Anda di halaman 1dari 18

pidato yang disampaikan di Gedung MPR/DPR pada pagi ini:

Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.

Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan
pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila
sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi
Indonesia Merdeka.

Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan
dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde
Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati
alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang
terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar
reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan
kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan
bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam
dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.
Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia
yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?

Para hadirin yang berbahagia,

Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan
lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global.
Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami
perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang.
Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:
(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;
(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi
manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan
yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi"
informasi dengan segala dampaknya.

Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia,
sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku
kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan
reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari
dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut
menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi
reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan
menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang
pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung
kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa,
agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak
dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru,
menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus
diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur
dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang
tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila
diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang
digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di
era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol,
sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap
menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma
sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan
mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa
tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila
adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama
Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim
pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara
akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Para hadirin yang berbahagia,

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan
banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai
permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin
kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana
dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia
yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru
dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri
bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa
aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era
globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita
menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang
penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin
menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan
kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat
infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan
kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi
kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok,
penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi
membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman
dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang
negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi
kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi
politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara
serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita
yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk
peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila
dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis
bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian
hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila
perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan
dalam berbagai bidang kehidupan.

Para hadirin yang berbahagia,

Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah
menggobal sekarang ini?

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan
sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam
bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah
diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian
rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru,
neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie)
dengan baju baru".

Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru"
itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia
sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang
berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca
Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar
menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari
"added cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia
dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para
tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius
merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting
adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta
konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang
dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai
dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa
untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang
sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui
reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan
paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Para hadirin yang saya hormati,

Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-
akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD
1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam
bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang
kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat
pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya
penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang
terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.
Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-
nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita,
seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial,
saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan
dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga
tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku,
agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar
yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali
memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara
negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah
diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi
yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan
lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb

sby

pidato kenegaraan yang disampaikan Kepala Negara dalam rangka HUT ke-69 Proklamasi
Kemerdekaan RI di depan sidang bersama DPR dan DPD RI:

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,

Yang saya hormati, Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia,
Yang saya hormati, Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia,
Yang saya hormati, Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Lembaga-Lembaga
Negara,
Yang Mulia para Duta Besar Negara-Negara Sahabat, dan para Pimpinan Perwakilan Badan dan
Organisasi Internasional,
Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air,
Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Mengawali pidato ini, saya mengajak hadirin sekalian, untuk sekali lagi, memanjatkan puji dan
syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-
Nya,kepada kita masih diberi kesempatan, kekuatan, dan insya Allah kesehatan untuk
melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta tugas dan pengab-dian kita kepada masyarakat, bangsa
dan negara tercinta.

Kita juga bersyukur, pada hari yang istimewa ini, kita dapat menghadiri Sidang Bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun ke-69 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Masih dalam suasana Idul Fitri, pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin
menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1435 Hijriyah kepada kaum muslimin dan
muslimat di seluruh tanah air. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mohon maaf atas segala
kekhilafan dalam mengemban amanat rakyat selama ini.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pidato kenegaraan kali ini akan dilanjutkan siang nanti,
dengan Pidato Pengantar RAPBN Tahun Anggaran 2015 beserta Nota Keuangannya. Kedua
pidato yang saya sampaikan di depan para wakil rakyat dan wakil daerah hari ini, sesungguhnya
juga saya tujukan kepada seluruh rakyat Indonesia di mana pun berada.

Saudara-saudara,
Sebentar lagi, seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, akan dengan penuh suka
cita merayakan proklamasi ke-merdekaan bangsa Indonesia, sebuah peristiwa yang amat ber-
sejarah. Melalui proklamasi yang sederhana dan singkat, dari Jalan Pegangsaan, para pendiri
bangsa mengobarkan suatu revolusi kemerdekaan yang menginspirasi bangsa-bangsa lain,
melahirkan Republik besar di Asia, dan membuka sejarah Indonesia modern.

Sepanjang masa, Generasi-45 akan dikenang sebagai generasi emas yang mengubah nasib
bangsa dengan semangat perjuangan, pengabdian dan pengorbanan yang luar biasa. Etos inilah
yang harus selalu kita dan semua anak cucu kita tauladani bersama.

Setelah 69 tahun merdeka, saya yakin para pendiri bangsa akan bersyukur dan bergembira
melihat transformasi bangsa Indonesia di abad-21.

Dari bangsa yang sewaktu merdeka sebagian besar penduduk-nya buta huruf, rakyat Indonesia
kini mempunyai sistem pendidikan yang kuat dan luas, yang mencakup lebih dari 200 ribu
sekolah, 3 juta guru dan 50 juta siswa.

Dari bangsa yang tadinya terbelakang di Asia, Indonesia telah naik menjadi middle-income
country, menempati posisi ekonomi ke-16 terbesar dunia, dan bahkan menurut Bank Dunia telah
masuk dalam 10 besar ekonomi dunia jika dihitung dari purchasing power parity.
Dari bangsa yang seluruh penduduknya miskin di tahun 1945, Indonesia di abad ke-21
mempunyai kelas menengah terbesar di Asia Tenggara ? dan salah satu negara dengan
pertumbuhan kelas menengah yang tercepat di Asia.

Dari bangsa yang kerap jatuh bangun diterpa badai politik dan ekonomi, kita telah berhasil
mengkonsolidasikan diri menjadi demokrasi ketiga terbesar di dunia.
Pendek kata, setelah hampir 7 dekade merdeka, Indonesia di abad ke-21 terus tumbuh menjadi
bangsa yang semakin bersatu, semakin damai, semakin makmur, dan semakin demokratis.

Kita mengatakan semua capaian ini tidak untuk berpuas diri atau menepuk dada. Kita
mengatakan ini untuk mengingatkan diri bahwa semua ini berawal dari revolusi 1945 yang
dirintis para pendiri republik. Perjalanan kita sebagai bangsa sudah cukup panjang, dan terlepas
dari berbagai permasalahan yang masih ada, serta segala kekurangan kita, sejarah menunjukkan
bahwa perjuangan dan kerja keras bangsa Indonesia selama ini telah mengangkat derajat bangsa
kita ke tingkat yang lebih tinggi.

Semua hal yang kita capai sebagai bangsa sebenarnya bukan monopoli siapapun. Semua itu
adalah kulminasi gabungan dari sumbangsih dan kerja keras seluruh generasi, dari era Presiden
Soekarno, era Presiden Suharto, era Presiden B.J. Habibie, era Presiden Abdurrachman Wahid,
era Presiden Megawati Soekarno-putri, hingga era saya saat ini. Insya Allah, ke depan, akan
dilanjutkan di era Presiden Indonesia ke-7 dan Presiden-Presiden berikutnya.

Sebagai bangsa yang menghargai apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya, kita jangan
sekali-kali menganggap remeh capaian bangsa ini. Kita bisa melihat sendiri penderitaan luar
biasa yang dialami saudara-saudara kita di Gaza sekarang dan banyak negara di Timur Tengah.
Tragedi Palestina yang masih berlangsung hingga detik ini mengingatkan bangsa kita betapa
mahalnya harga kemerdekaan, persatuan dan perdamaian.

Saudara-saudara,
Masih segar dalam ingatan saya, lima tahun lalu, tepat pada tanggal 20 Oktober 2009, saya
menyampaikan kebijakan dasar dan program pemerintahan lima tahun ke depan yang dititik
beratkan pada tiga agenda utama, yakni pembangunan demokrasi, penegakan keadilan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tiga agenda besar ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan justru saling mendukung.
Demokrasi tanpa keadilan adalah sesat. Keadilan tanpa kesejahteraan adalah semu.
Kesejahteraan tanpa demokrasi adalah timpang.

Alhamdulillah, dengan ridho Allah SWT, dan dengan kerja keras kita semua, pembangunan
demokrasi kita berjalan relatif baik. Dalam 15 tahun terakhir, kita telah 4 kali melakukan pemilu
secara teratur dan damai. Dan dalam 15 tahun terakhir, kita telah 4 kali mengalami pergantian
Pemerintah secara konstitusional dan damai pula.

Generasi kita juga telah mengukir sejarah : dalam beberapa tahun ini, untuk pertama kalinya,
seluruh pemimpin daerah dari gubernur, bupati, walikota dan anggota DPRD telah dipilih
langsung oleh rakyat. Ini telah mengubah total budaya dan dinamika politik Indonesia. Kita
bersyukur, transformasi besar ini dapat kita capai secara damai tanpa gejolak politik yang sangat
mengganggu.

Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai calon
Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak. Saat ini, kita masih menunggu proses akhir
dari gugatan yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta kepada Mahkamah Konstitusi.

Yang penting, marilah kita semua bekerja sama untuk terus mengawal proses ini agar
berlangsung secara konstitusional dan damai, serta selalu mengedepankan kepentingan dan masa
depan rakyat Indonesia. Sama seperti sebelumnya, proses pemilu 2014 ini harus benar-benar
menyuarakan nurani rakyat, dan bukan semata pertarungan elit politik. Saya yakin inilah yang
paling diharapkan oleh rakyat kita pada saat ini.

Perjalanan bangsa Indonesia kini ditandai oleh politik yang stabil, pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi, dan persatuan nasional yang semakin kokoh. Marilah kita terus jaga modal besar
ini, agar dapat terus dinikmati generasi penerus.

Dalam kehidupan bernegara, satu hal yang perlu terus kita pelihara adalah kualitas demokrasi.
Disini perlu kita bedakan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif.

Sekalipun berbeda namun keduanya sama pentingnya. Memang, demokrasi prosedural ? dalam
arti pembentukan partai politik, pelaksanaan pemilu dan pembentukan Pemerintah dan Parlemen
-- tidak otomatis menjamin demokrasi yang berkualitas.

Indikasi terkuat dari demokrasi yang berkualitas adalah sema-kin tumbuhnya kepercayaan dan
optimisme masyarakat terhadap sistem demokrasi dan terhadap para pemimpinnya. Semua ini,
jika bisa kita capai, akan menjadikan demokrasi Indonesia lebih dari sekedar proses
penghitungan suara atau transaksi politik. Melainkan suatu kekuatan sejarah riil yang akan
membuat bangsa Indonesia menjadi kuat, jaya dan makmur.

Saudara-saudara,
Penegakan hukum adalah kunci dari upaya pemberantasan korupsi yang menjadi musuh
reformasi dan juga merugikan kepen-tingan rakyat. Kini, korupsi telah kita perlakukan sebagai
kejahatan luar biasa, yang penanganannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa
pula.

Berulang kali saya tegaskan, tidak ada yang kebal hukum di negeri ini, dan tidak ada tebang pilih
kepada mereka yang melakukan tindak pidana korupsi. Karena itulah, sebagai Presiden, pada
periode 2004 - 2012, saya telah menandatangani 176 izin pemeriksaan bagi kepala daerah dan
pejabat yang dicurigai melakukan kasus korupsi dan tindak pidana lainnya, tanpa sedikitpun
melihat apa jabatannya, apa partai politiknya, dan siapa koneksinya.

Karenanya, Pemerintah terus mendukung dan memberikan ruang gerak yang luas bagi KPK
untuk memberantas korupsi. Saya juga memberikan apresiasi kepada KPK, Kepolisian,
Kejaksaan dan lembaga peradilan yang telah bekerja bersama-sama melakukan penegakan
hukum, walaupun diakui bahwa hal ini tidak selalu mudah dilaksanakan di lapangan.
Pemerintah juga giat melakukan pemberantasan mafia peradilan. Tahun 2009 sampai 2011,
misalnya, saya telah membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Tugas Satgas ini adalah
men-cegah agar jangan sampai hukum diperjualbelikan layaknya suatu komoditi untuk
memperkaya oknum-oknum penegak hukum dan pemerintah, dan untuk pula melindungi pelaku
kejahatan.

Kita juga telah melahirkan Undang-undang no. 16 tahun 2011 yang bertujuan memberi bantuan
hukum bagi masyarakat yang tidak mampu menyewa pengacara untuk menghadapi pengadilan.
Saya masih mendengar adanya sejumlah keluhan mengenai pelaksanaan undang-undang ini, dan
karenanya saya mengusulkan untuk menam-bah dana bantuan hukum ini secara signifikan, serta
mempermudah proses penarikan dana bagi mereka yang membutuhkannya.

Saya akui, reformasi hukum memang merupakan tantangan yang paling berat. Dan saya berharap
agenda reformasi hukum ini akan terus menjadi prioritas utama dalam kehidupan bernegara
Indonesia di masa mendatang.

Saudara-saudara,
Demokrasi dan keadilan akan hampa tanpa kesejahteraan rakyat. Karenanya, dalam sepuluh
tahun terakhir, pemerintah terus gigih mendorong kebijakan pembangunan yang pro-rakyat.
Suatu kebijakan pembangunan yang secara bersamaan dapat mendorong pertumbuhan,
mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam hal ini, alhamdulillah, kita dapat terus memacu momen-tum pemulihan ekonomi, yang
sejak krisis moneter telah dirintis oleh para pendahulu, baik Presiden B.J. Habibie, almarhum
Presiden Abdurrachman Wahid maupun Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dalam kaitan itu, selama satu dekade terakhir, kita mencatat bersama beberapa perkembangan
positif dalam pembangunan Indonesia.

Pertama, kita dapat menjaga stabilitas dan kondisi makro-ekonomi yang relatif baik, walaupun
bangsa kita terus diterpa cobaan, apakah itu dalam bentuk bencana alam maupun krisis moneter
global utamanya pada tahun 2008.

Kedua, Indonesia terus mencetak pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Pada periode tahun
2009-2013, secara rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,9 persen. Ini jauh lebih
tinggi dari pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, Eropa dan Jepang pada kurun waktu yang
sama. Di semester pertama tahun 2014 ini, ekonomi kita memang mengalami perlambatan
menjadi sekitar 5,2 persen.

Sungguhpun demikian, diantara negara-negara G-20, kita tetap menempati posisi pertumbuhan
tertinggi setelah Tiongkok. Kemampuan kita untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi sangat
penting, mengingat dewasa ini cukup banyak negara-negara emerging ekonomi lainnya yang
pertumbuhan ekonominya menurun, bahkan sebagian menurun cukup tajam.
Mari kita bandingkan dengan rasio utang terhadap PDB negara-negara maju yang terus tinggi,
Jepang 227,2 persen, Amerika Serikat 101,5 persen, atau Jerman 78,4 persen. Dalam hal ini,
rasio utang terhadap PDB Indonesia adalah yang terendah diantara negara-negara G-20.

Kita juga telah melunasi utang kita kepada IMF, dan melaku-kannya 4 tahun lebih awal dari
jadwal yang telah disepakati. Salah satu momen yang akan selalu saya ingat sebagai Presiden
adalah ketika menerima Managing Director IMF di kantor saya, dan waktu itu, justru Indonesia-
lah yang balik memberikan masukan bagaimana cara mereformasi IMF. Indonesia tidak lagi
menjadi pasien IMF, yang semua kebijakan dan perencanaan ekonominya harus didikte oleh
IMF.

Hibah juga bukan lagi faktor penentu dalam pembangunan kita. Kita tetap menerima hibah dari
negara sahabat, dan kita hargai sepanjang diberikan dengan itikad baik dan semangat
persahabatan. Namun hibah dari dunia internasional kini hanya berjumlah sekitar 0,7 persen dari
seluruh anggaran nasional. Ini menandakan bahwa kita telah mencapai kemandirian ekonomi
yang makin signifikan.

Namun, sekali lagi, kita tidak boleh berpuas diri dan takabur melihat semua ini. Tantangan dan
permasalahan yang dihadapi bangsa kita masih banyak. Pekerjaan rumah kita tidak sedikit. Salah
satu tantangan terbesar kita adalah bagaimana mengubah nasib puluhan juta rakyat Indonesia
yang masih hidup di bawah atau di sekitar garis kemiskinan, ke arah yang lebih sejahtera.

Saudara-Saudara,
Program lain untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat adalah Program Keluarga Harapan.
Program ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, utamanya melalui pendidikan dan kesehatan, pada kelompok masyarakat sangat
miskin. Lebih dari 3 juta keluarga sangat miskin di 318 kabupaten dan kota telah terbantu oleh
program ini.

Kita bersyukur bahwa sesuai mandat Konstitusi, anggaran pendidikan kita telah mencapai 20
persen lebih dari APBN. Namun kita juga harus mengingat bahwa penambahan anggaran saja
tidak otomatis menjamin suksesnya pendidikan. Yang penting, akses dan kualitas pendidikan
harus terus terjamin di semua tingkatan.

Kini Pemerintah melalui dana abadi pendidikan, telah menyiap-kan beasiswa bagi mereka untuk
melanjutkan ke jenjang S2 dan S3 di dalam maupun di luar negeri. Saya yakin, dalam kurun 5 -
10 tahun mendatang akan lahir ribuan Master dan Doktor, generasi baru dari keluarga miskin.
Merekalah yang akan menjadi pemutus mata rantai kemiskinan, pengangkat harkat martabat
keluarganya serta pengibar merah putih setinggi-tingginya.

Ini adalah bukti bahwa anak-anak kita, apapun latar-belakang-nya, mempunyai potensi yang luar
biasa, asal mereka diberikan kesempatan.

Jangan lupa, dan ini juga merupakan kebanggaan bagi kita semua, bahwa dalam 10 tahun
terakhir, anak-anak kita yang bersaing dalam berbagai Olimpiade Internasional telah 217 kali
meraih medali emas, 389 kali meraih medali perak, dan 494 kali medali peru-nggu. Siapa bilang
anak Indonesia tidak bisa bersaing dan unggul di panggung dunia?

Untuk meningkatkan pemerataan akses dan kualitas pendidik-an, Pemerintah juga melaksanakan
program afirmasi. Lulusan-lulusan sekolah menengah yang tinggal di wilayah timur Indonesia,
seperti Papua dan Papua Barat dan daerah perbatasan, mendapat kesempatan untuk menempuh
pendidikan di Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia.

Untuk mempercepat pembangunan antarwilayah, kita telah memulai pembangunan enam koridor
ekonomi yang diharapkan dapat menstimulasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah dan
klaster-klaster industri di masing-masing koridor, dengan menggali potensi dan keunggulan
daerah.

Saudara-saudara,
Namun efektivitas pembangunan nasional tidak semata-mata diukur dari pengentasan
kemiskinan. Ukuran lain yang juga penting adalah : pertumbuhan kelas menengah. Sebenarnya,
Pemerintah selama ini mempunyai tujuan ganda -- twin objective -- yakni me-nurunkan secara
sistematis dan signifikan angka kemiskinan, dan bersamaan dengan itu meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan kelas menengah.

Di abad ke-21, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kemajuan Indonesia bukan diukur dari
jumlah konglomerat, namun diukur dari jumlah kelas menengah. Kalau jumlah kelas menengah
terus membesar, berarti kemiskinan otomatis menurun, karena yang masuk menjadi kelas
menengah adalah dari golongan miskin yang berhasil mengubah nasibnya - buruh tani yang
menjadi pemilik lahan; karyawan yang menjadi manajemen; si miskin yang menjadi pengu-saha,
dosen atau pejabat.

Hadirin sekalian yang saya hormati,


Segala upaya kita untuk menjaga persatuan dan kemakmuran Indonesia akan sangat terbantu
apabila situasi internasional juga kondusif terhadap kepentingan kita.
Indonesia telah dan akan terus berpegang teguh pada prinsip politik luar negeri bebas aktif,
seraya terus memperjuangkan terwu-judnya keadilan dan perdamaian dunia. Alhamdulillah,
sejak era reformasi, reposisi Indonesia di dunia internasional terus berlang-sung. Indonesia telah
menjadi kekuatan regional dan sekaligus pe-main global yang disegani.

Bangsa Indonesia harus cerdas mengantisipasi dan menyikapi berbagai perkembangan


internasional dewasa ini dengan tetap ber-pegang teguh pada kepentingan nasional.
Di lingkungan terdekat di Asia Tenggara, Indonesia senantiasa berkontribusi pada penguatan
ASEAN bagi terciptanya suatu kawas-an yang damai dan sejahtera. Selama lima tahun terakhir
ini, terma-suk saat menjadi Ketua ASEAN sepanjang tahun 2011, Indonesia terus mendorong
sentralitas ASEAN dalam percaturan kawasan dan peningkatan peran ASEAN dalam
menghadapi permasalahan global.

Dalam 10 tahun terakhir, saya terus melaksanakan diplomasi bebas aktif Indonesia agar selalu
berorientasi pada peluang, selalu memberikan nilai tambah bagi kepentingan nasional, dan selalu
berikhtiar untuk selalu menjadi bagian dari solusi permasalahan dunia.
Dalam konflik di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia melalui forum ASEAN dan melalui
konsultasi langsung dengan negara ter-kait, terus mendorong penyelesaian secara damai melalui
implementasi Declaration on the Conduct serta penyelesaian Code of Conduct di Laut Tiongkok
Selatan. Artinya, kita ikut mendorong penyelesaian persengketaan di wilayah itu secara damai.

Di Pasifik Barat Daya, kita telah meningkatkan hubungan per-sahabatan dengan negara-negara
pulau di Pasifik, dengan kerangka kebijakan "look east diplomacy". Saya senang melihat
hubungan Indonesia dengan negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group
(MSG), Pacific Island Forum, serta Pacific Island Development Forum yang mengalami
peningkatan yang signifikan.

Di kawasan Asia, Indonesia terus mendorong Indo-Pacific Treaty for Friendship and
Cooperation atau Traktat Indo-Pasifik untuk Persahabatan dan Kerja sama. Gagasan ini
dimaksudkan untuk menjamin hubungan perdamaian yang lebih stabil dan damai di kawasan,
berdasarkan norma-norma bersama -- sebagaimana telah diberlakukan selama ini di kawasan
Asia Tenggara melalui Treaty of Amity and Cooperation.

Di Timur tengah, dalam kasus konflik Suriah, Indonesia mendo-rong negara-negara Anggota
Tetap Dewan Keamanan PBB untuk lebih berperan aktif dalam rangka penyelesaian krisis. Saya
juga telah berbicara dengan banyak tokoh dunia yang memiliki pengaruh besar bagi penyelesaian
konflik Suriah.

Indonesia telah menjadi salah satu penyumbang utama dalam misi-misi perdamaian PBB. Peran
Indonesia dalam perspektif ini semakin menguat dan terlihat tidak hanya dari sisi jumlah, tetapi
juga dari segi kualitas personel. Visi Indonesia dalam hal ini adalah menjadikan Indonesia
sebagai 10 besar negara penyumbang pasu-kan misi-misi perdamaian PBB.

Indonesia juga telah memberikan kontribusi nyata terhadap agenda pembangunan millennium
pasca 2015, melalui peran kita sebagai salah satu Ketua Bersama dari Panel Tingkat Tinggi PBB
untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015. Di samping itu, kita juga aktif di berbagai forum
multilateral yang berdampak pada kebijakan strategis nasional, seperti forum APEC, WTO, G-20
dan lainnya.

Pemerintah juga telah menyambut baik proses Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta tahun lalu,
yang menjadi ajang bagi komunitas besar diaspora yang berdarah dan berbudaya Indonesia untuk
berkarya dan bersinergi dengan tanah air.

TKI merupakan bagian penting dari diaspora Indonesia, dan perlindungan TKI sebagai pahlawan
devisa merupakan prioritas dalam diplomasi Indonesia.

Pendek kata, diplomasi bebas aktif akan selalu mengabdi pada kepentingan nasional, akan selalu
berupaya memajukan perdamaian dan kerja sama internasional, dan akan selalu berjuang
melindungi warga kita di luar negeri.

Saudara-saudara,
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Hari ini, saya berdiri di mimbar yang mulia ini dengan seribu perasaan yang sulit saya lukiskan.
Sudah dapat dipastikan, inilah terakhir kalinya saya berpidato di tempat yang terhormat ini
sebagai Presiden Republik Indonesia. Walaupun ini adalah pidato yang ke-10, perasaan saya
sebenarnya sama dengan sewaktu pertama kali berdiri disini tahun 2005 : penuh semangat dan
tekad, untuk berbuat yang terbaik dan memberikan segalanya kepada bangsa dan negara.

Dalam kesempatan yang baik ini, ada beberapa refleksi pribadi yang ingin saya sampaikan ke
hadapan sidang yang mulia ini, dan juga kepada rakyat Indonesia.

Pertama, jangan pernah lupa bahwa yang paling penting kita bangun adalah sistem - sistem
demokrasi, sistem politik, dan sistem ekonomi. Demokrasi kita tidak boleh bergantung pada
figur seseorang, namun harus bergantung pada lembaga, pada peraturan, pada hukum dan norma.
Sejarah mengajarkan kita, selama sistem itu kuat, maka negara akan kuat, rakyat juga kuat.
Tetapi, jika sistem itu lemah dan keropos, demokrasi kita akan kembali labil dan mengalami
kemunduran.

Ini bukan capaian pribadi saya, bukan pula capaian Pemerintah semata: ini adalah prestasi
sejarah bangsa Indonesia. Kita semua wajib menjaga momentum bangsa yang baik ini, dan
bahkan meningkatkannya. Jangan lupa, dunia penuh dengan contoh bangsa yang sedang naik
daun kemudian tersandung dan jatuh seketika. Jangan sampai hal itu terjadi pada bangsa kita.

Saudara-saudara,
Di mimbar yang mulia ini, saya, Susilo Bambang Yudhoyono, juga berjanji untuk membantu
siapapun yang akan menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 2014 ? 2019, jika hal itu
dikehendaki.

Ini adalah kewajiban moral saya sebagai mantan Presiden nantinya, dan sebagai warga negara
yang ingin terus berbakti kepada negaranya.

Melalui mimbar ini pula, saya mengucapkan selamat kepada Presiden terpilih yang nanti akan
disahkan oleh Mahkamah Konsti-tusi. Tahun depan, Presiden kita yang baru akan memberikan
pidato kenegaraannya di mimbar ini. Saya mengajak segenap bangsa Indo-nesia, marilah kita
bersama-sama mendengarkannya, dan mendu-kung beliau untuk kebaikan dan kemajuan negeri
ini.

Saya juga mempunyai mimpi dan harapan yang indah, yaitu terbangunnya budaya politik yang
luhur dimana para pemimpin Indonesia saling bahu membahu, saling membantu, dan saling
mengingatkan demi masa depan Indonesia. Saya yakin itulah yang didambakan oleh rakyat
Indonesia, dan itulah yang harus kita berikan dengan ikhlas kepada mereka.

Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota DPR RI dan DPD RI yang saya hormati.
Hadirin sekalian yang saya muliakan,
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, melimpahkan rahmat, karunia, dan ridho-Nya
kepada kita semua, dalam membangun bangsa dan negara kita, menjadi bangsa yang besar, maju,
adil, sejahtera, dan bermartabat.
Dirgahayu Republik Indonesia!
Terima kasih,
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 15 Agustus 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


PROF. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PIDATO KEBANGSAAN Presiden Republik Indonesia ke-5


Megawati Soekarnoputri
Juni 1, 2011 - Nasional

Jakarta (Berita) Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh,


Salam sejahtera untuk kita semua,
Om Swasti Astu,
Perkenankanlah saya menyampaikan salam nasional
Indonesia.
Merdeka!!!
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga pada hari ini, kita dapat berkumpul di gedung Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia guna memperingati 66 Tahun Pidato Bung Karno di depan
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni
1945 atau yang kita kenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Peringatan ini sungguh menggembirakan bagi saya, bukan hanya dalam kapasitas
sebagai Presiden Republik Indonesia Kelima, ataupun sebagai Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, namun juga sebagai seorang
warga bangsa yang mencintai negeri ini. Mengapa? Karena di tengah-tengah krisis
ideologi yang melanda bangsa ini, dan di tengah kegamangan kita melihat masa depan,
Pancasila kembali menghadirkan diri sebagai pelita besar bagi kita semua dan sebagai
perekat bangsa. Sebagai salah satu bukti bahwa Pancasila mampu tetap menjadi
perekat bangsa yaitu pergantian kekuasaan pada periode 1998 – 2004, telah terjadi 4
(empat) kali pergantian kepemimpinan nasional tetapi Bangsa Indonesia tetap masih
bersatu, sama halnya dengan apa yang terjadi masa-masa krisis yang lalu, Pancasila
hadir sebagai solusi kebangsaan.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Berbicara tentang Pancasila, tidak bisa tidak kita mesti berbicara tentang Bung Kamo,
bukan karena beliau Bapak Saya, tetapi justru sebagai penggali Pancasila dan sekaligus
sebagai Proklamator Bangsa. Karena itulah, dengan penuh kerendahan hati, saya ingin
mengajak setiap warga bangsa, terutama para pemimpin bangsa untuk
mengkontemplasikan diri terhadap rentang panjang benang merah alur pikiran Bung
Karno melalui perjuangan yang dilakukan oleh Beliau sejak masih muda, termasuk
ketika di penjara dan dibuang ke pengasingan.
Dialektika perjuangan politik dan pemikiran ideologis Bung Karno telah muncul sejak
berusia lima belas tahun ketika bersekolah di HBS Surabaya dan tinggal di rumah tokoh
pergerakan nasional HOS Tjokroaminoto. Eksistensi Beliau sebagai pemikir pejuang
dan pejuang pemikir tidak pernah berhenti, meskipun telah berulangkali di buang, keluar
masuk penjara sebagai tahanan politik Pemerintah Belanda, antara lain di penjara
Banceuy, penjara Sukamiskin, Bandung (1929-1931); ke Ende, Flores (1934-1938); ke
Bengkulu (1938-1942); dan setelah kemerdekaan ke Berastagi dan Prapat, Sumatera
(1948); ke Mentok, Bangka (1949) bersama para tokoh pejuang bangsa lainnya.
Saudara-saudara sekalian,
Perjuangan panjang disertai pemikiran yang berakar dari sanubarinya rakyat Indonesia,
bukan datang begitu saja, tetapi seperti yang saya katakan sebelumnya, maka gagasan
dari sebuah bangsa merdeka dan bagaimana kehendak menjadikan sebuah bangsa itu
untuk merdeka, telah lama dipikirkan oleh Bung Karno. Hal ini nampak, ketika Bung
Karno menyampaikan pledoinya yang sangat legendaris di pengadilan pemerintah
kolonial, yang dikenal dengan Indonesia Menggugat. Dengan demikian, menarik benang
merah dari keseluruhan gagasan pikiran Bung Karno, sangatlah penting dan merupakan
keharusan bahwa Pancasila itu tidak bisa dilepaskan dalam kesejarahan dengan Bung
Karno. Penegasan ini diperlukan untuk menghindarkan bangsa ini dari cara berpikir
instan, bahkan seolah-olah mengandaikan Pancasila sebagai produk sekali jadi, yang
jauh dari proses perenungan dan steril dari dialektika sejarah panjang masyarakat
Indonesia. Hal lain yang sangat penting, guna menghindarkan keraguan sebagian
pimpinan bangsa yang masih tetap menempatkan Beliau di sudut gelap dan abu-abu
dari sejarah bangsa, sehingga akibatnya membuat sosok Bung Karno terasa asing di
hadapan sebagian warga bangsanya sendiri.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni
1945, BPUPK telah melaksanakan sidang yang pertama kalinya, dengan agenda
membahas tentang Beginsel atau Dasar dari sebuah Negara Indonesia Merdeka yang
hendak didirikan. Marilah kita mencoba merenungkan, mengapa Bung Karno dapat
menguraikan dasar Indonesia Merdeka tersebut secara Iisan dengan baik dan lancar.
Hal ini sesuai dengan kesaksian Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPK dalam
Kata Pengantar buku “Lahirnya Pancasila” tahun 1947. “Buku Lahimya Pancasila ini
adalah buah stenografisch verslag dari Pidato Bung Kamo yang diucapkan dengan tidak
tertulis dahulu dalam sidang pertama pada tanggaI 1 Juni 1945 ketika sidang
membicarakan apa yang akan menjadi “Dasar Negara kita”, sebagai penjelmaan dari
angan-angannya. Sudah barang tentu kalimat-kalimat sesuatu pidato yang tidak tertulis
dahulu, kurang sempuma tersusunnya. Tetapi yang paling penting ialah ISINYA!”
“Bila kita pelajari dan selidiki sungguh-sungguh Lahimya Pancasila, ternyata ini adalah
suatu Demokratisch Beginsel, suatu Beginsel yang menjadi dasar Negara kita, yang
menjadi dasar hukum ideologi Negara kita; suatu Beginsel yang meresap dan berurat
berakar dalam jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan,
meskipun kalau kita imajinasikan, sidang pada waktu itu di bawah ancaman yang keras
dari Pemerintah Balatentara Jepang. Memang jiwa yang berhasrat merdeka, tak
mungkin dikekang-kekang”.
4
Saudara-saudara sekalian sebangsa dan setanah air,
Mari kita dengar pendapat Prof. Mr. Drs. Notonagoro, Guru Besar Universitas Gajah
Mada pada saat Pidato pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Bung Karno,
tanggal 19 September 1951 di Yogyakarta. Beliau mengatakan bahwa pengakuan
terhadap Bung Karno sebagai Pencipta Pancasila dan 1 Juni 1945 sebagai Hari
Lahirnya Pancasila bukan terletak pada urut-urutan sila Pancasila, yang berbeda
dengan urutan sila Pancasila sebagaimana terdapat dalam alinea ke empat Pembukaan
UUD 1945. Pengakuan yang diberikan justru terletak dalam asas dan pengertiannya,
yang tetap sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Bukan pada bentuk
formilnya, akan tetapi sifat materiil yang dimaksudkannya.
Penjelasan tersebut hendaklah dapat kita jadikan sebuah pegangan bahwa peringatan
Hari Lahir Pancasila ini bukannya untuk merubah sila-sila Pancasila yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945, yang telah kita sepakati dengan final sebagai Konstitusi
Negara Indonesia, tetapi justru untuk memberikan makna filosofis akan sifat materiil dari
Pancasila itu sendiri.
Saudara-saudara,
Penerimaan atas pidato 1 Juni 1945 oleh keseluruhan anggota BPUPK sangat mudah
dimengerti, mengapa Pancasila diterima secara aklamasi. Hal ini bukan saja karena
intisari dari substansi yang dirumuskan Bung Karno memiliki akar yang kuat dalam
sejarah panjang Indonesia, tapi nilai-nilai yang melekat di dalamnya melewati sekatsekat
subyektifitas dari sebuah peradaban dan waktu. Oleh karenanya, Pancasila
dengan spirit kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, bukan sebatas konsep ideologis,
tetapi ia sekaligus menjadi sebuah konsep etis. Contoh pesan etis ini terlihat jelas,
dalam pelantikan Menteri Agama, tanggal 2 Maret 1962, Bung Karno memberikan
wejangan pada KH. Saifuddin Zuhri yang menggantikan KH. Wahib Wahab sebagai
Menteri agama, “Saudara adalah bukan saja tokoh dari masyarakat agama Islam, tetapi
saudara adalah pula tokoh dari bangsa Indonesia seluruhnya…..” Pesan etis ini menjadi
sangat penting guna mengakhiri dikotomi Nasionalisme dan Islam yang telah berjalan
lama dalam politik Indonesia.
Demikian juga, Pancasila pernah disalahtafsirkan semata-mata sebagai suatu konsep
politik dalam kerangka membangun persatuan nasional. Padahal persatuan nasional
yang dimaksudkan oleh Bung Karno adalah untuk menghadapi kapitalisme dan
imperialisme sebagai penyebab dari “kerusakan yang hebat pada kemanusiaan”.
Kerusakan yang hebat pada kemanusiaan tersebut pernah disampaikan oleh Bung
Karno sebagai manusia yang berada di abad 20. Bayangkan, kini yang berada di abad
21, dan terbukti, bahwa apa yang diprediksikan ternyata sangat visioner dan jauh
kedepan, kini menjadi kebenaran dan fakta sejarah. (Silahkan saudara-saudara baca
Kompas tanggal 23 Mei dan 25 Mei 2011).
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Dari sinilah kita mengerti, dalam suatu alur pikir Bung Karno yang termaktub di dalam
Trisakti (1964), yang digagas melalui perjuangan untuk mewujudkan Indonesia yang
berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan
berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Apakah cita-cita di atas terlampau naif untuk
dapat dicapai bangsa ini? Apakah kita tidak boleh bercitacita seperti itu? Salahkah jika
5
sebagai bangsa memiliki cita-cita agar berdaulat secara politik? Saya merasa pasti dan
dengan tegas mengatakan bahwa kita semua akan menyatakan tidak. Bukankah
sekarang kita merasakan adanya kebenarannya, bahwa dalam mencukupi kebutuhan
pangan, energi, dan di dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, kita merasa tidak lagi berdaulat sepenuhnya?
Karena itulah, hal yang lebih penting melalui peringatan Pancasila 1 Juni ini, bukanlah
terletak pada acara seremoni belaka, tetapi kita letakkan pada hikmah dan manfaat bagi
bangsa kedepan untuk menghadapi berbagai tantangan jaman yang kian hari semakin
kompleks.
Bagi saya peringatan kali ini mestinya merupakan jalan baru, jalan ideologis, untuk
mempertegas bahwa tidak ada bangsa besar jika tidak bertumpu pada ideologi yang
mengakar pada nurani rakyatnya. Kita bisa memberikan contoh negara seperti Jepang,
Jerman, Amerika, Inggris, dan RRT, menemukan kekokohannya pada fondasi ideologi
yang mengakar kuat dalam budaya masyarakatnya. Sebab ideologi menjadi alasan,
sekaligus penuntun arah sebuah bangsa dalam meraih kebesarannya. Ideologilah yang
menjadi motif sekaligus penjaga harapan bagi rakyatnya.Memudarnya Pancasila di mata
dan hati sanubari rakyatnya sendiri, telah berakibat jelas, yakni negeri ini kehilangan
orientasi, jatidiri, dan harapan. Tanpa harapan negeri ini akan sulit menjadi bangsa yang
besar karena harapan adalah salah satu kekuatan yang mampu memelihara daya juang
sebuah bangsa. Harapan yang dibangun dari sebuah ideologi akan mempunyai
kekuatan yang maha dahsyat bagi sebuah bangsa, dan harapan merupakan pelita besar
dalam jati diri bangsa.
Guna menjawab harapan di atas, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita
selesaikan. Sebab Pancasila akan dinilai, ditimbang, dan menemukan jalan
kebesarannya melalui jejak-jejak tapak perjuangan. Perjuangan setiap pemimpin dan
rakyat Indonesia sendiri. Perjuangan agar Pancasila bukan saja menjadi bintang
penunjuk, tetapi menjadi kenyataan yang membumi. Tanpa itu kita akan terus
membincangkan Pancasila, tetapi tidak mampu membumikan dan melaksanakannya
hingga akhirnya kita terlelap dalam pelukan Neo-kapitalisme dan Neoimperialisme serta
terbangunnya Fundamentalisme yang saat ini menjadi ancaman besar bagi bangsa dan
negara kita. Demikian pula, Pancasila tidak akan pernah mencapai fase penerimaan
sempurna secara sosial, politik, dan budaya oleh rakyatnya, justru ketika alur benang
merah sejarah bangsa dalam perjalanan Pancasila dilupakan oleh bangsanya, dan
dipisahkan dengan penggalinya sendiri. Inilah salah satu tugas sejarah yang harus
segera diselesaikan.
Demikian pula halnya dengan persoalan sumber rujukan, ketika kita menyatakan
Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Pertanyaan yang
menohok bagi kita adalah, ketika para penyelenggara negara dan pembuat Undangundang
harus merujuk, dokumen apakah yang bisa digunakan oleh mereka sebagai
referensi tentang Pancasila? Pancasila yang bukan terus diperbincangkan, tetapi
referensi Pancasila yang membumi. Pertanyaan tersebut sangat sederhana, tetapi saya
berkeyakinan dalam kurun 13 tahun reformasi, menunjukkan kealpaan kita semua
terhadap dokumen penting sebagai rujukan Pancasila dalam proses ketatanegaraan
kita. Bukan Pancasila yang harus diperbincangkan, tetapi referensi Pancasila yang
membumi.
6
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Pada kesempatan ini, saya ingin memberikan apreslasi kepada lembaga MPR RI yang
telah berproses di dalam mensosialisasikan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, yaitu sosialisasi Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Konstitusi Republik Indonesia, Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final Negara, dan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai sistem sosial bangsa Indonesia. Saya menghimbau kepada segenap bangsa,
hendaknya tugas mulia sosialisasi dan institusionalisasi Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab MPR RI, tetapi
juga menjadi tanggung jawab lembaga-Iembaga Negara lainnya, baik di tingkat pusat
maupun daerah dan juga dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Khusus kepada
lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab pada penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional, untuk dapat memastikan kembali agar mata pelajaran ideologi
Pancasila beserta penggalinya dapat diajarkan dengan baik dan benar mengikuti
benang merah sejarah bangsa di setiap jenjang pendidikan anak didik kita. Sebelum
mengakhiri pidato ini, saya ingin menyampaikan sedikit cuplikan lagu yang begitu indah,
yang disampaikan oleh almarhum Franky Sahilatua, sahabat saya, dalam syair
Pancasila Rumah Kita: Pancasila rumah kita/Rumah untuk kita semua/Nilai dasar
Indonesia/rumah kita selamanya.
Untuk semua keluarga menyatu/untuk semua saling membagi. Pada setiap insan/sama
dapat. ..sama rasa… oh Indonesiaku.
Selamat Memperingati 66 Tahun Hari Lahirnya Pancasila!
Terima kasih
Wassalamualikum Wr Wb.
Merdeka I!!
Megawati Soekarnoputri

Anda mungkin juga menyukai