Disusun Oleh :
1.2. Tujuan
1. Mengetahui sistem reproduksi biota laut.
2. Mengetahui potensi pemanfaatan biota laut untuk kegiatan budidaya.
1.3. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui sistem reproduksi biota laut secara umum.
2. Mahasiswa dapat mengetahui potensi pemanfaatan jenis biota laut untuk kegiatan
budidaya.
II. ISI
2.1 Biota Laut
Biota laut terbagi atas 2 kelompok yaitu kelompok hewan dan kelompok tumbuhan, sifat-
sifat dari biota tersebut untuk mengenal biota laut lebih jauh. Menurut Romimohtarto dan
Juwana (1999) berdasarkan sifatnya, biota laut dibagi menjadi tiga katagori antara lain.
1. Plankton terbagi dua, yaitu :
a. Fitoplankton (plankton tumbuhan): alga biru, alga coklat, alga merah, dinoglagellata
dan lain-lain.
b. Zooplankton (plankton hewan): lucifer, acetes (udang rebon), ostracoda, cladocera
dan lain-lain
2. Nektonik
Nektonik merupakan biota yang berenang-renang (hanya terdiri dari hewan saja):
ikan, ubur-ubur, sotong, cumi-cumi dan lain-lain.
3. Bentik
Bentik merupakan biota yang hidup di dasar atau dalam substrat, baik tumbuhan maupun
hewan. Terbagi dalam 3 macam:
1. Menempel seperti sponge, teritip, tiram dan lain-lain
2. Merayap seperti kepiting, udang karang yang kecil-kecil dan lain-lain.
3. Meliang seperti cacing, kerang dan lain-lain.
Jadi pada dasarnya pembagian biota- biota di laut bukan berdasarkan ukuran besar atau
kecil, tetapi berdasarkan pada kebiasaan atau sifat hidupnya secara umum, seperti gerakan
berjalan, pola hidup dan sebaran menurut ekologi. Banyak biota laut yang di dalam siklus
hidupnya mempunyai lebih dari satu sifat, yaitu sewaktu larva hidup sebagaiplanktonik dan
berubah sifat menjadi nektonik atau bentik saat juvenile (juwana) ataupun saat dewasa
contohnya udang, kepiting, ikan dan lain-lain (Lilley, 1999).
2.2 Reprpduksi
2.2.1 Reproduksi Seksual
Reproduksi seksual adalah reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum
(fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih komplek karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui
sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan baru kemudian pertumbuhan dan
pematangan). Karang berkembang biak secara seksual (perkawinan) dan aseksual
(pembelahan). Sel jantan dan betina akan bertemu sehingga terjadi pembuahan dan
menghasilkan larva planula. Larva tersebut bersifat plantonik, terbawa arus dan melekat di
dasar yang sesuai. Setelah melekat di suatu substrat maka terjadi perkembangbiakan secara
pembelahan, yang dimulai dengan pembelahan polip-polip karang dan kemudian akan
membentuk koloni. Pertumbuhan karang sangat lambat sekali tergantung dari bentuk koloni
karang batu dan kondisi lingkungan tempat hidup karang batu. Karang batu mempunyai
bermacam-macam bentuk diantaranya bercabang, berbentuk lembaran daun, berbentuk massif
atau keras, berbentuk bulat dan berbentuk seperti jamur (Romimohtarto dan Juwana, 1999).
2.2.2. Reproduksi Aseksual
Reproduksi aseksual pada hewan karang melibatkan sejumlah proses dimana
pembentukan koloni baru terjadi melalui pemisahan atau pelepasan sebagian jaringannya
melalui fragmentasi dan polip bailout. Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak
melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada reproduksi ini,
polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan
tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni dan ada pembentukan koloni baru.
Fragmentasi adalah cara reproduksi aseksual paling umum terutama pada karang
bercabang dan berbentuk lembaran tipis (foliose). Fragmen atau potongan jaringan hewan
karang yang terlepas dari koloni induk yang kemudian jatuh pada dasar perairan akibat berbagai
kejadian seperti arus dan gelombang yang kuat, ikan predator atau faktor fisik lainnya. Bila
fragmen tepat berada di atas permukaan substrat yang keras, jaringan karang akan menempel
dan mulai tumbuh mejadi koloni karang baru melalui pertunasan. Pembentukan koloni baru
hewan karang dari fragmen gagal terjadi akibat terlepas kembali oleh arus atau gelombang yang
kuat.
Pada kondisi tertentu beberapa jenis hewan karang, polip atau jaringan yang ada pada
fragmen karang dapat terlepas dan berenang bebas atau terbawa arus sampai menemukan
substrat yang tepat untuk menempel dan tumbuh membentuk koloni baru. Kejadian ini dikenal
dengan polyp bailout yang selalu aktif melepaskan diri dari jaringan/skleton induk. Pada cara
yang sama, sebagian hewan karang dapat melepaskan bola-bola jaringan hidupnya dari sekitar
skleton yang telah mati atau pelepasan ooze dari kalis polip yang kemudian terdifferensiasi
menjadi polip baru yang tumbuh menjadi koloni hewan karang baru. Reproduksi aseksual
hewan karang dapat juga terjadi dari larva yang dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi melalui
proses partenogenesis.
2.3 Kelompok Biota Laut
2.3.1 Ikan
2.3.1.1 Ikan
Ikan termasuk hewan yang memiliki tulang belakang (vertebrata), berdarah dingin dan
mempunyai insang. Jenis hewan ini merupakan penghuni laut yang banyak yaitu sekitar
42,6% atau sekitar 5000 jenis yang telah diidentifikasi, mempunyai keanekaragaman jenis
yang tinggi baik dalam bentuk, ukuran, warna dan sebagian besar hidup di daerah terumbu
karang (Nontji, 2004).
Ikan dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu Agnata, merupakan ikan primitif seperti
Lampreys dan Hagfishes; ikan bertulang rawan (Chondrichthyes), misalnya: ikan cucut (hiu)
dan ikan pari; dan ikan bertulang sejati (Osteichthyes = Teleostei). Ikan cucut (hiu) dan ikan
pari (ikan bertulang rawan) adalah jenis ikan yang relatif mudah ditangkap, terdapat dalam
jumlah yang besar di perairan Indonesia. Jenis-jenis yang banyak ditangkap adalah Zygaena
sp (hiu martil = hammer-head shark); Galeorphynus australis (hiu caping); Lamna nasus (hiu
gergaji); Alopias vulpinis (hiu parang) dan Prionace glauca (hiu biru). Sedangkan jenis yang
sering terlihat di daerah terumbu karang adalah Carcharhinus spp (black tip reef),
Triaenodon spp (white tip reef) dan Carcharhinus amblyrhychos (cucut moncong putih).
Hiu merupakan ikan yang serbaguna, hampir semua tubuhnya mulai dari ujung kepala hingga
ujung ekor dapat dimanfaatkan, termasuk organ dalamnya. Bagian tubuh terpenting yang
mempunyai nilai ekonomi tertinggi adalah sirip dan hatinya (Tjakrawidjaya, 1999).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (1999) menyatakan bahwa ikan bertulang sejati
merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik sebagai ikan hias ataupun sebagai ikan
konsumsi. Ikan konsumsi yang merupakan komoditi andalan adalah Thunnus spp (tuna);
Katsuwanus pelamis (cakalang); Sardinella longiseps (lemuru) dan Rastrelliger spp
(kembung). Selain itu ada pula ikan yang tergolong dibudidayakan seperti Chanos
chanos (bandeng) yang secara tradisi dibudidayakan di tambak; ikan beronang (Siganidae);
kerapu (Serranidae) dan kakap putih (Lates calcarifer) juga sudah mulai dicoba untuk
dibudidayakan. Sedangkan jenis ikan hias yang mudah dan paling umum dijumpai di terumbu
karang adalah dari kelompok Pomacentridae, termasuk " anemonfish" dan "angelfish" yang
memiliki warna sangat indah. Disamping itu juga dari kelompok Chaetodontidae,
Zanclidae Lethrinidae dan Haemulidae.
2.3.1.2 Reproduksi Ikan
a. Telur Pelagis
Telur-telur yang bersifat pelagis ini mempunyai berat jenis yang sama atau lebih ringan
dari berat jenis air laut, sehingga telur tersebut dapat melayang di kolom perairan atau
mengapung di permukaan. Larva yang menetas dari jenis telur ini akan hidup secara planktonik
selama beberapa jam sampai berbulan-bulan, tergantung dari jenis ikannya. Jenis telur pelagis
dibagi menjadi dua tipe, yaitu yang melepaskan telur di kolom perairan (Pelagic spawners) dan
yang melepaskan telurnya di dasar perairan (Benthic broadcasters).
Ikan-ikan pelagic spawners lebih sering ditemui daripada ikan-ikan benthic broadcasters.
Hal ini disebabkan karena pada ikan-ikan yang berukuran kecil, ketika memijah cenderung
berenang di kolom perairan untuk melepaskan telur-telur tersebut kemudian akan mengapung
di permukaan atau melayang-layang di kolom perairan. Telur-telur tersebut kemudian
dihanyutkan ke lepas pantai ataupun disebarkan ke tempat lain dengan bantuan arus dan angin.
Cara seperti ini biasanya dilakukan oleh ikan-ikan yang cenderung hidup tidak jauh dari sarang
atau teritorialnya, karena dapat mengurangi kemungkinan mendapat ancaman dari predator
ketika melepaskan telur-telurnya ke kolom perairan.
Ikan-ikan yang melepaskan telurnya dari dasar perairan (Benthic broadsasters), tidak
perlu berenang di kolom perairan untuk melepaskan telur-telurnya, melainkan tetap berada di
dasar perairan. Telur-telur yang dilepaskannya akan melayang ke kolom perairan atau
mengapung di permukaan. Sebagai contoh adalah belut laut (Anguiliformes) yang hidup di
terumbu karang. Belut merupakan jenis ikan yang melepaskan telur-telurnya dengan cara
seperti ini. Akan tetapi pada beberapa jenis belut melakukan migrasi jauh ke lepas pantai.
terlebih dahulu sebelum memijah.
b. Telur Demersal
Strategi reproduksi kedua yang umum terjadi pada ikan-ikan laut tropis adalah jenis telur
demersal (Demersal eggs). Jenis telur ini mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada berat
jenis air laut sehingga dapat tenggelam di dasar perairan. Ikan-ikan yang melakukan hal seperti
ini dibedakan lagi menjadi dua kategori, yaitu yang memijah di dasar (Demersal spawners) dan
yang melepaskan telurnya di kolom perairan (Egg scatterers). Pada ikan-ikan yang memijah di
dasar perairan, umumnya melakukan penjagaan terhadap telur ataupun anak-anaknya. Beberapa
tipe penjagaan induk yang dilakukan seperti persiapan dan penjagaan sarang, atau dengan
menyimpan telur-telurnya di dalam mulut induk (Mounth broading). Sedangkan pada ikan-ikan
yang melepaskan telurnya di kolom perairan, tidak melakukan penjagaan terhadap telur-
telurnya. Ikan-ikan ini berenang di kolom perairan lalu melepaskan telur-telurnya. Telur-telur
tersebut kemudian tenggelam dan bertebaran di dasar perairan.
c. Melahirkan
Strategi reproduksi ketiga pada ikan-ikan laut tropis adalah menetaskan telur di dalam
tubuh induk betina, kemudian dikeluarkan dalam bentuk larva ikan atau juvenil ke kolom
perairan. Cara ini merupakan cara yang tidak umum terjadi pada ikan-ikan laut tropis, terutama
pada ikan-ikan bertulang sejati. Melahirkan anak pada ikan-ikan laut tropis diduga lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan ikan-ikan yang hidup di perairan tawar. Hal ini mungkin
disebabkan cara tersebut kurang menguntungkan apabila dilakukan di laut. Ikan yang
mempunyai cara seperti ini mempunyai fekunditas yang rendah dan kondisi induk betina yang
sedang mengandung anaknya sangat rentan dari bahaya lingkungan di sekitarnya.
Hermaproditisme adalah kondisi dimana pada satu individu hewan yang mempunyai dua
organ reproduksi yaitu jantan dan betina. Hermaproditisme dapat juga merupakan kemampuan
organisme untuk merubah jenis kelaminnya (Sex inversion). Terdapat tiga tipe hermaproditisme
ikan-ikan bertulang sejati, yaitu hermaprodit simultan, protoginous dan protandrous.
Hermaprodit simultan terjadi apabila satu individu dapat menghasilkan sperma dan sel telur,
sehingga memungkinkan untuk dapat membuahi dirinya sendiri. Hermaprodit protoginous
adalah ikan yang mengalami perubahan kelamin dari betina menjadi jantan, dimana gonadnya
semula berfungsi sebagai ovari kemudian berubah fungsi menjadi testes. Pada
hermaproditprotandrous merupakan kebalikan dari protoginous, yaitu ikan yang mengalami
perubahan kelamin dari jantan menjadi betina. Hermaprodit protoginous dan protandrous
disebut juga dengan hermaprodit sekuensial. Hermaproditisme merupakan hal yang umum pada
ikan-ikan laut tropis, terutama ikan-ikan karang.
2.3.2 Crustacea
Kelompok hewan ini terdiri dari udang dan kepiting umumnya hidup di lubang- lubang,
celah-celah terumbu karang atau di balik bongkahan batu dan karang. Aktivitas kelompok hewan
ini dilakukan pada malam hari, misalnya waktu mencari makan dan kegiatan lainnya, sedangkan
siang hari dipergunakan untuk bersembunyi. Beberapa jenis krustasea memiliki nilai ekonomi
yang penting yaitu "lobster" atau udang karang (Panulirus sp), udang windu (Penaeus
monodon) selalu diburu karena merupakan sumberdaya laut yang sangat potensial. Namun di
alam, keberadaan jenis ini sudah semakin mendekati kepunahan dan perlu dilindungi seperti
juga halnya dengan mimi, Tachypleus gigas (Horse shoe crab) (Lilley, 1999).
Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air laut dan air tawar. Kata Crustacea
berasal dari bahasa latin yaitu kata Crusta yang berarti cangkang yang keras. Ilmu yang
mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi. Crustacea mempunyai kulit (cangkang)
yang keras disebabkan adanya endapan kalsium karbonat pada kutikula. Semua atau sebagian
ruas tubuh mengandung apendik yang aslinya biramus. Bernafas dengan insang atau seluruh
permukaan tubuh. Kelenjar antena (kelenjar hijau) atau kelenjar maxilla merupakan alat
ekskresi. Proses reproduksi pada crustacea hampir semuanya sama, kecuali jenisjenis tertentu,
crustacea jenis dioecious, melakukan pembuahan di dalam tubuh. Sebagian besar lainnya
mengerami telurnya. Tipe awal larva crustacea pada dasarnya adalah larva nauplius yang
berenang bebas sebagai plankton. Ciri khas kepala crustacea dewasa ialah adanya sepasang
antena pertama, sepasang antena kedua, sepasang mandibula, sepasang maxilla pertama dan
sepasang maxilla kedua (Pratiwi dan Rahmat. 2015).
Krustasea adalah hewan yang termasuk dalam filum arthropoda (hewan beruas-ruas).
Sebagian besar crustacea hidup akuatis, dan bernapas dengan insang. Eksoskeleton keras, terdiri
dari kitin yang berlendir dan mempunyai antena sepasang. Alat-alat tambahan bersifat tipikal
biramus(bercabang dua). Kepala terbentuk sebagai persatuan segmen-segmen, kadang-kadang
bersatu dengan dada membentuk sefalotoraks (cephalus: kepala, thorax: dada). Contoh udang :
udang air tawar (shrimp) Cambarus sp, udang laut (lobster) Panulirus sp, dan kepiting atau
rajungan dan ketam (Pagurus sp, Cancer sp, dan Uca sp) (Pratiwi, 2007).
2.3.2.1 Reproduksi Crustacea
Reproduksi aseksual pada crustacea tidak ada. Umumnya berkembang biak secara
parthenogenesis. Namun bagi spesies tertentu pada saat bersamaan terjadi baik reproduksi
secara parthenogenesis maupun singamik terjadi kopulasi dan pembuahan di dalam. Telur yang
telah dibuahi dan telur parthenogenesis dierami oleh betina selama beberapa hari. Beberapa
jenis phyllopoda menghasilkan dua macam telur, bercangkang tipis yang secara meretas dan
telur dorman bercangkang tebal yang tahan panas, dingin maupun kekeringan. Kedua macam
telur tersebut dapat terjadi baik ada jantan maupun tanpa jantan dalam populasi. Perkembangan
embrio dalam telur mulai terjadi selama waktu pengeraman, kemudian dilepas ke air kelompok
demi kelompok dengan selang waktu 2 sampai 6 hari. Telur menetas menjadi larva nauplius
atau metanauplius tergantung spesiesnya (Serosero et al., 2019).
Menurut Pratiwi dan Rahmat (2015), pada reproduksi jenis udang bahwa kelamin
terpisah (diesius) baik testes maupun ovarium bilobat. Testes melepaskan sperma ke dalam
duktus spermatikus terus ke pori-pori yang terdapat di dasar pasangan kaki untuk berjalan yang
kelima. Oviduk melepaskan telur dari ovarium ke lubang-lubang pada dasar pasangan kaki
untuk berjalan. Stadium embrional diselesaikan ketika telur masih bertaut dengan “swimmeret-
swimmeret” hewan betina. Bahkan larva telah menetas pun tetap tertaut padanya untuk
beberapa lama.
2.3.3 Echinodermata
Echinodermata adalah filum hewan terbesar yang tidak memiliki anggota yang hidup di
air tawar atau darat. Echinodermata merupakan kelompok hewan berduri yang bergerak lamban
dengan bantuan kaki tabung, dan ditemukan di hampir semua kedalaman laut. Duri-duri yang
melekat di tubuhnya itu bermacam-macam ada yang tajam, kasar dan atau hanya berupa
tonjolan saja. Hewan-hewan ini juga mudah dikenali dari bentuk tubuhnya kebanyakan
memiliki simetri radial, khususnya simetri radial pentameral (terbagi lima) (Simatupang et al.,
2017). Keberadaan Echinodermata di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik
faktor biotik dan abiotik yang saling terkait satu dengan yang lain, serta interaksi antara
berbagai spesies yang membentuk sitem (Katili, 2015). Walaupun terlihat primitif,
Echinodermata adalah filum yang berkerabat relatif dekat dengan Chordata (yang di dalamnya
tercakup vertebrata) dan simetri radialnya berevolusi secara sekunder. Echinodermata dibagi
ke dalam lima kelas yaitu Kelas Asteriodea, Kelas Crinoidea, Kelas Echinodea, Kelas
Holothuroidea dan Kelas Ophiuroidea (Nugroho dan Pudjiono, 2017).
Jenis yang termasuk kelompok ekhinodermata adalah bintang laut (Linckia laevigata),
bulu babi (Diadema setosum), timun laut atau tripang (Holothuria nobilis), lili laut
(Lamprometra sp), bintang mengular (Ophiothrix fragilis), mahkota seribu atau mahkota
berduri (Acanthaster planci). Semua jenis dari kelompok ini mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi baik untuk dijadikan bahan makanan maupun untuk bahan hiasan di akuarium, kecuali
bulu seribu, mahkota seribu atau mahkota duri merupakan jenis yang merusak, karena bila
populasinya berlimpah akan memakan polip-polip karang dan menyebabkan karang berwarna
putih serta lama kelamaan sebagian populasi karang akan rusak dan mati (Pratiwi, 2006).
2.3.3.1. Reproduksi Echinodermata
Echinodermata bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara aseksual
dengan pembelahan fisik, yaitu penyekatan dan pemisahan pisin pusat (piringan kecil di pusat
tubuh), kemudian masing-masing bagian tubuh yang terpisahakan melakukan regenerasi
menjadi individu yang lengkap. Pembuahan terjadi secara eksternal yang akan menghasilkan
larva berbetuk simetri bilaterla, kemudian larva tersebut turun ke substrat dan bermetamorfosis
menjadi individu yang berbentuk simetri radial. Beberapa spesies ada yang mengerami
telurnya. Echinodermata berkembang biak secara seksual, yakni hewan jantan dan betina yang
melepaskan sel gametnya ke air laut, dan proses fertilisasi yang berlangsung secara eksternal
(di dalam air laut) (Ahmad, 2018).
Didalam perkembangbiakan echinodermata itu bersifat deoseus bersaluran reproduksi
sederhana. Reproduksi seksual anggota filum echinodermata umumnya melibatkan individu
jantan dan betina yang terpisah dan membebaskan gametnya ke dalam air laut. Zigot yang
dihasilkan berkembang menjadi larva yang simetris bilateral bersilia berenang mengikuti massa
air laut sehingga daerah persebarannya menjadi sangat luas (Jalalludin dan Ardesan, 2017).
2.3.8 Coral
Coral atau yang lebih dikenal dengan sebutan karang batu termasuk kelompok hewan,
tetapi berbentuk bunga. Bagian yang keras sesungguhnya merupakan cangkang dari hewan
karang batu, yang tersusun dari zat kapur CaCO3. Bagian tubuh yang lunak disebut polip karang
dan berbentuk seperti tabung dengan tentakel yang berjumlah 6 buah atau kelipatannya serta
terletak di keliling mulut. Tentakel tesebut dapat ditarik dan dijulurkan (Nontji, 2004).
Karang batu termasuk dalam kelompok Coelenterata atau Cnidaria bersama-sama dengan
karang api, karang lunak, kipas laut (sea fan), pena laut (sea pen), anemon, ubur-ubur dan
hydroid (hydrozoa). Karang batu dibagi dalam 2 kelompok: hermatipik yaitu karang yang
mampu membentuk terumbu karang dengan bantuan sel alga (zooxanthelae) yang terdapat
dalam jaringan tubuhnya. Liliey (1999) menjelaskan bahwa zooxanthelae berperan sebagai
pensuplai makanan bagi karang batu. Sedangkan kelompok ahermatipik adalah kelompok
yang tidak mempunyai zooxanthella dan hidup di tempat yang dalam serta tidak membentuk
terumbu karang.
2.3.9 Mollusca
Menurut Nontji (2004) menyatakan bawha Moluska merupakan hewan yang
bertubuh lunak, ada yang bercangkang dan tidak bercangkang. Cangkangnya berfungsi untuk
melindungi tubuhnya yang lunak. Filum moluska ini terbagi dalam tujuh kelas yaitu:
a. Monoplacophora
Hewan bercangkang keping tunggal dan sangat kecil, sehingga jarang ditemukan.
b. Polyplacophora
Hewan bercangkang keping banyak, misalnya Chiton (hidup di daerah pasang surut,
melekat dengan kuat di batu- batu).
c. Aplacophora
Hewan tanpa keping cangkang, bersifat bentik, misalnya: Archiannelida, cacing
primitif (tubuhnya seperti cacing, tanpa cangkang).
d. Gastropoda
Hewan bercangkang tunggal, berjalan dengan perutnya, misalnya jenis keong (Turbo
sp, Conus sp dan Charonia sp.)
e. Pelecypoda/Bivalvia
Hewan bercangkang setangkup, misalnya jenis kerang-kerangan (Tridacna sp atau
Kima; Mytilus sp atau kerang hijau dan Pinctada sp atau kerang mutiara).
f. Scaphopoda
Hewan bercangkang seperti tanduk/ gading yang berlubang di kedua ujungnya, misalnya
Dentalium (hidup dengan menggali pasir).
g. Cephalophoda
Hewan bercangkang di dalam (internal), misalnya cumi-cumi, sotong dan gurita.
Moluska dapat hidup di semua jenis habitat baik di darat, air tawar, air payau dan air
laut. Kebanyakan moluska hidup di air laut. Di perairan tawar hanya diwakili oleh kelas
Pelecypoda dan Gastropoda, sedangkan moluska darat kebanyakan diwakili oleh kelas
Gastropoda. Kelompok moluska jenis Gastropoda banyak ditemukan di daerah pasang
surut yang pada umumnya bersembunyi di balik batu, melekat pada tumbuhan air atau
membenamkan diri di pasir. Pada pantai yang berpasir umumnya lebih banyak dijumpai
kerang (Pelecypoda) daripada keong (Gastropoda). Kelas Gastropoda merupakan
kelompok moluska laut yang terbanyak misalnya Turbo melanoticus, Conus sp dan
Charonia sp. Terdapat moluska yang tidak mempunyai cangkang yaitu nudibranch (disebut
juga kelinci laut). Tubuhnya berwarna-warni bergerak dengan gerakan seperti menari.
Hewan ini banyak ditemukan pada rataan atau lereng terumbu karang (Marwoto dan
Sinthosari, 1999).
Kelas Pelecypoda/Bivalvia dengan cangkang setangkup, biasanya hidup di dasar laut
atau ditemukan melekat dengan kakinya yang disebut "bysus". Makanannya berupa
plankton yang tersaring melalui lubang yang terdapat di dalam tubuhnya atau disebut juga
hewan penyaring, sedangkan kelas Cephalophoda, adalah kelompok yang mempunyai
cangkang di dalam yaitu cumi-cumi, sotong dan gurita. Cumi-cumi dan sotong akan
mengeluarkan alat bela diri yang berupa cairan hitam seperti tinta, apabila dalam keadaan
bahaya. Pada kelompok yang memiliki cangkang di luar dalam kelas ini adalah Nautilus.
Nautilus memiliki kemampuan berubah warna sesuai dengan kondisi lingkunganya,
sehingga tidak terlihat oleh pemangsanya. Hal ini disebabkan Nautilus mempunyai
kemampuan mimikri (Romimohtarto dan Yuwana, 1999).
2.3.9 Sponge
Sponges termasuk dalam kelompok Porifera yaitu hewan yang mempunyai tubuh
berpori-pori atau saluran. Melalui pori-pori dan saluran ini, air akan diserap oleh sel khusus
yang disebut dengan "sel leher " (collar cell). Sebagian besar dari kelompok hewan ini hidup
di laut dan hanya beberapa jenis saja yang hidup di air tawar (Lilley, 1999).
Larva hewan ini dapat menyebar secara luas, terbawa arus dan bergerak sangat aktif,
tetapi setelah dewasa hidup melekat dan menetap pada karang batu dan dasar laut.
Makanannya berupa zooplankton atau hewan kecil dan bakteri yang terbawa arus serta masuk
ke dalam tubuhnya (Tjakrawidjaya, 1999).
Jenis hewan ini banyak dijumpai di laut dengan bentuk dan warna yang sangat
beraneka dan sangat menarik, hal ini disebabkan oleh zooxanthellae yang hidup dalam
jaringan tubuhnya. Sponge juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena masyarakat telah
banyak mengunakannya sebagai bahan dasar kosmetika dan bahan obat-obatan (Marwoto
dan Sinthosari, 1999).
3.1 Kesimpulan
1. Sistem reproduksi biota laut terjadi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara
seksual terjadi fertilisasi atau pembuahan yang dilakukan oleh dua individu yang
mempunyai alat kelamin jantan dan betina, contohnya ikan. Sedangkan reproduksi
secara aseksual adalah tanpa terjadinya fertilisasi, biasanya terjadi pada jenis crustacean
2. Potensi pemanfaatan biota laut untuk kegiatan dilakukan dengan beberapa tujuan antara
lain untuk komersial, konservasi, potensi sumber pakan alami, dan potensi penggunaan
teknologi GIS dan 3D dalam mendukung budidaya perikanan.
3.2 Saran
1. Sebaiknya budidaya dilakukan sesuai dengan keadaan atau kebiasaan makan biotanya.
2. Sebaiknya sistem budidaya dilakukan sesuai dengan keadaan biotanya.
DAFTAR PUSTAKA
Halidah. 2014. Avicennia marina (Forssk.) Vierh Jenis Mangrove yang Kaya Manfaat. Info
Teknis Eboni., 11(1): 37 – 44.
Hermawan, A., A. Siti dan Fatchiya. 2017.Partisipasi Pembudidayaan Ikan dalam Kelompok
Usaha Akuakultur di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan.,
17(1):1-13.
Lilley, G.R. 1999. Buku Panduan Pendidikan Konservasi. Terumbu Karang Indonesia.
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Natural Resources
Management Program, USAID, Yayasan Pustaka Alam Nusantara dan The
Nature Conservacy (Edisi Pertama), 1-55.
Marwoto, R.M. dan A. M. Sinthosari. 1999. Pengelolaan Koleksi Moluska. Dalam: Buku
Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi. Yayuk, R. Suhardjono (Ed).
Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 1-218.
Nontji, A. 2004. Upaya Anak Bangsa dalam Penyelamatan dan Pemanfaatan Lestari Terumbu
Karang. COREMAP TAHAP. Kantor Pengelola Program COREMAP, Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 1-130.
Pratiwi, R dan Rahmat.2015. Sebaran Kepiting Mangrove (Crustacea: Decapoda) Yang
Terdaftar Di Koleksi Rujukan Pusat Penelitian Oseanografi-Lipi 1960-
1970.14(2):195-203
Pratiwi, Rianta. 2007. Sebaran Kepiting Mangrove (Crustacea: Decapoda) Yang Terdaftar Di
Koleksi Rujukan Pusat Penelitian Oseanografi-Lipi 1960-1970. Jurnal Perikanan.,
4(2):322-328
Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Sitio, M. H. S., D. Jubaedah dan M. Syaifudin. 2017. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Benih Ikan Lele (Clarias Sp.) Pada Salinitas Media Yang Berbeda. Jurnal
Akuakultur Rawa Indonesia., 5(1) : 83-96.
Sukardjo, S. 1985. Hutan Berair Melimpah di Indonesia. Oseana., 10(2): 62-77.
Syukur, A. 2015. Distribusi, Keragaman Jenis Lamun (Seagrass) dan Status Konservasinya di
Pulau Lombok. Jurnal Biologi Tropis., 15(2): 171-182.
Tjakrawidjaya, A. H. 1999. Pengelolaan Koleksi Ikan. Dalam:Buku Pegangan Pengelolaan
Koleksi Spesimen Zoologi. (Suhardjono, Y.R. ED). Balai Penelitian dan
Pengembangan Zoologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Wahyudin, Y., T. Kusumastanto., L. Adrianto dan Y. Wardiatno. 2016. Jasa Ekosistem Lamun
Bagi Kesejahteraan Manusia. Omni Akuatika.,12(3): 29-46