Anda di halaman 1dari 15

Resiko Keuangan

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Resiko

Disusun Oleh;

MARLITA

PERBANKAN SYARIAH STAI


TAPAKTUAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan bank syariah baik di Indonesia maupun Internasional
telah memberikan alternatif baru bagi konsumen pengguna jasa perbankan untuk
menikmati produk-produk perbankan dengan metode nonbunga dan kepercayaan
masyarakat sebagai konsumen terhadap perbankan syariah semakin tinggi. Saat ini,
layanan perbankan syariah telah tersebar di seluruh penjuru dunia dalam berbagai
bentuk lembaga keuangan, bahkan di Indonesia sejak 1992 sampai saat ini telah
tumbuh dan berdiri berbagai lembaga keuangan syariah khususnya perbankan seperti
Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, Bank Mega
Syariah dan lain sebagainya.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 1998 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri
perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan
akan mendorong pertumbuhannya lebih cepat lagi. Hal ini terlihat dari besarnya
jumlah nasabah dan melonjaknya aset perbankan syariah secara keseluruhan. Sejak
dikembangkannya sistem perbankan syariah di Tanah Air, 19 tahun lalu, total aset
industri perbankan syariah telah meningkat 39,7 kali lipat dari Rp 1,79 triliun per Mei
2010. Laju pertumbuhan aset secara impresif berkisar 46 persen per tahun sesuai
laporan yang diumumkan Islamic Bank (IB) melalui Bnak Indonesia.
Perkembangan yang begitu pesat telah membuktikan kepada kita betapa hebat
dan pentingnya perbankan syariah dalam perekonomian kita karena dari sejarahnya
bank syariah mampu melewati masa-masa krisis perekonomian yang dialami negara
kita, keberadaannya telah memberikan alternatif investasi lain tanpa harus
memikirkan resiko perkembangan balas jasa dengan metode bunga yang tidak pasti.
Akan tetapi dalam pelaksanaanya perbankan syariah membutuhkan perlakuan khusus
karena praktek penerapannya berbeda dengan bank konvensional yang telah kita kenal
selama ini, terutama dalam hal menangani resiko dan tantangan yang dihadapi oleh
bank syariah.
Perkembangan pasar perbankan syariah ini bekaitan erat dengan penanganan
resiko yang ditangani oleh bank agar roda fungsi bank sebagai penghimpun dan
penyalur dana berjalan dengan stabil. Untuk itu lah dalam industri perbankan
khususnya syariah perlu memiliki, menerapkan dan mengontrol resiko yang tidak
diharapkan dan untuk mengambil manfaat dari peluang bisnis yang tercipta
sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Bank Konvensional. Pihak manajemen perlu
menciptakan lingkungan manajemen resiko dan mengidentifikasi tujuan dan strategi
lembaga secara jelas, serta dengan membentuk sistem yang dapat mengidentifikasi,
mengukur, memonitor, dan mengelola berbagai eksposur resiko, bank syariah juga
perlu membentuk sistem kontrol yang handal oleh karena karakteristik produk dan
pelaksanaannya yang unik dan berbeda dari yang biasanya dilakukan bank
konvensional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Bank Syariah


Kasmir (2008:187) mengatakan bahwa jenis bank jika dilihat dari cara
menetukan harga terbagi menjadi dua macam, yaitu bank yang berdasarkan prinsip
konvensional dan bank yang berdasarkan prinsip syariah. Hal utama yang menjadi
perbedaan antara kedua jenis bank ini adalah dalam hal penentuan harga, baik untuk
harga jual maupun harga beli. Dalam bank konvensional penentuan harga selalu
didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank syariah didasarkan kepada konsep
islam, yaitu kerja sama dalam skema bagi hasil, baik untung maupun rugi.
Sejarah awal mula kegiatan Bank Syariah yang pertama sekali dilakukan
adalah di Pakistan dan Malaysia pada sekitar tahun 1940-an. Kemudian di Mesir pada
tahun 1963 berdiri Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr Bank. Bank ini beroperasi
di pedesaan Mesir dan masih berskala kecil, lalu berkembang menjadi institusi
keuangan terbesar di Pakistan dan menjadi pelopor bagi negara-nagara yang
berpenduduk mayoritas islam.
Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah
muncul sejak pertengahan tahun 1970-an lalu pada tahun 1991 lahir lah Bank
Muamalat atas hasil kerja sama tim perbankan MUI. Pendirian Bank Muamalat ini
diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPR). Namun demikian,
keberadaan dua lembaga keuangan tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat
lapisan bawah. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang
disebut baitul maal wattamwil (BMT). Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat
mensponsori berdirinya asuransi islam, Syarikat Takaful Inonesia (STI) dan menjadi
salah satu pemwgang sahamnya.
Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong cukup cepat. Salah satu
alasannya adalah karena adanya keyakinan yang kuat dikalangan masyarakat muslim
bahwa perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang agama
islam. Dengan didukung oleh UU No.10 Tahun 1998 sebagai pengganti UU No.7
Tahun 1992 memberikan peluang yang lebih besar lagi bagi pengembangan
perbankan syariah karena didalamnya disebutkan tujuan dikembangkannya syariah
adalah :
o Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep
bunga. Dengan diterapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan
sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara
lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem
perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga.
o Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip
kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang
harmonis (mutual investor relationship). Sementara, dalam bank konvensional konsep
yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debitor to creditor
relationship).
o Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa
keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan
(perpectual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif
(unproduction speculation), pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih
memperhatikan unsur moral.

B. Pengertian Resiko
Resiko dalam berbagai bentuk dan sumbernya merupakan komponen yang tak
terpisahkan dari setiap aktivitas. Hal ini dikarenakan masa depan merupakan sesuatu
yang sangat sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun didunia ini yang tahu dengan pasti
apa yang akan terjadi dimasa depan, bahkan mungkin satu detik kedelapan. Selalu ada
elemen ketidakpastian yang menimbulkan resiko (Dradjad H. Wibowo, dalam Masud
Ali:2006,19).
Ada dua istilah yang sering dicampur adukan yaitu ketidakpastian dan resiko.
Sebagian orang menganggapnya sama. Sebagian lagi menganggapnya berbeda. Disini
yang membedakan kedua istilah tersebut karena pengelolaanyya berbeda.
Ketidakpastian mengacu pada pengertian resiko yang tidak diperkirakan (unexpected
risk) (Djohanputro:2006).
Menurut kamus ekonomi, resiko adalah kemungkinan mengalami kerugian
atau kegagalan karena tindakan atau peristiwa tertentu. Sedangkan menurut Herman
Darmawan (2006:1) resiko senantiasa ada karena mengenanya kemungkinan akan
terjadi akibat buruk atau akibat yang merugi, seperti kemungkinan kehilangan, cidera,
kebakaran, dan lain sebagainya.
Resiko menurut Wikipedia Indonesia adalah bahaya yang dapat terjadi akibat
dari sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Dalam
bidang asuransi, resiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, dimana
jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan kerugian.
Resiko dalam konteks perbankan menurut Adiwarman A. Karim
(2004:255)merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan
(anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak
negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Sedangkan Eddie Cade
menyatakan bahwa definisi resiko berbeda-beda tergantung pada tujuannya.
Defenisi resiko yang tepat dilihat dari sudut pandang Bank adalah exposure
terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan bahwa resiko
adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Resiko
bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss)
(Erdatna:2008). Dalam konteks perbankan resiko merupakan potensi terjadinya suatu
peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank.

C. Manajemen Resiko Perbankan


Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal
dan internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat, perbankan pada
umumnya dan perbankan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan
berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada
kegiatan usahanya.
Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan
dikendalikan. Oleh karena itu perbankan, dan bank syariah khusus dapat membentuk
satuan tim yang mampu mengeloladan merupakan cakupan dari manajemen resiko itu
sendiri, yaitu :
- Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi
- Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit
- Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko
serta sistem informasi manajemen resiko
- Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/25/PBI/2009 tantang
perubahan atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank
umum “Manajemen Resiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko
yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.

-TujuanManajemenRisiko

1.Menyediakaninformasitentangrisikokepadapihakregulator.

2.Memastikanbank tidak mengalamikerugianyang bersifatunacceptable.

3.Meminimalisasikerugiandariberbagairisikoyang bersifatuncotrolled.

4.Mengukureksposurdanpemusatanrisiko.

5.Mengalokasikanmodal danmembatasirisiko .
Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian resiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Identifikasi resiko dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap :
a. Karakteristik resiko yang melekat pada aktifitas fungsional
b. Resiko dari produk dan kegiatan usaha
2. Pengukuran resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a. Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang
digunakan untuk mengukur resiko.
b. Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran resiko apabila terdapat perubahan
kegiatan usaha, produk, transaksi, dan faktor resiko yang bersifat material.
3. Pemantauan resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a. Evaluasi terhadap eksposure resiko
b. Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk
transaksi, faktor resiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen resiko
yang bersifat material.
4. Pelaksanaan pengendalian resiko, digunakan untuk mengelola resiko-resiko tertentu
yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
Resiko dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara, diantaranya resiko dibedakan
menjadi resiko bisnis dan resiko finansial. Resiko bisnis muncul secara alami dari
aktivitas bisnis yang dijalankan yang berhubungan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi pasaran produk. Sedangkan resiko finansial muncul dari kemungkinan
kerugian dalam pasar keuangan, biasanya perubahan pada variabel-variabel keuangan,
biasanya berhubungan dengan leverage dan risiko dimana kewajiban dan liabilitas
tidak bisa dipertemukan dengan aset lancar.
BAB III
PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO
BANK SYARIAH

Lembaga Keuangan Syariah yang dibentuk sejak tiga dekade terakhir sebagai
alternatif bagi lembaga keuangan konvensional, terutama ditujukan untuk
menawarkan kesempatan investasi, pembiayaan, dan perniagaan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah khususnya perbankan. Dalam usianya yang masih sangat belia,
pertumbuhan industri perbankan ini sangat membanggakan. Salah satu fungsi
dasarnya adalah untuk mengelola resiko yang muncul dalam transaksi keuangan
secara efektif.
Menurut PBI No.11/25/2009 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank
umum bahwa :
 Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Resiko untuk seluruh
resiko sebagaimana yang dimaksud
 Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Resiko paling kurang untuk 4
(empat) jenis resiko sebagaiman dimaksud
Adapun penerapan manajemen resiko yang dimaksud menurut PBI
diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Resiko Kredit adalah resiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam
memenuhi kewajiban pada bank.
2. Resiko Pasar adalah resiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk
transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk
resiko perubahan harga option.
3. Resiko Likuiditas adalah resiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid
berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi
keuangan bank.
4. Resiko Operasional adalah resiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya
proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-
kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5. Resiko Kepatuhan adalah resiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
6. Resiko Hukum adalah resiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek
yuridis.
7. Resiko Reputasi adalah resiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder
yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
8. Resiko Stratejik adalah resiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau
pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan bisnis.
Menurut Tariqullah Khan dan Habib Ahmed (2008:20-30), proses penerapan
manajemen resiko bank syariah terdiri dari :
a. Manajemen Resiko Kredit
Dewan direksi harus menguraikan keseluruhan strategi manajemen resiko kredit
dengan menunjukan kemauan bank untuk menyalurkan pembiayaan di berbagai
sektor usaha, lokasi geografis, jangka waktu, dan tingkat profitabilitas tertentu.
Sejalan dengan hal tersebut, juga harus memahami tujuan dari kualitas kredit,
pendapatan, pertumbuhan, dan hubungan timbal balik antara resiko dengan tingkat
return dari aktivitas yang dijalankan. Dan yang terpenting, strategi manajemen resiko
kredit tersebut harus dikomunikasikan pada seluruh bagian perusahaan.
Senior manajemen bank bertanggung jawab untuk melaksanakan strategi manajemen
resiko kredit yang telah ditetapkan oleh dewan direksi, yaitu dengan mengembangkan
prosedur-prosedur tertulis yang merefleksikan keseluruhan strategi serta meyakinkan
pelaksanaannya. Prosedur yang dibuat harus memuat kebijakan-kebijakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol resiko kredit. Perhatian juga
perlu diberikan kepada aspek diversifikasi portofolio dengan menetapkan batas
minimum pemberian kredit pada satu nasabah, grup usaha dari nasabah terkait,
industri, sektor ekonomi, suatu kawasan, dan produk-produk individu. Bank dapat
menggunakan pengujian (stress testing) dalam menetapkan limit dan monitoring
dengan mempertimbangkan siklus usaha, suku bunga yang berlaku dan perubahan-
perubahan yang terjadi di pasar. Bagi bank yang menyalurkan kredit berskala
internasional, juga perlu menilai risiko negara (country risk) di mana ia berhubungan.
Bank harus memiliki sistem untuk pengadministrasian berbagai jenis risiko kredit
dalam portofolio. Administrasi kredit yang tepat oleh bank setidaknya harus
mencakup operasional yang efektif dan efisien dalam rangka dokumentasi proses
monitoring, ketentuan-ketentuan dalam kontrak, ketentuan legalitas, jaminan, dan
lain-lain, membuat laporan kepada manajemen secara akurat dan berkala, mematuhi
kebijakan dan prosedur manajemen, serta aturan dan regulasi yang berlaku.
b. Manajemen Resiko Suku Bunga
Dewan direksi harus menetapkan keseluruhan tujuan, strategi, dan kebijakan yang
mengatur risiko suku bunga bank. Di samping menetapkan risiko suku bunga, dewan
dir3eksi juga harus memastikan bahwa pihak manajemen telah mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk, mengukur, memonitor, dan mengontrol risiko-risiko ini.
Dewan direksi harus diberikan informasi secara periodik dan mereview status risiko
suku bunga bank ini melalui laporan.
Senior manajemen harus memastikan bahwa bank telah mematuhi kebijakan dan
prosedur yang memungkinkan risiko suku bunga dapat dikelola. Kebijakan dan
prosedur ini meliputi pemeliharaan proses review manajemen risiko suku bunga, limit
risiko yang tepat, sistem pengukuran risiko yang memadai, sistem pelaporan risiko
suku bunga yang komprehensif, dan kontrol internal yang efektif. Bank harus
menetapkan siapa saja individu atau komite yang harus bertanggung jawab terhadap
manajemen risiko suku bunga dan mendefenisikan garis wewenang dan tanggung
jawab masing-masing.
Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang terdefenisi dengan jelas untuk
membatasi dan mengontrol risiko suku bunga, yaitu dengan menjelaskan tanggung
jawab dan akuntalibilitas terhadap keputusan manajemen risiko suku bunga dan
mendefenisikan instrumen yang telah diotorisasi, strategi hedging dan profit taking.
Risiko suku bunga pada produk-produk baru harus dijelaskan melalui analisis waktu
jatuh tempo, masa repricing dan poengambilan suatu instrumen. Dewan direksi harus
menetapkan hedging atau stategi manajemen risiko yang baru sebelum semua ini
diimplementasikan.
c. Manajemen Resiko Likuiditas
Bisnis perbankan berhubungan dengan dana seseorang yang sewaktu-waktu dapat
ditarik sehingga manajemen likuiditas merupakan yang sangat penting bagi bank.
Oleh karena itu, senior manajemen dan dewan direksi harus meyakinkan bahwa
prioritas dan tujuan bank untuk kepereluan manajemen likuiditas telah jelas. Senior
manajemen harus memastikan bahwa risiko likuiditas telah terkelola secara efektif
dengan menentukan serangkaian prosedur dan kebijakan. Bank harus memiliki sistem
informasi yang berfungsi untuk mengukur, memonitor, mengontrol, dan melaporkan
risiko likuiditas. Laporan berkala mengenal likuiditas harus disediakan bagi dewan
direksi dan senior manajemen. Laporan ini, diantaranya harus mencakup posisi
likuiditas dalam rentang waktu tertentu.
Esensi dari masalah manajemen likuiditas muncul dari adanya kenyataan bahwa
terdapat hubungan timbal balik antara likuiditas dan profibalitas, dan adanya
mismatch antara permintaan dan penawaran aset-aset yang likuid. Sementara bank
tidak mampu mengontrol sumber-sumber dana (dana pihak ketiga), ia dapat
mengontrol penggunaan dari dana-dana tersebut. Misalnya, posisi likuiditas bank
memberikan prioritas pada pengalokasian dana. Dengan asumsi bahwa opportunity
cost dari dana-dana yang likuid adalah tetap, maka setelah memiliki likuiditas yang
cukup, bank harus melakukan investasi yang dapat mendatangkan keuntungan.
Sebagian besar bank yang ada sekarang ini telah membuat cadangan pelindung
(protective reserve) di atas cadangan yang telah direncanakan. Sementara cadangan
yang direncanakan merupakan verifikasi dari ketentuan regulator dan hasil perkiraan,
jumlah dari cadangan pelindung tergantung pada sikap pihak manajemen terhadap
risiko likuiditas.
d. Manajemen Resiko Operasional
Dewan direksi dan senior manajemen harus mengembangkan keseluruhan kebijakan
dan strategi untuk mengelola resiko operasional. Sementara resiko operasional bisa
muncul akibat kegagalan faktor manusia, proses, dan teknologi, manajemen atas
resiko ini lebih kompleks lagi. Senior manajemen perlu menetapkan standar
mnajemen resiko dan pedoman pelaksanaan yang jelas, yang dapat mereduksi resiko
operasional ini. Disamping itu, perhatian juga perlu ditekankan pada resiko aspek
manusia, proses, dan teknologi yang bisa muncul dalam lembaga.
Dengan tetap memerhatikan sumber-sumber munculnya resiko operasional, standar
identifikasi dan manajemen yang dibutuhkan juga perlu dikembangkan. Ketelitian
juga perlu ditekankan untuk mengatasi resiko operasional yang muncul dari
departemen atau unit organisasi akibat faktor manusia, proses, dan teknologi.
Pedoman dan aturan juga harus dirinci dengan jelas. Disamping itu, pihak manajemen
juga perlu mengembangkan “katalog resiko operasional” dimana peta dari proses
bisnis dari tiap departemen dalam lembaga terinci dengan jelas. Misalnya, proses
bisnis yang berhubungan dengan nasabah dan investor perlu disusun. Katalog ini tidak
saja dapat mengidentifikasi dan menilai resiko operasional, tetapi juga dapat dipakai
sebagai bukti transparansi oleh pihak manajemen dan auditor.
Resiko operasional memang cukup kompleks sehingga sangat sulit untuk
mengukurnya. Sebagian besar teknik pengukuran resiko operasional yang ada masih
sangat sederhana dan bersifat eksperimental. Namun demikian, bank dapat
mengumpulkan informasi tentang berbagai jenis dari laporan dan rencana yang
dipublikasikan dalam lembaga (seperti laporan audit, laporan pengawasan, laporan
manajemen, rencana bisnis, rencana operasional, tingkat error, dan lain-lain). Review
secara cermat dan hati-hati atas dokumen-dokumen ini dapat menutup GAP yang
merepresentasikan potensi resiko. Data dari laporan-laporan tersebut lebih lanjut
dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal dan dikonversi ke
dalam kemungkinan kerugian lembaga. Sebagian dari resiko operasional juga dapat
terlindungi. Alat untuk menilai, memonitor, dan mengelola resiko di antaranya
meliputi review secara berkala, pengujian (stress testing), dan alokasi modal ekonomi
dalam jumlah yang tepat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong cukup cepat. Dengan didukung
oleh UU No.10 Tahun 1998 sebagai pengganti UU No.7 Tahun 1992 memberikan
peluang yang lebih besar lagi bagi pengembangan perbankan syariah karena bertujuan
memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep
bunga, membuka peluang pembiayaan dengan prinsip kemitraan, dan memenuhi
kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan
komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan.
2. Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan
internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat, perbankan syariah pada
khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat
kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.Resiko-resiko
tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu
bank syariah harus dapat membentuk satuan tim yang mampu mengelola dan
merupakan cakupan dari manajemen resiko itu sendiri yaitu : Pengawasan aktif
Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko serta
sistem informasi manajemen resiko; dansistem pengendalian intern yang menyeluruh.
3. Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/25/PBI/2009 tantang perubahan
atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum bahwa
penerapan manajemen resiko terdiri dari resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas,
resiko operasional, resiko hukum, resiko kepatuhan, resiko reputasi dan resiko
stratejik. Bank Umum Konvensional wajib menerapkan keseluruhan resiko dimaksud
sedangkan Bank Umum Syariah wajib menerapkan paling kurang 4 (empat) jenis
resiko tersebut.
4. Penerapan manajemen resiko yang biasa dikelola oleh perbankan syariah antara lain
manajemen resiko kredit, manajemen resiko suku bunga, manajemen resiko likuiditas
dan manajemen resiko operasional.
B. Saran
Perbankan Syariah yang berfungsi menghimpun dana dan menyalurkan dana bagi
masyarakat disarankan mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip
dasarnya yang berlandaskan islam. Serta mampu meyakinkan masyarakat atas
keberadaan syariah yang tidak menjalankan konsep bunga yang rentan akan fluktuasi
bunga. Untuk itu diharapkan Bank Syariah mampu mengelola manajemen resiko
secara cermat agar fungsi utamanya dapat berjalan dengan baik. Melalui UU No.21
Tahun 2008 dan PBI No.11/25/2009 telah membuktikan kepada kita bahwa
pemerintah serius terhadap perkembangan bank syariah yang sudah sangat pesat di
kalangan masyarakat. Oleh karena itu juga disarankan agar Bank Syariah mampu
mempromosikan secara luas program-programnya dengan manajemen yang baik agar
masyarakat sebagai pengguna jasa-jasa perbankan yakin dan percaya.

Anda mungkin juga menyukai