Anda di halaman 1dari 7

REFLEKSI KASUS

HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta











Disusun Oleh:
Dwi Arif Wahyu Wibowo
20090310156

Diajukan Kepada:
dr. Handayani, M.Sc., Sp.A





BAGIAN ILMU KESEHATAN
ANAK RSUD SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2013
Hiperbilirubinemia
Metabolisme Bilirubin
Sekitar 80 hingga 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua
dalam sistem monosit-makroag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari.
Setiap hari dihancurkan sekitar 50 ml darah, dan menghasilkan 250 sampai 350
mg bilirubin.
Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globin
mula-mula dipisahkan dari heme, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin.
Bilirubin tak terkonjugasi kemudian dibentuk dari bilverdin. Biliverdin adlah
pigmen kehijauan yang dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak
terkonjugasi larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat diekskresi
dalam empedu maupun urin. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumin
dalam suatu kompleks larut-air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hatti.
Metabolisme bilirubin dalam hati berlangsung dalam 3 langkah: ambilan,
konjugas, dan ekskresi. Ambilan oleh selhati memerlukan dua protein hati, yaitu
yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z (Lihat Gambar 1). Konjugasi bilirubin
dengan asam glukoronat dikatalisis oleh enzim glukoronil transferase dalam
retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut
dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urin. Langkah terkahir dalam
metabolisme bilirubin hati adalah transpor bilirubin terkonjugasi melalui
membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak
terkonjugasi tidak diekskresi ke dalam empedu, kecuali setelah proses foto-
oksidasi atau fotoisomerisasi.
1











Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian
senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan
feses berwarna coklat. Sekitar 10 hingga 20% urobilinogen mengalami siklus
enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam urin.
1

Patofisiologi Ikterik
Ada empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan
ikterus:
A. Pembentukan Bilirubin Berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju dekstruksi seritrosit merupakan
penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan hati. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar bilirubin tak
terkonjugasi dalam darah. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air sehingga
tidak dapat diekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian
terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen yang selanjutnya mengakibatkan
peningkatan ekskresi dalam feses dan urin sehingga warna urin dan feses lebih
gelap.
1

Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal
(hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositas herediter),
antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau transfusi), pemberian obat, dan
peningkatan hemolisis.
1
B. Gangguan ambilan Bilirubin
Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati dilakukan
dengan memisahkan dan meningkatkan bilirubin terhadap protein penerima.
Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin
oleh hati: asam flavaspidat, novobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat
pencetus dihentikan.
1

C. Gangguan Konjugasi Bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9 mg/100 ml) yang timbul
antara hari kedua dan kelima setelah lahir disebut sebgaia ikterus fisiologis
neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim
glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil transferase biasanya mengikat
ebebrapa hari hingga minggu kedua setelah lahir, dan setelah itu ikterus
menghilang. Apabila bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20
mg/dl, terjadi suatu keadaan yang disebut kernikterus. Keadaan ini dapat timbul
bila suatu proses hemolitik terjadi pada bayi baru lahir dengan defisiensi
glukoronil transferase normal.
1
Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defisiensi progresif enzim
glukoronil transferase adalah: Sindrom Gilbert dan Sindrom Crigler-Najjar tipe 1
maupun tipe 2. Sindrom gilbert merupakan suatu penyakit familial ringan yang
dicirikan dengan ikterus dan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan yang
kronis. Pada sindrom Gilbert derajat ikterus berubah-ubah dan seringkali
memburuk pada puasa lama, infeksi, stres, operasi, dan asupan alkohol
berlebihan. Awitan paling sering terjadi semasa remaja. Uji fungsi hati serta kadar
urobilinogen urin dan feses normal. Penderita mengalami defisiensi parsial
glukoronil transferase. Pengobatannya dengan fenobarbital.
1

Sindrom crigler-Najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang jarang
terjadi. Penyebabnya adalah suatu gen resesif, dengan tidak adanya glukoronil
transferase sama sekali sejak lahir. Oleh karena itu tidak terjadi konjugasi
bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi
melebihi 20 mg / 100 ml. Hal ini menyebabkan kernikterus. Sindrom Crigler-
Najjar tipe 2 adalah bentuk penyakit yang lebih ringan dengan defisiensi
glukoronil transferase sebagian. Kadar bilirubin tak terkonjugasi serum lebih
rendah. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas enzim glukoronil transferase
seringkali dapat menghilangkan ikterus pada pasien ini.
1

D. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional
maupun obstruktif, terutama menyababkan terjadinya hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Urobilinogen feses dan urin sering menurun sehingga feses terlihat
pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti
kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti penigkatan kadar fosfatase alkali, AST,
kolesterol, dan garam empedu dalam serum. Ikterus pada pasien ini biasanya lebih
kuning. Perubahan warna berkisar dari oranye-kuning muda atau tua sampai
kuning-hijau muda atau tua bile terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan
ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain ikterus
obstruktif.
1

Perbedaan Ikterus Fisiologis dan Patologis
Ikterus Fisiologis Ikterus Patologis
Timbul pada hari kedua dan ketiga Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10
mg% pada neonatus cukup bulan.
Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada
neonatus cukup bulan atau melebihi
12,5% pada neonatus kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin
tidak melebihi 5% per hari.
Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg%
per hari.
Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1
mg%.
Ikterus menetap sesudah 2 minggu
pertama.
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
Tidak terbukti mempunyai hubungan
dengan keadaan patologis.
Mempunyai hubungan dengan proses
hemolitik.

Bahaya Ikterus
Bilirubin indirek yang larut dalam lemak bila menembus sawar darah itak
akan terikat oleh sel otak yang terdiri terutama dari lemak. Sel otak dapat menjadi
rusak, bayi kejang, menderita kernikterus, bahkan menyebabkan kematian. Bila
kernikterus dapat dilalui, bayi dapat tumbuh tapi tidak berkembang. Selain bahaya
tersebut, bilirubin direk yang menumpuk di hati akan merusak sel hati
menyebabkan sirosis hepatik.
Hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan lebih sering terjadi, lebih cepat
terlihat, dan berlangsung lebih lama. Kadar bilirubin di dalam darah bayi kurang
bulan juga lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh sel
hati yang masih imatur, uptake dan konjugasi bilirubin lambat dan sirkulasi
enterohepatik yang meningkat.
5

E. Ikterus Hemolitik karena Inkompatibilitas Golongan Darah
ABO
Inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kausa
tersering penyakit ikterus hemolitik pada neonatus. Sekita 20% bayi mengalami
hal ini, dan 5 persen mengalami gejala klinis. Untungnya inkompatibilitas ABO
hampir selalu menyebabkan penyakit ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus
nenonatus dan terapi umumnya hanya fototerapi.
3

Inkompatibilitas ABO berbeda dengan Inkompatibilitas Rh karena
beberapa alasan: penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama,
penyakitnya hampir selalu lebih ringan, sebagian besar antibodi A dan B adalah
imunoglobulin M yang tidak dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit
janin.
3
Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus
akibat inkompatibilitas ABO adalah: ibu memiliki golongan darah O dengan
antibodi anti-A dan anti-B dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan
darah A,B, atau AB; ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama; terdapat
anemia retikulositosis dan eritoblastosis dengan derajat bervairasi; kausa
hemolisis lain telah disingkirkan.
3
F. Ikterus Hemolitik karena Inkompatibilitas Rh
Inkompatibilitas Rh merupakan kondisi yang berkembang ketika wanita
ibu hamil memiliki Rh-negatif dan bayi yang dikandungnya memiliki Rh-positif.
Selama kehamilan sel darah merah dari janin dapat melintas ke aliran darah ibu
melalui plasenta. Jika ibu Rh-negatif, sistem imun nya menganggap Rh-positif
dari janin adalah benda asing dan membuat antibodi untuk melawannya. Antibodi
ini bisa melewati plasenta dan merusak sel darah merah dari janin. Ketika sel
darah merah hancur, maka akan terbentuk bilirubin. Hal ini menyebabkan bayi
menjadi kuning. Karena pembuatan antibodi anti-Rh ini membutuhkan waktu
biasanya anak pertama tidak terpengaruh oleh hal ini.
4

Inkompatibilitas Rh dapat menimbulkan gejala ringan sampai berbahaya.
Jika ringan hanya menyebabkan penghancuran sel darah merah tanpa efek lain.
Gejala lain adalah ikterus pada bayi, hipotoni dan letargi. Bayi dengan
inkompatibilitas Rh yang ringan dapat diberikan fototerapi. Injeksi imunoglobulin
secara intravena mungkin dapat digunakan tetapi tidak ada bukti yang jelas bahwa
ini akan bekerja.
4

Daftar Pustaka
1. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

2. Zr, A., & Kristiyanasari, W. (2009). Neonatus Dan Asuhan Keperawatan Anak.
Yogyakarta: Nuha Medika.

3. Cunningham, F. G. (2004). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.

4. Kliegman, R., Stanton, B., St, G. W., Schor, N., & Behrman, R. (2011). Nelson
Textbook of Pediatrics Ed 19. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai