlaisasi merupakan proses menyempitnya ruang dan waktu,
menciutnya dunia yang berkembang dalam kondisi penuh paradoks.
Menghadapi arus globalisasi yang semakin pesat, keurgensian Pancasila sebagai dasar negara
semakin dibutuhkan. Pancasila dengan sifat keterbukaanya melalui tafsir-tafsir baru kita jadikan
pengawal dan pemandu kita dalam menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Pancasila
mengandung komitmen-komitmen transeden yang memiliki mitosnya tersendiri yaitu semua
yang mitis kharismatis dan irasional yang akan tertangkap arti bagi mereka yang sudah
terbiasa berfikir secara teknis-positivistik dan pragmatis semata.
Nilai-nilai luhur yang telah dipupuk sejak pergerakan nasional kini telah tersapu oleh kekuasaan
Orde Lama dan Orde Baru. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak
sebagai sesuatu substantif, melainkan di-instumentalisasi-kan sebagai alat politik semata.
Demikian pula di Orde Baru yang berideologikan ekonomi, Pancasila dijadikan asas tunggal
yang dimanipulasikan untuk KKN dan kroni-isme dengan mengatasnamakan sebagai Mandatoris
MPR.
Kini terjadi krisis politik dan ekonomi karena pembangunan menghadapi jalan buntu. Krisis
moral budaya juga timbul sebagai implikasi adanya krisis ekonomi. Masyarakat telah kehilangan
orientasi nilai dan arena kehidupan menjadi hambar, kejam, gersang dalam kemiskinan budaya
dan kekeringan spiritual. Pancasila malah diplesetkan menjadi suatu satire, ejekan dan sindiran
dalam kehidupan yang penuh paradoks.
Pembukaan UUD 1945 dengan nilai-nilai luhurnya menjadi suatu kesatuan integral-integratif
dengan Pancasila sebagai dasar negara. Jika itu diletakkan kembali, maka kita akan menemukan
landasan berpijak yang sama, menyelamatkan persatuan dan kesatuan nasional yang kini sedang
mengalami disintegrasi. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa
Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan dimensi-dimensi yang
melekat padanya, yaitu :
Realitasnya: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai
kondisi cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat.
Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi
tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai kata kerja untuk membangkitkan gairah dan
optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok
lebih baik.
Fleksibilitasnya: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan
mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk
memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai
hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang
penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat Bhinneka tunggal Ika
Revitalisasi Pancasila Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral,
sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi
krisis dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat korelasi.
Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi penyimpangan, sebaliknya,
ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan
nilai-nilai luhur Pancasila.
Dalam upaya merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara maka disiapkan lahirnya generasi
sadar dan terdidik. Sadar dalam arti generasi yang hati nuraninya selalu merasa terpanggil untuk
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, terdidik dalam arti generasi yang
mempunyai kemampuan dan kemandirian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai
sarana pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian akan dimunculkan generasi
yang mempunyai ide-ide segar dalam mengembangkan Pancasila.
Hanya dengan pendidikan bertahap dan berkelanjutan, generasi sadar dan terdidik akan dibentuk,
yaitu yang mengarah pada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk memberikan bekal pengetahuan
dan pengalaman akademis, ketrampilan profesional, dan kedalaman intelektual,
kepatuhankepada nilai-nilai (it is matter of having). Kedua, pendidikan untuk membentuk jatidiri
menjadi sarjana yang selalu komitmen dengan kepentingan bangsa (it is matter of being).
Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya-budaya lama.
Sekuat-kuatnya tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap
bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak. Kita
membutuhkan telaah-telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif.
Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar negara dalam, kita berpedoman pada wawasan:
1. Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan arah
pengembangan profesi
2. Akademis, menunjukkan bahwa MKU Pancasila adalah aspek being, tidak sekedar aspek
having
3. Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme
4. Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya
perkembangan dalam mayaraka dunia yang terbuka.
Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan
disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta
pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya platform
dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam
menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui pemahaman inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara
konsensual akan dapat mengembangkan nilai praktisnya yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila
sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu, merupakan
suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan oleh generasi sekarang.

Anda mungkin juga menyukai