Anda di halaman 1dari 7

FAKTOR RESIKO DIABETES MELLITUS

Criteria for Type 2 Diabetes, Prediabetes Testing in Asymptomatic Adults


Consider testing in all adults with BMI* 25 kg/m2 (overweight) and additional risk factors:
Physical inactivity
First-degree relative with diabetes
High-risk race/ethnicity
Women who delivered a baby >9 lb or were diagnosed with GDM
HDL-C <35 mg/dL TG >250 mg/dL
Hypertension (140/90 mm Hg or on therapy)
A1C 5.7%, IGT, or IFG on previous testing
Conditions associated with insulin resistance: severe obesity, acanthosis nigricans,
PCOS
CVD history
If no risk factors: begin testing no later than age 45

If normal results: repeat testing in 3-yr intervals


More frequent testing depending on initial test results, risk factors
Prediabetes: test yearly

*At-risk BMI may be lower in some ethnic groups

Common Comorbidities Associated With Diabetes


Certain cancers (liver, pancreas, bladder, endometrium, breast, colon/rectum)*
Cognitive impairment
Depression
Dyslipidemia
Fatty liver disease
Fractures
Hearing impairment

Hypertension
Low testosterone (men)
Obesity
Obstructive sleep apnea
Periodontal disease

*Possibly only associated with type 2 diabetes

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS


Secara garis besar komplikasi terhadap diabetes mellitus dibagi menjadi 2 diantaranya
1)
2)
a.

Komplikasi Akut
Ketoasidosis Diabetik
Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Hipoglikemia
Komplikasi Kronik
Makroangiopati
: Penyakit pembuluh darah jantung, pembuluh darah
tepi (claudicatio intermitten), dan pembuluh darah otak (stroke atau Transient

Ischemic Attack).
b. Mikroangiopati
c. Neuropati

: Retinopati dan nefropati


: Beresiko terjadinya ulkus pada kaki

HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan menurunnya kadar
glukosa darah <60 mg/dl. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang
diabetes melitus harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hal ini
paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
pada penggunaan sulfonilurea berlangsung lama sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat disekresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan yang dibutuhkan
biasanya 24-72 jam atau lebih terutama pada pasien gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi OHO kerja panjang.
Penyebab Hipoglikemia
Menurut Sabatine (2004), hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes dan non
diabetes dengan etiologi sebagai berikut :

1. Pada Penderita Diabetes


Pada penderita diabetes, hipoglikemia dapat timbul akibat peningkatan kadar
insulin yang kurang tepat baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena
obat yang meningkatkan eksresi insulin seperti sulfonilurea. Hampir setiap pasien
yang mendapat terapi insulin maupun dengan sulfonilurea pernah mengalami
dimana kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi namun kadar glukosa darah sudah
dibawah normal.
2. Pada Penderita Non Diabetes
Terjadinya hipoglikemi dalam hal ini dapat diakibatkan oleh peningkatan
produksi insulin, pasca melakukan aktivitas, mengonsumsi makanan yang
mengandung sedikit kalori, mengonsumsi alkohol, pasca melahirkan, pasca
gastrektomi, dan bila pasien menggunakan obat-obatan dalam jumlah besar
(seperti Salisilat dan Sulfonamide).
KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK HIPOGLIKEMIA
Menurut Soemadji (2006) dan Cryer (2005), karakteristik diagnostik pada pasien
hipoglikemia ditentukan berdasarkan TRIAS WIPPLE sebagai berikut :
1. Terdapat gejala dari hipoglikemia
2. Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
3. Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah (pasca
koreksi)
KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS HIPOGLIKEMIA
Menurut Soemadji (2006) dan Rush and Louis (2004) adalah sebagai berikut

Klasifikasi dari hipoglikemia pada penderita diabetes menurut American Diabetes


Association (2013)

Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang,
diantaranya :
1. Gejala Otonomik berkeringat, jantung berdebar, tremor, dan lapar
2. Gejala Malaise sakit kepala dan mual
3. Gejala Neuroglikopenik (gejala disfungsi serebral) bingung
(confusion), mengantuk, sulit bicara, inkordinasi, perilaku yang berbeda,
gangguan visual dan parestesi, kesadaran menurun sampai koma
PATOFISIOLOGI
Gejala dari hipoglikemia berhubungan dengan aktivasi dari simpatis dan
disfungsi otak sekunder akibat penurunan dari tingkat glukosa dalam darah.
Stimulasi dari sistem saraf simpatoadrenal mengakibatkan terjadinya berkeringat,
palpitasi, gemetar, ansietas, dan kelaparan. Penurunan dari glukosa darah pada
otak mengakibatkan terjadinya konfusi, sulit berkonsentrasi, iritabilitas,
halusinasi, gangguan fokal (seperti hemiplegia), bahkan koma dan kematian.
Adanya gejala adrenergik sering mengakibatkan adanya gejala neuroglikopenik
dan memberikan tanda awal pada pasien.
Respon awal ketika kadar glukosa turun adalah peningkatan akut sekresi
hormon caunter-regulatory (glucagon dan epinefrin) dimana batas kadar glukosa
tersebut yaitu 65-68 mg%. Lepasnya epinefrin akan menunjukan aktivasi sistem

simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap turun sampai 3,2 mmol/l maka gejala
aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi yang diukur dengan kecepatan
reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain mulai terganggu pada kadar
glukosa 3 mmol/L. Bila individu tersebut masih memiliki kesiagaan maka aktivasi
sistem simpatoadrenal akan terjadi sebelum gejala fungsi serebral yang bermakna
timbul sehingga pasien tetap sadar dan memiliki kemampuan kognitif yang cukup
untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.
TERAPI HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES
1. Glukosa Oral
Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakan dengan pemberian glukosa
darah kapiler, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam
bentuk tablet, jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa
seperti jus buah segar dan nondiet cola. Sebaiknya coklat manis tidak
diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorbs glukosa. Bila
belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 gram
karbohidrat kompleks. Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan
tidak terlalu gawat, pemberian madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga
mulut (buccal mungkin dapat dicoba).
2. Glukagon Intramuskular
Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga non
profesional yang terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan
kerja glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien
sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral
20 g dan dilanjutkan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk
mempertahankan pemulihan, Pada keadaan puasa yang panjang atau
hipoglikemia yang diinduksi alkohol,pemberian glukagon mungkin tidak
efektif. Efektivitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang
terjadi.
3. Glukosa Intravena
Glukosa intravena harus diberikan secara hati-hati. Pemberian glukosa
dengan konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa

20% atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa
50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.
Menurut PERKENI (2011), pedoman mengenai tatalaksana hipoglikemia adalah
a. Bagi pasien dengan kesadaran yang baik maka dapat diberikan makanan yang
mengadung karbohidrat dan minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 mg melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat.
b. Bagi pasien yang tidak sadar, dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih
dahulu sebagai tindakan darurat sebelum dapat dipastikan penyebab
penurunan kesadaran.
ALGORITMA TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA

Seaquist ER, Anderson J, Childs B, et al. Hypoglycemia and diabetes: a report of a


workgroup of the American Diabetes Association and The Endocrine Society. Diabetes Care.
2013. Epub ahead of print.

Anda mungkin juga menyukai