Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank
dengan dana pihak ketiga yang diterima oleh bank (simpanan nasabah). Semakin tinggi LDR,
semakin tinggi risiko kredit yang diambil oleh bank karena semakin banyak pinjaman yang
diberikan dibandingkan dengan dana yang diterima dari nasabah. Namun, LDR yang rendah juga
dapat membatasi potensi keuntungan bank karena kurangnya pinjaman yang diberikan.
Non Performing Loan (NPL) adalah pinjaman yang tidak dapat dilunasi oleh peminjam dalam
waktu yang telah ditetapkan. Semakin tinggi NPL, semakin besar risiko gagal bayar yang dihadapi
bank dan semakin rendah kualitas kreditnya. NPL yang tinggi dapat mempengaruhi profitabilitas
bank karena adanya biaya penyelesaian kredit bermasalah dan penurunan pendapatan akibat
kehilangan bunga dan pokok pinjaman.
Pengaruh LDR dan NPL terhadap profitabilitas pada Bank Perkreditan Rakyat dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pengaruh LDR terhadap Profitabilitas LDR yang tinggi dapat mempengaruhi profitabilitas
BPR karena semakin banyak pinjaman yang diberikan, semakin besar biaya bunga yang
harus dibayarkan oleh BPR kepada nasabahnya. Selain itu, LDR yang tinggi dapat
membuat BPR lebih rentan terhadap risiko likuiditas, yaitu ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kebutuhan dana nasabah yang mengambil simpanannya kembali. Namun,
LDR yang rendah juga dapat membatasi potensi keuntungan BPR karena kurangnya
pinjaman yang diberikan.
2. Pengaruh NPL terhadap Profitabilitas NPL yang tinggi dapat mempengaruhi profitabilitas
BPR karena adanya biaya penyelesaian kredit bermasalah dan penurunan pendapatan
akibat kehilangan bunga dan pokok pinjaman. NPL juga dapat mempengaruhi citra dan
reputasi BPR, sehingga nasabah mungkin tidak ingin berurusan dengan BPR yang
dianggap kurang kredibel. Di sisi lain, BPR yang memiliki NPL yang rendah dapat
menunjukkan kualitas kredit yang baik, sehingga dapat menarik nasabah baru dan
meningkatkan potensi keuntungan.
Dalam kesimpulannya, LDR dan NPL dapat mempengaruhi profitabilitas pada Bank Perkreditan
Rakyat. Oleh karena itu, BPR perlu memantau kedua indikator ini secara teratur dan mengambil
tindakan yang tepat untuk menjaga kesehatan keuangan bank dan meningkatkan
profitabilitasnya.
Namun, meskipun LDR yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan bank dari bunga dan
keuntungan, tetapi LDR yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan risiko yang tinggi bagi bank,
seperti risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko pasar. Oleh karena itu, bank perlu memperhatikan
risiko-risiko tersebut dan mempertimbangkan kebijakan yang tepat untuk menjaga kesehatan
keuangan dan stabilitas bank dalam jangka panjang.
Berdasarkan informasi yang tersedia, pada tahun 2019 terdapat sekitar 400-an BPR di Jawa Timur.
Namun, tidak semua BPR memiliki kinerja yang baik dan sebagian kecil dari mereka mengalami
kesulitan keuangan.
Pada tahun 2020, pandemi COVID-19 mempengaruhi sektor keuangan termasuk BPR. Seiring
dengan penurunan kinerja ekonomi dan perlambatan bisnis, beberapa BPR mengalami
penurunan kinerja dan kenaikan tingkat kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Meskipun demikian, beberapa BPR yang memiliki manajemen risiko yang baik dan fokus pada
bisnis lokal mampu bertahan dan bahkan tumbuh dalam kondisi pandemi. Beberapa BPR juga
melakukan diversifikasi bisnis dan inovasi untuk meningkatkan kinerja dan daya saing.
Belum ada data statistik resmi yang tersedia untuk periode 2019-2021, tetapi perkembangan BPR
di Jawa Timur diyakini masih dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan pandemi COVID-19. Bank
Indonesia sebagai regulator perbankan terus memantau kinerja dan stabilitas BPR dan
memberikan dukungan dalam bentuk program-program pengembangan dan bantuan keuangan
dalam situasi krisis.
1. Persaingan yang ketat: BPR di Jawa Timur menghadapi persaingan yang ketat dari bank-
bank besar, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya. Persaingan yang ketat dapat
menyebabkan penurunan margin keuntungan dan meningkatkan risiko kredit.
2. Likuiditas: BPR di Jawa Timur mengalami kendala likuiditas karena sumber dana yang
terbatas. BPR bergantung pada simpanan nasabah dan tidak memiliki akses ke pasar
modal. Jika BPR mengalami penarikan dana besar-besaran, likuiditas BPR dapat
terganggu.
3. Pengaturan Regulasi yang Ketat: Peraturan dan pengawasan yang ketat oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dapat mempersulit BPR dalam mengembangkan usahanya. Beberapa
persyaratan dan keterbatasan yang diberlakukan oleh OJK mungkin sulit dipenuhi oleh
BPR kecil.
4. Teknologi yang kurang: Beberapa BPR di Jawa Timur masih menggunakan teknologi yang
kurang canggih dibandingkan dengan bank-bank besar. Teknologi yang kurang dapat
mempersulit BPR dalam mengembangkan layanan dan produk yang inovatif.
5. Keterbatasan Sumber Daya Manusia: Keterbatasan SDM merupakan masalah yang
dihadapi oleh banyak BPR di Indonesia. Terkadang, BPR kecil kesulitan dalam mencari
tenaga kerja yang berkualitas dan berpengalaman.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, BPR di Jawa Timur perlu melakukan inovasi dalam
produk dan layanan, meningkatkan manajemen risiko kredit, mengoptimalkan penggunaan
teknologi, serta melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan lainnya untuk memperluas
jangkauan pasar dan meningkatkan likuiditas. Selain itu, pemerintah dan OJK juga dapat
memberikan dukungan dalam bentuk program pengembangan dan pelatihan SDM, serta
penyediaan akses ke sumber dana yang lebih luas.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, BPR perlu meningkatkan manajemen risiko kredit,
memperkuat tata kelola perusahaan, meningkatkan penggunaan teknologi, dan berkolaborasi
dengan lembaga keuangan lain. Selain itu, BPR dapat memanfaatkan program pengembangan
yang disediakan oleh pemerintah dan OJK untuk memperluas jangkauan pasar dan
meningkatkan kapasitas kelembagaan.
Pertama-tama, NPL menyebabkan BPR mengalami kerugian langsung dalam bentuk hilangnya
pendapatan bunga yang seharusnya diterima dari pinjaman yang tidak dilunasi oleh nasabah.
Selain itu, BPR juga perlu mengeluarkan biaya tambahan dalam usaha penagihan dan upaya
pemulihan pinjaman yang macet, yang dapat meningkatkan biaya operasional.
Kedua, NPL juga dapat mempengaruhi kualitas aset BPR dan memengaruhi penilaian risiko kredit
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika BPR memiliki tingkat NPL yang tinggi, maka aset
produktifitasnya turun dan penilaian risiko kredit BPR akan buruk, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi reputasi BPR di mata nasabah dan investor.
Ketiga, tingkat NPL yang tinggi dapat berdampak pada kemampuan BPR dalam memperoleh
dana pinjaman dari bank sentral atau lembaga keuangan lainnya, karena biasanya lembaga
tersebut akan mempertimbangkan tingkat risiko yang ada dalam portofolio pinjaman BPR.
Oleh karena itu, keterikatan antara NPL dan profitabilitas BPR dapat sangat erat. Semakin tinggi
tingkat NPL, semakin besar kemungkinan BPR mengalami kerugian, menurunnya produktifitas
aset, dan menurunnya kepercayaan investor, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
profitabilitas BPR secara keseluruhan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat NPL, semakin baik
kinerja dan profitabilitas BPR.
Bank BPR atau Bank Perkreditan Rakyat adalah salah satu jenis bank yang bergerak di bidang
pembiayaan usaha kecil dan menengah. Proses bisnis usaha Bank BPR dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Penerimaan simpanan Bank BPR menerima simpanan dari masyarakat, baik berupa
tabungan maupun deposito. Simpanan yang diterima kemudian dikelola dan digunakan
untuk memberikan pinjaman kepada nasabah.
2. Pemberian pinjaman Bank BPR memberikan pinjaman kepada nasabah, terutama usaha kecil
dan menengah. Pinjaman yang diberikan dapat berupa pinjaman modal usaha, pinjaman
investasi, maupun pinjaman konsumsi. Sebelum memberikan pinjaman, Bank BPR
melakukan analisis kredit untuk menilai kemampuan nasabah untuk membayar kembali
pinjaman.
3. Penempatan dana Selain memberikan pinjaman, Bank BPR juga menempatkan dana pada
instrumen investasi seperti obligasi atau saham. Penempatan dana ini bertujuan untuk
mengoptimalkan pengelolaan dana dan mendapatkan keuntungan dari investasi.
4. Pelayanan jasa keuangan Bank BPR juga menyediakan berbagai layanan jasa keuangan
seperti pembayaran tagihan, transfer antarbank, pembelian pulsa, dan lain sebagainya.
Layanan jasa keuangan ini bertujuan untuk memudahkan nasabah dalam melakukan
transaksi keuangan.
5. Pengelolaan risiko Bank BPR harus mampu mengelola risiko dalam bisnisnya, terutama risiko
kredit. Untuk itu, Bank BPR melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap
nasabah yang telah diberikan pinjaman.
6. Pengembangan bisnis Untuk terus berkembang, Bank BPR melakukan pengembangan bisnis
dengan memperluas jaringan cabang, meningkatkan kualitas layanan, dan memperkenalkan
produk dan layanan baru yang sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Demikianlah beberapa proses bisnis usaha Bank BPR. Dalam menjalankan bisnisnya, Bank BPR harus
mematuhi peraturan dan standar yang ditetapkan oleh otoritas perbankan dan regulasi yang
berlaku.