Anda di halaman 1dari 118

KAJIAN PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI GULA TEBU

MELALUI INTRODUKSI PENDEKATAN PRODUKSI BERSIH


(CLEANER PRODUCTION)
Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat

Oleh
ANAK AGUNG PURNAMA
F34101036

2006
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

KAJIAN PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI GULA TEBU


MELALUI INTRODUKSI PENDEKATAN PRODUKSI BERSIH
(CLEANER PRODUCTION)
Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
ANAK AGUNG PURNAMA
F34101036

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

13

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI GULA TEBU


MELALUI INTRODUKSI PENDEKATAN PRODUKSI BERSIH
(CLEANER PRODUCTION)
Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ANAK AGUNG PURNAMA
F34101036

Dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Juli 1983


Tanggal Lulus : 19 Desember 2005

Disetujui,
Bogor, 13 Januari 2006

Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing

Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng

Pembimbing Akademik II

Pembimbing Akademik I

14

Anak Agung Purnama. F34101036. Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula


Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih (Cleaner Production). Studi
kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat. Di
bawah bimbingan Anas Miftah Fauzi dan Suprihatin. 2006.

RINGKASAN
Gula yang dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officianarum L.) merupakan
salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) bagi masyarakat Indonesia. Data
Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kebutuhan ataupun konsumsi gula
masyarakat Indonesia mencapai 3,6 juta ton per tahun untuk sensus penduduk tahun
2000 yang berjumlah 206,3 juta jiwa (BPS, 2001). Namun, tingkat produksi yang
hanya mencapai 1,7 juta ton per tahun mengakibatkan kekurangan pasokan gula yang
ditutupi oleh impor gula sebesar 1,9-2,0 juta ton per tahun.
Di sisi lain, menurut penilaian KLH (2004), hampir seluruh pabrik gula di
Indonesia tergolong pada kategori merah (pelaksanaan atau upaya pengendalian
pencemaran lingkungan hidup belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana
diatur dalam peraturan yang berlaku) atau kategori hitam (tidak atau belum
melaksanakan upaya pengendalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup
yang berarti). Rendahnya kinerja lingkungan pabrik gula tersebut antara lain karena
belum adanya pendekatan pengelolaan lingkungan yang efektif, efisien dengan biaya
yang terjangkau.
Alternatif pendekatan pengelolaan lingkungan yang dapat memberikan manfaat
lingkungan sekaligus manfaat ekonomi adalah pendekatan produksi bersih, yaitu
suatu pendekatan pengelolaan lingkungan yang memprioritaskan reduksi limbah di
sumbernya, pemanfaatan limbah/hasil samping di lokasi pabrik (on-site),
pemanfaatan di luar pabrik (off-site), penanganan atau pengolahan secara efisien dan
pembuangan limbah secara benar.
Penelitian ini bertujuan sebagai salah satu pertimbangan dalam meningkatkan
kinerja produksi perusahaan melalui penggunaan teknik-teknik good house keeping,
reuse, recycling, reduction serta perbaikan ataupun peningkatan sistem operasi dan
prosedur kerja tanpa mencemari lingkungan.
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah metode Quick
Scan yang merupakan metode untuk menganalisis peluang penerapan konsep
produksi bersih dalam rangka mengefisienkan proses produksi.
Hasil identifikasi terhadap aliran proses, neraca bahan dan neraca energi
menunjukkan peluang penerapan konsep produksi bersih pada beberapa tahapan
proses pengolahan gula. Penghematan konsumsi air imbibisi sebesar 5 persen pada
proses penggilingan, diduga dapat meningkatkan konsentrasi nira mentah yang
dihasilkan dan mengurangi kadar air ampas dari 51 persen menjadi 50 persen.
Penurunan kadar air dalam ampas ini , menghemat penggunaan IDO (minyak solar)
sebesar 1.061.007,74 kg ( 1,1 juta liter) per tahun atau senilai Rp. 2,3 milyar per
tahun.
Penerapan konsep in-house keeping pada instalasi ketel uap berupa perbaikan
kebocoran pipa aliran uap, diduga mampu mereduksi kehilangan uap baru sebesar
11,7 persen atau sekitar 110,45 kg per ton tebu giling. Manajemen penggunaan air
pada beberapa tahapan proses juga memberikan manfaat ekonomi sebesar Rp.
7.840.000,- per tahun dengan biaya penerapan program produksi bersih sebesar Rp.
4.750.000,- berupa pemasangan level controller, sprayer dan instalasi pipa baru.

15

Anak Agung Purnama. F34101036. An Introduction to Cleaner Production


Approach for the Improvement of Cane Sugar Industry. A case study in PT. PG.
Rajawali II Unit PG. Jatitujuh Majalengka, West Java. Under supervision of Anas
Miftah Fauzi and Suprihatin. 2006.

SUMMARY
Sugar yielded from sugar cane crop ( Saccharum officinarum L.) is
representing one of the nine staple foods ( sembako) for Indonesian citizen. The
great amount of Indonesians sugar consumption was in contrast with the low
level of sugar production. In the year 2000, the amount had reached 3,6 million
ton per year while the level of production was only 1,7 million ton per year (BPS,
2001). Due to the insufficiency of sugar supply, sugar import which amounted to
1,9 2,0 million ton per year was undeniably occurred.
According to KLH assessment ( 2004), almost all sugar mills in Indonesia
pertained "red category" (execution or control for environmental pollution yet to
reach minimum conditions as arranged in regulation) or " black category" (do not
or yet to do meaningful effort in controlling environmental pollution or damage).
Cleaner production as an effective, efficient, and affordable approach is potential
to be implemented to deal with the low performance of sugar mills environmental
control. This approach is prioritizing on waste reduction in its source, waste usage
on-site and off-site, efficient waste treatment and proper waste disposal.
Research was designed to be as one consideration in improving production
performance in sugar mills through the use of good house keeping techniques,
reuse, recycling, and reduction and also the repair and or improvement of
operating system and work procedure without polluting the environment. Quick
Scan method was carried out to analyze the opportunity of implementing the
concept of cleaner production to obtain efficiency in production process.
Process flow, material and energy balance had shown that imbibitions water
thrift to 5 percent in the milling station is predicted to be able to improve the
concentration of raw juice from 7,54 percent to 9,67 percent polarization, and
lessen bagasse moisture from 51 percent to 50 percent, so that the use of IDO
(diesel oil) can be economized to 1.061.007,74 kg ( 1,1 million liter) per year or
for the price of Rp.2,3 billion per year. Based on this result, the concept of cleaner
production is potential to be applied at some sugar processing stages.
The repair of steam flow pipe leakage at boiler installation, as a part of inhouse keeping, was anticipated to be able to reduce steam loss equal to 11,7
percent or about 110,45 kg per ton of sugar cane. Water utilization management at
some process steps can also give economic benefit equal to Rp. 7.840.000,- per
year with implementation cost equal to Rp. 4.750.000,- for the installation of level
controller, sprayer and installation of new pipe. The research conducted has come
into a conclusion that cleaner production approach is possible to give
environmental benefit along with economic benefit for sugar mills.

16

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Kajian


Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan
Produksi Bersih (Cleaner Production) merupakan hasil karya asli saya sendiri,
dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas
ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Januari 2006


Yang Membuat Pernyataan,

ANAK AGUNG PURNAMA


F34101036

17

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Juli 1983


sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara, dari pasangan AA.
Gde Ngurah dan D. Rodiathi.
Penulis menempuh pendidikan di SDN Kotabatu 4 Bogor
(1989-1995), SLTPN 3 Bogor (1995-1998), dan SMUN 4
Bogor (1998-2001).
Pada akhir pendidikan di SLTA, penulis berkesempatan untuk mengikuti
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada Tahun 2001 penulis menjadi
mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam Himpunan Mahasiswa
Teknologi Industri (HIMALOGIN), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) KM IPB,
serta Forum Komunikasi Agroindustri (FORKIND).

Selain itu, penulis juga

pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Menggambar Teknik dan
sejak Tahun 2004 bergabung dengan Divisi Pengembangan Produk PT. San
Miguel Pure Foods Indonesia. Penulis melakukan Praktek Lapang di PTP
Nusantara VIII Kebun Gunung Mas dengan judul Teknologi Proses dan
Penerapan Produksi Bersih Pada Pengolahan Teh Hitam CTC. Penulis
mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul
Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi
Pendekatan Produksi Bersih, studi kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG.
Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat.

18

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT atas segala rahmat, hidayah dan karuniaNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Peningkatan Kinerja Industri
Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih (Cleaner
Production), Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh
Majalengka, Jawa Barat.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada :
1) Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng selaku dosen pembimbing I atas
dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan selama penulis kuliah di TIN.
2) Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing selaku dosen pembimbing II atas bimbingan,
arahan dan bantuan selama penelitian dan pembuatan skripsi.
3) Dr. Hj. Tatit K. Bunasor, M.Sc selaku dosen penguji, atas kritik dan
sarannya.
4) Aan Sukmana, BSc, Budi Haryanto, BSc serta seluruh staf dan karyawan
PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh atas ijin dan bantuannya selama
pelaksanaan penelitian ini.
5) Ibu, aa, teteh dan seluruh keluarga atas doa, dukungan moril maupun materil
yang telah diberikan.
6) Teman-teman atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya, yang akan
tersimpan selalu dalam hati.
Akhirnya, dengan berbagai kekurangan yang ada, maka segala kritik dan
saran sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi bagi semua pihak
yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2006

Penulis

19

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Kajian Peningkatan


Kinerja Industri Gula Tebu Melalui Introduksi Pendekatan Produksi Bersih
(Cleaner Production), Studi Kasus di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh
Majalengka, Jawa Barat tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada :
1. Staf Muda PT. PG. Jatitujuh : Kang Ajat, Nandang, Dadang, Dedi, Aan,
Waluyo, Chandra, Arif, atas seluruh bantuan yang telah diberikan.
2. Rizka dan West Life (Arya, Aye, Affan dan Kunang), atas doa, bantuan,
dukungan serta kebersamaannya selama ini.
3. New Sakinah Crew (Markas Besar TIN 38) : Ikund, Agus, Wanto, Wawan,
Slamet, Anas, Galih, Dhani, Ardi, Pupunk, Dicki, Azmidi, Chairil, Aji dan
Fathir atas bantuan, kebersamaan dan semangatnya.
4. Topan, Dhokek, Tulus, Chairul (SMUN 4) atas bantuan dan kerjasamanya.
5. Adik-adik TIN 39 : Indra, Ikhlas, Chandra, Ochie, atas bantuan dan
kerjasamanya.
6. Ferry, Linda, Sjri, Citra, Nia, Ajeng, Dewi, Wati , Yeni, Wiwin, Dian K,
Yuni Jom, Rahmi, QQ, atas motivasi, bantuan, serta masukan-masukan
yang sangat berharga.
7. Teman-teman TINers 38 yang telah memberikan persahabatan dan
kenangan yang indah.
.

Bogor, Januari 2006

Penulis

20

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii


DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

I.

II.

III.

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ..................................................................

B. TUJUAN .......................................................................................

TINJAUAN PUSTAKA
A. TEBU..............................................................................................

B. PRODUKSI BERSIH.....................................................................

BAHAN DAN METODE


A. KERANGKA PEMIKIRAN........................................................... 12
B. TATA LAKSANA ......................................................................... 13
1. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 13
2. Teknik Analisa Data................................................................. 13
C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN................................ 16

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN .......................................... 19
1. Sejarah Perusahaan................................................................... 19
2. Lokasi dan Tata Letak Perusahaan ........................................... 20
3. Keadaan Geografis ................................................................... 20
4. Struktur Organisasi .................................................................. 21
B. DESKRIPSI UMUM PROSES DAN PRODUK
1. Bahan Pembantu Proses Produksi ............................................ 22
2. Sarana Penunjang ..................................................................... 23
C. PROSES PRODUKSI
1. Stasiun Pendahuluan ................................................................ 26
2. Stasiun Gilingan ....................................................................... 28
3. Stasiun Pemurnian .................................................................... 29

21

4. Stasiun Penguapan ................................................................... 37


5. Stasiun Pemasakan ................................................................... 40
6. Stasiun Pengemasan ................................................................. 44
D. PEMBAHASAN
1. Penerapan Produksi Bersih ...................................................... 44
2. Potensi Limbah dan Pengelolaannya ....................................... 45
3. Peluang Penerapan Produksi Bersih ........................................ 47
a. Stasiun Boiler ..................................................................... 47
1) Optimalisasi penggunaan ampas ............................ 48
2) Peningkatan kontrol terhadap kinerja ketel uap ..... 51
3) Peluang konservasi energi uap ............................... 51
b. Stasiun Gilingan ................................................................. 55
c. Stasiun Penguapan ............................................................. 61
d. In-house keeping ................................................................ 62
V.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN ............................................................................. 64
B. SARAN ......................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 65
LAMPIRAN ........................................................................................ 68

22

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan nira tebu ........................................................................

Tabel 2. Komposisi nira mentah ....................................................................

Tabel 3. Komposisi bahan bukan gula dalam nira tebu .................................

23

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Skema umum proses pembuatan gula tebu ..................................

Gambar 2. Struktur kimia sukrosa .................................................................

Gambar 3. Teknik-teknik produksi bersih ..................................................... 11


Gambar 4. Diagram alir penerapan produksi bersih dengan metode
Quick Scan ................................................................................... 17
Gambar 5. Diagram alir penelitian ................................................................. 18
Gambar 6. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun gilingan .... 46
Gambar 7. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun penguapan. 47
Gambar 8. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun boiler........ 50
Gambar 9. Skema peluang konservasi energi uap ......................................... 52
Gambar 10. Diagram ditribusi penggunaan uap di PG. Jatitujuh .................... 54
Gambar 11. Neraca massa di stasiun gilingan (kondisi 1) ............................... 56
Gambar 12. Neraca massa di stasiun gilingan (kondisi 2) ............................... 57
Gambar 13. Konstruksi pipa air imbibisi di gilingan 3 dan gilingan 4 ............ 60
Gambar 14. Skema peluang penerapan in-house keeping................................ 63

24

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Struktur organisasi PT. PG Rajawali II Unit PG. Jatitujuh ....... 69
Lampiran 2. Evaluasi giling PG. Jatitujuh Tahun 2002-2004........................ 70
Lampiran 3. Diagram proses pengolahan gula di PG. Jatitujuh ..................... 71
Lampiran 4. Analisis neraca massa, pol dan brix di stasiun gilingan ............ 72
Lampiran 5. Data pengawasan pabrik ............................................................ 80
Lampiran 6. Perhitungan konsumsi uap di pabrik ......................................... 81
Lampiran 7. Perhitungan penghematan penggunaan IDO melalui penurunan
kadar air dalam ampas ............................................................... 85
Lampiran 8. Perhitungan penghematan energi penguapan ............................ 88
Lampiran 9. Perhitungan penghematan penggunaan air ................................ 89
Lampiran 10. Peluang efisiensi proses melalui penerapan produksi bersih
di PG. Jatitujuh .......................................................................... 90
Lampiran 11. Mesin dan alat produksi pengolahan gula di PG. Jatitujuh ....... 92
Lampiran 12. Penentuan polarisasi dan brix .................................................... 98
Lampiran 13 Dokumentasi penelitian ............................................................. 100

25

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu negara agraris, perekonomian Indonesia banyak
dipengaruhi oleh perdagangan produk hasil-hasil pertanian, baik itu sebagai
bahan baku ataupun produk jadi. Salah satu dari hasil-hasil pertanian itu
adalah gula.
Gula yang dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officianarum L.)
merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) bagi
masyarakat Indonesia. Untuk itu, ketersediaan gula dalam jumlah yang
mencukupi di seluruh pelosok tanah air dengan harga yang terjangkau oleh
daya beli masyarakat menjadi impian bagi setiap masyarakat Indonesia.
Dari data yang diperoleh, kebutuhan gula Indonesia terus meningkat
seiring dengan bertambahnya populasi penduduk. Data Biro Pusat Statistik
(BPS) untuk sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan angka 206,3 juta
jiwa (BPS, 2001), sedangkan angka kebutuhan ataupun konsumsi gula
masyarakat Indonesia mencapai 3,6 juta ton per tahun.
Namun, hal ini tidak diimbangi dengan tingkat produksi gula nasional
per tahun. Perkembangan tingkat produksi gula malah semakin menurun
dari tahun ke tahun. Tingkat produksi yang hanya mencapai 1,7 juta ton per
tahun mengakibatkan kekurangan pasokan gula yang ditutupi oleh impor
gula dari negara lain sebesar 1,9-2,0 juta ton per tahun
Penurunan produksi ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah
penurunan luas areal perkebunan tebu dan biaya produksi yang masih tinggi.
Biaya produksi gula sebagian besar pabrik gula di Jawa terlalu tinggi. Ratarata biaya produksinya adalah sebesar Rp. 1.100/Kg, sementara di luar Jawa
dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) memiliki biaya produksi sebesar
Rp. 500-Rp.600/Kg dan sebagai pembanding, Thailand juga memiliki biaya
produksi sekitar Rp.600/kg (Prabowo, 1996 di dalam anonim Bulog, 1997).
Selain itu, kondisi pabrik gula di Jawa yang sudah tua mengakibatkan
tingkat rendemen gula tebu rendah dengan biaya pengolahan yang tinggi,
ditambah lagi tingginya biaya eksploitasi serta kesulitan manajemen

26

pengaturan waktu tebang, angkut dan giling akibat lokasi kebun yang
terpencar-pencar sekarang ini.
Di sisi lain, menurut penilaian KLH (2004), hampir seluruh pabrik gula
di Indonesia tergolong pada kategori merah (pelaksanaan atau upaya
pengendalian pencemaran lingkungan hidup belum mencapai persyaratan
minimum sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku) atau kategori
hitam (tidak atau belum melaksanakan upaya pengendalian pencemaran
atau kerusakan lingkungan hidup yang berarti). Rendahnya kinerja
lingkungan pabrik gula tersebut antara lain karena belum adanya pendekatan
pengelolaan lingkungan yang efektif, efisien dengan biaya yang terjangkau.
Alternatif pendekatan pengelolaan lingkungan yang dapat memberikan
manfaat lingkungan sekaligus manfaat ekonomi adalah pendekatan produksi
bersih,

yaitu

suatu

pendekatan

pengelolaan

lingkungan

yang

memprioritaskan reduksi limbah di sumbernya, pemanfaatan limbah/hasil


samping di lokasi pabrik (on-site), pemanfaatan di luar pabrik (off-site),
penanganan atau pengolahan secara efisien dan pembuangan limbah secara
benar.
Oleh karena itu, melalui pendekatan pilihan-pilihan produksi bersih
yang memperhatikan berbagai aspek (teknis, ekonomis dan lingkungan serta
potensi peningkatan kinerja yang dapat dicapai), diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas serta efisiensi produksi industri gula sekaligus
memberikan nilai tambah bagi pengelolaan lingkungan.

B. TUJUAN
Tujuan

dari

penelitian

ini

adalah

mengkaji

peluang

untuk

meningkatkan kinerja produksi perusahaan melalui penggunaan teknikteknik good house keeping, reuse, recycling, reduction serta perbaikan
ataupun peningkatan sistem operasi dan prosedur kerja.

27

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. TEBU
Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan
semusim yang di dalam batangnya terdapat gula dan merupakan keluarga
rumput-rumputan (graminae) seperti halnya padi, jagung dan bambu. Jenis
tanaman tebu yang telah dikenal, seperti POJ-3016, POJ-2878 dan POJ-2976,
pada umumnya merupakan hasil pemuliaan antara tebu liar (Saccharum
spontaneum atau glagah) dan tebu tanam (Saccharum oficinarum) atau hasil
berbagai jenis tebu tanam.
Klasifikasi botani tanaman tebu adalah sebagai berikut,
Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledonae

Famili

: Poeceae

Genus

: Saccharum

Spesies

: Saccharum oficinarum

Tebu dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi yang tidak
lebih dari 1400 meter di atas permukaan laut. Tanaman tebu membutuhkan
curah hujan yang tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif. Curah hujan yang
tinggi setelah fase vegetatif akan menurunkan rendemen gula. Batang tebu
mengandung serat dan kulit batang (12,5 %), dan nira yang terdiri dari air,
gula, mineral dan bahan-bahan non gula lainnya (87,5 %) (Anonim, 1992).
Purwono (2003) menjelaskan bahwa tujuan utama penanaman tebu adalah
untuk memperoleh hasil hablur yang tinggi. Hablur adalah gula sukrosa yang
dikristalkan. Dalam sistem produksi gula, pembentukan gula terjadi di dalam
proses metabolisme tanaman dan proses ini terjadi di lapangan (on farm).
Pabrik gula berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari
batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal.
Hablur yang dihasilkan mencerminkan rendemen tebu. Dalam prosesnya,
ternyata rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan
tanaman dan proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen

28

yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat.
Namun sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik sebagai sarana pengolahan tidak
baik, hablur yang didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada
di batang (Purwono, 2003).

TEBU

PENGGILINGAN

AMPAS
(BAGASSE)

NIRA MENTAH
PEMURNIAN

BLOTONG
(FILTER CAKE)

NIRA JERNIH
KEHILANGAN
GULA

PEMASAKAN
NIRA KENTAL
KRISTALISASI

TETES
(MOLASSES)

GULA PASIR

Gambar 1. Skema umum proses pembuatan gula tebu (Purwono, 2003)


Tebu yang telah ditebang harus sesegera mungkin diangkut ke pabrik
untuk digiling dalam waktu 24 jam. Apabila lebih lama ditahan, kualitas nira
akan menurun karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi penguraian
sukrosa yang dapat menurunkan kandungan gulanya. Nira merupakan cairan
yang keluar dari batang tebu (Moerdokusumo, 1993).
Nira tebu merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu : (i) air
(77 88%), (ii) sukrosa (8 21%), (iii) gula reduksi (0.3 3%), (iv) zat
anorganik

(0.2 0.6%), dan (v) zat organik (0.50 1%). Berdasarkan sifat

29

kimia dan fisikanya, komponen nira tebu dapat digolongkan seperti terlihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nira Tebu
Jenis Bahan
Bahan kasar yang terdispersi : tanah,
ampas tebu (serat)
Bahan koloid : butir tanah, tannin, dan zat
warna

(klorophil,

anthocyanin,

saccharetin, dan tannin)


Molekul dan ion yang terdispersi : sukrosa
dan unsur yang terdapat dalam abu.
Air

Ukuran (mm)

Jumlah (%)

0.0001

0.00010.000001

0.05-0.30

0.000001

8-21

<<<< 0.000001

77-88

Sumber : Goutara dan Soesarsono (1985)

Kandungan utama dari nira tebu adalah sukrosa, terdapat dalam nira tebu
sebanyak 8 21 % dari jumlah nira tebu. Sukrosa atau gula merupakan
disakarida dengan rumus kimia C12H22O11. Sukrosa ditemukan dalam bentuk
bebas (tidak berikatan dengan senyawa lain) di dalam tanaman, umumnya
tanaman tebu (Saccharum officinarum) dan bit (Beta vulgaris) (Paryanto,
1999).
Gula tebu (cane sugar) merupakan nama lain non teknik untuk sukrosa.
Sukrosa dapat dihidrolisis oleh asam encer menjadi glukosa (dextrose) dan
fruktosa (Lvulose). Campuran keduanya disebut gula invert (Lyle, 1957).
Sukrosa dapat mengalami degradasi dengan asam sulfat pekat yang
menghasilkan gula batubara (sugar charcoal). Sukrosa termasuk gula non
reduksi, sehingga tidak mereduksi larutan Fehling menjadi Cu(I)O atau larutan
perak nitrat menjadi perak. Sukrosa tersusun dari dua molekul monosakarida,
yaitu glukosa dan fruktosa (Gambar 2).

30

Gambar 2. Struktur kimia sukrosa (Anonim, 1992).


Sukrosa mudah larut dalam air. Daya larutnya dipengaruhi oleh suhu, zat
lain yang terlarut dalam air serta sifat zat tersebut. Makin tinggi suhu dan
garam dalam air, makin tinggi jumlah sukrosa yang larut. Berdasarkan hal ini,
kelarutan sukrosa dalam nira tebu tidak saja dipengaruhi oleh suhu, melainkan
bergantung juga dari kemurnian dan sifat bukan bahan sukrosa (Paryanto,
1999).
Tabel 2. Komposisi Nira Mentah.
No.

Komponen

1.

Air

77-80

2.

Sukrosa

11-15

3.

Gula Reduksi

0.3-3.0

4.

Garam-garam anorganik

0.3-0.6

5.

Zat-zat organik selain gula :

6.

Protein rantai panjang (albumin)

0.070

Protein sederhana (albuminosa dan peptosa)

0.020

Asam-asam amino

0.015

Beberapa asam dan amida

0.155

Asam organik (akonit, asam oksalat, dll)

0.170

Zat warna (klorofil, tannin, antosianin dan sakaretin)

0.170

Lilin, lemak dan sabun

0.170

Karbohidrat (hemiselulosa, dll)

0.025

Pektin

0.015

Lain-lain

1.100

Sumber : Gehlawat (1996)

31

1. Sifat-Sifat Nira Tebu


Nira tebu dalam keadaan segar terasa manis, berwarna coklat kehijauhijauan dengan pH 5.5-6.0 (Ananta et al., 1990). Warna coklat timbul akibat
reaksi enzimatis polifenol. Adapun komposisi nira tebu dapat dilihat pada
Tabel 2. Nira yang bermutu tinggi mempunyai kadar gula pereduksi (glukosa
dan fruktosa) yang rendah. Selain komponen gula, terdapat beberapa
komponen lain yang berada dalam nira tebu (Tabel 3).
Tabel 3. Komposisi Bahan Bukan Gula dalam Nira Tebu
No.
1.

2.

3.

Komponen
Karbohidrat (selain gula) :
-Hemiselulosa

8.5

-Pektin

1.5

Senyawa nitrogen organik :


-Protein tinggi (albumin)

7.0

-Protein sederhana (albuminose dan peptose)

2.0

-Asam amino (glisin, asam aspartat)

9.5

-Asam amida (asparagin, glutamin)

15.5

Asam organik (selain asam amino) :


Akonitat, oksalat, suksinat, glikolat dan malat

4.

13.0

Zat warna :
Klorofil, antosianin, sakaretin, tannin

17.0

5.

Lilin, lemak dan sabun

7.0

Garam anorganik :

7.

fosfat, klorida, sulfat, nitrat dari Na, K, Ca, Mg dan Fe

7.0

Silika

2.0

Sumber : Payne (1953)

2. Kerusakan Nira
Nira merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak akibat
kontaminasi mikroba. Kerusakan nira sebenarnya sudah dimulai sejak awal
produksi. Infeksi mikroba ke dalam nira terjadi akibat kontak antara batang

32

tebu dengan pisau atau tanah (Mochtar dan Ananta, 1988). Mikroba yang
terbanyak menyerang tebu potongan adalah Leuconostoc mesenteroides yang
berasal dari tanah.
Kerusakan nira ditandai dengan rasa yang asam, berbuih putih dan
berlendir. Kerusakan ini terjadi karena aktivitas mikroorganisme terhadap
kandungan sukrosa nira (Dachlan, 1984), sedangkan menurut Mochtar (1994),
kerusakan nira (sukrosa), baik sebelum dan sesudah diolah sangat tergantung
pada pH nira dan suhu pemurnian nira. Pada pH yang rendah sukrosa akan
rusak, yaitu akan terinversi menjadi gula invert.
Inversi adalah pemecahan sukrosa menjadi gula invert yang terdiri dari
glukosa dan fruktosa dalam perbandingan yang sama.
C12H22O11 + H2O

C6H12O6 + C6H12O6

Sukrosa

glukosa

fruktosa.

Gula invert ini selanjutnya akan terfermentasi dan terbentuk etanol.


C6H12O6 + Saccharomyces ellipsoides
Glukosa/fruktosa

2C2H5OH + CO2
etanol

Etanol kemudian mengalami proses oksidasi oleh bakteri Acetobacter


aceti menjadi asam asetat.
C2H5OH + Acetobacter aceti

CH3COOH + H2O

Etanol

asam asetat

Hal ini akan menyebabkan kadar gula menurun dan kadar asam
meningkat sehingga pH cenderung menurun (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Selain komponen gula dan asam organik, terdapat komponen lain dalam nira
yang mempengaruhi proses pembuatan gula. Dalam proses pemurnian nira,
komponen tersebut perlu dihilangkan, karena komponen-komponen tersebut
dapat mempengaruhi proses pengkristalan serta produk yang dihasilkan,
misalnya warna gula yang merah.
Ramjeawon

(2000),

menjelaskan

bahwa

industri

gula

memiliki

karakteristik sebagai berikut: mengkonsumsi air dalam jumlah besar,


menghasilkan limbah cair dengan kandungan bahan organik tinggi (BOD5 :
60-2000 mg/L), menghasilkan sejumlah besar sludge dan limbah padat dan
menghasilkan emisi gas tercemar. Masalah lingkungan industri gula nasional

33

terkait dengan limbah cair, limbah padat dan emisi gas. Hampir seluruh bagian
dari proses produksi gula berkontribusi terhadap produksi limbah. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah atau hasil samping dari pabrik
gula berpotensi untuk direduksi, termasuk reduksi konsumsi air dan energi,
pemakaian bahan tambahan, produksi limbah dan penurunan biaya pengolahan
limbah.

B. PRODUKSI BERSIH
Produksi bersih merupakan upaya pelaksanaan strategi pengelolaan
lingkungan yang terpadu dan berkesinambungan terhadap proses dan produk
untuk mengurangi resiko pada manusia dan lingkungan. Pada proses produksi,
produksi bersih berhubungan dengan konservasi bahan mentah dan energi,
pengurangan bahan berbahaya dan reduksi jumlah dan toksisitas dari semua
emisi dan limbah sebelum keluar dari proses. Pada produk, strategi produksi
bersih difokuskan pada reduksi dampak sepanjang siklus hidup produk, dari
ekstraksi bahan mentah sampai ke pembuangan akhir dari produk (Hammer,
1996).
Produksi bersih menggambarkan pendekatan baru terhadap permasalahan
produksi yang meliputi proses produksi, daur produksi dan pola konsumsi,
yang memungkinkan kebutuhan dasar manusia terpenuhi tanpa mengganggu
atau merusak lingkungan (Boyle, 1999).
Tujuan dari produksi bersih adalah untuk mengurangi tingkat emisi yang
mencemari dan mengurangi produksi limbah pada sumbernya sekaligus
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, energi dan utilitas (USAID,
1997). Pauli (1997) menyatakan, produksi bersih sering dikaitkan dengan
berbagai inovasi teknologi, termasuk upaya pencegahan terpadu, pengendalian
pencemaran dan bahkan remediasi serta clean up. Namun, akan lebih tepat
jika produksi bersih diartikan sebagai pendekatan operasional ke arah
pengembangan sistem produksi dan konsumsi yang dilandasi suatu
pendekatan pencegahan untuk perlindungan lingkungan. Tujuan akhir dari
produksi bersih adalah nir limbah (zero waste). Pendekatan ini akan

34

menggeser pengendalian pencemaran menuju paradigma baru, yaitu


pencegahan pencemaran yang selanjutnya dijadikan standar industri.
Menurut USAID (1997), metode produksi bersih merupakan suatu
pendekatan yang mengarah pada peningkatan efisiensi proses produksi,
penggunaan teknik-teknik daur ulang dan pakai ulang, kemungkinan subtitusi
bahan baku dengan lebih ekonomis dan tidak berbahaya serta perbaikan atau
peningkatan sistem operasi dan prosedur kerja. Tujuan dari produksi bersih
adalah mengurangi tingkat emisi yang mencemari dan mengurangi produksi
limbah pada sumbernya yang sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan
bahan baku, energi dan utilitas.
Pada proses produksi, produksi bersih memberikan beberapa pilihan yang
dapat dilakukan untuk mereduksi limbah. Pilihan-pilihan itu adalah
pengubahan bahan, pengubahan teknologi, good-operating practise/goodhouse keeping, pengubahan produk, reuse serta recycling (UNEP, 2004).
Van Berkel et al. (1997) mengemukakan bahwa peningkatan efisiensi
proses produk, daur ulang dan pola konsumsi yang berkaitan dengan
penggunaan energi dan bahan merupakan kunci pertama dalam operasional
konsep produksi bersih.
Dalam produksi bersih, peningkatan efisiensi dapat berupa inhousekeeping yang baik, seperti mencegah tumpahan atau kebocoran serta
manajemen bahan yang lebih sempurna. Selain itu, ada kalanya teknologi
proses perlu dikaji ulang, sehingga tercapai efisiensi bahan dan energi dalam
proses produksi. Efisiensi produksi dapat ditingkatkan melalui penerapan
prinsip-prinsip reuse dan recycling dalam daur ulang produk. Air yang telah
dipakai dalam unit proses tertentu, masih dapat dimanfaatkan dalam unit
proses lainnya. Mengingat air maupun peralatan pengolah limbah semakin
mahal, maka air buangan yang dipakai ulang lebih murah jika dibandingkan
dengan mengolah limbah cair lalu dibuang ke sungai (Erningpraja, 2001).
Empat cara untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan produk bekas, yaitu
: 1) Reuse : memperpanjang pemanfaatan produk bekas melalui upaya
pembersihan, pencucian atau sterilisasi, 2) Repair : memperbaiki barang dan
alat yang mengalami kerusakan, tidak berfungsi atau kinerjanya kurang, 3)

35

Reconditioning atau remanufacturing : memulihkan produk ke kondisi


primanya melalui penggantian komponen tertentu, 4) Recycling : mendaur
ulang produk bekas sebagai masukan pada proses produksi tertentu
(Erningpraja, 2001).
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penerapan produksi bersih ini
adalah (1) Pengurangan biaya operasi, (2) Peningkatan mutu produk, (3)
penghematan bahan baku, (4) Peningkatan keselamatan kerja, (5) Perbaikan
kesehatan umum dan lingkungan hidup, (6) Penilaian konsumen menjadi
positif dan (7) Pengurangan biaya penanganan limbah (USAID, 1997).
Teknologi produksi bersih merupakan gabungan teknik pengurangan
limbah pada sumber pencemar (source reduction) dan teknik daur ulang
(USAID, 1997) yang secara ringkas diperlihatkan pada Gambar 3 .

Gambar 3. Teknik-teknik produksi bersih (USAID, 1997)

36

III.

METODOLOGI

Dalam upaya memformulasikan strategi peningkatan kinerja produksi


perusahaan yang dapat dilakukan setelah menentukan topik dan tujuan
penelitian serta mengidentifikasi variabel-variabel yang diperlukan, maka hal
pertama yang dilakukan adalah mengukur kinerja produksi perusahaan.
Pengukuran kinerja ini sangat diperlukan untuk mengetahui kesesuaian antara
pencapaian hasil dengan tujuan yang direncanakan.
Aspek-aspek tersebut dikaji dengan menggunakan beberapa pendekatan
yang mengacu pada efisiensi produksi dalam meningkatkan produktivitas
perusahan.
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan. Pada penelitian ini, pengumpulan data
dilaksanakan dengan metode survei dan wawancara dengan pihak-pihak
terkait dengan penelitian. Pengambilan data sekunder dilakukan melalui studi
literature, berupa tulisan-tulisan, referensi, laporan, administrasi perusahaan
dan sumber-sumber lain yang dapat menunjang penelitian.

A. KERANGKA PEMIKIRAN
Biaya produksi, biaya penanganan dan biaya lainnya yang terkait
dengan biaya produksi yang tinggi, merupakan masalah yang sering
dihadapi oleh suatu industri. Dengan meminimalkan biaya-biaya tersebut,
melalui pendekatan penerapan konsep produksi bersih, diharapkan akan
menghasilkan penghematan biaya yang cukup besar pada masa yang akan
datang.
Selain itu, dari segi efisiensi proses, penerapan konsep produksi bersih
diharapkan mampu meningkatkan efisiensi produksi melalui konsep reuse
dan recycling serta menambah nilai kepedulian perusahaan terhadap
lingkungan. Dengan kata lain, penerapan konsep produksi bersih ini, akan
memberikan manfaat ekonomi sekaligus manfaat lingkungan.

37

B. TATA LAKSANA
1. Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh melalui tahapan sebagai berikut :
a. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan kegiatan pengumpulan data
sekunder yang berkaitan dengan kegiatan produksi di industri
gula seperti kapasitas dan proses produksi, jumlah mesin,
layout pabrik serta telaah pustaka yang relevan.
b. Tahap Pengumpulan Data Lapangan
Data ini diperoleh dengan melakukan pengamatan secara
langsung kegiatan proses produksi serta aspek-aspek yang
menunjang. Selain itu, dilakukan wawancara dengan pihakpihak yang berkaitan dengan topik penelitian guna menunjang
data yang didapatkan.

2. Teknik Analisis Data


Berdasarkan

data

yang

telah

didapat,

dilakukan

analisis

permasalahan utama pada proses produksi yang perlu mendapat


perhatian dan pembahasan secara khusus. Setelah itu, identifikasi
tahapan proses yang dapat diefisienkan serta altenatif pilihan
penerapan produksi bersih berdasarkan masalah yang dihadapi
sehingga diperoleh suatu proses modifikasi sebagai usulan kepada
pihak perusahaan. Setelah itu, dilakukan analisis finansial.
Dalam analisis finansial, dikaji keuntungan dari investasi atau
penghematan yang dapat dilakukan dari penerapan konsep produksi
bersih dengan analisis Pay Back Period serta keuntungan atau manfaat
penerapan produksi bersih tersebut terhadap lingkungan.
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah
metode Quick Scan yang merupakan metode untuk menganalisis
peluang

penerapan

konsep

produksi

bersih

dalam

rangka

mengefisienkan proses produksi. Metode quick scan merupakan


metode yang digunakan untuk mengaudit peluang ataupun penerapan

38

produksi bersih melalui analisis neraca massa dan neraca energi. Dari
analisis ini, diharapkan dapat diidentifikasi input dan output dari setiap
tahapan proses serta seberapa besar kehilangan (losses) yang timbul
akibat tahapan proses produksi yang kurang efektif dan efisien.
Metode ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pendugaan awal, tahap
analisis melalui neraca bahan dan tahap sintesis atau implementasi.
Secara umum metode ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Langkah-langkah

pendekatan

yang

dapat

dilakukan

untuk

mengimplementasikan Produksi Bersih (United Nation Environment


Programme Industry and Environment, 1995) adalah :
a. Langkah Pendahuluan
1) Pembentukan tim
Tim yang dibentuk untuk melakukan penerapan produksi bersih
sebaiknya terdiri dari tiga orang yang memiliki fungsi kerja yang
berbeda dan dari tingkat hirarki struktur organisasi yang berbeda.
Tim ini harus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
cukup tentang produksi bersih.
2) Penyusunan daftar tahapan proses dan identifikasi alur limbah
Tim yang telah dibentuk diharuskan untuk menyusun daftar
proses penting yang dilakukan. Tim ini harus mengidentifikasi
input dan output yang dihasilkan dari suatu proses.
b. Analisis Tahapan Proses
1) Siapkan diagram alir proses
Persiapan diagram proses yang lengkap merupakan kunci utama
dalam analisis produksi bersih. Diagram ini merupakan gambaran
dari proses produksi yang memperlihatkan tahapan proses dan
sumber-sumber penghasil limbah dan emisi.
2) Penyusunan neraca massa
Neraca massa merupakan hal penting dalam implementasi
produksi bersih karena dari neraca massa dapat diketahui jumlah
emisi atau material dan energi yang hilang selama proses.

39

3) Karakterisasi limbah
Komponen

kunci dari penilaian

produksi bersih

adalah

mengkarakterisasi limbah yang dihasilkan dan faktor yang


memberikan metode dan biaya untuk penanganan limbah.
4) Penilaian nilai ekonomi yang dihasilkan
Untuk menilai potensi ekonomi dari limbah yang dihasilkan,
maka limbah tersebut harus dinilai dengan uang.
5) Telaah (review) terhadap proses untuk mengidentifikasi penyebab
limbah
c. Penilaian Peluang-Peluang Implementasi Produksi Bersih
d. Pemilihan Solusi Produksi Bersih yang akan diterapkan
1) Kelayakan teknis
Evaluasi teknis yang dilakukan untuk menentukan pilihan solusi
produksi bersih yang akan diterapkan, seringkali didahului
dengan

pengujian dampak yang dilakukan

dengan

cara

pengukuran terhadap proses, produk, kecepatan produksi dan


keamanan serta keselamatan.
2) Kelayakan ekonomi
Kelayakan ekonomi sering menjadi parameter kunci dalam
penentuan apakah solusi produksi bersih yang ditawarkan akan
diterima atau ditolak oleh pihak manajemen. Analisis ekonomi
dapat

dilakukan

dengan

menggunakan

bermacam-macam

metode, seperti payback period, internal of return, net present


value dan lain-lain.
3) Dampak lingkungan
Solusi produksi bersih yang ditawarkan harus dinilai dampaknya
terhadap lingkungan. Dalam banyak kasus, dampak positif
terhadap lingkungan yang terjadi adalah pengurangan kadar racun
dan atau jumlah limbah yang dihasilkan,
e. Implementasi Solusi Produksi Bersih
f. Pemeliharaan Produksi Bersih yang telah diterapkan

40

C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN


Penelitian Kajian Peningkatan Kinerja Industri Gula Melalui Introduksi
Penerapan Produksi Bersih ini dilakukan mulai awal Mei sampai dengan
awal Juni 2005. Lokasi penelitian adalah PT. PG Rajawali II Unit PG.
Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat. Diagram alir penelitian dijelaskan secara
ringkas pada gambar 5.

41

Gambar 4. Diagram alir penerapan produksi bersih dengan metode Quick Scan
(USAID, 1997).

42

Pustaka yang
relevan

Mulai

Persiapan

Pengumpulan data lapangan

Data/informasi :
Quick scan

Analisa permasalahan utama

Identifikasi tahapan proses yang dapat diefisienkan

Penyusunan alternatif penerapan produksi bersih

Analisa alternatif terpilih

Analisa finansial

Tidak
Layak ?
Ya
Rekomendasi

Selesai

Gambar 5. Diagram alir penelitian

43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN


1. Sejarah Perusahaan
Pada tahun 1971, pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dengan
Bank dunia membentuk suatu forum yang dinamakan Indonesia Sugar
Study (ISS). Langkah ini dilakukan dalam rangka usaha meningkatkan
kembali produksi gula dalam negeri. Salah satu program kegiatan yang
dilakukan adalah mencari areal baru yang berorientasi pada lahan kering
untuk mendirikan pabrik gula baru. Program kegiatan ini dilakukan pada
tahun 1972 di seluruh wilayah Indonesia.
Produksi gula dalam negeri yang merosot beberapa tahun yang lalu
memicu pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam beberapa
hal. Diantaranya adalah perbaikan sistem pengelolaan pabrik (pabrik gula
yang ada) dan pendirian pabrik gula yang baru. Perbaikan ini dilakukan
dalam rangka meningkatkan produksi gula sehingga dapat memenuhi
kebutuhan gula dalam negeri.
Sebagai tindak lanjut dari pencarian area tersebut, menteri pertanian
mengeluarkan SK. No. 795/Mentan/VI/1975. Surat keputusan ini
dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 1975 tentang izin prinsip pendirian pabrik
gula Jatitujuh sebagai salah satu proyek pabrik gula. Proyek ini dikelola
oleh PNP XIV yang berada di Propinsi Jawa Barat di areal kehutanan Jati
Munggul, Cibenda, Kerticala dan Jatitujuh. Sesuai SK pembebasan areal
yaitu SK menteri pertanian No. 481/Kpts/UM 76 yang dikeluarkan
Tanggal 9 Agustus 1976.
Satu tahun kemudian tepatnya tanggal 1 November 1977 pengelolaan
proyek Jatitujuh beralih ke Staf bantuan Menteri (SBM). Pengalihan
pengelolaan proyek ini didasarkan pada SK menteri pertanian

No.

654/KPT/ORG/10/1977.
Pada tanggal 5 September 1980, Presiden Soeharto meresmikan PG.
Jatitujuh dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1981 PNP
XIV berubah statusnya menjadi PT. Perkebunan XIV (persero). Peraturan

44

pemerintah ini dikeluarkan pada Tanggal 1 April 1981. PG. Jatitujuh


akhirnya menjadi salah satu pabrik gula yang bernaung di bawah PTP XIV
(persero).
Selama bernaung di bawah PTP XIV, PG. Jatitujuh belum pernah
memperoleh laba sehingga terjadi krisis finansial yang cukup berat. Dalam
rangka menyehatkan usahanya, maka PG. Jatitujuh diserahkan kepada
PT. Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI). Penyerahan ini dilakukan
berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/013/1988 pada tanggal
30 Desember 1988. PT. RNI merupakan BUMN yang berada di bawah
Departemen Keuangan.

2. Lokasi dan Tata Letak Perusahaan


Pabrik Gula. Jatitujuh terletak di Desa Sumber, Kecamatan Jatitujuh,
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Dari Cirebon berjarak 77 km
sedangkan dari Jatibarang berjarak 20 km dan dari Indramayu 32 km.
Luas area PG. Jatitujuh 13.000 hektar. Areal pabrik yang termasuk ke
dalam Kabupaten Indramayu sekitar 7000 hektar dan yang masuk ke
Kabupaten Majalengka 5000 hektar.
Lokasi ini selain digunakan untuk lahan perkebunan, pabrik dan
perkantoran juga digunakan untuk penyediaan beberapa sarana, yaitu
tempat penampungan air, komplek perumahan staff dan karyawan, jalan
untuk mengontrol area perkebunan maupun jalan

untuk menuju

perumahan dan pabrik pakan ternak. Selain itu, disediakan sarana


penunjang lainnya yaitu Mesjid At-Taubah, Gedung serba guna Graha
Sasana Karsa, taman kanak-kanak, poliklinik, lapangan sepak bola,
lapangan volly, lapangan tenis, kantin, koperasi karyawan, fotokopi dan
kios telepon.

3. Keadaan Geografis
PG. Jatitujuh dibangun di atas areal hutan. Keadaan vegetasi awal
terdiri dari jenis kayu johar, kayu jati dan kayu sonokeling. Areal ini juga
ditumbuhi semak belukar dan padang ilalang. Pada musim penghujan ada

45

beberapa bagian dari hutan tersebut yang digunakan untuk menanam padi
dan palawija.
PG. Jatitujuh terletak pada garis bujur timur : 1080 6 33- 1080 6 24,
garis lintang 60 31 2- 60 36 40 dengan curah hujan yang cukup tinggi
per tahunnya, sehingga keadaan ini cocok untuk tanaman tebu yang
memerlukan tanah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Hanya
dengan mengandalkan air hujan sehingga tidak mengganggu pengairan
untuk tanaman padi.
Berdasarkan data curah hujan dari mulai tahun 1989-1998 diketahui
bahwa jumlah curah hujan tahunan berkisar antara 730mm/tahun-2613
mm/tahun. Bulan basah tahunan selama sepuluh tahun itu adalah 4-8 bulan
sedangkan bulan keringnya 4-6 bulan. Suhu udara menunjukkan suhu
maksimum berkisar antara 29,7 oC 35 oC sedangkan suhu minimumnya
adalah antara 21,6 oC 24,6 oC. Kelembaban udara tahunannya berkisar
antara 71,1-85,3 persen.
Jenis tanah yang dimiliki areal perkebunan PG. Jatitujuh adalah tanah
liat, sehingga menghambat proses penyerapan air oleh tanaman tebu. Oleh
karena itu, dibuat drainase pada setiap petak kebun. Topografi tanahnya
landai dan bergelombang dengan ketinggian tanah 30-50 meter di atas
permukaan air laut. Kandungan unsur-unsur kimia seperti nitrogen,
phospat dan lainnya pada tanah tersebut rendah.

4. Struktur Organisasi
Unit PG. Jatitujuh dipimpin oleh seorang administratur dan dibantu
oleh empat kepala bagian, yaitu kepala bagian tanaman, instalasi, pabrikasi
dan TUK (Tata Usaha Kantor). Sejak Tanggal 2 Januari 1998 ditambah
oleh kepala bagian pakan ternak. Sesuai edaran dari RNI Holding istilah
dalam struktur organisasi mengalami perubahan menjadi general manager,
plantation manager, engineering manager, processing manager dan
financial and administration manager. Struktur organisasi dilampirkan
pada Lampiran 1.

46

B.

DESKRIPSI UMUM PROSES DAN PRODUK


1. Bahan Pembantu Proses Produksi
a. Kapur tohor
Kapur tohor yang digunakan untuk proses produksi adalah berupa
susu kapur dalam bentuk suspensi dengan kekentalan 6 oBe. Susu kapur
yang digunakan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Mempunyai pengaruh dalam pemurnian atau pembersihan nira atau
dengan kata lain susu kapur tersebut harus mudah bereaksi dengan
komponen-komponen nira sehingga dapat membentuk garam yang
mudah mengendap.
2) Kandungan atau kadar CaO lebih dari 82 persen.
3) Mudah diperoleh dan harganya murah.
Fungsi dari susu kapur ini dalam proses produksi adalah sebagai
bahan untuk pemurnian nira mentah, penetral asam sekaligus sebagai
desinfektan agar mikroorganisme yang ada dalam nira menjadi mati.

b. Flokulan
Bahan ini digunakan untuk membantu proses pemurnian pada proses
produksi dan digunakan juga pada stasiun penjernihan air. Dengan
adanya flokulan, kotoran-kotoran yang berupa partikel-partikel kecil
yang melayang di dalam nira dapat menggumpal dan lebih cepat
mengendap. Flokulan yang digunakan adalah superfloc. Penambahan
flokulan untuk proses pemurnian dilakukan pada saat nira berada dalam
prefloc tower.

c. Belerang
Pabrik gula Jatitujuh merupakan pabrik yang menerapkan proses
sulfitasi ganda dengan menggunakan belerang dalam bentuk gas SO2.
Gas ini diperoleh dengan membakar belerang pada tobong belerang. Gas
tersebut berfungsi untuk membersihkan kotoran dan memucatkan warna
nira kental.

47

2. Sarana Penunjang
a. Stasiun Penyediaan Air
Pada unit penyediaan air ini, air diolah untuk berbagai keperluan,
diantaranya untuk keperluan proses produksi dan perumahan, pompa
hampa (air injeksi) dan air untuk bahan baku boiler.
Adapun proses pengolahan air tersebut adalah sebagai berikut :
1)

Air Sungai Cimanuk yang terletak 7 km dari pabrik ditampung


dalam water basin (kolam pengendapan awal). Masuknya air ke
dalam water basin menyebabkan kotoran-kotoran yang ada dalam
air tersebut dapat mengendap.

2)

Selanjutnya air tersebut di pompa ke dalam clarifier dan


ditambahkan bahan-bahan kimia yaitu flokulan
Penambahan

tawas

(Alumunium

Sulfat)

dan tawas.

diharapkan

dapat

mengendapkan io-ion yang tidak dikehendaki seperti ion Ca 2+ dan


Mg 2+. Flokulan berfungsi untuk mempercepat proses pengendapan
karena sifatnya yang cenderung menarik partikel-partikel melayang
sehingga membentuk gumpalan-gumpalan yang akan mengendap
dengan sendirinya.
3)

Air dari clarifier ini kemudian dipompa ke tangki gravel. Fungsi


dari tangki gravel ini adalah untuk menyaring air yang telah jernih
sehingga air yang dihasilkan lebih jernih dan bersih lagi. Tangki ini
berisi pasir pada bagian atas dengan ketebalan kurang lebih 70 cm
dan bagian bawahnya terdapat batu-batuan berdiameter sekitar 5
cm dan tebalnya 60 cm. Pada bagian paling bawah terdapat
saringan 400 mesh. Fungsi pasir dan batu itu adalah untuk
menyaring kotoran yang masih belum terendapkan di bak clarifier.
Air tersaring ini kemudian ditampung di dalam tangki air tersaring.

4)

Air tersaring tersebut digunakan untuk proses produksi (pendingin


pompa dan mesin-mesin, air imbibisi, air pencuci dan air untuk
kebutuhan perumahan), air pengisi boiler dan air injeksi. Air yang
digunakan untuk mengisi boiler diperoleh dengan melewatkan air
tersaring ke tangki gravel berisi resin di atas pasirnya. Fungsi resin

48

adalah untuk menurunkan kesadahan sampai mencapai angka


kurang dari 0,05 ppm. Air yang diperoleh dinamakan air softener.
Air softener ini juga digunakan untuk pertama kali proses
penggilingan,

sedangkan

untuk

selanjutnya

digunakan

air

kondensat dari hasil evaporasi badan penguap I dan II.


5)

Air jatuhan dari kondensor evaporator dan kondensor vacuum pan


terlebih dahulu ditampung dalam bak penampung air jatuhan. Suhu
air jatuhan kurang lebih 45 oC dan bak penampung juga berfungsi
untuk menurunkan suhu hingga 35

C. Air jatuhan tersebut

kemudian dipompa ke puncak menara pendingin yang dilengkapi


dengan cooling fan. Air kemudian disebar oleh kisi-kisi di puncak
masing-masing kompartemen (sel), sehingga terjadi pendinginan
yang efektif oleh udara yang dihembuskan cooling fan dan
sebelum digunakan air tersebut dipompa dari menara pendingin ke
bak penampung air injeksi.

b. Stasiun Boiler
Pabrik gula Jatitujuh memiliki tiga buah boiler penghasil uap dengan
tipe pipa air. Dua buah boiler dengan sistem economizer dan sisanya
memiliki sistem air heater. Sistem economizer memanaskan terlebih
dahulu air kondensat yang akan dimasukkan ke dalam boiler dari suhu
90 oC menjadi 135 oC dengan menggunakan gas buangan dari boiler,
sedangkan sistem air heater menarik udara dari luar kemudian
memasukkannya ke dalam air heater untuk dipanaskan sampai mencapai
suhu kurang lebih 200 oC, kemudian hasilnya yang berupa udara panas
dimasukkan ke dapur pembakaran untuk mempercepat pembakaran
ampas (bahan bakar).
Kapasitas masing-masing boiler adalah 55 ton uap/jam. Uap yang
dihasilkan memiliki tekanan sebesar 26 bar. Bahan bakar yang
digunakan adalah ampas tebu dan IDO (International Diesel Oil).
Penggunaan IDO biasanya dilakukan pada saat pertama kali giling.
Setelah produksi berjalan dan menghasilkan ampas, barulah digunakan

49

ampas sebagai bahan bakar. Bila menggunakan total IDO sebagai bahan
bakar, maka dibutuhkan 4.100 liter/jam untuk satu boiler, sedangkan jika
menggunakan ampas tebu diperlukan sebanyak 24.100 kg/jam untuk satu
boiler.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan pada saat pengisian air
boiler ini adalah :
1)

pH berkisar antara 8,5 10,5

2)

Total hardness kurang dari 2 ppm

3)

Oksigen terlarut kurang dari 0,05 ppm.

Faktor-faktor tersebut bertujuan untuk menghindari kerusakan dinding


drum boiler akibat kegosongan dan terbentuknya karat atau korosi.

c. Stasiun Besali
Stasiun ini merupakan bengkel alat-alat pabrik. Fungsi stasiun ini
adalah memperbaiki alat-alat atau mesin yang rusak yang ada di pabrik.
Bahkan seringkali stasiun ini membuat alat-alat yang dibutuhkan seperti
tangki clarifier, tangki sulfitasi, bejana kondensor dan lain-lain.

d. Stasiun Listrik
Listrik di PG. Jatitujuh diperoleh dari dua macam pembangkit tenaga
listrik, yaitu pembangkit listrik tenaga uap dan pembangkit listrik tenaga
diesel. Pembangkit listrik tenaga uap dipenuhi oleh dua buah turbin
alternator dengan kapasitas masing-masing 3500 Kilo Watt dan tegangan
6000 Volt, sedangkan pembangkit listrik tenaga diesel dipenuhi oleh dua
buah mesin diesel berkapasitas masing-masing 250 KW dengan
tegangan 380 Volt dan 1000 KVA. Pada saat masa giling, listrik yang
digunakan berasal dari alternator pembangkit listrik tenaga uap, namun
jika tidak sedang giling maka yang digunakan adalah listrik dari diesel.
Listrik yang dihasilkan digunakan untuk :
1) Keperluan penerangan, yaitu :

Penerangan pabrik

Perkantoran

50

Kompleks perumahan dan sekitarnya

2) Keperluan daya, yaitu :

Mesin-mesin dan peralatan pabrik

Alat-alat listrik rumah tangga seperti : pompa, air conditioner,


mesin cuci, rice cooker dan lain-lain.

C. PROSES PRODUKSI
Dalam pembuatan gula putih dari tebu, sukrosa harus dipisahkan dari zat
dan ikatan bukan gula dalam serangkaian tahapan unit operasi dan unit
proses yang diikhtisarkan dalam Lampiran 2. Berikut ini tahapan proses
pembuatan gula tebu di PG. Jatitujuh.

1. Stasiun Pendahuluan
a. Penerimaan Tebu
Pembongkaran dan penampungan tebu sementara sebelum tebu
digiling dilakukan pada sebuah lapangan luas yang disebut cane yard.
Di cane yard, kontinyuitas umpan tebu yang masuk ke main carrier
dapat diatur. Berikut ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada stasiun
pendahuluan.
Tebu yang sudah ditebang, diangkut oleh truk atau trailer. Truk
yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu :
1) Truk yang dilengkapi dengan rantai pada bak pengangkutnya.
Dengan adanya rantai ini, tebu dapat di angkut ke cane carrier
dengan menggunakan alat graber atau loading crane.
2) Truk yang dilengkapi sling pada bak pengangkutnya. Dengan sling
ini, tebu dapat diangkut ke cane yard dengan menggunakan hilo.
Dari cane yard kemudian tebu dibawa ke meja tebu dengan
menggunakan cane stacker.
Tebu yang diangkut oleh trailler dibongkar dengan menggunakan
mobil crane (tadano). Pembongkaran ini dilakukan di cane yard. Jika
kondisi meja tebu penuh maka tebu disimpan di cane yard. Semua tebu
yang disimpan di cane yard, akan diangkut ke meja tebu dengan

51

menggunakan cane stacker. Penyimpanan tersebut tidak boleh lebih


dari

20

jam

karena

akan

mengurangi

kadar

sukrosa

yang

dikandungnya.
Sebelum truk atau trailler yang mengangkut tebu masuk ke cane
yard, keduanya harus melewati tim MSB (Manis, Segar dan Bersih)
terlebih dahulu. Setelah melewati tim MSB, kendaraan pengangkut
tebu dari kebun tersebut harus melewati jembatan timbangan bruto.
Penimbangan ini dilakukan untuk mengetahui berat dari tebu dan alat
pengangkutnya.
Setelah penimbangan, kendaraan tersebut menuju cane yard untuk
menurunkan tebunya, lalu tebu tersebut dibawa ke meja tebu. Pada
meja tebu, terdapat perata (leveller) yang berfungsi untuk menyamakan
tinggi dari tumpukan tebu yang akan masuk ke cane carrier. Selain
leveller, terdapat juga rantai gigi pada permukaan mejanya. Fungsi dari
rantai gigi ini adalah membawa agar bisa naik dan masuk ke cane
carrier. Selanjutnya tebu dibawa oleh cane carrier menuju stasiun
gilingan.
Kendaraan yang telah menurunkan tebu kemudian ditimbang lagi
di jembatan tarra. Fungsi penimbangan ini adalah untuk mengetahui
berat dari kendaraan pengangkut. Dengan demikian, dapat diketahui
jumlah tebu yang masuk ke cane yard, yaitu dengan mengurangi berat
tebu dan kendaraan pengangkutnya dengan kendaraan pengangkutnya.

b. Penyiapan Tebu (Cane Preparation)


Penyiapan tebu bertujuan untuk membuka sel-sel tebu dalam
bentuk serpihan, meningkatkan kapasitas giling dan meningkatkan
hasil pemerahan gula (pol extraction). Kegiatan yang tercakup dalam
cane preparation adalah pemecahan tebu, perataan tebu dan
peremukan tebu.
Pemecahan tebu dilakukan oleh dua set pisau pemotong yang
berputar (cane cutter). Tebu pada main carrier akan dibawa menuju
cane cutter I untuk dipotong-potong. Cane cutter I ini terdiri 54 buah

52

pisau dengan jarak ujung piasu ke dasar main carrier adalah 880 mm.
Hasil dari cane cutter I kemudian diratakan oleh perata tebu (cane
leveler) sebelum dibawa menuju cane cuttar II. Cane cutter II ini terdiri
82 buah pisau dengan jarak ujung ke dasa main carrier 50 mm. Di
cane cutter II, tebu kembali dipecah menjadi potongan yang lebih
kecil.
Hasil dari cane cutter II kemudian dihancurkan dengan peremuk
tebu (shreader hammer). Alat ini terdiri dari 96 buah hammer yang
bekerja secara bergantian untuk meremukkan tebu. Shreader hammer
ini membuka sel-sel yang batang tebu sehingga mempermudah kerja
gilingan. Serpihan tebu ini kemudian dibawa ke stasiun gilingan
melalui shreader elevator.

2. Stasiun Gilingan
Kegiatan di milling station ini bertujuan untuk mengekstraksi pol
(kadar sukrosa) dari tebu sebanyak-banyaknya dengan cara pemerahan dan
pembilasan serta menghasilkan bahan bakar yang murah untuk keperluan
energi di stasiun gilingan, proses dan listrik perusahaan.
Pada stasiun in terdapat empat unit gilingan. Setiap unit gilingan terdiri
dari tiga roll yaitu roll depan, roll atas dan roll belakang. Di antara roll
depan, atas dan belakang terdapat ampas plate. Fungsi dari ampas plate ini
adalah untuk menampung ampas tebu agar tidak jatuh ke bak penampung
bersama nira.
Sebelum masuk ke gilingan I, tebu tercacah harus melalui cerobong
terlebih dahulu. Cerobong ini digunakan agar tebu yang dijatuhkan ke
gilingan tidak berceceran. Dijatuhkannya cacahan tebu tersebut, dilakukan
agar kondisi tebu tercacah menjadi padat sehingga memudahkan
pemerasan.
Nira hasil perasan mengalir melalui alur-alur bagian depan roll muka
dan alur-alur bagian depan roll belakang kemudian jatuh di atas ampas
plate ke penampung yang ada di bagian bawah gilingan. Ampasnya
ditampung oleh ampas plate. Ampas terperas dari gilingan I dibawa oleh

53

conveyor intermediet menuju gilingan II. Sebelum masuk gilingan II,


ampas tersebut disiram oleh nira dari hasil gilingan III sebagai nira
imbibisi. Ampas dari gilingan II lalu masuk menuju gilingan III dan
sebelumnya disiram oleh nira hasil gilingan IV dan air imibibisi. Nira hasil
perahan gilingan I disebut primary juice dan nira hasil perahan II disebut
secondary juice. Primary juice dan secondary juice ditampung dan
dicampur menjadi mixed juice.
Selanjutnya, ampas dari gilingan III dibawa oleh krapyak menuju
gilingan IV yang sebelumnya disiram oleh air imibibisi dengan suhu 30 35 oC sebanyak 25 30 persen dari jumlah tebu yang masuk dengan
perbandingan 30 persen untuk gilingan III dan 70 persen untuk gilingan
IV. Ampas terakhir yang keluar dari gilingan IV lalu dibawa oleh belt
conveyor menuju stasiun boiler sebagai bahan bakar boiler, sedangkan nira
hasil perasan yang ditampung di bagian bawah gilingan dilewatkan ke
cush-cush elevator yang dilengkapi dengan alat penyaring.
Pada bagian bawah alas penyaring terdapat bak penampung, sehingga
ketika nira dari gilingan I, II, II dan IV dilewatkan, niranya akan tersaring
ke bak penampung dan ampasnya dibawa lagi ke gilingan II. Pada cushcush elevator ini, nira ditambahkan susu kapur untuk mengurangi kotoran
yang terbawa bersama nira.

3. Stasiun Pemurnian
Pada stasiun ini, nira mentah yang dihasilkan dari hasil penggilingan I
dan II dimurnikan terlebih dahulu sebelum melalui proses selanjutnya..
Proses

pemurnian

ini

diawali

dengan

menimbang

nira

mentah

menggunakan timbangan nira mentah yang bekerja secara kontinyu.


Sebelum masa giling, timbangan dikalibrasi terlebih dahulu dengan
batu tarra yang beratnya 2 x 2250 kg, lalu diatur pada kapasitas pengisian
tertentu (biasanya 90 persen). Jika diatur pada pengisian 100 persen
dikhawatirkan buih nira mentah akan meluber.
Nira tebu hasil gilingan berdasarkan sifat kimia fisiknya terdiri dari
tiga macam bahan yaitu bahan serat yang terdispersi (tanah dan serat),

54

bahan koloid (tanah, lilin, lemak, protein, gum, pektin, tanin, pigmen) dan
molekul serta ion yang terdispersi dalam nira (gula dan unsur yang terdapat
dalam abu). Tujuan dari penjernihan (pemurnian) adalah untuk
memisahkan komponen bukan gula dari mixed juice semaksimal mungkin.
Nira mentah dari stasiun gilingan masuk ke bak penampung. Pada saat
ini, klep pneumatik atas terbuka sehingga nira mentah masuk dan mengisi
bak timbangan lalu klep akan menutup kembali secara otomatis ketika
timbangan sudah terisi 90 persen dari kapasitasnya, dan klep pneumatik
bawah secara hampir bersamaan terbuka, sehingga nira dalam bak
timbangan terkuras habis masuk ke tangki nira tertimbang. Saat terjadi
pengosongan bak timbangan, nira dari stasiun gilingan terus mengalir dan
mengisi bak penampung atas. Begitu nira dalam bak timbangan habis,
maka klep pneumatik atas terbuka secara otomatis sebagai akibat kerja
distribution valve yang terdapat pada mesin pencatat.

a. Pemanasan Mixed Juice


Sebelum nira tertimbang masuk ke tangki nira tertimbang, terlebih
dahulu ditambahkan kapur sampai pH 6,8. Dari tangki penampung,
nira tertimbang dipompa menuju pemanas (juice heater) I dengan suhu
75 oC. Tujuan pemanasan ini adalah untuk mempercepat reaksi kimia
yang terjadi kemudian. Pemanas merupakan suatu shell and tube
exchanger dimana nira dilewatkan melalui pipa-pipa kecil memanjang
sedangkan uap pemanas dialirkan dalam shell yang menyelubungi
pipa-pipa kecil tersebut. Shell dibagi-bagi lagi menjadi beberapa
kompartemen guna memperbanyak sirkulasi nira sehingga pertukaran
panas menjadi semakin efisien. Uap yang digunakan pada pemanas I
adalah uap sisa yang berasal dari evaporator I atau evaporator II di
stasiun penguapan. Pemanasan ini dilakukan selama beberapa menit
dan dilakukan pengawasan terhadap suhu mixed juice agar suhu juice
atau nira ini tidak melebihi suhu 75 oC.
Pemanasan pada suhu yang terlalu tinggi dan pH rendah akan
menyebabkan gula terinversi dan terjadi karamelisasi (Mathur, 1978).

55

Dari pemanas I, kemudian nira dipompa ke defekator tank dan


dilakukan pemberian susu kapur. Defecator tank digunakan untuk
menaikkan pH juice dari 5,0 6,0 menjadi 8,0 - 9,0 dengan cara
penambahan larutan kapur (milk of lime). Penambahan susu kapur
dilakukan secara bertahap di dalam dua buah defecator tank yang
bekerja secara seri. Penambahan susu kapur pertama dilakukan dalam
defecator I dengan waktu reaksi sekitar 3 menit. Juice dari defecator I
ini memiliki tingkat keasaman sekitar 7,0 7,2. Juice ini kemudian
dialirkan ke defecator II dan ke dalamnya ditambahkan susu kapur
hingga pH juice naik menjadi 8,5 9,0 dengan waktu reaksi sekitar 1
menit.
Tujuan penambahan susu kapur ini adalah :
1) Mencegah terjadinya inversi gula
2) Mereaksikan komponen-komponen bukan gula (fosfat, asam
silikat, lilin, magnesium, pentosan) dengan susu kapur sehingga
terbentuk endapan, sedangkan sisa kapur yang berlebih akan
direaksikan dengan SO2 di tanki sulfitator.

b. Persiapan Susu Kapur (Milk of Lime)


Susu kapur dibuat dengan cara penambahan air pada kapur tohor
(quick lime) sehingga terbentuk suatu suspensi. Secara kimia
pembuatan susu kapur adalah mengubah oksida kalsium menjadi
hidroksida kalsium dengan penambahan air. Reaksi berlangsung
sebagai berikut :
CaO

H2O

Ca(OH)2 + Kalor

Kemurnian susu kapur dijaga dengan menggunakan air murni yang


diperoleh dari air kondensasi. Konsentrasi susu kapur yang digunakan
adalah 6

Be. Kapur tohor digunakan karena dianggap paling

ekonomis. Kapur tohor sendiri dibuat dari batu gamping/batu kapur


melalui proses pembakaran dengan reaksi sebagai berikut :

56

CaCO3 + C + O2

CaO + 2 CO2

Kapur ini harus segera digunakan untuk mempertahankan


reaktivitasnya.

Kapur

yang

tidak

langsung

digunakan

akan

menyebabkan CaO yang ada akan bereaksi dengan CO2 di udara


sehingga membentuk CaCO3 kembali. Kebutuhan kapur untuk reaksi
adalah sekitar 1,30-1,70 kg untuk 100 ton tebu yang digiling.

c. Sulfitasi tahap pertama


Limed juice dari defecator dipompa ke juice sulfitator. Di dalam
sulfitator ini, kelebihan susu kapur dalam limed juice akan bereaksi
dengan gas SO2 secara counter current. Counter current adalah sistem
pemberian gas SO2 dengan aliran yang berlawanan arah dengan juice.
Reaksi ini akan membentuk garam-garam kalsium sulfit yang
mengendap dalam bentuk gumpalan-gumpalan yang besar.
Reaksi antara susu kapur dengan gas SO2 ini diharapkan
berlangsung sempurna sehingga tidak terdapat sisa gas SO2. Penetralan
kelebihan ion
Ion Ca

2+

dalam limed juice oleh gas SO2 akan menghasilkan

sulfited juice dengan pH netral. Selain untuk menetralkan kelebihan


kapur, gas SO2 akan ini berfungsi juga untuk memucatkan, karena gas
SO2 akan bereaksi dengan zat-zat warna yang ada dalam juice sehingga
akan menghasilkan clear juice (nira jernih) yang berwarna lebih
terang.
Penambahan gas SO2 harus selalu dikontrol karena penambahan
gas SO2 secara berlebihan mengakibatkan terbentuknya garam bisulfit
yang sifatnya melarut. Garam ini bersifat reversible, sehingga akan
membentuk endapan garam kalsium sulfit pada suhu tinggi. Peristiwa
pengendapan ini kemungkinan akan terjadi jika juice dipanaskan di
evaporator sehingga terbentuk kerak di badan evaporator.

57

d. Pembuatan gas SO2


Gas SO2 dibuat dengan cara membakar granula belerang di dalam
tobong pembakaran yang berbentuk rotary. Belerang padat ini akan
mencair pada suhu 119 oC menghasilkan cairan kuning jernih. Pada
suhu 250 oC, belerang cair mulai menguap dan menghasilkan gas SO2.
Gas SO2 yang sudah terbentuk didinginkan terlebih dahulu sebelum
masuk ke sulfitator. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi over heating
pada juice.
Total kebutuhan belerang untuk reaksi adalah 0,30 0,50 kg / 100
ton tebu. Kebutuhan ini terbagi menjadi dua, yaitu 70 persen untuk
juice (0,21 0,35 kg belerang / 100 ton tebu) dan 30 persen untuk
syrup (nira kental).

e. Penyempurnaan Reaksi Sulfitasi


Nira dari sulfitator lalu dialirkan ke final reaction tank. Tangki ini
berfungsi untuk menyempurnakan reaksi antara kapur hidroksida
dengan belerang dioksida dan komponen lainnya yang belum sempat
bereaksi. Tangki juga dilengkapi dengan strirrer yang berfungsi
sebagai pengaduk. Pengadukan ini dilakukan untuk menyempurnakan
reaksi. Waktu reaksi yang dibutuhkan adalah sekitar 7 hingga 8 menit.
Juice yang keluar dari final reaction tank diharapkan memiliki pH
sekitar 7,10 7, 20.

f.

Pemanasan Sulfited Juice


Sulfited juice dari final reaction tank kemudian dialirkan ke
sulfited juice heater (juice heater II). Alat ini berfungsi untuk
memanaskan sulfited juice hingga mencapai suhu sedikit di atas titik
didihnya atau sekitar 102 105 oC. Pemanasan ini bertujuan untuk
mempercepat reaksi sisa-sisa zat lebih sempurna, selain itu dengan
pemanasan sisa-sisa gas yang tidak bereaksi dapat keluar dari juice.
Pengendalian proses operasi selama pemanasan dalam sulfited juice
heater dilakukan dengan mengontrol suhu pemanasan.

58

Suhu pemanasan di bawah 102 oC, menyebabkan sisa-sisa gas


tidak seluruhnya bebas sehingga menghambat pengeluaran gas di flash
tank. Sebaliknya, suhu pemanasan di atas 105 oC, menyebabkan lilin
dalam juice larut sehingga menghambat prose selanjutnya. Selain itu,
lilin yang larut akan menyebabkan melayangnya sisa-sisa bagasse
halus yang ikut dalam juice. Hal ini juga menyebabkan bagassebagasse tersebut tidak tersaring dalam vacuum filter sehingga bagasse
tersebut akan ikut dalam produk gula dan menurunkan mutu gula.

g. Pengeluaran Gas, Udara atau Vapour


Sulfited juice yang telah dipanaskan kemudian dipompa ke flash
tank. Flash tank berfungsi sebagai tempat untuk mengeluarkan gasgas, udara atau vapour yang dapat mengganggu proses pengendapan
kotoran-kotoran bukan gula yang akan diendapkan di clarifier. Gasgas tersebut antara lain CO2 , SO2 dan NH3. Flash tank ini dilengkapi
dengan cerobong untuk mengeluarkan semua gas, udara atau vapour
dengan sempurna. Juice dari flash tank ini kemudian dialirkan menuju
clarifier.

h. Pemisahan Clear Juice (Nira Jernih)


Clarifier merupakan tempat untuk memisahkan antara clear juice
dengan endapan kotoran (mud). Pemisahan ini didasarkan pada prinsip
perbedaan berat jenis antara clear juice dengan mud. Pemisahan ini
dapat dipercepat dengan penambahan flokulan. Flokulan adalah bahan
pembantu untuk mempercepat pembentukan gumpalan-gumpalan
kotoran. Flokulan yang digunakan berjenis poly acryl amida. Flokulan
bekerja dengan cara menjaring partikel-partikel kotoran yang
berukuran kecil dalam ikatan rantainya yang panjang sehingga
membentuk endapan yang besar dan kompak. Flokulan ditambahkan
sebanyak 2 4 ppm pada prefloc tower clear juice panas masuk ke
prefloc tower secara tangensial. Dengan aliran tangensial ini, gas-gas
yang ringan terlempar ke atas dan keluar melalui cerobong. Gas yang

59

terlempar akan membawa uap nira, oleh karena itu pada cerobong gas
dipasang suatu penangkap nira. Penambahan flokulan yang berlebihan
akan menyebabkan kesulitan pada penapisan di vacuum filter dan
centrifugal.
Selain penambahan flokulan, pengendapan di clarifier juga
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
1) Kecepatan alir dari juice
Kecepatan aliran ini diusahakan dengan kecepatan yang bersifat
laminar. Kecepatan alir yang memberikan sifat terbaik untuk
pengendapan adalah 6 12 meter/jam.
2) Suhu juice yang masuk ke dalam clarifier
Suhu juice yang masuk diusahakan anatara 99 100 oC. Pada
suhu dibawah 99 oC, pengendapan tidak akan sempurna dan
pembentukan gumpalan dari gum dan albumin menjadi tidak
efisien, sedangkan suhu diatas 100 oC akan menyebabkan gula
menjadi rusak, terjadi pembentukan warna dan nilai BHR
(Boiling House Recovery) menurun.
3)

Waktu tinggal juice dalam clarifier


Waktu tinggal ini merupakan salah satu faktor penting dalam
pengoperasian clarifier. Waktu tinggal yang terlalu singkat
mengakibatkan hanya sedikit kotoran yang berhasil diendapkan,
sedangkan waktu tinggal yang terlalu lama menyebabkan
terjadinya inversi gula, pembentukan warna, rendemen proses
rendah serta dihasilkannya juice yang berwarna pucat dan keruh.
Waktu yang diperlukan untuk proses pengendapan ini adalah
sekitar 2,5 jam. Hasil dari clarifier ini adalah clear juice dan
mud. Clear juice dialirkan ke clear juice tank sedangkan mud
dialirkan ke rotary vacuum filter.

60

i.

Pemisahan Mud
Mud sebelum masuk ke dalam rotary vacuum filter terlebih dahulu
dicampur dengan bagacillo dari bagcyclone, di dalam mud mixer.
Setelah campuran homogen, kemudian campuran tersebut dialirkan ke
RVF.
Rotary vacuum filter berfungsi untuk memisahkan antara cairan
yang disebut filtrate dan padatan yang disebut filter cake(blotong).
Filtrate yang dihasilkan kemudian daialirkan kembali ke peti nira
tertimbang untuk diproses ulang, sedangkan filter cake yang dihasilkan
dibuang dan sebarkan ke kebun-kebun.
Parameter keberhasilan kerja RVF dilihat dari nilai pol filter cake
yang rendah. Nilai pol ini dipengaruhi oleh sistem pengoperasian
vacuum filter yang antara lain meliputi tekanan, air cucian, ketebalan
filter cake di drum dan jumlah bagacillo yang dicampurkan. Kecepatan
putar vacumm filter yang ideal adalah 6 10 rpm.

j.

Penampungan Clear Juice


Clear juice sebelum masuk ke clear juice tank terlebih dahulu
disaring. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan kotorankotoran yang masih terikut dan buih (foam).
Tangki ini berfungsi untuk menampung clear juice sebelum
dipompa ke clear juice heater. Suhu clear juice yang ditampung dalam
tangki ini sekitar 96 98 oC. Tangki ini dilengkapi dengan isolator
untuk mencegah kehilangan kalor dari juice.

k. Pemanasan Clear Juice


Clear juice heater berfungsi untuk menaikkan suhu clear juice
dari suhu 96 98 oC menjadi suhu sekitar 110 115 oC. penaikkan
suhu ini bertujuan untuk meringankan beban kerja evaporator badan
pertama. Setelah mencapai suhu sekitar 110 115 oC, clear juice
dialirkan menuju evaporator badan pertama.

61

4. Stasiun Evaporasi (penguapan)


Nira jernih (clear juice) hasil pemurnian masih mengandung air yang
sangat tinggi (kurang lebih 80 persen), sehingga kadar air ini harus
diturunkan agar proses pemasakan dapat berjalan dengan lebih cepat. Derajat
kekentalan nira yang harus dicapai di stasiun penguapan adalah 30 32 oBe
atau 60 64 % brix.
PG. Jatitujuh memiliki lima badan evaporator yang disusun secara seri,
yaitu evaporator I, I, II, IV dan yang satu lagi adalah evaporator yang selalu
stand by untuk menggantikan evaporator lain jika terjadi kerusakan atau
sedang dibersihkan.
Sistem penguapan ini disebut Quadruple Effect Evaporation dengan
aliran feed forward, artinya penguapan dilakukan dalam empat badan
penguap dengan arah aliran umpan nira encer sama dengan arah steam
pemanas, yaitu dari depan ke belakang (dari tekanan tinggi ke tekanan
vacuum). Sistem ini memiliki keuntungan yaitu pada pemakaian uap nira,
dimana uap nira dari evaporator I dapat digunakan lagi sebagai pemanas pada
evaporator II. Begitu halnya dengan uap dari evaporator II digunakan lagi
sebagai pemanas pada evaporator III dan uap dari evaporator III digunakan
sebagai pemanas nira pada evaporator IV.
Pada evaporator I, nira encer (clear juice) diuapkan pada suhu 118 oC
dengan menggunakan uap bekas dengan tekanan 1, 5 bar dan tekanan di
ruang nira I 1,0 bar. Uap bekas adalah uap panas sisa pemakaian uap baru.
Pada evaporator II, suhu uap pemanasnya 105 oC dengan tekanan 1,0 bar.
Pada evaporator III, suhu uap pemanas adalah 90 oO dengan tekanan 0,0
cmHg dan untuk evaporator IV suhunya 70 oC dengan tekanan 50 cmHg.
Dalam rangka mempertahankan tekanan yang rendah, maka uap yang
keluar dari badan terakhir diubah menjadi air kembali dalam tangki
pengembunan, sedangkan gas atau uap yang tidak terembunkan dibawa ke
separator untuk dipisahkan antara udara dan airnya. Airnya dijatuhkan ke
lubang air jatuhan sedangkan udaranya dikeluarkan oleh pompa vacuum.
Semua badan evaporator bekerja secara kontinyu. Sebalum nira encer
masuk ke dalam evaporator, semua valve yang berhubungan dengan udara

62

luar ditutup rapat, kemudian pompa vacuum dijalankan dengan pompa air
injeksi sehingga sedikit demi sedikit tekanan dalam evaporator menurun.
Valve pipa amoniak dibuka mulai dari evaporator IV sampai dengan
evaporator I. Besarnya bukaan valve disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing evaporator. Setelah itu, valve steam pemanas evaporator I dibuka dan
valve pada pipa kondensat pun dibuka.
Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan pemasukan nira ke evaporator
I, II, III dan IV secara berurutan. Setelah nira pada evaporator IV mencapai
sepertiga pipa nira dengan kepekatan 64 % brix, nira tersebut dialirkan ke
tangki sulfitasi untuk disulfitasi.
Kerja evaporator ini dibantu oleh alat kondensor barometrik. Alat ini
berbentuk sebuah bejana silinder tegak dengan diameter 2,7 meter, tinggi 800
centimeter dan volume 45 m3. Alat ini berfungsi untuk mengembunkan uap
nira yang keluar dari evaporator terakhir sampai berubah menjadi air. Cara
kerjanya dimulai dengan pembukaan pompa hampa udara sampai keadaan
kondensor hampa, kemudian karena adanya perbedaan tekanan antara
kondensor dan evaporator IV, maka uap nira akan mengalir ke kondensor.
Kondensor lalu dialiri air pendingin dengan suhu kurang lebih 35 oC
melalui pipa injeksi ke bagian atas kondensor, sehingga terjadi pertemuan
antara uap nira dengan air injeksi yang menyebabkan perubahan dari uap air
menjadi air embun yang jatuh pada suhu sekitar 45 oC dan terbentuk pula
keadaan vacuum akibat terjadinya perbedaan suhu. Air embun atau air
jatuhan adalah debit air injeksi yang tinggi, sedangkan gas-gas yang tidak
terembunkan dalam kondensor dihisap oleh pompa vacuum melalui separator
air dengan udara. Air akan jatuh ke bawah sebagai air jatuhan sedangkan
udara keluar melalui pompa vacuum.
Penguapan di evaporator ini dilakukan dengan waktu tinggal minimal
dan suhu serendah mungkin serta pH yang netral. Nilai pH yang kurang dari
6,50 dan pemanasan di atas suhu 115 oC selama lebih dari 2 menit
menyebabkan terjadinya inversi gula semakin besar. Nilai pH yang lebih dari
7,50 dan pemanasan di atas 115 oC selama lebih dari 2 menit menyebabkan
kerusakan gula reduksi.

63

a. Sulfitasi tahap kedua


Raw syrup atau nira kental dari evaporator terakhir dengan pH sekitar
6,80 berwarna gelap serta memiliki viskositas tinggi, dialirkan ke
untreated syrup tank dan dicampur dengan leburan. Di dalam tangki ini,
nira kental diaduk secara mekanis. Tujuannya adalah agar nira kental tidak
membentuk kristal dan kotoran yang mengendap terapungkan. Dari
untreated syrup tank kemudian dipompa ke tangki reaktor.
Gula SHS I diproduksi dengan hanya melewatkan dan mengaduk nira
tanpa adanya penambahan bahan-bahan kimia. Akan tetapi untuk
memproduksi gula industri, maka pada tangki reaktor ini ditambahkan
flokulan kation dan anion, fosfat serta susu kapur. Setelah melewati tangki
rektor, nira kental dialirkan ke aerator, fungsinya adalah untuk
mengalirkan udara pada nira kental sehingga kotoran-kotoran yang ada
akan terapungkan. Selanjutnya nira kental dipompa menuju syrup
sulfitator.
Syrup sulfitator merupakan tangki tempat terjadinya proses sulfitasi
yang kedua. Pemberian gas SO2 ini bertujuan untuk memucatkan dan
mengurangi viskositas dari nira kental. Gas SO2 bereaksi dengan nira
untuk mereduksi ion-ion penyebab warna seperti ion ferri menjadi ferro.
Reaksi gas SO2 ini dapat dilihat dari perubahan warna nira, penurunan
viskositasnya

dan

penurunan

pH.

Penurunan

viskositas

bersifat

menguntungkan karena memudahkan proses sirkulasi selama proses


pemasakan sehingga waktu pemasakan dapat dipersingkat. Penambahan
gas SO2 harus selalu dikontrol karena penambahan gas SO2 yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya inversi gula pada pan masakan
dan terdapat residu SO2 pada produk gula akhir. Hal ini dapat dicegah
dengan menaikkan pH sulfited syrup hingga sekitar 5,60 5,70.
Sebelum memasuki stasiun pemasakan dan kristalisasi, nira kental
ditampung dalam tangki JSP (Juice Syrup Purification). Pada tangki ini,
gelembung udara yang ada dalamnira kental dipecah sehingga membentuk
buih. Kotoran kotoran yang ada akan terperangkap dalam buih-buih
tersebut. Buih-buih yang mengapung dijatuhkan oleh skraper ke Schum

64

tank yang kemudian dipompa ke tangki nira mentah (stasiun pemurnian),


sedangkan nira kentalnya masuk ke stasiun pemasakan.

5. Stasiun Pemasakan (Boiling Station)


Pada stasiun pemasakan ini, dilakukan penjenuhan syrup (nira kental)
sehingga terbentuk kristal-kristal gula. Penjenuhan dilakukan dengan
menguapkan cairan yang masih ada, sehingga pada brix tertentu kristal akan
keluar. Pemasakan syrup ini dilakukan dalam tiga tahap sehingga
menghasilkan tiga jenis masakan (massecuite) yang di dalamnya sudah
terbentuk kristal-kristal gula.
Pemasakan dilakukan dalam vacuum pan dengan langkah pertama yaitu
pemasukan material hingga pan berisi syrup setinggi kalandria (lapisan
pembatas dimana nira dipekatkan dalam pan masakan) , yaitu sekitar 19 m3
dan kemudian material diuapkan dengan pemberian panas dan tekan sehingga
volumenya akan berkurang sedangkan konsentrasinya akan terus meningkat.
Kalandria dijaga agar selalu tertutup oleh cairan, oleh karena itu syrup baru
ditambahkan lagi sehingga kalandria tetap tertutup oleh syrup. Dengan
adanya penguapan terus menerus maka konsentrasi syrup akan terus
meningkat sehingga keadaan larutan menjadi jenuh bahkan mencapai
keadaan lewat jenuh.
Hal ini dilakukan pada suhu 60-70 oC dan tekanan 60-63 cmHg hingga
dihasilkan massecuite. Pemasakan dilakukan selama 2 hingga 2,5 jam. Satu
masakan (strike) menghasilkan sekitar 600 karung gula. Massecuite yang
sudah terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam crystellizer sebelum
disentrifugasi di stasiun curing.
Pembentukan kristal diharapkan berlangsung teratur dan baik sehingga
dihasilkankristal-kristal gula yang seragam. Hal ini dapat dicapai dengan cara
melakukan pembibitan (graining). Graining dilakukan dengan memberikan
bibit (seed) berupa tepung gula yang dicampurkan dalam etanol/isoprophil
alkohol sehingga dihasilkan suspensi yang disebut slurry. Di stasiun
pemasakan ini dilakukan tiga macam graining yaitu graining A untuk

65

pemaskan di vacuum pan A, graining B untuk pemasakan di vacuum pan B


dan graining C untuk pemasakan di vacuum pan C.
Grain A dibuat dari campuran material sugar melter dari vacuum pan B
dan C serta slurry. Grain B dibuat dari campuran molasses dari vacuum pan
A dan slurry sedangkan grain C dibuat dari campuran molasses dari pan A
dan B serta slurry.
Graining diawali dengan pengentalan material dari persen brix 60 persen
menjadi 75-80 persen. Setelah mencapai brix 75-80 persen, slurry
ditambahkan ke dalam campuran tersebut. Campuran tersebut dimasak
hingga terbentuk kristal inti yang berukuran kurang dari 0,3 mm. Proses
graining ini berlangsung sekitar 1 jam. Hasil dari proses graining ini dapat
digunakan untuk 6 hingga 8 kali masak dengan cara pemotongan (footing).
A massecuite
A massecuite merupakan masakan pertama dari material dengan purity
(kemurnian) yang tinggi. Material untuk membuat A massecuite adalah grain
A, sulfited syrup, sugar melter dari vacuum pan B dan C. Campuran material
ini kemudian dimasak dalam vacuum pan sampai menghasilkan A
massescuite yang memiliki nilai brix 91, 00 dan purity 84,00-85,00 serta
ukuran kristal sekitar 0,8-1 mm.
B massecuite
B massecuite dibuat dari material molasses dari vacuum pan A dan grain
B. Campuran material ini kemudian dimasak hingga menjadi B massecuite
dengan persen brix 92,00 dan purity 77,00.
C massecuite
C massecuite dibuat dari material molasses dari vacuum pan C, grain C
dan C wash. Campuran material ini dimasak hingga brix 93 persen dan purity
60,00 persen.

66

Kristalisasi (Crystallization)
Massecuite dari stasiun masakan dimasukkan ke crystallizer (palung
pendingin) sebelum dimasukkan ke stasiun curing. Crystallizer ini berfungsi
untuk melanjutkan penempelan sisa molekul yang ada dalam massecuite ke
kristal yang telah ada dengan cara menurunkan titik jenuh dari larutan gula
melalui pendinginan massecuite. Pendinginan ini dilakukan dengan
menggunakan udara dingin biasa. Crystallizer dilengkapi juga dengan
agitator yang berfungsi untuk mempertahankan kehomogenan massecuite
serta menjaga agar tidak terjadi pengasaman pada massecuite.
Pendinginan untuk A massecuite dilakukan dalam waktu yang singkat
dalam horizontal crystallizer. Pendinginan yang lama akan menyebabkan
pemadatan A massecuite karena kemurniannya yang tinggi. Hal ini
menyebabkan A massecuite akan sulit mengalir.
Pendinginan B massecuite dilakukan hingga suhu sekitar 50oC pada
horizontal crystallizer. Suhu di bawah 50oC menyebabkan B massecuite akan
memadat karena kemurniannya yang cukup tinggi sehingga akan sulit
mengalir. Pendinginan B massecuite tidak dilakukan terlalu cepat karena
akan menaikkan titik lewat jenuhnya dengan cepat pula sehingga viscositas
akan meningkat secara drastis. Hal itu menyebabkan proses pemisahan antara
gula dan molasses menjadi sulit.
Pendinginan C massecuite dilakukan dengan penurunan suhu dari 65oC
menjadi 45oC. Penurunan suhu tersebut memerlukan waktu sekitar

36-48

jam sehingga untuk pendinginan C massecuite dilakukan dalam dua jenis


crystallizer, yaitu vertical crystallizer dan horizontal crystallizer.
C massecuite dari batch dan continous vacuum pan (suhu 65oC) dialirkan
menuju C massecuite receiver dan kemudian dipompa menuju horizontal
crystallizer. Horizontal crystallizer menurunkan suhu C massecuite menjadi
sekitar 55 56oC. C massecuite kemudian dialirkan ke vertical crystallizer
hingga suhunya turun menjadi 45 47oC. setelah itu, C massecuite
dimasukkan ke massecuite heater untuk menaikkan suhunya menjadi 50
55oC. C massecuite dengan suhu sekitar 50 55oC dipompa menuju C
massecuite head box sebelum diputar dalam mesin sentrifugal

67

Pemisahan kristal gula (curing)


Massecuite dari crystallizer dialirkan ke stasiun curing (putaran). Di
stasiun ini, dilakukan pemisahan antara kristal gula dan molasses yang
terdapat dalam massescuite. Pemisahan ini dilakukan dalam mesin
sentrifugal. Pemisahan dengan cara pemutaran ini dilakukan karena sifat
massecuite yang terlalu kental dan selisih berat jenis yang terlalu kecil antara
molasses dan kristal gula, sehingga sulit dilakukan pemisahan dengan sistem
pengendapan. Pemutaran ini berlangsung sekitar 3 menit/discharge/mesin.
A massecuite dari crystallizer diputar di dalam mesin sentrifugal
sehingga dihasilkan gula A dan A molasses. A molasses dialirkan ke A
molasses receiver tank kemudian dipompa ke A molasses tank conditioning
untuk dijadikan bahan masakan B. Gula A dengan suhu 55 oC kemudian
dibawa dan dikering-keringkan oleh vibrating conveyor menuju sugar
vertical elevator. Elevator ini akan membawa gula A menuju sugar cooler.
Setelah didinginkan dengan udara dingin di sugar cooler, gula dibawa oleh
sugar vertival elevator menuju sugar grader. Sugar grader memisahkan gula
berdasarkan ukuran partikelnya. Ukuran standar untuk gula A adalah 0,8
1,1 mm. Debu gula kemudian dihisap oleh sugar scrubber dan digunakan
kembali untuk masakan A. Kristal gula berukuran di atas 1,1 mm dilebur
dahulu sebelum dimasak kembali dalam pan masakan A. Gula A yang
memenuhi ukuran standar akan dibawa oleh long belt conveyor menuju sugar
bin sebelum dikemas.
B massecuite setelah diputar menghasilkan gula B dan B molasses. B
molasses dialirkan ke B molasses receiver tank dan kemudian dipompa
menuju B molasess tank conditioning untuk dijadikan bahan masakan C.
Gula B yang dihasilkan ditampung di B1 magma mingler ditambah dengan
air sehingga menghasilkan B magma. B magma dipompa ke melter tank
kemudian dialirkan ke syrup tank yang terpisah dengan syrup dari
evaporator. Sugar melter ini menjadi bahan untuk masakan A dan grain A.
Pemutaran C massecuite menghasilkan gula C1 dan final molasses. Final
molasses kemudian dipompa menuju tangki penampungan. Gula C1
dimasukkan ke C1 magma maker dan ditambah air sehingga dihasilkan C1

68

magma. Magma ini kemudian dialirkan ke C1 magma mixer dan dipompa ke


C2 submixer. Magma dari C2 submixer akan diputar dalam C2 contionous
centrifugal sehingga menghasilkan gula C2 dan C wash. C wash ini
kemudian dicampur dengan B molasses dan dikirim ke B molasses
conditioning sebagai bahan masakan C. Gula C2 yang dihasilkan dimasukkan
ke C2 magma mixer untuk diencerkan dengan air sehingga dihasilkan
magma. Magma ini dipompa menuju C2 sugar melter. Hasil dari C2 sugar
melter ini dicampur dengan B melting untuk menjadi bahan masakan A.

6. Pengemasan gula (packing)


Gula A dari stasiun curing ditampung di sugar bin sebelum dikemas.
Sugar bin ini berbentuk silo dilengkapi sensor untuk mengukur suhu gula
yang tersimpan. Pada bagian bawah sugar bin ini terdapat timbangan gula
yang bekerja secara otomatis. Kapasitas timbangan adalah 50 kg/charge
dengan ketelitian hingga 10 50 gram. Kemasan karung yang digunakan
terdiri dari plastik polyethilene dan karung luar terbuat dari polyprophylene.
Penjahitan karung dilakukan dengan sistem double chain.
Gula dapat dikemas sebanyak 12 karung per menit untuk setiap alat
kemas. Di stasiun ini terdapat tiga alat kemas dengan 3 orang pekerja setiap
alatnya. Pekerja pertama akan menempatkan karung di bawah timbangan dan
secara otomatis gula akan tercurah ke dalam karung. Karung yang berisi gula
dibawa dengan belt conveyor dan diterima oleh pekerja kedua untuk dijahit,
kemudian pekerja ketiga menaruh karung yang sudah terjahit ke belt
conveyor untuk disimpan di gudang.
D.

PEMBAHASAN

1. Penerapan Produksi Bersih


Penerapan produksi bersih dalam suatu industri merupakan suatu strategi
pencegahan pencemaran pada sumbernya dan upaya pemanfaatan limbah
yang terbentuk serta upaya peningkatan efisiensi produksi. Strategi ini
digunakan untuk menanggulangi tingkat pencemaran lingkungan dan
diharapkan mampu meningkatkan keuntungan ekonomi bagi perusahaan.

69

Pabrik Gula Jatitujuh dalam hal ini, secara tidak langsung telah mengenal
konsep produksi bersih. Hal ini dapat dilihat pada beberapa hal, diantaranya
penggunaan produk samping seperti ampas tebu (bagasse) untuk bahan bakar
ketel uap, pemanfaatan blotong (filter cake) untuk soil conditioner serta
pemanfaatan tetes tebu (molasses) untuk kebutuhan industri lainnya. Bila
dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan, kegiatan ini jelas memberikan
keuntungan yang sangat besar. Namun, pada kenyataannya kegiatan ini
belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan masih terdapat peluang
untuk lebih mengoptimalkan aplikasi produksi bersih pada setiap tahapan
proses.

2. Potensi Limbah dan Pengelolaannya


Dari diagram proses pengolahan gula di PG. Jatitujuh pada Lampiran 3,
diketahui bahwa terdapat tiga produk samping utama yang dihasillkan dari
seluruh kegiatan proses produksi gula. Ketiga produk ini adalah ampas,
blotong dan tetes tebu yang pada prinsipnya telah dimanfaatkan oleh
perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah dari produk samping tersebut.
Salah satunya adalah penggunaan ampas tebu (bagasse) sebagai bahan bakar
ketel uap (boiler).
Namun, penggunaan ampas tebu ini belum dilakukan secara optimal. Hal
ini karena perusahaan masih menambahkan IDO (minyak solar) sebagai
tambahan energi atau suplesi pada boiler dalam jumlah yang cukup besar
setiap tahunnya. Penggunaan IDO yang mencapai kurang lebih 1,7 juta liter
per tahun memberikan kontribusi yang nyata terhadap biaya produksi
pengolahan gula. Selain itu, penggunaan IDO ini juga menghasilkan emisi
gas tercemar yang cukup tinggi. Oleh karena itu, terdapat peluang penerapan
produksi bersih pada stasiun boiler dengan cara mengurangi penggunaan
minyak diesel ini. Penghematan ini diharapkan mampu memberikan manfaat
ekonomi sekaligus manfaat lingkungan bagi perusahaan.
Penghematan konsumsi IDO juga memberikan pengaruh atau manfaat
lain seperti penghematan konsumsi air imbibisi yang berpengaruh terhadap
efisiensi proses pada tahap penggilingan, serta efisiensi penggunaan air

70

melalui pengurangan biaya pengolahan air. Skema peluang penerapan


produksi bersih di stasiun gilingan dapat dilihat pada Gambar 6.
Penggunaan air imbibisi
belum terkontrol

Kadar air dalam


ampas tinggi

Konsumsi IDO
tinggi

Opsi
produksi bersih
Penghematan
konsumsi air
imbibisi
Menurunkan
kadar air
dalam ampas

Meningkatkan
kandungan sukrosa
dalam nira mentah

Mengurangi
kehilangan gula
dalam ampas

Mengurangi biaya bahan


kimia untuk pengolahan
air softener

Mengurangi
beban kerja
evaporator

Efisiensi proses

Gambar 6. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun gilingan


Peluang

aplikasi

produksi

bersih

lainnya

adalah

meningkatkan

manajemen penggunaan air, diantaranya mengurangi waktu pencucian pada


stasiun evaporator serta penerapan in-house keeping berupa peningkatan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan perbaikan kebocoran-kebocoran
pada pipa. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun penguapan
dapat dilihat pada Gambar 7.

71

K o n s u m s i a ir
p e n c u c i b e lu m te r k o n tr o l

O psi
p r o d u k s i b e r s ih

R e d u k s i w a k tu
p e n c u c ia n

P em asangan
s p ra y e r

P em asangan
l e v e l c o n t r o ll e r

H em at konsum si
a ir s o f t e n e r

H e m a t b ia y a
b a h a n k i m ia

K onsum si
a ir t e r k o n t r o l

E fis ie n s i p r o s e s

Gambar 7. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun penguapan

3. Peluang Penerapan Produksi Bersih


Setelah menyusun pilihan alternatif perbaikan dalam rangka efisiensi
proses melalui pendekatan produksi bersih, maka selanjutnya dilakukan
analisis penerapan produksi bersih dari alternatif-alternatif yang telah
terpilih. Perbaikan efisiensi proses yang direkomendasikan secara ringkas
dapat dilihat pada Lampiran 10.
Analisis terdiri dari analisis neraca massa dan neraca energi di beberapa
tahapan proses. Neraca massa dan neraca energi disusun sebagai suatu usaha
untuk mengidentifikasi seberapa besar loss yang dihasilkan dari tahapan
proses yang kurang efisien. Setelah itu, dengan adanya alternatif penerapan
produksi ini dapat diketahui besarnya manfaat dari penghematan dilihat dari
segi ekonomi dan lingkungan.

a. Stasiun Boiler
Uap yang dihasilkan stasiun ketel uap atau boiler digunakan untuk
menggerakan turbin sebagai sumber tenaga dan untuk keperluan proses
pengolahan gula di PG. Jatitujuh. Namun, sering timbul masalah yang
menyebabkan kinerja ketel uap kurang optimal. Diantaranya adalah

72

seringnya operasi ketel uap terhenti akibat ampas kurang terbakar atau
dengan kata lain energi yang dihasilkan dalam pembakaran ampas kurang
memenuhi sehingga diperlukan suplesi energi dari IDO sebagai tambahan.
Hal ini juga menyebabkan tenaga mesin sering turun akibat pasokan uap
yang dihasilkan ketel uap juga berkurang.
Tenaga mesin yang turun, berakibat pada terhentinya proses produksi.
Terhentinya proses produksi ini akan mengakibatkan nira yang sedang
diproses akan mengalami kerusakan dan berakibat pada penurunan
rendemen, mengingat sifat nira yang mudah rusak pada kondisi pH rendah.
Selain itu, penggunaan IDO dalam jumlah yang besar merupakan suatu
biaya yang berpengaruh terhadap biaya produksi. Oleh karena itu, melalui
pilihan alternatif produksi bersih maka diperlukan peningkatan efisiensi
dan kinerja ketel uap.
Peningkatan efisiensi dan kinerja ketel uap ini diantaranya adalah
optimalisasi penggunaan amps tebu sebagai bahan bakar, peningkatan
kontrol terhadap operasi ketel uap serta perbaikan kebocoran-kebocoran
pada pipa-pipa saluran uap.
1) Optimalisasi Penggunaan Ampas
Ampas tebu merupakan produk samping yang dihasilkan stasiun
gilingan yang terdiri dari air, serat (sabut) dan sejumlah padatan
terlarut.

Komposisinya

sangat

ditentukan

oleh

varietas

tebu,

kematangan tebu, metode pemanenan serta efisiensi dari stasiun


gilingan (Paturau, 1982).
Dalam industri gula, ampas tebu merupakan bahan bakar utama
ketel uap atau boiler untuk menghasilkan sejumlah uap dan selanjutnya
digunakan untuk keperluan proses dan energi listrik. Jika mengalami
kekurangan, maka ditambahkan dengan bahan bakar kayu dan jika
perlu dengan daun tebu yang kering serta minyak diesel atau residu.
Hal ini karena, pada umumnya bahan bakar berupa ampas saja tidak
mencukupi dan harus disediakan bahan bakar lain dalam jumlah yang
cukup (Moerdokusumo, 1993).

73

Pabrik Gula Jatitujuh menggunakan residu (IDO) sebagai bahan


tambahan karena kemudahan operasi dan ketersediannya. Penggunaan
IDO sebagai bahan tambahan atau suplesi ini tentu saja diharapkan
bisa seoptimal mungkin mengingat harga bahan bakar minyak yang
kian meningkat.
Dari laporan produksi tahunan pada Lampiran 2, diketahui bahwa
penggunaan IDO ini terus meningkat dari 0,6 juta liter pada tahun
2002 menjadi 1,7 juta liter pada tahun 2004. Dengan harga BBM yang
kian meningkat pula, tentu saja penggunaan IDO ini berkontribusi
langsung terhadap biaya produksi dan efisiensi proses. Selain itu,
penggunaan IDO telah menambah jumlah emisi gas buang yang
dikeluarkan oleh cerobong asap pada proses pengolahan gula.
Berdasarkan alternatif pilihan penerapan produksi bersih, dapat
diidentifikasi bahwa penghematan konsumsi IDO dapat dilakukan
dengan cara lebih mengoptimalkan penggunaan ampas tebu sebagai
bahan bakar. Hal ini didasarkan pada kondisi ampas yang dihasilkan
stasiun gilingan belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Ampas
yang dihasilkan ternyata masih memiliki kadar air berkisar antara 5052 persen. Paturau (1982) menjelaskan bahwa, rata-rata ampas tebu
memiliki kadar air 46-52 persen, sabut 43-52 persen dan padatan
terlarut (terutama gula) 2-6 persen. Skema peluang penerapan produksi
bersih di stasiun ketel uap dapat dilihat pada Gambar 8.
Data pengawasan pabrik pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa,
ampas memiliki kadar air 51 persen dengan pol % ampas sebesar 4,24
persen. Angka 51 persen merupakan data primer pabrik sedangkan
angka 4,24 persen adalah hasil perhitungan dari neraca massa di
stasiun gilingan. Secara lengkap, perhitungan neraca massa disajikan
pada Lampiran 4.

74

Water Treatment Plant


Water softener
Keperluan proses
Uap (steam)

Gas buangan mengandung SO2,


CO2, CO, Particulat Matter dll.
Abu ketel

Ampas
Stasiun Gilingan

Arang
IDO (minyak diesel)

Boiler

Gambar 8. Skema peluang penerapan produksi bersih di stasiun boiler


Kadar air yang terhitung masih tinggi ini menyebabkan ampas
tidak mampu memenuhi energi panas yang dibutuhkan untuk
menghasilkan

uap

yang

diperlukan

untuk

keperluan

proses.

Berdasarkan perhitungan kebutuhan uap dan energi pada Lampiran 6


dan 7, diketahui bahwa energi yang dibutuhkan untuk keperluan
produksi adalah sebesar 2,7998 x 1011 kkal/tahun.
Pada saat ini, kebutuhan energi dipenuhi oleh energi yang
dihasilkan dari ampas tebu dan IDO. Dengan mengkonversikan total
IDO yang dikonsumsi selama satu tahun musim giling, yaitu sekitar
1.652.400 liter (menurut data tahun 2004), maka pada kadar air 51
persen dihasilkan nilai energi panas dari ampas adalah 2,6456 x 1011
kkal/tahun, sehingga diperlukan tambahan energi dari IDO sebesar
0,1542 x 1011 kkal/tahun.
Jumlah konsumsi IDO yang tinggi ini diduga mampu diturunkan
dengan mengoptimalkan penggunaan ampas jika kadar air yang
terkandung dalam ampas bisa mencapai 50 persen atau turun sekitar
satu persen. Pada kondisi kadar air ampas mencapai 50 persen, maka
dihasilkan energi panas 2,7464 x 1011 kkal/tahun, sehingga hanya
dibutuhkan tambahan energi dari IDO sebesar 0,0534 x 1011 kkal/tahun
atau setara dengan 562.105,26 kg IDO/tahun. Dengan demikian,
penurunan kadar air pada ampas dari 51 persen menjadi 50 persen

75

dapat menghemat kurang lebih 1.061.007,74 kg/tahun. Jika asumsi


harga IDO adalah Rp. 2175 per kg, maka perusahaan dapat menghemat
biaya untuk pengadaan IDO sebesar Rp. 2.307.844.085/tahun atau
kurang lebih 2,3 milyar rupiah per tahun.
2) Peningkatan kontrol terhadap kinerja ketel uap
Kontrol terhadap kinerja ketel uap menjadi sangat penting karena
jika kegiatan produksi terhenti akibat tenaga yang dihasilkannya juga
terhenti, maka kerugian lain yang timbul adalah kerusakan nira yang
dapat menurunkan nilai rendemen dari gula itu sendiri.
Upaya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sistem kontrol
pada tekanan, suhu dan air yang diumpankan (make-up water). Selain
itu, perlu kiranya pengawasan yang ketat terhadap operasi ketel uap
dari operator dan juga pengawasan terhadap operator itu sendiri,
sehingga kerusakan atau masalah yang mungkin timbul dapat
diantisipasi lebih dini.
Manfaat lain yang diharapkan dapat diperoleh dari peningkatan
kontrol terhadap kinerja ketel uap ini adalah mengurangi jam berhenti
kerja sehingga kerusakan akibat kegiatan produksi yang terhenti bisa
dihindari.
3) Peluang konservasi energi uap
Dari analisis neraca massa dan energi pada Lampiran 6 dan 7, juga
didapatkan bahwa masih terdapat peluang untuk mengkonservasi uap
(steam), sehingga penggunaan uap dapat dilakukan lebih efisien.
Berikut ini diagram peluang penerapan konservasi energi uap.

76

Efisiensi Uap

Perbaikan
kebocoran pipa

Reduksi jam berhenti

Hemat IDO

Peningkatan kontrol
terhadap boiler

Hemat make-up
water boiler

Hemat bahan kimia


untuk pengolahan air

Gambar 9. Skema peluang konservasi energi uap


Uap yang digunakan di PG. Jatitujuh dihasilkan dari tiga buah
ketel uap yang masing-masing memiliki kapasitas terpasang 55 ton
uap/jam. Hasil perhitungan menunjukkan, banyaknya uap yang
dibutuhkan untuk kegiatan proses adalah 1.103,5 kg uap/ton tebu
giling sedangkan produksi rata-rata dari ketel uap adalah 944,06 kg
uap/ton tebu giling. Kekurangan uap ini dipenuhi dari uap bekas
(exhaust steam) stasiun turbin.
Uap baru yang dikonsumsi sebesar 833,61 kg uap/ton tebu giling
antara lain digunakan untuk menggerakkan turbin generator, turbin
gilingan

dan unigrator serta turbin untuk menggerakkan pompa

pengisi air ketel uap, sedangkan uap bekas yang dikonsumsi untuk
stasiun pemurnian, penguapan , masakan dan putaran adalah sebesar
269,44 kg uap/ton tebu giling. Distribusi penggunaan uap di setiap
stasiun dapat dilihat pada Gambar 10.
Pemanfaatan uap bekas telah menghemat masukan energi sebesar
269,44 kg uap/ton tebu giling namun efisiensi penggunaan uap hanya
mencapai 88, 30 persen. Hasil ini didapat dengan melihat selisih uap
rata-rata yang dihasilkan dan uap yang dikonsumsi, kemudian
dibandingkan dengan uap rata-rata yang dihasilkan dan dari
perhitungan didapat bahwa terjadi kehilangan uap baru sebesar 11,7
persen. Kehilangan uap ini disebabkan oleh kebocoran-kebocoran yang
terjadi pada pipa-pipa saluran uap. Semakin banyak kebocoran pada

77

pipa, maka semakin besar pula uap yang hilang, sehingga efisiensi
penggunaan uap akan semakin kecil.
Kehilangan uap juga terjadi karena tidak terjaganya kontinyuitas
proses produksi. Ketidakkontinyuan ini misalnya terjadi saat ada
kerusakan pada roller gilingan, maka stasiun gilingan akan terhenti,
padahal ketel uap terus menerus bekerja menghasilkan uap untuk
kebutuhan stasiun gilingan tersebut. Hal ini mengakibatkan uap yang
telah dihasilkan harus dibuang (blow down) untuk menghindari
kelebihan tekanan pada pipa-pipa saluran uap.
Manfaat atau keuntungan yang bisa diperoleh dari konservasi uap
ini diantaranya penggunaan steam menjadi lebih optimal. Perbaikan
kebocoran pada pipa-pipa saluran uap akan mengurangi uap yang
hilang. Hal ini berarti juga, menghemat air yang diumpankan ke ketel
uap (make-up water) sehingga biaya yang dibutuhkan untuk mengolah
air sungai menjadi water softener juga dapat berkurang. Selain itu,
terhentinya proses produksi akibat tenaga mesin yang turun (drop)
dapat dikurangi sehingga kegiatan produksi dapat berlangsung lebih
efisien.

78

b. tasiun Gilingan
Stasiun gilingan sebagai stasiun yang menghasilkan ampas dan nira
mentah menjadi perhatian selanjutnya dalam mengidentifikasi peluang
penerapan produksi bersih di stasiun ketel uap. Dari stasiun inilah kondisi
ampas dihasilkan yang selanjutnya diumpankan menuju ketel uap melalui
feed conveyor.
Kegiatan di stasiun gilingan ini bertujuan untuk mengekstraksi pol
(kadar sukrosa) dari tebu sebanyak-banyaknya dengan cara pemerahan dan
pembilasan serta menghasilkan bahan bakar yang murah untuk keperluan
energi di stasiun gilingan, proses dan listrik perusahaan.
Pada stasiun ini, tebu yang telah tercacah di stasiun pendahuluan akan
dibawa menuju stasiun gilingan untuk diperah nira yang terkandung di
dalamnya. Input-input yang masuk pada stasiun ini adalah tebu dan air
imbibisi. Air imbibisi merupakan air pembilas yang digunakan untuk lebih
memaksimalkan pengeluaran nira dari tebu. Air yang memiliki suhu
sekitar 30-35

C ini diumpankan pada gilingan 3 dan 4 dengan

perbandingan masing-masing 30 dan 70 persen. Air imbibisi yang


diumpankan adalah sekitar 25-30 persen.
Air imbibisi digunakan untuk lebih mengoptimalkan nira mentah yang
dihasilkan stasiun gilingan sekaligus mengurangi kehilangan gula dalam
ampas atau yang dikenal dengan istilah pol % ampas. Pemberian air ini
biasanya diberikan sebanyak-banyaknya dengan asumsi bahwa semakin
banyak air imbibisi yang diberikan, maka semakin banyak pula nira yang
dapat dihasilkan. Namun, tentu saja pemberian air imbibisi ini juga harus
dilakukan secara optimal berdasarkan kebutuhan. Berikut ini dua neraca
massa, pol dan brix di stasiun gilingan yang dihitung berdasarkan dua data
yang ada di PG. Jatitujuh.

79

Gambar 10. Diagram distribusi penggunaan uap di PG. Jatitujuh

80

81

Mathur (1978) menjelaskan bahwa pertimbangan yang paling penting


dalam pemberian air imbibisi ini adalah sebisa mungkin air imbibisi dapat
menembus cacahan tebu sehingga air dapat menarik gula yang masih
tersisa dalam ampas. Pemberian air imbibisi juga harus dalam jumlah yang
optimal agar ampas yang dihasilkan memiliki kadar air sekering mungkin.
Selain itu, tekanan dalam gilingan juga harus cukup sehingga ampas yang
keluar dari gilingan lebih kering tanpa meninggalkan banyak gula di
dalamnya.
Pemberian air imbibisi yang belum terkontrol dengan baik pada stasiun
gilingan di PG. Jatitujuh, memberikan peluang diterapkannya produksi
bersih melalui penghematan air imbibisi. Penghematan ini dilakukan untuk
mencegah

pemberian

air

imbibisi

yang

berlebihan

yang

dapat

meningkatkan biaya pengolahan air dan meningkatkan kadar air ampas


yang dihasilkan.
Pada kondisi pertama (Gambar 11), jumlah air yang diberikan adalah
sebanyak 50.263 kg/jam atau sekitar 30 persen dari tebu yang masuk. Tebu
yang masuk sebanyak 165.553 kg/jam dengan % brix dan % pol masingmasing adalah 11,67 dan 7,89 persen serta kadar sabut 17,26 persen, maka
dihasilkan nira mentah 153.128 kg/jam dengan % brix dan % pol sebesar
11,02 dan 7,54 persen. Selain itu, ampas yang dihasilkan adalah 34.461
kg/jam dan memiliki kadar air 51 persen dengan % brix dan % pol adalah
7,15 dan 4,24 persen. Kondisi ini merupakan data yang diperoleh dari data
pengawasan giling tahun 2004. Perhitungan neraca massa di stasiun
gilingan ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
Seperti dijelaskan sebelumnya mengenai peluang penerapan produksi
bersih di stasiun ketel uap melalui optimalisasi penggunaan ampas, kadar
air sebesar 51 persen ini diharapkan bisa diturunkan dengan mengurangi
penggunaan air imbibisi. Dari identifikasi ini, maka alternatif dari
penerapan produksi bersih di stasiun gilingan adalah dengan menghemat
penggunaan air imbibisi.
Pada kondisi kedua yang menjadi rekomendasi penerapan produksi
bersih, air imbibisi yang digunakan adalah sebanyak 42.455 kg/jam atau

82

kurang lebih 25 persen dari tebu yang masuk, sedangkan tebu yang masuk
adalah sebanyak 171.038 kg/jam dengan %brix dan % pol adalah 13,89
dan 9,21 persen serta kadar sabut 17,26 persen. Kondisi input tebu yang
berbeda pada analisis neraca massa ini, dikarenakan data yang digunakan
merupakan kondisi riil yang ada pada selang waktu produksi tahun 2002
sampai dengan 2004, dimana jumlah tebu yang digiling berbeda-beda
tergantung banyaknya tebu yang ditebang.
Berdasarkan analisis neraca massa, dapat diketahui bahwa dengan
kondisi kedua, maka nira mentah yang dihasilkan adalah 148.551 kg/jam.
Persen brix dan pol yang dihasilkan pada nira mentah pun cenderung
meningkat jika dibandingkan dengan kondisi pertama. Persen brix dan pol
pada nira mentah di kondisi kedua meningkat menjadi 14,22 dan 9,67
persen dari 13,89 dan 9,21 untuk brix % tebu dan pol % tebu. Pada kondisi
pertama, brix % tebu dan pol % tebu cenderung turun dari11,67 dan 7,89
persen menjadi 11,02 dan 7,54 persen pada brix % nira mentah dan pol %
nira mentah.
Dari sisi jumlah, nira mentah yang dihasilkan berkurang sejalan
dengan adanya penurunan konsumsi air imbibisi dari 30 persen menjadi 25
persen. Penurunan nira mentah yang dihasilkan adalah kurang lebih 6
persen. Hasil ini dihitung dari selisih antara nira mentah pada kondisi
pertama dan kedua. Pada kondisi pertama, nira mentah yang dihasilkan
153.128 kg/jam atau kurang lebih 93 persen dari tebu yang masuk ke
gilingan, sedangkan untuk kondisi kedua, nira mentah yang dihasilkan
adalah 148.551 kg/jam atau sekitar 87 persen dari tebu yang masuk ke
gilingan.
Akan tetapi, dari sisi hasil gula atau dalam hal ini ditunjukkan oleh %
brix dan % pol, kondisi kedua yang menggunakan air imbibisi 25 persen
dari tebu yang masuk ke gilingan cenderung meningkat. Hal ini berarti,
konsentrasi padatan terlarut atau gula ikut meningkat pula. Peningkatan ini,
memberikan dua manfaat sekaligus. Diataranya adalah konsentrasi gula
yang meningkat, akan meningkatkan pula rendemen dari kristal gula yang
dihasilkan. Selain itu, jumlah air dalam nira mentah yang berkurang, akan

83

mengurangi beban evaporator dalam menguapkan air dalam nira. Ini


menunjukkan bahwa efisiensi dari kinerja gilingan meningkat dengan
adanya penghematan konsumsi air imbibisi pada kondisi 25 persen dari
tebu yang masuk.
Ampas yang dihasilkan dari stasiun gilingan, ternyata juga
memberikan keuntungan lain, selain menurunnya kadar air dalam ampas
menjadi 50 persen. Keuntungan itu adalah, menurunnya brix % ampas dan
pol % ampas. Penurunan ini berarti bahwa kehilangan gula dalam ampas
juga bisa dikurangi. Hal ini diduga disebabkan karena adanya perbedaan
konstruksi instalasi saluran imbibisi di gilingan 3 dan gilingan 4. Pada
gilingan 3, air imbibisi disalurkan pada konveyor, yaitu saat ampas keluar
dari gilingan 3, sedangkan untuk gilingan 4, air imbibisi diberikan tepat di
atas roller gilingan 4. Kondisi ini menjadikan ampas dengan kondisi air
imbibisi lebih banyak, akan kurang tertekan karena permukaan roller yang
licin sehingga gilingan kurang memberikan efek pemerahan dan ampas
tidak tergiling secara maksimal. Besarnya manfaat ekonomi dari
penghematan konsumsi air imbibisi ini dapat dilihat dalam bagian
manajemen penggunaan air dan Lampiran 8. Berikut ini gambar konstruksi
saluran air imbibisi di gilingan 3 dan gilingan 4.

(a)

(b)

Gambar 12. Konstruksi pipa air imbibisi di gilingan 3 (a) dan gilingan 4 (b)

84

c. Stasiun Penguapan (evaporator)


Nira jernih (clear juice) hasil pemurnian masih mengandung air yang
sangat tinggi (kurang lebih 80 persen), sehingga kadar air ini harus
diturunkan agar proses pemasakan dapat berjalan dengan lebih cepat.
Penurunan kadar air ini dilakukan dengan menguapkan air yang terkadung
dalam nira jernih di dalam evaporator. Derajat kekentalan nira yang harus
dicapai di stasiun penguapan adalah 30 32 oBe atau 60 64 % brix.
Adanya penambahan susu kapur dan gas SO2 pada proses sebelumnya,
yaitu tahapan pemurnian, menjadikan nira yang diuapkan memiliki
kemungkinan menimbulkan kerak dan korosi pada badan penguap. Kerak
dan korosi ini dapat menghambat proses penguapan karena proses pindah
panas menjadi terhambat karena adanya kerak atau korosi. Selain itu, kerak
dan korosi dapat merusak badan penguap, pemborosan bahan bakar (dalam
hal ini steam sebagai media pemanasnya) dan dapat menyebabkan adanya
bahaya local over heating yang dapat menyebabkan ledakan.
Untuk mengatasi hal tersebut, PG. Jatitujuh melakukan perawatan
berupa pencucian satu badan penguap setiap hari. Saat ini, terdapat 5 buah
badan penguap yang dimiliki oleh perusahaan dimana empat dipakai untuk
produksi sedangkan sisanya dibersihkan sebagai cadangan jika terjadi
kerusakan pada salah satu badan penguap. Proses pencucian dilakukan
melibatkan 3-5 orang dengan lama pencucian kurang lebih 8 jam.
Pencucian dimulai dengan perendaman badan evaporator dengan larutan
alkali dan penghilang kerak dan korosi selama dua jam, kemudian
dilanjutkan dengan pencucian dan pembilasan selama 6 jam. Air yang
digunakan untuk proses pencucian ini belum terkontrol dengan baik,
padahal menurut pengamatan jumlahnya tidak sedikit, yaitu kurang lebih
240 m3/hari. Oleh karena itu, peluang penerapan produksi bersih
selanjutnya adalah penghematan konsumsi air pada saat pencucian badan
penguap dengan cara mengurangi lama pencucian, penggunaan pressurized
sprayer sebagai alat pembilas serta pemasangan flow meter, sehingga
proses pencucian dapat lebih efisien.

85

Melalui penggunaan pressurized sprayer ini, diharapkan waktu


pencucian evaporator dapat berlangsung lebih cepat dan menghemat air
dengan optimal. Hal ini karena, luas penampang dari pressurized sprayer
yang lebih kecil daripada pipa saluran air pencuci, dapat mengurangi
konsumsi air yang digunakan untuk mencuci badan penguap. Selain itu,
akan memudahkan operator menjangkau bagian-bagian yang sulit
dijangkau seperti dinding badan penguap bagian atas.
Pemasangan flow meter atau meteran air biasa dimaksudkan untuk
mengontrol pemakaian air pada saat pencucian. Penggunaan air yang tidak
sedikit dan dilakukan setiap hari saat pencucian tentunya memerlukan
kontrol agar proses pencucian tetap berjalan dengan efisien.

d. In-house keeping
Produksi bersih sebagai upaya pencegahan pencemaran (preventif)
yang bersifat proaktif dilakukan untuk menurunkan sekecil mungkin
dampak lingkungan pada sumbernya, sekaligus meningkatkan efisiensi
pemakaian bahan dan energi. Dalam rangka lebih mengefisienkan proses
produksi dari hal-hal yang sering dianggap kurang penting, maka in-house
keeping menjadi pilihan dalam mengatasi masalah tersebut. Hal-hal
tersebut diantaranya penanganan terhadap kebocoran, tumpahan bahan dan
perawatan berkala terhadap mesin dan peralatan produksi. Berdasarkan
pengamatan, masih banyak kebocoran, tumpahan bahan yang terjadi pada
kegiatan produksi pengolahan gula. Diantaranya adalah kebocoran pada
pipa-pipa saluran air, uap,oli, gas SO2 yang mengakibatkan proses
produksi kurang efisien, ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja, selain itu proses giling sering terhenti yang menyebabkan jam
berhenti giling cukup tinggi. Berikut ini skema peluang penerapan good
house keeping.

86

In-house keeping

Peningkatan
efisiensi & K3

Penutupan kran
/katup lebih teliti

Perawatan mesin
secara teratur

Perbaikan kebocoran pada


pipa, mesin dan alat

Gambar 13. Skema peluang penerapan in-house keeping


Program produksi bersih berupa penanganan bahan, perbaikan
kebocoran dan perawatan mesin secara berkala ini merupakan teknik good
house keeping yang dimaksudkan untuk mengefisienkan pemakaian bahan
dan kegiatan poduksi sekaligus mengurang limbah dan dampaknya
terhadap manusia dan lingkungan. Dari analisis terhadap identifikasi
peluang penerapan good house keeping, dapat diduga penghematan atau
manfaat ekonomi dari konsep good house keeping yang direkomendasikan.
Perhitungan penghematan ini disajikan pada Lampiran 11.
Total penghematan air yang teridentifikasi di stasiun gilingan, stasiun
penguapan, dan kegiatan good house keeping berupa perbaikan kebocoran
dan penutupan kran dengan baik, akan menghemat kurang lebih 150 m3
per hari. Jika diasumsikan biaya pengolahan untuk mendapatkan air
tersebut adalah Rp. 350,- /m3, maka keuntungan ekonomi yang bisa
didapat dari penghematan air ini adalah Rp. Rp. 7.840.000,-/tahun. Untuk
menerapkan program tersebut diperlukan biaya instalasi yang meliputi
pemasangan sprayer, level controller, dan instalasi pipa yang mencapai
jumlah Rp. 4.750.000,- sehingga dalam jangka waktu 7 bulan maka biaya
yang dikeluarkan akan kembali kepada perusahaan dan tahun selanjutnya,
perusahaan dapat memperoleh keuntungan dari penerapan produksi bersih
ini.

87

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Industri gula yang tengah menjadi sorotan dalam hal biaya produksi
yang masih tinggi dan pengaruh limbahnya terhadap lingkungan,
memberikan peluang untuk diterapkannya produksi bersih yang dapat
memberikan manfaat lingkungan sekaligus manfaat ekonomi.
Penghematan konsumsi air imbibisi sebesar 5 persen pada proses
penggilingan tebu, diduga dapat meningkatkan konsentrasi nira mentah yang
dihasilkan dan mengurangi kadar air ampas yang dihasilkan dari 51 persen
menjadi 50 persen. Penurunan kadar air dalam ampas ini , menghemat
penggunaan IDO/minyak diesel sebesar 1.061.007,74 kg ( 1,1 juta liter)
per tahun atau senilai Rp. 2,3 milyar per tahun.
Penerapan konsep in-house keeping pada instalasi ketel uap berupa
perbaikan kebocoran pada pipa aliran uap, diduga mampu mereduksi
kehilangan uap baru sebesar 11,7 persen atau sekitar 110,45 kg per ton tebu
giling. Manajemen penggunaan air pada beberapa tahapan proses juga
memberikan manfaat ekonomi sebesar Rp. 7.840.000,- per tahun dengan
biaya penerapan program produksi bersih sebesar Rp. 4.750.000,- berupa
pemasangan level controller, spray dan instalasi pipa baru.

B. SARAN
1. Perlunya dokumentasi data yang lengkap untuk menunjang penyusunan
neraca massa dan energi di setiap tahapan proses.
2. Kajian lebih lanjut mengenai penggunaan air imbibisi yang bertekanan
diperlukan untuk lebih mengoptimalkan penggunaan air imbibisi dan
kadar air ampas yang dihasilkan.

88

DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, S. 2003. Dinamika Industri Gula Domestik. Jurnal Pangan. Edisi No.
41/XII/Juli/2003. hlm : 18-34.
Ananta, T. Martoyo, dan E. Santoso. Pengaruh Ekstraksi Padat Cair Terhadap
Kualitas Gula yang Dihasilkan dari Proses Sulfitasi. Penelitian Gula
Indonesia. 1990. ISSN 0541:7406. hlm: 2-5.
Andriyani, A. 2003. Mempelajari Teknologi Proses Produksi dan Pengawasan
Mutu Gula Kristal di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh
Majalengka-Jawa Barat. Laporan Praktek Lapang. Fateta-IPB, Bogor.
Anonim, 2004. Bila Gula Terasa Pahit. Di dalam http://www.warta
ekonomi.com, 2005.
______, 1992. Gula Tebu. Di dalam. http://warintek.progressio.or.id, 2005.
______, 1997. Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), masalah, kendala dan saran
penyempurnaannya. Bulog, Jakarta.
Boyle, C. 1999. Cleaner Production in New Zealand. Journal of Cleaner
Production. Vol 7(1). ISSN 0959-6526. Elsevier Science Ltd. The
Boulevard, Langford Lane, Kidlington, Oxford, UK. p.59-67.
Dachlan, M.A. 1984. Proses Pembuatan Gula Merah. Di dalam Laporan Up
Grading Tenaga Pembina Gula Merah. Balai Penelitian dan
Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian. Bogor.
Erningpraja, L. 2001. Rancang Bangun Model Produksi Bersih Kebun Kelapa
Sawit. Studi Kasus di Kebun Kelapa Sawit Kertajaya, Banten dan
Kebun Kelapa Sawit Bah Jambi, Sumatera Utara. Disertasi. Program
Pasca Sarjana-IPB, Bogor.
Gehlawat, J. K. 1996. Membrane Technology for Sugar Industry. Proceeding
Academic.
Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian IPB, Bogor
Hammer, B. 1996. What Is The Relationship between Cleaner Production,
Pollution Prevention, Waste Minimization and ISO 14000 ? Paper for
Presentation at The 1st Asian Conference on Cleaner Production in The
Chemical Industry, December 9-10,1996, Taipei. Di dalam
http://www.cleanerproduction.com. 2002

89

Hugot, E. 1986. Hand Book of Cane Sugar Engineering. 3rd Edition. McGrawHill Book Company.
Indeswari, N.S. 1986. Penentuan Dosis Kapur dan Belerang Pada Proses
Pemurnian Nira Tebu di Pabrik Gula Mini Lawang. Laporan Penelitian.
Fakultas Pertanian. Universitas Andalas, Padang.
Indrayana, 2001. Analisis Kebutuhan Energi pada Proses Produksi Gula di PT.
PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.
Jenkins,G.H. 1966. Introduction to Cane Sugar Technology. Elsevier Scientific
Publ. Co. Amsterdam, The Netherlands.
Larsito, S., dan Hartono S. 2002. Industri Gula Indonesia dan Peluang Lampung
Mendukung Swasembada. Media Perkebunan. No. 40. Mei-Juni 2002
hlm. 21-23.
Lyle, O. 1957. Technology For Sugar Refinery Workers. Chapman and Hall
LTD. London.
Mathur, R.M.L. 1978. Handbook of Cane Sugar Technology. Oxford & IBH
Publ. Co. New Delhi.
Mochtar, M. dan T. Ananta. 1998. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam
Pasca Panen Tebu sebagai Bahan Baku Pabrik Gula. Penelitian Gula
Indonesia. ISSN 0541:7406. hlm: 7-8.
Mochtar, M. 1994. Beberapa Persoalan dan Hasil Pemurnian Nira Tebu.
Penelitian Gula Indonesia. ISSN 0541:7406. hlm: 5-8.
Moerdokusumo. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di
Indonesia. ITB. Bandung.
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Nasution, E.P. 2001. Studi Penerapan Produksi Bersih pada Industri Tahu.
Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.
Paryanto, I., A. Fachruddin dan W. Sumaryono. 1999. Diversifikasi Sukrosa
Menjadi Produk Lain. P3GI. Serpong.
Paturau, J.M. 1982. By-product of The Cane Sugar Industry. 2nd Edition.
Elsevier Scientific Publ. Co. Amsterdam, The Netherlands.

90

Pauli, G. 1997. Zero Emmisions : the ultimate goal of cleaner production.


Journal of Cleaner Production. Vol 5(1-2). March-June 1997. ISSN
1959-6526. Elsevier Science Ltd. The Boulevard, Langford Lane,
Kidlington, Oxford, UK. p. 109-114.
Payne, J. H. 1953. Fundamental Reaction of The Clarification Process. Elsevier.
Amsterdam.
Purwono, 2003. Penentuan Rendemen Gula Tebu Secara Cepat. Di dalam
http://www.rudyct.tripod.com. 2005.
Ramjaewon, T. 2000. Cleaner Production in Mauritian Cane Sugar Factories.
Journal of Cleaner Production 8(2000), p.503-510.
UNEP. 2004. Cleaner Production Assessment in Industries. Di dalam.
http://www.uneptie.org. 2001.
UNEPIE. 1995. Cleaner Production at Pulp and Paper Mills : A Guidance
Manual. United Nation Environment Programme Industry and
Environment, France. Di dalam . http://www.unepie.org. 2002.
UNIDO. 2004. What is Cleaner Production. Di dalam. http://www.unido.org.
2002.
USAID. 1997. Panduan Pengintegrasian Produksi Bersih ke dalam Penyusunan
Program Kegiatan Pembangunan. Deperindag, Jakarta.
Van Berkel, R., E Willems dan M. Lefleur 1997. Development of An Industrial
Ecology Toolbox for The Introduction of Industrial Ecology In
Enterprises I. Journal of Cleaner Production. Vol 5(1-2). March-June
1997. ISSN 1959-6526. Elsevier Science Ltd. The Boulevard, Langford
Lane, Kidlington, Oxford, UK. p.11-26.

91

LAMPIRAN

92

Lampiran 1. Struktur Organisasi PT. PG. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh


STRUKTUR ORGANISASI
KARYAWAN PIMPINAN PT. PG RAJAWALI II
UNIT PG JATITUJUH
TAHUN 2005
DIREKSI
PT. PG RAJAWALI II

GENERAL MANAGER

Ke

Kabag TU & K

Staf TUK

Kabag SDM & Umum

Staf SDM & Umum

Kabag Instalasi

Staf Instalasi

Kabag Pabrikasi

Staf Pabrikasi

Kepala Tanaman II

Kepala Tanaman II

HTO/SKK

HTO/SKK

Staf Tanaman

Staf Tanaman

93

Lampiran 2. Evaluasi giling PG. Jatitujuh Tahun 2002-2004


No

Uraian

2
Awal Giling
Akhir Giling
Hari Giling
Luas digiling
Tebu digiling
Tebu / Ha
Rendemen
Hablur / Ha
Total Hablur
Prod. SHS Tebu
Prod. SHS RS
Gula PG
Prod. Tetes Tebu
Prod. Tetes RS
Jam Berhenti Giling
Luar Pabrik
Dalam Pabrik
Kap. Giling Inclu.
Kap. Giling Exclu.
Residu (IDO)
IDO / tebu
Luas tebu terbakar
Tebu terbakar
SHS % tebu
Tetes % tebu
Trash % tebu
HK Tetes

1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.
9.
10.

Sat.
3

Ha
Ton
Ton
%
Ton
Ton
Ton
Ton
Ton
%
%
Ton
Ton
Lt
Ton
Ha
Ton
%
%
%
%

Th. 2002
4
1 Mei
5 Agusutus
97
8.058,47
283.817,8
35,2
6,5
2,3
18.306,9
18.325,2
18.325,2
11.973,8
22,4
10,5
11,9
2.966,1
3.629,8
517.4
1,82
59,45
13.614
6,46
4,22
6,10
34,80

Realisasi
Th. 2003
5
2 Juni
25 September
115
6.871,27
429.507,0
62,5
7,38
4,61
31.708,7
31.667,9
2.741,8
31.667,9
20.181,7
160,9
5,73
5,08
0,65
3.714,1
3.955,6
735.500,0
1,71
1.512,74
100.943,50
7,37
4,69
4,68
33,70

Th. 2004
6
22 Mei
10 Oktober
142
7.274,54
519.648,6
71,4
7,60
5,43
39.468,6
39.213,6
2.329,0
39.213,6
23.068,5
116,7
11,08
0,38
10,70
3.755,4
4.171,7
1.652.400
3,18
915,20
79.803,4
7,50
4,44
3,94
33,40

Sumber : Bagian Risbang PG. Jatitujuh

94

Lampiran 3. Diagram proses pengolahan gula di PG. Jatitujuh

95

Lampiran 4. Neraca massa, pol dan brix di stasiun gilingan


Data Pengamatan (hasil analisa giling periode 10, 2004)
Jumlah digiling (FT) : 171 038 kg/jam

1. Tebu

2. Sabut

3. Nira mentah

Jam giling

: 22 jam

Pol (pT)

: 9,21 %

Brix (bT)

: 13,89 %

sabut (f)

: 17,26 %

Total sabut

: 29 521 kg/jam

Bruto (FNM)

: 148 551 kg/jam

Koreksi kotor (ktNM) : 1,003445


Pol (pNM)

: 9,67 %

Brix (bNM)

: 14,42 %

4. Air imbibisi total (Fi)

: 42 455 kg/jam

diberikan pada ampas 3

: 30 %

ampas 4

: 70%

5. Nilai rata-rata berat jenis sabut

: 1,51574 kg/dm3

Rata-rata hasil analisa


Gilingan
Nilai Brix (bN) %
Nilai Pol

1
17,85
12,38

2
10,27
6,58

FNT

FT

FNT

171.038 (17,26 % x 171.038)

FNT

141.517 kg/jam

3
7,04
4,35

4
3,69
2,19

FS

GILINGAN 1
bNT

(%bNT x FNT)

= (%bN1 x FN1)

+ bNA1

0,1679 x 141517

= 0,1785 x 81331

+ bNA1

23761

= 14.518

+ bNA1

bN1

+ bNA1

96

bNA1

= 23.761 - 14.518

bNA1

= 9243

%bNA1 = bNA1 / FNA1


= (9243 / 60187) x 100 %
= 15.36 %
pNT

pN1

+ pNA1

0,1113 x 141517

= 0,1238 x 81331

+ pNA1

15751

= 10069

+ pNA1

pNA1

= 5682

%pNA1

= (5682 / 60187) x 100 %


= 9,44 %

GILINGAN 2
bNA1

bN3

0,1536 x 60187 + 0,0704 x 47132


9245 + 3319

bNA2 + bN2

= bNA2 + 0,1027 x 67220


= bNA2 + 6904

bNA2

= 12564 - 6904

bNA2

= 5660

%bNA2 = bNA2 / FNA2


= (5660 / 40099) x 100 %
= 14,11 %
pNA1

pN3

5682 + (0,0435 x 47132)


5682 + 2050

pNA2 + pN2

= pNA2 +( 0,0658 x 67220)


= pNA2 + 4423

pNA2

= 7732 - 4423

pNA2

= 3309

%pNA2 = pNA2 / FNA2


= (3309 / 40099) x 100 %
= 8,25 %
GILINGAN 3

97

bNA2

+ bi

bN4

5660 + 0 + 0,0369 x 35984


5660 + 1328

bNA3

bN3

= bNA3 + 3319
= bNA3 + 3319

bNA3

= 6988 - 3319

bNA3

= 3669

%bNA3 = bNA3 / FNA3


= (3669 / 41687) x 100 %
= 8,80 %
pNA2

+ pi

pN4

3309 + 0 + 0,0219 x 35984

pNA3

pN3

= pNA3 + 2050
= pNA3 + 2050

3309 + 788
pNA3

= 4097 - 2050

pNA3

= 2047

%pNA3 = pNA3 / FNA3


= (2047 / 41687) x 100 %
= 4,91 %

GILINGAN 4
bNA3

+ bi

3669 + 0 +

bNA4

bN4

= bNA4 + 1328
bNA4

= 3669 - 1328

bNA4

= 2341

%bNA4 = bNA4 / FNA4


= (2341/ 35421) x 100 %
= 6,61 %
pNA3

+ pi

2047

+0

= pNA4 + 788
bNA4

pNA4

pN4

= 2047 - 788

98

bNA4

= 1259

%bNA4 = bNA4 / FNA4


= (1259/ 35421) x 100 %
= 3,55 %

OVER ALL
bNT

+ bi

bAMPAS

23761 + 0

bNA4

+ 0,1442 x 148551

23761

bNA4

+ 21421

bNA4

= 23761 - 21421

bNA4

= 2340

bNM

%bNA4 = bNA4 / FNA4


= (2340/ 35421) x 100 %
= 6,61 %

pNT

+ pi

pAMPAS

15751 + 0

pNA4

+ 0,1442 x 148551

15751

pNA4

+ 14365

pNA4

= 15751 - 14365

pNA4

= 1386

pNM

%pNA4 = pNA4 / FNA4


= (1386/ 35421) x 100 %
= 3,91 %

99

Lampiran 4 (Lanjutan). Data Pengamatan (hasil analisa giling periode 3, 2003)


1. Tebu

2. Sabut

Jumlah digiling (FT)

: 165.553 kg/jam

Jam giling

: 22 jam

Pol (pT)

: 7,89 %

Brix (bT)

: 11,67 %

sabut (f)

: 17,05 %

Total sabut

: 28 227 kg/jam

3. Nira mentah

Bruto (FNM)

: 153.128 kg/jam

Koreksi kotor (ktNM) : 1,003445


Pol (pNM)

: 11,02 %

Brix (bNM)

: 7,54 %

4. Air imbibisi total (Fi)

: 50.263 kg/jam

diberikan pada ampas 3

: 30 %

ampas 4

: 70%

5. Nilai rata-rata berat jenis sabut : 1,51574 kg/dm3


Rata-rata hasil analisa
Gilingan
Nilai Brix (bN) %
Nilai Pol

1
14,55
10,26

2
7,51
4,92

FNT

FT

FNT

165.553 (17,05 % x 165.553)

FNT

137.326 kg/jam

3
5,65
3,61

4
3,62
2,24

FS

GILINGAN 1
bNT

(%bNT x FNT)

= (%bN1 x FN1)

+ bNA1

0,1407 x 137.326

= 0,1455 x 76346

+ bNA1

19322

= 11108

+ bNA1

bN1

+ bNA1

100

bNA1

= 19322- 11108

bNA1

= 8214

%bNA1 = bNA1 / FNA1


= (8214 / 60980) x 100 %
= 13.46 %
pNT

pN1

+ pNA1

0,0951 x 137326

= 0,1026 x 76346

+ pNA1

13060

= 7833

+ pNA1

pNA1

= 5227

%pNA1

= (5227/ 60980) x 100 %


= 8,57 %

GILINGAN 2
bNA1

bN3

0,1346 x 60980 + 0,0565 x 58504


8214 + 3295

bNA2 + bN2

= bNA2 + 0,0751 x 76782


= bNA2 + 5746

bNA2

= 11508 - 5746

bNA2

= 5762 kg/jam

%bNA2 = bNA2 / FNA2


= (5762 / 42702) x 100 %
= 13,49 %
pNA1

pN3

5227 + (0,0361 x 58504)


5227 + 2105

pNA2 + pN2

= pNA2 +( 0,0492 x 76782)


= pNA2 + 3764

pNA2

= 7332 - 3764

pNA2

= 3568 kg/jam

%pNA2 = pNA2 / FNA2


= (3568 / 42702) x 100 %
= 8,35 %

101

GILINGAN 3
bNA2
5761 + 0 +

+ bi

bN4

bNA3

0,0362 x 33500

= bNA3 + 3295

5761 + 2304

= bNA3 + 3295
bNA3

= 8065 - 3295

bNA3

= 4770 kg/jam

bN3

%bNA3 = bNA3 / FNA3


= (4770 / 32777) x 100 %
= 12,99 %
pNA2

+ pi

pN4

3586 + 0 + 0,0224 x 33500


3586 + 1426

pNA3

pN3

= pNA3 + 2105
= pNA3 + 2105

pNA3

= 5012 - 2105

pNA3

= 2889

%pNA3 = pNA3 / FNA3


= (2889 / 32777) x 100 %
= 7,85 %

GILINGAN 4
bNA3

+ bi

4770 + 0 +

bNA4

bN4

= bNA4 + 2304
bNA4

= 4770 - 2304

bNA4

= 2466

%bNA4 = bNA4 / FNA4


= (2466 / 34461) x 100 %
= 7,15 %
pNA3

+ pi

2889

+0

= pNA4 + 1426

pNA4

pN4

102

bNA4

= 2889 - 1426

bNA4

= 1463

%bNA4 = bNA4 / FNA4


= (1463/ 34461) x 100 %
= 4,24 %

OVER ALL
bNT

+ bi

19322 + 0
19322

bAMPAS

bNA4

+ 0,1102 x 153128

bNA4

bNA4

= 19322 - 16874

bNA4

= 2448

bNM

+ 16874

%bNA4 = bNA4 / FNA4


= (2448 / 34461) x 100 %
= 7,10 %
pNT

+ pi

pAMPAS

13060 + 0

pNA4

+ 0,0754 x 153128

13060

pNA4

+ 11546

pNA4

= 13060 - 11546

pNA4

= 1514

pNM

%pNA4 = pNA4 / FNA4


= (1514 / 34461) x 100 %
= 4,39 %

103

Lampiran 5. Data pengawasan pabrik


Tabel tata penggunaan uap (steam) baru
Daya
Sumber
Peralatan
(hp)
Tenaga
Generator
Turbin
3500
Unigrator
Turbin
1200
Gilingan 1
Turbin
939.6
Gilingan 2
Turbin
939.6
Gilingan 3
Turbin
939.6
Gilingan 4
Turbin
939.6
Pompa Injeksi 1
Turbin
119.2
Pompa Injeksi 2
Turbin
178.2
Pompa Injeksi 3
Turbin
178.2

Konsumsi
Uap
21.19
13.5
21.19
21.19
21.19
21.19
21.19
21.19
21.19

Satuan
kg/kWh
kg/hpH
kg/kWh
kg/kWh
kg/kWh
kg/kWh
kg/kWh
kg/kWh
kg/kWh

Waktu
Pemakaian (jam)
2240,75
2240,75
2240,75
2240,75
2240,75
2240,75
2240,75
2240,75
2240,75

Sumber : data laporan PG. Jatitujuh


Tabel data untuk perhitungan konsumsi uap dan energi (I)
Kapasitas 1 buah ketel uap (ton/jam)
55
Tekanan kerja ketel (kg/cm2)
25
Temperatur uap kering (oC)
330
Kadar air ampas tebu (%)
51
Pol % ampas
4,24
Kadar gas CO2 (%)
15
Kadar gas CO (%)
0,5
240
Temperatur gas keluar cerobong (oC)
30
Temperatur udara (oC)
o
Temperatur air masuk ( C)
90
Laju pemakaian ampas (kg/jam)
24.100
Sumber : data laporan PG. Jatitujuh

Tabel data untuk perhitungan konsumsi uap dan energi (II)


Kapasitas 1 buah ketel uap (ton/jam)
55
Tekanan kerja ketel (kg/cm2)
25
Temperatur uap kering (oC)
330
Kadar air ampas tebu (%)
50
Pol % ampas
3.53
Kadar gas CO2 (%)
15
Kadar gas CO (%)
0,5
Temperatur gas keluar cerobong (oC)
240
o
30
Temperatur udara ( C)
Temperatur air masuk (oC)
90
Laju pemakaian ampas (kg/jam)
24.100
Sumber : data laporan PG. Jatitujuh

104

Lampiran 6. Perhitungan konsumsi uap di pabrik


Kerugian cerobong (Qc)
240 30
Qc = 1,04
%
15
= 14,56 % 15 %
Qc = 15% x 1726
= 258,9 kkal/kg
Turbin bekerja pada tekanan 25 bar, 330 oC
didapatkan entalpi (h2) = 734,93 kkal/kg
Suhu air umpan = 90 oC diperoleh entalpi (h1) = 90 kkal/kg
(h2 h1) = 644,93 kkal/kg

Panas berguna (P)


P=

55.000
(734,93 90)
24100

P = 1471,83 kkal/kg
Jadi jumlah panas yang diterima dalam uap adalah
1.726 258,9 = 1.467,1 kkal/kg

Turbin Generator

PG. Jatitujuh memiliki dua buah turbin generator tipe MSBHD 630 dengan daya
terpasang masing-masing 4375 KVA/6000 V. Dari hasil pengamatan, diperoleh
rata-rata tenaga listrik yang dihasilkan setiap jam adalah 3364,17 KWH.
Jam kerja turbin = 2240,75 jam/tahun
Efisiensi turbin = 80 %
Konsumsi uap = 21,19 kg/KWH
Kerugian mekanis = 15 %
Kebutuhan uap untuk turbin selama satu tahun (musim giling) adalah :
3364,17 x 2240,75 x 21,19 x 1,15 = 183.696.184,5 kg uap/tahun.
Jika dalam satu musim giling rata-rata tebu yang digiling yaitu 484.993,5 ton
tebu, maka kebutuhan uap rata-rata uap untuk turbin per tahun adalah 378,76 kg
uap/ton tebu.

105

Turbin Unigrator

Daya = 1200 Hp (894 KW)


Konsumsi uap = 13,5 kg/HpH
Maka kebutuhan uap dalam satu musim giling
= (1200 x 13,5 x 2240,75 x 1,15) / 484.993,5 = 86,07 kg uap/ton tebu

Turbin uap gilingan I sampai dengan gilingan IV

Daya = 700 KW
Konsumsi uap = 21,19 kg/KWH
Maka kebutuhan uap dalam satu musim giling
= (700 x 21,19 x 2240,75 x 1,15 x 4) / 484.993,5 = 315,24 kg uap/ton tebu

Pompa injeksi I

Daya = 160 Hp ( 119,2 KW)


Konsumsi uap = (119,2 x 2240,75 x 21,19 x 1,15) / 484.993,5
= 13,42 kg uap/ton tebu

Pompa injeksi II dan III

Daya = 240 Hp (178,8 KW)


Konsumsi uap = (178,2 x 2240,75 x 21,19 x 1,15) / 484.993,5
= 20,06 kg uap/ton tebu

Juice heater (pemanas nira)


Juice heater I

Konsumsi uap =
=

Berat _ nira _ mentah _ x _ 0,9 _ x _(Tp 2 Tp1)


541,4 _ x _ 0,95

285.591.500 _ x _ 0,9 _ x _(76 30)


541,4 _ x _ 0,95

= 48,06 kg uap/ton tebu giling

Konsumsi uap =

Berat _ nira _ mentah _ x _ 0,9 _ x _(Tp 2 Tp1)


535 _ x _ 0,95

106

285.591.500kg _ x _ 0,9 _ x _(76 30)


535 _ x _ 0,95

= 21,15 kg uap/ton tebu giling


Maka total konsumsi uap untuk pemanas nira I dan II = 48,06 + 21,15
= 69,21 kg uap/ton tebu

Evaporator (quadruple effect)

Jumlah air yang diuapkan =


=

Berat _ nira _ jernih brix _ nira _ jernih


x 1

Ton _ tebu _ giling


brix _ syrup

269.230.300kg
484.993,5

10,54
x 1

64,30

= 464,13 kg uap/ton tebu giling


Penyadapan uap dari evaporator I
285.591.500
x _ 0,9 _(106 96)
484.993,5
Pemanas : P1 =
640 _ x _ 0,95
= 8,849 kg uap/ton tebu
Bejana Masakan
Jumlah pan masakan = 3 buah
Masakan A adalah batch pan sedangkan masakan C dan masakan D adalah
continous pan. Menurut Hugot (1986), konsumsi uap untuk tipe masakan tersebut
adalah 136 kg/jam
P

3 _ x _ 136 _ kg / jam
143 _ ton _ tebu / jam

= 2,85 kg uap/ton tebu


Distribusi penguapan untuk emapt bejana penguap (quadruple effect) yaitu :
Bejana 4 : x
Bejana 3 : x + 48,06
Bejana 2 : x + 48,06 + 21,15
Bejana 1 : x + 48,06 + 21,15 + 11,70 +
4x + 144,18 + 42,30 + 11,70 = 464,13
x = 66,49

107

Maka konsumsi uap pada evaporator adalah = 66,49 + 48,06 + 21,15 + 11,70
= 146,99 kg uap/ton tebu

Pan Masakan
Berat sirup =

berat _ nira _ jernih


berat _ air _ yang _ diuapkan
ton _ tebu _ giling

= 555,12 464,13
= 90,99 kg/ton tebu

brix _ syrup
Konsumsi uap = berat _ sirup _ x 1
x1,5
brix _ mas sec uites
64,13
= 90,99 x 1
x1,5
92,70
= 42,06 kg uap/ton tebu

Putaran Gula (sentrifugal)


Rendemen tebu = 5,59 % = 0,559
Uap untuk pemutaran gula = 20% x berat gula
= (0,2 x 0,559 x 484.993,5 x 103) / 484.995,3
= 11,18 kg gula / ton tebu
Kehilangan uap
Besarnya kehilangan uap = 4,8 % dari kapasitas giling
= 0,048 x 484.993,5 x 103 / 484.993,5
= 4,8 kg uap/ton tebu

Total distribusi penggunaan uap :


Turbin generator

= 378,76 kg uap/ton tebu

Turbin gilingan

= 401,31 kg uap/ton tebu

Turbin pompa pengisi air

= 53,54 kg uap/ton tebu

Stasiun pemurnian

= 69,21 kg uap/ton tebu

Stasiun penguapan

= 146,99 kg uap/ton tebu

Stasiun masakan

= 42,06 kg uap/ton tebu

Stasiun putaran

= 11,18 kg uap/ton tebu

Total

= 1.103,05 kg uap/ton tebu

108

Lampiran 7. Perhitungan penghematan penggunaan IDO melalui penurunan


kadar air pada ampas

Kondisi I
w = kadar air pada ampas

= 51 %

s = pol % ampas

= 4,24 %

NCV = 4250 4850w 1200s

, Hugot (1986)

= 4250 - [(4850)(0,51)]- [(1200)(0,042)]

= 4250 2473,5 50,4


= 1726,1 kkal/kg ampas

Kerugian cerobong (Qc)

240 30
Qc = 1,04
%
15
= 14,56 % 15 %
Qc = 15% x 1726
= 258,9 kkal/kg
Turbin bekerja pada tekanan 25 bar, 330 oC
didapatkan entalpi (h2) = 734,93 kkal/kg
Suhu air umpan = 90 oC diperoleh entalpi (h1) = 90 kkal/kg
(h2 h1) = 644,93 kkal/kg
Panas berguna (P)

P=

55.000
(734,93 90)
24100

P = 1471,83 kkal/kg
Jadi jumlah panas yang diterima dalam uap adalah
1.726 258,9 = 1.467,1 kkal/kg
Maka, 1 kg ampas akan menghasilkan

1.467,1
= 2,27 kg uap
644,93

Dimana 1 kg ampas = 1467,1 kkal


Jadi,
2,27 kg uap = 1467,1 kkal

109

1 kg uap =

1467,1
= 646,34 kkal
2,27

*) Kebutuhan uap untuk produksi


=

833,61 _ kg _ uap 519.648,6 _ ton _ tebu _ giling 646,34 _ kkal


x
x
kg _ uap
tahun
ton _ tebu _ giling

= 2,7998 x 1011 kkal/tahun

Total kebutuhan energi yang diperlukan untuk kebutuhan produksi


adalah 2,7998 x 1011 kkal/tahun
Jika digunakan IDO (minyak solar) = 1.623.183 kg/tahun , (1 kg = 1,018 L)
Maka energi IDO yang dikonsumsi =

1.623.183_kg 9500 _ kkal


x
kg
tahun

= 1,5420 x 1010 kkal/tahun


= 0,1542 x 1011 kkal/tahun

Energi total = Energi ampas + Energi IDO

Energi ampas yang dikonsumsi = E total Energi IDO


= 2,7998 x 1011 - 0,1542 x 1011
= 2,6456 x 1011 kkal/tahun
Maka diperlukan ampas

= 2,6456 x 1011 kkal/tahun x

1 _ kg _ ampas
1467,1 _ kkal

= 180.328.539,3 kg ampas/tahun
Kondisi II (rekomendasi produksi bersih)
w = 50 %
s = 3,55 %
NCV ampas

= 4250 4850w 1200s

, Hugot (1986)

= 4250 - [(4850)(0,50)]- [(1200)(0,0355)]


= 4250 2425 42,6

= 1782,4 kkal/kg ampas


NCV setelah dikurangi loss (Qc) = 1782,4 258,9 = 1523,5 kkal/kg ampas

110

Maka, 1 kg ampas akan menghasilkan

1782,4
= 2,36 kg uap
644,93

Dimana 1 kg ampas = 1523,5 kkal


*) Jika diasumsikan amaps yang digunakan

adalah sebanyak 180.328.539,3 kg ampas/tahun, maka energi ampas yang


dihasilkan

180.328.539,3 kg ampas 1523 _ kkal


x
tahun
kg _ ampas

= 2,7464 x 1011 kkal/tahun


Sedangkan untuk energi IDO dibutuhkan sebesar
= 2,7998 x 1011 - 2,7464 x 1011
= 0,0534 x 1011 kkal/tahun
= 0,0534 x 1011 kkal/tahun x

1kg _ IDO
9500 _ kkal

= 562.105,26 kg IDO/tahun

Jadi, konsumsi IDO dapat dihemat sebesar


= (1.623.183 - 562.105,26)
= 1.061.007,74 kg/tahun
Asumsi harga IDO

= Rp. 2175/kg

Maka penghematan IDO adalah sebesar =

1.061.007,74 kg Rp.2175
x
kg
tahun

= Rp. 2.307.844.085/tahun

Rp 2,3 Milyar /tahun

111

Lampiran 8. Perhitungan penghematan energi penguapan

Diketahui air diuapkan pada evaporator = 464.13

kg _ uap
ton _ tebu

1 kg uap = 646.34 kkal


Energi yang dibutuhkan pada evaporator
= 646.34

kkal
kg _ uap
x 464.13
kg _ uap
ton _ tebu

= 299 985.78

kkal
ton _ tebu
x 519 648.6
ton _ tebu
tahun

= 1.5589 x1011

kkal
tahun

Jika terdapat penghematan air imbibisi sebesar 5 persen, maka dapat


dihemat :

Energi uap

= 5 % x 1.5589 x1011
= 0.0079 x1011
= 7.79 x109

Konsumsi uap = 7.79 x109

kkal
tahun

kkal
tahun
1 _ kg _ uap
kkal
x
tahun 646.34 _ kkal

= 12 052 480.12

Energi IDO

Biaya

= 7.79 x109

kkal
tahun

kg _ uap
tahun

kkal 1 _ kg _ IDO
x
tahun 9500 _ kkal

= 820 000

kg _ IDO
tahun

= 820 000

kg _ IDO Rp _ 2175

tahun
kg _ IDO

= Rp. 1 783 500 000

Rp. 1.8 Milyar

112

Lampiran 9. Perhitungan penghematan penggunaan air


Kondisi saat ini :
Penggunaan air :
1) Stasiun penggilingan (air imbibisi) = 1100 m3/hari (air sungai)
2) Stasiun Penguapan (pencucian evaporator) = 240 m3/hari
3) Over flow pada cooling tower = 100 m3/hari
4) Kebocoran, in-house keeping yang belum baik = 50 m3/hari
Total pemakaian air yang teridentifikasi adalah sekitar 1490 m3 ~ 1500 m3/hari.

Program produksi bersih :

Penghematan penggunaan air imbibisi (5 % x 1100 m3/hari) = 55 m3/hari

Penggunaan pressurized sprayer = 15 m3/hari

Perbaikan cooling tower (pemasangan level controller pada cooling tower


(reuse air kondensat) = 50 m3/hari

Pemasangan kran penutup, garden sprayer = 20 m3/hari

Total penghematan sekitar 140 m3/hari.

Asumsi-asumsi :
Biaya pengolahan air :
Pengambilan air sungai = Rp.150,-/m3 (dari pajak)
Pengolahan air = Rp.200,-/m3 (bahan kimia)
Jumlah penghematan air :
= 140 m3/hari x Rp.350,-/m3
= Rp. 49.000,-/hari

1 tahun musim giling 160 hari

= Rp. 7.840.000/tahun musim giling


Biaya penerapan :
1) sprayer = 10 unit x Rp. 25.000/unit,- = Rp. 250.000,2) level controller = 1 unit x 3.500.000,-/unit = Rp 3.500.000,3) instalasi pipa = Rp.1.000.000,Total biaya Rp. 4.750.000
PBP = (Rp. 4.750.000 ) / (Rp. 7.840.000) x 12 bulan = 7,3 bulan 7 bulan

113

Lampiran 10. Peluang efisiensi proses melalui penerapan produksi bersih di


PG. Jatitujuh
No SATUAN OPERASI

OPSI PRODUKSI
BERSIH
Penghematan konsumsi
air imbibisi

RENCANA PERBAIKAN

Mengurangi penggunaan air imbibisi

1.

Penggilingan

2.

Evaporator

Penghematan konsumsi
air pada saat pencucian.

Mengurangi lama pencucian


Penggunaan pressurized sprayer sebagai
pembilas.

3.

Manajemen
penggunaan air

Reuse air kondensat


Reuse air pendingin
mesin

4.

Boiler house

Peningkatan efisiensi
dan kinerja boiler

Memperbaiki cooling tower.


Pemasangan pipa dari saluran cooling
tower ke water filter.
Pemasangan kran penutup/garden sprayer
pada beberapa titik.
Pemisahan saluran buangan oli mesin dan
air pendingin.
Pemasangan level controller pada cooling
tower
Memperbaiki kebocoran pipa aliran steam
15 titik.
Peningkatan kontrol terhadap kinerja boiler.
Optimalisasi penggunaan ampas tebu
sebagai bahan bakar

5.

Pompa oli

Efisiensi penggunaan oli

Memperbaiki kebocoran pada pompa dan


saluran oli.
Penutupan kran/katup oli lebih teliti (good
house keeping)

6.

In house-keeping

Peningkatan K3

Perbaikan kebocoran pada pipa saluran gas


SO2.

114

Pemakaian masker, topi , ataupun pakaian


khusus dalam pabrik.
Perawatan mesin secara teratur sesuai
jadwal.
Penggunaan spare part yang sesuai dengan
spesifikasi mesin.
Peningkatan kebersihan lingkungan kerja.

Lampiran 11. Mesin dan alat produksi pengolahan gula di PG. Jatitujuh
No
1

Nama Alat /
Mesin
Meja Tebu

Tempat
Fungsi
Pemakaian
Stasiun
Menerima tebu hasil
Pendahuluan tebang
angkut
dan
membawa tebu yang
digiling ke dalam cane
carrier secara konstan
agar pembebanan pada
alat-alat
di
stasiun
gilingan juga konstan

Cane Carrier

Stasiun
Mengangkut tebu dari
Pendahuluan meja tebu ke pisau tebu
dan unigrator untuk
dicacah

Pisau Tebu

Stasiun
Memotong/memperkecil
Pendahuluan tebu menjadi bagianbagian
yang
lebih
pendek
agar
memudahkan
proses
selanjutnya di unigrator

Unigrator

Stasiun
Menghancurkan
Pendahuluan potongan-potongan
batang tebu menjadi
bentuk serabut sehingga
memperbesar
luas
permukaan
agar

Keterangan
Jumlah 2 buah
(memenuhi
sistem FIFO),
kemiringan
20o. Panjang
12 m, lebar 8
m. Dilengkapi
leveler/perata.
Kecepatan
gerak 160 m/s
Panjang 41 m,
tinggi 2,134 m,
kecepatan
gerak 0-0,3 m/s
(dapat diatur),
memiliki 300
lembar
lempeng
pembawa tebu
Jumlah
36
mata pisau dala
1
silinder.
Ukuran
tiap
mata pisau 56
x 17,8 x 1,6 cm
(panjang, lebar,
tebal). Merek
FCB France.
Terdiri dari 72
buah palu dari
bahan
block
casting dengan
kecepatan
putar
tinggi

115

Leveler (Perata
Tebu Halus)

Belt Conveyor

Gilingan (4Three Roller


Mill)

diperoleh
pemerahan
nira
sebanyakbanyaknya
Stasiun
Meratakan tebu agar
Pendahuluan tidak melebihi batas
yang diizinkan sehingga
pemasukan tebu ke
gilingan menjadi teratur
Stasiun
Mengangkut/membawa
Pendahuluan hasil pencacahan ke
stasiun gilingan dari
unugrator

Stasiun
Gilingan

(600 rpm)

Memiliki
30
tangan perata,
bekerja
berlawanan
arah aliran tebu
Memiliki
kemiringan
10o, gaya gesek
yang besar dan
anti
korosi,
terbuat
dari
bahan karet
Memerah nira dalam Jumlah alat 4
tebu
(sabut
tebu) buah
terdiri
sebanyak-banyaknya
dari
3
melalui
proses baterai/unit.
penekanan
Tiap
unit
gilingan terdiri
dari 3 roll,
yaitu roll atas
(d=980
mm,
p=2140 mm)
yang berputar
berlawanan
arah
dengan
roll
depan
(d=980
mm,
p=2134 mm)
dan
roll
belakang
(d=1033 mm,
p=2134 mm).
Terdapat pula
roll
pengisi
untuk
membantu
proses.
Pada
tiap gilingan
terdapat alur V
untuk
mempertinggi
efek
pemerahan
serta
tempat
mengalirnya

116

Turbin Gilingan Stasiun


Gilingan

Menggerakkan gilingan

Hydraulic
Gilingan

Stasiun
Gilingan

Menekan atau mengatur


penekanan
gilingan
terhadap sabut tebu

10

Elektromotor
gilingan

Stasiun
Gilingan

Menggerakkan gilingan

11

Intermediate
Belt Conveyor

Stasiun
Gilingan

Membawa ampas yang


telah diperah dari unit
gilingan satu ke unit
gilingan yang lain

12

Cush-Cush
Elevator

Stasiun
Gilingan

13

Timbangan
Nira Mentah

Stasiun
Pemurnian

Menyaring nira mentah


dari gilingan I, II, III, IV
agar nira yang diperoleh
tidak
mengandung
ampas yang terbawa
pada waktu
proses
penggilingan (terjatuh
bersama nira lewat selasela roll gilingan)
Untuk mengetahui data
jumlah nira mentah
yang dihasilkan dari
proses
penggilingan
setiap jam

nira
hasil
perahan.
Jumlah 1 unit
per
unit
gilingan,
memakai
tenaga
uap
dengan suhu
340o C
Mengakibatkan
roll
gilingan
bergerak naik
turun
berdasarkan
dari ketebalan
sabut
yang
masuk
ke
gilingan
Jumlah 2 unit
pada gilingan I
dan
IV,
menggunakan
tenaga listrik,
menggerakkan
roll belakang.
Memiliki
ukuran panjang
4 m dan lebar
2,2 m dengan
kemiringan 15o
Panjang bagian
datar 12 m dan
panjang bagian
miring 7 m
dengan sudut
kemiringan 45o

Ukuran 170 x
160 x 210 cm
(p x l x t).
Kapasitas
timbang
5000kg/siklus.
Merek Avery
Weiller
tipe
Servo Duplex

117

14

Pemanas Nira

Stasiun
Pemurnian

Mempercepat
reaksireaksi pada larutan nira
(pada
pemanas
I),
mematikan jasad renik
danmenyempurnakan
reaksi
pengendapan
(pada pemanas II),dan
menyiapkan suhu yang
tepat sebelum masuk ke
evaporator
(pada
pemanas III)

15

Defekator

Stasiun
Pemurnian

16

Bejana Sulfitasi

Stasiun
Pemurnian

17

Profloc Tower

Stasiun
Pemurnian

Mencampur nira mentah


dengan susu kapur
hingga nira menjadi
basa (tidak terlalu asam)
dan
kotoran-kotoran
yang ada dalam nira
dapat
diikat
oleh
pencampuran
yang
homogen
Mencampurkan
nira
kapur
dengan
SO2
sehomogen
mungkin
hingga pH 7,2-7,4 atau
pH yang dikehendaki
(pada bejana sulfitasi
nira mentah) serta untuk
memucatkan warna nira
kental dengan cara
mencampurkan gar SO2
dengan nira kental (pada
bejana sulfitasi nira
kental)
Menghilangkan
udara/gas yang tidak
terembunkan
yang
terlarut dalam nira agar
tidak
mengganggu
proses pengendapan

Memiliki 3 tipe
pemanas, yaitu
pemanas nira I
(suhu
pemanasan 70C),
75o
pemanas nira II
(suhu
pemanasan
100-105o C),
pemanas nira
III
(suhu
pemanasan
110-115o C)
Jumlah 2 buah
dengan waktu
proses 5 menit
pada defekator
I dan kurang
dari 1 menit
pada defekator
II
Terdiri dari 2
jenis
alat
dengan
2
sistem
yang
berbeda, yaitu
system blower
dan
system
verntury.
Diameter alat =
2,5 m

Dilengkapi
ruangan ampas
halus. Tinggi
alat 6 meter,
dengan
kapasitas 6,5
m3. pada alat
ini
ditambahkan
flokulan untuk
membantu
proses

118

18

Clarifier/Bejana Stasiun
Pengendap
Pemurnian

Memisahkan endapan
dan
jernihan
(nira
jernih)
berdasarkan
perbedaan
densitas
antara endapan dan
jernihan

19

Rotary Vacuum
Filter (RVF) /
Penapis Nira
Kotor

Stasiun
Pemurnian

Memisahkan/menapis
kotoran
dari
nira
menghasilkan
nira
jernih
dan
blotong
secara kontinu dengan
memakai
prinsip
penyaringan

20

Bagacillo Mixer Stasiun


Pemurnian

21

Juice
Syrup Stasiun
Pemurnian
Purification
(JSP)

Mencampur nira kotor


dengan ampas halus
sebagai
persiapan
sebelum masuk ke RVF
Memisahkan
kotoran
yang berbentuk buih
(akibat
penambahan
udara) dari nira kental

pengendapan
Jumlah 2 buah
dengan
kapasitas
masing-masing
250 m3 dengan
sistem kontinu.
Merupakan alat
pemisah sistem
padatan

cairan dengan
prinsip
pengendapan
Bagian utama
dari alat ini
terdiri
dari
suatu silinder
yang berputar
(tromol) dan
dilapisi dengan
saringan halus
yang
terbuat
dari stainless
dengan
steel
jumlah lubang
625 per m2
dengan
diameter
0,5
mm. Silinder
dari
RVF
terbagi menjadi
24
segmen
yang
dihubungkan
dengan
instalasi vakum
tinggi (40-45
CmHg)
dan
vakum rendah
(10-15 CmHg).
-

Memiliki
perlengkapan
tambahan
berupa aerator,

119

yang
keluar
dari
evaporator
sebelum
dilakukan
proses
kristalisasi

22

Evaporator /
badan penguap

Stasiun
penguapan

Menguapkan air
dikandung oleh
jernih sehingga
berubah menjadi
kental

yang
nira
nira
nira

pemanas nira
(Juice Heater),
reaktor
pemroses, dan
tanki
bahan
penunjang.
Metode
pemisahan
kotoran yang
dilakukan
adalah metode
floating
(pengapungan).
JSP dapat pula
memproduksi
nira yang dapat
menghasilkan
gula
rafinasi
(gula industri)
dengan
menambahkan
flokulan kation
Total
evaporator
yang dimiliki
PG
Jatitujuh
sejumlah
6
buah,
1
diantaranya
telah
rusak
sehingga hanya
5
yang
beroperasi.
Dari
5
evaporator
yang
dapat
beroperasi,
setiap harinya
digunakan
4
evaporator
(quadruple
effect),
sedangkan
1
buah sisanya
dibersihkan
secara
bergantian.
Luas pemanas

120

23

Kondensor

Stasiun
penguapan

24

Penangkap nira

Stasiun
penguapan
dan
pemasakan

25

Pan masakan

Stasiun
pemasakan

26

Palung
pendingin

Stasiun
pemasakan

Mengembunkan
uap
menjadi air kembali
dengan
cara
menurunkan titik didih
nira sehingga kecepatan
penguapan tinggi
Memisahkan sebagian
kecil nira yang ikut
teruapkan bersama air
agar tidak merusak
peralatan
dan
menurunkan produksi
nira
Mengkristalkan zat gula
yang terkandung dalam
nira kental dengan cara
menaikkan konsentrasi
nira kental sehingga
sebagian besar sukrosa
dipisahkan
menjadi
kristal gula dan cairan

adalah 1600 m2
(pada
evaporator 2,
3, dan 4) dan
1000 m2 (pada
evaporator 5
dan 6)
Tinggi
alat
4050
mm
dengan
diameter
sebesar 6000
mm
-

Terdapat
6
buah
pan
masakan
dengan
luas
pemanas
sebesar 330 m2
per
pan.
Volume
per
pan masakan
adalah 55 m3
dengan
panjang pipa
pemanas 460
mm berjumlah
1300
batang
pipa.Dari 6 pan
pemasakan
yang
ada,
terdiri
dari
buah
pan
pemasak A, 1
pan pemasak
C,
1
pan
pemasak
D,
dan 1 pan
pemasak C/D
Menampung
dan Kecepatan
mendinginkan masakan putaran

121

yang turun dari pan


masakan dan sebagai
tempat terjadinya proses
kristalisasi
lanjutan
akibat dari pendinginan
suhu
Memisahkan gula dari
zat zat yang tidak
dapat dijadikan kristal
lagi (tetes) secara terus
menerus (kontinyu) dari
masakan D

27

Low Grade
Centrifugal

Stasiun
putaran

28

High Grade
Centrifugal

Stasiun
putaran

29

Talang goyang

Stasiun
Menampung
dan
penyelesaian menghantar gula SHS
basah

Memisahkan masakan A
menjadi gula A dan
stroop A (putaran 1)
atau klare A (putaran 2)
serta
memisahkan
masakan C menjadi gula
C dan stroop C

pengaduk
sebesar 5 rpm

Berjumlah
7
unit (5 unit
untuk masakan
(putaran
D1
pertama) dan 2
unit
untuk
masakan
D2
(putaran
kedua)).
Kecepatan
putaran adalah
1900
rpm
dengan sudut
basket
300.
kapasitas 4-8
ton/jam
Alat ini bekerja
secara
diskontinue /
batch
yang
membutuhkan
waktu
untuk
pengisian gula
dan
penyekrapan.
Alat
yang
digunakan
untuk putaran
jenis
ini
sebanyak
7
unit (2 unit
untuk masakan
C, 3 unit untuk
masakan
A,
dan 2 unit
untuk
SHS).
Kapasitas alat
adalah sebesar
22 ton/jam
-

122

Stasiun
Mengangkut gula SHS
penyelesaian yang masih basah dari
talang
goyang
ke
pengering gula
Stasiun
Meneringkan
dan
penyelesaian mendinginkan gula SHS

Ukuran 98 x
0,4 m (p x l).
Bahan karet

30

Sugar Elevator
Conveyor

31

Terdiri dari 6
silinder
pengering dan
6
silinder
pendingin
Stasiun
Menghembuskan udara Blower
penyelesaian panas agar gula cepat
kering
Stasiun
Menangkap debu gula Berbentuk
Cyclone
penyelesaian kering lalu dengan huruf
U
Separator
penyemprotan air di (silinder
dalam, debu jatuh ke vertikal)
tangki leburan
Stasiun
Tempat krikilan dan Sugar Malter
penyelesaian gula halus disatukan
untuk dilebur kembali
ke masakan D2
Ayakan getar
Stasiun
Menyaring gula SHS Terdiri dari 3
(Vibrating
penyelesaian sehingga diperoleh gula tingkat ayakan
produk
/
standar, dengan 2 jenis
Screen)
sedangkan
sisanya saringan
berupa gula halus / debu
dan gula krikil
Membawa gula produk Bahan karet
Belt Conveyor 1 Stasiun
penyelesaian dari hasil ayakan getar
ke bucket elevator
Silinde magnet Stasiun
Memisahkan
dan Prinsip
(Magnetic
penyelesaian menangkap logam pemisahan
logam
kecil
yang kotoran dengan
Drum)
terbawa
oleh
gula magnet
produk
Stasiun
Memindahkan
gula Pemindah
Dry Sugar
Bucket Elevator penyelesaian yang dibawa oleh belt berbentuk
conveyor
1
ke mangkuk
penampung
gula
/ mangkuk
hopper secara vertikal
Membagi gula kering Bahan karet
Sugar Conveyor Stasiun
to Hopper
penyelesaian yang
dibawa
oleh
bucket
elevator
ke
hopper kiri, tengah dan
kanan
Stasiun
Menampung
gula Kapasitas 180
Sugar Hopper
penyelesaian sebelum ditimbang dan ton,
terbagi

32
33

34

35

36
37

38

39

40

Rotary Dryer
and Cooler

123

dikemas

dalam 3 bagian
badan
Terdiri
dari
timbangan dan
mesin
jahit
karung, masing

masing
berjumlah
3
buah
-

41

Weighting and
Bagging
Machine

Stasiun
Menimbang gula yang
penyelesaian dimasukkan ke karung
(per 50 kg) dan menjahit
karung gula yang telah
dimasukkan gula produk
SHS.

42

Carrier Gula

43

Belt Conveyor
II

Stasiun
Membawa gula produk
penyelesaian dalam karung ke mesin
jahit sampai ke belt
conveyor II
Stasiun
Membawa karung gula
penyelesaian produk yang telah

124

Lampiran 12. Penentuan polarisasi dan brix.


1) Polarisasi (AOAC, 1990).
Angka polarisasi (%polarimeter) adalah angka yang menunjukkan
kadar sukrosa yang larut dalam nira, untuk nira yang murni dan belum
terinversi. Untuk menentukan angka polarisasi dipergunakan alat yang
bernama polarimeter. Adapun cara untuk menentukan angka polarisasi,
adalah :

100 ml nira dipipet kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,
dan ditambahkan kedalamnya 5 ml Pb asetat dan 5 ml aquades.

Labu digoyang agar tercampur merata, kemudian disaring.

Nira hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung polarimeter,


kemudian dibaca skala pada sacharimeter.

Setelah itu dicatat pemutaran bidang polarisasi, dicocokkan dengan


daftar briks. Dengan demikian diperoleh persen polarisasi.

Nilai polarisasi adalah satuan untuk perhitungan kadar sukrosa dalam


larutan gula. Selanjutnya nilai polarisasi terkoreksi dapat dihitung
sebagai berikut :

NilaiPol ( P 20) =

( Pt Po)Q 20
x{1 + c(t 20) + 0,000144(t 20)}
(Qt Po)

Pt=Pembacaan polarisasi pada suhu ruang toC.


Po=pembacaan polarisasi dari tabung kosong pada suhu ruang toC.
Qtr= pembacaan polarisasi dari standar kwarsa uji pada suhu ruang oC.
Q20=nilai polarisasi (sertifikat) dari standar kwarsa uji suhu 20oC.
T=suhu ruang polarimeter (oC).
C=faktor tabung polarimeter (0.000467 jika dari gelas borosilica).
(0.000462 jika dari gelas windows).
(0.000455 jika dari stainless steel).
Semakin putih contoh gula yang diukur maka cahaya yang direfleksi
semakin besar dan nilai remisi yang diperoleh semakin besar.

125

Jika polarimeter yang digunakan dalam satuan oS maka pembacaan


polarimeter yang dihasilkan harus dikonversikan ke dalam satuan Z
dengan mengalikan faktor 0,99971
Ketelitian: keterulangan analisis polarimeter dengan metoda ini tidak
lebih dari 0,05 point.
2) Total Padatan (Kadar Gula) Terlarut, Metode Refraktometer (AOAC,
1990).
Beberapa tetes sampel dari feed, permeate, dan retentate dari larutan

raw sugar diukur indeks refraksinya menggunakan alat refraktometer


tangan. Sampel diteteskan ke atas prisma kaca refraktometer selanjutnya
dibaca total padatan terlarut pada skala yang ada. Padatan terlarut
dinyatakan dalam oBrix. Bila terbaca AoBrix pada toC, maka didapat
koreksi brix dalam AoBrix pada toC = BoBrix. Jadi briks contoh nira pada
27,5oC (briks setelah koreksi), atau %briks = (A+B).

126

Lampiran 13. Dokumentasi penelitian

Gambar 16. Kebocoran pada pipa saluran uap

Gambar 17. Kebocoran pada pipa saluran pompa oli (a)

Gambar 18. Kebocoran pada pipa saluran pompa oli (b)

127

Gambar 19. Kebocoran pada cooling tower (a)

Gambar 20. Kebocoran pada cooling tower (b)

Gambar 21. Energi uap yang belum termanfaatkan

128

Gambar 22. Penggunaan air yang belum terkontrol

Gambar 23. Kebocoran pada pipa saluran uap (c)

129

Anda mungkin juga menyukai