Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MATA KULIAH MARICULTURE


REPRODUKSI BIOTA LAUT

Disusun Oleh :

Maria Maylissa B . 26040117120002


Farrastasya Muflihul A. 26040117120003
Rina Maharani I. 26040117120006
Iis Meinarwati 26040117120007
Rae Shinta Gunari 26040117120008
Kelompok 1
Ilmu Kelautan A

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Biota laut merupakan semua makhluk hidup yang ada di laut baik hewan maupun
tumbuhan atau karang. Secara umum biota laut dibagi menjadi tiga kelompok besar berdasarkan
kebiasaan hidup dan pola sebarannya yaitu plankton, nekton dan bentos. Sebagian besar biota
laut dapat dimanfaatkan oleh manusia, salah satunya adalah sebagai sumber makanan. Biota ini
dapat ditangkap langsung dan juga dapat dibudidayakan.
Budidaya biota laut terus mengalami perkembangan dan peningkatan permintaan pasar.
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam untuk pengembangan budidaya laut. Budidaya
komoditas yang dilaut meliputi ikan kakap, ikan kerapu, ikan beronag, ikan bandeng, rumput
laut dan termasuk lobster. Pengelolaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan dibutuhkan
untuk menjaga keberadaan biota di alam. Kegiatan budidaya, pembenihan dan restocking
diharapkan dapat menjadi solusi guna menjaga dan meningkatkan jumlah angka biota laut.
Faktor penting dalam kegiatan budidaya laut adalah diketahuinya jenis reproduksi.
Reproduksi biota laut secara umum terbagi mejadi reproduksi seksual dan aseksual. Setiap jenis
biota memiliki cara dan waktu reproduksi yang berbeda. Reproduksi aseksual terjadi tanpa proses
peleburan sel kelamin jantan dan betina dan umumnya terjadi pada hewan tingkat rendah
(avertebrata) dan sebagian kecil vertebrata, sedangkan reproduksi seksual terjadi pada hampir
seluruh tingkatan hewan. Reproduksi seksual melibatkan alat kelamin jantan dan alat betina
dan ditandai oleh adanya peristiwa pembuahan (fertilisasi).
Diketahuinya informasi terkait sistem dan masa reproduksi biota laut sangat berperan
penting dalam menentukan keberlangsungan dan kesuksesan kegiatan budidaya. Hal ini terkait
dengan ketersediaan stok benih atau bibit yang akan dibudidayakan. Oleh karena itu, disusunlah
makalah ini yang bertujuan untuk memberikan informasi seputar sistem reproduksi biota laut,
sehingga pembaca dapat terinspirasi dan mengembangkan pengetahuannya.

1.2. Tujuan
1. Mengetahui sistem reproduksi biota laut.
2. Mengetahui potensi pemanfaatan biota laut untuk kegiatan budidaya.
1.3. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui sistem reproduksi biota laut secara umum.
2. Mahasiswa dapat mengetahui potensi pemanfaatan jenis biota laut untuk kegiatan
budidaya.
II. ISI
2.1 Biota Laut
Biota laut terbagi atas 2 kelompok yaitu kelompok hewan dan kelompok tumbuhan, sifat-
sifat dari biota tersebut untuk mengenal biota laut lebih jauh. Menurut Romimohtarto dan
Juwana (1999) berdasarkan sifatnya, biota laut dibagi menjadi tiga katagori antara lain.
1. Plankton terbagi dua, yaitu :
a. Fitoplankton (plankton tumbuhan): alga biru, alga coklat, alga merah, dinoglagellata
dan lain-lain.
b. Zooplankton (plankton hewan): lucifer, acetes (udang rebon), ostracoda, cladocera
dan lain-lain
2. Nektonik
Nektonik merupakan biota yang berenang-renang (hanya terdiri dari hewan saja):
ikan, ubur-ubur, sotong, cumi-cumi dan lain-lain.
3. Bentik
Bentik merupakan biota yang hidup di dasar atau dalam substrat, baik tumbuhan maupun
hewan. Terbagi dalam 3 macam:
1. Menempel seperti sponge, teritip, tiram dan lain-lain
2. Merayap seperti kepiting, udang karang yang kecil-kecil dan lain-lain.
3. Meliang seperti cacing, kerang dan lain-lain.
Jadi pada dasarnya pembagian biota- biota di laut bukan berdasarkan ukuran besar atau
kecil, tetapi berdasarkan pada kebiasaan atau sifat hidupnya secara umum, seperti gerakan
berjalan, pola hidup dan sebaran menurut ekologi. Banyak biota laut yang di dalam siklus
hidupnya mempunyai lebih dari satu sifat, yaitu sewaktu larva hidup sebagaiplanktonik dan
berubah sifat menjadi nektonik atau bentik saat juvenile (juwana) ataupun saat dewasa
contohnya udang, kepiting, ikan dan lain-lain (Lilley, 1999).

2.2 Reprpduksi
2.2.1 Reproduksi Seksual
Reproduksi seksual adalah reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum
(fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih komplek karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui
sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan baru kemudian pertumbuhan dan
pematangan). Karang berkembang biak secara seksual (perkawinan) dan aseksual
(pembelahan). Sel jantan dan betina akan bertemu sehingga terjadi pembuahan dan
menghasilkan larva planula. Larva tersebut bersifat plantonik, terbawa arus dan melekat di
dasar yang sesuai. Setelah melekat di suatu substrat maka terjadi perkembangbiakan secara
pembelahan, yang dimulai dengan pembelahan polip-polip karang dan kemudian akan
membentuk koloni. Pertumbuhan karang sangat lambat sekali tergantung dari bentuk koloni
karang batu dan kondisi lingkungan tempat hidup karang batu. Karang batu mempunyai
bermacam-macam bentuk diantaranya bercabang, berbentuk lembaran daun, berbentuk massif
atau keras, berbentuk bulat dan berbentuk seperti jamur (Romimohtarto dan Juwana, 1999).
2.2.2. Reproduksi Aseksual
Reproduksi aseksual pada hewan karang melibatkan sejumlah proses dimana
pembentukan koloni baru terjadi melalui pemisahan atau pelepasan sebagian jaringannya
melalui fragmentasi dan polip bailout. Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak
melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada reproduksi ini,
polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan
tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni dan ada pembentukan koloni baru.
Fragmentasi adalah cara reproduksi aseksual paling umum terutama pada karang
bercabang dan berbentuk lembaran tipis (foliose). Fragmen atau potongan jaringan hewan
karang yang terlepas dari koloni induk yang kemudian jatuh pada dasar perairan akibat berbagai
kejadian seperti arus dan gelombang yang kuat, ikan predator atau faktor fisik lainnya. Bila
fragmen tepat berada di atas permukaan substrat yang keras, jaringan karang akan menempel
dan mulai tumbuh mejadi koloni karang baru melalui pertunasan. Pembentukan koloni baru
hewan karang dari fragmen gagal terjadi akibat terlepas kembali oleh arus atau gelombang yang
kuat.
Pada kondisi tertentu beberapa jenis hewan karang, polip atau jaringan yang ada pada
fragmen karang dapat terlepas dan berenang bebas atau terbawa arus sampai menemukan
substrat yang tepat untuk menempel dan tumbuh membentuk koloni baru. Kejadian ini dikenal
dengan polyp bailout yang selalu aktif melepaskan diri dari jaringan/skleton induk. Pada cara
yang sama, sebagian hewan karang dapat melepaskan bola-bola jaringan hidupnya dari sekitar
skleton yang telah mati atau pelepasan ooze dari kalis polip yang kemudian terdifferensiasi
menjadi polip baru yang tumbuh menjadi koloni hewan karang baru. Reproduksi aseksual
hewan karang dapat juga terjadi dari larva yang dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi melalui
proses partenogenesis.
2.3 Kelompok Biota Laut
2.3.1 Ikan
2.3.1.1 Ikan
Ikan termasuk hewan yang memiliki tulang belakang (vertebrata), berdarah dingin dan
mempunyai insang. Jenis hewan ini merupakan penghuni laut yang banyak yaitu sekitar
42,6% atau sekitar 5000 jenis yang telah diidentifikasi, mempunyai keanekaragaman jenis
yang tinggi baik dalam bentuk, ukuran, warna dan sebagian besar hidup di daerah terumbu
karang (Nontji, 2004).
Ikan dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu Agnata, merupakan ikan primitif seperti
Lampreys dan Hagfishes; ikan bertulang rawan (Chondrichthyes), misalnya: ikan cucut (hiu)
dan ikan pari; dan ikan bertulang sejati (Osteichthyes = Teleostei). Ikan cucut (hiu) dan ikan
pari (ikan bertulang rawan) adalah jenis ikan yang relatif mudah ditangkap, terdapat dalam
jumlah yang besar di perairan Indonesia. Jenis-jenis yang banyak ditangkap adalah Zygaena
sp (hiu martil = hammer-head shark); Galeorphynus australis (hiu caping); Lamna nasus (hiu
gergaji); Alopias vulpinis (hiu parang) dan Prionace glauca (hiu biru). Sedangkan jenis yang
sering terlihat di daerah terumbu karang adalah Carcharhinus spp (black tip reef),
Triaenodon spp (white tip reef) dan Carcharhinus amblyrhychos (cucut moncong putih).
Hiu merupakan ikan yang serbaguna, hampir semua tubuhnya mulai dari ujung kepala hingga
ujung ekor dapat dimanfaatkan, termasuk organ dalamnya. Bagian tubuh terpenting yang
mempunyai nilai ekonomi tertinggi adalah sirip dan hatinya (Tjakrawidjaya, 1999).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (1999) menyatakan bahwa ikan bertulang sejati
merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik sebagai ikan hias ataupun sebagai ikan
konsumsi. Ikan konsumsi yang merupakan komoditi andalan adalah Thunnus spp (tuna);
Katsuwanus pelamis (cakalang); Sardinella longiseps (lemuru) dan Rastrelliger spp
(kembung). Selain itu ada pula ikan yang tergolong dibudidayakan seperti Chanos
chanos (bandeng) yang secara tradisi dibudidayakan di tambak; ikan beronang (Siganidae);
kerapu (Serranidae) dan kakap putih (Lates calcarifer) juga sudah mulai dicoba untuk
dibudidayakan. Sedangkan jenis ikan hias yang mudah dan paling umum dijumpai di terumbu
karang adalah dari kelompok Pomacentridae, termasuk " anemonfish" dan "angelfish" yang
memiliki warna sangat indah. Disamping itu juga dari kelompok Chaetodontidae,
Zanclidae Lethrinidae dan Haemulidae.
2.3.1.2 Reproduksi Ikan
a. Telur Pelagis
Telur-telur yang bersifat pelagis ini mempunyai berat jenis yang sama atau lebih ringan
dari berat jenis air laut, sehingga telur tersebut dapat melayang di kolom perairan atau
mengapung di permukaan. Larva yang menetas dari jenis telur ini akan hidup secara planktonik
selama beberapa jam sampai berbulan-bulan, tergantung dari jenis ikannya. Jenis telur pelagis
dibagi menjadi dua tipe, yaitu yang melepaskan telur di kolom perairan (Pelagic spawners) dan
yang melepaskan telurnya di dasar perairan (Benthic broadcasters).
Ikan-ikan pelagic spawners lebih sering ditemui daripada ikan-ikan benthic broadcasters.
Hal ini disebabkan karena pada ikan-ikan yang berukuran kecil, ketika memijah cenderung
berenang di kolom perairan untuk melepaskan telur-telur tersebut kemudian akan mengapung
di permukaan atau melayang-layang di kolom perairan. Telur-telur tersebut kemudian
dihanyutkan ke lepas pantai ataupun disebarkan ke tempat lain dengan bantuan arus dan angin.
Cara seperti ini biasanya dilakukan oleh ikan-ikan yang cenderung hidup tidak jauh dari sarang
atau teritorialnya, karena dapat mengurangi kemungkinan mendapat ancaman dari predator
ketika melepaskan telur-telurnya ke kolom perairan.
Ikan-ikan yang melepaskan telurnya dari dasar perairan (Benthic broadsasters), tidak
perlu berenang di kolom perairan untuk melepaskan telur-telurnya, melainkan tetap berada di
dasar perairan. Telur-telur yang dilepaskannya akan melayang ke kolom perairan atau
mengapung di permukaan. Sebagai contoh adalah belut laut (Anguiliformes) yang hidup di
terumbu karang. Belut merupakan jenis ikan yang melepaskan telur-telurnya dengan cara
seperti ini. Akan tetapi pada beberapa jenis belut melakukan migrasi jauh ke lepas pantai.
terlebih dahulu sebelum memijah.
b. Telur Demersal
Strategi reproduksi kedua yang umum terjadi pada ikan-ikan laut tropis adalah jenis telur
demersal (Demersal eggs). Jenis telur ini mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada berat
jenis air laut sehingga dapat tenggelam di dasar perairan. Ikan-ikan yang melakukan hal seperti
ini dibedakan lagi menjadi dua kategori, yaitu yang memijah di dasar (Demersal spawners) dan
yang melepaskan telurnya di kolom perairan (Egg scatterers). Pada ikan-ikan yang memijah di
dasar perairan, umumnya melakukan penjagaan terhadap telur ataupun anak-anaknya. Beberapa
tipe penjagaan induk yang dilakukan seperti persiapan dan penjagaan sarang, atau dengan
menyimpan telur-telurnya di dalam mulut induk (Mounth broading). Sedangkan pada ikan-ikan
yang melepaskan telurnya di kolom perairan, tidak melakukan penjagaan terhadap telur-
telurnya. Ikan-ikan ini berenang di kolom perairan lalu melepaskan telur-telurnya. Telur-telur
tersebut kemudian tenggelam dan bertebaran di dasar perairan.
c. Melahirkan
Strategi reproduksi ketiga pada ikan-ikan laut tropis adalah menetaskan telur di dalam
tubuh induk betina, kemudian dikeluarkan dalam bentuk larva ikan atau juvenil ke kolom
perairan. Cara ini merupakan cara yang tidak umum terjadi pada ikan-ikan laut tropis, terutama
pada ikan-ikan bertulang sejati. Melahirkan anak pada ikan-ikan laut tropis diduga lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan ikan-ikan yang hidup di perairan tawar. Hal ini mungkin
disebabkan cara tersebut kurang menguntungkan apabila dilakukan di laut. Ikan yang
mempunyai cara seperti ini mempunyai fekunditas yang rendah dan kondisi induk betina yang
sedang mengandung anaknya sangat rentan dari bahaya lingkungan di sekitarnya.
Hermaproditisme adalah kondisi dimana pada satu individu hewan yang mempunyai dua
organ reproduksi yaitu jantan dan betina. Hermaproditisme dapat juga merupakan kemampuan
organisme untuk merubah jenis kelaminnya (Sex inversion). Terdapat tiga tipe hermaproditisme
ikan-ikan bertulang sejati, yaitu hermaprodit simultan, protoginous dan protandrous.
Hermaprodit simultan terjadi apabila satu individu dapat menghasilkan sperma dan sel telur,
sehingga memungkinkan untuk dapat membuahi dirinya sendiri. Hermaprodit protoginous
adalah ikan yang mengalami perubahan kelamin dari betina menjadi jantan, dimana gonadnya
semula berfungsi sebagai ovari kemudian berubah fungsi menjadi testes. Pada
hermaproditprotandrous merupakan kebalikan dari protoginous, yaitu ikan yang mengalami
perubahan kelamin dari jantan menjadi betina. Hermaprodit protoginous dan protandrous
disebut juga dengan hermaprodit sekuensial. Hermaproditisme merupakan hal yang umum pada
ikan-ikan laut tropis, terutama ikan-ikan karang.
2.3.2 Crustacea
Kelompok hewan ini terdiri dari udang dan kepiting umumnya hidup di lubang- lubang,
celah-celah terumbu karang atau di balik bongkahan batu dan karang. Aktivitas kelompok hewan
ini dilakukan pada malam hari, misalnya waktu mencari makan dan kegiatan lainnya, sedangkan
siang hari dipergunakan untuk bersembunyi. Beberapa jenis krustasea memiliki nilai ekonomi
yang penting yaitu "lobster" atau udang karang (Panulirus sp), udang windu (Penaeus
monodon) selalu diburu karena merupakan sumberdaya laut yang sangat potensial. Namun di
alam, keberadaan jenis ini sudah semakin mendekati kepunahan dan perlu dilindungi seperti
juga halnya dengan mimi, Tachypleus gigas (Horse shoe crab) (Lilley, 1999).
Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air laut dan air tawar. Kata Crustacea
berasal dari bahasa latin yaitu kata Crusta yang berarti cangkang yang keras. Ilmu yang
mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi. Crustacea mempunyai kulit (cangkang)
yang keras disebabkan adanya endapan kalsium karbonat pada kutikula. Semua atau sebagian
ruas tubuh mengandung apendik yang aslinya biramus. Bernafas dengan insang atau seluruh
permukaan tubuh. Kelenjar antena (kelenjar hijau) atau kelenjar maxilla merupakan alat
ekskresi. Proses reproduksi pada crustacea hampir semuanya sama, kecuali jenisjenis tertentu,
crustacea jenis dioecious, melakukan pembuahan di dalam tubuh. Sebagian besar lainnya
mengerami telurnya. Tipe awal larva crustacea pada dasarnya adalah larva nauplius yang
berenang bebas sebagai plankton. Ciri khas kepala crustacea dewasa ialah adanya sepasang
antena pertama, sepasang antena kedua, sepasang mandibula, sepasang maxilla pertama dan
sepasang maxilla kedua (Pratiwi dan Rahmat. 2015).
Krustasea adalah hewan yang termasuk dalam filum arthropoda (hewan beruas-ruas).
Sebagian besar crustacea hidup akuatis, dan bernapas dengan insang. Eksoskeleton keras, terdiri
dari kitin yang berlendir dan mempunyai antena sepasang. Alat-alat tambahan bersifat tipikal
biramus(bercabang dua). Kepala terbentuk sebagai persatuan segmen-segmen, kadang-kadang
bersatu dengan dada membentuk sefalotoraks (cephalus: kepala, thorax: dada). Contoh udang :
udang air tawar (shrimp) Cambarus sp, udang laut (lobster) Panulirus sp, dan kepiting atau
rajungan dan ketam (Pagurus sp, Cancer sp, dan Uca sp) (Pratiwi, 2007).
2.3.2.1 Reproduksi Crustacea
Reproduksi aseksual pada crustacea tidak ada. Umumnya berkembang biak secara
parthenogenesis. Namun bagi spesies tertentu pada saat bersamaan terjadi baik reproduksi
secara parthenogenesis maupun singamik terjadi kopulasi dan pembuahan di dalam. Telur yang
telah dibuahi dan telur parthenogenesis dierami oleh betina selama beberapa hari. Beberapa
jenis phyllopoda menghasilkan dua macam telur, bercangkang tipis yang secara meretas dan
telur dorman bercangkang tebal yang tahan panas, dingin maupun kekeringan. Kedua macam
telur tersebut dapat terjadi baik ada jantan maupun tanpa jantan dalam populasi. Perkembangan
embrio dalam telur mulai terjadi selama waktu pengeraman, kemudian dilepas ke air kelompok
demi kelompok dengan selang waktu 2 sampai 6 hari. Telur menetas menjadi larva nauplius
atau metanauplius tergantung spesiesnya (Serosero et al., 2019).
Menurut Pratiwi dan Rahmat (2015), pada reproduksi jenis udang bahwa kelamin
terpisah (diesius) baik testes maupun ovarium bilobat. Testes melepaskan sperma ke dalam
duktus spermatikus terus ke pori-pori yang terdapat di dasar pasangan kaki untuk berjalan yang
kelima. Oviduk melepaskan telur dari ovarium ke lubang-lubang pada dasar pasangan kaki
untuk berjalan. Stadium embrional diselesaikan ketika telur masih bertaut dengan “swimmeret-
swimmeret” hewan betina. Bahkan larva telah menetas pun tetap tertaut padanya untuk
beberapa lama.
2.3.3 Echinodermata
Echinodermata adalah filum hewan terbesar yang tidak memiliki anggota yang hidup di
air tawar atau darat. Echinodermata merupakan kelompok hewan berduri yang bergerak lamban
dengan bantuan kaki tabung, dan ditemukan di hampir semua kedalaman laut. Duri-duri yang
melekat di tubuhnya itu bermacam-macam ada yang tajam, kasar dan atau hanya berupa
tonjolan saja. Hewan-hewan ini juga mudah dikenali dari bentuk tubuhnya kebanyakan
memiliki simetri radial, khususnya simetri radial pentameral (terbagi lima) (Simatupang et al.,
2017). Keberadaan Echinodermata di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik
faktor biotik dan abiotik yang saling terkait satu dengan yang lain, serta interaksi antara
berbagai spesies yang membentuk sitem (Katili, 2015). Walaupun terlihat primitif,
Echinodermata adalah filum yang berkerabat relatif dekat dengan Chordata (yang di dalamnya
tercakup vertebrata) dan simetri radialnya berevolusi secara sekunder. Echinodermata dibagi
ke dalam lima kelas yaitu Kelas Asteriodea, Kelas Crinoidea, Kelas Echinodea, Kelas
Holothuroidea dan Kelas Ophiuroidea (Nugroho dan Pudjiono, 2017).
Jenis yang termasuk kelompok ekhinodermata adalah bintang laut (Linckia laevigata),
bulu babi (Diadema setosum), timun laut atau tripang (Holothuria nobilis), lili laut
(Lamprometra sp), bintang mengular (Ophiothrix fragilis), mahkota seribu atau mahkota
berduri (Acanthaster planci). Semua jenis dari kelompok ini mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi baik untuk dijadikan bahan makanan maupun untuk bahan hiasan di akuarium, kecuali
bulu seribu, mahkota seribu atau mahkota duri merupakan jenis yang merusak, karena bila
populasinya berlimpah akan memakan polip-polip karang dan menyebabkan karang berwarna
putih serta lama kelamaan sebagian populasi karang akan rusak dan mati (Pratiwi, 2006).
2.3.3.1. Reproduksi Echinodermata
Echinodermata bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara aseksual
dengan pembelahan fisik, yaitu penyekatan dan pemisahan pisin pusat (piringan kecil di pusat
tubuh), kemudian masing-masing bagian tubuh yang terpisahakan melakukan regenerasi
menjadi individu yang lengkap. Pembuahan terjadi secara eksternal yang akan menghasilkan
larva berbetuk simetri bilaterla, kemudian larva tersebut turun ke substrat dan bermetamorfosis
menjadi individu yang berbentuk simetri radial. Beberapa spesies ada yang mengerami
telurnya. Echinodermata berkembang biak secara seksual, yakni hewan jantan dan betina yang
melepaskan sel gametnya ke air laut, dan proses fertilisasi yang berlangsung secara eksternal
(di dalam air laut) (Ahmad, 2018).
Didalam perkembangbiakan echinodermata itu bersifat deoseus bersaluran reproduksi
sederhana. Reproduksi seksual anggota filum echinodermata umumnya melibatkan individu
jantan dan betina yang terpisah dan membebaskan gametnya ke dalam air laut. Zigot yang
dihasilkan berkembang menjadi larva yang simetris bilateral bersilia berenang mengikuti massa
air laut sehingga daerah persebarannya menjadi sangat luas (Jalalludin dan Ardesan, 2017).

2.3.4. Reproduksi Kelas Asteriodea


Kelas Asteroidea berbentuk seperti bintang berlengan 5. Tubuhnya berduri tersusun
atas zat kapur (osikel). Di sekeliling duri pada bagian dasar terdapat duri yang sudah mengalami
perubahan yang disebut pediselaria yang berfungsi untuk pelindung insang kulit atau organ
respirasi, menangkap makanan dan mencegah sisa-sisa organisme agar tidak tertimbun pada
permukaan tubuhnya. Bintang laut adalah kelompok echinodermata kelas asteroidea. Bintang
laut tersebar lebih dari 1800 spesies yang hidup dilaut dan tersebar di seluruh lautan dunia
termasuk Atlantik, Pasifik. India, dikutub utara dan juga di Samudra Selatan.
Pada reproduksi secara seksual dengan cara bertemunya sel sperma dan telur akan
bertemu dan saling tumpang tindih. Seekor bintang laut betina diperkirakan dapat bertelur
antara 12 sampai 24 juta butir telur. Dalam 10 menit hewan jantan mulai membuahi si betina.
Proses ini bisa menyebabkan air di sekitarnya berwarna putih seperti susu. Beberapa jantan
yang membuahinya, hanya terlihat seekor betina yang dibuahi. Ia berada pada jarak lebih dari
1 m dari jantannya. Telur tertuangkan dan mengalir terus menerus dari beberapa gonopora ke
dalam air dan langsung disebar oleh arus air. Hewan ini melepaskan sel kelamin ke air dan
hasil pembuahannya akan tumbuh menjadi larva mikroskopis yang lengannya bersillia, disebut
pluteus. Pleteus kemudian mengalami metamorfosis menjadi bentuk seperti bintang laut dan
akhirnya menjadi bintang ular.mukan pada kedalaman lebih dari 500 meter (1.620 kaki).
Beberapa spesies bintang laut juga bereproduksi secara aseksual dengan cara
fragmentasi,yaitu dengan cara memisahkan bagian lengannya dan pada akhirnya berkembang
menjadi individu independen bintang laut. Hal ini mengakibatkan beberapa ketenaran. Para
nelayan akan mungkin membunuh bintang laut dengan memotong mereka dan membuang
mereka di laut. Pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah mereka hingga masalah
lebih baik dipahami. Sebuah lengan bintang laut hanya dapat meregenerasi menjadi organisme
yang sama sekali baru jika sebagian dari cincin pusat bintang laut yang diamati.

2.3.5 Reproduksi Kelas Crinoidea


Crinoidea hidup di laut yang dalam (±3.648 m). Hidupnya dengan cara menempel di
dasar laut, di barisan koral, atau membentuk taman laut. Bentuk tubuhnya bisa menyerupai
bunga lili, bunga bakung atau bulu burung. Tubuhnya tersusun dari lempeng kapur dan
berbentuk cangkir (kaliks). Biasanya hewan ini hidup melekat pada batu karang dengan tangkai
atau menggunakan alat pencengkram (siri) apabila tidak mempunyai tangkai. Jenis yang
sekarang masih ada misalnya Antedon sp. warna hewan ini sangat bervariasi, misalnya putih
seperti berlian, kuning, hijau dan cokelat. Reproduksi dapat terjadi secara seksual dan aseksual.
Reproduksi aseksual dengan regenerasi bagian tubuh. Reproduksi seksual dengan fertilisasi
eksternal. Crinoidea bersifat diesis. Rongga tubuhnya sempit dan memiliki gonad yang terdapat
dalam pinula. Beberapa crinoidea melepas telur ke air, tetapi ada juga yang menahannya hingga
menetas di pinula. Hasil pembuahan tumbuh menjadi larva muda yang belum mempunyai
mulut. Setelah beberapa hari larva akan lepas dari pinula dan menempel di dasar laut lalu
mengalami pertumbuhan menjadi kaliks dengan lengan. Jika kaliks hilang akan segera di
perbaharui karena daya regenerasi yang dimiliki tinggi.

2.3.6 Reproduksi Kelas Holothuroidea


Holothuroidea hidup di laut, yaitu di dasar laut dengan cara bersembunyi di
lumpur/pasir. Jika di ganggu, hewan ini akan mengerut karena gerakan kontraksi.
Holothuroidea tidak berduri dan memiliki banyak endoskeleton yang tereduksi. Tubuh bulat
memanjang tertutupi oleh kulit yang berkutikula dan tidak bersilia. Kelas Holothuroidea
contohnya tripang (timun laut) yang memiliki ciri-ciri seperti tidak dapat ditegakkan (berdiri)
karena banyak mengandung lemak sedangkan kandungan zat kapurnya sedikit. Reproduksi
seksual dilakukan melalui gametogenesis dan spawning sedangkan, reproduksi aseksual
melalui fission. Fission adalah proses pembelahan teripang menjadi 2 bagian dan akan tumbuh
menjadi individu baru. Pembelahan (fission) pada teripang dapat dirangsang (distimulasi)
melalui pengikatan pada bagian tubuh teripang (Muttaqin et al., 2013).

2.3.7. Reproduksi Kelas Ophiuroidea


Bintang mengular atau Ophiuroidea merupakan kelompok biota laut yang termasuk
kedalam filum ekhinodermata. Hewan ini merupakan salah satu biota bentik (hidup di dasar)
dan mempunyai kebiasaan bersembunyi (dwelling habit). Bintang mengular mempunyai
kemiripan dengan bintang laut, karena mempunyai bentuk tubuh yang bersimetri pentaradial.
Tubuh berbentuk cakram, yang dilindungi oleh cangkang kapur berbentuk keping (ossicle) dan
dilapisi dengan granula dan duri-duri. Di dalam tubuh (disk) terdapat berbagai organ seperti
gonad, saluran pencernaan dan sistem pem-buluh air. Dari tubuh yang berbentuk cakram ini
secara radial tumbuh 5 atau lebih tangan-tangan yang memanjang berbentuk silindris dan sangat
fleksibel. Gerakan tangan-tangan ini kadang-kadang mirip gerakan ular, oleh sebab itu biota ini
dikenal dengan nama umum bintang mengular (brittle star)
Secara umum pola perkembangan biakkan seksual dari bintang mengular dapat
dibedakan atas 3 tipe, yaitu planktotroflk, lecithotroflk, dan "abbreviated development".
Planktotroflk adalah tipe yang dikenal paling umum, ditandai oleh adanya fase larva yang hidup
aktif sebagai plankton (ophiopluteus larva). Lecithotroflk adalah tipe pertumbuhan envbriyonik
di mana fase larva yang hidup bebas absen. Dalam hal ini semua fase yang dilewati berlangsung
di dalam dinding telur dan memakan waktu cukup lama (sampai berbulan-bulan). Fase
metamorfose juga terjadi di dalam telur tersebut, sehingga sewaktu menetas telah terwujud
individu dewasa (juvenile). Tipe ketiga yang disebut "abbreviated development", mirip dengan
tipe lecithotroflk tetapi fase embryonik dalam telur berlangsung relatif sangat cepat. Tipe ketiga
ini diduga kebanyakkan dimiliki oleh bintang mengular yang hidup di tempat dalam dan hidup
pada perairan dingin (dekat kutub). Sebagai contohnya bintang mengular jenis Amphioplus
abditus hanya melalui fase embryonik dalam telur selama 4 hari, segera setelah menetas
berwujud biota dewasa yang mampu mencari makan dan menyelusup ke dalam lumpur. Selain
reproduksi seksual, bintang mengular juga mengenal reproduksi aseksual, yaitu individu yang
terpotong dua pada bagian cakramnya akan tumbuh menjadi 2 individu baru. Selanjutnya juga
dilaporkan bahwa perkembangbiakkan aseksual ini sering terjadi pada perairan yang persediaan
makanannya sangat kurang (Aziz, 1991).

2.3.8 Coral
Coral atau yang lebih dikenal dengan sebutan karang batu termasuk kelompok hewan,
tetapi berbentuk bunga. Bagian yang keras sesungguhnya merupakan cangkang dari hewan
karang batu, yang tersusun dari zat kapur CaCO3. Bagian tubuh yang lunak disebut polip karang
dan berbentuk seperti tabung dengan tentakel yang berjumlah 6 buah atau kelipatannya serta
terletak di keliling mulut. Tentakel tesebut dapat ditarik dan dijulurkan (Nontji, 2004).
Karang batu termasuk dalam kelompok Coelenterata atau Cnidaria bersama-sama dengan
karang api, karang lunak, kipas laut (sea fan), pena laut (sea pen), anemon, ubur-ubur dan
hydroid (hydrozoa). Karang batu dibagi dalam 2 kelompok: hermatipik yaitu karang yang
mampu membentuk terumbu karang dengan bantuan sel alga (zooxanthelae) yang terdapat
dalam jaringan tubuhnya. Liliey (1999) menjelaskan bahwa zooxanthelae berperan sebagai
pensuplai makanan bagi karang batu. Sedangkan kelompok ahermatipik adalah kelompok
yang tidak mempunyai zooxanthella dan hidup di tempat yang dalam serta tidak membentuk
terumbu karang.

2.3.9 Mollusca
Menurut Nontji (2004) menyatakan bawha Moluska merupakan hewan yang
bertubuh lunak, ada yang bercangkang dan tidak bercangkang. Cangkangnya berfungsi untuk
melindungi tubuhnya yang lunak. Filum moluska ini terbagi dalam tujuh kelas yaitu:
a. Monoplacophora
Hewan bercangkang keping tunggal dan sangat kecil, sehingga jarang ditemukan.
b. Polyplacophora
Hewan bercangkang keping banyak, misalnya Chiton (hidup di daerah pasang surut,
melekat dengan kuat di batu- batu).
c. Aplacophora
Hewan tanpa keping cangkang, bersifat bentik, misalnya: Archiannelida, cacing
primitif (tubuhnya seperti cacing, tanpa cangkang).
d. Gastropoda
Hewan bercangkang tunggal, berjalan dengan perutnya, misalnya jenis keong (Turbo
sp, Conus sp dan Charonia sp.)
e. Pelecypoda/Bivalvia
Hewan bercangkang setangkup, misalnya jenis kerang-kerangan (Tridacna sp atau
Kima; Mytilus sp atau kerang hijau dan Pinctada sp atau kerang mutiara).
f. Scaphopoda
Hewan bercangkang seperti tanduk/ gading yang berlubang di kedua ujungnya, misalnya
Dentalium (hidup dengan menggali pasir).
g. Cephalophoda
Hewan bercangkang di dalam (internal), misalnya cumi-cumi, sotong dan gurita.
Moluska dapat hidup di semua jenis habitat baik di darat, air tawar, air payau dan air
laut. Kebanyakan moluska hidup di air laut. Di perairan tawar hanya diwakili oleh kelas
Pelecypoda dan Gastropoda, sedangkan moluska darat kebanyakan diwakili oleh kelas
Gastropoda. Kelompok moluska jenis Gastropoda banyak ditemukan di daerah pasang
surut yang pada umumnya bersembunyi di balik batu, melekat pada tumbuhan air atau
membenamkan diri di pasir. Pada pantai yang berpasir umumnya lebih banyak dijumpai
kerang (Pelecypoda) daripada keong (Gastropoda). Kelas Gastropoda merupakan
kelompok moluska laut yang terbanyak misalnya Turbo melanoticus, Conus sp dan
Charonia sp. Terdapat moluska yang tidak mempunyai cangkang yaitu nudibranch (disebut
juga kelinci laut). Tubuhnya berwarna-warni bergerak dengan gerakan seperti menari.
Hewan ini banyak ditemukan pada rataan atau lereng terumbu karang (Marwoto dan
Sinthosari, 1999).
Kelas Pelecypoda/Bivalvia dengan cangkang setangkup, biasanya hidup di dasar laut
atau ditemukan melekat dengan kakinya yang disebut "bysus". Makanannya berupa
plankton yang tersaring melalui lubang yang terdapat di dalam tubuhnya atau disebut juga
hewan penyaring, sedangkan kelas Cephalophoda, adalah kelompok yang mempunyai
cangkang di dalam yaitu cumi-cumi, sotong dan gurita. Cumi-cumi dan sotong akan
mengeluarkan alat bela diri yang berupa cairan hitam seperti tinta, apabila dalam keadaan
bahaya. Pada kelompok yang memiliki cangkang di luar dalam kelas ini adalah Nautilus.
Nautilus memiliki kemampuan berubah warna sesuai dengan kondisi lingkunganya,
sehingga tidak terlihat oleh pemangsanya. Hal ini disebabkan Nautilus mempunyai
kemampuan mimikri (Romimohtarto dan Yuwana, 1999).
2.3.9 Sponge
Sponges termasuk dalam kelompok Porifera yaitu hewan yang mempunyai tubuh
berpori-pori atau saluran. Melalui pori-pori dan saluran ini, air akan diserap oleh sel khusus
yang disebut dengan "sel leher " (collar cell). Sebagian besar dari kelompok hewan ini hidup
di laut dan hanya beberapa jenis saja yang hidup di air tawar (Lilley, 1999).
Larva hewan ini dapat menyebar secara luas, terbawa arus dan bergerak sangat aktif,
tetapi setelah dewasa hidup melekat dan menetap pada karang batu dan dasar laut.
Makanannya berupa zooplankton atau hewan kecil dan bakteri yang terbawa arus serta masuk
ke dalam tubuhnya (Tjakrawidjaya, 1999).
Jenis hewan ini banyak dijumpai di laut dengan bentuk dan warna yang sangat
beraneka dan sangat menarik, hal ini disebabkan oleh zooxanthellae yang hidup dalam
jaringan tubuhnya. Sponge juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena masyarakat telah
banyak mengunakannya sebagai bahan dasar kosmetika dan bahan obat-obatan (Marwoto
dan Sinthosari, 1999).

2.3 Tumbuhan Laut


2.3.1 Alga
Menurut Liliey (1999) menyatakan bahwa jenis tumbuhan yang banyak ditemui di laut
salah satunya adalah alga atau rumput laut. Alga termasuk kelompok tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai bahan pangan, bahan obat-obatan, bahan kimia industri dan juga sebagai
bahan pupuk pertanian. Alga banyak dijumpai di daerah terumbu karang dengan warna yang
bermacam-macam. Perbedaan warna tersebut disebabkan oleh kandungan pigman
(chlorophyl) yang terdapat pada tumbuhan tersebut. Berdasarkan warnanya maka alga dapat
dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
a. Chlorophyta yaitu alga yang mengandung pigmen berwarna hijau, misalnya:
Halimeda sp., Caulerpa sp. dan Ulva sp.
b. Phaeophyta yaitu alga yang mengandung pigmen berwarna coklat, misalnya: Padina spp.,
Sargassum spp.
c. Rhodophyta yaitu alga yang mengandung pigmen merah, misalnya: Gracilaria spp.,
Eucheuma spp., Gelidium spp. dan Hypnea spp.
Alga adalah tumbuhan rendah, karena tidak memiliki batasan antara batang, bunga dan
buah. Alga memiliki potensi sebagai bahan pembuat agar-agar seperti Gracilaria dan
Gelidium, yang banyak terdapat di padang lamun dan daerah terumbu karang terbuka.
Eucheuma sp., selain penghasil agar, alga juga merupakan penghasil karaginan (bahan untuk
kosmetika, industri, dan farmasi). Alga juga berpotensi sebagai bahan pupuk, makanan hewan
dan sumber alginat, contohnya Sargassum sp. Sedangkan Caulerpa sp, merupakan jenis
rumput laut yang mahal, karena selain bermanfaat sebagai sayur mayur bagi manusia juga dapat
dijadikan makanan ternak (Nontji, 2004).
2.3.2 Lamun
Lamun adalah jenis tumbuhan Angiospermae yang dapat membentuk padang dan
memiliki kontribusi secara ekologi yang cukup signifikan dalam meningkatkan kekayaan dan
kelimpahan jenis organisme lain seperti ikan, invertebrata dan tumbuhan epifit. lamun
dikelompokkan dalam kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang masuk dalam sub
kelas Monocotiledoneae. Lamun dapat bereproduksi melalui metode seksual dan aseksual.
Siklus reproduksi lamun secara seksual dilakukan di bawah air dan struktur reproduksi lamun,
secara seksual terdiri dari bunga dan buah. Pada sistem reproduksi seksual, tumbuhan
memproduksi bunga dan serbuk dipindahkan dari bunga jantan ke ovarium bunga betina.
Kebanyakan spesies lamun memproduksi bunga seks tunggal pada setiap individu, sehingga
tumbuhan ini mempunyai dua jenis tumbuhan jantan dan betina yang berbeda. Selain
reproduksi secara seksual lamun dapat melakukan reproduksi secara aseksual. Struktur
morfologi lamun terdiri dari akar, batang dan daun. Fungsi dari tiap organ lamun adalah daun
sebagai organ fotosintesis, sedangkan akar serta rhizoma berfungsi sebagai jangkar untuk
menempel pada substrat dan menyerap nutrient dari lingkungan sekitar (Syukur, 2015;
Wahyudin et al., 2016).

Gambar 1. Ilustrasi komposit yang menunjukkan ciri-ciri morfologi untuk membedakan


kelompok taksonomi lamun utama (McKenzie, 2008 dalam Wahyudin et al., 2016).
Tumbuhan lamun termasuk dalam golongan tumbuhan tingkat tinggi, karena batang,
daun, bunga dan buahnya dapat diibedakan dengan jelas. Juga merupakan tumbuhan
berbunga (Angiospermae), mempunyai daun, rimpang (rhizoma) dan akar, sehingga mirip
dengan rumput di darat. Kebanyakan lamun hidup di perairan yang relatif tenang, bersubstrat
pasir halus dan lumpur. Di perairan Indonesia hanya dikenal 12 jenis, di antaranya
adalah: Thalassia hemprichii, Halodule univervis, Thalassodendron ciliatum,
Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, Enhalus acoroides, dan Syringodium
isoetifolium. Manfaat lamun sangat banyak seperti, penyaring limbah, stabilator pantai,
sebagai bahan pabrik kertas, sumber bahan kimia penting, pupuk, makanan dan obat-obatan.
Secara tradisional tumbuhan lamun dapat dianyam menjadi keranjang, cerutu dan mainan anak
(Tjakrawidjaya, 1999).
2.3.3 Mangrove
Tumbuhan berbunga lainnya selain lamun adalah tumbuhan mangrove yang dapat
bertahan hidup pada perairan dengan kadar garam yang tinggi dan ketersediaan oksigen yang
terbatas. Ciri khas tumbuhan ini akarnya berupa akar nafas yang muncul ke permukaan tanah
dan berfungsi untuk bernafas atau untuk mengambil kebutuhan oksigen sebanyak-banyaknya,
sehingga dapat bertahan hidup apabila terendam air. Bentuk daun biasanya tebal, untuk
menampung air sebanyak- banyaknya, sehingga dapat bertahan hidup di lingkungan yang
berkadar garam tinggi. Macam-macam jenis mangrove diantaranya Avecinnia spp., Bruguiera
spp., Sonneratia spp., Ceriops spp. dan Rhizophora spp. (Lilley, 1999).
Keistimewaan daerah mangrove adalah dapat menunjang produksi makanan laut dengan
menyediakan zat hara ke goba atau danau di daerah pantai dan ke perairan pantai di sekitarnya,
serta dapat menjadi daerah asuhan bagi hewan-hewan terutama krustasea dan ikan. Secara fisik
mangrove bermanfaat sebagai penahan gelombang laut, sehingga dapat mempertahankan
struktur darat yang terkait dengan lokasi tumbuhnya mangrove. Selain itu juga dapat berfungsi
sebagai penyaring masuknya air laut ke darat (Tjakrawidjaya, 1999).
Menurut Sukardjo (1985), mangrove adalah tumbuhan tropik dan subtropik yang
membentuk ekosistem hutan mangrove. Hutan Mangrove yang luas dan berkembang baik
terdapat di wilayah tropik. Mangrove umumnya tumbuh di daerah pantai yang terlindung dan
airnya dangkal. Reproduksi mangrove berlangsung secara seksual dan terbagi menjadi 2
berdasarkan tipe perkembangan bijinya. Reproduksi mangrove kebanyakan bersifat vivipar,
yaitu biji berkecambah di pohon induknya sebelum jatuh, contoh spesies yang termasuk bersifat
vivipar adalah Rhizophora spp. Reproduksi ini menghasilkan biji atau propagul yang mampu
menetap di perairan dangkal sebelum tersapu keluar oleh angin dan pasang. Perpanjangan
bagian hipokotilnya menjulur ke bawah menuju air dan apabila dibawa angin atau arus menuju
ke tempat yang dangkal, dengan sempurna akan menduduki tempatnya di dasar. Akar-akarnya
dengan cepat berkembang dan menembus ke substratnya.
Halidah (2014) menyatakan bahwa adapun sistem reproduksi mangrove bersifat
kryptovivipary, yaitu biji tumbuh keluar dari kulit biji saat masih menggantung pada tanaman
induk, tetapi tidak tumbuh keluar menembus buah sebelum biji jatuh ke tanah. Contohnya
adalah spesies Avicennia marina yang memiliki buah berbentuk bulir seperti mangga, ujung
buah tumpul dan panjang 1 cm.
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sistem reproduksi biota laut terjadi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara
seksual terjadi fertilisasi atau pembuahan yang dilakukan oleh dua individu yang
mempunyai alat kelamin jantan dan betina, contohnya ikan. Sedangkan reproduksi
secara aseksual adalah tanpa terjadinya fertilisasi, biasanya terjadi pada jenis crustacean
2. Potensi pemanfaatan biota laut untuk kegiatan dilakukan dengan beberapa tujuan antara
lain untuk komersial, konservasi, potensi sumber pakan alami, dan potensi penggunaan
teknologi GIS dan 3D dalam mendukung budidaya perikanan.

3.2 Saran
1. Sebaiknya budidaya dilakukan sesuai dengan keadaan atau kebiasaan makan biotanya.
2. Sebaiknya sistem budidaya dilakukan sesuai dengan keadaan biotanya.
DAFTAR PUSTAKA

Halidah. 2014. Avicennia marina (Forssk.) Vierh Jenis Mangrove yang Kaya Manfaat. Info
Teknis Eboni., 11(1): 37 – 44.
Hermawan, A., A. Siti dan Fatchiya. 2017.Partisipasi Pembudidayaan Ikan dalam Kelompok
Usaha Akuakultur di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan.,
17(1):1-13.
Lilley, G.R. 1999. Buku Panduan Pendidikan Konservasi. Terumbu Karang Indonesia.
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Natural Resources
Management Program, USAID, Yayasan Pustaka Alam Nusantara dan The
Nature Conservacy (Edisi Pertama), 1-55.
Marwoto, R.M. dan A. M. Sinthosari. 1999. Pengelolaan Koleksi Moluska. Dalam: Buku
Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi. Yayuk, R. Suhardjono (Ed).
Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 1-218.
Nontji, A. 2004. Upaya Anak Bangsa dalam Penyelamatan dan Pemanfaatan Lestari Terumbu
Karang. COREMAP TAHAP. Kantor Pengelola Program COREMAP, Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 1-130.
Pratiwi, R dan Rahmat.2015. Sebaran Kepiting Mangrove (Crustacea: Decapoda) Yang
Terdaftar Di Koleksi Rujukan Pusat Penelitian Oseanografi-Lipi 1960-
1970.14(2):195-203
Pratiwi, Rianta. 2007. Sebaran Kepiting Mangrove (Crustacea: Decapoda) Yang Terdaftar Di
Koleksi Rujukan Pusat Penelitian Oseanografi-Lipi 1960-1970. Jurnal Perikanan.,
4(2):322-328
Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Sitio, M. H. S., D. Jubaedah dan M. Syaifudin. 2017. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Benih Ikan Lele (Clarias Sp.) Pada Salinitas Media Yang Berbeda. Jurnal
Akuakultur Rawa Indonesia., 5(1) : 83-96.
Sukardjo, S. 1985. Hutan Berair Melimpah di Indonesia. Oseana., 10(2): 62-77.
Syukur, A. 2015. Distribusi, Keragaman Jenis Lamun (Seagrass) dan Status Konservasinya di
Pulau Lombok. Jurnal Biologi Tropis., 15(2): 171-182.
Tjakrawidjaya, A. H. 1999. Pengelolaan Koleksi Ikan. Dalam:Buku Pegangan Pengelolaan
Koleksi Spesimen Zoologi. (Suhardjono, Y.R. ED). Balai Penelitian dan
Pengembangan Zoologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Wahyudin, Y., T. Kusumastanto., L. Adrianto dan Y. Wardiatno. 2016. Jasa Ekosistem Lamun
Bagi Kesejahteraan Manusia. Omni Akuatika.,12(3): 29-46

Anda mungkin juga menyukai