Anda di halaman 1dari 4

Flim legenga : Penciptaan Skenario Film Berdasarkan Folklor

Indonesia :Ratu Pantai Selatan


A. Latar Belakang Penciptaan
Meskipun setiap pagi masyarakat dihadapkan pada berita-berita dari seluruh penjuru dunia, akan
tetapi tetap saja masih kekurangan cerita-cerita yang layak untuk dinikmati. Masyarakat selalu
membutuhkan fiksi atau dongengan sepanjang waktu (Walter Benjamin, 2003; 244). Umberto Eco
juga memberikan kesaksian bahwa pada masa post-moderisme ini masyarakat bahkan
berkecenderungan untuk melakukan kunjungan ke masa lalu (2004;103). Oleh karena itu pada
kenyataannya banyak cerita dari masa lalu seperti legenda (folklor) yang diyakini masih bisa
diterima oleh masyarakat. Pada dunia sinema, legenda bahkan sangat menarik sebagai bahan sebuah
film.
Tokoh Robin Hood pernah kembali popular karena sebuah perusahaan film Amerika
menghidupkannya dalam layar perak akhir abad XX. Sikap heroisme tokoh ini sempat menjadi
idola massa. Ia dikenal sebagai ksatria yang membela orang-orang miskin dan papa. Robin Hood
adalah pencuri berhati mulia. Karakter semacam ini saat direpresentasikan dalam film terlihat
sangat mudah memancing empati dan selanjutnya dijadikan bahan identifikasi diri. Nilai-nilai moral
yang ditawarkan oleh film ini memberikan perenungan tersendiri bagi penonton. Sikap ksatria harus
selalu ditumbuhkan apalagi dalam membela rakyat kecil.
Legenda lain yang cukup popular hingga bisa melampaui wilayah budaya tempat cerita itu bermula
ialah Aladin, Siluman Ular Putih, Sun Go Kong, dan Lord of The Ring. Film-film dengan skenario
berdasarkan legenda tersebut bahkan menduduki box office dalam pemutarannya. Diantara film
tersebut ada yang kemudian dilanjutkan sebagai serial di televisi.
Kisah-kisah legenda ternyata cukup bermakna sebagai bahan untuk skenario film. Adakah hal
semacam ini juga berkembang di Indonesia dengan merujuk legenda-legenda local? Adakah hal di
atas mendapatkan tempat yang representatif di hati masyarakat kita? Jika ternyata iya, apakah kisahkisah tersebut telah didudukkan seperti halnya Sun Go Kong atau Robin Hood, dan mampu
mengemban nilai-nilai moral sebuah bangsa?
Beberapa kisah-kisah legenda di Indonesia telah diangkat dalam film. Diantara legenda tersebut
ialah Dayang Sumbi, Roro Jonggarang, dan Nyai Roro Kidul. Akan tetapi pada masa film-film jenis
ini popular di Indonesia, yang muncul kemudian justru kritikan pada orientasi sensualitas
penokohan dan ceritanya. Dikisahkan misalnya, Nyai Roro Kidul digambarkan sebagai tokoh yang
menyukai lelaki ganteng, pendendam dan berhubungan dengan ilmu hitam, Pemeran Nyai Roro
Kidul pada masa itu dimainkan oleh Suzana. Tokoh ini lebih dikenal di masyarakat sebagai bintang
panas. Akhirnya fenomena mistis dan aspek sensualitas justru terasa lebih menonjol pada filmfilm legenda di Indonesia. Hal ini terasa sangat berbeda dengan legenda atau folklor yang terlihat
dalam film-film China, Amerika, dan bahkan kini Korea.
Salah satu bentuk visualisasi Nyai Roro Kidul yang beredar di masyarakat
B. Permasalahan
Adakah fenomena penyimpangan di atas film Nyai Roro Kidul lebih mengetengahkan erotisme
dan mistisisme bisa terjadi karena lebih menitikberatkan pada selera massa? Saat inipun pada
kenyataannya film-film mistis lebih banyak diproduksi dan konon mendapatkan penonton yang
cukup berarti. Akan tetapi jika kembali melihat keberadaan film Robin Hood, Lord of The Ring dan
Sun Go Kong juga mendapatkan perhatian yang cukup menarik dari penonton Indonesia. Jika hal ini
bisa diterima kenapa beberapa penulis skenario, sutradara, dan produser film di Indonesia tidak
mencoba untuk menauladani film-film tersebut. Adakah tidak kurang menariknya jika legendalegenda seperti Nyai Roro Kidul didudukkan kembali sebagai legenda rakyat yang sesuai dengan
dasar pemahaman mereka. Benarkah Nyai Roro Kidul yang ada di film-film Indonesia seperti

halnya kisah yang hidup dalam pikiran masyarakat penyertanya?


Betulkah seperti yang termaktub dalam teori sejarah lisan bahwa legenda memperlihatkan
kecenderungan etika dan estetika suatu masyarakat pada masa tertentu? Jika benar adanya kenapa
justru erotisme lebih dikedepankan dalam visualisasinya. Dalam Babad Tanah Jawa, Nyai Roro
Kidul justru didudukkan sebagai tokoh yang membantu Panembahan Senopati dalam mengukuhkan
kekuasaan Mataram. Nyai Roro Kidul juga direpresentasikan dalam salah satu tarian ciptaan
Hamengkubuwono II yang sangat terkenal hingga kini, bedhaya.
Sebuah legenda, seperti halnya folkor yang lain memang memiliki karakteristik unik. Tokoh-tokoh
dalam legenda sering digambarkan sebagai manusia setengah dewa. Varian dari kisah tersebut juga
sangat beragam. Hal ini nampaknya justru menjadi daya tarik untuk selalu diinterpretasikan
kembali. Bagaimana jika saat ini Legenda Nyai Roro Kidul, diintepretasikan kembali sebagai bahan
untuk sebuah scenario film dengan sudut pandang yang berbeda dengan yang telah dibuat oleh
penulis atau sineas terdahulu? Hal ini juga bisa dijadikan penyeimbang untuk film-film sejenis yang
lebih mengutamakan sisi mistis semata.

C. Tujuan Penciptaan
1. Memperkaya khasanah skenario film Indonesia berdasar legenda untuk difilmkan.
2. Membangkitkan dan mempopulerkan kembali legenda sebagai kisah-kisah yang bermakna
dalam kehidupan masyarakat.
3. Mempopulerkan legenda Indonesia di kancah perfilman lokal maupun internasional.
4. Mencoba merevitalisasi legenda tidah hanya sebatas pada unsur mistisnya.

D. Kerangka Teori
Teeuw dalam sebuah tulisannya atas karya-karya Paramudya Ananta Toer berpandangan bahwa
Toer memiliki pola kreatif tersendiri dalam penulisannya. Toer selalu mendasarkan novel-novel
yang ciptaanya dengan fakta-fakta yang tertangkap di masyarakat. Teeuw bahkan berani
menmgambil kesimpulan bahwa beberapa novel Pramudya Ananta Toer selalu berdasarkan fakta
empirik, atau bahkan berkaitan dengan kehidupan nyata penulisnya.
Selanjutnya Teeuw mendiskripsikan bahwa pola penulisan Pramudya Ananta Toer seperti aliran air
dari hulu ke hilir. Hulu dari karya Pramudya adalah data-data empirik yang mengandung nilai
sejarah. Data tersebut kemudian mengalir mengukiti aliran sungai yang berkelok, kadang
membentur batuan, lalu ada perdu dan rumput di bibir sungai, serta angin yang bertiup menghantar
gemerisik air. Bagian inilah yang menurut Teeuw dipenuhi imajinasi sang penulis. Fakta-fakta yang
ada diperindah dalam tatanan bahasa dan nuansa naratif yang penuh bunga, embun, gemerisik
dedaunan, alun air, dan sebagainya. Inilah kelebihan dari novel-novel Pramudya Ananta Toer. Batas
antara fakta dan imajinasi hampir-hampir susah dipisahkan. Akhirnya karya-karya penulis tersebut
sangat indah untuk dibaca.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Wells Root (Seno Gumira Aji Darma, 200; 19-20) bahwa
tradisi penulisan di Hollywood juga berpola seperti aliran sungai yang membawa tokoh utama
(protagonis) mengarungi liku-liku cerita. Cerita yang baik ibarat sebuah sungai yang menyeret
perahu sang protagonis ke sebuah air terjun. Pola semacam ini dalam penulisan skenario Hollywood
disebut dalam struktur tiga babak. Proses munculnya protagonis sampai jatuh ke air terjun terbagi
dalam 3 babak. Babak I memperkenalkan tokoh dengan segenap persoalannya. Babak II mendorong
sang tokoh ke dalam krisis yang seolah-olah tidak bisa diselesaikan. Babak III berisi penyelesaian
masalah yang baik atau tragis.
Setiap perkembangan cerita selalu dihubungkan dengan reaksi psikologis yang akan terjadi dalam
diri penonton. Di dalam struktur tiga babak ini juga mementingkan adanya point of attack, yaitu

titik yang menjadikan sudah harus mulai terseret oleh cerita tanpa bisa mengelak lagi.
Tidak ada karya manusia yang tidak berasal dari kenyataan keseharian (Radhar Panca Dahana,
2001; 59). Rasa seni atau sense of art lah yang menjadikan sebuah kenyataan menjadi kisah yang
menarik dalam fiksi. Keberangkatan awal untuk menuliskan atau merepresentasikan kembali Nyai
Roro Kidul dalam sebuah skenario adalah sebuah fakta yang hidup dalam kerangka tradisi
masyarakat pesisir laut Selatan. Sebagian masyarakat meyakini bahwa penguasa laut Selatan adalah
perempuan bernama Nyai Roro Kidul. Ini merupakan fakta sosial. Fakta inilah yang nantinya akan
dikembangkan dalam sebuah skenario film.

E. Metode Penciptaan
Merujuk pada teori yang disampaiakan Teeuw dalam telaahnya atas novel-novel Pramudya, maka
keberadaan mitos Nyai Roro Kidul adalah sebuah data. Ada kenyataan bahwa kisah perempuan
penunggu pantai selatan pulau Jawa diyakini ada. Kisah Nyai Roro Kidul bisa termasuk sebagai
legenda dan bisa juga didudukkan sebagai sejarah lisan (lokal). Berkaitan dengan aspek budaya,
beberapa upacara tradisi sering diselenggarakan di sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa berkaitan
dengan keberadaan tokoh tersebut. Di daerah Parangkusumo Jogjakarta misalnya, pada bulan
tertentu diadakan Upacara Labuhan yang melibatkan Keraton Kasultanan Jogjakarta. Salah satu
fungsi dari upacara ini untuk menghindarkan bala buruk yang akan terjadi. Hotel Ambarukmo di
Jogjakarta dan sebuah hotel berbintang di Sukabumi bahkan mempunyai kamar yang konon
menjadi tempat khusus untuk Nyai Roro Kidul. Ini sebuah fenomena kultural yang cukup unik.
Selayaknya sebuah legenda maka akan muncul berbagai varian yang beragam. Kisah Nyai Roro
Kidul dikenal dari Pantai Selatan Jogjakarta hingga wilayah pesisir selatan Sukabumi. Untuk lebih
memperjelas dan mengambilnya sebagai dasar pembuatan skenario maka dilakukan penelusuran
yang lebih mendalam. Untuk melakukan hal ini maka proses penciptaan ini akan diawali dengan
mengumpulkan kisah-kisah yang muncul di masyarakat.
Proses wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan pandangan-pandangan baru tentang legenda
tersebut. Sudah tentu narasumber akan dipilih berdasarkan kualitas pemahaman mereka atas Nyai
Roro Kidul. Data-data lain yang dibutuhkan adalah catatan-catatan yang berupa sejarah lisan atau
kajian para penulis atas keberadaan legenda Nyai Roro Kidul.
Pemahaman atau cara pandang masyarakat terhadap mitos juga merupakan hal yang menarik. Kisah
Nyai Roro Kidul memunculklan berbagai macam mitos tentang perempuan yang konon membantu
Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram Islam. Nyai Roro Kidul juga dipercaya
sebagai penguasa laut Selatan yang bisa menghadirkan bencana jika masyarakat tidak memberikan
penghormatan kepada laut. Nyai Roro Kidul juga dipercaya sebagian masyarakat mampu
memberikan kemulian tertentu. Dalam kerangka ini mitos memberikan pandangan pada kita
tentang cerita yang aneh, tetapi cerita mitos juga dipandang sebagai sesuatu yang suci, wingit, atau
bertuah dan tidak semua orang dapat atau boleh mengetahuinya (Ahimsa, 2006; 181).
Salah satu metode yang bisa mengkolaborasikan data-data dan fakta di atas adalah metode
intertekstualitas. Metode ini bermula dari pandangan teori yang menganggap bahwa semua teks
sastra dirajut dari teks-teks sastra lain. Dalam pandangan yang radikal dinyatakan bahwa setiap
kata, setiap frasa atau segmen merupakan pengerjaan ulang dari tulisan-tulisan lain yang
mendahului atau mengelilingi karya-karya individual (Terry Eagleton, 2006, 199). Oleh karena itu
berdasar teori ini maka tidak ada yang namanya keaslian sastra. Pandangan yang sama juga
diketengahkan oleh Kristeva bahwa tidak ada teks yang sepenuhnya bebas dari keberadaan teks-teks
lain. Semua berada dalam situasi yang disebut intertekstualitas (Winfried Noth, 1990; 322)
Kisah-kisah Nyai Roro Kidul dalam hal ini bisa didapatkan melalui teks-teks sebelumnya yang
terdapat dalam Babat Tanah Jawi, dan pustaka-pustaka lain yang muncul kemudian. Dilakukan juga
wawancara dengan masyarakat yang masih memiliki mitos ini seperti yang telah dijelaskan di

atas. Teks-teks tersebut pada prosesanya nanti akan dijadikan referen dalam penciptaan skenario
film ini.
Selain hasil akhir sebuah skenario sebagai sebuah karya kreatif, akan terlampir juga beberapa kisah
Nyai Roro Kidul yang didapatkan dari hasil penelitian di lapangan. Bahkan lebih dari itu akan
dilampirkan juga bentuk audio-visual dari proses penelitian dan penciptaan ini. Hasil audio-visual
yang ada mendekati bentuk karya dokumenter. Proses semacam ini akan menjadi menarik dan bisa
dijadikan sebuah alternatif dari proses penciptaan skenario.
Skenario yang telah tercipta akan dilanjutkan dalam proses pembuatan film. Sebuah skenario sudah
selayaknya untuk divisualisasikan. Hal ini sudah tentu akan diupayakan sebagai kerja lanjutan dan
kerja akhir dalam proses pembuatan film. Tahapan-tahapan inilah yang menarik sebagai kerja
penciptaan dalam disiplin film.

F. Sistematika Penciptaan
BABA I. PENDAHULUAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Latar Belakang Penciptaan


Permasalahan
Tujuan Penciptaan
Landasan Teori
Metode Penciptaan
Sistematika Penulisan

BAB II. NYAI RORO KIDUL dalam MASYARAKAT JAWA


1. Asal-Usul Legenda Nyai Roro Kidul
2. Cerita yang Beredar di Masyarakat
3. Ritual yang Berkaitan dengan Nyai Roro Kidul
BAB III. KONSEP dan PROSES PENCIPTAAN
1. Intertekstualitas dalam penulisan Scenario
2. Fakta dan Fiksi tentang Nyai Roro Kidul
3. Transformasi Legenda ke bentuk Skenario
BABA IV. Kesimpulan
HASIL KARYA SKENARIO
DAFTAR PUSTAKA
http://etno06.wordpress.com/2010/01/13/flim-legenga-penciptaan-skenario-film-berdasarkanfolklor-indonesia-ratu-pantai-selatan/
http://www.jonathanrosenbaum.net/1988/03/the-greatest-living-soviet-filmmaker-2/

Anda mungkin juga menyukai