Anda di halaman 1dari 6

Mata Kuliah

Materi
Dosen
Tanggal / Waktu
Tempat
Notulis

Seminar Pemeriksaan Keuangan Negara


Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan Negara
Alexandra
Jumat, 14 November 2014 / Pukul 07.30 10.00 WIB
Ruang I 301, Gedung I, STAN
Kelompok 3
Devri Radistya (09)
Dyah Ayu Pradnya Paramita (11)
Made Dwika Yasindra (18)
Ramadhani Ardiansyah (21)

Peserta
1.
2.

Dosen Seminar Pemeriksaan Keuangan Negara


Kelompok 1
1. Ajar Redindra Islami
02
2. Bogi Firmansyah
06
3. Ginanjar Aditya
13
4. St. Bastian S. Pasaribu
26
5. Zain Farosdaq
29
3. Kelas 10D Diploma IV Akuntansi Khusus
Uraian
1. Penyajian materi diawali oleh Ajar Redindra Islami.
2.
Materi dimulai dengan pemahaman awal Standar Pelaksanaan Pemeriksaan
Keuangan Negara sesuai Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara pada Pernyataan Standar Pemeriksaan 02 tentang
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan. Penjelasan berlanjut ke pelaksanaan
tambahan dimana terkait komunikasi pemeriksa, pertimbangan terhadap hasil
pemeriksaan sebelumnya, merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya
penyimpangan dari ketentuan
peraturan
perundang-undangan, kecurangan
(fraud), serta ketidakpatutan (abuse), pengembangan temuan pemeriksaan,
dokumentasi pemeriksaan.
3.
Materi berlanjut ke Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1/K/IXIII.2/2/2008 tentang Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK RI Bagian
Pelaksanaan Pemeriksaanyang disajikan oleh Bogi Firmansyah dan Zain Farosdaq.
4. Pelaksanaan pemeriksaan berdasarkan PMP Tahun 2008 mengandung hal-hal
Lingkup, Pihak-Pihak Terkait dalam Pemeriksaan, Mekanisme Pelaksanaan
Pemeriksaan, Jadwal Pelaksanaan Pemeriksaan, Bagan Alur Pelaksanaan
Pemeriksaan.

5. Mekanisme pelaksanaan pemeriksaan berisi Komunikasi awal, Pelaksanaan


Program Pemeriksaan, Penyusunan KKP, Penyusunan Temuan Pemeriksaan,
Komunikasi Akhir (Penyampaian TP), Pengakhiran pemeriksaan.
6. Materi berlanjut ke Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Nomor 04/K/I-III.2/5/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan
disajikan oleh Ginanjar Aditya.
7. Tahap Pelaksanaan pemeriksaan meliputi tujuh langkah, yaitu: 1. Pelaksanaan
pengujian analitis terinci, 2. Pengujian sistem pengendalian intern, 3. Pengujian
substantif atas transaksi dan saldo akun,
4. Penyelesaian penugasan, 5.
Penyusunan konsep temuan pemeriksaan, 6. Perolehan tanggapan resmi dan
tertulis, dan 7. Penyampaian temuan pemeriksaan (TP) kepada entitas yang
diperiksa.
8. Materi berlanjut ke International Standards of Supreme Audit Institutions disajikan
oleh St. Bastian S. Pasaribu.
9. Penyajian kali ini membahas mengenai ISSAI dimana terdapat beberapa regulasi
di ISSAI yang dapat dan telah diterapkan di Indonesia. Regulasi tersebut antara lain
1250: Consideration of Laws and Regulations in an Audit of Financial Statements,
1260: Communication with Those Charged with Governance, 1265: Communicating
Deficiencies in Internal Control to Those Charged with Governance and
Management, 1330: The Auditors Responses to Assessed Risks, 1450: Evaluation of
Misstatements Identified during the Audit, 1500: Audit Evidence, 1501: Audit
Evidence Specific Considerations for Selected Items, 1505: External Confirmations,
1520: Analytical Procedures, 1530: Audit Sampling, 1560: Subsequent Events, 1570:
Going Concern, 1580: Written Representations,

10. Sesi pertanyaan dimulai oleh kelompok pembahas.


a. Rudyansyah Wisnu Indarto: Apa tindakan BPK apabila entitas menolak diperiksa?
perubahan pemeriksaan apakah harus mengubah perencanaan atau tidak?
Zain Farosdaq:
Seperti contoh kasus Ibu Sri Mulyani, menolak untuk memberikan data
terkait dengan kerahasiaan Wajib Pajak saat diperiksa oleh BPK. Harus
ada komunikasi, jika memang menurut peraturan yang berlaku tidak
diperbolehkan, boleh saja menolak untuk diperiksa. Tetapi sebaliknya, jika
BPK seharusnya, menurut Undnag-Undang atau peraturan yang berlaku
berwenang untuk memeriksa namun ditolak oleh pimpinan entitas yang
diperiksa, maka harus tetap diperiksa. Jika hal seperti ini terjadi, maka

BPK dapat melakukan konsultasi dengan instansi yang berada di atas


entitas yang diperiksa tersebut. Terkait dengan perubahan, di Program
Pemeriksaan ada tujuan dan langkah-langkah, seperti contoh untuk
meyakinkan keberadaan suatu asset langkahnya adalah melihat daftar
asset, cek fisik/datangi, cocokkan. Jika ternyata asset tersebut berada di
daerah terpencil dan susah dijangkau namun dalam Program Pemeriksaan
sudah ditulis datangi lokasi, namun karena ternyata kondisi tidak
memungkinkan, pemeriksa dapat memodifikasinya dengan misalnya
melihat citra satelit. Jadi, tidak harus kembali lagi ke perencanaan tetapi
yang diubah adalah langkah-langkahnya.
b. Septiana Kurniawati: Bagaimana temuan SPI yang material itu? Bagaimana bila
SPI yang sudah dianggap baik namun waktu pelaksanaan pemeriksaan SPInya
berbeda?
Ginanjar Aditya:
Ketika pemeriksa menemukan SPI seperti itu, yang mana resiko rendah,
maka cukup dilanjutkan dengan substantive terbatas. Terkait materialitas,
uditor juga biasanya menerapkan professional judgment dengan melihat
pengaruhnya terhadap laporan keuangan.
Bogi
Firmansyah:
Jika
SPI
berbeda
antara
perencanaan
dan
pelaksanaannya sepertinya tidak mungkin. Kalaupun berbeda biasanya
pelaksanaan selalu lebih buruk.
Bapak Alexandra: Pada saat perencanaan kan dipahami dulu, observasi,
wawancara, dll. Lalu hasilnya dikomunikasikan kepada auditee, Kita harus
dapat menyimpulkan, dari hasil wawancara, apakah SPInya baik, kurang,
atau buruk. Jika professional judgment kita berdasarkan kuesioner yang
terdiri dari 100 pertanyaan, 70 pertanyaan lebih dijawb ya, berarti SPI
auditee bagus sehingga kita tidak perlu lagi melakukan pengujian
terperinci. Yang perlu kita uji adalah instrument yang kita pilih, janganjangan salah, sehingga perlu kita rinci lagi. Jika hasilnya sedang (30-70%)
atau jawaban ya sebanyak 60 maka kita lakukan pengujian terbatas pada
poin-poin yang jawabannya tidak. Seandainya jawabanya tidak lebih
dari 30%, maka SPI nya dapat dikatakan buruk. Jika kondisi tersebut
terjadi,
maka
kita tidak perlu melakukan
pengujian
terhadap
instrumennya, melainkan langsung masuk ke tahap pengujian terinci.
Namun, jika terdapat lebih dari 70 jawaban tidak, lalu kita menemukan
adanya SPI yang baik, maka kesalahan adalah pada saat pelaksanaan
pemahaman atau perencanaan, bisa jadi professional judgement salah.
Jika kebalikannya, maka kemungkinan yang dilakukan oleh auditor pada

tahap sebelumnya salah, sehingga perlu untuk diuji ulang. Namun hal
seperti ini biasanya tidak pernah terjadi.
c. M. Rico Firmansyah: Apakah akan dilakukan pemeriksaan tambahan jika
komunikasi akhir ditemukan informasi tambahan? Apabila tidak ada juknis maka
best practice mana yang diambil? Keterbatasan sumber daya, apa ada pengorbanan
prosedur? Apakah harus mementingkan proses atau hasil?
Ajar R. Islami:
Jika auditor sudah menyampaikan temuan lalu auditee membantahnya dan
menyampaikan bukti baru, tidak perlu dilaksanakan pemeriksaan lagi,
tinggal auditor menyetujui atau tidak menyetujui novum dari auditee. Hal
ini seharusnya dapat dihindari karena sewaktu pelaksanaan pemeriksaan,
auditor akan selalu mengkomunikasikan jika ada temuan.
Zain Farosdaq:
Best Practices diterapkan jika tidak terdapat petunjuk teknis (juknis). Di
pedoman pelaksanaan juga telah diatur petunjuk pelaksanaan (juklak)
seperti apa, sedangkan untuk hal-hal teknis, misalnya, tidak diatur
sehingga dapat dipakai kriteria ataupun peraturan dari instansi lain yang
berwenang untuk menerbitkan aturan tersebut. Sebagai contoh terhadap
audit atas aspal atau beton, auditor bisa meminta ke Dirjen Bina Marga
yang berwenang aau ke pihak lain atau bahkan dengan cara auditor
sendiri, semisal auditor memiliki kemampuan untuk menghitung sendiri,
maka kemampuan tersebut dapat digunakan.
St. Bastian S. Pasaribu:
Dapat juga menggunakan ISSAI, disana ada beberapa guideline yang
dapat menjadi acuan apabila BPK tidak terdapat juknisnya. Bisa dicek di
website ISSAI. Sedangkan untuk keterbatasan sumber daya apakah harus
mengorbankan prosedur? Di dalam langkah audit ada perencanaan, dan di
perencanaan tim audit sudah dapat menganalisa berapa anggota yang
dibutuhkan. Apabila kegiatan audit besar dibutuhkan staff yang banyak,
sebaliknya apabila kegiatan audit kecil maka hanya membutuhkan sedikit
staff. Dalam perencanaan juga dibahas mengenai anggaran yang
dibutuhkan. Jadi pada dasarnya mengenai sumber daya seharusnya sudah
dialokasikan dan diketahui kebutuhannya pada saat perencanaan audit.
Zain Farosdaq:
Seharusnya perencanaan yang bagus sudah mengetahui kebutuhan dan
kapasitas sumber dayanya, mulai staff, jangka waktu, dana, sehingga

program audit dapat disesuaikan dengan tujuan dan sumber daya yang
dimiliki. Tetapi kalaupun terjadi hal-hal seperti itu, maka dapat dilakukan
perubahan program pemeriksaannya. Kalau diperlukan lagi dapat
dilakukan perpanjangan waktu. Yang jelas hasil adalah yang lebih penting,
bagaimana agar dapat efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya,
itulah yang harus dipikirkan.

d. Devri Radistya: Apabila pemeriksa menemukan potensi kerugian dalam kontrak


jangka panjang, apa tindakan pemeriksa selanjutnya? Apakah konsekuensi dari
pembatalan kontrak jangka panjang?
Ginanjar Aditya:
Pada petunjuk pelaksanaan direkomendasikan kepada auditor jika auditor
melakukan review lalu ditemukan adanya potensi kerugian dalam kontrak
jangka panjang, sebaiknya temuan tersebut disampaikan kepada entitas
sehingga dapat dilakukan tindakan. Kalaupun ada penalty dalam kontrak
antara auditee dengan klien, dapat dipertimbangkan antara biaya dan
manfaatnya mana yang lebih besar jika kontrak tersebut dibatalkan atau
tidak.

e. Yessy Puspita W. :Apakah ada batasan berapa kali dalam melakukan koreksi
lapkeu?
Bapak Alexandra: Temuan dalam LPP jika belum di-issued menjadi LHP,
jika terdapat bukti baru silahkan diberikan kepada auditor, sehingga
dimungkinkan untuk dilakukan revisi. Seandainya sudah diterbitkan dan
diserahkan kepada DPR tetap diperbolehkan untuk menyampaikan bukti
baru, namun atas laporan yang telah diterbitkan tersebut tidak akan
dilakukan perubahan, melainkan akan diterbitkan ralat atas laporan
tersebut. Untuk batasan berapa kali melakukan koreksi, tidak diatur
adanya batasan berapa kali melakukan koreksi, tetapi biasanya cukup
sekali saja.

f. Chandra Ari N: Pemeriksaan BPK yangg ditolak karena perbedaan kriteria yang
digunakan, apa yang harus dilakukan oleh auditor?
Ajar R. Islami: Seperti contoh jika ada perbedaan metode antara basis kas
menuju akrual dengan basis akrual, tetap yang menang adalah BPK
karena kriteria yang dipakai oleh BPK adalah yang ditetapkan melalui

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, meskipun


auditee menggunakan kriteria yang lebih baik, namun jika kriteria
tersebut belum ada dasar hukumnya, maka kriteria yang ditetapkan oleh
auditor adalah yang benar.
Zain Farosdaq: Aturan hukum juga terdapat saat berlakunya, sehingga
yang dipakai adalah aturan yang berlaku pada saat itu. Auditor harus
menyesuaikan dengan hal tersebut.

11. Bapak Alexandra memberi penjelasan tambahan terkait materi yang


disajikan. Tambahan tersebut meliputi beberapa tanggapan terkait jawaban atas
pertanyaan yang belum terjawab selama diskusi.
Bapak Alexandra: Seandainya auditee tidak setuju dengan kriteria atau
temuan BPK, hal tersebut boleh-boleh saja dilakukan. Langkah selanjutnya
adalah hal tersebut harus didiskusikan antara auditee dengan auditor. Jika
terjadi deadlock sehingga tidak terdapat titik temu antara auditee dan
auditor, maka urusan tersebut menjadi urusan pengadilan. Namun, kedua
pihak juga harus berhati-hati karena dimungkinkan dengan adanya
Undang-undang No. 15 Tahun 2004, auditee tidak boleh melakukan
rekayasa dan menolak terkait permintaan dokumen. Jika penolakan
tersebut memiliki dasar hukum yang tidak kuat, maka bisa dipidanakan
jika memang penolakan tersebut tidak tepat. Tetapi jika penolakan
tersebut dilindungi hukum, seperti menyangkut kerahasiaan WP, maka
diperbolehkan untuk menolak.

Anda mungkin juga menyukai