Anda di halaman 1dari 12

PUSTAKA Vol.

XX,
XX NNoo..11••P10 – 21 2020
ebruari P-ISSN : 2528-7508
E-ISSN : 2528-7516

CITRA PEREMPUAN DALAM DONGENG-DONGENG


DAERAH NTT

Yuliana Jetia Moon1


Antonius Nesi2
1,2Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Katolik Indonesia St. Paulus
Jl. Jend. A. Yani 10, Ruteng, Flores, NTT
email: yulianajetiamoon@gmail.com

Abstrak
Dongeng adalah warisan budaya lisan masyarakat. Budaya lisan diwariskan secara turun-temurun melalui tuturan lisan.
Tuturan lisan, termasuk dongeng, merupakan perwakilan cara pandang, ajaran, dan keyakinan masyarakat yang
menciptakannya. Tokoh-tokoh di dalam dongeng dikisahkan sedemikian rupa sehingga tergambar citra tokoh yang
merepresentasikan cara pandang, kebiasaan, dan keyakinan masyarakat pemiliknya. Sehubungan dengan itu, penelitian
ini bertujuan untuk memerikan citra perempuan dalam dongeng-dongeng NTT.Dalam pengumpulan data digunakan
metode studi dokumen, teknik catat. Analisis data ditempuh dengan teknik analisis hermeneutik. Berdasarkan hasil
analisis data diidentifikasi 4 (empat) jenis citra perempuan yang tergambar dalam dongeng-dongeng NTT, yakni (1)
citra perempuan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, (2) citra perempuan yang berkaitan dengan laki-laki, (3) citra
perempuan yang berkaitan perempuan lainnya, dan (4) citra perempuan yang berkaitan dengan masyarakat.

Kata kunci: tradisi lisan, dongeng NTT, citra perempuan

Pendahuluan perempuan dalam kehidupan sosial budaya pada


masyarakat itu, dan lain-lain. Jika demikian, citra
Sejak dahulu kala, perempuan menjadi perempuan dalam dongeng menjadi urgen untuk
tokoh yang banyak digunakan dalam dongeng. dikaji secara ilmiah.
Tokoh-tokoh perempuan itu juga hadir dalam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dongeng-dongeng Nusantara. Hal itu terbaca jelas, (KBBI), citra dibatasi sebagai gambaran yang
misalnya, dalam dongeng “Asal Mula Padi” yang dimiliki orang mengenai pribadi (KBBI, 2008).
menampilkan tokoh Dewi Sri, legenda Dalam kaitan dengan citra perempuan dalam
“Tangkuban Perahu” yang menampilkan tokoh dongeng, Abrams (Sofia, 2009) mengemukakan
Dayang Sumbi, tokoh Tujuh Bidadari dari bahwa citra merupakan sebuah gambaran
Sumatera Utara dalam legenda “Danau Toba”, pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-
Putri Aji Tatin dalam legenda “Asal Mula Balik kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris
Papan”, dan lain-lain. Pada dongeng-dongeng yang dibangkitkan oleh kata-kata. Sementara itu,
tersebut, para tokoh perempuan ditampilkan pencitraan merupakan kumpulan citra (the
secara khas melalui narasi dan dialog, yang collection of image),yang lazim digunakan untuk
dibingkai dalam unsur-unsur intrinsik dan melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera
ekstrinsik. yang dipergunakan dalam karya sastra, baik
Penampilan tokoh-tokoh perempuan dengan deskripsi harafiah maupun kias
sebagaimana dikisahkan di dalam kebanyakan (metaforis). Citra dan perempuan adalah dua kata
dongeng Nusantara tidak dapat ditampik sebagai yang secara sederhana dapat diartikan sebagai
cerminan budaya. Hal itu disebabkan tokoh gambaran tentang pribadi dan kepribadian
perempuan yang diciptakan dalam dongeng perempuan, baik yang ditampilkan oleh
mewakili cara pandang masyarakat terhadap perempuan itu sendiri maupun yang ditampilkan
keyakinan akan nilai-nilai luhur, terutama yang oleh pihak lain. Pihak lain dalam hal ini, bisa
berkaitan dengan citra perempuan pada tokoh lain atau monolog penulis.Sejalan konsep
masyarakat penganutnya. Pada gilirannya, cara tersebut, citra perempuan, menurut Sugihastuti
pandang masyarakat terhadap perempuan dapat (2000), ialah gambaran tentang peran perempuan
diakui secara kolektif, termasuk pemosisian dalam kehidupan sosialnya. Hal itu sejalan dengan
perempuan dalam masyarakat itu, peran Walby (2011) yang mengungkapkan bahwa

10
Citra Perempuan dalam Dongeng-Dongeng Daerah NTT ................................................. Yuliana Jetia Moon, Antonius Nesi

ketidaksetaraan gender atau perempuan secara fabel tokoh binatang berperilaku seperti manusia.
subordinat yang terjadi pada masyarakat tidak Hal tersebut menganalogikan budi pekerti
semata-mata terjadi pada saat ini tetapi telah manusia. Buaya dan kancil merupakan salah satu
terkonstruksi mapan pada masyarakat lokal jaman contoh dongeng binatang yang berkarakter licik
dulu. Lebih lanjut, Walby (2011) menguraikan dan cerdik. Kedua, dongeng biasa, yaitu dongeng
bahwa setelah kondisi masyarakat lokal yang yang menceritakan tentang tokoh baik suka
menenpatkan perempuan secara subordinat maka maupun duka, seperti dongeng bawang merah dan
akan terjadi pengsubordinatan posisi perempuan bawang putih. Ketiga, dongeng lelucon yaitu
dalam sistem ekonomi, politik, dan peran sosial. dongeng yang berisikan cerita lucu tentang tokoh
Dalam kajian-kajian mengenai tradisi, tertentu, misalnya si Kabayan dari Jawa Barat,
tradisi lisan selalu disamakan dengan folklor lisan. Lebai Malang, Pak Pandir,dan Pak
Menurut Sudikan (2013), genre folklor yang Belalang.Dalam penelitian ini peneliti memberi
termasuk ke dalam kelompok lisan, yaitu (a) atensi pada dongeng-dongeng NTT yang di
ragam tutur rakyat seperti logat, julukan, dan gelar dalamnya dilibatkan tokoh-tokoh perempuan.
kebangsawanan, (2) ungkapan tradisional, seperti Dongeng yang dikonstruksikan oleh
peribahasa, pepatah, dan pameo, (3) pertanyaan masyakat lokal jaman dulu merupakan gambaran
tradisional seperti teka-teki, (4) puisi rakyat konstruksi perempuan jaman dulu. Konstruksi
seperti pantun, gurindam, dan syair, dan (5) cerita perempuan dalam dongeng bisa memberi
prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng. gambaran posisinya dalam sitem adat yang
Pada hakikatnya, dongeng merupakan cerita yang kemudian akan berdampak pada perannya dalam
tidak benar-benar terjadi, terutama tentang sistem ekonomi, politik, dan peran sosial.
kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh (KBBI, Dalam kenyataannya, dongeng Indonesia
2008). Dari kesejatiannya itu, dongeng pada umumnya menampilkan tokoh perempuan.
dikategorikan sebagai prosa rakyat yang bersifat Sebagai contoh, dongeng “Bawang Merah
tradisional dan pralogis. Hal ini sejalan dengan Bawang Putih”, dongeng “Gadis Cilik dalam
Danandjaja (2015) yang menyatakan bahwa pada Kerangjang Buah”, dongeng “Putri Keraton
umumnya prosa rakyat memiliki ciri pengenal, Negeri Seberang”, dan lain-lain. Seiring hadirnya
yaitu, (a) penyebaran dan pewarisannya bersifat dongeng-dongeng tersebut, geliat kajian perihal
lisan; (b) bersifat tradisional; (c) eksis dalam versi citra perempuan dalam dongeng makin
berbeda; (d) bersifat anonim dan pralogis, (e) menggelora. Dongeng yang menempatkan
bermanfaat dalam kehidupan bersama, dan (g) perempuan sebagai tokoh, meskipun berwujud
bersifat polos dan lugu. fiksi, tetap merupakan kearifan lokal yang patut
Meskipun bersifat tradisional dan dipelajari dan dikaji mengingat perannya yang
pralogis, dongeng sebagai warisan lisan suatu ‘melegenda’ dalam masyarakat pemiliknya karena
masyarakat menarik untuk dikaji secara ilmiah. senantiasa diwariskan dari satu generasi ke
Hal itu terutama dilatari kenyataan bahwa di generasi berikut (Ratna, 2011, bdk. Taum, 2011).
lingkungan desa ataupun perkotaan di seluruh Dalam konteks dongeng NTT, Wonga
Nusantara, warisan lisan, sebagaimana halnya dalam penelitian “Citra Perempuan dalam
dongeng, dipandang mengandung nilai-nilai hidup Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur
bersama berupa kebajikan moral dan pranata adat, Lamaholot” (2016) berhasil mendeskripsikan,
yang pada gilirannya menciptakan dan antara lain, bahwa perlakuan yang diterima tokoh
mengabadikan keselarasan hidup antara manusia, perempuan dari tokoh laki-laki dalam cerita
lingkungan, dan Sang Pencipta (periksa Forshee, rakyat Flores Timur Lamaholot dapat berdampak
2006; Duija, 2005). Jika demikian, dongeng pada ditinggikannya atau direndahkannya
berpotensi melahirkan kebijaksanaan (kearifan) kedudukan perempuan. Kedudukan tokoh
karena di dalamnya dimuat aneka nilai yang dapat perempuan akan ditinggikan ketika mereka
dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berhadapan dengan saudara mereka karena
sosial bermasyarakat. mereka adalah anak perempuan satu-satunya yang
Aerne dan Thomson (Danandjaja, 2015) disayangi. Kedudukan mereka akan direndahkan
membagi dongeng menjadi 3 jenis. Pertama, saat mereka berhadapan dengan laki-laki dari
dongeng binatang atau fabel, yaitu sebuah alam gaib yang ingin menikahi mereka dan sistem
dongeng yang di dalamnya dikisahkan mengenai pembagian kerja yang tidak adil. Sementara itu,
perbuatan baik atau buruknya binatang. Di dalam dari sisi peran gender tokoh perempuan dalam

11
PUSTAKA Vol. XX No. 1 • Pebruari 2020

cerita rakyat Flores Timur Lamaholot dibagi dihentikan jika dalam analisis data, sumber data
menjadi dua peran yaitu peran domestik dan peran telah terpenuhi.
publik. Tokoh perempuan, dalam hal ini lebih Metode pengumpulan data dalam
dominan menjalankan peran domestik. Namun, di penelitian ini adalah studi dokumen. Dalam studi
sisi lain juga terdapat tokoh perempuan yang dokumen peneliti mengoleksi berbagai dokumen
menjalankan peran publik. Berbeda dari penelitian yang berkaitan dengan topik penelitiannya.
Wonga, dalam penelitian ini digunakan Dengan kata lain, dalam studi dokumen peneliti
pendekatan feminisme dengan sumber data mengumpulkan berbagai informasi yang relevan
representatif dari dongeng-dongeng NTT. dengan topik penelitiannya, baik untuk
Dalam kenyataannya, setiap entitas etnik memperoleh maupun untuk menjelaskan data
di NTT memiliki banyak dongeng. Pelbagai (Cresswel, 2010). Sejalan dengan metodenya,
dongeng yang ada di NTT tentu mengisahkan pula dalam penelitian ini digunakan teknik catat.
tentang perempuan. Tokoh perempuan seperti Melalui teknik catat, peneliti mencatat bagian-
Nggerang dalam dongeng “Loke Nggerang” di bagian yang relevan dengan topik penelitian ini
Manggarai, tokoh Fit Lalan dalam dongeng “Bi (bdk. Sudaryanto, 2015).Prosedur pengumpulan
Fit Lalan Apao Ume” di daerah TTU, dan lain- data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
lain, merupakan representasi ‘citra perempuan’ Pertama, peneliti mengoleksi dongeng-dongeng
dalam dongeng-dongeng di NTT. Sehubungan yang relevan dengan topik penelitian ini, yakni
dengan itu, dalam penelitian ini hendak diangkat mite, parable, dan legenda. Kedua, peneliti
digali secara lebih mendalam mengenai“citra membaca dengan cermat dongeng-dongeng yang
perempuan dalam dongeng-dongeng NTT”. telah dikoleksi. Ketiga, peneliti mencatat bagian-
Sehubungan dengan itu, rumusan masalah bagian dari dongeng yang berhubungan dengan
penelitian ini ialah apa sajakah citra perempuan citra perempuan (periksa Sudaryanto, 2015) serta
yang digambarkan dalam dongeng-dongeng NTT? merujuk teori-teori yang relevan untuk
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan mendukung tujuan penelitian.
penelitian ini ialah untuk memerikan citra Analisis data dalam penelitian ini
perempuan dalam dongeng-dongeng NTT. menggunakan metode analisis hermeneutik.
Prosedur analisis penelitian ini ialah sebagai
berikut. Pertama, peneliti mengidentifikasi tokoh
Metode Penelitian perempuan dalam dongeng. Kedua, peneliti
mengklasifikasikan tokoh perempuan dalam
Penelilitian ini merupakan penelitian dongeng berdasarkan kedudukannya di dalam
deskriptif kualitatif. Bodgan dan Taylor (dalam masyarakat. Ketiga, peneliti mengidentifikasi citra
Soewadji, 2012:51) mengemukakan bahwa perempuan dalam dongeng. Keempat, peneliti
penelitian deskriptif kualitatif diartikan sebagai memaparkan, menafsirkan, dan menyimpulkan
salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan citra tokoh perempuan dalam dongeng. Prosedur
data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan ini analisis ini mengakomodasi hakikat analisis
perilaku orang-orang yang diamati. Sumber data data hermeneutik dalam penelitian bahasa dan
penelitian ini adalah dongeng-dongeng yang sastra (Nurgiyantoro 2007; periksa Cresswel,
diambil dari kabupaten-kabupaten yang ada di 2010).
Provinsi NTT. Dongeng-dongeng yang diambil
adalah mite, parabel, dan legenda. Selain itu
dongeng yang dipilih adalah dongeng yang di Hasil dan Pembahasan
dalamnya terdapat tokoh perempuan. Postulat
dasar yang dibangun peneliti ialah bahwa Dongeng yang dianalisis dalam penelitian
kedudukan tokoh perempuan dalam dongeng ini berjumlah 7 (tujuh) dongeng yang dipilih
memiliki peran cukup penting, entah sebagai secara representatif dari daerah-daerah NTT.
tokoh utama ataupun tokoh tambahan yang Ketujuh dongeng itu adalah (1) Loke Nggerang
memiliki dominasi kehadiran yang tinggi. (Manggarai), (2) Bete Dou No Mane Loro (Belu),
Populasi penelitian ini adalah seluruh dongeng (3) Nenek Wini, (Sumba), (4) Kisah Lona Kaka
NTT. Sampel dongeng diambil dari setiap pulau dan Lona Lara (Sumba), (5)Kisah Uto Bata
di NTT. Pengambilan sampel dongeng akan (Flores Timur), (6) Bita Nahak No Bikuku
(Belu),dan (7) Hera Alune (Rote Sabu). Dongeng-

12
Citra Perempuan dalam Dongeng-Dongeng Daerah NTT ................................................. Yuliana Jetia Moon, Antonius Nesi

dongeng yang diteliti selanjutnya diurutkan dan 2. Citra Tidak ingin dijajah secara 7
diberi kode, yakni dongeng 1 s.d. 7 (kode D1 s.d. perempuan seksual atau mandiri
D7), diikuti judul dongeng (kode disingkat), kode yang memilih pasangan,
daerah asal dongeng (disingkat), dan kode data berkaitan takhluk pada saudara
dengan laki- laki-laki, dan lemah dan
yang diurutkan secara numerik. Kode data dalam
laki mudah memaafkan orang
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut. lain.
3. Citra Bermusuhan, berselisih, 3
Tabel 1 Kodifikasi data perempuan merebut suami orang
yang lain, memiliki rasa
Judul Kode Kode berkaitan empati
No. Daerah
Donngeng Dongeng Data perempuan
1. Loke Manggarai D1/LN/M 1…x lainnya
Nggerang 4. Citra Bersikap 5
2. Bete Dou No Belu D2/BD/B 1…x perempuan kesatria/pahlawan/rela
Mane Loro yang berkorban, dan ingin
3. Nenek Wini Sumba D3/NW/S 1…x berkaitan mendapatkan pengakuan
4. Kisah Lona Sumba D4/KLLL/S 1 … x dengan
Kaka dan masyarakat
Lona Lara
5. Kisah Uto Flores D5/KUB/FT 1 … x Citra Perempuan yang Berkaitan dengan
Wata Timur Dirinya Sendiri
6. Bita Nahak Belu D6/BN/B 1…x
No Bikuku Dalam dongeng-dongeng NTT terdapat citra
7. Hera Alune Rote Sabu D7/HA/RS 1…x perempuan yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
(Rote Sabu) Citra itu menunjukkan bahwa perempuan dalam
dongeng NTT memiliki beberapa karakter yang
Berdasarkan hasil identifikasi data khas, yakni (1) mandiri dan pekerja keras, (2)
ditemukan 4 (empat) jenis citra perempuan yang pemberani, (3) memiliki kekuatan, keahlian, atau
terdapat dalam dongeng-dongeng NTT, yakni (1) keterampilan, dan (4) mampu melakukan
citra perempuan yang berkaitan dengan dirinya kekerasan (membunuh). Data-data berikut
sendiri, (2) citra perempuan yang berkaitan menunjukkan bahwa tokoh perempuan dalam
dengan laki-laki, dan (3)citra perempuan yang dongeng NTT memiliki citra sebagai pribadi yang
berkaitan perempuan lainnya, (4) citra perempuan mandiri dan pekerja keras.
yang berkaitan dengan masyarakat. Keempat citra
perempuan yang ditemukan itu menggambarkan (1) Seorang janda yang mengurusi pertanian
karakter pribadi perempuan dalam dongeng- dan perkebunan, serta peternakan ayam,
dongeng NTT, baik dari sisi feminin maupun kambing, dan babi warisan suaminya
masukulin. Deksripsi hasil identifikasi (D3/NW.S/1)
diabstraksikan pada tabel berikut. (2) Ia menjadi seorang penjaga kebun yang
baik (D6/BN.B/1)
Tabel 2 Hasil identifikasi dan klasifikasi data (3) …mengambilair disungai,
…mencarikayubakardihutan
Citra (D4/KLLL.S/1)
Perempuan (4) Uto wata membantu kakaknya di kebun,
Jumlah
No. dalam Karakter Perempuan menanam padi, menyiapkan makanan,
Data
Dongeng
mengambil air, dan
NTT
1. Citra Mandiri, pekerja keras, 15 menenun(D5/KUW.FT/1)
perempuan pemberani, memiliki (5) Hera Alune disuruh pula menjaga padi di
yang keahlian/keterampilan sawah(D7/HA.RS/1)
berkaitan tertentu, pribadi spiritual
dengan (makhluk religius), dan Dalam budaya patriarki, sebagaimana juga
dirinya mampu melakukan dihayati oleh sebagian besar etnis di NTT, laki-
sendiri kekerasan laki memiliki peran sebagai kontrol utama di

13
PUSTAKA Vol. XX No. 1 • Pebruari 2020

dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya (1) “Lebih baik aku mati daripada menikah
memiliki sedikit pengaruh, baik secara ekonomi, dengan laki-laki seperti dirimu," jawab
sosial, politik, dan psikologi (Sakina dan Siti, Rueng tegas(D1/LN.M/1)
2017:71), termasuk profesi atau pekerjaan. (2) PutriBeteDoumenjalanihidupnyaseorangd
Sebagai masyarakat agraris, semenjak dahulu iridirumahkecilitu (D2/BD.B/1)
mayoritas masyarakat NTT hidup sebagai petani (3) Hera Alure melarikan diri… sendiri. Ia
(bercocok tanam). Profesi ini dijalani, baik oleh menumpangi perahu itu dan berlayar
laki-laki maupun perempuan, meskipun ada menuju negeri Sahu (D7/HA.RS/2)
beberapa jenis pekerjaan yang hanya bisa
dilakukan oleh laki-laki, begitu sebaliknya, ada Pada data (D1/LN.M/1), Nggerang, tokoh
beberapa jenis pekerjaan yang hanya bisa perempun dalam dongeng itu menolak untuk
dilakukan oleh perempuan NTT. Pekerjaan seperti menikah dengan laki-laki yang dijodohkan orang
memanjat pohon, membajak sawah, membangun tuanya. Dalam konteks masyarakat Manggarai
rumah, dalam konteks masyarakat NTT zaman dahulu, jodoh yang diberikan orang tua,
merupakan jenis-jenis pekerjaan yang hanya dapat dari segi adat istiada setempat, harus diterima
dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu, beberapa dengan lapang oleh perempuan. Akan tetapi,
jenis pekerjaan lain seperti mengayam tikar, dalam dongeng itu justru dikisahkan bahwa
menyulam benang, menenun dan memasak Nggerang dengan sangat tegas menolak jodoh
merupakan pekerjaan yang lazim dilakukan oleh pemberian orang tua. Ia malah bertaruh “lebih
para perempuan NTT. Kenyataan macam ini baik aku mati daripada menikah dengan laki-laki
memberi cara pandang tersendiri bagi masyarakat itu”. Kaitan antara penghayatan masyarakat
NTT bahwa ada semacam ‘pembagian jenis terhadap budaya patriarki yang kental dengan
pekerjaan’ untuk laki-laki dan perempuan (bdk. penolakan Nggerang menunjukkan bahwa citra
Sylvia, 2011). yang tergambar di dalam dirinya ialah perempuan
Kenyataan sebagaimana dideskripsikan di atas pemberani. Dengan merujuk penelitian Moon,
tercermin dalam dongeng-dongeng NTT. Akan dkk., (2016) dapat dikatakan bahwa Nggerang
tetapi, di dalam dongeng-dongeng NTT dalam dongeng itu merupakan representasi dari
perempuan justru dilukiskan dapat memerankan identitas perempuan NTT pada umumnya yang
diri serupa laki-laki, yakni melakukan jenis-jenis menyadari diri sebagai pribadi, yang, meskipun
pekerjaan yang dalam penghayatan budaya NTT memiliki pengetahuan terbatas tentang“gender”,
pada umumnya jenis-jenis pekerjaan tersebut dari dalam dirinya terdapat sisi maskulinitas,
hanya dapat dilakukan laki-laki. Citra perempuan yakni tabiat pemberani, terutama ketika
dalam dongeng-dongeng NTT justru menghadapi praktik budaya patriarki yang
memperlihatkan bahwa tokoh perempuan kadangkala terkesan “membelenggu” perempuan.
dihadirkan sebagai pribadi yang mandiri dan Hal yang sama dikisahkan juga di dalam
bekerja keras. Hal itu terlihat jelas pada data dongeng Bete Dou, dongeng asal Belu, dan
(D3/NW.S/1) s.d. (D7/HA.RS/1). Dalam data-data dongeng Hera Alure, dongeng asal Rote-Sabu,
itu diperlihatkan bahwa tokoh perempuan dalam NTT. Bete Dou dan Hera Alure,, judul sekaligus
dongeng-dongeng NTT mampu melakukan tokoh utama masing-masing dongeng itu,
pekerjaan-pekerjaan yang lazim dilakukan laki- merupakan representasi perempuan NTT yang
laki seperti mengurusi pertanian, perkebunan, dan bertabiat pemberani. Jika di dalam dongeng Loke
peternakan: mereka dapat menjaga kebun, Nggerang asal Manggarai digambarkan citra
menanam padi dan menjaganya, serentak pula perempuan bertabiat pemberani dalam
melakukan melakukan jenis-jenis pekerjaan lain menghadapi praktik budaya patriarkat ikhwal
yang khas perempuan, yakni menyiapkan perkawinan, maka dongeng asal Belu dan Rote-
makanan, mengambil air, dan menenun. Sabu ini menunjukkan keberanian perempuan
Selain berkarakter mandiri dan pekerja keras, dalam hal menjalani kehidupannya sendiri.
dalam dongeng-dongeng NTT juga diperlihatkan Kedua tokoh perempuan itu, meskipun dikisahkan
citra perempuan yang berkarakter pemberani. dalam dua dongeng yang berbeda asal dan latar,
Perhatikan data-data berikut. digambarkan dapat menjalani kehidupan mereka
sendiri tanpa kehadiran laki-laki. Mereka dapat
menjalankan perannya sendiri di dalam
masyarakat, yakni peran domestik, dalam arti

14
Citra Perempuan dalam Dongeng-Dongeng Daerah NTT ................................................. Yuliana Jetia Moon, Antonius Nesi

mereka jarang tampil di depan publik. Deskripsi Antropolinguistik (Linguistik Budaya) yang tentu
ini hendak menegaskan bahwa kehadiran tokoh saja berada di luar jangkauan penelitian ini
perempuan dalam dongeng NTT menempatkan (periksa Foley, 1997; Neonbasu, 2016).
perempuan sebagai pribadi pemberani yang dapat Bukti bahwa tokoh perempuan dalam
menjalankan kehidupannya sendiri ketika mereka dongeng NTT memiliki keterampilan atau
terbelenggu dengan adanya praktik budaya keahlian tertentu ditunjukkan pada data
patriarki (bdk. Wonga, 2016). (D7/HA.RS/3) dan (D2/BD.B/2). Dalam
Selain memiliki citra pemberani, ketika kenyataannya, sebagian besar perempuan NTT
berhadapan dengan dirinya sendiri, tokoh memiliki keterampilan tenun-menenun dan
perempuan dalam dongeng-dongeng NTT mengayam tikar. Dalam konteks budaya
digambarkan memiliki kekuatan, keahlian, atau ketimuran, Nordholt (1971), dalam sebuah studi
keterampilan tertentu. Hal itu dibuktikan dengan etnografisnya menarasikan bahwa pada umumnya
adanya data-data berikut. masyarakat Dawan NTT menghasilkan karya
tenun motif menggunakan tangan sendiri dengan
(1) Rueng memiliki ilmu gaib yang diwariskan alat-alat tradisional. Bahan-bahan kain tenun
Ibunya. Dia bisa menjadi apa saja yang motif diperoleh dan diolah dari alam. Mereka
diinginkan. Kadang dia berubah menjadi memanfaatkan tumbuhan kapas untuk merajut
batu, pohon, atau binatang(D1/LN.M/2) benang sendiri. Untuk menghasilkan warna-warni
(2) Sesudah mengucapkan kata-kata tersebut di benang, mereka memanfaatkan bahan pewarna
atas, laut menjadi pasang dan di dari jenis tumbuhan tertentu yang diproses secara
hadapannya telah tersedia nasi kuning dan tradisional. Sementara itu, bila dilihat dari proses
daging kuning. Dou menjalani hidupnya pengerjaannya dapat dikatakan bahwa waktu
seorang diri di rumah kecil itu.(D6/BD.B/2) pengerjaannya sangat lama. Untuk menghasilkan
(3) Saya bermaksud pergi kepada nenek di satu kain tenun motif dibutuhkan waktu kurang
Aikepaka untuk belajar seni ikat motif, lebih enam bulan, bahkan satu tahun.
celup-celupan dan tenun-menenun. Keterampilan menyulam dan menenun
Relakanlah saya, Ayah dan Ibu, demi hari yang dimiliki para perempuan NTT patut
depanku. Hera Alure memanggil dewa laut diapresiasi sebagai bagian dari penghayatan lokal
dan dewa angina untuk menolongnya dalam terutama dalam kaitan dengan penghargaan
perjalanan (D7/HA.RS/3) terhadap harkat dan martabat manusia. Hal ini
(4) Setiap hari ia menyibukkan diri dengan sejalan dengan refleksi kritis Salu (2013) tentang
menyulam dan mengayam tikar sumbangsih kain tenun motif masyarakat. Salu
(D2/BD.B/2) (2013) menulis, “… keterampilan kerajinan
tangan menenun para perempuan NTT yang
Tokoh Rueng, nama lain dari gadis diajarkan turun-temurun dari nenek moyang pada
Nggerang dalam dongeng Loke Nggerang asal dasarnya menunjuk pada penghargaan manusia
Manggarai, dantokohDou dalam dongeng Bete terhadap martabat diri dan sesamanya. “Kain
Dou No Mane Loro dari Belu, sebagaimana dan selimut yang ditenun dan dipakai orang
dikutip pada data (D1/LN.M/2) dan (D6/BD.B/2) bertujuan untuk menutup aura, suatu
merupakan representasi tokoh perempuan dalam penghargaan yang sangat tinggi terhadap
dongeng-dongeng NTT yang digambarkan martabat tubuh”. Perempuan NTT juga memiliki
memiliki ilmu gaib, sihir, atau mantra. Tokoh keahlian atau keterampilan dalam mengayam
Rueng dikisahkan memiliki ilmu gaib yang tikar. Keuletan perempuan NTT terhadap jenis-
diwariskan ibunya, yang notebene juga adalah jenis pekerjaan itu pula yang diukir indah di
perempuan; dia dapat berubah wujud, entah dalam dongeng-dongeng NTT.
berwujud benda mati seperti batu dan tanah Di dalam dongeng-dongeng NTT
ataupun benda hidup seperti pohon dan binatang. teridentifikasi pula citra perempuan berkarakter
Sementara itu, Dou dikisahkan memiliki kekuatan spiritual (religius) di satu sisi, juga tokoh
sihir verbal (kata-kata). Fenomena macam ini perempuan yang memiliki karakter mampu
memang sulit diterima akal sehat. Meskipun melakukan kekerasan sepert halnya membunuh di
demikian, di dalam analisis bahasa, kata-kata gaib sisi lain. Dongeng Nene Wini (Sumba), Kisah
atau mantra, cukup mendapatkan perhatian serius Lona Kaka dan Lona Lara (Sumba), dan Bita
dari para linguis terutama bidang

15
PUSTAKA Vol. XX No. 1 • Pebruari 2020

Nahak No Bikuku (Belu) menggambarkan citra terutama perang antarsuku dan terakhir perang
tersebut sebagaimana data-data. melawan penjajah. Dalam beberapa catatan,
misalnya, ditemukan bahwa adanya kalanya
(1) Ia pun menyepi dan bertemu dengan perempuan dalam perang dijadikan sebagai
Marapu, yang berjanji akan menuntut “mata-mata”. Dongeng-dongeng NTT
balas atas sakit hatinya… Nenek Wini memperlihatkan keterlibatan para tokoh
tetap meninggalkan kampung yang perempuan dalam hal perang, baik untuk
seluruh isinya kemudian berubah menjadi mempertahankan diri sebagai pribadi, suku/klan,
danau(D3/NW.S/2) maupun dalam menghadapi pergulatan pribadinya
(2) LonaRara meloncat keluar dan terutama ketika berhadapan dengan budaya
menikamkan pisaunya berkali-kali kearah patriarki, musuh pribadi, atau bahkan dalam hal
dada kakaknya (D4/KLLL.S/2) melawan tatanan adat istiadat yang membelenggu
(3) Parang diangkat dan diayunkan ke perut dirinya.
Bikuku. Perutnya terbelah menjadi dua
bagian (D6/BN.B/3) Citra Perempuan yang Berkaitan dengan Laki-
laki
Pada data (D3/NW.S/2)diperlihatkan
Dalam dongeng-dongeng NTT terdapat citra
tokoh Nenek Wini sebagai perempuan yang
perempuan yang berkaitan dengan laki-laki. Citra
memiliki karakter spiritual (religius). Dongeng itu
ini memperlihatkan bahwa tokoh perempuan yang
mengisahkan bahwa tokoh Nenek Wini bertemu
dihadirkan dalam dongeng-dongeng NTT
Marapu untuk memberi balas dendam kepada
memiliki beberapa karakter, yakni (1) tidak ingin
lawan yang telah membuatnya sakit hati. Hal itu
dijajah secara seksual atau mandiri dalam memilih
tentu saja tidak dapat ditampik karena– meskipun
pasangan, (2) takhluk pada saudara laki-laki, dan
tokoh yang dikisahkan adalah fiktif – pada
(3) lemah dan mudah memaafkan orang lain.
dasarnya manusia adalah makhluk religius (homo
Dongeng NTT yang memperlihatkan perempuan
religiosus) sekaligus makhluk egois.Dalam
yang tidak ingin dijajah secara seksual atau
penghayatan agama tradisional masyarakat
mandiri dalam memilih pasangan hidup
Sumba, Marapu diyakini sebagai wujud tertinggi,
dibuktikan dengan data-data berikut.
sebutan untuk Allah. Dongeng itu tentu hendak
memperlihatkan sisi lain dari tokoh perempuan
(1) Ketika suaminya meninggal, seorang
sebagai pribadi yang memiliki kerinduan spiritual
penduduk kampung mencoba untuk
dan keyakinan pada “Yang Ilahi”, bahwa perasaan
memperistrinya. Namun karena rasa cinta
manusia (perempuan terus melekat pada Pencipta,
yang dalam, Nenek Wini menolak
yang lazim disebut Magholo//Marawi, yakni
pinangan tersebut.(D3/NW.S/3)
pencipta yang telah menciptakan segala sesuatu
(2) “Engkau harus menikah denganku,” kata
dari ketiadaan dan terus dengan perkasa mengikat
Raja Bima.
semua ciptaan-Nya, bahkan dalam hal memberi
“Lebih baik aku mati daripada menikah
balas dendam terhadap musuh, memberi
dengan laki-laki seperti dirimu,” jawab
pengampunan (rekonsiliasi), dan lain-lain (bdk.
Rueng tegas.(D1/LN.M/3)
Neonbasu, 2016b).
(3) Bete Doupun siap untuk sehidup semati
Di sisi lain, pada (D4/KLLL.S/2 dan
bersama Mane Loro. Akhirnya,
(D6/BN.B/3) yang dikutip dari dongeng Kisah
keduanyapun menikah tanpa
Lona Kaka dan Lona Lara (Sumba) dan Bita
sepengetahuan orang tua mereka masing-
Nahak No Bikuku (Belu) memperlihatkan bahwa
masing. (D2/BD.B/2)
tokoh perempuan di dalam dongeng-dongeng
NTT memiliki sisi maskulin sebagai pribadi yang
Tokoh Nene Wini dan Rueng yang dikisahkan
mampu melakukan kekerasan, bahkan dapat
dalam dongeng Nenek Wini (Sumba) danLoke
‘membunuh’. Sikap dan tindakan macam itu tentu
Nggerang(Manggarai),sebagaimana ditunjukkan
saja dibingkai oleh konteks budaya masyarakat
pada data (D3/NW.S/3) dan (D1/LN.M/3),
zaman dahulu kala tentang ‘perang’ atau ‘bela
merupakan dua tokoh perempuan dalam dongeng-
diri’. Dalam dunia nyata, masyarakat NTT pada
dongeng NTT yang menolak untuk menikah
zaman dahulu, melibatkan perempuan dalam
dengan pasangan yang dijodohkan oleh orang tua,
berbagai kegiatan perang (periksa Farram, 2004)

16
Citra Perempuan dalam Dongeng-Dongeng Daerah NTT ................................................. Yuliana Jetia Moon, Antonius Nesi

juga menolak dengan tegas untuk dijajah secara dongeng-dongeng NTT dapat menggambarkan
seksual.Meskipun suami Nene Wini telah predikat perempuan sebagai pribadi yang
meninggal dunia, di dalam dongeng itu dikisahkan bermartabat terutama bila dikaitkan dengan
bahwa ia masih mencintai suaminya yang telah karakter diri mereka bahwa mereka tidak ingin
meninggal. Justru itu, ia menolak untuk menerima dijajah seksual.
pinangan dari orang lain. Hal ini pasti terkait erat Selain dinarasikan bahwa tokoh perempuan
dengan sistem monogami dan sangsi adat dalam tidak ingin dijajah secara seksual, dalam dalam
sistem perkawinan patriarkat. Tokoh Rueng, di tali-temalinya dengan relasi perempuan dan laki-
sisi lain, menolak pasangan yang dijodohkan laki, di dalam dongeng-dongeng NTT juga
kepadanya justru karena ia, Rueng, menyadari diri teridentifikasi citra perempuan yang
bahwa kepadanya dipaksakan seorang laki-laki memperlihatkan karakter diri mereka sebagai
yang tidak pernah ia duga dapat menjadi pasangan pribadi yang tunduk atau takluk pada saudara laki-
hidupnya. Ia pun menolak pasangan itu meskipun laki dalam satu garis keturunan atau silsilah.
ia dinilai dapat melawan hukum adat. Sebagai Perhatikan data-data berikut.
konsekuensinya, sebagaimana dikisahkan dalam
dongeng itu, ia akhirnya mati terbunuh karena (1) Ia hanya bisa pasrah untuk menerima
persoalan jodoh, dan kulitnya itulah yang dapat hukuman dari kakaknya(D2/BD.B/3)
dijadikan sebagai kulit gendang yang “bila (2) Ia membantu kakaknya …saudara Uto
ditabuh suaranya terdengan sampai ke Bima”. mendapat sebuah mimpi… laki-laki itu
Sementara itu, tokoh Bete Dou yang memintanya kepada saudara Uto untuk
dikisahkan dalam dongeng Bete Dou (Belu) justru merelakan adik perempuannya… Uto
memilih untuk menikah dengan kekasihnya tanpa ternyata mau menerima lamaran
sepengetahuan orang tuanya. Hal itu Nitung(D5/KUW.FT/2)
memperlihatkan bahwa Bete Dou adalah pribadi
mandiri yang mampu menggunakan kehendak Pada data (D2/BD.B/3) dan (D5/KUW.FT/2)
bebasnya untuk memilih pasangan hidupnya. yang masing-masing dikutip dari dongeng Bete
Dalam budaya patriarki, keputusan Bete Dou pasti Dou (Belu) dan Kisah Uto Wata (Flores Timur)
bertentangan dengan adat istiadat. Meskipun diperlihatkan dengan jelas bahwa tokoh
demikian, sebagaimana dikisahkan lebih lanjut di perempuan dapat menerima dengan lapang
dalam dongeng itu, Bete Dou pada akhirnya perlakuan dari saudaranya (laki-laki). Narasi
diakui oleh masyarakat sebagai satu-satunya dalam kedua dongeng itu dibingkai oleh adanya
perempuan yang membawa perubahan dalam hal kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat
sistem perkawinan, yakni adanya kehendak bebas NTT menganut sistem patrilineal dalam
dari perempuan untuk dapat menentukan perkawinan. Dalam sistem patrilineal, saudara
pasangan hidupnya. Hal itu juga terkait erat laki-laki berhak atas tanah warisan orang
dengan posisi/status perempuan dalam tua/nenek moyang, juga oleh beberapa etnis, nama
penghayatan budaya masyarakat NTT pada marga (klan) hanya dapat diwariskan oleh laki-
umumnya. laki. Di samping itu, dalam praktik hidup harian,
Hasil studi Nesi (2018) memperlihatkan perempuan dapat menjalankan peran domestik
bahwa pada umumnya pranata budaya atau dengan area gerak hanya seputar rumah dan
institusi kekerabatan dalam kelompok etnik NTT kebun. Kajian Arivia (2013) mengungkap bahwa
menempatkan perempuan sebagai “Mama”, “Ibu” di dalam praktik budaya patriarki perempuan
(bahasa Dawan:bife ainaf (dari kata bifel: adalah makhluk inferior yang tersubordinasi di
perempuan dan bahasa Belu atau Flores Timur, bawah laki-laki, dan oleh karena itu dia haruslah
Ina: Mama/Ibu). Predikat ini sungguh agung melakukan sesuatu yang menyenangkan laki-laki,
karena di situ tidak sekadar ditunjukkan mengenai antara lain, yaitu dengan mengasuh anak dengan
hak perempuan atas “wilayah atau rumah” tetapi baik, harus perintah nasehat dan/atau petuah dari
justru lewat predikat itu hendak dilukiskan ayah dan saudara laki-lakinya, dan lain-lain.
mengenai kedudukan perempuan sebagai subjek Konteks macam itu jugalah yang tergambar di
sentral dalam praktik budaya, terutama ikhwal dalam dongeng-dongeng NTT: tokoh perempuan
pelaksananaan ritus-ritus perkawinan adat pada dalam dongeng NTT dikisahkan tunduk
hampir semua etnis NTT. Hal itu hendak dan/takluk pada saudara laki-laki sebagaimana
memperlihatkan bahwa melalui bahasa sastra,

17
PUSTAKA Vol. XX No. 1 • Pebruari 2020

tokoh Bete Dou dan Uto Wata yang dikisahkan dongeng-dongeng itu upaya rekonsiliasi
dalam dongeng asal Belu dan Flores Timur. direpsentasikan melalui tokoh perempuan yang
Di dalam dongeng-dongeng NTT juga berkarakter “lemah” dan “tunduk”.
diperlihatkan citra perempuan yang memiliki
karakter diri sebagai pribadi yang lemah dan Citra Perempuan yang Berkaitan dengan
mudah memaafkan orang lain. Hal itu Perempuan Lainnya
ditunjukkan pada data-data berikut.
Dalam kaitan dengan perempuan lainnya,
tokoh perempuan yang dikisahkan di dalam
(1) Bikuku kemudian dijadikan isteri oleh
dongeng-dongeng NTT memiliki karakter, yakni
raja Lakuleik, sedangkan Bita Nahak
(1) bermusuhan atau berselisih, dan (2) memiliki
dijadikan sebagai penjaga kebun… Raka
rasa empati. Dalam hal bermusuhan atau
Lakuleik mau tinggal bersama Bita
berselisih dengan sesama perempuan, dikisahkan
Nahak. Bita Nahak menolaknya, tetapi
di dalam dongeng-dongeng NTT bahwa hal itu
sia-sia belaka… maka raja Lakuleik
terjadi terutama disulut api perselingkuhan.
menikah dengan Bita Nahak (D2/BN.B/3)
Perempuan yang memiliki suami yang sah pasti
(2) Kire Oli dan Nyona tampak gembira
bermusuhan dengan perempuan lain yang
sedang Hera Alure yang diperbudak Ratu
berselingkuh atau merebut suaminya. Perhatikan
menangis sepanjang hari… Hera Alure
data berikut.
merasa sangat sakit hati… Kire Oli
meminta maaf… mereka hidup rukun dan
(1) Lona Kakapun mulai menyusun siasat
damai (D7/HA.RS/4)
untuk menghilangkan nyawa Lona Rara
agar dapat merebut suaminya
Dalam dongeng Bita Nahak dan Bikuku
(D4/KLLL.S/3)
(Belu) dikisahkan bahwa Bikuku pernah disakiti
(2) Dialah yang sekarang menjadi isteri Kire
oleh Bita Nahak.Hal itu tampak jelas pada kutipan
Oli secara resmi. Hemado Lena sendiri
data (D2/BN.B/3). Meskipun demikian, Bikuku
tak dapat berbuat apa-apa karena telah
tetap menerima Bita Nahak sebagai bagian dari
disihir (D7/HA/RS/5)
kerajaan meskipun dia hanya menjadi penjaga
kebun. Hal ini menggambarkan bahwa Bikuku
Sebagaimana dilukiskan dalam Kisah Lona
adalah pribadi yang mudah memaafkan orang
Kaka dan Lona Lara (Sumba), tokoh Lona Kaka
lain. Hal yang sama juga diperlihatkan dalam
terbakar api cemburu lantaran suaminya direbut
dongeng Hera Alure (Rote-Sabu) yang
perempuan lain. Jika dicermati dengan saksama,
direpresentasikan melalui tokoh perempuan Hera
intervensi tokoh perempuan terhadap kehidupan
Alure. Tokoh ini digambarkan memaafkan Kire
pribadi atau kehidupan keluarga tokoh perempuan
Oli yang telah menyakit hatinya. Kedua tokoh
lain dalam dongeng-dongeng NTT digambarkan
perempuan dalam dongeng NTT ini
dapat mengacaukan kebahagiaan atau
merepresentasikan citra perempuan sebagai tokoh
menyebabkan konflik berkepanjangan (bdk
yang lemah dan mudah memaafkan orang lain.
Wonga, 2016). Konflik berkepanjangan itu dapat
Dalam praktik budaya pada hampir tiap
mengarah pada tindak kekerasan sebagaimana
entitas NTT, saling memaafkan merupakan
tampak pada data (D4/KLLL.S/3), “Lona
praktik budaya. Dalam entitas Dawan, misalnya,
Kakapun mulai menyusun siasat untuk
memaafkan orang lain, merupakan aktivitas sosial
menghilangkan nyawa Lona Rara...”. Di sisi lain,
dan budaya. Sebuah upaya rekonsiliasi antara dua
di sana digambarkan bahwa menghadapi kasus
pihak yang bersengketa lazimnya dilaksanakan
macam itu, perempuan “menyerah”, tidak dapat
melalui ritual (helas keta) yang melibat dua
berbuat apa-apa.
suku/klan, perempuan dengan perempuan lain,
Dalam dongeng Hera Alure, tokoh Hemado
atau perempuan dengan laki-laki, terutama dalam
Lena tidak dapat mengambil satu pun sikap ketika
kasus-kasus perkawinan (bdk. Neonbasu, 2016;
tokoh perempuan lain, “dia” dijadikan isteri oleh
Nesi, 2018). Dalam kaitan dengan itu dapat
Kire Oli. Hal itu disebabkan Hemado Lena telah
dikatakan bahwa dongeng-dongeng NTT
disihir oleh Lona Kaka, perempuan kedua yang
sesungguhnya mengisahkan sebuah realitas sosial
hadir di di dalam kehidupan privat dan keluarga
budaya, terutama ihwal saling memaafkan
Hemado Lena. Hal itu tentu saja bukan karena
(rekonsiliasi) antarpihak meskipun di dalam

18
Citra Perempuan dalam Dongeng-Dongeng Daerah NTT ................................................. Yuliana Jetia Moon, Antonius Nesi

Hemado Lena lemah sebagai perempuan Dalam kebanyakan mitos NTT, dan Flores Timur
melainkan karena faktor lain sebagai khususnya, beredarnya mitos tentang “penjaga
penyebabnya, yakni sihir. Adapun sihir mata air” dapat digambarkan sebagai sosok yang
merupakan sejenis bentuk mantra, perbuatan ajaib berwujud hantu, dan kadangkala juga dapat
yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib diyakini sebagai sosok yang berkenaan dengan
(KBBI, 2008). Dalam kehidupan masyarakat asal-usul nenek moyang (bdk. Taum, 1997).
primitif, sihir atau mantra merupakan suatu Dalam konteks seperti itulah, tokoh Uto dalam
praktik berbahasa yang dampaknya ada di luar dongeng itu digambarkan sebagai pribadi yang
akal sehat, dan karena itu dibutuhkan perspektif ksatria karena ia berani dan menerima menjadi
lintas disiplin untuk dapat menelaahnya secara istri dari sosok yang bukan manusia biasa.
khusus (Mahmood, 2011; bdk. Neonbasu, 2016b). Adapun dalam masyarakat, tokoh perempuan
Dalam relasi dengan perempuan lain, citra digambarkan memegang peran penting dalam
yang juga tergambar pada tokoh perempuan “istana kerajaan” sebagaimana ditunjukkan pada
dalam dongeng-dongeng NTT ialah rasa empati data ((D2/BD/B/3)). Sebagai dongeng, dunia yang
sebagaimana ditunjukkan pada data digambarkan menampilkan tokoh-tokoh
(D4/KLLL.S/4), yakni “Dengan mengajak Nenek perempuan yang memiliki sikap ksatria, bahkan
Kawena. Nenek Kawena …berubah menjadi batu. dalam hal mempertahankan wilayah kerajaan.
Meski sedih, Nenek Wini tetap meninggalkan Citra ini juga berkaitan dengan citra perempuan
kampung”. yang ingin mendapatkan pengakuan dari
masyarakat sebagaimana terlihat pada data-data
Citra Perempuan yang Berkaitan dengan berikut.
Masyarakat
(1) Seluruh warga terheran-heran melihat
Selain citra perempuan yang berkaitan dengan
kedatangannya. Apalagi ia datang
perempuan lain, dongeng-dongeng NTT juga
bersama dengan seorang pemuda yang
mengisahkan tokoh perempuan yang berkaitan
gagah dan tampan. Sambil tersenyum-
dengan masyarakat. Adapun dalam kehidupan
senyum, Lona Rara berjalan disamping
bermasyarakat, tokoh perempuan di dalam
suaminya menuju kerumahnya. Bersedia
dongeng-dongeng NTT memiliki beberapa citra,
pindah ketempat tinggal barunya itu
yakni (1) bersikap kesatria dan rela berkorban,
(D4/KLLL.S/5)
dan (2) ingin mendapatkan pengakuan. Citra
(2) “Sekarang kita akan memasuki istana.
ksatria tokoh perempuan dalam dongeng NTT
Jadi engkau harus memberikan kainmu
ditemukan pada data-data berikut.
kepada saya, dan sebagai gantinya engkau
memakai sokal (D6/BD.B/1)
(1) Uto diminta untuk menjadi istri Nitung
(3) Kabar tentang peminangan
(hantu penghuni mata air itu)… Uto
dimakluminya. Oleh sebab itu ia
ternyata mau menerima lamaran Nitung.
bermaksud akan memperlengkapkan
Mereka mendapatkan air yang melimpah
dirinya dengan bermacam-macam
ruah. Janji Nitung ditepati (D4/UW.FT/3)
keterampilan seperti tenun-menenun,
(2) Sang Raja dan permaisuri berharap Putri
teknik ikat motif, dan teknik celup-
akan membawa berkah untuk
cepupan(D7/HA.RS/6)
kesejahteraan kerajaan dan seluruh
rakyatnya. …mereka berniat untuk
Pada data (D4/KLLL.S/5), (D6/BD.B/1), dan
memingit sang Putri agar kesuciannya
(D7/HA.RS/6) digambarkan mengenai citra tokoh
tetap terjaga. Mulanya, sang Putri
perempuan yang ingin mendapatkan pengakuan
menolaknya. …akhirnya iapun bersedia
dari masyarakat. Wujud pengakuan yang
pindah ketempat tinggal barunya itu
diinginkan para tokoh perempuan dalam dongeng-
(D2/BD/B/3)
dongeng NTT ialah mereka ingin memiliki
pasangan hidup yang serasi, tampan, dan
Pada data (D4/UW.FT/3) yang dikutip dari
berwibawa (data 1 dan 2), serta mereka ingin
dongeng Kisah Uto Wata (Flores Timur), tokoh
dihargai atau diakui karena profesi atau pekerjaan
perempuan, Uto, bersedia menjadi isteri Nitung.
mereka seperti menyulam, celup-celupan, dan
Adapun Nitung adalah “hantu penghuni mata air”.
menenun. (data 3). Citra macam itu tentu tidak

19
PUSTAKA Vol. XX No. 1 • Pebruari 2020

terlepas dari kebutuhan psikologis perempuan Mahmood, S. (2011). “Religion, Feminism, and
untuk memperoleh pengakuan sosial. Empire: The New Ambassadors of
Islamophobia” dalam Linda Martín Alcoff
and John D. Caputo (eds.). Feminism,
Simpulan Sexuality and the Return of Religion.
Bloomington: Indiana University Press.
Dalam dongeng-dongeng NTT
teridentifikasi 4 (empat) citra tokoh perempuan, Neonbasu, G. (2016a). Citra Manusia Berbudaya:
yakni (1) citra perempuan yang berkaitan dengan Sebuah Monografi tentang Timor dalam
dirinya sendiri, (2) citra perempuan yang Perspektrif
berkaitan dengan laki-laki, dan (3) citra
perempuan yang berkaitan perempuan lainnya, (4) Neonbasu, G. (2016b). Akar Kehidupan
citra perempuan yang berkaitan dengan Masyarakat Sumba dalam Citra Marapu.
masyarakat. Dari keempat citra itu diidentifikasi Jakarta: Lappop Press bekerja sama dengan
pula karakter tokoh perempuan dalam dongeng- Unika Widya Mandira.
dongeng NTT, yakni mereka adalah pribadi
mandiri, pekerja keras, pemberani, memiliki Nurgiyantoro, B. (2007). Teori Pengkajian Fiksi.
keahlian/keterampilan tertentu, pribadi spiritual Cetakan ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada
(makhluk religius), dan mampu melakukan University Press.
kekerasan. Tokoh perempuan dalam dongeng-
dongeng NTT juga memiliki citra Tidak ingin Ratna, K. N. (2011). Antropolgi Sastra Peranan
dijajah secara seksual atau mandiri dalam memilih Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses
pasangan, takhluk pada saudara laki-laki, dan Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
lemah dan mudah memaafkan orang lain. Di sisi
lain, mereka juga digambarkan berkarakter Riffaterre, M. (1978). Semiotics of Poetry.
bermusuhan, berselisih, merebut suami orang lain, London: Metheun & Co. Ltd.
memiliki rasa empati, bersikap kesatria dan rela
berkorban, serta ingin mendapatkan pengakuan Sangidu. (2004). Penelitian Sastra: Pendekatan,
sosial dari masyarakat. Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.
Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia
Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Daftar Pustaka Gadjah Mada.
Arivia, G. (2003). Filsafat Berperspektif Feminis. Walby, S. (2011). The Impact Feminism on
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Sociology. Sociological Reseach Online,
16(3), 1-10.
Cresswel, J. W. (2010). Research Design:
Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Pusat Penelitian Wanita Undana. (2000). Hak
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Asasi dan Kekerasan Terhadap
Perempuan. Kupang: Undana.
Danandjaja, J. (2015). “Pendekatan Folklor dalam
Penelitian Tradisi Lisan” dalam Pudentia Sakina, A. I. ( 2017). “Menyoroti budaya patriarki
(eds.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. di indonesia.” Share: Social Work Journal,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 7(1), 71-80.
Duija, I. N. (2005). “Tradisi Lisan, Naskah, dan Soewadji, J. (2012). Pengantar Metodologi
Sejarah: Sebuah Catatan Politik Penelitian. Jakarta: Mitra Wacana Media
Kebudayaan” dalam Wacana, 7(2), 111-
124. Sudaryanto. (2015).Metode dan Teknik Analisis
Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Forshee, J. (2006). Culture and Customs of Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta:
Indonesia. London: Greenwood Press. Sanata Dharma University Press.

20
Citra Perempuan dalam Dongeng-Dongeng Daerah NTT ................................................. Yuliana Jetia Moon, Antonius Nesi

Sudikan, S. Y. (2013). “Kearifan Lokal dalam Contoh Penerapannya. Yogyakarta:


Tradisi Lisan Nusantara: Penggalian Nilai- Penerbit Lamalera.
nilai Kebhinekaan untuk Indonesia Masa
Kini dan Masa Depan” dalam Endraswara, Taum, Y. Y. (1997). Kisah Wato Wele-Lia Nurat.
S. (eds.). Folklor Nusantara: Hakikat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak. &Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Sugihastuti. (2000). Wanita di Mata Wanita. Wiyatmi. (2009). Pengantar Kajian Sastra.
Bandung: Nuansa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Sofia, A. (2009). Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Wonga, D. (2016). Citra Perempuan dalam
Yogyakarta: Citra Pustaka Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur
Lamaholot. Yogyakarta: Prodi Bahasa Dan
Taum, Y. Y. (2011). Studi Sastra Lisan Sejarah, Sastra Indonesia, UNY 5(4).
Teori, Metode dan Pendekatan, Disertai

21

Anda mungkin juga menyukai