Anda di halaman 1dari 10

Askep Child Abuse (Kekerasan pada Anak)

BAB
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau
orang yang merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental
maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.
Sementara
menurut U.S
Departement
of
Health,
Education
and
Wolfare memberikan definisi Child abusesebagai kekerasan fisik atau mental,
kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang
dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.
B. KLASIFIKASI CHILD ABUSE
Macam macam Child Abuse :
Emotional Abuse,
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror,
mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak
merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan
menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan.
Indikator perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul ).
Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau
tindakan yang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga
diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai
anak. Biasanya berupa luka memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan.
Indikator fisik luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang
tercabut, cakaran. Indikator perilaku waspada saat bertemu degan orang dewasa,
berperilaku ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk
pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.
Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak,
seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau
meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.

Indikator fisikkelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk,


kurangnya
perhatian,
masalah
kesehatan
yang
tidak
ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya
perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani,
pakaian yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.
Sexual Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar
pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak. Indikator fisik ,
kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam, nyeri
atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital / rektal,
berpenyakit kelamin.
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang
tidak sesuai dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan
teman sebaya, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif /
berperilaku yang menggairahkan, penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan
tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).
C. ETIOLOGI
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child
abuse, yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak.Orang tua yang memiliki
kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak
memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak
sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang
lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari rumah
lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat
terjadi pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak
yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya
anak mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir rendah (BBLR).
Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama,
padahal pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu
berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi
misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya
tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak
ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat terjadi

pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun
rendah, maka child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.

a.

b.

c.

d.

e.

Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak,
karena wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki
lebih banyak melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8
kali lebih besar untuk melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik
kekerasan fisik maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:
Stress yang berasal dari anak.
Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak
berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak
mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan anak lain
yang mempunyai fisik yang sempurna.
Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak
mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan
di sekitarnya.
Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung
mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki
temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen
keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak bertemperamen
lemah.
Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya dan
berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di dalam
keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan
orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil perkawinan
sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang kuat antara
anak angkat dan orang tua.

Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang
menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini berhubungan
kuat dengan kelangsungan hidup. Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua
terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus mengorbankan
keluarga.

b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga berpengaruh
besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan sekitarlah yang
menjadi faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan
kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku
kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb.
Stress berasal dari orang tua,
a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab
anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah
pada masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya
sebagai bentuk pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat
orangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi
memenuhi kebutuhan anak, orangtua cenderung menjadikan anak sebagai
pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan kekerasan.
D. DAMPAK CHILD ABUSE
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada
yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain
dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu
Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang
normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004)
mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki
keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child
abuse), antara lain;
1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan
menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anakanaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan
menjadi

orang

dewasa

yang

menjadi

agresif.

Lawson

(dalam

Sitohang,

2004)

menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan
buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak,
meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia;
2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi
orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping
mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola
makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan
bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa
karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini
meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk,
seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak,
menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri;
3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang
masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma
akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah.
Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai
sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak
yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak
mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam
Nadia, 1991);
4. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini
adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990)
mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya
perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan
mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
5. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan
pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam
pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga
sehingga anak terpaksa putus sekolah.
Berdasarkan uraian diatas dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain;
a. Kerusakan fisik atau luka fisik;
b. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif

c. Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
d. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada
anak, takut menikah, merasa rendah diri, dll;
e. Pendidikan anak yang terabaikan
Anak yang mengalami kekerasan/ penganiayaan akan berakibat panjang. Mereka akan
mengalami gangguan belajar, retardasi mental, gangguan perkembangan temasuk
perkembangan bahasa, bicara, motorik halusnya. Dalam penelitian juga diperoleh bahwa IQ
anak yang mengalami kekerasan/penganiayaan akan rendah daripada yang tidak. Mereka
juga mengalami gangguan dalam konsep diri dan hubungan sosial. Teman-teman
menganggap mereka sebagai anak yang suka menyendiri atau pembuat onar. Hal ini akan
berlanjut hingga dewasa, dalam memilih pasangan hidup.

E. MANIFESTASI KLINIS
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka
bakar, patah tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan
adanya kerusakan organ dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma,
misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata
dan cacat lainnya. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak
yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang
normal, yaitu:
- Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak
mendaapat perlakuan salah.
- Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
Kecerdasan
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan
kognitif, bahasa, membaca, dan motorik.
Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena
malnutrisi.
Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang
adekuat atau karena gangguan emosi.
Emosi
Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau
bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan
orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.

Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan


dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi
pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal
sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak
dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan
bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman
sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau
mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya
konsep diri.
Hubungan social
Pada anak2 ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan
orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang
dewasa, misalnya dengan melempari batu atau perbuatan2 kriminal lainnya.
Akibat dari penganiayaan seksual
-

Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:


Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan
perdarahan anus.
Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis,
anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus
anak.
Sindrom munchausen
Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:
Gejala yang tidak biasa/tidak spesifik
Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya
Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa
Tingkah laku orangtua yang berlebihan.

G. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CHILD ABUSE


A. Pengkajian
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda
adanya kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam

child abuse di atas). Saat abuse terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan
seluruh gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak,
kemudian menginterview anak.
Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau
saudaranya untuk beberapa waktu.
Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau
masalah psikiatrik.
Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan
tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan,
ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian)
Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis
kelamin anak yang dilahirkan.
Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
Kaji respon psikologis pada trauma
Kaji keadekuatan dan adanya support system
Situasi Keluarga.
Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa
keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain:
a. Psikososial
- Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau
- Gagal tumbuh dengan baik
- Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan psikososial
- With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa
b. Muskuloskeletal
- Fraktur
- Dislokasi
- Keseleo (sprain)
c. Genito Urinaria
- Infeksi saluran kemih
- Perdarahan per vagina
- Luka pada vagina/penis
- Nyeri waktu miksi
- Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.

d. Integumen
- Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
- Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
- Adanya tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
- Bengkak.
EVALUASI DIAGNOSTIK
Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan
laboratorium.
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
a. Penganiayaan fisik. Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:
- Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
- Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan
dalam air panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar
akibat aliran listrik seperti oven atau setrika.
- Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan
fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.
- Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada
penganiayaan anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2
tahun.
b. Pengabaian
- Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan
kegagalan mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya,
tetapi respons baik terhadap pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
- Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak
penderita penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit
kronik. Tidak mampu imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang
disengaja oleh orangtua juga mencakup kelalaian merawat kesehatan gigi dan mulut
anak sehingga mengalami kerusakan gigi.
c. Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
- Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
- Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.
- Pubertas prematur pada wanita
- Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya,
binatang, atau objek tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan
umur anak serta tingkah laku yang menggairahkan.

- Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada orang
dewasa, mimpi buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri, depresi, gangguan
stres post-traumatik, prostitusi, gangguan makan, dsb.
2. Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada penganiayaan
seksual, dilakukan pemeriksaan:
- Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah
penganiayaan seksual.
- Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk genokokus
- Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B
- Analisa rambut pubis
3. Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada
anak, yaitu untuk:
o Identifiaksi fokus dari jejas
o Dokumentasi

Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya dilakukan untuk
meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun hanya perlu dilakukan jika
ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan pada saat pemeriksaan fisik.
Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan adanya penyaniayaan fisik.
CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya
diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma
kepala yang berat.
MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan kronik
seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan
seksual.

Anda mungkin juga menyukai