Anda di halaman 1dari 5

Pengalaman adalah guru yang baik.

Bahkan, saat pengalaman itu menyakitkan, ia tetap bisa


dipelajari. Nampaknya, itulah yang dilakukan para pemangku kepentingan negeri ini maupun
perbankan Indonesia. Belajar dari pengalaman tak menyenangkan pada saat terjadi krisis ekonomi
pada tahun 1997/1998, yang memaksa Pemerintah dan Bank Indonesia merekapitalisasi belasan
bank dengan dana sekitar Rp400 triliun, berbagai upaya penguatan sistem perekonomian dan
perbankan nasional terus dilakukan.

Sejak tahun 1999, misalnya, otoritas dan pelaku industri perbankan bahu- membahu untuk
memperkokoh pondasi urat nadi perekonomian ini. Sejumlah langkah penguatan itu, antara lain,
pemenuhan atas 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision, penerapan blanket
guarantee untuk melindungi simpanan nasabah serta pembentukan LPS, pengetatan pengaturan
pengawasan bank, dan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Sementara di tahun 2011, kebijakan penguatan perbankan nasional difokuskan pada tiga elemen.
Pertama, meningkatkan kualitas industri perbankan nasional. Langkah ini meliputi, antara lain,
pemenuhan jumlah dan kualitas SDM, pemberian insentif yang tepat, serta penguatan inovasi
produk dan infrastruktur industri.

Kedua, meningkatkan intermediasi perbankan. Kebijakan ini diimplementasikan, antara lain, melalui
sekutirisasi KPR, transparansi suku bunga dasar kredit (basic lending rate), kelonggaran bobot risiko
kredit ritel dan KMK, pendirian biro kredit swasta, BPD sebagai penggerak ekonomi daerah (regional
champion), serta perluasan akses perbankan (financial inclusion).

Ketiga, meningkatkan ketahanan bank. Kebijakannya meliputi, antara lain, ketentuan fit and proper
test, fungsi kepatuhan bank umum, manajemen risiko terkait bancassurance, dan bank dalam
pengawasan khusus maksimal tiga tahun.

Hasil usaha keras itu pun tidak sia-sia. Hal ini terbukti dari kondisi perekonomian dan perbankan
Indonesia yang mampu bertahan meski krisis keuangan kembali menghantam dunia pada tahun 2008
– 2009, maupun ancaman krisis keuangan baru yang bersumber dari Eropa.
Sejalan dengan indikator makro, berbagai indikator perbankan juga menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Likuiditas perbankan tergolong aman bahkan berlebih, ditunjukkan oleh
penyaluran kredit tahun 2011 yang mencapai angka Rp1.706 triliun. Sementara NPL tetap terjaga di
level 3,06 persen, BOPO tetap tinggi pada level 81 persen, NIM 5,8 persen, CAR 16,9 persen, dan LDR
76,7 persen.

Lima Tantangan Abad 21

Bagi perbankan, abad 21 sangat berbeda dengan abad 20. Meski telah menunjukkan ketahanan yang
cukup menggembirakan, namun bank tidak boleh terlena. Ke depan paling tidak ada lima tantangan
yang perlu menjadi perhatian ekstra para pelaku industri perbankan nasional.

Pertama, bankir perlu ekstra hati-hati mengelola bisnis yang penuh risiko. Bisnis bank memang
menjanjikan tingkat keuntungan tinggi, namun profitabilitas ini juga dibarengi dengan risiko tinggi.
Kegagalan dalam mengelola aktiva, khususnya dalam menyalurkan kredit, akan membuat bank
seperti menderita sakit kanker, kolaps secara perlahan-lahan.

Tingginya risiko bank ini semakin besar, mengingat bank wajib menjaga kepercayaan nasabah. Jika
kegagalan mengelola aktiva membuat bank ibarat menderita kanker, maka kegagalan mengelola
sumber dana, bank seperti terkena serangan jantung. Yang pertama akan menggerogoti kondisi bank,
yang kedua akan langsung mematikan bank karena kepercayaan nasabah runtuh dan mereka
menarik dananya bersama-sama (rush). Mengingat sebagian besar dana bank berasal dari nasabah
dan hanya sebagian kecil yang berasal dari pemilik (owner), penarikan secara besar-besaran itu tentu
saja membuat bank seketika kekeringan likuiditas hingga bangkrut. Inilah yang sempat dialami oleh
bank-bank nasional pada 1997/1998.

Pengelolaan risiko dilakukan dengan cara mengindentifikasi, mengukur, dan memperkirakan


konsekuensi dari suatu risiko. Salah satu metode yang sering digunakan adalah dengan memakai
analisis Value at Risk (VAR), yaitu suatu kajian akademis yang memprediksi risiko bank dengan data
historis melalui pendekatan statistik.

Namun, penilaian risiko dengan VAR, juga oleh agen peringkat, ternyata belum memadai. Hal ini
terbukti dari bangkrutnya lembaga keuangan ternama seperti Lehman Brothers, Bear Stearns dan
Merril Lynch yang memiliki VAR sangat bagus. Sementara Enron, WorldCom dan General Motor yang
dinilai sebagai perusahaan dengan rating tinggi juga kolaps.
Kedua, bankir perlu bekerja ekstra untuk melaksanakan good corporate governance (GCG). Untuk
dapat menangkap peluang perubahan eksternal yang cepat, sekaligus mengakomodasi manajemen
risiko, bank butuh melaksanakan GCG. GCG didefinisikan sebagai suatu sistem, proses dan
seperangkat peraturan mengenai hubungan antara beberapa pihak (stake holder), yaitu pemegang
saham, direksi, dan komisaris. GCG bertujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan fatal dan
memastikan jika terjadi kesalahan dapat diperbaiki dengan segera.

Ketiga, bankir perlu mengantisipasi pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Implementasi
ASEAN Economic Community 2015 (AEC) akan mengakibatkan terjadinya free flow barang, jasa,
investasi, modal, dan tenaga kerja (skilled labor) di antara 10 negara ASEAN.

Guna mengantisipasi AEC, pelatihan yang komprehensif bagi SDM perbankan perlu terus-menerus
dilakukan dalam rangka menyiapkan bankir yang handal dan kompetitif, agar nantinya dapat bersaing
dengan bankir-bankir dari negara ASEAN lain ketika AEC terbentuk.

Keempat, bankir perlu menangkap peluang berbisnis dalam dual banking system. Seperti diketahui,
perbankan Indonesia berjalan dengan dua sistem, yaitu konvensional dan syariah. Sebagai negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, peluang pengembangan keuangan syariah di
Tanah Air sangat terbuka, bahkan menjadi pusat ekonomi syariah di Asia dan Dunia.

Ada beberapa alasannya, yaitu: citra keuangan syariah di dunia yang semakin meningkat, terutama
semenjak krisis keuangan tahun 1997 dan 2008; perundang-undangan di Indonesia yang
mendukung, seperti telah adanya UU Perbankan Syariah, UU Sukuk, dan pajak ganda untuk
pembiayaan murabahah; serta adanya kepercayaan yang tinggi dari masyarakat terhadap
pelaksanaan sistem keuangan syariah di Indonesia karena dianggap dapat dipecaya (un-doubtful) dan
aplikatif.

Namun, potensi besar perbankan syariah nasional menghadapi tantangan yang tidak ringan. Sebab,
seiring dengan perkembangan pesat perbankan syariah, dibutuhkan pasokan Sumber Daya Insani
(SDI) yang sebanding. Hingga tahun 2015, dengan asumsi pertumbuhan perbankan syariah 25 persen
per tahun, diperkirakan kebutuhan SDI perbankan syariah adalah 60 ribu orang. Artinya,
dibandingkan jumlah SDI yang ada saat sekarang, sekitar 20 ribu orang (2010), ada gap sekitar 40
ribu orang lagi.

Untuk memenuhi kebutuhan SDI tersebut, pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi bankir
syariah sangat penting, sebab bank syariah tidak bisa mengandalkan SDM hasil konversi bank
konvensional karena sebagian keterampilan bankir syariah tidak dimiliki oleh bankir konvensional.

Kelima, bankir perlu memahami sistem pengawasan bank. Secara umum kebijakan pengawasan bank
dapat dibagi dua, yaitu micro prudential dan macro prudential. Micro prudential merupakan
penilaian atas tingkat kesehatan dari sebuah individu bank, yang dinilai berdasarkan CAMEL. Dalam
hal ini, kondisi kesehatan individu bank menjadi tanggung jawab manajemen bank yang
bersangkutan. Kita lihat bahwa setiap kali terjadi krisis, Bank for International Settlements akan
mengubah metode pengawasan, sehingga diciptakan Basel 1, 2, 3, dan seterusnya. Ini
membutuhkan pemahaman yang komprehensif dari para bankir. Sementara macro prudential
merupakan penilaian atas tingkat kesehatan dari sistem perbankan secara keseluruhan, yang dinilai
berdasarkan dampak sistemik. Dalam hal ini, konsidi kesehatan makro perbankan menjadi tanggung
jawab Bank Indonesia.

Learning Organization

Dunia bisnis senantiasa berkembang, begitupun dengan perbankan. Perubahan lanskap bisnis di
industri perbankan di abad ke 21 menjadi pekerjaan rumah bagi bankir untuk menjawab tantangan
yang semakin berat ke depan. Guna menjawab perubahan dan menghadapi tantangan perbankan di
abad ke 21 serta mengubahnya menjadi peluang (opportunity), hanya mungkin jika bank memiliki
para bankir yang senantiasa meng-update diri atau bankir pembelajar (learning).

Secara persamaan ekologi (ecological equation), hubungan antara tingkat pembelajaran bankir
dengan perubahan yang terjadi di industri, dapat dirumuskan sebagai L > = C

Di mana L adalah learning atau kuantitas pembelajaran; dan C adalah changes atau perubahan yang
terjadi dilingkungannya.

Berdasarkan adagium di atas, maka hanya bank-bank yang memiliki para bankir dengan porsi
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi minimal sama atau lebih besar dari perubahan yang
terjadi yang dapat menjawab tantangan di Abad 21.

Untuk memiliki bankir-bankir pembelajar yang selalu meng-update diri tentu, institusi bank wajib
membangun learning organization pada setiap kantornya. Learning organization adalah organisasi
yang senantiasa memberi kesempatan kepada pegawainya untuk meng-update dirinya dengan
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi baru.

Bank yang telah menjadi learning organization, secara otomatis akan mendorong para bankirnya
untuk merancang jenjang karir mereka dari sejak dini, melalui pendidikan, kursus, workshop, dan
sebagainya. Serta mengambil sertifikasi kompetensi sesuai minatnya, seperti sertifikasi di bidang
treasury, audit intern, general banking, manajemen risiko, kredit, funding & services, operation, dan
wealth management. *****

Anda mungkin juga menyukai