Anda di halaman 1dari 19

I.

Tujuan

- Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem syaraf otonom
dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
- Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada
neoroefektor parasimpatikus.

II.

Prinsip

a ) Inhibisi
- Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salvasi dan
intersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.

III. Teori

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf
vegetatif, sistem syaraf visceral atau sistem syaraf tidak sadar, sistem
mengendalikan dan mengatur kemauan. Sistem syaraf ini terdiri dari atas serabut
syaraf-syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung,
pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos. Obatobat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja
berdasarkan kemampunannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas
neurohimor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom di
ganglion atau sel-sel (organ-organ) efektor. Termasuk kelompok ini pula adalah
beberapa kelenjar (ludah, keringat dan pencernaan) dan juga otot jantung, yang
1

sebagai pengecualian bukan merupakan otot polos, tetapi suatu otot lurik. Dengan
demikian, sistem saraf otonom tersebar luas di seluruh tubuh dan fungsinya adalah
mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti suhu badan,
tekanan, dan peredaran darah, serta pernapasan ( Tjay, 2002 ).

Sistem saraf otonom membawa impuls saraf dari susunan saraf pusat ke
organ efektor melalui 2 jenis serat saraf eferen yaitu saraf praganglion dan saraf
pascaganglion. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri dari serat aferen yang
sentripental disalurkan melalui N. vagus, pelvikus, splanknikus, dan saraf otonom
lainnya. Badan sel serat-serat ini terletak di ganglia dalam kolumna dorsalis dan
ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. Tidak jelas perbedaan antara serabut
aferen sistem saraf otonom dengan serabut aferen sistem somatik, sehingga tidak
dikenal obat yang secara spesifik dapat mempengaruhi serabut aferen otonom.
Serat eferen yang disalurkan melalui saraf praganglion, ganglion, dan saraf
pascaganglion berakhir pada sel efektor ( Tjay, 2002 ).

Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya kejadian


somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat
terdapat beberapa pusat otonom, yaitu di medulla oblongata terdapat pengatur
pernapasan dan tekanan darah; hipotalamus dan hipofisis yang mengatur suhu
tubuh, keseimbangan air, metabolisme karbohidrat dan lemak, pusat tidur dan
sebagainya. Hipotalamus dianggap sebagai pusat sistem saraf otonom. Walaupun
demikian masih ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya
yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator
antara sistem otonom dan somatik ( Rein Vdara, 2012 ).

Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem


simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3,
dalam sistem ini termasuk ganglia paravertebral, pravertebral dan ganglia
terminal. Sistem parasimpatis atau kraniosakral outflow disalurkan melalui saraf
otak ke III, VII, IX dan X, dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sacral segmen
2, 3, dan 4. Sebagian besar neuron praganglion parasimpatis berakhir di sel-sel
ganglion yang tersebar merata atau yang terdapat pada dinding organ efektor
( Mutschler, 1991 ).

Serat aferen misalnya yang berasal dari presoreseptor dan kemoreseptor


dalam sinus karotikus, badan karotis dan aorta yang diteruskan melalui N. IX dan
X menuju ke medulla oblongata. Sistem ini berhubungan dengan refleks untuk
mempertahankan tekanan darah, frekuensi jantung dan pernapasan ( Mutschler,
1991 ).

Neurotransmitter yang memperantarakan perpindahan impuls di serabut


aferen belum jelas dipahami. Salah satu dugaan adalah substansi P yang terdapat
di serabut sensoris aferen akar dorsal ganglia dan tanduk dorsal medulla spinalis.
3

Substansi P diduga berfungsi pada penyampaian stimulus nyeri ke pusat. Peptida


lain yaitu somatostatin, polipeptida vasoaktif intestinal (VIP, Vasoactive Intestinal
Polipeptide) dan kolesistokinin juga diduga berperan pada penyampaian impuls
aferen dari organ otonom. Enfekalin di interneuron medulla spinalis dorsalis di
area substansia gelatinosa berefek antinosiseptif yang ditimbulkan lewat aksi
prasipnatik dan pascasipnatik, menghambat penglepasan substansi P ( Mutschler,
1991 ).

Terdapat 5 perbedaan pokok antara saraf otonom dan saraf somatik yaitu
saraf otonom menginervasi semua struktur dalam tubuh kecuali otot rangka,
sinaps saraf otonom simpatis terletak dalam ganglia yang berada di medulla
spinalis, yakni ganglio pravertebralis dan ganglia paravertebralis. Tetapi sinaps
saraf otonom parasimpatis berakhir di ganglia parasimpatis, yang terdapat di luar
organ yang dipersarafi, yakni ganglia siliaris, pterigopalatina, submandibula,
otikus dan pelvis. Saraf somatik hanya mempunyai satu jenis neuron motorik,
yang berasal dari otak atau medulla spinalis langsung menuju otot rangka tanpa
melalui ganglia,saraf otonom membentuk pleksus yang terletak di luar susunan
saraf pusat, saraf somatik tidak membentuk pleksus, saraf somatik diselubungi
sarung mielin, saraf otonom pasca ganglion tidak bermielin, saraf otonom
menginervasi sel efektor yang bersifat otonom, artinya sel efektor itu dapat
berfungsi tanpa persarafan. Sebaliknya, jika saraf somatik putus maka otot rangka
yang bersangkutan mengalami paralisis disusul atropi otot ( Mutschler, 1991 ).

Sistem saraf otonom berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam


organism (sistem dunia dalam). Sistem ini mengatur fungsi-fungsi yang tidak di
bawah kesadaran dan kemauan, di antaranya:
Sirkulasi, dengan cara menaikkan atau menurunkan aktivitas jantung dan

khususnya melalui penyempitan atau pelebaran pembuluh-pembuluh darah.


Pernapasan, dengan cara menaikkan atau menurunkan frekuensi pernapasan dan
penyempitan atau pelebaran otot bronkhus.
Peristaltik saluran cerna.
Tonus semua otot polos lain (misalnya kandung empedu, ureter, kandung kemih,
uterus).
Sekresi kelenjar keringat, kelenjar air ludah, kelenjar lembung, kelenjar usus,
dan kelenjar-kelenjar lain (Wawansumantri, 2009).

Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan impuls


dalam sistem saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,
pembebasan , atau penguraian neurotransmitter atau memengaruhi kerjanya atas
reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ
jantung dan kelenjar ( Tjay & Rahardja, 2002 ).

Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral dengan cara


menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan tempat
pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu:

1. Hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitter


Kolinergik
Hemikolinium menghambat ambilan kolin ke dalam ujung saraf dan dengan
demikian mengurangi sintesis asetilkolin. Toksin botulinus menghambat
penglepasan asetilkolin di semua saraf kolinergik. Toksin tersebut memblok
secara irreversibel penglepasan asetilkolin dari gelembung saraf di ujung akson
dan merupakan salah satu toksin paling poten yang dikenal. Toksin botulinum
memproteolisis protein membrane; sintaksin dan SNAP-25 (synaptosome
5

associated protein) yang berperan dalam fusi membran vesikel dengan membran
prasinaps dalam eksositosis vesikel kolinergik. Toksin tetanus mempunyai
mekanisme kerja yang serupa.

Adrenergik
Metiltirosin memblok sintesis norepinefrin dengan menghambat tirosinhidroksilase, enzim yang mengkatalisis tahap penentu laju sintesis (rate limiting
slope) norepinefrin. Sebaliknya, metildopa, penghambat dopa dekarboksilase,
seperti dopa sendiri didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi -metil
norepinefrin.

Guanetidin

dan

bretilium

juga

mengganggu

penyimpanan

norepinefrin dengan akibat pengosongan norepinefrin di vesikel.

2. Menyebabkan penglepasan transmitter

Kolinergik
Racun laba-laba black widow yaitu latroroksin menyebabkan penglepasan
asetilkolin (eksositosis) yang berlebihan, disusul dengan blockade.

Adrenergik
Banyak obat dapat meningkatkan penglepasan norepinefrin. Tergantung dari
kecepatan dan lamanya penglepasan, efek yang terlihat dapat berlawanan.
Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan penglepasan
norepinefrin yang relatif cepat dan singkat sehingga menghasilkan efek
simpatomimetik . Sebaliknya reserpin, dengan memblok transport aktif
norepinefrin dan transmitter lain misalnya 5-HT dan dopamin ke dalam vesikel
menyebabkan pengosongan transmitter secara lambat dari vesikel. Norepinefrin di
6

luar vesikel akan dipecah oleh MAO. Akibat pengosongan depot norepinefrin di
ujung saraf, terjadi penurunan aktivitas yang bermanifestasi sebagai penurunan
tekanan

darah.

Bretilium

dan

guanetidin

menghambat

penglepasan

neurotransmitter dari vesikel. Kokain dan antidepresi trisiklik menghambat


ambilan kembali norepinefrin ke ujung saraf adrenergik.

3. Ikatan dengan reseptor


Obat yang menduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan
efek transmitter disebut agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa
menimbulkan efek langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya efek
transmitter pada sel tersebut karena tergesernya transmitter dari reseptor disebut
antagonis atau bloker.

4. Hambatan destruksi transmitter

Kolinergik
Antikolinesterase merupakan kelompok besar zat yang menghambat destruksi
asetilkolin karena menghambat AChE, dengan akibat perangsangan berlebihan di
reseptor muskarinik oleh asetilkolin dan terjadinya perangsangan disusul blockade
di reseptor nikotinik.
Adrenergik
Ambilan kembali norepinefrin setelah penglepasannya di ujung saraf merupakan
mekanisme utama penghentian transmisi adrenergik. Hambatan proses ini oleh
kokain dan imipramin mendasari peningkatan respon terhadap perangsangan
simpatis oleh obat tersebut. Penghambat COMT misalnya entakapon hanya sedikit
meningkatkan respon katekolamin, sedangkan penghambat MAO misalnya
7

tranisilpromin, pargilin, iproniazid, dan nialamid hanya meningkatkan efek


tiramin

tetapi

tidak

meningkatkan

efek

katekolamin.

Sekarang

telah

dikembangkan MAO yang lebih selektif. Monoaminoksidase-A yang menghambat


MAO pemecah norepinefrin dan 5-HT dan penghambat MAO-B yang
mneghambat pemecahan dopamin ( Mutschler, 1991 ).

Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5


golongan, yaitu:
Parasimpatomimetik atau kolinergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas
susunan saraf parasimpatis.
Simpatomimetik atau adrenergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas
susunan saraf simpatis.
Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik
Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan
saraf parasimpatis
Simpatolitik atau penghambat adrenergik
Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan
saraf simpatis.
Obat ganglion
Golongan obat yang merangsang atau menghambat penerusan impuls di
ganglion ( Pearce, 2002 ).

Perbandingan Efek Stimulasi Simpatis Dan Parasimpatis

Organ

Simpatis

Parasimpatis

Mata

Dilatasi pupil

Konstriksi pupil

Kelenjar air mata

Vasokontriktor

Sekretomotor

Peningkatan
frekwensi

Menurunkan

Hantaran

Eksitabilitas

Dilatasi bronkus

Kontriksi,
sekretomotor
mukus

Vasokontriksi, pilo
ereksi, sekretomotor
kelenjar keringat

Vasokonstriktor

Sekretomotor

Menghambat
peristaltic

Menigkatkan
peristaltic, sfingter
relax

Asam lambung

Sekretomotor

Pancreas

Sekretomotor

Hati

Glikogenolisis

Suprarenal

Sekretomotor

Jantung

Paru

Kulit

Kelenjar saliva

GIT

Vesika urinaria

Uterus

Menghambat
detrusor, stimulasi
sfingter

Stimulasi detrusor,
menghambat
sfingter

Kontraksi uterus,
vasokonstriksi

vasodilatasi

( Pearce, 2002 ).
IV. Alat dan Bahan

Alat
a ) Alat suntik 1 ml

b ) Alat timbangan hewan

c ) Papan berukuran 40 x 30 cm

10

d ) Sonde oral mencit

e ) Stopwatch

Bahan
a ) Atropin 0,04 %
b ) Gom arab 3%
c ) Mencit jantan

d ) Pilocarpin 0,02%
e ) Uretan

11

V. Prosedur

Alat dan bahan disiapkan dan mencit dipilih secara acak serta diamati
kesehatan dan kesemua mencit ditimbang dan diberi tanda pengenalnya. Dalam
percobaan ini, 3 mencit digunakan iaitu mencit 1, mencit 2 dan mencit 3 iaitu
mencit control. Kesemua mencit diberikan uretan secara itraperantonial. Pada
waktu T = 0, mencit 1 diberikan atropine secara peroral. Kemudian pada waktu T
= 15, mencit 2 diberikan atropine secara subkutan. Pada waktu T = 45, semua
mencit diberikan pilokarpin secara subkutan. Seterusnya, kesemua mencit
diletakkan di atas papan yang dibalut dengan kertas saring yang ditaburi bubu
metilen. Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya berdada
tepat di atas kertas. Setiap 5 menit, mencit ditarik ke kotak berikutnya yang
letaknya lebih atas Prosedur ini diulangi selama 25 menit sampai kotak paling
atas. Besarnya noda yang terbentuk diamati di atas kertas di setiap kotak dan
ditandai batas noda memakai spidol. Diameter noda diukur dan dihitung
persentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok atropine. Data hasil perhitungan
dimasukkan ke dalam table dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.

12

VI.

Data Pengamatan

Mencit Control
Kelompok
/ Massa
I
II
III
IV

5
0.2
-

Diameter Saliva Mencit ( cm )


10
15
20
1.5
2.0
3.0
2.8
1.4
-

5
-

Diameter Saliva Mencit ( cm )


10
15
20
0.5
1.3
1.7
1.9

25
2.0
2.5
1.3
-

Jumlah
( cm )
3.5
10.5
2.7
0.0
16.7

Rata2
16.7/4
= 4.18

Mencit I
Kelompok
/ Massa
I
II
III
IV

25
1.2
1.5
1.3

Jumlah
( cm )
1.2
0.0
5.0
3.2

Rata2
9.4/4
= 2.35
13

9.4

Mencit II
Kelompok
/ Massa
I
II
III
IV

VII.

5
1.1

Diameter Saliva Mencit ( cm )


10
15
20
2.1
2.9
2.4

25
2.6

Jumlah
( cm )
0.0
0.0
0.0
11.1
11.1

Rata2
11.1/4
= 2.78

Perhitungan

1. Dosis mencit ( intraperitoneal dan peroral )

Dosis = weight ( g )
20

1
2

Control
1.
2.
3.
4.

18.4 g/20
18.5 g/20
20.8 g/20
15.2 g/20

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.46 ml
0.46 ml
0.52 ml
0.38 ml

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.47 ml
0.43 ml
0.65 ml
0.43 ml

Mencit I
1.
2.
3.
4.

18.8 g/20
17.3 g/20
26.0 g/20
17.2 g/20

14

Mencit II
1.
2.
3.
4.

19.7 g/20
18.0 g/20
16.0 g/20
15.6 g/20

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.49 ml
0.45 ml
0.40 ml
0.39 ml

2. Dosis mencit ( subkutan )

Dosis = weight ( g )
20

1
4

Control
5.
6.
7.
8.

18.4 g/20
18.5 g/20
20.8 g/20
15.2 g/20

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.46 ml
0.46 ml
0.52 ml
0.38 ml

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.47 ml
0.43 ml
0.65 ml
0.43 ml

Mencit I
5.
6.
7.
8.

18.8 g/20
17.3 g/20
26.0 g/20
17.2 g/20

Mencit II

15

5.
6.
7.
8.

19.7 g/20
18.0 g/20
16.0 g/20
15.6 g/20

X
X
X
X

0.5 =
0.5 =
0.5 =
0.5 =

0.49 ml
0.45 ml
0.40 ml
0.39 ml

3. Persen inhibisi

rata rata diameter saliva kontrol rata rata


rata rata kontrol

diameter uji

100%

Mencit I

Persen inhibisi

4.18 2.35
100%
4.18

43.78 %

Mencit II

16

Persen inhibisi

4.18 2.78
100%
4.18

33.49 %

Grafik

Figure 1 : % Proteksi vs Zat obat

17

Figure 2 : % Jumlah geliat vs Waktu


VIII.

Perbahasan

Daftar pustaka

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi 5. Bandung : ITB.

Pearce, E. C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia


18

Pustaka Umum.
Rein, V. 2012, Sistem Saraf Otonom. Available online at
http://valdisreinaldo.blogspot.com/2012/01/sistem-syaraf-otonom.html
[access on 1/4/2012]
Tjay, T. H dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta : Gramedia.

Wawansumantri. 2009. Sistem Syaraf Pada Manusia. Available online at


http://www.farma.com/doc/13342264/Sistem-Saraf-Pada-Manusia [access
on 1/4/2012].cology

19

Anda mungkin juga menyukai