Anda di halaman 1dari 7

RISK MANAGEMENT

Lecturer: Dr. Mamduh M. Hanafi, MBA

Case #1 Risk Management at PT Bank Mandiri

Group 1:
1) Aditya Wahyu Setyawan 0849002
2) Adlin Fathar Siregar 0849003
3) Frida Unsiyati 0849023
4) Harris Hermawan 0849024
5) Wiryawan Kuncoro - 0850094

MASTER OF MANAGEMENT
UNIVERSITY OF GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
0

Profil Perusahaan
Bank Mandiri didirikan pada 2 Oktober 1998, sebagai bagian dari program
restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintaha Indonesia. Pada bulan Juli
1999, empat bank pemerintah yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Exim, dan
Bapindo dilebur menjadi Bank Mandiri. Masing-masing dari keempat bank memainkan peran
yang tak terpisahkan dalam pembangunan perekonomian Indonesia.
Segera setelah merger, Bank Mandiri melaksanakan proses konsolidasi secara
menyeluruh. Pada saat itu, telah ditutup 194 kantor cabang yang saling berdekatan dan
mengurangi jumlah karyawan, dari jumlah gabungan 26.600 menjadi 17.620 karyawan. Brand
Bank Mandiri diimplementasikan secara sekaligus ke semua jaringan dan pada seluruh
kegiatan periklanan dan promosi lainnya. Bank Mandiri telah bekerja keras untuk
menciptakan tim manajemen yang kuat dan professional yang bekerja berlandaskan pada
prinsip-prinsip good corporate governance yang telah diakui secara internasional. Bank
Mandiri disupervisi oleh Dewan Komisaris yang ditunjuk oleh Menteri Negara BUMN yang
dipilih berdasarkan anggota komunitas keuangan yang terpandang. Manajemen ekskutif
tertinggi adalah Dewan Direksi yang dipimpin oleh Direktur Utama. Dewan Direksi terdiri
atas banker dari legacy banks dan juga dari luar yang independen dan sangat kompeten. Bank
Mandiri juga mempunyai fungsi offices of compliance, audit dan corporate secretary, dan juga
menjadi obyek pemeriksaan rutin dari auditor eksternal yang dilakukan oleh Bank Indonesia,
BPKP dan BPK serta auditor internasional.

Visi & Misi


Visi: Bank terpercaya pilihan anda
Misi:

Berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar


Mengembangkan sumber daya manusia profesional
Memberi keuntungan yang maksimal bagi stakeholder
Melaksanakan manajemen terbuka
Peduli terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan

Manajemen Risiko Pada Bank Mandiri

Bank sudah menerapkan kerangka kerja manajemen risiko yang komprehensif dan
terintegrasi atau Enterprise Risk Management/ ERM, dengan tujuan untuk memberikan nilai
1

tambah (value added) bagi Bank dan stakeholders. Melalui ERM, pengelolaan risiko menjadi
proses yang embedded dalam setiap proses bisnis Bank, terutama dikaitkan dengan
pelaksanaan organisasi berbasis Strategic Business Unit (SBU) dan penilaian kinerja berbasis
risiko (Risk Based Performance Measurement).
Untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi global saat ini, dan menghadapi
ketidakpastian ekonomi makro, pada tahun 2008 Bank berupaya memperkuat proses manajemen
risiko di setiap kegiatan usaha. Bank melakukan penyempurnaan atas kebijakan, infrastruktur
dan kualitas sumber daya manusia terkait dengan pengelolaan risiko, mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia, Basel II dan international best practices. Bank menyempurnakan struktur
Komite Manajemen Risiko (Risk & Capital Committee/RCC), merevisi Kebijakan Manajemen
Risiko Bank Mandiri (KMRBM) termasuk Kebijakan
Kebijakan Treasury Bank Mandiri

Perkreditan Bank Mandiri (KPBM),

(KTBM), dan Kebijakan Operasional

Bank Mandiri

(KOBM). Selain itu Bank melakukan gap & data analysis untuk persiapan penerapan Basel II,
yang diikuti dengan action plan berupa persiapan data, sistem simulasi untuk perhitungan
capital charge, serta perbaikan sistem penyusunan profil risiko agar menjadi lebih sistematis dan
akurat. Semua inisiatif ini dilakukan untuk mempersiapkan bank agar dapat mengetahui risiko
yang dihadapi, melakukan upaya pencegahan dan mitigasi, mencadangkan modal dan alokasi
untuk setiap SBU, serta mengaplikasikan penilaian kinerja berbasis risiko, sehingga membantu
bank dalam merencanakan arah pertumbuhan bisnis di masa depan.

1) Risiko Perubahan Tingkat Bunga


Tingkat Bunga Secara Umum Mengalami Peningkatan Pada Tahun 2008, BI Rate
sempat meningkat ke 9,5% pada bulan Oktober dan November. Namun, melemahnya tekanan
inflasi serta melemahnya perekonomian domestik memberikan ruang bagi BI untuk
menurunkan tingkat bunga acuan BI rate. Awal Desember 2008, bank sentral menurunkan BI
rate ke 9,25%. Penurunan ini terus berlanjut yang mengantarkan BI rate pada tingkat 7,5% di
bulan April 2009. Namun dengan kondisi likuiditas dan kehati-hatian di sektor perbankan,
turunnya BI Rate belum sepenuhnya ditransmisikan ke penurunan suku bunga deposito
maupun suku bunga pinjaman. Data Desember 2008 memperlihatkan rata-rata tertimbang
suku bunga deposito bank umum dengan jangka waktu 1 bulan masih terlihat mengalami
kenaikan. Suku bunga deposito 1 bulan pada Desember 2008 masih berada di 10,75% p.a.
Demikian juga dengan suku bunga pinjaman. Suku bunga kredit modal kerja, kredit investasi,
2

dan kredit konsumsi pada bank umum terus mengalami peningkatan hingga Desember 2008.

2) Risiko Kredit

Untuk mendukung proses pemberian kredit yang sehat, Bank terus melakukan kajian dan
penyempurnaan terhadap kebijakan, prosedur dan tools secara periodik sesuai dengan
perkembangan bisnis terkini. Pada tahun 2008 Bank Mandiri melakukan penyempurnaan tools
pengukur risiko kredit antara lain:

Pengembangan rating untuk Financial Institution (Bank Mandiri Financial Institution


Rating BMFIR), dengan tujuan untuk dapat melakukan identifikasi dan pengukuran
besarnya risiko Counterparty yang dapat diberikan toleransi dalam memberikan fasilitas
Credit Line.

Penyempurnaan Rating Tools berupa Bank Mandiri Rating System (BMRS) dan Scoring
Tools berupa Micro Banking Scoring System (MBSS) dan Small Medium Enterprise
Scoring System (SMESS), serta scoring khusus untuk consumer finance dan credit card.
Pengembangan template standar spreadsheet keuangan untuk bidang usaha manufacture
& trading, plantation, contractor, project finance dan FI- Bank.

Penyempurnaan Loan Origination System (LOS) untuk segmen Corporate Banking


menjadi Integrated Loan Processing (ILP) system yang mencakup Origination System,
Spreadsheet data keuangan, Rating System, Nota Analisa Kredit (NAK) dan Loan
Monitoring System yang dilengkapi dengan Early Warning Signal (Watch List Tool).
Penyempurnaan system ini meningkatkan kehati-hatian dan mempercepat proses (Turn
Around Time) pemberian kredit Bank.

3) Risiko Konsentrasi Pinjaman dan Pendanaan

Penyerapan dana pihak ketiga maupun penyaluran kredit di tahun 2008 mengalami
perbaikan dibanding tahun sebelumnya. Dana pihak ketiga mampu tumbuh 16%, sementara
penyaluran kredit tumbuh sebesar 31% dibanding tahun 2007. Peningkatan penyaluran kredit
ini sejalan dengan berkurangnya penempatan dana di Bank Indonesia terutama Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) sebesar 18% dibanding tahun sebelumnya.
Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga di
satu sisi meningkatkan loan to deposit ratio (LDR). LDR di tahun 2008 tercatat mengalami
3

kenaikan menjadi 74,58% dibanding LDR tahun 2007 yang hanya 66,32%. Namun di sisi
lain, pesatnya pertumbuhan kredit tersebut menyebabkan ketatnya likuiditas perbankan
nasional. Pada bulan Juli dan Agustus 2008, dana pihak ketiga bahkan sempat mengalami
penyusutan.
Untuk melonggarkan likuiditas, Bank Indonesia menurunkan Giro Wajib Minimum
(GWM) dari 9,01% menjadi 7,5% pada bulan Oktober 2008. Sampai dengan penghujung
tahun 2008, penyerapan dana pihak ketiga kembali mengalami perbaikan, khususnya dana
rupiah yang pada bulan Desember mampu tumbuh 5% dibanding bulan sebelumnya. Namun
untuk penyerapan dana valuta asing masih menunjukkan penurunan sebesar 6% dibanding
bulan sebelumnya.
Perbankan cenderung berhati hati menyalurkan kredit valuta asing pada saat kurs
rupiah mengalami depresiasi. Meskipun penyaluran kredit total hanya turun sebesar 1%
namun kredit valuta asing mengalami kontraksi sebesar 11% di akhir tahun 2008
dibandingkan bulan November. Setelah memperhitungkan kredit yang dihapus bukukan (write
off), kredit bermasalah Non-Performing Loan di sektor perbankan menunjukkan trend
penurunan. Non-Performing Loan turun dari 4,1% di akhir tahun 2007 ke 3.2% di akhir tahun
2008.

4) Risiko Operasional

Bank terus melakukan langkah untuk menyempurnakan implementasi pengelolaan


risiko operasional pada tahun 2008 dengan strategi sebagai berikut:
a) Mitigasi Risiko Operasional

Sebagai pedoman dalam pengelolaan risiko operasional, Bank terus menyesuaikan


kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko operasional sesuai dengan perkembangan
terkini, termasuk prosedur Business Continuity Plan (BCP).

Melaksanakan implementasi ORM Tools (Mandiri Loss Event Database, Risk &
Control Self Assessment, dan Key Risk Indicators) di seluruh unit kerja Bank dengan
tujuan agar pengelolaan risiko operasional sudah melekat dalam aktivitas bank seharihari.

Untuk dapat mengidentifikasi risiko operasional yang ada, Bank menyusun laporan
profil risiko operasional secara bankwide dan per unit kerja, sehingga dapat

memperoleh gambaran besarnya potensi risiko (frekuensi kejadian dan dampak bagi
bank dan unit kerja yang bersangkutan).
b) Menghitung Modal yang Diperlukan untuk Mengcover Risiko Operasional.

Data yang diperoleh dari implementasi ORM Tools, digabungkan dengan data
eksternal nantinya akan menjadi dasar bagi perhitungan modal untuk mengcover risiko
operasional.

Perhitungan modal untuk mengcover risiko operasional pada tahun 2008 telah
dilakukan dengan menggunakan Basic Indicator Approach (BIA) sebesar Rp2.272,6
miliar. Mulai paruh pertama tahun 2009, bank siap menghitung dengan metode
Standardized Approach sejalan dengan pelaksanaan pengukuran kinerja SBU berbasis
risiko.

5) Risiko Persaingan Usaha


Saat ini pemerintah masih memiliki empat bank badan usaha milik negara, yaitu Bank
Mandiri, BNI, BRI, dan BTN. Namun terkait dengan risiko persaingan usaha yang dihadapi
oleh Bank Mandiri dengan pesaingnya, seberapa efektifkah keberadaan empat bank tersebut
dalam menunjang program pemerintah? Untuk mengkajinya, kita dapat mencermatinya. Peran
agent of development bank badan usaha milik negara (BUMN) yang menurun. Kecuali bank
BTN yang belum menjadi perusahaan terbuka, tiga bank lainnya, sebagai perusahaan publik,
tentunya tidak dapat lagi berperan secara penuh sebagai agent of development dalam arti yang
sebenarnya. Fokus bank BUMN tidak jelas. Dari keempat bank pelat merah, hanya bank BTN
yang masih konsisten dengan fokus bisnisnya di pembiayaan sektor perumahan. Namun, bank
BTN sulit tumbuh agresif karena kendala kesulitan dalam memobilisasi dana masyarakat.
BNI kondisinya juga masih belum membaik. Bank yang dulunya kuat dalam
pelayanan transaksi internasional saat ini seperti kehilangan dayanya. Fokus bisnisnya tidak
jelas, antara tetap fokus di korporasi dan mulai bergeser ke pasar usaha mikro kecil menengah
(UMKM).
Sementara itu, Bank Mandiri sebagai bank korporasi tampaknya mulai masuk ke
pembiayaan mikro. Namun, keberhasilannya masih dipertanyakan karena mereka harus
berhadapan dengan BRI yang telah berpengalaman di segmen mikro.
Terakhir adalah bank BRI, bank yang dikenal fokus di pembiayaan UMKM ini juga
mulai agresif pada pembiayaan korporasi, bersaing dengan bank Mandiri dan BNI. Namun,
strategi ini tidak disenangi investor. Investor lebih senang BRI tetap fokus di sektor UMKM
5

yang memberikan yield tinggi dengan risiko rendah dibandingkan kredit korporasi dengan
yield rendah tetapi risikonya tinggi.
Persaingan tidak sehat antarbank BUMN akan mengurangi optimalisasi hasil kinerja
mereka. Ketatnya persaingan telah mendorong bank BUMN untuk saling berlomba
memberikan suku bunga pinjaman yang rendah kepada debitor (risiko penurunan NIM),
bahkan melakukan strategi pemberian plafon kredit yang berlebih untuk menarik debitor
pindah ke bank mereka (risiko NPL). Dari segi dana, persaingan ketat terjadi dalam
memperebutkan deposan institusi yang memiliki dana besar. Mereka bahkan tidak segan
mendongkrak suku bunga depositonya dalam menarik deposan besar. Tidak adanya
pembagian fokus bisnis bank BUMN berisiko menimbulkan persaingan tidak sehat di antara
mereka. Adapun persaingan antarbank BUMN, di luar BTN, terjadi pada hampir semua
segmen, seperti segmen kredit menengah dan korporasi, di mana porsi portofolio kredit BRI
(korporasi dan menengah) 25 persen, Mandiri (korporasi) 43 persen, dan BNI (korporasi &
menengah) 75 persen.
Persaingan segmen kredit komersial terjadi antara BRI dan Mandiri, di mana porsi
kredit komersial BRI mencapai 28 persen, sedangkan Mandiri 30 persen dari total portofolio
kredit mereka. Walaupun BNI tidak mencatat ada portofolio kredit komersial, bukan tidak
mungkin sebagian kredit menengah BNI masuk kriteria kredit komersial milik BRI dan
Mandiri.
Sementara itu, ketiga bank juga memasuki pasar konsumer, di mana porsi portofolio
kredit BRI 19 persen, Mandiri 14 persen, dan BNI 16 persen. Namun, di segmen ini
persaingan akan didominasi BNI dan Mandiri (kredit perumahan, kendaraan bermotor, dan
kredit konsumtif lainnya) karena kredit konsumer BRI didominasi kredit pegawai, sementara
porsi KPR dan kredit kendaraan bermotornya masih sangat kecil. Untuk kredit mikro, bank
BRI masih mendominasi segmen ini, porsi kredit mencapai 28 persen. Bank Mandiri, yang
mulai memasuki pasar mikro, porsi kreditnya baru sebesar 13 persen, sedangkan BNI tidak
memiliki portofolio kredit mikro.

Anda mungkin juga menyukai