C. Tujuan Penciptaan
1. Memperkaya khasanah skenario film Indonesia berdasar legenda untuk difilmkan.
2. Membangkitkan dan mempopulerkan kembali legenda sebagai kisah-kisah yang bermakna
dalam kehidupan masyarakat.
3. Mempopulerkan legenda Indonesia di kancah perfilman lokal maupun internasional.
4. Mencoba merevitalisasi legenda tidah hanya sebatas pada unsur mistisnya.
D. Kerangka Teori
Teeuw dalam sebuah tulisannya atas karya-karya Paramudya Ananta Toer berpandangan bahwa
Toer memiliki pola kreatif tersendiri dalam penulisannya. Toer selalu mendasarkan novel-novel
yang ciptaanya dengan fakta-fakta yang tertangkap di masyarakat. Teeuw bahkan berani
menmgambil kesimpulan bahwa beberapa novel Pramudya Ananta Toer selalu berdasarkan fakta
empirik, atau bahkan berkaitan dengan kehidupan nyata penulisnya.
Selanjutnya Teeuw mendiskripsikan bahwa pola penulisan Pramudya Ananta Toer seperti aliran air
dari hulu ke hilir. Hulu dari karya Pramudya adalah data-data empirik yang mengandung nilai
sejarah. Data tersebut kemudian mengalir mengukiti aliran sungai yang berkelok, kadang
membentur batuan, lalu ada perdu dan rumput di bibir sungai, serta angin yang bertiup menghantar
gemerisik air. Bagian inilah yang menurut Teeuw dipenuhi imajinasi sang penulis. Fakta-fakta yang
ada diperindah dalam tatanan bahasa dan nuansa naratif yang penuh bunga, embun, gemerisik
dedaunan, alun air, dan sebagainya. Inilah kelebihan dari novel-novel Pramudya Ananta Toer. Batas
antara fakta dan imajinasi hampir-hampir susah dipisahkan. Akhirnya karya-karya penulis tersebut
sangat indah untuk dibaca.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Wells Root (Seno Gumira Aji Darma, 200; 19-20) bahwa
tradisi penulisan di Hollywood juga berpola seperti aliran sungai yang membawa tokoh utama
(protagonis) mengarungi liku-liku cerita. Cerita yang baik ibarat sebuah sungai yang menyeret
perahu sang protagonis ke sebuah air terjun. Pola semacam ini dalam penulisan skenario Hollywood
disebut dalam struktur tiga babak. Proses munculnya protagonis sampai jatuh ke air terjun terbagi
dalam 3 babak. Babak I memperkenalkan tokoh dengan segenap persoalannya. Babak II mendorong
sang tokoh ke dalam krisis yang seolah-olah tidak bisa diselesaikan. Babak III berisi penyelesaian
masalah yang baik atau tragis.
Setiap perkembangan cerita selalu dihubungkan dengan reaksi psikologis yang akan terjadi dalam
diri penonton. Di dalam struktur tiga babak ini juga mementingkan adanya point of attack, yaitu
titik yang menjadikan sudah harus mulai terseret oleh cerita tanpa bisa mengelak lagi.
Tidak ada karya manusia yang tidak berasal dari kenyataan keseharian (Radhar Panca Dahana,
2001; 59). Rasa seni atau sense of art lah yang menjadikan sebuah kenyataan menjadi kisah yang
menarik dalam fiksi. Keberangkatan awal untuk menuliskan atau merepresentasikan kembali Nyai
Roro Kidul dalam sebuah skenario adalah sebuah fakta yang hidup dalam kerangka tradisi
masyarakat pesisir laut Selatan. Sebagian masyarakat meyakini bahwa penguasa laut Selatan adalah
perempuan bernama Nyai Roro Kidul. Ini merupakan fakta sosial. Fakta inilah yang nantinya akan
dikembangkan dalam sebuah skenario film.
E. Metode Penciptaan
Merujuk pada teori yang disampaiakan Teeuw dalam telaahnya atas novel-novel Pramudya, maka
keberadaan mitos Nyai Roro Kidul adalah sebuah data. Ada kenyataan bahwa kisah perempuan
penunggu pantai selatan pulau Jawa diyakini ada. Kisah Nyai Roro Kidul bisa termasuk sebagai
legenda dan bisa juga didudukkan sebagai sejarah lisan (lokal). Berkaitan dengan aspek budaya,
beberapa upacara tradisi sering diselenggarakan di sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa berkaitan
dengan keberadaan tokoh tersebut. Di daerah Parangkusumo Jogjakarta misalnya, pada bulan
tertentu diadakan Upacara Labuhan yang melibatkan Keraton Kasultanan Jogjakarta. Salah satu
fungsi dari upacara ini untuk menghindarkan bala buruk yang akan terjadi. Hotel Ambarukmo di
Jogjakarta dan sebuah hotel berbintang di Sukabumi bahkan mempunyai kamar yang konon
menjadi tempat khusus untuk Nyai Roro Kidul. Ini sebuah fenomena kultural yang cukup unik.
Selayaknya sebuah legenda maka akan muncul berbagai varian yang beragam. Kisah Nyai Roro
Kidul dikenal dari Pantai Selatan Jogjakarta hingga wilayah pesisir selatan Sukabumi. Untuk lebih
memperjelas dan mengambilnya sebagai dasar pembuatan skenario maka dilakukan penelusuran
yang lebih mendalam. Untuk melakukan hal ini maka proses penciptaan ini akan diawali dengan
mengumpulkan kisah-kisah yang muncul di masyarakat.
Proses wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan pandangan-pandangan baru tentang legenda
tersebut. Sudah tentu narasumber akan dipilih berdasarkan kualitas pemahaman mereka atas Nyai
Roro Kidul. Data-data lain yang dibutuhkan adalah catatan-catatan yang berupa sejarah lisan atau
kajian para penulis atas keberadaan legenda Nyai Roro Kidul.
Pemahaman atau cara pandang masyarakat terhadap mitos juga merupakan hal yang menarik. Kisah
Nyai Roro Kidul memunculklan berbagai macam mitos tentang perempuan yang konon membantu
Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram Islam. Nyai Roro Kidul juga dipercaya
sebagai penguasa laut Selatan yang bisa menghadirkan bencana jika masyarakat tidak memberikan
penghormatan kepada laut. Nyai Roro Kidul juga dipercaya sebagian masyarakat mampu
memberikan kemulian tertentu. Dalam kerangka ini mitos memberikan pandangan pada kita
tentang cerita yang aneh, tetapi cerita mitos juga dipandang sebagai sesuatu yang suci, wingit, atau
bertuah dan tidak semua orang dapat atau boleh mengetahuinya (Ahimsa, 2006; 181).
Salah satu metode yang bisa mengkolaborasikan data-data dan fakta di atas adalah metode
intertekstualitas. Metode ini bermula dari pandangan teori yang menganggap bahwa semua teks
sastra dirajut dari teks-teks sastra lain. Dalam pandangan yang radikal dinyatakan bahwa setiap
kata, setiap frasa atau segmen merupakan pengerjaan ulang dari tulisan-tulisan lain yang
mendahului atau mengelilingi karya-karya individual (Terry Eagleton, 2006, 199). Oleh karena itu
berdasar teori ini maka tidak ada yang namanya keaslian sastra. Pandangan yang sama juga
diketengahkan oleh Kristeva bahwa tidak ada teks yang sepenuhnya bebas dari keberadaan teks-teks
lain. Semua berada dalam situasi yang disebut intertekstualitas (Winfried Noth, 1990; 322)
Kisah-kisah Nyai Roro Kidul dalam hal ini bisa didapatkan melalui teks-teks sebelumnya yang
terdapat dalam Babat Tanah Jawi, dan pustaka-pustaka lain yang muncul kemudian. Dilakukan juga
wawancara dengan masyarakat yang masih memiliki mitos ini seperti yang telah dijelaskan di
atas. Teks-teks tersebut pada prosesanya nanti akan dijadikan referen dalam penciptaan skenario
film ini.
Selain hasil akhir sebuah skenario sebagai sebuah karya kreatif, akan terlampir juga beberapa kisah
Nyai Roro Kidul yang didapatkan dari hasil penelitian di lapangan. Bahkan lebih dari itu akan
dilampirkan juga bentuk audio-visual dari proses penelitian dan penciptaan ini. Hasil audio-visual
yang ada mendekati bentuk karya dokumenter. Proses semacam ini akan menjadi menarik dan bisa
dijadikan sebuah alternatif dari proses penciptaan skenario.
Skenario yang telah tercipta akan dilanjutkan dalam proses pembuatan film. Sebuah skenario sudah
selayaknya untuk divisualisasikan. Hal ini sudah tentu akan diupayakan sebagai kerja lanjutan dan
kerja akhir dalam proses pembuatan film. Tahapan-tahapan inilah yang menarik sebagai kerja
penciptaan dalam disiplin film.
F. Sistematika Penciptaan
BABA I. PENDAHULUAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.