Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN TETAP

PRAKTIKUM TEKNIK BIOPRESES


IDENTITAS PRAKTIKAN
Nama

: Melly Anggraini

NIM

: 03111003005

Kelompok

: 6 (Enam)/ Kamis Siang

I.

JUDUL PERCOBAAN

: PEMBUATAN CHITOSAN

II.

TUJUAN PERCOBAAN

Membuat Chitosan dari kulit udang sebagai bahan pengawet.


III.

DASAR TEORI
Udang adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut, atau
danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua "genangan" air yang berukuran
besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari
dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan. Udang biasa
dijadikan makanan laut (seafood). Dalam bahasa Banjar disebut hundang.
Banyak crustaceae yang dikenal dengan nama "udang". Misalnya mantis
shrimp dan mysid shrimp, keduanya berasal dari kelas Malacostraca sebagai udang
sejati, tetapi berasal dari ordo berbeda, yaitu Stomatopoda dan Mysidaceae. Triops
longicaudatus dan Triops cancriformis juga merupakan hewan populer di air tawar,
dan sering disebut udang, walaupun mereka berasal dari Notostraca, kelompok
yang tidak berhubungan.
Badan udang terdiri atas kepala dan dada yang disebut Cephalothorax,
badan (abdomen), serta ekor (uropoda). Udang galah mempunyai ciri khusus
dibandingkan dengan udang jenis lainnya, yakni kedua kakinya tumbuh dominan.
Udang sangat bayak manfaatnya, seperti dapat disajikan sebagai makanan
Udang merupakan salah satu hewan yang mempunyai daur hidup berupa
metamorfosis.
Udang dapat dikatkan menjadi dewasa dan bertelur hanya di habitat air laut.
Betina mempunyai kemampuan menelurkan 50.000 hingga 1 juta telur, telur ini
yang akan menetas setelah 24 jam masuk tahap menjadi larva (nauplius). Nauplius
1

kemudian bermetamorfosis memasuki fase ke dua yaitu zoea (jamak zoeae). Zoea
memakan ganggang liar. Setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis
(jamak myses). Mysis memakan ganggang dan zooplankton. Setelah tiga sampai
empat hari kemudian mereka bermetamorfosis terakhir kali memasuki tahap pasca
larva: udang muda yang sudah memiliki ciri-ciri hewan dewasa. Seluruh proses
memakan waktu sekitar 12 hari dari pertama kali menetas.
Pada tahap ini, udang budidaya siap untuk diperdagangkan, dan disebut
sebagai benur. Di alam liar, postlarvae kemudian bermigrasi ke estuari, yang sangat
kaya akan nutrisi dan bersalinitas rendah. Di sana mereka tumbuh dan kadangkadang bermigrasi lagi ke perairan terbuka di mana mereka menjadi dewasa.
Udang dewasa merupakan hewan bentik yang utamanya tinggal di dasar laut.
Salah satu udang yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan chitosan yaitu
udang galah.
III.1.

Udang Galah
Populasi udang galah di Indonesia bersifat unik. Berdasarkan distribusi

geografisnya dapat diprediksikan bahwa Indonesia menjadi centre of origin dari


galah karena terdapat 19 spesies dari marga Macrobrachium (udang galah). Apabila
ditinjau dari segi social ekonomi, eksistensi udang galah saat ini merupakan salah
satu komoditas unggulan yang dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan.
Udang galah mempunyai pangsa pasar yang baik. Kecenderungan
masyarakat yang menggemari sea food meningkatkan pangsa pasar udang galah.
Peluang pasar udang galah tidak hanya di dalam negeri bahkan di mancanegara
terbuka luas seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Pangsa pasar
yang besar serta keunggulan komparatif yang dimiliki udang galah menjadikannya
salah satu komoditi andalan dan mamu bersaing dengan produk dari negara lain.
Untuk mencapai sasaran tersebut diadakan upaya pemulihan udang galah dan
pengembangan industri udang beku, merupakan salah satu alternatif yang diambil.
III.1.1.Taksonomi Udang Galah
Kedudukan udang galah dalam sistematika sebagai berikut :
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Crustacea
2

Bangsa

: Decapoda

Suku

: Palaemonidae

Anak suku

: Palaemoninae

Marga

: Macrobrachium

Jenis

: Macrobrachium rosenbergii

III.1.2.Morfologi Udang Galah


Badan udang terdiri atas kepala dan dada yang disebut Cephalothorax,
badan (abdomen), serta ekor (uropoda). Udang galah mempunyai ciri khusus
dibandingkan dengan udang jenis lainnya, yakni kedua kakinya tumbuh dominan.
Cephalothorax dibungkus oleh kulit yang keras disebut carapace. Pada
bagian kepala terdapat penonjolan carapace yang bergerigi dan disebut rostrum.
Gigi terdapat pada rostrum dengan jumlah gigi pada rostrum atas 11-13 dan jumlah
gigi pada rostrum bagian bawah 8-14. Udang galah mempunyai sepasang mata
yang bertangkai yang terletak pada pangkal rostrum, jenis matanya temasuk jenis
mata majemuk (facet).
III.1.3.Habitat dan Penyebaran Udang Galah
Apabila diperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya, fase dewasa
dang galah sebagian besar dijalani didasar perairan air tawar dan fase larva bersifat
planktonik yang sangat memerlukan air payau. Udang galah mempunyai habitat
diperairan umum, misalnya rawa, danau, dan muara sungai yang langsung
berhubungan dengan laut. Sebagai hewan yang bersifat euryhaline mempunyai
toleransi tinggi terhadap salinitas air, yaitu antara 0-20 per mil. Hal ini
berhubungan erat dengan siklus hidupnya.
Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan bertelur di daerah air
tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur dibuahi hingga menetas
diperlukan waktu 16-20 hari.
Larva baru dapat menetas memerlukan air payau, lalu larvanya terbawa
aliran sungai hingga ke laut. Larva yang menetas dari telur paling lambat 3-5 hari
harus mendapat air payau. Larva berkembang dan memerlukan metamorfosis
hingga mencapai pasca larva diperairan payau denan kadar garam berkisar antar 5-

20%, setelah 45 hari udang dapat hidup diperairan tawar, secara alami udang akan
berupaya ke perairan tawar.
Daerah penyebaran udang galah adalah daerah Indo-Pasifik, yait dari
bagian timur Benua Afrika sampai Semenanjung Malaka, termasuk Indonesia. Di
Indonesia, udang galah terdapaat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, dan Irian.
III.1.4.Komposisi kimia yang terkandung dalam kulit udang
Kulit udang mempunyai tiga komponen besar yaitu protein, mineral, dan
chitin. Berikut adalah tabel komposisi umum kulit udang :
SENYAWA

PERSENTASE

Protein
Lemak
Chitin
Air
Abu

53,74
6,65
14,61
17,28
7,72

Sumber : Intensifikasi Tambak Udang


Departemen Pertanian (1990)
III.2. CHITOSAN
Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata dan
tergolong dalam kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang
terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan
diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat. Dalam limbah udang, terkandung
suatu biopolimer yang disebut kitin (poli-N Asetil Glukosamin). Deasetilasi kitin
akan menghasilkan senyawa yang lebih potensial, yaitu kitosan atau poli [-(1-4)2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa] atau D glukosamina, dengan derajat deasetilasi
tertentu. Kitosan banyak sekali pemanfaatannya, seperti pada bidang farmasi,
kesehatan, pertanian dan industri. Kitosan juga dapat digunakan sebagai koagulan
dan flokulan dalam pengolahan air (Muminah, 2008)
Proses isolasi kitin dari kulit udang secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua, demineralisasi (penghilangan mineral) dan deproteinasi (penghilangan
protein). Jika kitin diproses selanjutnya menggunakan larutan basa pekat maka
akan dihasilkan produk baru yaitu kitosan. Secara kimia, kitin dan kitosan dapat
4

dianggap sebagai turunan selulosa dengan gugus hidroksil pada atom C-2 selulosa
digantikan oleh gugus asetamida dan amina bebas. Jika gugus hidroksi pada atom
C-2 selulosa digantikan oleh gugus asetamida, maka senyawa yang terbentuk
adalah kitin. Tetapi jika gugus hidroksi pada atom C-2 selulosa digantikan oleh
gugus amina bebas maka senyawa yang terbentuk adalah kitosan (Mia, 2007).
Kitosan yang memiliki gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat
reaktif dan bersifat basa. Prinsip koagulasi kitosan adalah penukar ion dimana
garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam akan
mempertukarkan proton yang dimiliki logam pencemar dengan elektron yang
dimiliki oleh nitrogen (N).
Kitosan merupakan salah satu contoh dari polielektrolit. Polielektrolit
merupakan bagian dari polimer khusus yang dapat terionisasi dan mempunyai
kemampuan untuk membuat terjadinya suatu flokulasi dalam medium cair (Agus,
et al, tanpa tahun). Pemanfaatan kitosan didalam pengolaha air disebabkan
senyawa ini berperan sebagai senyawa pengkhelat untuk pemisahkan logam berat
dari larutannya (Muminah, 2008).Chitosan berasal dari limbah udang atau
cangkang udang yang biasanya digunakan sebagai pakan ternak. Dahulu bahkan
hingga saat ini masih ada yang memanfaatkan limbah udang ini menjadi pakan
ternak. Karena limbah ini jika dibuang begitu saja dapat menimbulkan bau yang
amat sangat tidak enak. Oleh karena itu, biasanya limbah udang diolah menjadi
pakan.
Chitosan merupakan turunan dari chitin yang dideasetilasi dapat larut dalam
larutan asam seperti asam asetat atau asam format. Isolasi secara tradisional chitin
dari limbah udang melewati tiga tahapan yaitu demineralisasi, deproteinase dan
dekolorisasi. Tiga tahapan tersebut merupakan standard prosedur oada pembuatan
chitosan. Aplikasi chitosan sudah dilakukan di berbagai bidang, mulai dari
manajemen limbah, pembuatan makanan, obat-obatan dan bioteknologi. Dan
chitosan juga dapat diaplikasikan pada industri farmasi dan kosmetika karena sifat
biodegradabilitas dan biocompabilitas serta kemampuan toksik atau racun rendah.
Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida
chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-amino5

2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur


kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih
pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta
viskositas larutannya tergantungdari derajat deasetilasi dan derajat degradasi
polimer.
Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam
jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya
dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan
terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya
menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat
digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil terhadap udara, panas dan
sebagainya. Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan
atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah,
industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya.
Dalam cangkang udang dan kepiting, chitin terdapat sebagai mukopoli
sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium
karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu
untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses
pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi).
Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi
(Puspawati N. M. dan Simpen I.N., 2010). Kemampuan dalam menekan
pertumbuhan bakteri disebabkan khitosan memiliki poli kation bermuatan positif
yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Restuati, M., 2008).
Indonesia sebagai negara penyedia udang seharusnya mampu mengolah limbah
udang yang dihasilkan menjadi chitosan karena murah dan pembuatannya relatif
mudah.
III.3. Cara Pembuatan Chitosan
Proses pembuatan chitosan biasanya melalui beberapa tahapan yakni
pengeringan bahan baku mentah chitosan (ranjungan), pengilingan, penyaringan,
deproteinasi, pencucian dan penyaringan, deminarisasi (penghilangan mineral Ca),

pencucian, deasilitilisasi, pengeringan dan akhirnya terbentuklah produk akhir


berupa chitosan.
Pada tahap persiapan, limbah kulit udang dicuci dengan air lalu dikeringkan
di dalam oven dengan temperatur 65oC selama 4 jam. Setelah kering, kulit udang
dihancurkan di dalam grinder dan diayak untuk mendapatkan bubuk dengan ukuran
mesh 50. Kulit udang yang ukurannya melebihi mesh 50 akan dimasukkan kembali
ke dalam grinder.
Tahap Demineralisasi. Serbuk hasil gilingan kulit udang bersih yang
diperoleh diperlakukan dengan HCl 1 N; 1: 5 (w/v), lalu diaduk selama 3-4 jam
pada suhu 65oC untuk menghilangkan mineral-mineral. Kemudian dilakukan
penyaringan dan pencucian sampai netral lalu dikeringkan dalam oven pada suhu
65oC.
Tahapan Deproteinasi. Selanjutnya dilakukan deproteinasi dengan 3,5 %
NaOH; 1 : 10 (w/v) selama 4 5 jam pada suhu 65 oC sambil diaduk. Lalu disaring
dan dicuci dengan air sampai netral.
Tahapan Depigmentasi. Residu yang diperoleh diekstraksi dengan
menggunakan aseton untuk menghilangkan zat warna (pigmen). Kemudian dicuci
kembali dengan air sampai netral. Residu yang berupa kitin dikeringkan dalam
oven pada suhu 65-70oC.
Tahapan Deasetilasi. Kitin yang diperoleh dari hasil isolasi tersebut
direfluks (deasetilasi) dengan 50 % NaOH; 1 : 10 (w/v) sambil diaduk pada suhu
100oC selama 4 jam. Lalu didinginkan dan dicuci dengan air sampai netral. Residu
adalah kitin yang terdeasetilasi sebagian atau seluruhnya. Lalu dikeringkan dalam
oven pada suhu 65-70oC.
III.4.

Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa karbon, hidrogen dan oksigen yang

terdapat di alam. Karbohidrat mempunyai rumus empiris CH2. Senyawa ini pernah
disangka sebagai hidra dari karbon sehingga disebut karbohidrat.
Karbohidrat sangat beraneka ragam sifatnya. Salah satu perbedaan utama
antara berbagai tipe karbohidrat ialah ukuran molekulnya. Monosakarida adalah

satuan karbohidat sederhana, mereka tidak dapat dihdrolisis menjadi karbohidrat


yang lebih kecil.
Monosakarida dapat diikat secara bersama-sama membentuk biner, trimet,
dan polimer. Dimer-dimer tersebut disakarida. Sukrosa adalah salah satu disakarida
yang dapat dihidrolisa menjadi gugus glukosa dan gugus fruktosa. Monosakarida
dan disakarida larut dalam air dan umumnya manis.
Karbohidrat yang tersusun dari dua sampai delapan satuan monosakarida
dirujuk sebagai oligasakarida. Jika lebih dari delapan gugus satuan monosakarida
diperoleh dari hidrolisis, maka karbohidrat tersebut disebut polisakarida.
III.4.1.Polisakarida
Suatu

polisakarida

adalah

suatu

senyawa

dalam

monomolekul-

monomolekul mengandung banyak satuan monosakarida yang dipersatukan dengan


ikatan glukosakarida. Hidrolisis lengkap akan mengubah susunan polisakarida
menjadi monosakarida. Ada variasi dalam komponen dan sifat-sifat structural dari
polisakarida. Perbedaan sifat pada monosakarida mempengaruhi sifat pada
polisakarida hal ini disebabkan oleh karena bentuk satuan pengulangan dalam
polisakarida dan panjangnya rantai yang terikat mempengaruhi polisakarida itu
secara umum.
Bagian terbesar molekul karbohidrat dalam alam terdiri dari bentuk
polisakarida berbobot molekul tinggi, yang digunakan baik untuk keperluan
structural maupun untuk penimbunan energi kimia. Polisakarida memenuhi tiga
maksud dalam system kehidupan, sebagai bahan bangunan, bahan makanan, dan
sebagai zat spesifik.
Polisakarida terdapat pada selulosa yang memberikan kekuatan pada pohon
kayu dan dahan kayu. Chitin terdapat pada kerangka luar serangga, udang,
kepiting, kerang dan lain-lain.
III.4.2.Chitin
Chitin merupakan polisakarida structural yang patut mendapatkan perhatian
karena berlimpah ruah di alam. Chitin sama dengan selulosa. Chitin merupakan
polisakarida hewan berkaki banyak. Diperkirakan 109 ton chitin dibiosintesis tiap
tahun.
8

Chitin mempunyai sifat yang tidak larut dalam air, asam encer, alkali
encer/pekat dan pelarut organic lain, tetapi larut dalam larutan pekat asam sulfat,
asam klorida, asam fosfat. Selain itu tahan terhadap hidrolisa menjadi komponen
sakaridanya.
Chitin pada umumnya sangat tahan terhadap hidrolisa, walau enzim kitinase
dapat melakukannya dengan mudah. Chitin membentuk zat dasar yang tahan lama
dari kulit spora lumut dan eksokerangka dari serangga, udang, dan kerangkerangan.
Chitin adalah polisakarida linier yang mengandung N-Asetil DGlukosamina terikat pada hidrolisa, chitin menghasilkan 2-Amino 2-Deoksin DGlukosa. Dalam alam chitin terikat pada protein dan lemak.
Chitin dapat dibentuk menjadi sustu bubuk (powder) apabila sudah
dipisahkan dari zat yang tercampur dengannya. Akan tetapi tidak dapat larut dalam
air. Reaksinya dalam asam-asam mineral dan alkali akan menghasilkan suatu zat
yang menyerupai selulosa. Pelarutan chitin tergantung dari konsentrasi asam
mineral dan temperatur.
Dinegara Jepang, chitin sudah lama dikomersialkan dengan cara
memintalnya menjadi benang yang berfungsi sebagai penutup luka sehabis operasi,
karena didukung oleh sifatnya yang non alergi dan juga menunjukkan aktifitas
penyembuhan luka.
Chitin pertama kali ditemukan oleh Odier pada tahun 1823 dan kemudian
dikembangkan oleh PR Austin pada tahun 1981. Akan tetapi perkembangan chitin
bergerak lamban dan kurang dimanfaatkan.
Salah satu turunan chitin yang luas pemakaiannya adalah chitosan.
Senyawa ini mudah didapat dari kitin dengan menambahkan NaOH dan pemanasan
sekitar 120o C. Proses ini menyebabkan lepasnya gugus asetil yang melekat pada
gugus amino dari molekul kitin dan selanjutnya akan membentuk chitosan.
Kelebihan lain dari chitosan yaitu padatan yang dikoagulasinya dapat
dimanfaatkan. Kekhawatiran terhadap kemungkinan khitosan mempuntai efek
beracun terhadap manusia telah dimentahkan oleh beberapa peneliti dengan
sejumlah bukti ilmiah.
9

IV.

ALAT DAN BAHAN


IV.1.

Alat
Alat yang digunakan, yaitu:

1. Water bath
2. Neraca analitis
3. Corong dan kertas saring
4. Beker gelas
5. pHmeter
6. Pipet tetes
7. Oven
8. Spatula
IV.2. Bahan
Bahan yang digunakan, yaitu:
1.
2.
3.
4.
V.

Kulit udang
HCl
NaOH
Aquadest

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Pisahkan udang dan kulitnya kemudian cuci bersih dan keringkan.
2. Gerus sampai halus kulit udang yang telah dikeringkan tadi hingga menjadi
bubuk atau powder.
3. Timbang bubuk kulit udang sebanyak 5 gr, dicampur dengan 300 ml aqudest.
4. Kemudian masukkan HCl sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit udang tadi
dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar.
5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang dimasukkan
dalam beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali.
6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 aquadest,direbus selama 2
menit, kemudian saring kembali.
7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH dengan

VI.

menggunakan pH meter.
8. Langkah terakhir larutan disaring kembali dan dikeringkan.
Hasil Pengamatan
No

Pembuatan Chitosan

.
1.

Udang

dicuci,

Hasil Percobaan

dikeringkan

dan Setelah udang ditimbang didapat

dihaluskan hingga berbentuk serbuk berat sampel awal 5 gr, dan


atau powder, kemudian ditimbang.

warna chitosan berwarna putih


abu - abu.

10

2.

Sampel tersebut ditambah aquadest Sampel

ditambahkan

HCl

300 ml, dan ditetesi HCl sebanyak 3 menunjukkan pH 6 pada kertas


tetes,
3.

lalu

dipanaskan.

Kemudian lakmus.

diukur pH dengan kertas lakmus.


Kemudian dibuang airnya dan dicuci Sampel ditambahkan NaOH, dan
slurry udang tadi. Slurry tersebut pH menunjukkan 10 pada kertas
tambahkan

lagi

dengan

300

ml lakmus dimana warna slurry

aquadest, lalu ditambahkan dengan yang terbentuk adalah warna abu


NaOH sebanyak 3 tetes, panaskan. - abu gelap.
Kemudian ukur pH dengan kertas
4.

lakmus.
Buang airnya hingga tersisa slurry Setelah dikeringkan dioven berat
udang tersebut, kemudian dikeringkan chitosan bersih menjadi 3,083 gr
di oven, dan timbang chitosan yang dengan warna chitosan adalah

terbentuk.
coklat muda seperti pasir.
Berat chitosan yang diperoleh adalah 4,883 gram. Berat kertas saring adalah 1,8
gram.
Berat bersih chitosan = 4,883 gram 1,8 gram
= 3,083 gram

Berat Chitosan yang didapat


100%
Berat sampel awal
3,083gr

100%
5gr

% Chitosan

61,66%
VII.

PEMBAHASAN
Pada percobaan pembuatan chitosan kali ini, digunakan bahan baku utama
berupa kulit udang. Dipilih bagian kulit karena pada kulit udang ini terkandung
chitin dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan bagian tubuh lainnya.
Sedangkan chitosan sendiri adalah salah satu turunan chitin. Mula-mula kulit udang
dipisahkan dari udangnya, lalu dicuci bersih. Pencucian ditujukan agar kulit udang
terbebas dari kotoran yang mungkin masih melekat pada kulitnya. Setelah
11

dilakukan pencucian, kulit udang dikeringkan hingga benar-benar kering. Tujuan


dari proses pengeringan ini adalah agar kulit udang lebih mudah dihancurkan
menjadi bubuk-bubuk halus (powder). Setelah dikeringkan, kulit udang ini digiling
sampai berbentuk butiran halus dengan menggunakan mortar.

Tujuan dari

penggilingan ini adalah agar chitin yang terkandung dalam kulit udang bubuk dapat
lebih cepat bereaksi dengan zat kimia (HCl dan NaOH) dan lepas dari kandungan
chitin tersebut.
Berat kulit udang yang digunakan untuk pembuatan chitosan adalah
sebanyak 5 gram, lalu ditambahkan aquadest sebanyak 300 ml. Pencampuran ini
dilakukan dalam bekergelas. Walau telah dilakukan pencampuran, kedua bahan ini
tidak saling melarut. Pelarutan chitin sebenarnya tergantung dari konsentrasi asam
mineral dan temperatur. Karena itulah, pada saat proses pemanasan temperaturnya
tidak terlalu tinggi dan campuran tidak boleh diaduk terlalu sering karena
dikhawatirkan akan membuat kandungan chitin terlarut dalam aquadest. Proses
pemanasan hanya dilakukan selama 2 menit.
Setelah dipanaskan, larutan ini akan disaring. Slurry yang berupa kulit
udang kemudian dipanaskan kembali dengan ditambah aquadest sebanyak 300 ml.
Setelah itu, larutan ini diukur pH-nya. pH larutan sebesar 10, menunjukkan bahwa
bersifat basa.
Kemudian ditetesi HCl sebanyak 3 tetes hingga pH-nya menjadi 6. Larutan
ini disaring, kemudian ditambahkan dengan aqudest, dan dipanaskan kembali.
Kemudian diukur pH-nya agar menjadi basa dengan ditambah NaOH hingga pHnya menjadi 10. Setelah dilakukan penyaringan, chitosan yang diperoleh
dikeringkan di oven.
Chitosan dalam bentuk powder telah diperoleh. Tetapi, tingkat kemurnian
dari bubuk chitosan yang diperoleh masih diragukan karena dalam percobaan
pembuatan chitosan ini tidak diketahui parameter kimia zat chitosan. Chitosan
kering yang telah diperoleh yaitu sebanyak 3,083 gram. Terjadi penyusutan berat
dari yang awalnya kulit udang sebanyak 5 gram, menjadi 43,083 gram chitosan.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya kulit udang yang larut
dalam aquadest dan proses pencucian yang tidak bersih. Bisa juga dikarenakan
12

banyak powder kulit udang yang terbawa pada saat pencucian maupun penyaringan
menggunakan kertas saring. Hal ini bisa dilihat pada kertas saring dimana masih
terdapat slurry udang yang tak bisa diambil dan masih tertinggal. Selain itu, larutan
hasil dari proses penyaringan juga warnanya masih tampak keruh.
Sebagaimana kita ketahui, ada tiga rangkaian proses dalam pembuatan
chitosan dari chitin yaitu demineralisasi, deproteinasi dan terakhir adalah
deasetilasi. Bahan baku utama yang akan digunakan harus dihilangkan kandungan
mineral (demineralisasi) dengan cara dipanaskan pada pH yang asam. Untuk itu
pada percobaan ini ditambahkan senyawa asam pekat berupa Asam Klorida (HCl).
Karena organisme laut sangat kaya akan mineral maka kandungan mineral harus
dihilangkan terlebih dahulu. Proses selanjutnya ialah dihilangkan proteinnya
(deproteinasi) dengan cara dipanaskan pada tempat yang sama pada pH 11. Untuk
itu pada percobaan ini ditambahkan senyawa basa kuat yaitu Natrium Hidroksida
(NaOH). Hasilnya dari proses ini adalah diperoleh bahan yang disebut dengan
chitin yang masih harus diproses untuk mendapatkan chitosan yang lebih murni.
Proses berikutnya adalah deasetilasi. Proses ini diperlukan pada proses
pembuatan chitosan ini karena di dalam struktur chitin yang terkandung dalam kulit
udang, terdapat gugus asetil. Gugus ini harus dibuang dan digantikan dengan gugus
NH2.

Setelah

proses

deasetilasi

dilakukan,

campuran

disaring

dengan

menggunakan kertas saring kembali sehingga diperoleh chitosan dalam bentuk


slurry yang diperoleh dari hasil penyaringan. Slurry ini dikeringkan dengan cara
dimasukkan ke dalam oven hingga bentuknya menjadi bubuk-bubuk yang sangat
halus (powder). Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan kandungan aquadest
VIII.

maupun NaOH yang mungkin masih terkandung dalam slurry tersebut.


KESIMPULAN DAN SARAN
VIII.1. Kesimpulan
1. Untuk membuat chitosan, sebaiknya dipilih bahan baku yang banyak
mengandung chitin seperti kulit udang galah.
2. Ada 3 tahap yang harus dilakukan untuk mendapatkan chitin dari kulit udang,
yaitu: tahap demineralisasi (penghilangan mineral), deproteinasi (penghilangan
protein), dan penghilangan warna.

13

3.

Sedangkan untuk memperoleh chitosan, chitin harus direaksikan dengan


larutan basa pada temperatur tertentu.

4. Chitosan dimanfaatkan sebagai bahan pengawet dan merupakan salah satu


alternative pengganti formalin.
VIII.2. Saran
1. Kulit udang yang akan digunakan sebaiknya sangat kering sehingga kadar air
yang masih terkandung sedikit.
2. Perlu diperhatikan pada saat proses penyaringan karena pada proses ini akan
ada produk yang ikut terbuang.
3. Diperlukan sikap teliti dalam menambahkan zat kimia karena dapat
mempengaruhi produk.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Manfaat Enzim Papain Dalam Industri. http://www.bimbingan.
org/manfaat-enzim.htm. 4 Maret 2014
Anonim. 2013. Enzim Papin dan Fungsinya. http://indobeta.com/enzim-papaindan-fungsinya/13600/

14

Arsih,

Umi.

2013.

Pembuatan

VCO

secara

Enzimatis.

http://umiarsih.

wordpress.com/2013/10/08/pembuatan-vco-virgine-coconut-oil-secaraenzimatis-menggunakan-nanas/
Prawirahartono, S. 2003. Pelajaran SMA Biologi. .Erlanga , Jakarta
Ratna,

Djuita.

Penuntun

parktikum

Mikrobiologi Fakultas Teknik Unsri.

15

Mikrobiologi

.2000.

Laboratorium

Anda mungkin juga menyukai