Anda di halaman 1dari 11

KOROSI PADA HEAT EXCHANGER, KOLOM DISTILASI,

DAN BOILER

1.Korosi Pada Heat Exchanger
1.1. Heat exchanger (alat penukar panas)
Heat exchanger atau alat penukar kalor adalah suatu alat yang
memungkinkan perpindahan panas dan bisa berfungsi sebagai pemanas maupun
sebagai pendingin. Biasanya, medium pemanas dipakai uap lewat panas (super
heated steam) dan air biasa sebagai air pendingin (cooling water). Penukar panas
dirancang sebisa mungkin agar perpindahan panas antar fluida dapat berlangsung
secara efisien. Pertukaran panas terjadi karena adanya kontak, baik antara fluida
terdapat dinding yang memisahkannya maupun keduanya bercampur langsung
begitu saja.
Perpindahan panas pada alat penukar kalor biasanya melibatkan konveksi
masing-masing fluida dan konduksi sepanjang dinding yang memisahkan kedua
fluida. Laju perpindahan panas antara kedua fluida pada alat penukar kalor
bergantung pada besarnya perbedaan temperatur pada lokasi tersebut, dimana
bervariasi sepanjang alat penukar kalor.
Berdasarkan kontak dengan fluida, alat penukar kalor tersebut
dapatdibedakan menjadi dua macam, antara lain :
a) Alat penukar kalor kontak langsung
Pada alat ini fluida yang panas akan bercampur secara langsung dengan fluida
dingin (tanpa adanya pemisah) dalam suatu bejana atau ruangan. Salah satu
contohnya adalah deaerator.
b) Alat penukar kalor kontak tak langsung
Pada alat ini fluida panas tidak berhubungan langsung (indirect contact)
dengan fluida dingin. Jadi proses perpindahan panasnya itu mempunyai media
perantara, seperti pipa, plat, atau peralatan jenis lainnya. Salah satu contohnya
adalah kondensor.
1.2. Material konstruksi heat exchanger
Salah satu contoh adalah pada Shell and Tube Heat Exchanger (STHE), de-
ngan material konstruksi sebagai berikut:
1) Tube
Tube yang umumnya digunakan dalam ukuran TEMA terbuat dari low carbon
steel, tembaga, Admiralty, tembaga-nikel, stainless steel, hastalloy, inconel,
titanium, silikon karbida, dan lain-lain.
2) Shell
Untuk alasan ekonomi, umumnya digunakan low carbon steel, tetapi bahan
lainnya yang cocok untuk suhu ekstrim atau ketahanan korosi sering
digunakan. Misalnya, aluminium.
1.3. Korosi pada heat exchanger
Secara spesifik, Huijbregts dan Leferink mendefinisikan beberapa jenis
korosi yang terjadi pada temperatur tinggi berupa:
1) SICC (Strain Induced Corrosion Cracking)
Proses korosi pada SICC dipengaruhi oleh regangan oleh deformasi creep
akibat rendahnya ketahanan meterial terhadap temperatur tinggi. Perubahan
struktur mikro terutama akibat proses creep menjadi penyebab utama jenis
korosi ini. Model dalam menjelaskan proses yang terjadi yaitu: anodic
dissolution dan hydrogen embrittlement, yang dapat terjadi secara
berkesinambungan. Umumnya proses korosi ini terjadi secara lokal pada
daerah-daerah tertentu, seperti :
a) pit,
b) retakan kecil, atau
c) daerah lasan.
2) Korosi akibat kondisi heat-flux
Proses korosi akibat kondisi heat-flux dipengaruhi oleh pembentukan
deposit karena proses oksidasi (metal dioxide), dimana air yang melewati
lapisan porous oksida tersebut akan terjebak dan membuat pemanasan lokal
(local boiling). Proses boiling ini mngakibatkan pembentukan deposit sulfat
atau silikat yang menaikkan temperatur permukaan logam. Dengan kehadiran
klorida yang bisa berasal dari bocornya kondenser atau lainnya, akan
membentuk lapisan korosi akibat reaksi dengan logam. Peningkatan
konsentrasi klorida dapat meningkatkan terjadinya weight loss secara signifi-
kan, dimana akan berpengaruh pada terjadinya kegagalan akibat korosi.
3) Korosi erosi akibat wet steam (uap basah)
Korosi erosi terjadi akibat kondisi tekanan seperti pada wet steam dimana
aliran fluida mengakibatkan weight loss. Ketahanan material menjadi faktor
penting dalam mencegah terjadinya korosi erosi ini. Penambahan elemen
seperti Cr dapat meningkatkan kemampuan material terhadap proses korosi
erosi.
4) SCC (Stress Corrosion Cracking)
SCC adalah korosi intergranular yang terjadi dalam kondisi lingkungan
tertentu, seperti nitrat. Definisi serangan korosi pada batas butir dapat dilihat
melalui kedalaman penetrasinya, yaitu hingga kedalaman tiga butir. Terjadinya
retak akibat korosi yang terjadi pada batas butir tersebut, disebutkan juga oleh
Parkins dapat dipengaruhi oleh regangan.
Berikut ini penyebab korosi pada heat exchanger secara umum:
a) Metal erosion
Kecepatan fluida yang melebihi nilai yang direkomendasikan produsen
baik pada sisishell maupuntubesuatu heat exchanger kemungkinan akan
menyebabkan kerusakan pada permukaan material metal tube. Jika korosi
sudah terbentuk di exchanger, erosi dipercepat, mengekspos logam yang
sebelumnya terlapisi (terlindungi) untuk serangan lebih lanjut tanpa lapisan
pelindung. Masalah erosi logam yang paling sering terjadi di dalam tube,
sepanjang tikunganU dan dekat pintu masuk tube.
Demikian juga, daerah masuk tabung sering mengalami kerusakan logam
yangberat apabila cairan berkecepatan tinggi mengalir di antara tabung kecil
setelah memasuki penukar panas. Ketika aliran tunggal terbagi menjadi sungai
kecil, turbulensi dihasilkan dari kecepatan lokal yang sangat tinggi. Kecepatan
tinggi dan turbulensi inilah yang menghasilkan pola "horseshoe" erosi di pintu
masuk tabung.
b) Stem or water hammer
Lonjakan tekanan, gelombang, atau gelombang kejut akibat percepatan
atau perlambatan mendadak dan cepat darifluida apapun dapat menyebabkan
kerusakan yang disebut stem or water hammer padaexchanger.Tekanan
gelombang dapat menjadi hasil dari gangguan dalam pendinginan aliran air,
genangan air dipanaskan menghasilkan pembentukan uap, atau kembalinya
aliran produksi steam..Semua proses ini kemungkinan akan menyebabkan
lonjakan tekanan, stem or water hammer. Oleh karena itu, aliran cairan
pendingin harus selalu dimulai sebelum menambahkan beban panas.
c) Vibration
Getaran lingkungan yang berlebih dari peralatan termasuk kompresor
udara, mesin pendingin atau motor lainnya, dapat menyebabkan kegagalan
tubeyang terbentuk sebagai akibat dari fatigue stress cracksdan atau erosi di
mana tabung melakukan kontak dengan baffle. Idealnya, penukar panas harus
diisolasi dari segala bentuk getaran.
d) Thermal fatigue
Tube, terutama di bagian U-bend, bisa gagal akibat kelelahan dari
akumulasi tekanan yang berhubungan dengan siklus termal konstan. Masalah
ini secara signifikan diperparah oleh meningkatnyaperbedaan suhu di seluruh
U-bend.Perbedaan suhu menyebabkan pelenturan tabung, yang kemudian
menghasilkan beban stres sehinggamaterial meregang secara berlebihan dan
akhirnya retak.
2. Korosi Pada Kolom Distilasi (Distillation Column)
2.1. Kolom Distilasi
Kolom distilasi (distillation column) merupakan peralatan suatu proses
yang banyak digunakan dalam industri proses termasuk pada kilang minyak. Kolom
distilasi digunakan untuk memisahkan suatu bahan yang mengandung dua atau lebih
komponen bahan untuk menjadi beberapa komponen berdasarkan perbedaan
volatility (kemudahan menguap) dari masing-masing komponen dari bahan tersebut.
Kolom distilasi merupakan suatu serangkaian peralatan proses yang terdiri dari
preheater, column, condenser, accumulator, reboiler serta peralatan-peralatan
pendukungnya.
Kolom (column) atau sering disebut tower memiliki dua kegunaan yaitu
untuk memisahkan feed (material yang masuk) menjadi dua porsi, yaitu vapor yang
naik ke bagian atas (top/overhead) kolom dan porsi likuid yang turun ke bagian
bawah (bottom) kolom; menjaga campuran kedua fasa vapor dan liquid (yang
mengalir secara counter-current) agar seimbang, sehingga pemisahannya menjadi
lebih sempurna.
2.2. Korosi pada menara distilasi
Salah satu contoh korosi kolom distilasi adalah pada CDU (Crude
Distillation Column) dari suatu kilang minyak. Korosi di unit distilasi minyak
mentah (CDU) adalah masalah industri yang umum terjadi. Asam atau garam yang
ada dalam kolom distilasi sistem overhead dapat menyebabkan korosi ketika berada
pada kondisi yang tepat . Untuk alasan ini, umum dilakukan penyuntikkan (injeksi)
zat penghambat korosi, bahan kimia penetral, atau dalam beberapa kasus air pencuci
(wash water) untuk mengendalikan korosi dalam sistem kolom overhead.
Korosi overhead CDU mengurangi reliabilitas unit dan operasi dengan
berbagai cara. Beberapa efek korosi overhead meliputi penggantian peralatan dan
perbaikan, kehilangan throughput, biaya pengolahan, offspec produk, dan fouling
pada unit hilir. Dua penyebab paling umum dari korosi overhead, korosi oleh asam
dan korosi under-salt dari keberadaan asam klorida (HCl) . Korosi asam terjadi
ketika keberadaan fase condensate water dan yang paling sering ditandai dengan
penipisan logam, umumnya di wilayah yang luas dari peralatan. Bentuk yang paling
bermasalah dari korosi asam terjadi ketika dinding pipa atau permukaan lainnya
beroperasi pada suhu hanya cukup rendah untuk terbentunya. HCl dalam uap
membentuk azeotrop asam dengan air, berpotensi membentuk droplet air dengan pH
yang sangat rendah.
Korosi under-salt terjadi ketika garam korosif terbentuk sebelum fase air
terbentuk. Asam kuat HCl bereaksi dengan amonia (NH
3
) dan menetralkan amina
membentuk garam yang tersimpan pada permukaan proses. Garam-garam ini
bersifat asam dan juga mudah menyerap air dari aliran uap. Air bertindak sebagai
elektrolit untuk mengaktifkan garam asamdan menimbulkan korosi permukaan.
Pitting (korosi sumuran) biasanya terjadi di bawah garam-garam ini.Agen utama
yang menyebabkan korosi overheadadalah asam klorida, meskipun amina hidro-
klorida, hidrogen sulfida, asam organik, belerang oksi-asam, dan karbon dioksida
juga berkontribusi terhadap korosi overhead. Oksigen yang masuk melalui air yang
dikelola dengan sistem yang kurang baik dapat menimbulkan korosi yang parah.
Asam klorida penyebab korosi overhead terutama dikendalikan dengan
cara manajemen klorida dalam minyak mentah yang masuk dan cara lainnyayaitu
dengan menggunakan injeksi tambahan dari penetralisir organik dan inhibitor korosi
pada sistem overhead. Manajemen klorida terdiri dari baik penanganan tangki
minyak mentah, desalting, dan kemudian polishing/ menetralkan dengan NaOH,
yang biasa disebut kaustik.Feed crude pada suatu kilang mengandung air dan garam
anorganik (natrium, magnesium, dan kalsium klorida). Hidrolisis kalsium dan
magnesium klorida (MgCl
2
dan CaCl
2
) terjadi ketika minyak mentah dipanaskan
dalam pre-heat exchanger dan fired heater.
3. Korosi Pada Boiler
3.1. Boiler
Boiler atau ketel uap adalah suatu bejana/wadah yang di dalamnya berisi
air atau fluida lain untuk dipanaskan membentuk uap panas. Energi panas dari fluida
tersebut selanjutnya digunakan untuk berbagai macam keperluan, seperti untuk
turbin uap, pemanas ruangan, mesin uap, dan lain sebagainya. Dari segi konversi
energi, boiler memiliki fungsi untuk mengkonversi energi kimia yang tersimpan di
dalam bahan bakar menjadi energi panas yang ditransfer ke fluida kerja. Panas yang
diberikan kepada fluida di dalam boiler berasal dari proses pembakaran dengan
berbagai macam jenis bahan bakar yang dapat digunakan, seperti kayu, batubara,
solar/minyak bumi, dan gas. Dengan adanya kemajuan teknologi, energi nuklir pun
juga digunakan sebagai sumber panas pada boiler.
Bejana bertekanan pada boiler umumnya menggunakan bahan baja dengan
spesifikasi tertentu yang telah ditentukan dalam standard ASME (The ASME Code
Boilers), terutama untuk penggunaan boiler pada industri-industri besar. Dalam
sejarah tercatat berbagai macam jenis material digunakan sebagai bahan pembuatan
boiler seperti tembaga, kuningan, dan besi cor. Namun, bahan-bahan tersebut sudah
lama ditinggalkan karena alasan ekonomis dan juga ketahanan material yang sudah
tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
3.2. Material konstruksi boiler
Semua jenis komponen dalam aplikasi temperatur tinggi biasanya
menggunakan logam dan paduannya sebagai bahan material utama dimana yang
menjadi perhatian dalam proses desain adalah mekanisme deformasi dan perpatahan
yang kemungkinan terjadi selama pengoperasian pada temperatur tinggi. Durabilitas
atau daya tahan material terhadap temperatur tinggi sangat bergantung dari
kemampuannya dalam mempertahankan bentuk dan sifatnya. Dalam hal ini, besaran
yang didapat pada temperatur ruang tidak dapat diaplikasikan, walaupun mekanisme
perpatahan pada temperatur tersebut dapat digunakan untuk kondisi tertentu. Di
samping kompleksitas fenomena perilaku pada temperatur tinggi dimana bergantung
pada fungsi waktu, terdapat sinergi yang berkaitan dengan aspek lingkungan dimana
interaksi material dengan gas dapat menjadi penyebab utama terjadinya perpatahan
pada suhu tinggi.
Secara umum material konstruksi untuk boiler dan komponen-
komponennya didominasi oleh baja paduan ringan, terutama yang mengandung
sejumlah elemen Mo, V, dan Cr yang berperan dalam penguatan solid solution dan
pembentukan presipital dalam penguatan presipitasi. Penguatan solid solution terjadi
melalui penambahan elemen paduan seperti kromium (Cr), molibdenum (Mo),
vanadium (V), nikel (Ni), dll yang mampu menahan dislokasi dengan metode
cluster. Penambahan kandungan paduan menjadi diminati dalam meningkatkan
kekuatan creep. Sebagai contoh, pada jenis-jenis baja dengan kandungan paduan,
karbon, 0.5Cr, 0.5Cr-0.5Mo, 1.25Cr-0.5Mo, dan 2.25Cr-1Mo, berturut-turut
kekuatan creep meningkat secara progresif.
3.3. Korosi pada boiler
Korosi adalah salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya
penghentian atau shutdown suatau operasi dalam suatu fasilitas industri, yang juga
terjadi dalam sistem steam turbin. Pemeliharaan terhadap material akibat korosi
membutuhkan biaya besar yang dapat menjadi permasalahan utama, dimana
kerusakan oleh korosi dapat berakibat pada penggantian komponen yang
mempengaruhi keberlangsungan operasi. Pemahaman teori korosi sangat diperlukan
untuk mengurangi dampaknya terhadap material. Perolehan data empiris dalam
memperhitungkan tingkat korosi dapat mencegah terhentinya operasi. Proses
identifikasi dilakukan melalui pemeriksaan terhadap lingkungan yang
mempengaruhi korosi.
Secara spesifik, Huijbregts dan Leferink mendefinisikan beberapa jenis
korosi yang terjadi pada temperatur tinggi berupa:
1) SICC (Strain Induced Corrosion Cracking)
Proses korosi pada SICC dipengaruhi oleh regangan oleh deformasi creep
akibat rendahnya ketahanan meterial terhadap temperatur tinggi. Perubahan
struktur mikro terutama akibat proses creep menjadi penyebab utama jenis
korosi ini. Model dalam menjelaskan proses yang terjadi yaitu: anodic
dissolution dan hydrogen embrittlement, yang dapat terjadi secara
berkesinambungan. Umumnya proses korosi ini terjadi secara lokal pada
daerah-daerah tertentu, seperti pit, retakan kecil, atau daerah lasan.
2) Korosi akibat kondisi heat-flux
Proses korosi akibat kondisi heat-flux dipengaruhi oleh pembentukan
deposit karena proses oksidasi (metal dioxide), dimana air yang melewati
lapisan porous oksida tersebut akan terjebak dan membuat pemanasan lokal
(local boiling). Proses boiling ini mengakibatkan pembentukan dari deposit
sulfat atau silikat yang menaikkan temperatur permukaan logam. Dengan
kehadiran senyawa klorida yang bisa berasal dari bocornya kondenser atau
lainnya, akan membentuk lapisan korosi akibat reaksi dengan logam.
Peningkatan konsentrasi klorida dapat meningkatkan terjadinya weight loss
secara signifikan, dimana akan berpengaruh pada terjadinya kegagalan akibat
korosi.
3) Korosi erosi akibat wet steam (uap basah)
Korosi erosi terjadi akibat kondisi tekanan seperti pada wet steam dimana
aliran fluida mengakibatkan weight loss. Ketahanan material menjadi suatu
faktor penting dalam mencegah terjadinya korosi erosi ini. Penambahan
elemen seperti Cr dapat meningkatkan kemampuan material terhadap proses
korosi erosi. Huijbregts dan Leferink merumuskan Cr-equivalent dalam
komposisi material, untuk ketahanan korosi erosi, dengan perumusan sebagai
berikut:
Cr-equivalent = Cr+1.4 Cu+ 0.3 Mo-0.3C >0.09
4) SCC (Stress Corrosion Cracking)
SCC adalah korosi intergranular yang terjadi dalam kondisi lingkungan
tertentu, seperti nitrat. Definisi serangan korosi pada batas butir dapat dilihat
melalui kedalaman penetrasinya, yaitu hingga kedalaman tiga butir. Terjadinya
retak akibat korosi yang terjadi pada batas butir tersebut, disebutkan juga oleh
Parkins dapat dipengaruhi oleh regangan.
Pada steam boiler, berbagai jenis korosi dapat terjadi akibat pengeruh
kondisi operasi dan pemilihan material. Kandungan fluida gas dan kondisi
lingkungan lain juga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan penyebab
terjadinya korosi, dan faktor-faktor tersebut disimpulkan oleh Lee dalam beberapa
hal yaitu:
a) Kontaminasi klorida dari gas ataupun air
Munculnya klorida dapat disebabkan air atau fluida gas yang terkontaminasi,
dimana reaksi kimia terjadi terhadap material pada dinding permukaan.
b) Temperatur permukaan
Tingginya temperatur permukaan yang disebabkan oleh radiasi akibat
pembentukan deposit metal klorida dapat meningkatkan laju korosi.
c) Temperatur gas
Perbedaan temperatur T antara gas dan permukaan logam dapat
menyebabkan terjadinya kondensasi dari kontaminan seperti metal klorida
yang mengendap di dingding tube. Semakin besar T maka laju pengendapan
semakin tinggi dan konsentrasi klorida meningkat sementara titik lebur deposit
menurun.
d) Fluktuasi temperatur
Komposisi bahan bakar sisa yang tidak homogen dan tidak meratanya profil
temperatur gas pembakaran dapat menyebabkan fluktuasi temperatur dimana
akan meningkatkan laju korosi.
e) Scaling deposition
Semakin tebal deposit, laju korosi semakin tinggi. Dengan keberadaan gas
korosif, mempengaruhi karakteristik sifat mekanis dari deposit seperti
permeabilitasnya.
Pada komponen steam boiler, kegagalan yang terjadi akibat ketahanan
korosi yang buruk, umumnya akibat pemilihan material yang tidak tepat. Adanya
kebocoran (leackage) atau ledakan (explosion) pada suatu boiler biasa terjadi akibat
kelalaian tersebut. Beberapa elemen dalam komposisi baja memberikan efek
menguntungkan dan merugikan terhadap ketahanan beberapa jenis korosi pada
temperatur tinggi, seperti didefinisikan sebelumnya. Secara prinsip, penambahan Cr
dapat meningkatkan ketahanan korosi pada material baja baik temperatur ruang
maupun temperatur tinggi.
Permasalahan yang paling sering terjadi pada boiler adalah creep dan oksi-
dasi pada suhu tinggi. Pada steam pipe, dimana mempunyai bentuk berupa pipa
dengan panjang tertentu, dapat memiliki konsentrasi tegangan pada daerah seperti
elbow (siku) ataupun lekukan (bent) yang dapat menyebabkan creep. Walaupun
tidak memiliki sambungan (joint ataupun weld), konsentrasi tegangan dapat juga
terjadi pada daerah sepanjang seam weld (untuk jenis seam weld-roll pipe).
3.4. Pengendalian korosi pada boiler
Ada dua hal utama yang dapat dilakukan dalam perlindungan terhadap
korosi, yaitu :
1) Mengendalikan kondisi operasi,
2) Memperpanjang masa umur pakai material.
Pengendalian kondisi operasi dapat dilakukan dengan menggunakan desain proses
yang lebih tepat. Pemilihan desain dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi efisiensi proses seperti banyaknya ruang, biaya konstruksi yang lebih
murah, proses pemanasan yang lebih efisien, dan dengan melihat permasalahan yang
terjadi pada masa lalu.
Penggunaan material dengan grade yang lebih tinggi juga dapat membantu
dalam mengurangi pengaruh korosi. Dalam hal ini, material dengan kandungan
elemen penguat lebih tinggi, memperbaiki ketahanan material pada operasi
temperatur tinggi. Pengendalian korosi juga dapat dilakukan dengan perlindungan
coating terhadap material. Metode lain yang mempengaruhi kondisi operasi adalah
pemasangan komponen tambahan seperti Segher Boiler Prism. Dimana udara
diinjeksikan ke dalam ruang pembakaran gas. Tujuannya yaitu sebagai berikut :
1) Untuk menurunkan temperatur pada saluran udara.
2) Mengurangi flukstuasi temperatur.
3) Meningkatkan turbulensi.
4) Mencegah hotspot.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Basic Construction of Shell and Tube Heat Exchangers.
(http://local.alfalaval.com/en-us/key-technologies/heat-transfer/shell-and-tube-
heat-exchangers/process/industrial/Documents/TEMA), diakses 23 September
2014.
Anonim. 2014. Heat Exchanger:Corrosion & Failure. (http://www.shell-
tube.com/Corrosion-Failure.html), diakses 24 September 2014.
Apriyahanda, Onny. 2011. Pengertian Boiler (Ketel Uap). (http://artikel-
teknologi.com/pengertian-boiler-ketel-uap/), diakses 23 September 2014.
Effendi, Haris. 2008. Studi Kasus Kegagalan Material ASTM 1335/P12 dalam
Aplikasi Boiler Steam Pipe. (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20236463-
T21557-Studi%20kasus.pdf), diakses 23 September 2014.
Kolmetz, Karl dkk. Design Guidelines for Chemical Treatments in Distillation
Columns. (http://kolmetz.com/pdf/articles/Chemical%20Treatments%
20in%20Distillation%20Columns%20Rev%20in.pdf), diakses 24 September
2014.

Anda mungkin juga menyukai