Anda di halaman 1dari 137

BUKU AJAR

HIDROLOGI TEKNIK

Penyusun:
DR. IR. MAHMUD ACHMAD, MP

Program Hibah Penulisan Buku Ajar Tahun 2011


Universitas Hasanuddin
2011

HALAMAN PENGESAHAN
HIBAH PENULISAN
BUKU AJAR BAGI TENAGA AKADEMIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2011
Judul Buku Ajar

: Hidrologi Teknik

NamaLengkap
NIP
Pangkat/Golongan
Prog.Studi/Jurusan
Fakultas/Universitas
Alamat e-mail
Biaya

: Dr. Ir. Mahmud Achmad, MP


: 19700603 199403 1 003
: Lektor / III c
: KeteknikanPertanian/TeknologiPertanian
: Pertanian/Univ. Hasanuddin
: mahmud_achmad@yahoo.com.au
: Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah)
Dibiayai oleh Dana DIPA BLU Universitas Hasanuddin
Tahun 2011 Sesuai SK Rektor Unhas
Nomor:
H4.2/KU.10/2011 Tanggal
Makassar,23 November 2011

Dekan Fakultas Pertanian


u.b.Wakil Dekan I

Penulis,

Prof. Dr.Ir. Ahmad Munir, M.Eng.


NIP 19600727 198903 1 003

Dr. Ir. Mahmud Achmad, MP.


NIP 19700603 199403 1 003

Mengetahui:
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP)

Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc.


NIP. 19630501 198803 1 004

Halaman Sampul

Halaman Pengesahan

ii

Kata Pengantar

iii

Daftar Isi

iv

Daftar Tabel

vii

Daftar Gambar

viii

I.

PENDAHULUAN

II.

SIKLUS HIDROLOGI

2.1 Pengertian, ruang lingkup dan peran ilmu hidrologi

2.2 Siklus hidrologi

III.

IV.

2.3 Hidrologi di Indonesia

17

2.4 Latihan dan Penugasan

20

2.5 Daftar Pustaka

20

HUJAN DAN PARAMETER IKLIM

21

3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan

21

3.2 Klasifikasi Hujan

23

3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah

29

3.4 Latihan dan Penugasan

36

3.5 Daftar Pustaka

37

EVAPOTRANSPIRASI

38

4.1 Pendahuluan

38

4.2 Evaporasi

40

4.3 Transpirasi

40

4.4 Evapotranspirasi

42

4.5 Evapotranspirasi Acuan

46

4.6 Latihan dan Penugasan

48

4.7 Tinjauan Pustaka

50

V.

VI.

LIMPASAN HUJAN DAN HIDROMETRI

52

5.1 Pendahuluan

52

5.2 Aliran Permukaan

53

5.3 Aliran Sungai

53

5.4 Waktu Konsentrasi

61

5.5 Transformasi Hujan Aliran

69

5.6 Tipe Sungai dan Aliran

72

5.7 Latihan dan Penugasan

78

5.8 Daftar Pustaka

79

INFILTRASI

80

6.1 Pendahuluan

80

6.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi

81

6.3 Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi

85

6.4 Pengukuran Infiltrasi

91

6.5 Contoh Soal

93

6.6 Latihan dan Penugasan

94

6.7 Daftar Pustaka

95

VII. PENELUSURAN BANJIR

96

7.1 Pendahuluan

96

7.2 Memilih Model Penelusuran Banjir

97

7.3 Penelusuran Aliran Tipe-Lump

98

7.4 Penelusuran Aliran Tipe-Terdistribusi

102

7.5 Metode Muskingum-Cunge

105

7.6 Latihan dan Penugasan

108

7.7 Daftar Pustaka

108

VIII. KOMPUTASI HIDROLOGI

110

8.1 Pendahuluan

110

8.2 Penyuntingan DEM

112

8.3 Menyunting Arah Aliran

116

8.4 Menyunting Elevations ke Create Streams

118

8.5 Analisa HEC-RAS

118

8.6 Penggambaran Dataran Banjir

124

8.7 Latihan dan Penugasan

126

8.8 Daftar Pustaka

126

PENUTUP

127

No Tabel

Tabel 4.1.

URAIAN

Koefisien Tanaman (Kc) Padi Menurut Nedeco/Prosida

Hal

44

dan FAO
Tabel 4.2

Kisaran nilai koefisien panci pada berbagai level kecepatan

48

angin dan kelembaban udara


Tabel 4.3

Kisaran nilai ET pada berbagai kondisi iklim wilayah

48

Tabel 5.1

Korelasi Nilai Koefisien dan untuk pelampung batang

58

Tabel 5.2

Pengukuran kecepatan aliran berdasarkan kedalaman

60

Tabel 6.1

Laju Infiltrasi Menurut Jenis Tanah

84

Nomor
Gambar
Gambar 2.1.
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9.
Gambar 2.10.
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3. 4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 3.13
Gambar 3.14

Uraian
Siklus Hidrologi (T=transpirasi, E=evaporasi, P=hujan, R=aliran
ppermukaan, G=aliran airtanah dan I=infiltrasi). Sumber:
Viessman et.al., 1989)
Kesetimbangan dan pergerakan air secara hidrologis. (Sumber:
Viessman et.al., 1989).
Distribusi input presipitasi dalam siklus hidrologi
Siklus Karbon di Bumi dan di Atmosfir
Siklus Nitrogen di Alam (Koottatep, Polprasert & Oanh, 2000)
Siklus Fosfor di Alam
Siklus Karbon dan Oksigen di Alam
Siklus Hidrologi Regional
Aliran permukaan dari dari curah hujan dan aliran mantap (air
yang tertampung di waduk, danau dan sungai) di pulau-pulau
besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)
Ketersediaan dan kebutuhan air secara umum di pulau-pulau
besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)
Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi).
Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam millimeter)
Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah
kontinental dan laut
Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment,
1989)
Tahap pengembangan massa udara thunderstorm (Maidment,
1989)
Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude
Bentuk butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment,
1989)
Alat penakar hujan type weighing
Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office
Tilting-syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float;
C=Knife-edges; D=Double siphon tubes; E=Trigger;
Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C:
magnet. D: switch
Alat Penakar Hujan (manual dan otomatis)
Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya
Metode Isohyet
Posisi Penakar pada suatu DAS

Hal
7
8
9
10
14
15
16
17
19
19
22
22
24
25
26
27
28
29
30
30
31
33
34
35

Nomor
Gambar
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Gambar 5.7
Gambar 5.8
Gambar 5.9
Gambar 5.10
Gambar 5.11
Gambar 5.12
Gambar 6.1
Gambar 6.2
Gambar. 6.3
Gambar 6.4
Gambar 7.1
Gambar 8.1
Gambar 8.2
Gambar 8.3
Gambar 8.4
Gambar 8.5
Gambar 8.6
Gambar 8.7
Gambar 8.8
Gambar 8.9
Gambar 8.10
Gambar 8.11
Gambar 8.12
Gambar 8.12

Uraian
Proses penguapan air dari badan air
Komponen kesetimbangan energi pada tanaman
Skema stomata pada daun tanaman
Fraksi evaporasi dan transpirasi pada proses evapotranspirasi
Skema faktor penentu evapotranspirasi
Skema perhitungan evapotranspirasi aktual
Penentuan Evaporasi dengan Grafik
Panci Evaporasi Kelas A
Morfologi Sungai dan bentuk pengalirannya
Pembagian Penampang Melintang Sungai
Profil distribusi kecepatan aliran sungai
Pelampung tangkai dari batang bambu
Prototipe alat Current meter
Contoh Daerah Tangkapan Hujan
Contoh Transformasi hidrograf hujan-aliran dan komponen
aliran sungai di suatu daerah tangkapan hujan
Konsep pendugaan debit puncak dengan metode time-area
Pola pergerakan air di sungai dalam tanggul/bantaran sungai
Pola pengaliran air sungai (SPAS)
Penentuan Orde Sungai
Profil Aliran Sungai Hasil Pengukuran
Skema komponen rainfall excess
Monogram SCS
Metode grafis penentuan Konduktivitas Hidraulik Jenuh dengan
segitiga tekstur
Infiltrometer
Sifat translasi dan attenuasi banjir
Menyunting DEM
Penentuan batas DAS atau sub-DAS
Kesalahan penggambara DAS
Das hasil perbaikan/koreksi
Hasil akhir penggambaran DAS
Peta Citra
Aliran Permukaan (stream flow)
Menyunting arah aliran dan koreksi
Koreksi atribut aliran
Peta Penggunaan Lahan
Penggunaan HEC-HMS
Hasil Pengolahan HEC-RAS di WMS
Pola dampak banjir stelah diproses

Hal
39
39
41
41
43
44
45
47
54
55
56
57
59
65
70
72
73
74
75
76
88
69
91
92
97
113
114
114
115
115
116
117
117
117
120
121
123
125

Puji syukur kehadirat Tuhan pencipta alam semesta dan yang menguasai ilmu pengetahuan karena
atas nikmat ilmu-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan buku ajar Hidrologi Teknik ini. Karena
banyaknya materi dan kajian tentang hidrologi, penulis membatasi tulisan ini sesuai kurikulum di
Program Studi Keteknikan Pertanian.
Berbagai tantangan dan halangan yang penulis hadapi dalam penulisan ini terutama dalam setting
gambar. Oleh karena itu lewat pengantar ini, saya memohon bila apa yang tersaji masih banyak
yang perlu dibenahi. Keterbatasan waktu dalam mebuat modul bahan ajar ini merupakan salah satu
faktor pembatas. Penulis tentu akan terus memperbaiki Modul ini untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan kemudahan bagi mahasiswa dalam mempelajari ilmu hidrologi.
Terima kasih saya sampaikan kepada Rektor UNHAS melalui LKPP yang telah memberikan
bantuan dana penulisan untuk mendukung terwujudnya buku ajar ini. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada keluarga saya Istri tercinta Hj. Nahar Zakariah dan anak-anakku (Ainun, Uswah dan
Ariqah) yang telah dengan penuh pengertian dan dukungan dalam penyelesaian modul ini.

Makassar, November 2011


Penulis

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mengetahui GBRP dan kontrak pembelajaran
2. Mahasiswa memahami sistem evaluasi pembelajaran
Kondisi Pembelajaran di Teknik Pertanian
Dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran di Program studi Keteknikan Pertanian
Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNHAS, maka dipandang perlu untuk
membuat kelengkapan bahan pengajaran dalam bentuk yang dapat digunakan oleh dosen
dan mahasiswa sebagai acuan dasar dalam proses pembelajaran. Salah satu bahan yang
dapat dijadikan acuan dalam proses pembelajaran pada Mata Kuliah Hidrologi Teknik
adalah MODUL yang dibuat dalam bentuk interaktif dan disertai contoh-contoh kasus
dalam bidang Sumber Daya Air secara menyeluruh dan terintegrasi.
Mata kuliah Hidrologi Teknik diikuti oleh rata-rata 50 mahasiswa peserta mata kuliah
setiap semester dengan kelulusan yang bervariasi dari A sampai ke E. Nilai A kurangdari
5%, A- sekira 10% sedangkan nilai B+ sampai D mendominasi sampai 75%, dan kurang
lebih 10% tidak lulus atau mengundurkan diri.
Kelulusan mahasiswa umumnya ditentukan dengan beberapa aspek meliputi: (i) Tingkat
Kognisi berupa kemampuan menghitung, mengolah data dan menganalisis persoalan
hidrologi seperti peluang kejadian hujan, kejadian banjir, air tanah, dan aspek dalam siklus
hidrologi lainnya; (ii) Tingkat Keterampilan (Skill) berupa kemampuan mengoperasikan
alat-alat ukur hidrologi dan klimatologi, dan mengolah data dengan perangkat lunak olah
data (terdistribusi atau spasial); dan (iii) Skala Sikap dan Soft Skill yang meliputi
kemampuan kerja kelompok dan bekerjasama, serta etika dalam penggunaan alatalat/instrumen laboratorium.
Berdasarkan rekam jejak kelulusan mahasiswa, umumnya nilai selalu rendah pada tingkat
kognisidimanamerekamasihlemahdalammenghitung,mengolahdanmenganalisisdata.

Oleh

karena

itu,

keberadaan

MODUL

PEMBELAJARAN

HIDROLOGI

TEKNIK

diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran mahasiswa dalam hal peningkatan


kemampuan kognitif dan keterampilan dalam bidang Hidrologi Teknik.
Sasaran Pembelajaran
Pada akhir penyajian matakuliah Hidrologi Teknik ini, mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan prinsip dan teori dasar hidrologi, mampu mendeskripsi komponen-komponen
siklus hidrologi dan proses dari masing-masing komponen. Mahasiswa juga diharapkan
memahami dan trampil dalam mengukur parameter hidrologi (hidrometri); menganalisis
distribusi kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia atau secara lokal di DAS; trampil
menggunakan perangkat lunak dalam analisis data dan proses hidrologi.
Deskripsi Mata Kuliah
Matakuliah ini merupakan mata ajaran yang membahas aspek-aspek yang berkaitan
penyebaran, siklus dan proses air di atmosfir dan di bumi serta manfaat dan bahaya air bagi
manusia. Ruang lingkup mata kuliah Hidrologi Teknik mencakup pengertian dan ilmu
yang terkait dengan hidrologi; genesa dan penyebaran air; proses dan komponen siklus
hidrologi; identifikasi dan deskripsi satuan analisis untuk kajian hidrologi; pengukuran
komponen/parameter

hidrologi

(hidrometri),

analisis

hujan,

evapotranspirasi

dan

perhitungannya, limpasan permukaan; dan dasar komputasi hidrologi. Pelaksanaan kuliah


menggunakan pendekatan ekspositori dalam bentuk ceramah dan tanya jawab (diskusi)
dengan penggunaan LCD. Kelengkapan kuliah berupa penyelesaian tugas penyusunan dan
penyajian

makalah

laboratoriun

dan

lapangan agar

kelompok,
lapangan.

diskusi
Di

dan

akhir

pemecahan

perkuliahan

masalah,
juga

serta

dilaksanakan

praktikum
praktek

mahasiswa memiliki keterampilan dalam menganalisa masalah-masalah

hidrologi di lapangan. Tahap penguasaan mahasiswa selain evaluasi melalui UTS dan UAS juga
evaluasi terhadap tugas, penyajian, diskusi, dan laporan praktikum lapangan.
Pendekatan pembelajaran
Perkuliahanini

menggunakan

pendekatan

ekspositori,

penugasan,

dan

praktek

laboratorium dan lapangan


a.

Metode Tatap Muka : ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemecahan


masalah

b.

Tugas : Laporan Praktikum, penyajian makalah dan diskusi, dan Laporan


praktek lapangan

c.

Media : LCD (presentasi), Penuntun Praktikum (CD), dan Modul


Pembelajaran (File PDF).

Evaluasi
Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan ini dievaluasi dengan komponen prestasi yang
telah ditunjukkan berupa:
a.

Jumlah tatap muka (% kehadiran)

b.

Partisipasi aktif dalam kegiatan kelas

c.

Partisipasi dalam praktikum (Laboratorium dan Lapangan) dan Laporan


praktikum Lab/Lapangan

d.

Tugas Makalah dan Presentasi

e.

Kuis

f.

UTS dan UAS

GBRP (GARIS BESAR RANCANGAN PEMBELAJARAN)


MINGGU
KE

SASARAN
PEMBELAJARAN
1.
2.

3.
2

4.
5.

6.
3-4
7.
8.

Kontrakkuliah
Mampumenjelaskan
KonsepHidrologi

Mampumenjelaskan
SiklusHidologidan
komponennya

Mampumenjelaskan
proseskejadianhujan
Mampumenjelaskan
metodepengukuranhujan
danalatukurnya
Mampumengidentifikasi
danmenganalisis
karakeristikhujan
Mampumenghitungrata
ratahujanwlayah
Mampumenjelaskan
parameteriklimlain

MATERI
PEMBELAJARAN

PengertiandanRuang
LingkupHidrologi
PermasalahanHidrologi
diIndonesia
Siklus Hidrologi
Kesetimbangan Air
SiklusKomponenlaindi
Bumi

STRATEGI
PEMBELAJARAN

Kuliah/
Diskusi

KRITERIA
PENILAIAN

Kuliah/Diskusi

Keaktifan (1)
Caramengemukakan
pendapat(2)
Tingkat analisis (2)
Keaktifan (1)
Caramengemukakan
pendapat(2)
Tingkat analisis (2)

BOBOT
NILAI
(%)

Keaktifan (1)
Caramenghitung(3)
Caramenggambar
areahujan(4)
Tingkat analisis (2)

Pengertiandanproses
kejadianhujan
Karakteristik Hujan
PengukuranHujan
Hujan Wilayah
Kuliah/Penugasan

10

5-6

78

911

1213

9.Mampumenjelaskan
prosesevapotranspirasi
10.Mampumenjelaskan
parameter
evapotranspirasi
11.Mampumelakukan
perhitungan
evapotranspirasipotensial
(Penmann)denganbenar
12.Mampumelakukan
perhitungan
evapotranspirasiaktual
(Penmann)dengan
benarMengerticara
pengukuranerosi

13.Mampumenjelaskan
pengertianrunoff
14.Mampumengukur
penampangpengaliran
sungai(prakteklapangan)
15.Mampumelakukan
pengukurankecepatan
aliransungaidengan
pelampungdancurrent
meter(prakteklapangan)
16.Mampumenghitungdebit
aliransungaihasil
pengukuran(praktek
lapangan)
17.Mampumenjelaskantipe
tipePolaPengaliran
AirSungai(SPAS)
18.Memahamimetoda
Rasionalsebagai
pendugaandebitsungai
19.Mampumenghitung
intensitashujan
20.Mampumenenukanwaktu
konsentrasidenganWMS
21.Mampumenghitungdebit
puncak

23.Mampumenjelaskan
konsepinfiltrasi,perkolasi
danpermeabilitas
24.Mampumenjelaskan
perbedaanantarakonsep
infiltrasi,perkolasidan
permeabilitas
25.Mampumenghitunglaju
infiltrasidankapasitas
infiltrasisertakoefisien
fungsiinfiltrasi(Kostiakov,
Horton,danHoltan)
26.Mampumelakukan
pengukuraninfiltrasi
denganringinfiltrometer
dilapangan.

27.Mengetahuicaraprakiraan
banjirjangkapendek
28.Menghitunghidrograf
satuandarisuatutitik
ukurkebagiansungailain
29.Mengetahuiperhitungan
debitbanjir

Evaporasi
Transpirasi,
Evapotranspirasi
Pengukuran Evaporasi
Perhitungan ETP

Keaktifan (1)
Dokumentasi (3)
Kreatifitas(3)
Menghitung (3)

Kuliah/
Belajarmandiri

10

PengenalanAlatUkur
(3)
PengukuranLapang
(4)
Penghitungan (2)
Laporan/Bahan
presentasi(5)
Teknik Presentasi (3)
Teknik menjawab (3)

Pengertian
Aliran Permukaan
Aliran Sungai
APengetian
Alat Ukur
Pengukuran Debit
Perhitungan Debit

Praktikum/Praktek
Lapangan/
Presentasi/Diskusi

Pengertian
Faktoryang
mempengaruhiinfiltrasi
Pengukuranlapangan
PerhitunganFungsi
Infilrtasi

Kuliah/Praktikum/
PraktekLapangan/
Diskusi

Penngertian
Modelpenelusuran
banjir
Tipe Lump
Tipe terdistribusi

Kuliah/Diskusi
kelompok/Prentasi/
Penugasan

20

PengenalanAlatUkur
(2)
pengukuranLapang
(2)
Penghitungan(4)
Laporan/Bahan
Diskusi(4)
Teknik
mengemukakan
pendapat(3)

Kektifan (2)
PraktekKomputasi(5)
Penghitungan (4)
Laporan/Bahan
Diskusi(4)

15

15

30.Mengetahuiderivasi
hidrografsintetik

1415

16

31.Mengetahuiaplikasi
komputerdalamanalisis
hidrologi
32.Mengetahuiperhitungan
menggunakankomputer
33.Mengetahuiperhitungan
banjirrencana
menggunakankomputer
34.Mengetahuiperhitungan
debitmenggunakan
komputer
35.Mengetahuiperhitungan
banjirrencana
menggunakankomputer
36.Mengetahuiperhitungan
debitmenggunakan
komputer

37.Penguasaanmateri

Aplikasi Komputer
Teknikmengoperasikan
modelWMS
PerhitunganDebit
Rencana

Soalujian(materidan
praktek)

Kuliah/Praktek/
PembuatanLaporan

UJIKOMPETENSIDAN
REMEDAIL

Keaktifan(2)
PengenalanSoftware
(4)
Pengolahan data (6)
Penyajianhasil/
Laporan(8)

20

Akumulasi
Kemampuan

100

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mengetahui pengertian, ruang lingkup dan peranan Ilmu hidrologi,
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Siklus Hidrologi, dan, Hidrologi di Indonesia

A. Pengertian, ruang lingkup dan peranan Ilmu hidrologi


Hidrologi adalah cabang ilmu dari ilmu kebumian. Hidrologi merupakan ilmu yang
penting dalam asesmen, pengembangan, utilisasi dana manajemen summberdaya air
yang dewasa ini semakin meningkat realisasinya di berbagai level. Indonesia secara
umum juga mengalami berbagai permasalahan sumberdaya air yang membutuhkan
analisis hidrologi yang semakin rumit dalam mengatasinya. Hal ini mendorong para peneliti
bidang

Hidrologi

untuk

semakin

intensif

dalam

mengumpulkan

data

dan

informasi dari level global sampai pada tingkat prilaku air di sub-sub daerah aliran
sungai.
Pemahaman ilmu hidrologi akan membantu kita dalam menyelesaikan problem
berupa

kekeringan,

banjir,

perencanaan

sumberdaya

air

seperti

dalam

disain

irigasi/bendungan, pengelolaan daerah aliran sungai, degradasi lahan, sedimentasi dan


problem lain yang terkait dengan kasus keairan.

B. Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas, dan padat baik proses
di atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses kondensasi,
presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari
merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air
berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk air, es, atau kabut. Pada
perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau
langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah.
Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara
yang berbeda:

1.

Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb.
kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan.
Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang
selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

2.

Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celahcelah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak
akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah
permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

3.

Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama
dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran
permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada
daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai
utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju
laut.

Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan
sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan
berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponenkomponen

siklus

hidrologi

yang

membentuk

sisten

Daerah

Aliran

Sungai

(DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud
dan tempatnya

Secara umum bagan alir distribusi air hujan dalam proses hidrologi dapat dilihat pada
Gambar 3 yang disajikan sebagai bentuk transformasi hyetograph menjadi streamflow
hydrograph melalui berbagai proses di bumi dan di atmosfir.

Gambar 3. Distribusi input presipitasi dalam siklus hidrologi


Siklus Karbon (C)
Diagram dari siklus karbon. Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak
karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton
Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar
reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak
termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen
Bagian terbesar dari karbon yang berada di atmosfer Bumi adalah gas karbon dioksida
(CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas
yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basis molar, meskipun sedang
mengalami kenaikan), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong
kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan
kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas
tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam
dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global.

Gambar 4. Siklus Karbon di Bumi dan di Atmosfir


Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara:
1. Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk mengubah
karbon dioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan
yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat.
2. Pada permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan CO2 akan
lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan terbawa oleh
sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat ke
kedalaman laut atau interior laut (lihat bagian solubility pump).
3. Di laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang
tinggi,

organisme

organisme

juga

membentuk
membentuk

jaringan
cangkang

yang

mengandung

karbonat

dan

karbon,

beberapa

bagian-bagian

tubuh

lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke bawah (lihat
bagian biological pump).
4. Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak
memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer.
Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap CO2 atmosferik

karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya


dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse
reaction).
Karbon dapat kembali ke atmosfer dengan berbagai cara pula, yaitu:
1. Melalui pernafasan (respirasi) oleh tumbuhan dan binatang. Hal ini merupakan
reaksi eksotermik dan termasuk juga di dalamnya penguraian glukosa (atau
molekul organik lainnya) menjadi karbon dioksida dan air.
2. Melalui pembusukan binatang dan tumbuhan. Fungi atau jamur dan bakteri
mengurai

senyawa

karbon

pada

binatang

dan

tumbuhan

yang

mati

dan

mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi
metana jika tidak tersedia oksigen.
3. Melalui

pembakaran

material

organik

yang

mengoksidasi

karbon

yang

terkandung menghasilkan karbon dioksida (juga yang lainnya seperti asap).


Pembakaran

bahan

bakar

fosil

seperti

batu

bara,

produk

dari

industri

perminyakan (petroleum), dan gas alam akan melepaskan karbon yang sudah
tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer. Hal inilah yang merupakan
penyebab utama naiknya jumlah karbon dioksida di atmosfer.
4. Produksi semen. Salah satu komponennya, yaitu kapur atau gamping atau
kalsium oksida, dihasilkan dengan cara memanaskan batu kapur atau batu
gamping yang akan menghasilkan juga karbon dioksida dalam jumlah yang
banyak.
5. Di permukaan laut dimana air menjadi lebih hangat, karbon dioksida terlarut
dilepas kembali ke atmosfer.
6. Erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepaskan gas ke atmosfer.
Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah
karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer secara kasar hampir sama dengan
jumlah karbon dioksida yang hilang dari atmosfer akibat pelapukan silikat;
Kedua proses kimia ini yang saling berkebalikan ini akan memberikan hasil
penjumlahan yang sama dengan nol dan tidak berpengaruh terhadap jumlah
karbon dioksida di atmosfer dalam skala waktu yang kurang dari 100.000
tahun.

Karbon di biosfer
Sekitar 1900 gigaton karbon ada di dalam biosfer. Karbon adalah bagian yang penting
dalam kehidupan di Bumi. Ia memiliki peran yang penting dalam struktur, biokimia,
dan nutrisi pada semua sel makhluk hidup. Dan kehidupan memiliki peranan yang
penting dalam siklus karbon:
1. Autotroph adalah organisme yang menghasilkan senyawa organiknya sendiri
dengan menggunakan karbon dioksida yang berasal dari udara dan air di sekitar
tempat mereka hidup. Untuk menghasilkan senyawa organik tersebut mereka
membutuhkan

sumber

energi

dari

luar.

Hampir

sebagian

besar

autotroph

menggunakan radiasi matahari untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, dan


proses

produksi

ini

disebut

sebagai

fotosintesis.

Sebagian

kecil

autotroph

memanfaatkan sumber energi kimia, dan disebut kemosintesis. Autotroph yang


terpenting dalam siklus karbon adalah pohon-pohonan di hutan dan daratan dan
fitoplankton di laut. Fotosintesis memiliki reaksi 6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2
2. Karbon

dipindahkan

di

dalam

biosfer

sebagai

makanan

heterotrop

pada

organisme lain atau bagiannya (seperti buah-buahan). Termasuk di dalamnya


pemanfaatan material organik yang mati (detritus) oleh jamur dan bakteri untuk
fermentasi atau penguraian.
3. Sebagian besar karbon meninggalkan biosfer melalui pernafasan atau respirasi.
Ketika tersedia oksigen, respirasi aerobik terjadi, yang melepaskan karbon
dioksida ke udara atau air di sekitarnya dengan reaksi C6H12O6 + 6O2
6CO2 + 6H2O. Pada keadaan tanpa oksigen, respirasi anaerobik lah yang
terjadi,

yang

melepaskan

metan

ke

lingkungan

sekitarnya

yang

akhirnya

berpindah ke atmosfer atau hidrosfer.


4. Pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan, kayu yang digunakan untuk
tungku penghangat atau kayu bakar, dll.) dapat juga memindahkan karbon ke
atmosfer dalam jumlah yang banyak.
5. Karbon juga dapat berpindah dari bisofer ketika bahan organik yang mati
menyatu dengan geosfer (seperti gambut). Cangkang binatang dari kalsium
karbonat yang menjadi batu gamping melalui proses sedimentasi.
6. Sisanya, yaitu siklus karbon di laut dalam, masih dipelajari. Sebagai contoh,
penemuan
sebagai

terbaru

bahwa

rumah

larvacean

mucus

(biasa

dikenal

"sinkers") dibuat dalam jumlah besar yang mana mampu membawa banyak
karbon ke laut dalam seperti yang terdeteksi oleh perangkap sedimen [1].
Karena ukuran dan kompisisinya, rumah ini jarang terbawa dalam perangkap
sedimen,

sehingga

sebagian

besar

analisis

biokimia

melakukan

kesalahan

dengan mengabaikannya.
Penyimpanan karbon di biosfer dipengaruhi oleh sejumlah proses dalam skala waktu
yang berbeda: sementara produktivitas primer netto mengikuti

siklus harian

dan

musiman, karbon dapat disimpan hingga beberapa ratus tahun dalam pohon dan hingga
ribuan tahun dalam tanah. Perubahan jangka panjang pada kolam karbon (misalnya
melalui de- atau afforestation) atau melalui perubahan temperatur yang berhubungan
dengan respirasi tanah) akan secara langsung mempengaruhi pemanasan global

Siklus Biogeokimia
Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumf. Materi yang berupa
unsurunsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan Materi dasar makhluk
hidup dan tak hidup.
Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa
kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen
abiotik.

Siklus

melibatkan

unsur-unsur

reaksireaksi

tersebut

kimia

dalam

tidak

hanya

lingkungan

melalui
abiotik

organisme,
sehingga

tetapi

disebut

jugs
siklus

biogeokimia.
Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus air, siklus oksigen, siklus karbon, siklus
nitrogen, dan siklus sulfur. Di sini hanya akan dibahas 3 macam siklus, yaitu siklus
nitrogen, siklus fosfor, dan siklus karbon.

1. Siklus Nitrogen (N2)


Gasnitrogenbanyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat
ditambat/difiksasi

terutama

oleh

tumbuhan

yang

berbintil

akar

(misalnya

jenis

polongan) dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan
hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir.
Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit
(N02- ), dan ion nitrat (N03- ).

Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar
tumbuhan

lain,

misalnya

Marsiella

crenata.

Selain itu, terdapat bakteri dalam

tanah
yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat
aerob

dan

Clostridium

sp.

yang

bersifat

anaerob.

Nostoc

sp.

dan

Anabaena

sp.

(ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen.


Nitrogen

yang

diikat

biasanya

dalam

bentuk

amonia.

Amonia

diperoleh

dari

hasil

penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri
nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan
diserap

oleh

akar

menjadi

amonia

tumbuhan.

kembali,

dan

Selanjutnya
amonia

oleh

diubah

bakteri

menjadi

denitrifikan,

nitrogen

yang

nitrat

diubah

dilepaskan

ke

udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem. Lihat Gambar.

Gambar 5. Siklus Nitrogen di Alam (Koottatep, Polprasert & Oanh, 2000)

2. Siklus Fosfor
Di

alam,

fosfor

terdapat

dalam

dua

bentuk,

yaitu

senyawa

fosfat

organik

(pada

tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah).
Fosfat

organik

dari

(pengurai) menjadi

hewan

dan

tumbuhan

yang

mati

diuraikan

oleh

dekomposer

fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air

laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak
terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk

fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan
diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus. Lihat Gambar

Gambar 6. Siklus Fosfor di Alam

3. Siklus Karbon dan Oksigen


Di atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara
berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan
asap

pabrik.

Karbon

dioksida

di

udara

dimanfaatkan

oleh

tumbuhan

untuk

berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia
dan hewan untuk berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama
akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai
bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.
Di ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung.
Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai
menjadi

ion

bikarbonat.

Bikarbonat

adalah

sumber

karbon

bagi

alga

yang

memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain.

Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, COz yang mereka keluarkan menjadi
bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air.

Gambar 7. Siklus Karbon dan Oksigen di Alam

Kesetimbangan Air Regional


Konsep kesetimbangan air juga dapat dinyatakan secara regional atau dalam suatu
kawasan seperti pada suatu daerah tangkapan hujan (catchment area) atau pada suatu
daerah pengaliran sungai (DAS atau Sub-DAS).
Kesetimbangan air dapat diklasifikasikan berdasarkan posisinya dalam bumi menjadi:
i.

Kesetimbangan air di atas permukaan tanah,


Kesetimbangan

air

di

atas

permukaan

tanah

dapat

dinyatakan

dengan

dapat

dinyatakan

dengan

persamaan:
P + R1 R2 + Rg Es Ts I = Ss
ii.

Kesetimbangan air di bawah permukaan tanah


Kesetimbangan

air

di

bawah

permukaan

tanah

persamaan:
I + G1 G2 Rg Eg Tg = Sg

iii.

Kesetimbangan

total

adalah

merupaka

kombinasi

dari

persamaan

kesetimbangan air di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah yang


dinyatakan dengan persamaan:.
P (R2 R1) (Es + Eg) (Ts + Tg) (G2 G1) = (Ss + Sg).
Kesetimbangan regional air tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

C. Hidrologi di Indonesia
Indonesia
bentuk

dalam

mengimplemetasikan

perundangan

berupa

konsep

keairan

UNDANG-UNDANG

telah

menuangkan

REPUBLIK

dalam

INDONESIA

NOMOR 7 TAHUN 2004 yang memuat konsep dasar keairan berupa definisi-definisi:
1. Air adalah semua air yang terdapat pada, diatas, ataupun dibawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air
laut yang berada di darat.
2. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
3. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.

4. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat
pada, di atas, atau pun di bawah permukaan tanah
5. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam

satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

6. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau
ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.
7. Cekungan

air

hidrogeologis,

tanah

adalah

tempat

suatu

semua

wilayah

kejadian

yang

dibatasi

hidrogeologis

oleh

seperti

batas
proses

pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.


Permasalahan sumberdaya air di Indonesia masih bertumpu pada aspek kuantitatif
seperti kejadian banjir dan kekeringan. Dimana air terlalu banyak pada musim hujan
dan terlalu sedikit pada musim kemarau. Distribusi ketersediaan air sepanjang waktu
sangat

ditentukan

oleh

distribusi

hujan

sepanjang

tahun

dan

ketersediaan

sarana

penampungan air untuk mencegah kekurangan air pada musim kemarau.


Disamping persoalan kuantitas, kualitas air juga menjadi permasalahan di Indonesia
dimana kualitas air permukaan sudah sangat kotor, misalnya air di Sungai Citarum
yang berbau dan berwarna hitam.
Permasalahan
komprehensif

sumber
tentang

daya

air

ini

hidrologi

dapat

diselsesaikan

wilayah/regional

dengan

pada

pemahaman

masing-masin

yang
DAS.

Pemahaman yang baik dapat mengatur ketersediaan air dalam jumlah dan waktu yang
cukup serta kualitas yang sesuai peruntukannya.
Bentruk transformasi hujan aliran dan simpanan air di wilayah sangat ditentukan oleh
kondisi bentang alam yang terdapat di wilayah jatuhnya hujan. Komposisi aliran
permukaandantampunganairsecarakuantitatifdapatdilihatpadaGambar9.

Gambar 9.

Aliran permukaan dari dari curah hujan dan aliran mantap (air yang
tertampung di waduk, danau dan sungai) di pulau-pulau besar di
Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)

Sebaran kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia cukup bervariasi dimana pulau
seperti Jawa, NTB dan Bali memiliki defisit air bila ditinjau dari aspek kebutuhan
domestik dan pertanian. Sementara pulau lainnya masih cenderung cukup dalam artian
ketersediaan

aliran

mantap.

Meskipun

demikian,

tersebut berpeluang terjadi pada periode waktu tertentu.

kekurangan

air

di

pulau-pulau

Gambar 10.

Ketersediaan dan kebutuhan air secara umum di pulau-pulau besar di


Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000).

SOAL LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan:


a. Hidrologi
b. Presipitasi
2. Jelaskan peranan hidrologi dalam pemecahan permasalahan sumberdaya air yang
ada di Indonesia
3. Gambarkan siklus hidrologi dan jelaskan komponen-komponen penyusunnya
4. Diskusikan ketersediaan dan kebutuhan air di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.
New York.
Kodoatie, RJ dan Sjarief, R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGrawHills. New York.
Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper
Collins Pub. New York.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan
4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah
5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain

3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan


Presipitasi atau Hujan adalah peristiwa jatuhnya air/es dari atmosfer ke permukaan
bumi dan atau laut dalam bentuk yang berbeda. Hujan di daerah tropis (termasuk
Indonesia)

umumnya

dalam

bentuk

air

dan

sesekali

dalam

bentuk

es

pada

suatu

kejadian ekstrim, sedangkan di daerah subtropis dan kutub hutan dapat berupa air atau
salju/es.
Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu.
Besarnya
tertentu
hujan

curah
seperti

yang

rancangan

hujan
perhari,

diperlukan

pengendalian

dapat

dimaksudkan

perbulan,
untuk
banjir

untuk

permusim

penyusunan
adalah

curah

satu

atau
suatu

kali

hujan

pertahun

(Sitanala,

rancangan

hujan

rata-rata

atau

untuk
1989).

pemanfaatan
diseluruh

air

daerah

masa
Curah
dan
yang

bersangkutan. Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu
yang ditinjau dari curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan
curah

hujan

perjam.

Harga-harga

yang

diperoleh

ini

dapat

digunakan

untuk

menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya perancangan sesuai dengan tujuan
yang dimaksud (Sosrodarsono dan Takeda, 1999).
Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah
satu

konsekuensi

dari

variabliltas

hujan

adalah

terjadinya

fluktuasi

curah

hujan

di

setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir
yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya.

Dinamikan Atmosfir: Variabel utama yang digunakan untuk menggambarkan kondisi


dinamik atmosfir adalah are kerapatan udara, tekanan udara, dan suhu. Persamaan lama
menghubungkan variabel atmosfir dengan laju atmosfir melalaui sistem 6 persamaan
(konservasi massa, konservasi energi, hukum gas ideal, dan 3 persamaan konservasi
momentum, komponen masing-masing persamaan memiliki parameter laju) pada enam
parameter (tekanan, temperature, kerapatan, dan 3 komponen laju).
Salah satu komponen siklus hidrologi yang sangat penting dan selalu diukur
adalah

hujan.

Pengukuran

hujan

telah

dilakukan

sejak

lama

dengan

melakukan

penakaran hujan. Penakar hujan pertama berada di Korea tahun 1400an, dan 200 tahun
kemudian, Sir Christopher Wren menginvensi alat penakar hujan otomatis.

Gambar 3.1/2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi dan millimeter).

Data rekaman meteorologi dan hidrologi dimaksudkan untuk penilaian sumber


daya

air,

evaluasi

kejadian

banjir

puncak

di

wilayah

pertanian

dan

perkotaan/

permukiman Kebutuhan data dapat bervariasi dari menit ke menit sampai bulanan dan
tahunan.
Proses Kejadian Hujan
Pembentukan

hujan

merupakan

proses

fisika

awan

Sejumlah

proses

fisik

terdapat dalam proses terjadiinya hujan, dan proses tersebut memiliki hubungan dengan
berbagai issu dari kualitas lingkungan sampai perubahan iklim.
1. Terbentuknya awan
Awan terbentuk ketika udara menjadi sangat jenuh (supersaturated), dimana ketika
teknan uap aktual mencapai atau melebihi tekanan uap jenuh: Supersaturation terjadi
melalui pengembangan dan pendinginan kolom udara yang menyebabkan uap air
terkondensasi pada partikel atmosfir. Proses ini disebut nukleasi (nucleation). Aeroso;
atmosfir yang merupakan suspensipadat atau bahan cair dengan kecepatan jatuh kecil
memegang peranan penting dalam permulaan kondensasi dengan memfasilitasi tempat
proses nukleasi bagi uap air. Dua tipe awan dapat dibedakan atas awan dingin (cold
clouds) dan awan panas (warm clouds). Awan dengan suhu di atas 0 0C disebut awan dingin.
2. Struktur Awan
Di awal abad 20, Wegener menyatakan bahwa pada campuran awan yang terbentuk
dari condensasi uap merupakan mekanisme umum terjadinya hujan yang terkadang
juga membentuk salju dan es. Jenis hujan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh suhu
lapisan atmosfir antara terjadinya hujan dan permukaan tanah (lapisan yang dilewati hujan).
Droplet atau butiran hujan bertumbuh pada awan yang suhunya lebih tinggi
(warm

clouds)

melalui

proses

kondensasi,

kollisi

(collision),

dan

koalesens

(coalescence). Umumnya awan yang terbentuk di wilayah tropis adalah awan dengan
suhu diatas 0oC. Jenis awan ini mencairkan partikel kristal yang terbentuk di wilayah
atmosfir dengan suhu di bawah 0oC. Proses ini juga mengecilkan kristal hujan dan
membentuk butiran hujan.

Gambar 3.3 Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah kontinental


dan laut

3. Proses Jatuhnya Air Hujan


Mekanisme jatuhnya air hujan secara umum terjadi karena proses konveksi dan
pembentukan
proses

awan

berlapis

pembentukan

dan

(stratiform).
pembesaran

Kedua
ukuran

mekanisme

ini

dan

butiran

berat

berbeda
hujan

dalam
yang

menyebabkan pergerakan vertikal udara yang berasosiasi dengan awan pembentuk


hujan.

Pada
diinisiasi
hujan

mekanisme

dekat

cukup

stratiform,

permukaan
lama

atas

gerakan
awan

(berjam-jam).

vertikal

hingga

Untuk

udara

proses

mekanisme

lemah,

partikel

terjadinya
konvektif,

hujan

pengembangan
gerakan

udara

vertikal sangat cepat sehingga pembesaran partikel butiran hujan diinisiasi dengan
cepat saat terbentuknya awan. Hal ini menyebabkan proses jatuhnya butiran hujan
sangat cepat (sekitar 45 menit).
Mekanisme

lain

dalam

proses

hujan

adalah

kombinasi

konvektif

dan

stratiform yang merupakan proses pengangkatan massa udara dan uap air secara
orografis melalui pegungungan dan perbukitan.
Ada enam kelas sistem kejadian hujan secara umum yang diuraikan seperti
berikut:

a. Siklon Extratropis
Sirkulasi

udara

yang

terdiri

dari

massa

udara

(streams)

yang

bergerak

secara

normal dan stabil mengikuti pola gerakan di atas permukaan bumi. Suhu dan
kelembaban

udara

sangat

tergantung

pada

asal

gerakan

udara;

masssa

udara

kontinental kutub dingin dan kering; massa udara laut tropis panas dan lembab.
Wilayah disekitar daerah tropis sangat berbeda sehingga dua airan udara paralel
dengan suhu berbeda sehingga memicu ketidak stabilan di lapisan antara keduanya
yang cenderung menyebabkan terjadinya siklon.
Kejadian kurva siklon ekstratropis curve dapat mencapai ribuan kilometer.
Pengangkatan vertiakal dalam siklon ekstratropis diasosiasikan dengan posisi kurva
dengan

kecepatan

kurng

dari

0.1

km/jam.

Kebanyakan

hujan

pada

siklon

ini

didominasi oleh mekanisme stratiform yang dimicu oleh kejadian konvektif seperti
terlihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3. 4 Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 1989)

b. Midlatitude Thunderstorms
Seperti halnya siklon ekstratropis yang merupakan contoh hujan stratiform, maka
midlatitude

thunderstorms

merupakan

contoh

hujan

konveksi.

Massa

udara

thunderstorms terbentuk dari massa udara tak stabil secara konveksi dalam jumlah
yang relatif besar dari kandungan uap rendah dan gesekan angin kecil. Struktur
spasial hujan ditentukan dengan pola acak pada thunderstorm.
Studi

pada

thunderstorm

yang

akhir

1940an

memiliki

memberikan

karakterisrik

hasil

siklus, (1)

proses

kejadian

membetuk

hujan

awan cumulus

yang
membentuk
pengangkatan

partikel
udara

hujan

di

awan

tapi

yang

kuat,

(2)

tahap

tidak

mencapai

pematangan

bumi

dimana

karena
gesekan

proses
partikel

hujan menyebabkan gerak ke bumi sehingga butiran hujan jatuh, dan (3) tahap
dissipasi

dimana

menghasilkan
thunderstorms

butiran

curah
dalam

hujan

hujan
skala

kecil

yang

terus

tinggi

sedang

jatuh.
pada

(mesoscale

Umumnya
wilayah

c. Kluster Awan Tropis (Tropical Cloud Clusters)

yang

convective

merupakan penyebab utama terjadinya banjir di berbagai tempat.

thunderstorms
luas.
systems,

tidak

Kejadian
MCS)

Gambar 3.6 menunjukkan bahwa secara global curah hujan rata-rata tahunan di
wilayah tropis merupakan yang terbesar. Curah hujan yang maksimum tersebut
berasosiasi dengan kluster awan yang terjadi pada zona putaran angin yang
memusat.

Kluster

awan,

seperti

halnya

pada

sistem

awan

tropis,

konveksi

merupakan pemicu awal kejadian hujan. Meskipun sistem awan tropis meliputi
jangkauan skala yang luas, kebanyakan hujan karena proses kluster awan jatuh
pada luas wilayah yang dapat mencapai 50.000 km2. Hujan tropis memainkan
peranan

penting

dalam

sirkulasi

global

dan

berkaitan

erat

dengan

anomali

sirkulasi atmosfir seperti El-Nino.

Gambar 3.6 Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude.


d. Hujan Monsoon ( Monsoon Rainfall)
Akumulasi hujan terbesar selama periode lebih dari 24 jam berasosiasi dengan
Asian monsoon. India dan Asia Tenggara adalah lokasi utama kejadian hujan
monsoon
mengalami
monsoon

selama
hujan
diadopt

musim
monsoon
dari

panas

di

ekstrim

bahasa

arab

Asia.
selama
yang

Indonesia
periode
berarti

dan

Malaysia

sering

di

Asia.

Istilah

Karakteristik

umum

Winter

musim.

iklim monsoon ditandai oleh arah angin yang berlawanan pada dua musim.
Misalnya di Indonesia dikenal dengan Musim Angin Timur (banyak hujan) dan
Musim Angin Barat (kurang hujan).

e. Hujan Badai (hurricanes)


Badai umumnya dikenal di wilayah pasifik yang menyebabkan hujan ektrim di
wilayah pesisir pantai sepanjang Samudra Atlantik dan Pasifik. Kejadian hujan
badai

merupakan

proses

ektrim

dari

konveksi

dan

stratiform.

Kejadian

badai

masih merupakan proses yang diperdebatkan.

f. Hujan Orografis
Pengaruh Orografis dapat merubah type kejadian hujan di atas . Hujan orografis
pada prinsipnya memiliki mekanisme: (1) inisiasi konveksi, (2) pengangkatan
dalam skala besar, dan (3) pertumbuhan yang lambat.

1. Karakteristik Hujan
Ada dua faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan, yakni kecepatan jatuh butiran
hujan dan distribusi ukuran butiran hujan. Kedua faktor ini mempengaruhi proses yang
terjadi di tanah saat hujan jatuh.
2. Kcepatan jatuh butiran hujan
Kecepatan terminal suatu bola padat butiran hujan merupakan proportional dari
akar

pangkat

dua

dari

diameter

butiran.

Air

yang

jatuh

melewati

udara

menimbulkan gaya aerodinamik yang menyebabkan butiran hujan bergetar dan terdeformasi.
Diameter

butiran

hujan

kurang

dari

0.35

mm

umumnya

bulat

dan

jatuh ke bumi dengn ukuran yang dapat mencapai diameter 1 mm dengan bentuk
lonjong (oblate spheroid). Butiran yang lebih besar umumnya ujungnya cembung
(flattened concave). Untuk butiran hujan besar, vibrasi dan deformasi seringkali
memecah butirsn hujan.

Gambar 3.7 Bentuk

butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 1989)

Kecepatan jatuh hujan dapat diestimasi dengan rumus Gunn and Kinzer:
v(D) = 3,86 D 0.67

(3.1)
Keterangan v(D) adalah kecepatan jatuh butiran hujan, dan D adalah diameter
butiran hujan pada kisaran antara 0.8 dan 4.0 mm.
3.

Distribusi Ukuran Butiran


Distribusi ukuran butiran hujan dalam volume di atmosfir dikarakterisasi oleh
hubungan

densitas

butiran

(dalam butiran

per meter kubik) dan distribusi

ukuran

butiran (dalam mm). Distribusi ukuran butiran secara khusus dinyatakan sebagai
fungsi N(D) yang menunjukkan densitas butiran hunan sebagai suatu fungsi
diameter butiran hujan. Distribusi butiran hujan umumnya dinyatakan dengan
distribusi Marshall-Palmer:
N(D) = No exp(-D)
dimana N(D) dan No adalah jumlah butiran per meter kubik per mm masingmasing diameter butiran hujan dan dalam mm. Nilai No adalah 8000 m-3mm-1.
Marshall dan Palmer menghubungkan parameter dengan laju hujan dengan
rumus:
= 4,1 R-0,21
R adalah laju hujan (mm/jam). Beberapa peralatan otomatis dikembangkan untuk
mengukur distribusi ukuran butirsn hujan termasuk distrometer dan raindrop
camera.

3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah

Alat Penakar Hujan


Berbagai alat ukur atau penakar telah dikembangkan untuk menakar hujan. Dua tipe
penakar: terekam dan tak terekam. Alat penakar hujan terekam otomatis menyajikan
data akumulasi curah hujan pada waktu tertentu sampai pada data per menit atau lebih
detail. Perekam data hujan otomatis biasanya dilengkapi dengan telemetri melalui
sistem transmisi real-time dan kelengkapan khusus untuk manajemen sumber daya air.

Ada tiga tipe perekam data hujan:


weighing type, float and siphontype,
dan tipping-bucket type. Gambar 3.8
adalah

ilustrasi

weighing

type.

penakar
Alat

hujan

penakat

tak

terekam terdiri dari penadah/wadah


silinder
batang

sederhana

dan

pengkalibrasi

sebuah
yang

merupakan bagian penakaran.

Gambar 3.8 Alat penakar hujan type weighing

Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tiltingsyphon.

A=Collecting

chamber;

D=Double siphon tubes; E=Trigger;

B=Plastic

float;

C=Knife-edges;

Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D:


switch.

Curah Hujan Efektif (Re)


Hujan yang diharapkan terjadi selama satu musim tanam berlangsung disebut curah
hujan

efektif.

Masa

hujan

efektif

untuk

suatu

lahan

persawahan

dimulai

dari

pengolahan tanah sampai tanaman dipanen, tidak hanya selama masa pertumbuhan
(Pasandaran dan Taylor, 1984).
Curah hujan efektif untuk tanaman lahan tergenang berbeda dengan curah hujan
efektif untuk tanaman pada lahan kering dengan memperhatikan pola periode musim
hujan dan musim kemarau. Perhitungan curah hujan efektif dilakukan atas dasar

prinsip

hubungan

antara

keadaan

tanah,

cara

pemberian

air

dan

jenis

tanaman

(Handayani, 1992).
Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian
hasil

pengamatan

pada

stasiun

curah

hujan

yang

ada

di

daerah

irigasi/daerah

sekitarnya dimana sebelum menentukan curah hujan efektif terlebih dahulu ditentukan
nilai curah hujan andalan yakni curah hujan rata-rata setengah bulanan (mm/15 hari)
dengan kemungkinan terpenuhi 80% dan kemungkinan tak terpenuhi 20% dengan
menggunakan rumus analisis (Chow, 1994):
. (3.1)
(3.2)

Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan
efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan.
Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus:
Re = Rtot (125 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm

(3.3)

Re = 125 + 0,1 Rtot

(3.4)

; Rtot > 250 mm

Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)

Curah Hujan Wilayah


Hampir semua analisis hidrologi membutuhkan data distribusi hujan. Biasanya curah
hujanrata-ratayang

mewakili

suatu

DAS

atau

Sub-DAS

dapat

ditentukan

dengan

beberapa cara.
1. Rata-rata Aritmetik
Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun
penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang
terdapat di dalam DAS.
(3.5)

Keterangan:
CH = Curah hujan rata-rata wilayah
CHi = Curah hujan pada stasiun i
n = Jumlah stasiun penakar hujan

2. Metode Poligon Thiessen


Metode poligon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata
tertimbang.

Masing-masing

sendiri-sendiri

seperti

pos

terlihat

penakar

pada

hujan

Gambar

3.12

mempunyai
(d).

daerah

Metode

pengaruh

penggambaran

poligon dapat dilihat pada Gambar 3.12 (a), (b) dan (c). 3

Gambar 3.12 Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya


Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:

(3.6
Dimana Ai adalah luas yang diwakili oleh stasiun i.
3.

Metode Isohyet

Metode Isohyet adalah metode penentuan curah hujan wilayah berdasarkan kontur
curah hujan berdasarkan data curah hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar wilayah
(lihat Gambar 3.13).

Intensitas Hujan
Dalam perencenaan bangunan hidrologi dan hidraulik, intensitas hujan merupakan
data atau informasi yang dibutuhkan dalam penentuan debit rencana. Oleh karena
itu perlu disajikan metode penentuan intensitas hujan untuk wilayah yang tidak
memiliki pengamatan intensitas hujan akibat keterbatasan alat ukur.
Ada beberapa metode untuk menghitung intensitas hujan secara empiris yakni:
1. Metode Talbot (1881)
(3.7)

2. Metode Sherman (1905); hanya digunakan untuk t < 2 jam


(3.8)

3. Metode Ish
(3.9)
4. Metode Mononobe
(3.10)
Keterangan:
i

= intensitas hujan (mm/jam)

= waktu atau durasu hujan (menit: rumus 1-3; jam: rumus 4)

a, b, m

= tetapan

d24

= curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

= jumlah pasangan data i dan t

Metode ini lebih teliti dibandingkan dengan metode rata-rata aritmetik.


CONTOH SOAL :
Suatu DAS seperti pada Gambar 3.14 memiliki data curah hujan seperti pada Tabel 3.1.
Hitunglah curah hujan wilayah dengan menggunakan (i) rata-rata aritmetika dan (ii)
metode Poligon Thiessen.

Gambar 3.14. Posisi Penakar pada suatu DAS

Solusi: (Gunakan Kalulator atau Spreadsheet)


(i)

Dengan mengunakan rata-rata aritmetika diperoleh nilai curah hujan 3.20 in.

(ii)

Dengan mengunakan metode Poligon Thiessen diperoleh nilai 3.45 in (lihat


Tabel 3.1).

3.4 PENUGASAN
1. Kumpulkan data curah hujan harian suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung
satu tahun.
2. Kumpulkan data curah hujan bulanan dari suatu wilayah (sub-DAS) selama
kurung waktu 10 tahun.

3.5 SOAL LATIHAN


1. Apa yang dimaksud dengan:
a. Curah hujan wilayah
b. Intensitas hujan
2. Jelaskan proses terjadinya hujan dan sebutkan tipe-tipe hujan.
3. Gambarkan poligon Thiessen Gambar berikut dan hitung luas masing-masing
bagian dengan planimeter atau dengan screen digitasi pada Arc-GIS. Hitung Curah
hujan wilayah dengan metode aritmetika jika CH di Stasiun A sampai K, adalah:
29,79; 34,97; 25,6; 24,21; 24,60; 42,61; 42,35; 15,51; 39,99; 43,04; dan 28,41.

4. Diskusikan metode penentuan curah hujan wilayah, kelebihan dan kekurangan


masing-masing metode.

3.6 DAFTAR PUSTAKA


Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.
New York.
Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGrawHills. New York.
Maidment, DR. (ed) 1989. Handbook of Hydrology. McGraw-Hill, New York.
Soemartono, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Sastrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999, Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya
Pramita. Bandung.
Todd, 1983, Introduction to Hydrology. McGraw-Hill, New York
Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper
CollinsPub.NewYork.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1.

Mahasiswa mampu menjelaskan proses evapotranspirasi

2.

Mahasiswa mampu menjelaskan parameter evapotranspirasi

3.

Mahasiswa

mampu

melakukan

perhitungan

evapotranspirasi

potensial

(Penmann) dengan benar


4.

Mahasiswa mampu melakukan perhitungan evapotranspirasi aktual (Penmann)


dengan benar

5.

4.1 Pendahuluan
Evapotranspirasi adalah perpaduan dua proses yakni evaporasi dan transpirasi.
Evaporasi adalah proses penguapan atau hilangnya air dari tanah dan badan-badan air
(abiotik), sedangkan transpirasi adalah proses keluarnya air dari tanaman (boitik)
akibat proses respirasi dan fotosistesis.

Kombinasi dua proses yang saling terpisah dimana kehilangan air dari
permukaan tanah melalui proses evaporasi dan kehilangan air dari tanaman melalui
proses transpirasi disebut sebagai evapotranspirasi (ET).
Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen
penting dalam hidrologi karena proses tersebut dapat mengurangi simpanan air dalam
badab-badan air, tanah, dan tanaman. Untuk kepentingan sumber daya air, data ini
untuk menghitung kesetimbangan air dan lebih khusus untuk keperluan penentuan
kebutuhan air bagi tanaman (pertanian) dalam periode pertumbuhan atau periode
produksi. Oleh karena itu data evapotranspirasi sangat dibutuhkan untuk tujuan irigasi
atau pemberian air, perencanaan irigasi atau untuk konservasi air.
Evapotranspirasi ditentukan oleh banyak faktor yakni:
a. Radiasi surya (Rd): Komponen sumber energi dalam memanaskan badan-badan
air, tanah dan tanaman. Radiasi potensial sangat ditentukan oleh posisi geografis
lokasi,
b. Kecepatan angin (v): Angin merupakan faktor yang menyebabkan terdistribusinya
air yang telah diuapkan ke atmosfir, sehingga proses penguapan dapat berlangsung
terus sebelum terjadinya keejenuhan kandungan uap di udara,
c. Kelembaban relatif (RH): Parameter iklim ini memegang peranan karena udara
memiliki kemampuan untuk menyerap air sesuai kondisinya termasuk temperatur
udara dan tekanan udara atmosfit
d. Temperatur: Suhu merupakan komponen tak terpisah dari RH dan Radiasi. Suhu
ini dapat berupa suhu badan air, tanah, dan tanaman ataupun juga suhu atmosfir.
Proses terjadinya evaporasi dan transpirasi pada dasarnya akibat adanya energi yang
disuplai oleh matahari baik yang diterima oleh air, tanah dan tanaman. Gambar 4.1 dan
Gambar 4.2 merupakan ilustrasi proses penyerapan energi yang menyebabkan
evaporasi dan transpirasi.

4.2 Evaporasi
Evaporasi adalah proses dimana air dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air
(vaporization) dan dipindahkan dari permukaan penguapan (vapour removal). Air
dapat terevaporasi dari berbagai permukaana seperti danau, sungai, tanah dan vegetasi
hijau.
Energi dibutuhkan untuk merubah bentuk molekul air dari fase cair ke fase
uap. Radiasi matahari langsung dan faktor lingkungan yang mempengaruhi suhu udara
merupakan sumber energi. Gaya penggerak untuk memindahkan uap air dari
permukaan penguapan adalah perbedaan tekanan antara uap air di permukaan
penguapan dan tekanan udara atmosfir. Selama berlangsungya proses, udara sekitar
menjadi jenuh secara perlahan dan selanjutnya proses akan melambat will dan
kemungkinan akan berhenti jika udara basah tidan dipindahkan ke atmosfir.
Pergantianudarajenuh dengan udara kering sangat tergantung pada kecepatan angin.
Oleh karena itu, radiasi surya, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan
angin merupakan parameter iklim yang dipertimbangkan dalam penentuan proses
evaporasi.
Jika permukaan penguapan adalah permukaan tanah, maka tingkat penutupan
tanaman pelindung (crop canopy) dan jumlah air tersedia pada permukaan penguapan
juga menjadi faktor yang mempengaruhi proses evaporasi. Kejadian hujan, irigasi dan
gerakan vertikal air dalam tanah dari muka air tanah dangkal merupakan sumber

pembasahan permukaan tanah. Jika tanah dapat menyuplai air dengan cepat yang
memenuhi kebutuhan evaporasi, maka evaporasi dari tanah ditentukan hanya oleh
kondisi meteorologi. Akan tetapi, bila interval antara hujan dan irigasi cukup lama dan
kemampuan tanah mnegalirkan lengas ke dekat permukaan tanah kecil, maka
kandungan air di lapisan topsoil meturun dan menyebabkan permukaan tanah menjadi
kering. Pada lingkungan dimana air terbatas, maka jumlah air tersedia menjadi faktor
pembatas. Berkurannya supplai air ke permukaan tanah menyebabkan evaporasi
menurun drastis. Proses ini mungkin akan terjadi dalam beberapa hari.
4.3 Transpirasi
Proses transpirasi meliputi penguapan cairan (air) yang terkandung pada jaringan
tanaman dan pemindahan uap ke atmosfir. Tanaman umumnya kehilangan air melalui
stomata. Stomata merupakan saluran terbuka pada permukaan daun tanaman melalui
proses penguapan dan perubahan wujud menjadi gas seperti disajikan pada Gambar

4.3. Air bersama beberapa nutrisi lain diserap oleh akardan ditransportasikan ke
seluruh

tanaman.

Proses

penguapan

terjadi

dalam daun, yang

disebut

ruang

intercellular, dan pertukaran uap ke atmossfir dikontrol oleh celah stomata (stomatal
aperture). Hampir semua air yang diserap oleh akar keluar melalui proses transpirasi
dan hanya sebahagian kecil saja yang digunakan dalam tanaman.

Transpirasi seperti evaporasi langsung tergantung pada suplai energi, tekan uap
air dan angin. Kandungan lengas tanah dan kemampuan tanah melewatkan air ke akar
juga menentukan laju transpirasi, termasuk genangan air dan salinitas air tanah. Laju
transprasi juga dipengaruhi oleh karakteristik tanaman, aspek lingkungan dan praktek

pengolahan dan pengelolaan lahan. Perbedaan jenis tanaman akan memberikan laju
transpirasi yang berbeda. Bukan hanya tipe tanaman saja, tetapi juga pertumbuhan
tanaman,

lingkungan

dan

manajemen

harus

dipertimbangkan

dalam

penentuan

transpirasi.

4.4 Evapotranspirasi Tanaman


Evapotranspirasi tanaman (ETc) adalah perpaduan dua istilah yakni evaporasi
dan transpirasi. Kebutuhan air dapat diketahui berdasarkan kebutuhan air dari suatu
tanaman. Apabila kebutuhan air suatu tanaman diketahui, kebutuhan air yang lebih
besar dapat dihitung (Hansen dkk., 1986). Evaporasi yaitu penguapan di atas
permukaan tanah, sedangkan transpirasi yaitu penguapan melalui permukaan dari air yang
semula diserap oleh tanaman. Atau dengan kata lain, evapotranspirasi adalah banyaknya air
yang

menguap

dari

lahan

dan

tanaman

dalam

suatu

petakan

karena

panas matahari (Asdak, 1995).


Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah suhu air, suhu udara
(atmosfir), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari. Pada waktu
pengukuran evaporasi, kondisi/keadaan iklim ketika itu harus diperhatikan, mengingat
faktor itu Sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Sosrodarsono dan Takeda,
1983).
Transpirasi pada dasarnya merupakan proses dimana air menguap dari tanaman
melalui daun ke atmosfer. Sistem perakaran tanaman mengadopsi air dalam jumlah
yang berbeda-beda dan ditransmisikan melalui tumbuhan dan melalui mulut daun
(Viesman dkk., 1972).
Menurut Sri Harto (1993), ada dua bentuk transpirasi yaitu :
a. Transpirasi stomata, dimana air lepas melalui pori-pori pada stomata daun

b. Transpirasi kutikular, dimana air menguap dari permukaan daun ke atmosfir


melalui kutikula.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses transpirasi adalah suhu, kecepatan
angin, kelembaban tanah, sinar matahari, gradien tekanan uap. Juga dipengaruhi oleh
faktor karakteristik tanaman dan kerapatan tanaman (Kartasapoetra dan Sutedjo,
1994).
Evapotranspirasi (ETc) adalah proses dimana air berpindah dari permukaan
bumi ke atmosfer termasuk evaporasi air dari tanah dan transpirasi dari tanaman
melalui jaringan tanaman melalui transfer panas laten persatuan area (Hillel, 1983).
Ada 3 faktor yang mendukung kecepatan evapotranspirasi yaitu (1) faktor iklim
mikro, mencakup radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, (2) faktor tanaman,
mencakup

jenis

tanaman,

derajat

penutupannya,

struktur

tanaman,

stadia

perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme


menutup dan membukanya stomata, (3) faktor tanah, mencakup kondisi tanah, aerasi
tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Linsley
dkk., 1979).

Doonrenbos dan Pruitt (1977), menjelaskan bahwa untuk menghitung kebutuhan


air tanaman berupa evapotranspirasi dipergunakan persamaan:
ETc = Kc ETo .............................................................................. (4.1)
Keterangan:
Etc

= evapotranspirasi potensial (mm/hari)

Eto

= evapotranspirasi acuan (mm/hari)

Kc

= koefisian konsumtif tanaman

Koefisien konsumtif tanaman (Kc) didefinisikan sebagai perbandingan antara


besarnya evapotranspirasi potensial dengan evaporasi acuan tanaman pada kondisi
pertumbuhan

tanaman

pertumbuhan

dan

yang

tidak

perhitungan

terganggu.

evapotranspirasi

Dalam
acuan

hubungannya
tanaman

dengan

(ETo),

maka

dimasukkan nilai Kc yang nilainya tergantung pada musim, serta tingkat pertumbuhan
tanaman (Allen, et al., 1998).

Gambar 4.6 Skema perhitungan evapotranspirasi aktual


Nilai koefisien tanaman dibagi atas empat fase pertumbuhan, yaitu : Kc initial
(Kc in), Kc development (Kc dev), Kc middle (Kc mid), dan Kc end. Kc in merupakan
fase awal pertumbuhan tanaman selama kurang lebih dua minggu, sedangkan Kc dev
adalah
initial

koefisien
dan

tanaman

middle).

Kc

untuk
mid

masa

merupakan

perkembangan
Kc

untuk

(masa

masa

antara

pertumbuhan

fase
dan

perkembangan termasuk persiapan dalam masa pembuahan. Kc end merupakan Kc


untuk pertumbuhan akhir tanaman dimana tanaman tersebut tidak berproduksi lagi.

Tabel 4.1. Koefisien Tanaman (Kc) Padi Menurut Nedeco/Prosida dan FAO Bulan

Bulan

Nedeco/Prosida
Varietas
Varietas

FAO
Varietas

Varietas

biasa

unggul

biasa

unggul

0,5

1,20

1,35

1,10

1,10

1,0

1,20

1,30

1,10

1,10

1,5

1,20

1,24

1,10

1,05

2,0

1,27

1,10

1,05

2,5

1,32

1,12

1,10

0,95

3,0

1,33

1,05

3,5

1,40

0,95

4,0

1,30

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, 1986


Vermeiren dan Jobling (1980), mengemukakan beberapa cara untuk
menghitung Kc (Koefisien tanaman) sesuai tingkat pertumbuhan tanaman adalah:
a.

Koefisien tanaman untuk awal pertumbuhan tanaman (Kc ini)


Kc ini = Kc ini (A1) +

............................ (4.2)

)
Keterangan:
Kc ini (A1) : Koefisien tanaman (Diambil dari grafik)
Kc ini (B1) : Koefisien tanaman (Diambil dari grafik)
I

: Laju infiltrasi pada sebelum penanaman (cm/jam)

b.

Koefisien tanaman untuk fase menengah pertumbuhan tanaman (Kc mid)


Kc mid = Kc mid + [0,04(U2 2) 0,004 (RHmin 45)] (h/3)0,3 .................. (4.3)
Keterangan:
Kc mid : Koefisien tanaman (Diambil dari tabel)
U2

: Kecepatan angin sebelum tanam (m/s)

RHmin : Kelembaban relatif sebelum tanam (%)


h
c.

: Tinggi tanaman pada tahap pertengahan (m)

Koefisien tanaman untuk fase akhir pertumbuhan tanaman


Kc end = Kc end + [0,04(U2 2) 0,004 (RH min 45)] (h/3)0,3 .. (4.4)
Keterangan:
Kc end : Koefisien tanaman (Diambil dari tabel)
U2

: Kecepatan angin sebelum tanam (m/s)

Rhmin : Kelembaban udara minimal (%)


h

: Tinggi tanaman pada tahap akhir (m)

4.5 Evapotranspirasi Acuan (ETo)


Evapotranspirasi acuan (ETo) adalah nilai evapotranspirasi tanaman rumputrumputan yang terhampar menutupi tanah dengan ketinggian 8 15 cm, tumbuh
secara aktif dengan cukup air, untuk menghitung evapotranspirasi acuan (ETo) dapat
digunakan beberapa metode yaitu (1) metode Penman, (2) metode panci evaporasi, (3)

metode radiasi, (4) metode Blaney Criddle dan (5) metode Penman modifikasi FAO
(Sosrodarsono dan Takeda, 1983).
Menduga besarnya evapotranspirasi tanaman (Handayani, 1992), ada beberapa
tahap harus dilakukan, yaitu menduga evapotranspirasi acuan; menentukan koefisien
tanaman kemudian memperhatikan kondisi lingkungan setempat; seperti variasi iklim
setiap saat, ketinggian tempat, luas lahan, air tanah tersedia, salinitas, metode irigasi,
dan budidaya pertanian. Beberapa metode pendugaan evapotranspirasi acuan :
a. Metode Blaney Cridle
ETo = c [P ( 0,46 T + 8)] .. (4.5)
Keterangan:
c = Koefisien Tanaman Bulanan
p = Presentase Bulanan jam-jam Hari Terang dalam Tahun
T = Suhu Udara (0C)

b. Metode Thornthwaite
ETo = 1,6 [(10 T/I)]a ...... (4.6)
a = 0,49 + 0,0179 I 0,0000771 I2 + 0,000000675 I3
Keterangan:
T = Suhu Rata-rata Bulanan (0C)
I = Indeks Panas Tahunan
c. Metode Pan Evaporasi
ETo = Kp Ep ... (4.7)
Keterangan:
Kp = Koefisien Panci
Ep = Evaporasi Panci (mm/hari)

Gambar 4.8 Panci Evaporasi Kelas A


d. Metode Penman
ETo = c (W Rn + (1 W) f(u) (ea ed) ) ................................................. (4.8)
Metode Penman modifikasi (FAO) digunakan untuk luasan lahan dengan data
pengukuran temperatur, kelembaban, kecepatan angin dan lama matahari bersinar
(Doorenbos dan Pruitt, 1977).
Harga koefisien panci evaporasi (Kp) tergantung pada iklim, tipe panci dan
lingkungan panci. Untuk tipe Pan A yang dikelilingi oleh tanaman hijau pendek maka

harga koefisien panci berkisar antara 0,4 0,85 yang dipengaruhi oleh kecepatan
angin dan kelembaban nisbih udara rata-rata. Selanjutnya dikatakan untuk daerah
tropis seperti Indonesia dimana kecepatan angin lemah sampai sedang dan kelembaban
nisbih udara rata-rata diatas 70 %, harga Kp hanya berkisar dari 0,65 0,85.
Tabel 4.2

Kisaran nilai koefisien panci pada berbagai level kecepatan angin


dan kelembaban udara

Linsley dan Franzini (1979), menganjurkan penggunaan nilai Kp = 0,70 yang


umum digunakan di daerah tropis.
Tabel 4.3 Kisaran nilai ET pada berbagai kondisi iklim wilayah

4.6 CONTOH SOAL


Suatu wilayah dengan tanaman yang memiliki faktor f = 0,7. Suhu udara rata-rata
adalah 20oC, koefisien konveski h = 0,7 dengan kecepatan angin pada ketinggian 2
meter adalah 5 m/det. Bila radiasi rata-rata efektif adalah 550 kal/cm2/hari nilai n/D =
0,4, Hitung besarnya nilai evapotranspirasi hari tersebut.

Jawaban:
Hitung Tekanan Udara Mutlak
ea = h x e

= 0,7 x 17,53 = 12,27 mmHg

e ea

= 17,73 17,27 = 5,26 mmHg

Hitung Suhu Mutlak


Ta = Tc + 273 = 20 + 273 = 293 K

Hitung Radiasi Gelombang Pendek


Rc = Ra (0,25 + n/D) = 256,3 kal/cm2/hari
Rt = (1 0,06) Rc = 240,9 kal/cm2/hari
Rb = 117,4 x 10-9 x 2934 (0,47 0,077(12,27))(0,2+0,8*0,4) = 90,1 kal/cm2/hari
Hitung Energi Budget
H = Rt Rb = 240,9 90,1 = 150,8 kal/cm2/hari
Hitung Energi Penguapan Saat Kondisi Jenuh
Es = 0,35 (e ea)(0,5 + 0,54 u2)

= 0,35 x (5,26) x (0,5 + 0,54 x 5) = 5,9 mm/hari


Hitung Evaporasi Permukaan Air Bebas

Hitung Evapotranspitasi
Ep = 0,7 x 3,6 = 2,5 mm/hari

4.7 PENUGASAN
1.

Baca buku FAO No. 56 tentang kebutuhan air tanaman (Crop Water Requirement),
kenudian buat ringkasan perhitungan metode yang digunakan untuk menghitung
ETP tanaman pada suatu wilayah (sesuai data lokasi data CH yang diambil pada
tugas sebelumnya).

2.

Kumpulkan data kecepatan angin, radiasi, suhu, dan tekanan dari suatu stasiun
klimatologi dalam waktu satu tahun.

3.

Kumpulkan data evaporasi dari suatu stasiun klimatologi dalam waktu satu tahun.

4.

Hitung evaporasi dan bandingkan nilai dari hasil ukur (panci Kelas A)

4.8 SOAL LATIHAN


1.

Apa yang dimaksud dengan:


a. Evaporasi
b. Transpirasi
c. Evapotranspirasi

2.

Jelaskan faktor yang mempengaruhi nilai Evapotranspirasi.

3.

Hitung evapotranspirasi potensial dengan metode Penmann di daerah yang berada


pada 10oLS pada bulan Agustus. Data yang diberikan adalah temperatur rata-rata
28oC, kecepatan angin pada 2 m di atas tanah adalah 200 km/hari, RH sebesar
70%, koefisien refleksi permukaan 25%, dan n/N adalah 80%.

4.9 DAFTAR PUSTAKA

Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Black, Peter E., (1991), Watershed Hydrology, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey.
Doorenbos J., A.H Kassam, (1979), Yield Respons to Water, FAO, Rome.
Faust, Samual D., Osman M. Aly, (1981), Chemstry of Natural Waters, Ann Arbor
Science, Michigan.
Freeze R. Allan, John A. Cherry (1979), Groundwater, Englewood Cliffs, New Jersey.
(6) Hohnholz J. H., Applied Geography and Development, p. 8-23.
Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta: Andi.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.
Soewarno, (1991), Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hdrometri),
Nova, Bandung
Sprong, D., (1979), Lakes in The Humid Tropical Areas of The World, Arrevem of the
literature.
Todd,(1983),IntroductiontoHydrology.McGrawHill.USA.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian runoff
2. Mahasiswa mampu mengukur penampang pengaliran sungai (praktek lapangan)
3. Mahasiswa

mampu

melakukan

pengukuran

kecepatan

aliran

sungai

dengan

pelampung dan current meter (praktek lapangan)


4. Mahasiswa mampu menghitung debit aliran sungai hasil pengukuran (praktek
lapangan)
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tipe-tipe Pola Pengaliran Air Sungai (SPAS)
6. Mahasiswa memahami metoda Rasional sebagai pendugaan debit sungai
7. Mahasiswa mampu menghitung intensitas hujan
8. Mahasiswa mampu menenukan waktu konsentrasi dengan WMS
9. Mahasiswa mampu menghitung debit puncak

5.1

Pendahuluan
Salah satu komponen dalam siklus hidrologi adalah limpasan hujan. Komponen
limpasan hujan dapat berupa runoff (aliran permukaan) ataupun aliran yang lebih besar
seperti aliran air di sungai.
Limpasan akibat hujan ini dapat terjadi dengan cepat dan dapat pula setelah
beberapa jam setelah terjadinya hujan. Lama waktu kejadian hujan puncak dan aliran
puncak sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah tempat jatuhnya hujan. Makin besar
perbedaan waktu kejadian hujan puncak dan debit puncak, makin baik kondisi wilayah
tersbut dalam menyimpan air di dalam tanah.
Wilayah Indonesia dengan kondisi tropis dimana hujan terjadi terpusat pada
enam bulan periode hujan menyebabkan kita harus bisa melakukan rekayasa
konservasi air dengan cara menyimpan air hujan sebanyak mungkin di dalam tanah

selama musim hujan dan memanfaatkannya setelah datangnya periode musim


kemarau. Disamping itu, penyimpanan air hujan yang baik akan mampu meredam
kejadian aliran puncank yang tinggi yang dapat menyebabkan banjir.

5.2

Aliran Permukaan (Runoff)


Aliran air yang terjadi di permukaan tanah setelah jenuhnya tanah lapisan permukaan
disebut runoff. Air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran
permukaan (runoff) setelah tanah di lapisan permukaan jenuh oleh air hujan dan proses
hujan memiliki intensitas lebih besar dari laju perkolasi. Aliran permukaan kemudian
saling bertemu pada jaringan pengaliran yang kecil sebagai anak-anakan sungai.
Aliran tersebut terus berkumpul dan selanjutnya akan bertemu di sungai sebagai aliran
air yang lebih besar dimana aliran permukaan berpadu dengan aliran bawah
permukaan (interflow) dan aliran dasar (base flow).
Aliran permukaan akibatkejadian hujan pada suatu tempat dapat dinyatakan
dengan rumus:
Roff = P I

..

(5.1)
Dimana Roff adalah aliran permukaan (mm), P adalah hujan (mm) dan I adalah
infiltrasi (mm).

5.3

Aliran Sungai
Sungai merupakan salah satu unsur penting dalam siklus air di bumi, oleh
karena itu pemahaman perilaku sungai dan pengelolaannya merupakan pengetahuan
penting dalam keteknikan pertanian, demikian pula ahli bidang ilmu lain. Ahli
lingkungan misalnya, meneliti sedimen sungai yang berasal dari buangan limbah serta
pengaruhnya terhadap lingkungan.
Sedangkan ahli teknik keairan, mengelola sungai untuk keperluan reservoir,
perencanaan bangunan dan penanggulangan daya rusak air. Untuk keperluan tersebut,
diperlukan pengetahuan tentang sungai dan pengalirannya, seperti morfologi sungai,
sejarah perkembangan sungai serta pola pengaliran sungai.

Gambar 5.1 Morfologi Sungai dan bentuk pengalirannya


Sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah
tertentu dan mengalirkannya ke laut. Sungai itu dapat digunakan juga untuk berjenisjenis aspek seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan

lain lain. Dalam bidang pertanian sungai berfungsi sebagai sumber air yang penting
untuk irigasi (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).
Dua proses penting dalam sungai adalah erosi dan pengendapan, yang
dipengaruhi oleh jenis aliran air dalam sungai yaitu:
a.

aliran laminer: jika air mengalir dengan lambat, partikel akan bergerak ke dalam
arah paralel terhadap saluran.

b.

aliran turbulen: jika kecepatan aliran berbeda pada bagian atas, tengah, bawah,
depan dan belakang dalam saluran, sebagai akibat adanya perubahan friksi, yang
mengakibatkan perubahan gradien kecepatan. Kecepatan maksimum pada aliran
turbulen umunya terjadi pada kedalaman 1/3 dari permukaan air terhadap
kedalaman sungai.
Pembagian penampang sungai untuk pengukuran lebar sungai dan kedalaman

adalah sebagai berikut:

Gambar 5.2 Pembagian Penampang Melintang Sungai


Sungai adalah jalur aliran air di atas permukaan bumi yang di samping
mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung dalam air sungai tersebut.
Jadi sedimen terbawa hanyut oleh aliran air, yang dapat dibedakan sebagai muatan
dasar (bed load) dan muatan melayang (suspended load). Sedang muatan melayang
terdiri dari butiran halus, senantiasa melayang di dalam aliran air. Untuk butiran yang

sangat halus, walaupun air tidak lagi mengalir, tetapi butiran tersebut tidak mengendap
serta airnya tetap saja keruh dan sedimen semacam ini disebut muatan kikisan (wash
load).
Untuk kebutuhan usaha pemanfaatan air, pengamatan permukaan air sungai
dilaksanakan pada tempat tempat dimana akan dibangun bangunan air seperti
bendungan, bangunan bangunan pengambil air dan lain lain. Utnuk kebutuhan
usaha pengendalian sungai atau pengaturan sungai, maka pengamatan itu dilaksanakan
pada tempat yang dapat memberikan gambaran mengenai banjir termasuk tempat
tempat perubahan tiba tiba dari penampang sungai (Sosrodarsono dan Takeda,
1993).
Sungai seringkali dikendalikan atau dikontrol supaya lebih bermanfaat atau
mengurangi dampak negatifnya terhadap kegiatan manusia.
Berdasarkan kemanfaatan bangunan penyusun sungai, bagian sungai dapat
dikelompokkan menjadi beberapa komponen yaitu:
a.

Bendung dan bendungan dibangun untuk mengontrol aliran, menyimpan air atau
menghasilkan energi.

b.

Tanggul dibuat untuk mencegah sungai mengalir melampaui batas dataran


banjirnya.

c.

Kanal-kanal dibuat untuk menghubungkan sungai-sungai untuk mentransfer air


maupun navigasi

d.

Badan sungai dapat dimodifikasi untuk meningkatkan navigasi atau diluruskan


untuk meningkatkan rerata aliran.

Gambar 5.3 Profil distribusi kecepatan aliran sungai


Debit sungai adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang
lintang pada suatu titik tertentu per satuan waktu, pada umumnya dinyatakan m3/detik.
Debit sungai diperoleh setelah mengukur kecepatan air dengan alat pengukur atau
pelampung

untuk

mengetahui

data

kecepatan

aliran

sungai

dan

kemudian

mengalirkannya dengan luas melintang (luas potongan lintang sungai) pada lokasi
pengukuran kecepatan tersebut (Sosrodarsono dan Tominaga, 1984)
Menurut Asdak (1995), debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air)
yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Rumus umum
yang biasa digunakan adalah:
Q=vxA

.(5.2)

Keterangan:
Q = Debit aliran sungai (m3/detik)
A = Luas bagian penampang basah (m2)
v = Kecepatan aliran (m/detik)
Menurut Soewarno (1991), pengukuran debit dapat dilakukan secara langsung
(direct) atau tidak langsung (indirect). Pengukuran debit dikatakan langsung apabila
kecepatan alirannya diukur secara langsung dengan alat ukur kecepatan aliran.
Berbagai alat ukur kecepatan aliran adalah sebagai berikut:

1.

Pengukuran kecepatan aliran dengan pelampung (floating method);

2.

Pengukuran menggunakan alat ukur arus (current meter);

3.

Pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan zat warna (dillution method).


Menurut Sosrodarsono dan Tekeda (1993), dari cara-cara pengukuran debit di

atas cara menghitung debit dengan pengukuran kecepatan dan luas penampang
melintang yang paling sering digunakan adalah metode pelampung. Cara tersebut
dapat dengan mudah digunakan meskipun aliran permukaan tinggi. Cara ini sering
digunakan karena tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang hanyut dan
mudah dilaksanakan. Pelampung tangkai merupakan satu contoh pelampung yang
digunakan untuk mengukur kecepatan aliran. Dimana pelampung tangkai terbuat dari
setangkai kayu atau bambu yang diberi pemberat pada ujung bawahnya. Seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 5.4. Pelampung tangkai dari batang bambu


Pelampung jenis ini memiliki tingkat ketilitian yang lebih tinggi dibanding
pelampung

jenis

lain

yang

tidak

memiliki

pemberat.

Akan

tetapi

kedalaman

pelampung tidak boleh mencapai dasar sungai sehingga tangkai tidak dipengaruhi oleh
bagian kecepatan yang lambat pada lapisan bawah. Jadi hasil yang didapat adalah
lebih tinggi dari kecepatan rata-rata sehingga pelampung harus disesuaikan dengan
sesuatu koefisien.

Menurut Francis (1856), harga ini dapat dihitung menurut rumus sebagai
berikut:
(5.3)
Keterangan:

Pada nilai

yang tertentu berdasarkan perbandingan kedalaman tangkai dan

kedalaman air , koefisien

dapat ditentukan dengan Table 5.1.

Tabel 5.1. Korelasi Nilai Koefisien dan untuk pelampung batang

Metode lain dalam penentuan kecepatan aliran sungai adalah dengan


menggunakan benda apung adalah sebagai berikut :
v=L/t

(5.4)

Keterangan:
v : kecepatan aliran (m/s)
L : jarak tempuh pelampung (m)
t : waktu tempuh (detik)
Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran (kecepatan arus)
air sungai atau aliran air lainnya. Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-baling
(propeller type) dan tipe canting (cup type). Penggunaan alat tersebut dilakukan
dengan tongkat berskala atau dengan menggunakan perahu. Bila menggunakan
tongkat, ujung tongkat dipasang pada bagian alat yang telah tersedia lalu dimasukkan
ke dalam air. Dan bila menggunakan perahu, alat dimasukkan ke dalam air dengan
menggunakan tali berskala yang ujungnya diikatkan pada bagian alat pemberat yang
tersedia. Skala pada tali atau tongkat ini berfungsi untuk menunjukkan kedalaman
pengukuran yang dikehendaki.

Gambar 5.5 Prototipe alat Current meter


Prinsip dasar pengukuran debit aliran air sungai/saluran dengan peralatan
Current meter adalah sebagai berikut:
a.

Gambar profil penampang pengaliran dengan mengukur kedalaman sepanjang


potongan melintang sungai. Biasanya dilakukan pengukuran tiap jarak 1 m.

b.

Luas penampang basah ditetapkan berdasarkan pengukuran kedalaman air dan


lebar permukaan air. Kedalaman dapat diukur dengan meteran, mistar pengukur,
kabel, atau tali berskala.

c.

Tentukan jumlah segmen yang akan diukur dan posisi pengukuran dengan current
meter dengan memperhatikan kedalaman ukur (lihat Tabel 5.2)

d.

Kecepatan diukur pada masing-masing titik ukur dengan current meter minimal 2
kali ulangan untuk menghindari kekeliruan pembacaan.

e.

Hitung kecepatan rata-rata masing-masing segment (dengan luasannya).

f.

Hitung debit aliran total dengan rumus:


(5.5)
Posisi pengukuran kecepatan aliran didasarkan pada kedalaman air yang

diukur, seperti ditunjukkan oleh Tebel 5.2.


Tabel 5.2. Pengukuran kecepatan aliran berdasarkan kedalaman
Tipe

Kedalaman Air (d) Titik pengamatan dari

Kecepatan rata-rata pada

permukaan

vertikal

Satu titik

0.3 0.6 m

0,6d

v = v0.6

Dua titik

0.6 3 m

0,2d dan 0,8 d

v = (v0.2+v0.8)

Tiga titik

36m

0,2d; 0,6d dan 0,8d

v = (v0.2+2v0.6+v0.8)

Lima titik

>6m

s; 0.2d; 0.6d; 0.8d;

v=1/10

dan b (dasar)

(vs+3v0.2+2v0.6+3v0.8+vb)

Keterangan: vs diukur 0,3 m dari permukaan air


vb diukur 0,3 m di atas dasar permukaan sungai
Pengukuran debit dikatakan secara tidak langsung apabila kecepatan alirannya
tidak diukur langsung, akan tetapi dihitung berdasarkan rumus hidraulis debit dengan

rumus Manning, Chezy, serta Darcy Weisbach. Salah satu rumusnya yaitu rumus
Manning dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
v = .R2/3.S1/2

.(5.6)

Q = Av

..(5.7)

Keterangan:
Q : debit air (m3/detik)
A : luas penampang (m2)
v : kecepatan aliran (m/s)
R : jari-jari hidrolik (m)
S : Slope/kemiringan (m/m)
n : koefisien dasar saluran (0,01)

5.4

Waktu Konsentrasi
Travel times adalah waktu untuk konsentrasi, waktu puncak, dan waktu perjalanan
sepanjang rute; merupakan hal yang sangat penting pada analisa model hidrologi.
Penentuan Metode Manual
1.

Metode Manning
Metode

penentuan

waktu

konsentrasi

dengan

Manning

dapat

dilakukan

karena pada metode ini, diketahui kecepatan aliran dan jarak pengaliran. Dengan
berdarkan pada karakteristik DAS berupa kemiringan aliran dan profil atau
penampang pengaliran, maka waktu konsentrasi dapat ditentukan dengan
persamaan kinematik Manning sebagai berikut:

Keterangan:
t1 = waktu pengaliran aliran permukaan (menit)
n = koefisien Manning (dimensionless)
L = Panjang pengaliran (m)
P = Curah hujan 24 jam (dua tahunan) ( m)
S = kemiringan lahan atau media pengaliran, ( m/m)

Metode Manning dengan prosedur dapat pula dilakukan dengan urutan sebagai
berikut:
The Manning equation in U.S. units: Q = (1.49/n)A(R2/3)(S1/2)
The Manning equation in S.I. units: Q = (1.0/n)A(R2/3)(S1/2)
Dimana R = A/P
V = Q/A
tc = L/(60V)
Keterangan:
Q = Debit aliran (m3/s)
V = kecepatan aliran (m/s)
R = Jari jari hidraulik (= A/P) (m)
A = Luas penampang prngaliran (m2)
P = wetted perimeter saluran (m)
S = kemiringan dasar saluran (m/m)
n = koefisien Manning (dimensioness)
L = panjang pengaliran (m)
tc = waktu konsentrasi (menit)
2. NRCS Method

Metode ini serupa dengan metode Manning


tc = L/(60V) ( menit)
V = 16.1345 S0,5 dimana ( V = 4.9178 S0,5 (m/det)) untuk permukaan alamiah
V = 20.3282 S0,5 dimana ( V = 6.1960 S0,5 (m/det)) untuk permukaan tertutup
Keterangan:
L

= panjang pengaliran (m)

= kecepatan aliran (m/s)

= kemiringan pengaliran air (m/m)

Tc

= waktu penngaliran (menit)

3. Metode FAA ( Kirpich & Kerby)


Persamaan ini dinyatakan dalam Chin (2000), Chow et al. (1988), Corbitt (1999),
and Singh (1992):
FAA equation: t = G (1.1 - c) L0,5 / (100 S)1/3

Kirpich equation: t = G k (L / S0,5) 0,77


Kerby equation: t = G (L r / S0,5) 0,467
c

= Rational method runoff coefficient. See table below.

= Kirpich adjustment factor. See table below.

= Longest watercourse length in the watershed, ft.

= Kerby retardance roughness coefficient. See table below.

= Average slope of the watercourse, ft/ft or m/m.

= Time of concentration, minutes.

= Average velocity in watercourse, ft/min. V=L/t.

Tabel Koefisien untuk Metode FAA


Rational Runoff Coefficient for FAA
Ground Cover

Method, c (Corbitt, 1999;


Singh, 1992)

Lawns

0.05 - 0.35

Forest

0.05 - 0.25

Cultivated land

0.08-0.41

Meadow

0.1 - 0.5

Parks, cemeteries

0.1 - 0.25

Unimproved areas

0.1 - 0.3

Pasture

0.12 - 0.62

Residential areas

0.3 - 0.75

Business areas

0.5 - 0.95

Industrial areas

0.5 - 0.9

Asphalt streets

0.7 - 0.95

Brick streets

0.7 - 0.85

Roofs

0.75 - 0.95

Concrete streets

0.7 - 0.95

Tabel Koefisien untuk Metode Kirpich

Penentuan dengan WMS (Komputasi)


Pada bagian ini akan dipelajari dua perbedaan cara WMS yang dapat digunakan pada
penghitungan waktu konsentrasi untuk simulasi TR-55 (waktu puncak dihitung dengan
cara yang sama), yaitu:
1.

Jarak limpasan dan kemiringan lereng tiap DAS dihitung secara otomatis pada saat
anda membuat modelnya dari TIN atau DEM dan menghitung data DAS. Nilai ini
kemudian dapat digunakan untuk beberapa eprasmaan dalam WMS untuk
menghitung waktu puncah atau waktu konsentrasi..

2.

Jika anda menginginkan pengontrolan yang lebih terhadap waktu puncak atau
wkatu konsentrasi , akan akan menggunakan penghitungan waktu pada liputan
untuk menentukan arah aliran penting pada setiap sub-DASnya, sebuah persamaan
digunakan untuk melakukan estimasi travel time dan waktu konsentrasi aliran.

Panjang dihitung pada setiap arc sedangkan kemiringan lereng diambil dari TIN
atau DEM.
Pada bagian ini penetuan waktu konsentrasi dua sub-DAS dan travel time antara titik
outlet yang ditunjukkan pada gambar di bawah. Anda akan menggunakan persamaan
TR-55, atau anda dapat menyusun persamaan itu sendiri.

Banyak model hidrologi, termasuk TR-55 menggunakan composite curve number


untuk menghitung losses. Sebuah composite curve number dihitung untuk setiap DAS
dengan melakukan overlay antara Peta Penggunaan Lahan dan Peta Tanah.
1 Membaca File TIN
Pertama, anda akan membaca TIN yang telah diproses dan digunakan untuk membatasi
dua sub-DAS. TIN mempunyai tujuan yang sama dengan cakupan drainase yang
dikombinasikan dengan DEM.
1. Sorot ke Drainage Delineation
2. Pilihlah File | Open
3. Bukalah aftr55.tin
4. Pilihlah TIN | Compute Basin Data
5. Pilihlah Current Coordinates
6. Tentukan unit Horizontal dan Vertikal ke SI Unit
7. Pilihlah OK
8. Pilihlah hectares untuk Basin Areas, dan Meters untuk Distances
9. Pilihlah OK
10. Pilihlah Display | Display Options
11. Pilihlah bagian TIN
12. Matikan Triangles
13. Pilihlah bagian TIN Drainage
14. Matikan Displaying Drainage Basin Boundaries
15. Pilihlah OK

2 Mendefinisikan Arah Aliran


Arah aliran dapat secara otomatis diikuti melalui TIN atau DEM menggunakan
flowpath.
1. Pilihlah Modul Map
2. Bentangkan Direktori Data Peta (Map Data Folder) pada Data Tree
3. Klik-Kanan pada General coverage pada Data Tree
4. Pilihlah Properties dari pop-up menu

5. Set Coverage type ke Time Computation


6. Pilihlah OK
7. Pilihlah Create Feature Points
8. Buat titik pada dua lokasi yang ditandai dengan X pada gambar berikut. Pastikan
bahwa hanya terdapat satu titik di dalam setiap batas DAS.

titik ini menampilkan titik terjauh dari outlet untuk DAS tersebut. Sekarang, tampilan
arcs akan dibuat dari titik ini ke outlet dengan langkah-langkah berikut:
1. Pilihlah Perangkat Pemilih Titik (Select Feature Point)/Node tool
2. Pilihlah kedua titik yang barusan dibuat gunakan SHIFT untuk memilih langsung
keduanya
3. Pilihlah Feature Objects | Node->Flow Arcs
4. Pilihlah Create multiple arcs
5. Pilihlah OK
Pilihan Create multiple arcs akan mengakibatkan WMS memecah arah aliran pada
setiap sub-DAS, yang telah dihasilkan TIN. Metode TR-55 (atau lainnya) menggunakan
tiga perbedaan bagian aliran untuk menghitung waktu konsentrasi: sheet flow (hingga
300 feet), shallow concentrated flow, dan open channel flow. WMS akan secara
mengotomatis memecah arc antara overland dan channel flow, dua dari tiga bagian akan
siap didefinisikan. Anda akan membutuhkan pembagian sheet flow dari shallow
concentrated flow sebelum menset persamaannya.
1. Pilihlah Feature Vertex tool

2. Gambar berikut mengidentifikasikan lokasi kira-kira 200-300 kaki downstream dari


awal arah aliran. Pilihlah satu verteks diantaranya.
3. Pilihlah Feature Objects | Vertex<->Node
4. Ulangi untuk verteks lainnya, atau gunakan multi select

sekarang anda mempunyai tiga arc untuk setiap DAS. Arc ini akan digunakan untuk
penghitungan waktu konsentrasi pada analisis TR-55. Travel time untuk aliran dari
DAS atas ke bagian bawah DAS. Ini akan membutuhkan arah aliran antara outlet atas
dan bawah.

1. Pilihlah Feature Objects | Streams->Flow Arcs


2. Dengan menggunakan Node->Flow Arcs dan Streams->Flow Arcs akan secara
otomatis mengeneralisasi arah aliran dari TIN begitu pula jika dari DEM dan
dapat pula dibuat secara manual menggunakan Peta Kontur.
3 Menentukan Persamaan pada Waktu Hitung Arc
Dengan menggunakan segmen dari arah aliran yang telah dibuat anda kini dapat
menentukan persamaan yang akan digukanakan dalam menghitung travel time. Ikuti
gambar berikut untuk menentukan persamaan.

1.

Pilihlah Select Feature Arc tool

2.

Klik-Ganda pada arc dengan label 1 Defaultnya TR-55 sheet flow equation arc akan
tampil, yang perlu dilakukan adalah menentukan indeks kekasaran Manning dan
pola hujan 2yr-24hr. Panjang dan kemiringan lereng secara default adalah dari arc
terpilih.

3.

Klik pada bari n Mannings

4.

Masukkan Nilai 0.24

5.

Klik pada baris rainfall

6.

Masukkan Nilai 1.1

7.

Pilihlah OK

8.

Ulangi langkah tersebut untuk arc dengan label 4, dengan Indeks Manning = 0.15
dan rainfall = 1.1

9.

Pilihlah OK

Kini anda telah mendefinisikan persamaan untuk segmen overland sheet flow pada tiap
basin, selanjutnya untuk shallow concentrated flow:
1. Klik-Ganda pada arc dengan label 2

2. Ubah equation type ke TR-55 shallow conc eqn


3. Klik pada baris Paved
4. Masukkan no
5. Pilihlah OK

5.5 Transformasi Hujan Aliran


Hujan yang sampai ke permukaan tanah akan ditransformasikan sebahagian menjadi
limpasan tepat setelah tanah menjadi jenuh dan laju perkolasi lebih rendah dari
intensitas hujan.
Kejadian aliran air sangat ditentukan oleh transformasi hujan dari langit
kemudian sebahagian mengalami abstraksi dan diternsepsi oleh tanaman penutup.
Tanah yang sampai di tanah mengalami infiltrasi dan menjadi jenuh. Setelah itu
terjadilah aliran permukaan yang disebut runoff.
Proses tranformasi ini sering disebut model transformasi hujan-aliran atau
dalam bentuk transformasi hydrograf hujan menjadi hidrograf aliran.

5.7

Contoh

Transformasi

hidrograf

hujan-aliran

dan

komponen

aliran

sungai

di suatu daerah tangkapan hujan


Salah satu hal yang menjadi perhatian alhi hidrologi adalah debit aliran puncak
dimana kejadiannya dapat merusak wilayah yang sungai dan daerah bantaran sungai
bahkan bila sampai di wilayah pertanian dan pemukiman. Aliran air yang besar dan
cepat ini dapat menimbulkan kerusakan harta benda dan bahkan korban jiwa. Oleh
karena itu diperlukan suatu mekanisme pendugaan debit puncak. Ada beberap metode yang
sering digunakan untuk melakukan untuk pendugaan tersebut.
1. Metode Rational
Metode yang paling sederhana dalam pendugaan debit puncak adalah metode rational.
Metode ini sering pula disebut formula Lloyd-Davies, yang telah digunakan sejak
tahun 1906 di Inggeris oleh Lloyd-Davies. Formula ini menentukan debit puncak
(Qp) dengan rumus:
Qp=CiA

(5.8)

Dimana C adalah koefisien pengaliran yang tergantung pada karakteristik DAS, i


adalah intensitas hujan dan A adalah luas daerah pengaliran.

2. Metode Time-Area
Metode time-area menetukan runoff atau discharge dari hujan melalui pengembangan
dan penyempurnaan metode rational dimana debit puncak Qp dihitung dengan
menjumlahkan kontribusi aliran setiap sub-sub das dengan menggunakan sistem
kontur waktu (isochrones). Setiap garis mewakili flow-time menuju sungai dimana Qp
dihitung. Gambar 5.6 menunjukkan konsep metode time-area.

Aliran dari masing masing daerah yang dibatasi dua isochrones (TT,T)
ditentukan dari perkalian intensitas rata-rata hujan efektif (i) dari waktu TT sampai
waktu T dan luasan (A). Kemudian Q4, aliran pada garis aliran X saat waktu 4 jam
dihitung dengan:

Q4=i3A1+i2A2+i1A3+i0A4

. (5.9)

Demikian pula halnya untuk Q yang lain pada garis aliran X ditentukan dengan cara
yang sama dengan Q4. Pada sistem ini dibutuhkan waktu konsentrasi yang kemudian
dibagi-bagi. Penentuan waktu konsentrasi dapat dilihat pada bagian sebelumnya.

Gambar 5.8 Konsep pendugaan debit puncak dengan metode time-area


5.6 Tipe Sungai dan Aliran
Sungai merupakan sumber air utama bagi masyarakat yang berada di daerah berilkim
monsoon. Kondisi pengaliran air di sungai sangat ditentukan oleh jenis tanah yang
menjadi daerah pengaliran sungai. Aliran air sungai sering kali berubah berdasarkan
jenis tanah dan batuan penyusun daerah pengaliran sungai.
Sungai yang berada di daerah alluvial dan endapan memiliki kecenderungan untuk
berubah arah ketika energi yang dimiliki aliran sungai meningkat. Energi aliran
(kinetik) ini menyebabkan penerobosan tanah oleh air dan membentuk aliran baru
seperti yang terjadi di beberapa sungai di Sulawesi misalnya Sungai Larian di Provinsi
Sul-Bar dan Sungai Rongkong di Provinsi Sul-Sel.
Perubahan aliran sungai kerap kali dianalogikan dengan umur sungai. Sungai muda
cenderung berubah arah dalam periode waktu tertentu, sementara sungai tua cenderung
tetap pada aliran yang ada.

Gambar 5.9 Pola pergerakan air di sungai dalam tanggul/bantaran sungai


Gerakan air dan angin di permukaan lahan dapat membentuk pola aliran secara
alamiah mengikuti arah gerakan air sedara gravitasional. Meskipun demikian ada
beberapa hal yang merupakan faktor yang mempengaruhi pembentukan pola aliran
termasuk slope atau kemiringan lahan, sifat tanah dan batuan dasar penyusun DAS, dan
sejarah gerakan hidraulika aktivitas batuab beku, dan transport sedimen.
Tipe pola aliran yang paling umum adalah dendritik. Pola ini dicirikan oleh
banyaknya aliran-aliran kecil yang berhubungan dari orde rendah ke orde yang tinggi.
Pola Trellis dicirikan oleh aliran utama yang panjang yang dialiri oleh sejumlah
anakan-anakan sungai pendek. Pola tipe Radial banyak ditemukan di daerah
pegunungan dengan tanah dan batuan yang umumnya masih berkembang. Hal ini sering
menimbulkan aliran yang terpisah-pisah menuruni pegunungan dan sangat jarang
ditemukan alira yang lurus kecuali pada daarah curam dengan material dasar yang
homogen. Pola Braided dicirikan oleh sejumlah percabangan sungai dan saluran air
bada wilayah bantaran sungai. Aliran Braided umumnya membawa banyak sedimen,
namun sering memiliki debit air yang kecil diistilahkan dengan incipient forms of
meandering) dimana kenyataan bahwa kelokan sungai terrbentuk oleh sedimen dan
pengaruh kecepatan aliran air yng memasukinya.

Gambar 5.10 Pola pengaliran air sungai (SPAS)


Orde sungai adalah urutan aliran air berdasarkan anakan sungai yang dihitung dari
aliran sungai terluar. Penetuan orde sungai dapat dilihat pada Gambar 5.9.

SOLUSI:
Tahap

pertaman

adalah

menggambar

perhitungan luas penampang sungai.

profil

penampang

sungai

untuk

tujuan

Tahap kedua adalah menghitung luas masing-masing segment

Luas Segmen D
Luas D =

=
= 1.49 m2

Luas Segmen E
Luas E = Luas A =
= 0.12 m2
Atotal = Luas A + Luas B + Luas C + Luas D + Luas E
= 0.465 + 2.03 + 1.99 + 1.49 + 0.12
= 6.095 m2

Tahap ketiga adalah menentukan kecepatan rata-rata menggunakan rumus berikut.

Dept < 0,6

0,6 m dept < 2 m =

Selanjutnya, dilakukan lagi pengambilan data kecepatan rata-rata untuk segmen


dengan rumus:

Nilai di dalam tabel di bawah ini adalah nilai kecepatan rata-rata yang dihitung dengan
menggunakan rumus di atas :

Maka debit masing-masing titik adalah:

Debit titik A (Q1)


Q1 =
= 6.095 m2 x 0.040 = 0.241 m/s

Debit titik B (Q2)


Q2 =
= 6.095m2 x 0.043 = 0.262 m/s

Debit titik C (Q3)


Q3 =
= 6.095 m2 x 0.038 = 0.232 m/s

Debit titik D (Q4)

Q4 =
= 6.095 m2 x 0.053 = 0.323 m/s
Qtot = Q1 + Q2 + Q3 +Q4

= 0.241 m/s + 0.262m/s + 0.232 m/s + 0.323 m/s

= 1.060 m/s

5.7 LATIHAN DAN PENUGASAN


1. Diskusikan dengan kelompok arti penting aliran permukaan bagi pertanian?
2. Sebutkan tipe-tipe aliran sungai dan penciri dari masing-masing tipe pengaliran
(SPAS).

3. Hasi Pengukuran di sungai Tello diperoleh sebagai berikut:

Jika lebar sungai 30 meter, hitunglah DEBIT air sesaat sungai tersebut.

5.8 DAFTAR PUSTAKA

Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York
Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.
Pradnya Paramitha. Bandung.
Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England.
Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.
Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:

1.

Mahasiswa mampu menjelaskan konsep infiltrasi, perkolasi dan permeabilitas

2.

Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara konsep infiltrasi, perkolasi dan


permeabilitas

3.

Mahasiswa mampu menghitung laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi serta koefisien
fungsi infiltrasi (Kostiakov, Horton, dan Holtan)

4.

Mahasiswa mampu melakukan pengukuran infiltrasi dengan ring infiltrometer di


lapangan.

6.1 Pendahuluan
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam
tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke
tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju
maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas
infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap
kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas
infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan.
Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan
intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi yang tidak
kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk
seterusnya mengalir ke sungai disekitar.
Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke
permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya air
dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam tanah

maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada kondisi
kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah yang lebih
rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran antara (interflow)
dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang berada pada lapisan air
tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke samping dan ke atas) dengan gaya
kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar.
Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk kedalam
tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada suatu
tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat tertentu laju
infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju perkolasi.
Ketika air hujan jatuh diatas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik
permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk
kedalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan
kedalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Di
bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam tanah, sedangkan
pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus keatas, kebawah, dan
kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori
yang relative kecil.
Mekanisme infiltrasi melibatkan 3 proses yang tidak saling mempengaruhi :
a.

proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah

b.

tertampungnya air hujan tersebut didalam tanah

c.

proses mengalirnya air tersebut ketempat lain (bawah, samping, atas)

6.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi


Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal
maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam
satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam
atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju infiltrasi
tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f fp dan f I (Soemarto, 1999).
Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi
setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan
kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-82

beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan
lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi
oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah (Maryono, 2004).
Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah
sebagai berikut:
1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang
jenuh.
2. Kadar air atau lengas tanah
3. Pemadatan tanah oleh curah hujan
4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan
dari partikel liat
5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah
6. Struktur tanah
7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik)
8. roporsi udara yang terdapat dalam tanah
9. Topografi atau kemiringan lahan
10. Intensitas hujan
11. Kekasaran permukaan tanah
12. Kualitas air yang akan terinfiltrasi
13. Suhu udara tanah dan udara sekitar
Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat dikategorikan
menjadi dua faktor utama yaitu:
1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat
kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time).
2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah.
Selain dari beberapa factor yang menentukan infiltrasi diatas terdapat pula sifatsifat khusus dari tanah yang menentukan dan membatasi kapasitas infiltrasi (Arsyad, 1989)
sebagai berikut:
a. Ukuran pori
Laju masuknya hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran pori dan
susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori aerasi, oleh karena
pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang memungkinkan air keluar
dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik. 83

b. Kemantapan pori
Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak
terganggu selama waktu tidak terjadi hujan.
c. Kandungan air
Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang.
d. Profil tanah
Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya
air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka proses
infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air
hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah.
Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan
gaya kapiler tanah. Oleh karena itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air
yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Laju air infiltrasi
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah.
Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil dibandingkan dengan
tanah dalam keadaan kering (Asdak, 2002).
Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal kedalam
tanah melalui profil tanah. Dengan demikian, mekanisme infiltrasi melibatkan tiga
proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 2002):
a. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah.
b. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.
c. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas).
Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan pada permukaan tanah, pada kedalam
tertentu, pada lahan kosong atau pada lahan bervegetasi. Walaupun satuan infiltrasi
serupa dengan konduktivitas hidraulik, terdapat perbedaan antara keduanya. Hal itu
tidak bisa secara langsung dikaitkan kecuali jika kondisi batas hidraulik diketahui,
seperti kemiringan hidraulik dan aliran air lateral atau jika dapat diperkirakan. Laju
infiltrasi memiliki kegunaan seperti studi pembuangan limbah cair, evaluasi potensi
lahan tanki septik, efisiensi pencucian dan drainase, kebutuhan irigasi, penyebaran air
dan imbuhan air tanah, dan kebocoran saluran atau bendungan dan kegunaan lainnya
(Kirkby, M.J., 1971).
Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang
berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin besar
pula. Atas dasar ukuran

pori

tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin akan pori

besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan sedikit pori halus.
Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir jauh lebih besar daripada
tanah liat.
Tanah-tanah yang bertekstur kasar menciptakan struktur tanah yang ringan.
Sebaliknya tanah-tanah yang terbentuk atau tersusun dari tekstur tanah yang halus
menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang bertekstur berat. Tanah dengan struktur
tanah yang berat mempunyai jumlah pori halus yang banyak dan miskin akan pori
besar. Sebaliknya tanah yang ringan mengandung banyak pori besar dan sedikit pori
halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi dari kedua jenis tanah tanah tersebut akan
berbeda pula, yaitu tanah yang berstruktur ringan kapasitas infiltrasinya akan lebih
besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang berstruktur berat (Saifuddin, 1986).
Menurut Boedi Susanto (2008), laju infiltrasi berbeda menurut jenis tanahnya
seperti pada tabel berikut:
Tabel 6.1. Laju Infiltrasi Menurut Jenis Tanah
Jenis Tanah

Laju Infiltrasi (mm/menit)

Tanah ringan (sandy soil)

0,212 0,423

Tanah sedang (loam clay, loam silt)

0,042 0,212

Tanah berat (clay, clay loam)

0,004 0,042

Sifat transmissi lapisan tanah tergantung pada lapisan-lapisan dalam tanah.


Lapisan tanah dibedakan 4 horizon (Soesanto, 2008) :
1.

Horizon A, yang teratas, sebagian bahan organik tanaman

2.

Horizon B, merupakan akumulasi dari bahan koloidal A, ketebalan permeabilitas


sangat menentukan laju infiltrasi

3.

Horizon C, kadang-kadang disebut sub soil, terbentuk dari pelapukan bahan induk

4.

Horizon D, merupakan bahan induk (bed rock)

Arti Pentingnya Infiltrasi


Infiltrasi mempunyai arti penting terhadap beberapa hal berikut :
a.

Proses limpasan (run off)

Daya infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang dapat diserap kedalam tanah. Makin
besar daya infiltrasi, perbedaan antara intensitas hujan dengan daya infiltrasi 85

menjadi makin kecil. Akibatnya limpasan permukaannya makin kecil, sehingga debit
puncaknya juga akan lebih kecil.
b.

Pengisian lengas tanah (Soil Moisture) dan air tanah

Pengisian lengas tanah dan air tanah penting untuk tujuan pertanian. Akar tanaman
menembus zone tidak jenuh dan menyerap air yang diperlukan untuk evapotranspirasi
dari zona tidak jenuh. Pengisian kebali lengas tanah sama dengan selisih antara infiltrasi
dan

perkolasi

(jika

ada).

Pada

permukaan

air

tanah

yang

dangkal

dalam

lapisan tanah yang berbutir tidak begitu besar, pengisian kembali lengas tanah ini dapat
pula diperoleh dari kenaikan kapiler air tanah.

6.3 Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi


Penentukan besarnya infiltrasi dapat dilakukna dengan melalui tiga cara yaitu:
1.

Menentukan perbedaan volume air hujan buatan dengan volume air larian pada
percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan (metode simulasi
laboratorium).

2.

Menggunakan alat ring infiltrometer (metode pengukuran lapangan).

3.

Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan (metode separasi
hidrograf).
Singh (1989) menyajikan beberapa model infiltrasi yang telah diusulkan dan

digunakan pada kebanyakan analisa hidrologi dan hidraulik yang berkaitan dengan
sistem keairan. Model - model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas
yakni: (1) model empiris, dan (2) model konseptual.
Model empiris menyatakan kapasitas infiltrasi sebagai fungsi waktu. Dimana
kadar lengas tanah memiliki sifat dinamis terhadap waktu, sehingga laju infiltrasi
ditentukan oleh kondisi lengas tanah mula-mula saat proses infiltrasi mulai terjadi.
Adapun model- model empiris infiltrasi diantaranya adalah Model Kostiakov, Model
Horton, Model Holtan dan Model Overton. Uraian masing-masing model disajikan
sebagai berikut:
a.

Model Kostiyakov
Model

Kostiakov

menggunakan

pendekatan

fungsi

power

dengan

tidak

memasukkan kadar air awal dan kadar air akhir (saat laju infiltrasi tetap) sebagai
komponen fungsi. Fungsi infiltrasi dan laju infiltrasi disajikan pada persamaan 6.1
dan persamaa 6.2.

F = atb , 0<b<1

.. (6.1)
.. (6.2)

Dimana a dan b adalah konstanta. Konstanta a dan b tergantung pada karakteristik


tanah dan kadar air tanah awal. Konstanta ini tidak bisa ditentukan sebelumnya dan
biasanya ditentukan dengan penarikan sebuah garis lurus pada kertas grafik untuk
data empirik atau dengan menggunakan metode pangkat terkecil. Karena
kesederhanaannya, metode ini sering diterapkan pada pelajaran irigasi permukaan.

b.

Model Horton
Model Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam
hidrologi. Horton mengakui bahwa kapasitas infiltrasi berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstant. Ia menyatakan
pandangannya bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor
yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam tanah.
Faktor yang berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan retakan
tanah oleh koloid tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran struktur
permukaan lahan dan pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah oleh tetesan
air hujan. Model Horton dapat dinyatakan secara matematis mengikuti persamaan
6.3:
f = fc + (fo fc)e-kt ; i fc dan k = konstan .. (6.3)
Keterangan;
f : laju infiltrasi nyata (cm/h)
fc : laju infiltrasi tetap (cm/h)
fo : laju infiltrasi awal (cm/h)
k : konstanta geofisik
Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Kelemahan
utama dari model ini terletak pada penentuan parameternya f0, fc, dan k dan
ditentukan dengan data-fitting. Meskipun demikian dengan kemajuan sistem
komputer proses ini dapat dilakukan dengan program spreadsheet sederhana. 87

c.

Model Holtan
Model Holtan pada dasarnya serupa dengan model Horton, akan tetapi pada
model ini, Holtan menambahkan faktor vegetasi dalam persamaan sehingga fungsi
matematiknya berubah menjadi fungsi power dan bukan fungsi eksponensial
seperti pada Model Horton. Fungsi matematik model Holtan disajikan sebagai
berikut:
(6.4)
Dengan Fp adalah infiltrasi potensial. a dan n adalah konstanta untuk vegetasi
tanah. Holtan berpendapat bahwa kapasitas infiltrasi berbanding lurus dengan ruang
pori yang tersedia. Model Holtan agak cocok dimasukkan untuk model batas air
dalam ilmu tata air karena dia menghubungkan laju infiltrasi (f) dengan
kelembaban tanah. Kekurangan dari model ini adalah spesifikasi kedalaman
permukaan air tanah bebas. Kedalaman mempengaruhi infiltrasi secara signifikan.

d.

Model Overton
Overton pada tahun 1964 merumuskan kembali model Holtan. Dia
mencatat bahwa ruang pori-pori yang tersedia pada awal terjadinya hujan tidaklah
selalu terisi seluruhnya sebelum kapasitas infiltrasi menjadi tetap. Jarak antar ruang
pori-pori yang terisi tergantung pada tumbuh-tumbuhan penutup tanah. Persamaan
matematik infiltrasi dan laju infiltrasi Model Overton disajikan pada persamaan 6.5
dan 6.6.
........................... (6.5)
............................ (6.6)
Dimana d = (fc/a)0.5 dan J = (afc)0.5.

Model infiltrasi selain model empiris adalah model konseptual yang menganalogikan
proses infiltrasi sebagai faktor terinterasi dengan aspek hidrologi lain. Beberapa model
konseptual adalah Model SCS, Model HEC, Model Philip, dan Model Hidrograf. Uraian
model konseptual adalah sebagai berikut:
a.

Model SCS
Model Soil Conservation Services (SCS) merupakan model konseptual yang
dikembangkan oleh USDA. Model ini menggunakan pendekatan penggunaan/

penutupan lahan, jenis tanah dan kondisi hidrologi wilayah. Hasil yang diperoleh
dalam model ini adalah nilai infiltrasi dan laju infiiltrasi wilayah (unit lahan) pada
suatu DAS atau Sub-DAS.
.................................... (6.7)
.................................... (6.8)
Dimana b adalah persentase faktor vegetasi, P adalah laju curah hujan (cm/s) dan p
adalah intensitas curah hujan (cm/s), dan S adalah potensial storage (cm). Soil
Concervation Service (SCS), mengembangkan suatu prosedur yang sering disebut
metode curve-number untuk menaksir runoff. Metode ini selanjutnya dikenal
dengan model SCS.

Gambar 6.1 Skema komponen rainfall excess


Bila nilai CN (curve number) telah ditentukan, maka aliran permukaan langsung dapat
ditentukan dengan menggunakan monogram SCS.

Gambar 6.2 Monogram SCS


b.

Model HEC
Model HEC merupakan model infiltrasi dasar pada suatu hubungan non linear
antara intensitas curah hujan dan kapasitas infiltrasi.
. (6.9)
(6.10)
Dimana k adalah koefisien penurunan air ke dalam tanah, k adalah perubahan
koefisien penurunan air, p adalah intensitas curah hujan (cm/s), D adalah defisiensi
kelembaban tanah dan x adalah eksponen antara 0 dan 1. Jika x = 0, f tidak terikat
oleh P, asumsi ini dibuat normal dan termasuk dalam kebanyakan persamaan
infiltrasi. Jika x = 1, f berbanding lurus dengan parameter p. Study hidrology yang
di kembangkan oleh HEC mengindikasikan bahwa x biasanya antara 0,3 sampai 0,9
untuk konsistensi.

c.

Model Philip Tanah Dua-Lapis


Pada satu seri dari papernya, Philip memperkenalkan analisis dari infiltrasi
berdasarkan persamaan Fokker-Planck, atau persamaan aliran untuk tanah homogen
dengan kadar

lengas tanah awal dan suplai air yang berlebihan dipermukaan.

Parameter S dan C merupakan fungsi difusi air tanah awal dan kadar air permukaan
dari tanah
(2.14)
(2.15)
.... (2.16)
Keterangan, f

d.

= laju ifiltrasi (cm/h)

= Sportivity (cm/h)

= kostanta (cm/h)

= interval waktu (s).

Model Hydrograf
Jika akurasi data curah hujan dan runoff yang tersedia pada suatu bidang tanah
kecil, jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah dapat ditentukan dengan
menggunakan model yang disebut model hydrograf. Model ini didasarkan pada
pendapat berikut: (1) intersepsi dan infiltrasi kecil, (2) infiltrasi merupakan abstrak
utama bahwa curah hujan dikurang dengan infiltrasi akan mendekati aliran
permukaan. Model ini lebih sering digunakan untuk menentukan neraca air.
................. (2.17)
Keterangan; P = curah hujan (cm/s),
q = discharge (cm/s)
D = surface detention (cm)
F = kapasitas infiltrasi (cm)
Laju infiltrasi umumnya tergantung dari horizon A dan B, karena
kapasitas infiltrasi C tidak akan terpenuhi oleh laju infitrasi, sedangkan D tidak
tertembus air, sehingga sifat transmissi lapisan tanah dikelompokkan menjadi 2
fenomena.
Jika kapasitas perkolasi lebih besar dari kapasitas infiltrasi maka lapisan di
bawahlapisanpermukaan tidak akan jenuh air dan laju infiltrasiditentukan oleh infiltrasi.

Jika kapasitas perkolasi lebih kecil dari kapasitas infiltrasi maka lapisan bawah
akan jenuh air dan laju infiltrasi ditentukan oleh laju perkolasi.
Untuk lahan yang sulit pengambilan sample kpnduktivitas hidrauliknya
di lapangan, maka dapat juga dilakukan pendekatan nilai kondukttivitas hidraulik

dengan menggunakan data tekstur tanah seperti yang diperlihatkan pada diagram
segitiga tekstur.

Gambar. 6.3 Metode grafis penentuan Konduktivitas Hidraulik Jenuh dengan segitiga

tekstur

6.5 Pengukuran Infiltrasi


Infiltrasi dapat diukur dengan cara berikut :
a.

Dengan infiltrometer

Infiltrometer dalam bentuk yang paling sederhana terdiri atas tabung baja yang
ditekankan kedalam tanah.Permukaan tanah di dalam tabung diisi air.Tinggi air dalam
tabung akan menurun, karena proses infiltrasi. Kemudian banyaknya air yang
ditambahkan untuk mempertahankan tinggi air dalam tabung tersebut harus diukur.
Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat aliran ke samping di bawah
tabung. Dengan cara ini infiltrasinya dapat dihitung dari banyaknya air yang
ditambahkan kedalam tabung sebelah dalam per satuan waktu.

Gambar 6.4 Infiltrometer


b.

Dengan testplot
Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer hanya dapat dilakukan terhadap

luasan yang kecil saja, sehingga sukar untuk mengambil kesimpulan terhadap
besarnya infiltrasi bagi daerah yang lebih luas.
Untuk mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan
digenangi air. Daya infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan agar
permukaannya konstan. Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang berskala
besar.
c. Lysimeter
Lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam
tanah diisi tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan
fasilitas drainage dan pemberian air. Dengan persamaan neraca air (waterbalance)
seperti berikut:

P+I=D+ES
Keterangan :

.. (2.18)

I = pemberian (supply) air


D= air yang dikeluarkan
E= penguapan (evapotranspirasi)
S= tampungan air dalam tanah

Untuk mencapai tujuan ini lebih baik digunakan lysimeter timbang, dengan
lysimeter timbang besarnya infiltrasi dengan kondisi curah hujan yang sebenarnya
dapat dipelajari. Curah hujan harus diukur dengan alat pencatat hujan (recording rain
gauge) yang harus ditemptkan di dekat lysimeter tersebut.
6.6 CONTOH SOAL
1. Suatu data hasil pengukuran disajikan sebagai berikut:
t (mnt)

fob(cm/mnt)

t (mnt)

fob(cm/mnt)

0,00

25

1,24

2,50

35

1,16

2,25

48

1,06

2,13

65

0,98

1,86

85

0,94

1,68

105

0,91

12

1,50

125

0,89

17

1,38

Tentukan laju ifiltrasi air dengan rumus Kostiakov, Horton, Holtan, dan Phillip.
Gambarkan Kurva dan Hasil observasi dan semua model.
Penyelesaian
Dengan menggunakan spreadsheed maka fungsi masing-masing model diperoleh seperti
berikut:
Fungsi
f = 0.407 t

Model
-0.16.

Kostiakov
0,287t

f = 0,242 + (0,5 - 0,242)e-

Horton

f = 0,039 (-2,091 f)2 + 0,239

Holton

f = 0,5*0.143 t-0,5 + 0,214

Phillip

Fungsi model kemudian di gambarkan dengan menggunakan spreadsheet kembali:

6.7 LATIHAN DAN PENUGASAN


1.

Diskusikan dengan kelompok kelebihan dan kekurangan masing-masing model


infiltrasi yang telah anda baca. Buat file dalam bentuk word dan Presentasi.

2.

Turunkan fungsi infiltrasi Horton dan Holtan dari hasil pengukuran sebagai berikut:
Waktu

3.

f (mm/jam)

2,50

1,75

50

1,00

Lengkapi data DAS anda dengan mencari nilai CN berdasarkan kondisi hidrologi
wilayah dan penutupan lahan. Hasil perhitungan CN ini akan digunakan pada
pendugaan limpasan permukaan langsung.

4.

Lakukan pemasangan Infltrometer di lapangan dengan mengamati laju penurunan


air dalam periode waktu tertentu (tergantung jenis tanah). Kemudian
a. Gambarkan kurva laju infiltrasi
b. Tentukan fungsi infiltrasi yang sesuai untuk plot data anda
(Asistensi sebelum melakukan pengambilan data di Laboratorium Hidrologi dan
Mekanika Fluida)

6.8 DAFTAR PUSTAKA


Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta: Andi.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York
Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.
Pradnya Paramitha. Bandung
Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.
Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui cara prakiraan banjir jangka pendek
2. Menghitung hidrograf satuan dari suatu titik ukur ke bagian sungai lain
3. Mengetahui perhitungan debit banjir
4. Mengetahui derivasi hidrograf sintetik
7.1 Pendahuluan
Permasalahan utama yang dihadapi praktisi hidrologi adalah mengestimasi
hydrograph menaik dan menurun dari suatu sungai pada sebaran titik pengaliran
terutama selama periode banjir. Permasalahn ini dapat diatasi dengan teknik
penelusuran aliran atau penelusuran banjir yang mengolah sifat-sifat hydrograph banjir
di hulu atau di hilir dari suatu titik ke titik yang lain sepanjang aliran sungai.
Penelusuran dilakukan dari titik dimana ada data pengamatan hidrograf aliran untuk
memudahkan proses penelusuran itu sendiri.
Suatu hidrograf banjir dapat dimodifikasi dengan dua cara sebagaimana air
hujan mengalir menuruni jaringan pengaliran air (drainage network). Pertama waktu
berkumpulnya aliran-aliran untuk terjadinya aliran dan puncaknya pada suatu titik di
daerah hilir. Ini disebut sebagai translasi. Kedua, besarnya laju aliran puncak yang
bergerak menuju titik di aliran bawah, serta lama waktu aliran mencapai titik bawah.
Modifikasi hidrograf ini disebut attenuation.
Penurunan hidrograf aliran di bagian bawah seperti B pada Gambar 7.1 dari
hulu yang disebabkan oleh pola hidrograf banjir A merupakan hal penting untuk

diperhatikan dalam manajemen sungai sebagai upaya prediksi banjir di wilayah bagian
river basin. Dalam hal disain, penelusuran hidrograf banjir juga penting untik
mengatur kapasitas spillway reservoir. Disamping itu jadwal pencegahan banjir atau
evaluasi tinggi bangunan jagaan banjir di tanggul sungai peru juga diperhatikan.

Gambar 7.1 Sifat translasi dan attenuasi banjir


7.2 Memilih Model Penelusuran Banjir
Pemilihan model penelusuran aliran untuk tujuan penerapan tertentu dipengaruhi oleh
tingkat berbagai kepentingan dengan mempertimbangkan faktor sebagai berikut:
1.

Model menyajikan informasi hidraulik yang sesuai untuk menjawab pertanyaan


atau problem pemangku kepentingan;

2.

Tingkat akurasi model;

3.

Kebutuhan akurasi dalam penerapan penelusuran aliran;

4.

Tipe dan ketersediaan kebutuhan data;

5.

Ketersediaan fasilitas dan biaya komputasi;

6.

Familiaritas dengan model yang diberikan;

7.

Pengembangan dokumen, level kemampuan dan ketersediaan wadah atau paket


model penelusuran;

8.

Kekompleksan formulasi matematika model penelusuran yang akan dikembangkan


dengan bahasa pemrograman komputer; dan

9.

Kapabilitas dan ketersediaan waktu untuk membangun model penelusuran.


Dengan

pertimbangan

pertimbangan

di

atas,

maka

pemilihan

model

penelusuran dapat dilakukan dengan asumsi bahwa tidak ada suatu model yang paling

tepat melainkan memiliki konsekuensi yang besar untuk mewujudknnya. Model


penelusuran yang sederhana paling cepat dan mudah karena keserhanaan komputasi
akan ada. Akan tetapi pertimbangan keakuratan akan membatasi penerapan model.
Akurasi Model Penelusuran Reservoir. Dalam aplikasi reservoir, akurasi model
penelusuran level-kolam sangat relatif terhadap keakurasian model penelusuran
dinamis terdistribusi
Akurasi Model Penelusuran Sungai. Pada penerapan penelusuran aliran sungai, tipe
lump dan kinematik and model penelusuran diffusi menunjukkan keuntungan
kesederhanaan dimana dampak dari aliran balik (backwater) tidak ada. Pertimbangan
kekauratan membatasi model dalam penerapannya dimana hubungan kedalaman air
dan debit adalah nilai tunggal, dan nilai pergerakan menaik hydrograph dan
kemiringan dasar saluran tidaklah kecil.
7.3 Penelusuran Aliran Tipe-Lump
Bentuk sederhana dari aliran tak tunak sepanjang pengalira air sungai adalah model
lumped dimana seluruh daerah pengaliran dianggap seragam kondisinya. Pendugaan
dilakukan jika ada aliran masuk (I) maka dapat diprediksi debit hidrograf keluar (Q)
sebagai fungsi waktu misalnya I(t) dan Q(t).
Prinsip konservasi massa dengan menghitung perbedaan antara dua aliran akan
sama dengan laju perubahan simpanan air (S) dalam suatu periode waktu seperti
disajikan pada persamaan berikut:
.. (7.1)
Fungsi sederhana simpanan terhadap debit keluaran Q, misalnya S = f(Q), atau
tinggi permukaan air h, misalnya S = f(h). Bentuk sederhana hubungan tinggi
permukan air dan simpanan biasanya ditunjukkan pada danau atau reservoir. Bentuk
hubungan akan menjadi lebih kompleks bila pada sepanjang pengaliran (sungai dan
anak sungai) simpanan menjadi fungsi dari inflow dan outflow.
Solusi persamaan untuk Q(t) dengan berbagai pendekatan simpanan dapat
dilakukan melalui penelusuran aliran seragam. Teknik grafis dan penyelesaian
persamaan matematis telah diterapkan. Model aliran lump (DAS seragam) relatif lebih
sederhana dibandingkan dengan distributed flow routing. Akan tetapi pengabaian
dampak aliran balik (waterback atau water-hammer) dapat menjadi sumber ketidak
akuratan hidrograf yang mengalami perubahan tiba-tiba sepanjang reservoir. Metode

Lump dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe yakni: (1) tipe level-pool untuk reservoir,
(2) tipe simpanan (storage) untuk sungai, dan (3) tipe sistem linear dengan
karakterisasi fungsi respon, dan hubungan inflow-outflow atau input-output yang
didefinisikan dengan teknik integral konvolusi (convolution integral).

Level-Pool Reservoir Routing


Dalam sistem ini reservoir diasumsikan selalu memiliki permukaan datar
sepanjang muka air di reservoir. Penelusuran aliran tak tunak tidak akan terjadi
lama dan hidrograf tidak berubah dengan cepat terhadap waktu, sehingga reservoir
dapat

didekati

dengan

teknik

sederhana

sebagai

level-pool

routing.

Elevasi

permukaan air h berubah terhadap waktu t, dan outflow dari reservoir diasumsikan
sebagai fungsi h(t). Pendekatan ini menghasilkan suatu persamaan diferensial yang
dapat diselesesaikan dengan beberapa teknik numerik seperti metode Runge-Kutta
atau metode integrasi iterasi trapezoid.
Metode

Iterative

Trapezoidal

Integration.

Pada

metode

ini

aturan

trapesium

digunakan untuk mengintegralkan persamaan konservasi massa. Acuan waktu


terdiri dari

pembagian

waktu

dengan interval t, misal t = 0, t, 2t, ... , jt, (j + 1 )


.. (7.2)

Dimana luas permukaan Sa merupakan fungsi h. Dengan menggunakan nilai ratarata untuk I(t) dan Q(t) sepanjang interval t dan substitusi (7.2) ke persamaan
(7.1) maka diperoleh:

. (7.3)
Inflow pada waktu j dan j+1 diketahui dari hidrograf inflow; outflow Q pada waktu
j dapat dihitung dari elevasi permukaan air yang diketahui hi dengan persamaan
spillway. Luas permukaan SaJ ditentukan dari nilai hi. Parameter yang belum
diketahui adalah hj+1,QJ+1, SaJ+1; Q dan Sa merupakan persamaan nonlinear dari
hJ+1. Sehingga persamaan (7.3) dapat diselesaikan hJ+1 melalui metode iterasi
seperti Newton-Raphson:
. (7.4)

Muskingum River Routing


Metode Muskingum dikembangkan oleh McCarthy sebagai metode yang dikenal
luas untuk penelusuran aliran tipe lump. Metode ini mengasumsikan simpanan
sebagai fungsi variabel inflow-discharge dan persamaan simpanan:
S=K[XI+(I-X)Q]

(7.5)

Laju perubahan simpanan dS/dt pada persamaan 7.1 dinyatakan sebagai berikut:

(7.6)
dimana superscripts j dan j+1 menujukkan waktu antara interval tj. Substitusi
persamaan (7.6) ke dalam (7.1) menghasilkan persamaan:
(7.7)
dimana penelusuran aliran Muskingum memberikan 3 koefisien:

(7.8)
dan C1+ C2 + C3 = 1, dan K/3 < t < 5 K merupakan batasan untuk
Contoh Soal
Jika waktu tempuh titik berat massa banjir antara huku dan hilir 9 jam dan faktor
x=0,33. Gunakan cara Muskingum untuk mencari hidrograf aliran di hilir dengan
menggunkan hidrograf aliran di hulu berikut (kehilangan air dan backwater
diabaikan):

7.4 Penelusuran Aliran Tipe-Terdistribusi

Aliran tak tunak pada suatu pengaliran air secara tepat digambarkan sebagai suatu
proses tersdistribusi karena laju/debit aliran, kecepatan, dan kedalaman (elevation) air
bervariasi terhadap ruang (pada penampang pengaliran sepanjang saluran). Estimasi
perilaku dari suatu sistem saluran dapat ditentukan dengan emnggunakan penelusuran
aliran terdistribusi berdasarkan persamaan differensial lengkapaliran tak-tunak satu
dimensi (Persamaan Saint-Venant). Persamaan ini menghitung secara komputasi debit
aliran dan kedalaman air sebagai fungsi ruang dan waktu dan bukan hanya waktu
seperti pada metode penelusuran aliran lump. Penelusuran aliran terdistribusi yang
didasarkan
(penelusuran

pada

Persamaan

dinamis).

Saint-Venant

Penyederhanaan

dikenal

bentuk

dengan

persamaan

dynamic
Saint-Venant

routing
yang

didasarkan sebagai persamaan kinematik dan diffusi (zero-inertia) apat digunakan


untuk penelusuran aliran terdistribusi.
Persamaan Saint-Venant. Persamaan asal Saint-Venant adalah persamaan konservasi
massa:
(7.9)
dan persamaan momentum:
(7.10)

1.5

Dalam hal ini t adalah waktu, x adalah jarak sepanjang pengaliran air, A adalah
luas penampang, V adalah kecepatan, q adalah inflow atau outflow lateral terdistribusi
sepanjang sumbu x pengaliran, g adalah tetapan gaya grafitasi, h adalah elevasi
permukaan air (dari datum/acuan) misalnya dh/dx = dy/dx - So dimana y adalah
kedalaman aliran dan So adalah kemiringan dasar saluran pengaliran, dan Sf adalah
kemiringan gesekan yang dapat dievaluasi secara seragam. Persamaan steady-flow
empirical resistance seperti persamaan Chezys atau Manning adalah persamaan
diferensial parsial hyperbolik quasi-linear dengan dua dependent parameter (V dan h)
yang bervariasi pada satu dimensi (arah x) dan dua independent parameter (x dan t).
Luas penampang pengaliran A dan gradien Sf merupakan fungsi dari h dan/atau
V. Tak ada solusi analitis dari persamaan differensial kompleks untuk hampir semua
praktek penerapan dalam model penelusuran banjir. Turunan persamaan Saint-Venant
mengikuti beberapa asumsi dasar:
(1) Aliran satu dimensi,
(2) Panjang sungai yang dipengaruhi oleh gelombang banjir umumnya lebih
besar dari kedalaman aliran,
(3) Percepatan vertikal diabaikan dan distribusi tekanan vertikal gelombang
adalah hidrostatik,
(4) Densitas/kerapatan massa air konstan,
(5) Dasar dan dinding saluran ditentukan dan tidak berubah-ubah, and
(6) Kemiringan dasar saluran So realitif kecil, (kurang dari 15 persen).
Aplikasi Penelusuran Aliran Terdistribusi. Model tedistribusi yang menghitung debit
lairan Q dan tinggi permukaan air h berguna untuk menentukan kedalaman genangan
banjir, kebutuhan tinggi bangunan seperti jembatan atau wilayah sempadan sungai,
and keceptan aliran air dalam transport pemindahan polutan. Model terdistribusi dapat
juga digunakan untuk penerapan lain seperti pendugaan banjir real time di sungai,
pemberian dan pengaliran air irigasi, melalui saluran, peta inundasi perencanaan dambreak, perubahan gelombang transient yang terjadi di reservoir oleh pintu atau turbin,
longsor akibat gelombang di reservoir, dan aliran tank tunak di sistem pembuangan air
hujan.
Model Penelusuran Terdistribusi Sederhana. Sebelum perkembangan komputer
pesat,atauuntukkepentinganekonomidankepraktisannyadalamsumberkomputasi,

dalam penyelesaian persamaan Saint-Venant yang kompleks, maka dikembangkanlah


beberapa model terdistribusi yang disederhanakan. Model didasarkan pada persamaan
konservasi massa dan berbagai penyederhanaan persamaan momentum.
Model Gelombang Kinematik. Tipe tersederhana model penelusuran terdistribusi
adalah model gelombang kinematik. Model ini diperkenalkan oleh Lighthill dan
Whitham. Model ini didasarkan pada bentuk sederhana dari persamaan momentum
sebagai berikut:
Sf So = 0

(7.11)

dimana So adalah kemiringan dasar saluran (watercourse) dan komponen (dh/dx).


Asumsi ini menganggap momentum aliran unsteady sama dengan pada aliran seragam
tuank (steady) seperti yang ditinjau pada persamaan Chezy, Manning atau persamaan
sejenisnya dimana debit sebagai fungsi tunggal oleh kedalaman, misalnya, dA/dQ =
dA/dQ =1/c. Juga dA/dt = dA/dQ * dQ/dt dan Q = A V. Persamaan 7.9 dapat
dikembangkan menjadi persamaan klasik gelombang kinematik seperti berikut:
(7.12)
Dalam hal ini kecepatan gelombang kinematik atau celerity (c) didefinisikan sebagai:
c = k' V

(7.13)

dimana k' adalah rasio kinematika, yang merupakan perbandingan celerity gelombang
kinematik dengan kecepatan aliran. Jika persamaan Manning digunakan untuk aliran
tunak uniform, maka rasio kinematika dinayatak dengan persamaan:
(7.14)
dimana B adalah lebar atas saluran pengaliran, A = luas penampang pengaliran, P
wetted perimeter, dan dP/dy adalah turunan P terhadap kedalaman air y. Untuk aliran
pada saluran segiempat, k' = 5/3. Metode penyelesaian persamaan gelombang
kinematik terdiri dari solusi analitis menggunakan metode karakteristik atau solusi
langsung dengan teknik pendekatan finite-difference secara explicit atau implicit.
Persamaan gelombang kinematik secara teoritis tidak mempertimbangkan kejadian
gelombang hydrograph. Model gelombang kinematik terbatas aplikasinya pada singlevalue, stage-discharge ratings yang ada dimana tidak ada rating loop dan pengaruh
backwater tidak signifikan. Sejak adanya model gelombang kinematik, gangguang

gelombang dapat dipropagasi hanya kearah hilir, aliran sebaliknya tidak dapat
diprediksi.
hidrologi

Model
suatu

gelombang
DAS

untuk

kinematik
penelusuran

digunakan
aliran

sebagai
overland

komponen
flow;

model

dan

tidak

direkomendasikan untuk saluran kecuali hydrograph menaik sangat kecil, kemiringan


saluran moderat sampai curam, dan kejadian hydrograph cukup kecil.
Model Difusi Gelombang. Model gelombang kinematik sederhana yang laina adalah
model diffusion wave (zero-inertia), dengan pendekatan persamaan momentum
sebagai berikut:
(7.15)
Teknik pendekatan finite-difference (explicit dan implicit) telah digunakan untuk
mendapatkan solusi simultaneous persamaan penyusun. Model ini mempertimbangkan
pengaruh backwater tetapi tidak menunjukkan distribusi secara langsung terhadap
waktu sepanjang penelusuran; keakurasiannya juga rendah untuk hydrograph menaik
cepat, seperti kejadian kerusakan bendung, gelombang hujan badai, atau pelepasan
cepat air dari dam dan terputus-putus, dimana propagasi melalui pengaliran
berkemiringan sedang sampai datar.

7.5 Metode Muskingum-Cunge


Metode Muskingum dapat dimodifikasi dengan menghitung koefisien routing sebagai
bagian yang ditunjukkan oleh Cunge and peneliti lain yang merubah kinematika
berasarkan

Metode

Muskingum

menjadi

bentuk

analogi

difusi

yang

mampu

memprediksi perubahan hydrograph. Modifikasi metode Muskingum (dikenal dengan


Metode Muskingum-Cunge) lebih efektiv digunakan dalam teknik penelusuran aliran
terdistribusi. Persamaan recursive dapat diaplikasikan untuk masing-masing

dan

untuk setiap waktu


(7.16)
dimana terdapat kesamaan dengan Metode Muskingum tetapi dikembangkan untuk
memasukkan pengaruh aliran inflow lateral C4. Qj+1 sama dengan Ij+1 untuk
Muskingum sedangkan Qj dan Qj+1 juga sama dengan I, dan Qj' pada motode
Muskingum. Koefisien C1, C2, dan C3 adalah nilai positif yang jumlahnua harus sama
dengan 1.

(7.17)
dalam hal ini K adalah tetapan simpanan berdimensi waktu, dan X adalah weightingfactor menunjukkan arti penting inflow dan outflow terhadap simpanan. Di sini dapat
ditunjukkan

bahwa

finite-difference

menyajikan

persamaan

klasik

gelombang

kinematik; akan tetapi, jika X dinyatakan sebagai fungsi bagian dari sifat aliran, maka
kombinasi persamaan penyusun akan menjadi persamaan analogi difusi parabolic yang
mempertimbangkan gelombang hidrograf banjir tetapi tidak berlaku aliran balik
(negative) atau backwater. Model ini relatif akurat dibanding Model Muskingum. Pada
metode Muskingum-Cunge, K dan X dihitung dengan:
(7.18)
(7.19)
dimana c adalah celerity, Q adalah discharge, B lebar atas saluran yang berkaitan
dengan Q, Se adalah slope energi yang didekati dengan Sf untuk kondisi awal aliran, D
adalah kedalaman hydraulic (A/B), dan k' adalah rasio gelombang kinematik. Bar
menunjukkan variabel dengan nila rata-rata sepanjang pengaliran x selama

Untuk

kesalahan numerik minimal ditentukan oleh scheme, step waktu t dan step jarak

harus

sesuai.
(7.20)
dimana M 5, Tr adalah waktu selama menaiknya hydrograph, dan
(7.21)
dimana q adalah debit rata-rata per lebar pengaliran (Q/B) dan So adalah kemiringan
dasar saluran.
Pengembangan Persamaan Saint-Venant. Persamaan Saint-Venant lebih powerful
dan bermanfaat dimana bentuk konservasi atau divergen ditambahkan ke dalam
persamaan aliran lateral luas simpanan saluran dan dampak sinuositas. Pengembagan
persamaan Saint-Venant adalah pada persamaan konservasi massa:

(7.22)
dan persamaan momentum
(7.23)
Dimana h adalah water-surface elevation, A adalah luas penampang pengaliran air, Ao
adalah luas permukaan saluran tak aktif (off-channel storage) yang sering dikleluarkan
dan menyajikan friksi tahanan yang lebih tinggi untuk bagian luas penampang, sc and
sm adalah koefisien sinuositas depth-weighted yang benar untuk sinus departure dalam
saluran dari sumbu x floodplain, x adalah jarak longitudinal rata-rata pengaliran
terukur sepanjang pusat pengaliran, t adalah waktu, q adalah debit persatuan lebar
sungai lateral inflow atau outflow (inflow adalah positive dan outflow adalah
negative), p adalah koefisien momentum untuk distribusi kecepatan tak seragam
terhadap luas penampang, g adalah konstanta percepatan gravitasi, Sf adalah
kemiringan gesekan batas, and Sec adalah kemiringan kontraksi-ekspansi (large eddy
loss).
Kehilangan oleh Gesekan. Kehilangan akibat gesekan Sf dievaluasi dari persamaan
Manning untuk aliran uniform dan steady adalah:
(7.24)
K adalah faktor pengaliran saluran.
Efek Ekspansi dan Kontraksi. Bentuk variabel Sec dihitung dengan:

(7.25)
Routing Parameters. Faktor penelusuran ditentukan dengan rumus:
(7.26)
.

Lateral Flow Momentum. L adalah dampak momentum lateral aliran, dan memiliki
(1) bentuk lateral inflow, L = -qvx' dimana Vx adalah inflow lateral pada sumbu x
saluran utama; (2) seepage lateral outflow, L = -0.5qQ/A; dan (3) bulk lateral outflow,
L = -qQ/A.
7.6 PENUGASAN
1. Kembangkan model penelusuran banjir pada komputer (spreadsheet atau program
buatan dengan bahasa komputer lain seperti Fortran, Visual Basic atau Delphi)
sesuai dengan model yang telah dijelaskan.
2. Cari data hidrograf aliran sungai di DAS yang anda kerjakan dan lakukan sistem
penelusuran di daerah hilirnya (dekat wilayah pertanian atau pemukiman) dengan
model yang telah dibangun pada no. 1..
3. Hidrograf di sungai pada titik A berpenampang beton dengan n = 0,020. Lebar

saluran 100 m dengan panjang pengaliran 10 km berkemiringan dasar 0,015. Saat


mula-mula Q adalah 18,5 m3/det.

Waktu(mnt)

20

40

60

80

100

120

140

160

Q(m3/det)

19

52

344

430

383

202

92

30

21

Hitunglah penelusuran banjir di B dengan jarak 10 km dari hilir (A) dan gambarkan
hidrograf outflownya.

7.7 DAFTAR PUSTAKA


1.

Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.

2.

Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.

3.

Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York

4.

Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.


Pradnya Paramitha. Bandung.

5.

Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England.

6.

Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.

7.

Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui aplikasi komputer dalam analisis hidrologi
2. Mengetahui perhitungan menggunakan komputer
3. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer
4. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer
5. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer
6. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer

8.1 Pendahuluan
Memperoleh data parameter hidrologi dalam seri yang panjang merupakan hal yang
sulit. Hal ini mendorong para ahli hidrologi khususnya yang fokus pada simulasi dan
permodelan untuk melakukan pendugaan parameter hidrologi seperti debit aliran di
suatu DAS. Kenyataan ini terjadi juga di Indonesia yang merupakan negara yang
sedang berkembang dimana alat ukur hidrologi belum tersebar merata di seluruh
wilayah Indonesia khususnya DAS-DAS yang kecil.
Fenomena ini merupakan tantangan tersendiri bagi ahli hidrologi untuk
mengkaji ketersediaan data baik melaluui pengadaan alat ukur sederhana sampai
pendugaan parameter hidrologi yang dikembangkan melalui model matematis atau
model lainnya. Untuk kasus di Indonesia dimana debit air merupakan komponen
utama dalam pengembangan sumberdaya air dalam upaya pemanfaatan dan juga upaya
pengendalian daya rusak air di suatu kawasan.

Secara umum model-model dalam hidrologi dapat dibagi menjadi:


a.

Model Fisik: dikembangkan dengan analsis dimensi dan pemodelan fisik misalnya
pada model dam-break (scale model)

b.

Model Matematik yang dapat dibagi lagi menjadi:


1. Model konseptual deteministk
2. Model empiris deterministik
3. Model konseptual stokastik
4. Model empiris stokastik
Masing-masing model diatas dapat berupa model linear ataupun non-linear
tergantung pada asumsi sistem yang digunakan.

Tiruan proses hidrologi untuk keperluan analisis tentang keberadaan air menurut aspek
jumlah, waktu, tempat, probabilitas dan runtun waktu (time series).
1.

Rainfall runoff model: jumlah/waktu pada tempat tertentu.


Prinsip pemodelan: tata buku dan kesetimbangan air. Kegunaan: perkiraan
ketersediaan air (continuous flow) dan debit/ hidrograf aliran besar/banjir
(event flow).
Contoh: SSARR, SHE, MOCK, NASH, HEC-HMS, dll.

2.

Frequency analysis: probabilitas kejadian suatu besaran hidrologi (hujan,


debit aliran) dengan nilai tertentu atau sebaliknya.
Prinsip pemodelan: fungsi distribusi probabilitas. Kegunaan: perkiraan
besaran hidrologi sebagai nilai besaran rancangan dengan kala ulang tertentu
(banjir rancangan, hujan rancangan).
Contoh: distribusi Normal, Log-Normal, Gumbel, Pearson III, dll.

3.

Stochastic analysis: karakteristik runtun waktu suatu besaran hidrologi


(hujan, debit aliran).
Prinsip pemodelan: perilaku komponen perulangan (tetap), trend dan
simpangan (error). Kegunaan: pembangkitan data hidrologi (hujan, debit)
untuk input evaluasi unjuk kerja design capacity atau pedoman operasi
bangunan air
Contoh: Thomas Fiering, Matallas, ARIMA, dll.

Pada komputasi hidrologi ini, mahasiswa diarahkan untuk menggunakan model WMS

8.2 Penyuntingan DEM


Beberapa dari kenampakan medan, termasuk diatantarnya: jalan, kanal, reservoir,
danau, dam dan sebagainya, mungkin tidak disajikan secara sempurna oleh resolusi
DEM yang kasar. Adalah hal yang sangat mungkin dalam WMS untuk melakukan
penyuntingan sehingga informas obyek semacan itu dapat disajikan dengan baik.
Sehingga kapasitas penyimpanan dapat dihitung dari DEM dan untuk analisa analisa
lainnya.
Menyunting DEM agar lebih akurat dalam merepresentasikan informasi obyek dan analisa
drainase dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1.

Menggambar DAS menggunakan TOPAZ

2.

Mengisi Gap data

3.

Menyunting arah aliran

4.

Menyunting ketinggigian untuk membuat aliran

5.

Menyunting ketinggian menggunakan arc

6.

Menghitung kapasitas penyimpanan dari reservoir, dam atau DAS

7.

Melakukan routing menggunakan input dari Hidrograf aliran

Menjalankan TOPAZ dan Penggambaran DAS


a. Membuka Data DEM
1.

Pilihlah File | Open

2.

Bukalah mvcanyon.dem dan trailmount.dem

3.

Pilihlah Open

4.

Pilihlah OK

b. Menjalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2.

Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data

3.

Pilihlah OK

4.

Pilihlah OK

5.

Pilihlah Close

6.

Pilihlah Display | Display Options

7.

Ubah Minimum Accumulation For Display ke 0.06 mi2

8.

Pilihlah OK

9.

Perbesar hingga seperti pada gambar 8-1

Gambar 8.1 Menyunting DEM


c Penggambaran DAS
1.

Pilihlah Create Outlet titik tool

2.

Klik di sembarang tempat pada DEM dimana OUTLET akan diletakkan.

3.

Pilihlah OK ,anda anda diperingatkan bahwa OUTLET tidak berada pada


liran

4.

Masukan X= 379589.5 dan Y= 4271008.5

5.

Pilihlah DEM | Delineate Basins Wizard

6.

Pilihlah OK

7.

Pilihlah OK

Interpolasi DEM (Mengisi Gap Data DEM)


Penggambaran secara otomatis yang dihasilkan akan terlihat agak aneh, pertama pada
bagian atas kanan batas DAS tampak lurus lurus saja hal ini diakibatkan oleh tidak
adanya antar kontur dan aliran sungai yang terlalu jauh dari batas DAS.

Gambar 8.2 Penentuan batas DAS atau sub-DAS


a. Kesalahan Penggambaran DAS
1.

Pilihlah Display | Display Options

2.

Hidupkan pilihan No Data Cells

3.

Pilihlah OK

4.

Terdapat beberapa sel yang tidak ada data sehingga menggangu


penggambaran DAS.

5.

Pilih OK

Gambar 8.3 Kesalahan penggambara DAS


1.

Pilihlah Display | Frame citra

2.

Sulih ke Terrain Data module

3.

Pilihlah DEM | Fill

4.

Pilihlah OK

b Menjalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module

2.

Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data

3.

Pilihlah OK

4.

Pilihlah OK

5.

Pilihlah Close

6.

Hasilnya seperti yang digambarkan pada Gambar 8.4

Gambar 8.4 Das hasil perbaikan/koreksi


c. Penggambaran DAS
1. Pilihlah DEM | Delineate Basins Wizard
2.

Anda akan ditanyakan apakah menghapus DAS yang sudah ada: OK, untuk
menghapus dan membuat kembali DAS yang telah dikoreksi data
kosongnya.

3.

Pilihlah OK

4.

Nah, hasilnya akan terlihat seperti pada Gambar 8-5

Gambar 8.5 Hasil akhir penggambaran DAS

8.3 Menyunting Arah Aliran


Arah aliran dapat tidak akurat berkaitan dengan presisi DEM. Arah aliran pada setiap
sel DEM dapat secara manual disunting dalam rangka meningkatkan akurasi
penggambaran DAS.
a. Bukalah DEM
1. Pilihlah File | New
2. Pilihlah OK
3. Pilihlah File | Open
4. Bukalah trailmount.dem
5. Pilihlah OK
b. Bukalah Citra
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah trailmountain.TIF
3. Zoom pada ke area seperti yang digambarkan pada Gambar 8-6

c. Jalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data
3. Pilihlah OK
4. Pilihlah OK
5. Pilihlah Close
Kini arah aliran terlihat berbeda dibanding dengan pola kontur pada citra latar seperti
yang digambarkan pada Gambar 8-7.

d. Menyunting Arah Aliran


Arah aliran yang keliru perlu dikoreksi

1. Gunakan Select DEM points dan Klik-Ganda pada salah satu titik yang
berangka; Maka akan tampil atribut DEM

2. Ubahlah arah aliran sesuai dengan pola yang benar yang ditunjukkan pada
Tabel 8-1
3. Pilihlah OK
4. Pilih

Compute

flow

accumulations

hanya

setelah

anda

menyelesaikan

penyuntingan terakhir
5. Pilihlah OK
6. Ulangi langkah 1-5 untuk seluruh lokasi yang akan anda sunting.
8.4 Menyunting Elevations ke Create Streams
Sungai pada DEM umumnya dihasilkan oleh arah aliran dan akumulasinya, sementara
ketinggian dari DEM tidak selalu merepresentasikan ketinggian dari sungai itu sendiri
tetapi ketinggian dari kemungkinan ketinggian dari permukaan air. Ini dapat
menyebabkan sungai memiliki profil yang tidak alamiah dangan variasi kemiringan
yang drastis. Kita akan mencoba
membuatnya lebih mulus dan natural.
a. Menyunting Ketinggian Menggunakan Stream Arcs
1.

Sulih ke Terrain Data module

2.

Pilihlah Display | Display Options

3.

Matikan pilihan: Stream, Flow Accumulation, Color Fill Drainage Basins, dan
Fill Basin Boundary Only

4.

Pada Map tab, ubah Points/Node dan Vertices Radius ke nilai 2

5.

Pilihlah OK

6.

Pilihlah OK

7.

Use Select Feature Arc Pilihlah arc

8.

Pilihlah DEM | Edit Elevations

9.

Pilihlah Cancel ; untuk menunda

8.5 Analisa HEC-RAS


HEC-RAS menyajikan analisa backwater curve untuk kondisi ketinggian dan
kecepatan air tak terganggu dan terganggu. Model ini bertujuan untuk (1)
Membangun model koseptual, (2) Kosep pemetaan data ke model hidrolik, (3)
Menjalankan simulasi dengan HEC-RAS dan (4) Menampilkan hasil pada WMS.

Menyiapkan Model Konsep


Langkah

pertama

membuat

model

HEC-RAS

adalah

membut

model

dengan

mendefinisikan dulu jangkauan sungai, posisi penampang melintang, dan orientasi,


lakasi dan zonasi materialnya. Model konseptual ini akan digunakan untuk membuat
skema jaringan dalam Modul River Hydraulic
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah wmsras.img
3. Pilihlah File | Open
4. Bukalah wmsras.tin
5. Pilihlah Display Options
6. Pilihlah TIN
7. Hapus centang pada Unlocked vertices
8. Hapus centang pada Triangles
9. Hapus centang pada TIN Contours
10. Pastikan Boundaries box Terpilih
11. Pilihlah OK

Membuat Peta Penggunaan Lahan / Tutupan Materials


Salah satu properti dari HEC-RAS adalah menggunakan nilai kekasaran.
1.

Pilihlah File | Open

2.

Bukalah file Materials.map

3.

Pilihlah Edit | Materials

4.

Klik tombol New 5X untuk membuat 5 material baru.

5.

Ganti nama material

6.

Jika anda menginginkan, anda dapat menset warna dan pola untuk tampilan
yang lebih baik.

7.

Pilihlah OK

8.

Pastikan Area Property adalah coverage = materials dan active pada Data
Tree

9.

Klik Kanan pada Materials layer dan Pilihlah Properties

10. Ubah Coverage type dari General ke Area Property.


11. Pilihlah OK
12. Pilihlah Select Feature Polygon
13. Pilihlah polygon yang menyajikan area sungai (lih. Gambar 13-5)
14. Pilihlah Feature Objects | Attributes

15. Set tipe polygon ke Material dan pilihlah sungai.


16. Pilihlah OK

Membuat Skema Jaringan Hidrologi


WMS dapat berinteraksi menggunakan HEC-RAS dengan sebuah file geometri dari
HEC-GeoRAS. File ini berisi penampang data penampang melintang yang digunakan
oleh HEC-RAS sebagai sebuah data tergeoreferense, untuk file geometri ini, model
konseptual harus dikonvert ke diagram skema jaringan menggunakan River Module:
1. Pastikan pada Modul Map
2. Set Coverage pada centerline
3. Pilihlah River Tools | Map -> Schematic
HEC-RAS membutuhkan indeks kekasaran Manning pada penampang melintang ini:
1. Sulih ke 1D Hydraulic Module
2. Pilihlah HEC-RAS | Material Properties
3. Masukkan indeks kekasaran

Menggunakan HEC-RAS
Dengan Menggunakan HEC-RAS kita akan menset simulasi dan mengekspor hasil
simulasi tersebut pada WMS.
1. Pilihlah Edit | Geometric Data
2. Pilihlah OK
3. Pilihlah View | Set Schematic Plot Extents
4. Pilihlah Set to Computed Extents
5. Pilihlah OK hingga
Pertama, kita masukkan data panjang:
a.

Klik-kiri pada node yang mengubungkan Wilayah barat dengan hulul.

b.

Pilihlah Edit Junction dari menu pop-up

c.

Aktifkan Jendela WMS

d.

Sulih ke Modul Map

e.

Pilihlah Measure Tool

f.

Seperti yang digambarkan pada contoh dibawah runut, sepanjang garis


tengah.

g.

Ulangi kembali pada dialog HEC-RAS

h.

Masukkan panjang pada kolom yang berkatian dengan baris To: West
Tributary West Tributary

i.

Ulangi langkah ini untuk menghitung bagian yang lain

j.

Pilihlah OK

k.

Pilihlah File | Exit Geometry Data Editor

Langkah selanjutnya adalah mendefinisikan aliran dan kondisi batas:


1. Pilihlah Edit | Steady Flow Data
2. Untuk Profile 1 (PF 1), masukkan 4000 untuk Hulu; masukan 5000 untuk
muara; untuk area barat masukan 1000
3. Klik pada Reach Boundary Conditions
Untuk analisisnya:
1. Klik pada Normal Depth. Masukkan nilai pada setiap ruas: 0.003 untuk
bagian atas, 0.001 untuk bagian bawah, dan 0.005 untuk area barat.
2. Pilihlah OK
3. Klik Apply Data
4. Pilihlah File | Exit Flow Data Editor
Kini kita siap untul melakukan steady flow analysis. Pertama kita perlu menset
pilihan:
1. Pilihlah Run | Steady Flow Analysis dari menu
2. Pilihlah Options | Flow Distribution Locations
3. Ubah Global subsections ke 3 pada kolom (LOB, Channel, dan ROB)
4. Pilihlah OK
5. Klik Compute. Ini merupakan analisa 1D
6. Tutup dialor Steady Flow Analysis
7. Keluar dari progra HEC-RAS

Post-Processing
Kita telah menganalisa ketinggian air di HEC-RAS, selanjutnya kita dapat melihat
solusi tersebut melalui WMS:
1. Dalam WMS, sulih ke modul 1D Hydraulic
2. Pilihlah HEC-RAS | Read Solution
3. Bukalah hecras.prj
4. Bentangkan folder 2D Scatter Data
5. Sulih ke Modul Map
6. Pilihlah coverage 1D-Hyd Centerline dari Data Tree
7. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations
8. Pilihlah pada a specified spacing untuk Create a data point
9. Masukkan 60
10. 1Pilihlah OK
11. Pilihlah coverage 1D-Hyd Cross Section dari Data Tree

12. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations


13. Pilihlah OK
14. Sulih ke Terrain Data module
15. Pilihlah Flood | Delineate
16. Centang pada Search radius dan masukkan 1000
17. Centang pada Quadrants
18. Masukan 4 untuk number of stages
19. Pilihlah OK
20. WMS akan menghitung dua dataset baru yang berhubungan dengan dataran
banjir dan permukaan air.
21. Bentangkan folder bernama New tin pada Data Tree
22. Bentangkan folder bernama W.S. (FLOOD) pada Data Tree
23. Pilihlah data set bernama W.S. Elev-PF 1 (FLOOD)
24. Pilihlah Display | Display Options
25. Pilihlah TIN tab
26. Centang pada TIN Contours dan Pilihlah Contours
27. Pilihlah Color fill between contours
28. Pilihlah OK 2X

Gambar 8.12 Hasil Pengolahan HEC-RAS di WMS

8.6 Penggambaran Dataran Banjir


Penggambaran dataran banjir di WMS di memerlukan data TIN dan sebaran titik
statisun air. Ketinggian dari TIN dapa diambil dari data survey atau konversi dari
DEM ke TIN. Data stasiun air dapat dimasukkan secara manual atau diambil dari
proyek HEC-RAS. Hal ini bertujuan:
1.

Bereksperimen dengan berbagai pilihan penggambaran dataran banjir, termasuk


didalamnya: memasukkan data, pencarian jangkauan, dan arah alirannya.
Menjalankan penggambaran dataran banjir tersebut menggunakan teknik teknik:
i. Secara manual memasukkan data stasiun
ii. Pendekatan dengan Channel Calculator pada WMS
iii. Menghitung dengan HEC-RAS

2.

Penggunaan Batas bajir, untuk:


Melakukan generalisasi kedalaman banjir, dampak dan area cakupannya.

a Pilihan pilihan Penggambaran Dataran Banjir


Ada beberapa pilihan penggambaran banjir:
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah flood.tin
Matikan display TIN ini:
3. Pilihlah Display | Display Options
4. Pilihlah TIN
5. Hapus centang pada Unlocked Vertices
6. Hapus centang pada Triangles
7. Pilihlah OK
8. Pilihlah File | Open
9. Bukalah samplescatter.wpr
10. Bentangkan folder Terrain Data pada Data Tree.
11. Bentangkan Land TIN pada Data Tree, dengan cara ini anda akan dapat
melihat solusi permukaan air
12. Pilihlah Flood | Delineate
13. Masukkan 100 untuk Max search radius
14. Masukkan sr100 untuk solution name
15. Pilihlah OK

Kini akan kita ubah Search radius dan menghitung kembali dataran banjir:
1. Pilihlah Flood | Delineate
2. Naikkan nilai Max search radius ke 500
3. Ubah solution name menjadi sr500
4. Pilihlah OK untuk menggambarakan dataran bajir baru
5. Bentangkan folder sr100 (FLOOD) dan Memilih data set sr100_fd.
6. Gambarkan dua dataran bajir lagi dengan menggunakan Max search = 1000 dan
2000. Berbeda antara 100 dan 500 yang hasilnya tampak berbeda, pada radius
1000 hingga 2000 tampak tidak jauh berbeda, kita dapat menggunakan 1000
jika dengan 2000 sudah tidak tampak jauh berbeda, selanjutnya kita gunakan
arah nilai arah aliran yang berbeda.
1. Pilihlah Flood | Delineate
2. Masukkan 1000 untuk Max search radius
3. Centang pada Flow path
4. Masukkan 500 untuk Max flow distance
5. Ganti Nama mejadi fp500
6. Pilihlah OK
7. Gambarkan dua dataran bajir lagi menggunakan nilai 1500 dan 3000.

8.7 PENUGASAN
1. Download DATA DEM dari website dengan menggunakan Global Mapper
untuk daerah DAS atau Sub-DAS yang anda kumpulkan data hidrologinya.
2. Lakukan delineasi DAS
3. Lakukan penggambaran aliran sungai
4. Hitung debit aliran rencana
5. Gambar dampak banjir 5 dan 10 tahunan.
8.8 DAFTAR PUSTAKA
----------, 2005. Manual and Tutorial WMS 8.1. Emrl.
Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York
Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.
Pradnya Paramitha. Bandung.
Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England.
Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.
Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.

Semoga buku ajar ini dapat menjadi penambah dalam khazanah ilmu hidrologi yang
memudahkan mahasiswa dalam memahami materi pembelajaran. Begitu banyak persoalan
bangsa Indonesia berkaitan dengan ilmu hidrologi dan sumber daya air, namun penguasaan dan
penerapan ilmu ini belum maksimal dalam upaya pengelolaan termasuk teknik pemanfaatan air,
dan pengendaliannya.
Akhirul klam, semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.
Wassalam
Penulis

Anda mungkin juga menyukai