Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Pada awalnya profesional berarti commitment pada jalan hidup tertentu. Kata kerja profess
berarti secara formal diterima dalam komunitas keagamaan, misalnya monk yang
mengucapkan sumpah keagamaan dalam aturan agama. Pada akhir abad ke 17 kata tersebut
menjadi lebih sekuler dan meluas di luar lingkup agama. Profesional termasuk mereka yang
qualified to pursue a vocation or calling. Hukum, kedokteran dan egineering menjadi
profesional karena mereka memerlukan professed knowledge, shared values and wisdom, and a
fiduciary relationship with others.
Batasan yang lebih kontemporer adalah :

A calling requiring specialized knowledge and often long and intensive preparation including
instruction and skill and methods as well as in the scientific, historical or scholarly principles,
underlying such skills and methods, maintaining by force or organization or concerned
opinion, high standard of achievement and conduct, and commiting its members to continue
study and to a kind of work which has for its prime purpose the rendering of public service.

(Dikutip dari Orasi Prof R Hariadi dr SpOG, pada PIT XIV, Juli 2004.)

Kalau melihat definisi di atas, ternyata untuk menjadi seorang profesional itu tidak mudah,
karena harus dimulai dengan upaya pembelajaran yang sistematik dan teratur, yang mencakup
teori, ketrampilan dan metoda, untuk kemudian, menjaga prestasi dan perilaku kerjanya dengan
standar yang tinggi, serta mengharuskan setiap anggotanya untuk selalu belajar, dan
mengarahkan mereka untuk mengutamakan kerjanya dalam bentuk pelayanan masyarakat.
Kalau kita kaji lebih dalam, yang diuraikan di atas itu sebetulnya telah memenuhi seluruh
dimensi keilmuan, yaitu cognitive, psychomotor dan affective, yang menggambarkan
kemampuan Intellegent Quatient (IQ) dan Emotional Quatient (EQ).
Karena dokter termasuk kelompok profesional, apakah definisi tersebut di atas sudah sesuai
dengan ciri-ciri profesi kedokteran ? Saya kira, kita para dokter, dapat menjawab pertanyaan
tersebut dengan penuh keyakinan dan kebanggaan bahwa kita memang termasuk kelompok
profesional. Bukankah kurikulum pendidikan dokter yang berlangsung selama enam tahun,

melalui tahapan sarjana dan profesi itu telah memenuhi kriteria pendidikan profesional, baik
dilihat dari tujuan, materi, cara dan lahan belajar maupun cara evaluasinya?
Kita telah sepakat bahwa dalam kesehari-hariannya, keprofesionalan seorang dokter harus
tampak dari kompetensi klinik dan kompetensi etika yang tinggi. Kompetensi yang pertama
terwujud dalam bentuk kemampuan ilmu teknologi dan ketrampilan yang tinggi. Sedangkan
yang kedua terlihat dari niat, sikap dan perilaku yang baik (etis).
Kita juga telah mempunyai organisasi profesi seperti IDI, POGI dll, dengan AD/ART yang
mantap, dan yang secara konsisten membina dan membela anggotanya.
Apakah dengan kurikulum pendidikan dokter yang sekarang kita dapat menjamin bahwa semua
dokter akan bersikap profesional? Belum tentu, karena ilmu dan teknologi itu selalu berkembang,
dan perkembangannya sangat cepat. Oleh karena itu, agar bisa tetap dianggap profesional setiap
dokter harus menerus mengikuti perkembangan iptek tersebut, baik dengan mengikuti berbagai
kegiatan ilmiah, telaah pustaka maupun pelatihan-pelatihan tertentu. Di samping itu, dokter
sebagai manusia biasa bisa berbuat kesalahan, khususnya dalam sikap dan perilakunya terhadap
penderita yang tidak sesuai dengan etika kedokteran. Oleh karena itu setiap dokter harus selalu
mawas diri agar tidak dituduh arogan, materialistik dan sikap-sikap lain yang tidak terpuji.
Profesionalisme itu harus terwujud dalam bidang Pelayanan, Pendidikan dan Penelitian
Kesehatan, tetapi makalah ini lebih difokuskan kepada masalah Pelayanan dan Pendidikan, masa
kini dan yang akan datang. Masa kini akan mengangkat profesionalisme dalam Pelayanan
sebagai isu aktual yang berkembang di masyarakat, sedangkan masa yang akan datang akan
membahas profesionalisme dalam Pendidikan sebagai upaya untuk menetraliser isu-isu negatif
dalam Pelayanan.

Profesionalisme Kedokteran masa kini


Salah satu cara untuk menilai derajat profesionalisme dalam bidang kedokteran adalah dengan
membandingkan persepsi para dokter tentang jati dirinya dengan persepsi penderita atau
masyarakat tentang apa yang telah diperbuat oleh para dokter dan baik buruknya tindakan
tersebut bagi mereka. Masyarakat akan menganggap profesional bila mereka merasa puas bukan
hanya dari perbaikan fisik saja, tetapi juga puas dalam segi, mental, emosional dan sosial.
Kepuasaan tersebut tidak semuanya dapat diukur secara kuantitatif, terutama yang berisifat non
medis. Inilah salah satu kesukaran yang dihadapi para dokter.

Ada tiga paradigma yang selalu harus diingat oleh para dokter yang menganggap dirinya
profesional, yaitu :
1. Ciri-ciri profesionalisme adalah :
1. Memiliki ilmu dan teknologi yang kontemporer
2. Memiliki ketrampilan yang tinggi
3. Memiliki niat, sikap dan perilaku yang baik (etis)

2. Falsafah moral dari Etika Kedokteran yang berlaku secara universal adalah :
1. Beneficence : niat seorang dokter untuk selalu berbuat sesuatu bagi kepentingan penderita.
2. Autonomy : hak penderita untuk mendapat informasi dan pelayanan yang terbaik dan ikut
serta dalam setiap keputusan klinik dalam kedudukan yang setara.
3. Justice

: keadilan bagi seluruh masyarakat dalam bidang kesehatan.

3. Bentuk pelayanan harus sesuai dengan jiwa dari definisi Medicine yaitu :

Medicine is the Art and Science of the diagnosis and treatment of the disease and the
maintainance of health

Science adalah dasar dari kompetensi klinik (ekspertis) dalam bentuk kemampuan membuat
diagnosis dan terapi yang benar tentang penyakit, yang sesuai dengan Evidence Based Medicine
(EBM), yang juga identik dengan kemampuan memberikan CURE. Sedangkan Art adalah seni
bagaimanan ekspertis yang EBM tersebut disampaikan kepada orang sakit dengan cara yang etis,
holistik dan humanistis (CARE)
Jadi pelayanan yang baik itu harus merupakan gabungan dari CURE dan CARE yang
proporsional. Makin akut kasusnya, porsi CURE lebih besar dan didahulukan. Tetapi pada kasus
yang kronis atau terminal, CARE lebih diutamakan.
Pembekalan untuk kemampuan CURE sebetulnya tidak sulit, karena setiap kurikulun sudah
mempunyai standar minimumnya. Yang diperlukan adalah mempertajamnya dengan pengalaman
dan pelatihan yang terus menerus.
Tetapi pembekalan tentang kemampuan CARE sampai sekarang belum ada sistem yang baku,
bahkan boleh dikatakan belum ada sistem sama sekali.

Kalau syarat profesionalisme itu diartikan bahwa setiap dokter harus melaksanakan ketiga
paradigma tersebut secara konsekuen, mungkin tidak ada seorang dokterpun dapat dianggap
sebagai profesional, apalagi dengan pembekalan dalam masalah CARE yang sangat minim.
Keadaan akan lebih buruk bila bila tuntutan masyarakat tentang hak otonominya dilaksanakan
secara ekstrem, posisi dokter akan makin terpojok.
Situasi inilah yang sekarang sedang terjadi, yaitu perubahan sikap masyarakat terhadap profesi
dokter.
Dahulu, hubungan dokter penderita itu sifatnya paternalistik, dengan dokter sebagai fihak yang
dituakan. Dengan demikian, apa-apa yang disarankan oleh dokter selalu harus diikuti oleh
penderita maupun keluarganya. Hal ini tidak akan menjadi masalah andaikata seluruh keputusan
klinik dokter tersebut benar sehingga penderita tidak dirugikan. Tetapi dokter itu, sengaja atau
tidak, dapat membuat kesalahan, bahkan mungkin tidak jarang. Bila hal ini terjadi, dalam
hubungan yang sifatnya paternalistik, sering kali penderita dan keluarganya tidak bisa berbuat
apa-apa.
Tetapi saat sekarang, dengan adanya hak otonomi dari penderita, mereka menuntut kesetaran.
Mereka ingin mendapat informasi dan pelayanan yang sebaik-baiknya dan diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan klinik.
Tetapi status kesetaraan ini, untuk saat sekarang, belum dapat dilaksanakaan secara utuh di
negara kita ini, sebab masih banyak anggota masyarakat yang berpendidikan kurang, sehingga
mereka kurang mampu menyerap informasi yang diberikan. Masih banyak di antara mereka yang
menyerahkan sebagian besar atau seluruh keputusan kepada dokternya. Di samping itu, masih
ada anggota masyarakat yang tidak mau atau belum mau menggunakan hak otonominya atau
menuntut kesetaraan. Oleh karena itu, untuk kita, saat ini, hubungan paternalistik antara dokter
penderita, masih mempunyai tempat, asal fihak dokter tidak bersikap otoriter dan mau menerima
saran.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada saat ini sikap masyarakat adalah ambivalen. Di satu
fihak mereka memuji dan bahkan memuja kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran yang
telah berhasil meyelamatkan jiwa atau mengurangi penderitaan berjuta-juta manusia. Tetapi di
lain fihak mereka menghujat bahkan menuntut ke pengadilan atas sikapnya yang di anggap
arogan, materialistik dan kurang/tidak mempunya rasa empati. Hujatan dan tuntutan semacam ini
makin lama makin banyak, baik dalam bentuk tertutup maupun terbuka.

Kalau ketidakpuasan itu terletak pada ketidakmampuan CURE, maka bentuk protesnya bisa
berbentuk tuntutan ke pengadilan atas dasar malapraktek. Tetapi bila masalah CARE yang
dipersoalkan maka dokter tersebut akan dihujat karena sikapnya yang dianggap tidak etis.
Walaupun bentuk hujatan tidak menjadi tuntutan perdata atau pidana, tetapi nama dokter tersebut
sudah tercoreng, terlepas dari benar atau tidaknya isu tersebut. Apalagi sekarang kecenderungan
masyarakat untuk mengekspos dalam mass media, makin meningkat.
Kalau kita perhatikan, hujatan tentang masalah CARE lebih besar dari tuntutan tentang
kekurangmampuan CURE. Dengan lain perkataan, bukan kemampuan kliniknya yang
dipersoalkan, melainkan sikap dan perilakunyalah yang tidak bisa ditolerir. Banyak anggota
masyarakat yang merasa puas karena dirinya telah sembuh dan sehat lagi seperti sedia kala,
tetapi di samping itu mereka tetap menghujat dokternya karena sikap dan perilakunya yang tidak
menggambarkan ciri dokter yang berbudi luhur.
Sebaliknya pada mereka yang dituntut atas dasar malpraktek (masalah CURE), sering secara
otomatis dokter tersebut dianggap melanggar etika.

Contoh ekstrem hujatan masyarakat :


Akan saya aduk-aduk para dokter sampai mereka hanya tinggal memakai celana kolor
Telah ada kelompok 29 pengacara yang akan membela secara gratis para pasien yang tidak
berdaya menghadapi malpraktek para dokter
Akan saya buka mata para dokter supaya mereka tidak arogan

(Dikutip dari Orasi Prof R Hariadi dr SpOG, pada PIT XIV, Juli 2004)
Sudah seburuk itukah perilaku dokter-dokter kita itu? Sudah serendah itukah citra profesi
kedokteran itu? Untuk itu kita harus berani mengadakan introspeksi secara jujur, baik sendirisendiri, maupun secara organisasi.
Menurut Jonsen dkk, agar tidak terjadi konflik antara dokter dan penderita, perlu dikembangkan
Etika Klinis atau Clinical Ethics, yang menurut mereka pengertiannya adalah sebagai berikut :

Etika Klinis adalah disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur dalam membantu
mengambil keputusan dengan mengidentifikasikan, menganalisis dan memecahkan isu etik
dalam kedokteran klinik

Menurut mereka dalam pelaksanaan Etika Klinis ada empat topik yang terkait, yaitu :
1. Indikasi medis, adalah kemampuan seorang dokter untuk melakukan penilaian klinis yang
mencakup diagnosis dan intervensi, sebagai hasil pendidikan, pengalaman dan sikap
profesionalismenya.
2. Preferensi atau pilihan penderita , adalah sikap penderita terhadap anjuran dokternya, berupa
persetujuan atau penolakan.
3. Quality of Life (QOL) atau Mutu Kehidupan. Perlu ditentukan apakah QOL penderita setelah
sakit dan mendapat pengobatan itu akan menurun, menetap atau bertambah baik.
4. Faktor-faktor kontekstual, adalah faktor eksternal yang ada kaitannya dengan pengobatan dan
perawatan penderita, seperti keluarga, sosekbud dan hukum.

Masalah etika dalam kasus klinis akan terjadi, jika ada masalah dalam salah satu atau lebih
dari keempat topik tersebut.

Kalau keempat topik itu dilaksanaan dengan konsekuen, sebetulnya Jonsen telah menawarkan
gabungan pelayanan CURE dan CARE, seperti yang dimaksud dalam definisi Medicine tersebut
di atas.
Tcechekmedyan NS, pernah menawarkan bentuk pelayanan kesehatan semacam ini, dan
menyebutnya sebagai BiomedisPsikoSosioSpiritual. Biomedis tidak lain adalah CURE, yang
hanya dapat diberikan oleh dokter beserta timnya, sedangkan PsikoSosioSpiritual adalah CARE,
yang merupakan upaya gabungan Tim Kesehatan dengan fihak-fihak lain yang terkait, seperti
Pekerja Sosial, Ulama dll.
Kalau kita sepakat untuk memakai arahan Jonsen itu sebagai pegangan dalam melaksanakan
profesionalisme kita, dapatkah kita berasumsi bahwa isu-isu negatif tentang profesi kedokteran
yang berkembang di masyarakat saat ini, adalah sebagai akibat dari tidak konsekuennya para
dokter dalam melaksanakan paradigma tersebut?
Ada beberapa faktor yang memungkinkan para dokter bersikap demikian :

1. Dari semula dokter tersebut sudah berperilaku buruk. Hanya karena dia mempunyai IQ yang
cukup tinggilah maka dia bisa mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter. Bagi dokter

semacam ini, profesi kedokteran hanya dianggap sebagai Commodity Business yang dapat
diperjual belikan. Dokter semacam ini akan sulit dibina. Saya yakin, tipe dokter semacam ini
jumlahnya tidak banyak.
2. Mungkin pada permulaannya dokter itu cukup idealis, dan mempunyai citra yang benar
tentang profesi dokter, tetapi karena kebutuhan, pengaruh lingkungan dan persaingan yang
ketat, terpaksa bersikap vivere pericoloso, sehingga tanpa disengaja melanggar etika atau
melakukan malpraktek. Dokter itu adalah manusia juga yang membutuhkan sarana hidup
yang layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Dengan lingkungan masyarakat yang pada
umumnya sudah materialistik, faktor kebutuhan ini semakin menonjol. Di samping itu,
karena jumlah dokter yang berpraktek makin lama makin banyak, terutama di kota-kota ,
maka tidak mudah untuk seorang dokter untuk membina prakteknya dan mendapat
penghasilan yang cukup. Tanpa keimanan, ketakwaan dan idealisme yang cukup tinggi, serta
pembinaan yang terus menerus dari organisasi profesinya, mereka akan mudah tergelincir.
Saya kira jumlah dokter yang masuk golongan ini, cukup banyak dan akan bertambah
banyak. Tetapi kemungkinan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, masih
terbuka luas. Jangan lupa bahwa kitapun masih banyak mempunyai dokter-dokter yang
benar-benar profesional dengan dedikasi yang tinggi. Harus ada usaha agar kedua kelompok
dokter tersebut sering bertemu, baik dalam resmi seperti Kongres dan PIT maupun yang tidak
resmi, seperti Malam Klinik. Hendaknya pada pertemuan tersebut, informasi tentang
perkembangan ilmu dan teknologi selalu disertai dengan aspek etikanya.
3. Mungkinkah faktor pendidikan mempunyai peranan terhadap menurunnya citra profesi
dokter di mata masyarakat? Seperti kita ketahui, semua Fakultas Kedokteran bertujuan untuk
menghasilkan dokter yang mempunyai kompetensi klinik dan etika yang tinggi. Saat ini
peserta pendidikan kedokteran, baik umum maupun spesialis makin bertambah, sedangkan
materi pendidikan, khususnya jumlah penderita yang dapat digunakan untuk pendidikan,
tidak bertambah, bahkan cenderung menurun. Walaupun sudah ditambah dengan Rumah
Sakit Jaringan di daerah, kebutuhan akan materi pendidikan tetap akan menjadi masalah
besar. Hal ini sudah sering diajukan oleh para koasisten. Secara teoritis, keadaan ini,
ditambah dengan kenyataan bahwa pembekalan dalam bidang etika masih kurang, sepertinya
akan dapat menurunkan citra profesi dokter. Tetapi dalam kenyataannya tidak harus
demikian, karena profesionalisme masih selalu dapat ditingkatkan, walaupun mereka sudah

meninggalkan bangku kuliah. Kiatnya terletak pada niat dan upaya yang kuat dan teguh
untuk terus belajar. Pada saat mereka mulai melaksanakan kariernya, itikad pertama yang
harus mereka canangkan, bukan hanya akan mengamalkan apa yang mereka punyai, tetapi
juga harus selalu menganggap dirinya masih kurang, sehingga selalu merasa adanya
kebutuhan mengisi kekurangan tersebut, khususnya dengan pengalaman. Bukankah
pengalaman itu adalah Guru yang terbaik? Jadi walaupun dari tahun ke tahun, kadar
pembekalan itu berbeda, tetapi selama dalam pendidikan itu ditanamkan keharusan untuk
belajar seumur hidup, maka kekurangan kuantitatif tersebut akan segera hilang, asal mau
belajar dari pengalaman. Dengan demikian kita tetap bisa menjaga citra profesi kita.
Dalam kaitan dengan ini Welch WH (1850-1930) mengatakan bahwa :

Medical education is not completed at medical school, it is only begun.

4. Faktor lain yang perlu kita fikirkan adalah tuntutan masyarakat yang makin meningkat. Jika
masyarakat menuntut hak otonominya secara ekstrem, tanpa memperhatikan hak integritas
dokter, maka akan selalu terjadi konflik. Apapun yang dilakukan fihak dokter mungkin tidak
pernah akan memuaskan. Di samping mempunyai hak otonomi, hendaknya penderita dan
masyarakat mempunyai kearifan bahwa dokter itu manusia juga yang mempunyai perasaan,
keinginan, kebutuhan dan harapan seperti manusia-manusia lainnya. Di samping itu, dia juga
tidak bebas dari sifat khilaf, suka tidak suka, senang tidak senang, serta bisa berbuat
kesalahan. Juga mereka harus sadar bahwa penilaian mereka bisa salah, karena informasi
tentang dunia kedokteran tidak seluruhnya mereka kuasai, sehingga bisa menimbulkan salah
tafsir. Karena itu diharapkan dari masyarakat, bila dokter berbuat salah, hendaknya mereka
meninjau masalah tersebut secara arif, sehingga tidak selalu harus diikuti dengan hujatan
secara terbuka. Kalau bisa, memaafkannya, selama kesalahan tersebut tidak terkait dengan
masalah hukum. Jangan lupa, bahwa para dokterpun sering menjumpai penderita yang
menjengkelkan, baik dalam sikap dan bicaranya, atau dalam cara menawar honor dokter
seperti dalam kegiatan jual beli barang. Atau mereka yang datang hanya untuk minta surat
cuti sakit, walaupun dirinya jelas-jelas tidak sakit, seolah-olah surat cuti sakit itu sesuatu
yang dapat dibeli. Atau mereka yang meminta kuitansi yang melebihi honor dokternya,
karena mereka tidak mau rugi. Dua sikap terakhir ini sangat menggoda para dokter muda

untuk berbuat tidak etis. Andaikata para dokter itu boleh memilih, ingin sekali kita
dihindarkan dari penderita semacam itu.
5. Pengaruh globalisasi, kalau tidak ditanggapi secara arif dan bijaksana, dapat menyebabkan
dua pengaruh negatif terhadap citra profesi dokter. Pertama, perkembangan bioteknologi
yang sangat cepat telah menghasilkan berbagai alat-alat kedokteran, dari yang sederhana
sampai yang super canggih. Kita sebagai negara yang belum mampu memproduksi alat-alat
tersebut, terpaksa menjadi konsumen yang setia. Tanpa disadari terbentuklah citra, seolaholah itulah kedokteran modern, dan kepemilikan atau penguasaan alat-alat tersebut adalah
ciri seorang dokter profesional. Tanpa disengaja persepsi semacam ini tertularkan kepada
masyarakat, sehingga seorang SpOG yang tidak mempunyai USG sendiri dianggap tidak atau
kurang profesional. Kedua, di samping masuknya hasil bioteknologi, masuk pula wawasan
HAM dalam pelayanan kesehatan, antara lain dalam bentuk Hak Reproduksi Wanita. Dalam
kaitan dengan ini FIGO merekomendasikan bahwa setiap wanita mempunyai hak untuk
mengakhiri kehamilannya selama bayi masih non viable, yang berarti 22 minggu ke
bawah, dan berhak pula untuk mendapat pelayanan yang baik. Apakah kita para dokter, agar
dianggap sebagai dokter yang modern dan profesesional harus mengikuti arus globalisasi
tanpa reserve? Padahal sudah jelas bahwa kehadiran alat-alat canggih tersebut tidak dapat
menurunkan angka kematian ibu dan anak secara bermakna. Sementara itu, pengaplikasian
HAM tanpa dipilah-pilah akan menimbukan erosi kebudayaan.

Itulah citra profesi kedokteran di masa kini, penuh kontroversi, karena di satu fihak kita melihat
adanya keserasian hubungan antara para dokter dengan masyarakat yang menggembirakan, tetapi
di lain fihak banyak ditemukan gambaran dan isu-isu negatif yang merisaukan.
Di samping itu, penuh tantangan, karena ada keharusan untuk paling sedikit memperkecil
Konflik Klinik tersebut, sedangkan prospek keberhasilannya tidak secerah apa yang diharapkan,
sehubungan dengan sebabnya yang bersifat multifaktorial.

Profesionalisme Kedokteran masa yang akan datang


Bagaimana gambaran profesionalisme dokter di masa yang akan datang? Akan lebih baik, tetap
atau bahkan lebih buruk? Yang jelas, karena faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, seperti
telah diuraikan di atas masih tetap ada, maka Konflik Etika akan selalu terjadi. Di samping itu

bioteknologi akan terus berkembang dengan segala implikasi etiknya. Sedangkan perkembangan
HAM akan membawa manusia untuk lebih bersikap praktis pragmatis individualistis, dan
kurang memberi nilai kepada aspek filosofis normatif moralnya.
Sass mengatakan bahwa perkembangan Bioetika di masa yang akan datang akan bergantung
pada upaya membangun dan memperkuat hubungan dokter-pasien, yang merupakan ciri etika
dari orang-orang terpelajar dan bertanggung jawab. Di samping itu, bergantung pula kepada
sejauh mana filosofi dan pengetahuan etika dapat diaplikasikan ke dalam praktek sehari-hari.
Pada bagian ini, saya tidak akan membahas citra profesi dokter sebagai masalah, tetapi akan
lebih menekankan kepada upaya untuk memperbaiki citra tersebut.
Karena Konflik Etika itu tidak mungkin dihilangkan sama sekali, maka kewajiban kita para
dokter adalah mengurangi isu konflik tersebut, baik kuantitatif maupun kualitatif, tanpa
mengurangi integritas masing-masing
Ada dua upaya yang dapat dilakukan yang oleh para dokter, yaitu :

1. Membenahi diri, baik secara pribadi, institusi pendidikan maupun pembinaan oleh organisasi
profesi.
2. Mensosialisasikan hasil pembenahan diri kepada semua fihak yang terkait, khususnya
penderita dan masyarakat.

Pembenahan diri
Sebelum mulai dengan pembenahan, kita harus sepakat dahulu tentang jati diri kita, yaitu :
1. Bahwa kita para dokter adalah profesional dengan ketiga cirinya yang khas, yaitu iptek
kontemporer, ketrampilan tinggi dan etika yang baik.
2. Dasar filosofis moral etika adalah beneficence-autonomy-justice.
3. Aplikasi pelayanan harus berdasarkan definisi MEDICINE yang mengandung unsur CURE
dan CARE, yang salah satu bentuknya adalah paradigma Jonsen.
Kita juga harus sepakat bahwa isu negatif tentang citra beberapa dokter, yang kadang-kadang di
blow up menjadi seolah-olah merupakan gejala umum itu, memang sebagian ada benarnya,
walaupun tidak seluruhnya merupakan tanggung jawab para dokter. Atas dasar itu maka kita
perlu membenahi diri.
Pembenahan diri pribadi

Salah satu bentuk etik dari seorang dokter adalah bertanggung jawab dan jujur. Setiap kali dia
mendengar ada sejawatnya digugat, hendaknya dia bertanya-tanya apakah dia pernah melakukan
hal yang sama atau identik. Kalau pernah, sebaiknya dia bersyukur kepada Allah SWT, karena
dia masih terhindar dari gugatan, walaupun telah berbuat kekhilafan. Selanjutnya, rasa tanggung
jawabnya mengharuskan dia untuk berusaha sekuat mungkin dan berdoa agar hal yang semacam
itu tidak terjadi lagi pada dirinya. Ada baiknya bila masalah ini dibahas di antara sejawat, agar
dampak perbaikan bisa lebih besar.

Pembenahan institusional
Kalau kita bertolak dari filosofis moral etika, yang harus bersikap etis itu bukan hanya dokter
sebagai pribadi, tetapi semua jajaran kesehatan. Misalnya menghadapi hak otonomi pasien dan
justice atau keadilan bagi masyarakat, akan terlibat pula Rumah Sakit sebagai penyelenggara
pelayanan kesehatan, Departemen Kesehatan sebagai pengambil kebijakan teknik, serta
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan umum.
Pada kesempatan ini saya hanya akan membahas pembenahan yang perlu dilakukan oleh
Fakultas Kedokteran sebagai institusi pendidikan yang diharapkan dapat menghasilkan dokter
yang profesional.
Titik beratnya bukan pada masalah kurikulum dengan segala atributnya, melainkan kepada
individu-individu yang berperan sangat penting dalam memberikan pengajaran, yaitu PARA
DOSEN.
Dari segi kurikulum, di samping pengembangannya yang selalu harus dinamis, perlu pula
difikirkan unsur-unsur yang berkaitan dengan dimensi keilmuan, seperti yang ditawarkan oleh
UNESCO, 1998, dalam The International Commisson on Higher Education for 21stCentury.
Seperti kita ketahui, setiap ilmu mengandung tiga dimensi, yaitu kognitif, psikomotor dan
afektif. Untuk dimensi kognitif yang diperlukan adalah kekuatan otak, akal atau IQ. Sedangkan
untuk psikomotor yang diutamakan adalah panca indra. Dimensi afektif adalah pekerjaan kalbu,
hati nurani atau perasaan yang memerlukan kekuatan EQ dan SQ.
UNESCO mengatakan bahwa dalam proses belajar perguruan tinggi, apapun jenis yang dicari,
agar bisa bermanfaat, harus mengandung empat unsur, yaitu :
1. Learning to know

Pada tahap ini yang dipelajari adalah dimensi kognitif yang menuntut sikap rasional. Yang
dipelajari adalah segala teori yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri, baik Ontologi, Epistemologi
maupun Aksiologinya.

2. Learning to do
Pada tahap ini kita diwajibkan untuk menguasai ketrampilan tertentu yang berkaitan dengan ilmu
sebelumnya. Inilah yang disebut dimensi operatif atau psikomotor yang menuntut sikap praktis.

3. Learning to be
Setiap orang dengan IQ yang cukup tinggi bisa saja mengikuti kuliah di Fakultas Kedokteran
sampai tahap 1 dan 2, tanpa harus mempunyai minat untuk menjadi dokter, tetapi tidak akan bisa
sampai tahap ketiga, karena being a doctor adalah dimensi emansipatif, emosional atau afektif
yang menutut sikap Etis.

4. Learning to live together


Pengakuan being a doctor itu tidak cukup dilakukan oleh diri sendiri saja, tetapi harus oleh
fihak lain. Di samping keluarga sendiri, ada tiga fihak yang harus mengakui keprofesionalan kita,
yaitu, penderita, masyarakat dan teman sejawat. Dengan mereka kita akan dan harus bisa bekerja
sama atas dasar kesetaraan dan saling menghormati, karena kita saling membutuhkan.
Tujuan pendidikan tahap ini tidak lain adalah untuk mengajar kita bagaimana hidup bersama
dengan lingkungan kita dalam keadaan koeksistensi damai. Oleh karena itu, tahap ini disebut
sebagai dimensi ekologis yang menuntut sikap kooperatif.
Kalau keempat unsur atau tahapan tersebut diperkenalkan sejak dini dalam bentuk sistem
pembelajaran yang nyata di dalam kurikulum kedokteran, maka mahasiswa sebagai calon dokter
akan lebih bisa menghayati, hubungan antara dimensi kognitif dan psikomotor yang memerlukan
sikap rasional dan praktis (IQ), dengan dimensi afektif emosional dan ekologis, yang
memerlukan sikap etis dan kooperatif (EQ ). Dengan demikian mereka akan lebih siap untuk
menjadi profesional.
Bagaimanapun sempurnanya kurikulum, tidak mungkin akan menghasilkan dokter yang
profesional, andaikata tidak didukung oleh pelaksana-pelaksananya yang bermutu, yaitu PARA
DOSEN. Para dosen inilah yang paling bertanggung jawab dalam memberikan pembekalan

sehingga anak didiknya bisa menjadi dokter yang profesional, atau paling sedikit secara potensial
bisa jadi profesional, baik dalam segi kompetensi klinik maupun etika.
Kita semua sadar bahwa dosen FK itu semuanya adalah AMATEUR. Kita tidak didik khusus
untuk menjadi GURU, walaupun harus diakui bahwa ada di antara kita yang mempunyai bakat
untuk jadi guru.
Barangkali kita bisa sepakat bahwa di samping pengembangan kurikulum secara dinamis, kita
dapat melakukan pembenahan melalui upaya-upaya sebagai berikut :
1. Semua dosen harus menganggap dirinya sebagai GURU yang sadar akan segala kewajiban
dan tanggung jawabnya.
2. Tiap dosen wajib untuk terus menerus meningkatkan profesionalismenya, baik dalam disiplin
ilmunya maupun kemampuan belajar mengajarnya, seperti PEKERTI dan AA.
3. Pembekalan kompetensi klinik (kognitif, psikomotor) yang baik, terlihat dari materi yang
selalu up to date dan cara pembelajaran yang integrated dan student oriented
4. Pembekalan kompetensi etika yang baik, antara lain, terlihat dari sikapnya yang penuh
disiplin, bertanggung jawab, jujur dan setara dalam menghadapi mahasiswa maupun
penderita. Mengapa harus setara? Karena ada kesan dari fihak luar, bahwa pendidikan
kedokteran masih berbau feodalistis. Contoh dosen yang tidak etis adalah bila seorang
dosen telah berjanji untuk memberi kuliah atau ujian pada waktu yang telah ditentukan,
kemudian membatalkannya tanpa alasan yang syah. Ini adalah ciri dosen yang tidak disiplin
dan tidak bertanggung jawab. Ini dapat menjadi contoh buruk bagi calon dokter. Bisa saja
suatu waktu dia mengingkari janjinya kepada penderita, atau lebih buruk lagi bila pada suatu
waktu menjadi dosen, dia akan berbuat yang sama. Kalau benar ada kesan feodalistis,
dikhawatirkan ini akan memupuk sifat arogansi profesi, seperti yang sering dilontarkan oleh
berbagai fihak. Pembekalan kompetensi klinik dan etika hendaknya diberikan secara
simultan dan integratif. Misalnya, pada saat membahas satu kasus, di samping aspek
kliniknya sekali gus dibahas aspek etikanya. Dengan demikian akan lebih mudah diserap.
5. Keberhasilan pembekalan sebaiknya tidak hanya dilihat jumlah lulusan dan nilai IPK, tetapi
juga dari sikap mahasiswa yang mandiri disertai keinginan untuk terus belajar, yang akan
menjadi bekal untuk meningkatkan profesionalismenya di kemudian hari.

Dapatkah kita menyusun suatu kurikulum kedokteran yang ideal ?

Saya yakin masih ada cara-cara lain untuk pembenahan, tetapi mungkin dapat memulai dengan
cara yang sederhana, seperti yang diuraikan di atas. Yang diperlukan adalah political will dari
pimpinan dan kebersaman serta komitmen dari semua sivitas akademika.

Pembenahan melalui organisasi profesi


Kita semua tahu bahwa selama ini organisasi profesi seperti IDI, POGI, IDAI dll, telah berusaha
untuk membina anggotanya agar tetap bersikap profesional. Dalam pembinaan kompetensi klinik
memang banyak berhasil, tetapi dari etika, masih perlu ditingkatkan lagi. Di mata masyarakat
ada kesan bahwa organisasi profesi lebih banyak membela dari pada membina. Walaupun hal ini
tidak seluruhnya benar, sebaiknya ditanggapi secara wajar.
Saya harap dalam waktu yang tidak terlalu lama, peningkatan pembinaan etika melalui
organisasi profesi ini, segera terwujud.

Sosialisasi upaya pembenahan


Upaya ini tidak akan mudah, karena bisa dianggap sebagai pembelaan diri. Walaupun demikian
tetap harus diupayakan. Mungkin dalam hal ini kita bisa minta bantuan akhli komunikasi, agar
pesan kita bisa sampai secara utuh, dan tidak disalah tafsirkan.
Dalam upaya sosialisasi ini diharapkan agar masyarakat mau bersikap positif, terbuka dan
responsif, karena upaya perbaikan masalah konflik hanya akan berhasil, bila fihak-fihak terkait
mempunyai keinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan itikad yang baik.

Rujukan
1. Martaadisoebrata D, Pengantar ke Dunia Profesi Kedokteran. Edisi pertama. Yayasan Bina
Pustaka SP, Jakarta, 2004
2. Dorlands Medical Dictionary.
3. Welch WH. Dikutip dari : A Practical Guide For Medical Teachers. Eds. Dent JA, Harden
RM. Harcourt Publishers Limited 2001

4. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ (1992). Clinical Ethics, a Practical Approach to


Ethical Decisions in Clinical Medicine
5. Techecmedyan NS, Cella DF. Quality of Life in Current Oncology Practice and Research.
Oncology 4. Special Issues, 1990.
6. International Womens Health Coalition. The Cairo Consensus. 1994.
7. FIGO Recommendation on Ethical Issues in Obstetrics and Gynecology, August 2000.
8. Sass HM. Bioethics : Its Philosophical Basis and Application : BIOETHICS, Issues and
Perspectives, 1990, Pan American Health Organization, Washington, USA.
9. UNESCO. World Declaration on Higher Education for the 21st Century, Vision and Action,
Paris, 1998.
Penulis : Djamhoer Martaadisoebrata

[1] Revisi dari makalah dengan judul yang sama yang dibacakan pada Peringatan Ulang Tahun
ke 80, Prof Sulaiman Sastrawinata dr SpOG (K), 14-8-2004

Anda mungkin juga menyukai