Kasus 2, Hukum Menambal Gigi Dengan Campuran Emas
Kasus 2, Hukum Menambal Gigi Dengan Campuran Emas
Asalnya emas diharamkan bagi lelaki dan dihalalkan bagi para wanita. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asyari radhiallahuanhu sesungguhnya Rasulullah
sallallahualaiahi wa sallam bersabda,
(5265) (
Sesungguhnya Allah Azza Wajallah menghalalkan kalangan wanita dari umatku sutera
dan emas. Serta diharamkan bagi para lelakinya. HR. NasaI, 5265 dinyatakan shoheh
oleh Syekh Al-Albany di Shoheh Nasai.
Kedua,
Tidak diperbolehkan menambal atau mengikatnya dengan emas kecuali kalau ada
keperluan mendesak (dhorurat) karena asalanya adalah haramnya penggunaan emas
untuk lelaki. Karena (hadits tadi) dan diperbolehkan karena ada keperluan mendesak
(dhorurat). Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4232:
(
-
. (
Bahwa Arfajah bin Asad hidungnya terputus pada (perang) Kulab. Kemudian beliau
membuat hidung (buatan) dari perak kemudian basi. Dan Nabi sallallahualihi wa sallam
memerintahkan membutanya dari emas. Dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albany di
Shoheh Abu Dawud
Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu (1/312) mengatakan, Perkataan pengarang
Kalau terpaksa (menggunakan) emas, maka diperbolehkan mempergunakannya. Maka
itu telah disepakati. Teman-teman kami mengatakan, Diperbolehkan (membuat) hidung
dan gigi dari perak. Begitu juga untuk menguatkan gigi yang rusak diperbolehkan
menggunakan emas dan perak. Selesai
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mugni (1/90) mengatakan, Tidak diperbolehkan
(mempergunakan) emas meskipun sedikit. Dan tidak diperbolehkan (mempergunakan)
dari emas kecuali ada kebutuhan mendesak seperti (membuat) hidung emas dan untuk
mengikat giginya. Selesai
Hijawi dalam matan Zadul Mustaqni mengatakan, Diperbolehkan bagi lelaki
(memakai) cincin perak. Sementara emas kalau ada kebutuhan mendesak seperti
(membuat) hidung dan semisalnya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarkhu Al-Mumti (6/38) mengatakan,
Perkataan Dan semisalnya maksudnya adalah seperti gigi dan telinga. Contohnya,
seseorang giginya retak dan membutuhkan ikatan dari emas atau gigi dari emas, maka
hal itu tidak mengapa. Akan tetapi kalau sekiranya memungkinkan membuat gigi dari
selain emas, seperti gigi yang terkenal sekarang. Maka yang nampak, tidak diperbolehkan
(membuat gigi) dari emas. Karena itu bukan kebutuhan yang mendesak. Kemudian selain
emas ada bahan buatan yang lebih mendekati gigi alamai dibandingkan dari gigi emas.
Begitu juga kalau sekiranya giginya menghitam tidak retak. Maka tidak diperbolehkan
menutupinya dengan (lapisan) emas. Karena itu bukan terpaksa selagi tidak
dikhawatirkan retak atau tergerus, maka (kalau kondisi seperti itu) diperbolehkan.
Selesai
Kondisi asalnya tidak diperbolehkan memasang gigi emas, melapisi dan mengikatnya
kecuali kalau ada kebutuhan yang mendesak (dhorurat). Kalau tidak ada kebutuhan
mendesak, maka tidak diperbolehkan. Posisi dilarangnya adalah kalau kelihatan bekas
emasnya. Kalau sekiranya emasnya bercampur dengan perak atau bahan lain. Tidak
terlihat bekas emasnya, maka hal itu diperbolehkan karena telah menyatu. (akan tetapi)
yang lebih utama meninggalkannya.
Syafii dalam Al-Umm (1/253) mengatakan, Selagi dimakruhkan emas murni dalam
peperangan dan selainnya, begitu juga dimakruhkan emas campuran. Dan saya
memakruhkan (emas) bercampur dengan (bahan) lainnya. Kalau sekiranya masih terlihat
warna emasnya. Kalau tidak terlihat warna emasnya, maka ia telah melebur. Saya lebih
senang tidak memakainya. Tidak mengapa kalau sekiranya dia memakainya seperti yang
saya katakan dalam masalah melapisi sutera. Selesai
Wallahualam.
"Allah telah mengutuk orang-orang yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan
tato, orang-orang yang mencabut bulu mata, orang-orang yang minta dicabut bulu
matanya, dan orang-orang yang merenggangkan gigi demi kecantikan yang merubah
ciptaan Allah."
(HR. Muslim)
Seiring dengan perkembangan teknologi, gaya hidup manusia juga ikut
berkembang dan berubah. Salah satu gaya hidup yang digandrungi manusia adalah
merubah gigi mereka agar lebih cantik dan lebih indah, maka munculah kawat behel yang
digunakan untuk merapikan gigi, ada gigi yang terbuat dari emas atau kuningan untuk
mengganti gigi yang tanggal, ada juga alat untuk mengikir gigi agar lebih tipis dan lainlainnya.
Fenomena di atas menarik perhatian sebagian kaum muslimin yang mempunyai
kepedulian terhadap hukum halal dan haram. Banyak dari mereka yang menanyakan
status hukumnya berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Oleh karenanya, perlu ada
penjelasan terhadap masalah-masalah tersebut. Untuk mempermudah pemahaman,
pembahasan ini akan dibagi menjadi beberapa masalah :
Hukum Menggunakan Kawat Behel
Banyak jamaah pengajian yang menanyakan hukum menggunakan kawat
behel, boleh atau tidak menurut pandangan Islam ?
Hal ini termasuk bagian pengobatan yang dibolehkan untuk menghilangkan
bahaya yang timbul.
Berkata Syekh Sholeh Munajid :
.
Memasang gigi buatan sebagai pengganti gigi yang dicabut karena sakit atau
karena rusak, adalah sesuatu yang dibolehkan tidak apa-apa untuk dilakukan. Kami tidak
mengetahui seorangpun dari ulama yang melarangnya. Kebolehan ini berlaku secara
umum, tidak dibedakan apakah gigi itu dipasang permananen atau tidak, yang penting
bagi pasien memilih yang sesuai dengan keadaannya setelah meminta pendapat kepada
dokter spesialis. [2]
Gigi Palsu Dari Emas dan Perak
Di atas sudah diterangkan kebolehan memasang gigi palsu untuk mengobati penyakit,
atau mengganti giginya yang rusak. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum
menggunakan gigi palsu dari emas atau perak ?
Jawabannya harus dirinci terlebih dahulu : Jika yang memasang gigi palsu adalah
perempuan, maka hal itu dibolehkan karena perempuan dibolehkan untuk menggunakan
emas. Tetapi jika yang menggunakan gigi palsu itu adalah laki-laki, maka hal itu tidak
bisa dilepas dari dua keadaan :
Pertama: Dalam keadaan normal, dan tidak darurat, artinya dia bisa menggunakan gigi
palsu dari bahan akrilik dan porselen selain emas dan perak, maka dalam hal ini memakai
gigi palsu dari emas dan perak hukum haram.
Kedua : Dalam keadaan darurat dan membutuhkan, seperti dia tidak mendapatkan
kecuali gigi palsu yang terbuat dari emas atau perak, atau tidak bisa disembuhkan kecuali
dengan bahan dari emas atau perak, maka hal itu dibolehkan. Ini berdasarkan hadist yang
diriwayatkan oleh Arfajah bin As'ad :
Dari Arfajah bin As'ad ia berkata, "Saat terjadi perang Al Kulab pada masa Jahilliyah
hidungku terluka, lalu aku mengganti hidungku dari perak, tetapi justru hidungku
menjadi busuk. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar
aku membuat hidung dari emas." (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan hadist ini Hasan)
Hadist di atas, walaupun berbicara masalah penggantian hidung dengan emas dan perak
dalam keadaan darurat atau membutuhkan, tetapi bisa dijadikan dalil untuk penggantian
gigi dengan perak dan emas, jika memang dibutuhkan, karena kedua-duanya sama-sama
anggota tubuh.
Hukum Mencabut Gigi Palsu Ketika Berwudhu
Bagaimana hukum mencabut gigi palsu ketika berwudhu ?
Jawabannya : Jika gigi palsu tersebut terbuat dari bahan yang suci dan tidak najis, maka
tidak perlu dicabut ketika berwudhu, terutama jika sudah dipasang secara permanen.
Karena mencabutnya akan menyebabkan kesusahan bagi pemiliknya, padahal Islam
diturunkan agar umatnya terhindar dari kesusahan.
Sebaliknya jika gigi palsu tersebut terbuat dari bahan najis, maka harus dicabut dan tidak
boleh dipakai ketika berwudhu dan sholat.
Namun demikian, ini jarang terjadi, karena pada dasarnya bahan-bahan untuk membuat
gigi palsu rata-rata bersih dan suci, seperti gigi tiruan akrilik yang sekarang dipakai
secara umum. Gigi tiruan ini mudah dipasang dan dilepas oleh pasien. Bahan
akrilikmerupakan campuran bahan sejenis plastik harganya murah, ringan dan bisa
diwarnai sesuai dengan warna gigi. Ada juga gigi tiruan dari porselen yang ketahanannya
lebih kuat dari akrilik. Dan yang lebih kuat lagi, serta bisa bertahan sampai bertahuntahun adalah gigi tiruan dari logam atau emas, hanya saja tampilannya berbeda dengan
gigi asli.
Syekh Utsaimin ketika ditanya tentang seseorang yang mempunyai gigi palsu, apakah
harus dicabut ketika berwudhu ? Beliau menjawab sebagai berikut :
Jika seseorang mempunyai gigi palsu yang sudah dipasang, maka tidak wajib untuk
dilepas. Ini seperti cincin yang tidak wajib dilepas ketika berwudhu, lebih baik digerakgerakan saja tetapi inipun tidak wajib. Hal itu dikarenakan nabi Muhammad shallallahu
alaihi wassalam mengenakan cincin, dan tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan
bahwa beliau melepaskannya ketika berwudhu. Ini jelas lebih mungkin menghalangi
masuknya air dari gigi palsu. Apalagi sebagian kalangan merasa sangat berat jika harus
melepas gigi palsu yang sudah dipasang tersebut, kemudian memasangnya kembali. [3]
Albani).
Kedua, hadis dari Ibn Abbas radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan,
Dilaknat : orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang
mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta
ditato, selain karena penyakit. (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al-Albani).
Dalam riwayat lain, dari Ibn Masud radhiyallahu anhu, beliau mengatakan,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi,
menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit. (HR. Ahmad 3945 dan
sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).
As-Syaukani mengatakan,
) (
Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kecuali karena penyakit menunjukkan bahwa
keharaman yang disebutkan, jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah
penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak
haram. (Nailul Authar, 6/244).
Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan, semua intervensi luar yang mengubah
keadaan tubuh kita hukumnya dibolehkan jika tujuannya dalam rangka pengobatan, atau
mengembalikan pada kondisi normal. Dan ini tidak termasuk mengubah ciptaan Allah
yang terlarang.
Lajnah Daimah untuk Fatwa dan Penelitian Islam, mendapat pertanyaan tentang hukum
mencabut gigi yang rusak dan diganti dengan gigi palsu. Apakah termasuk mengubah
ciptaan Allah?
Jawaban Lajnah:
Tidak masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain, sehingga bisa
menghilangkan resiko sakit, atau melepasnya kemudian diganti gigi palsu, jika
dibutuhkan. Karena semacam ini termasuk bentuk pengobatan yang mubah, untuk
menghilangkan madharat. Dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, sebagaimana
yang dipahami penanya. (Fatawa Lajnah, 25/15).
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibn Utsaimin. Beliau ditanya tentang
hukum gigi palsu, untuk menggantikan gigi yang rontok. Jawaban beliau,
.
Boleh bagi seseorang ketika ada giginya yang rontok, untuk diganti dengan gigi palsu,
karena semacam ini termasuk bentuk menghilangkan cacat tubuh. Sebagaimana
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan salah seorang sahabat yang
terpotong hidungnya, untuk menambal hidungnya dengan perak. Namun malah
membusuk. Kemudian beliau mengizinkan menambal hidungnya dengan emas. Demikian
pula gigi. Ketika ada gigi seseorang yang rontok, dia boleh memasang gigi palsu sebagai
penggantinya, dan hukumnya tidak masalah. (Fatawa Nur ala Ad-Darb, volume 9)