Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gaya Kepemimpinan


2.1.1 Teori Kepemimpinan
Menurut Badeni (2013) banyak teori dan model kepemimpinan yang
dikemukakan para ahli, namun bisa kita kelompokkan menjadi tiga teori
utama, yaitu :
1. Teori Sifat (Traits Theory)
Teori sifat menekankan bahwa setiap orang adalah pemimpin
(pemimpin dibawa sejak lahir bikan didapatkan) dan mereka
mempunyai karakteristik tertentu yang membuat mereka lebih baik dari
orang lain (Marquiz dan Huston, 1998 dikutip dari Nursalam, 2012).
Teori ini disebut juga sebagai Great Man Theory. Teori sifat
mengabaikan dampak atau pengaruh dari siapan yang mengasuh,
situasi, dan lingkungan lainnya. Ciri- ciri pemimpin menurut teori ini,
yaitu (Nursalam,2012) :
a. Intelegensi, meliputi pengetahuan, keputusan dan kelancaran
berbicara.
b. Kepribadian, meliputi adaptasi, kreatif, kooperatif, siap/siaga, rasa
percaya diri, integritas, keseimbangan emosi dan mengontrol,
independen dan tenang.

c. Perilaku,

meliputi

kemampuan

bekerja

sama,

kemampuan

interpersonal, kemampuan diplomasi, partisipasi sosial, prestise.


2. Teori Perilaku
Teori ini berorientasi pada cara (perilaku) yang dilakukan oleh
seorang pemimpin untuk memperlakukan pengikutnya dalam upaya
mempengaruhi perilaku bawahan. Pada teori perilaku, memandang
bahwa keberhasilan kepemimpinan lebih banyak tergantung perilaku
(behaviour), keterampilan (skills) dan tindakan (actions) pemimpin, dan
kurang tergantung pada sifat-sifat pribadi (Badeni, 2013). Perilaku
sering dilihat sebagai suatu rentang dari perilaku otoriter ke demokratis
atau dari fokus suatu produksi ke fokus pegawai. Menurut Vetsal (1994
dikutip dari Nursalam, 2012), teori perilaku ini dinamakan sebagai gaya
kepemimpinan seorang manager dalam suatu organisasi.
3. Teori Situasional
Kepemimpinan

yang

berhasil

menghendaki

perilaku

yang

menyatukan dan menstimulus para pengikut untuk mencapai tujuan


yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan situasi-situasi tertentu.
Ada tiga element yaitu leader, follower dan situation, yang semuanya
merupakan variabel yang saling memengaruhi antara satu dengan yang
lain dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat. Ini adalah
bukti bahwa kepemimpinan adalah situasional (Badeni, 2013).
2.1.2 Pengertian Gaya Kepemimpinan
Gaya diartikan sebagai suatu cara penampilan karakteristik atau
tersendiri. Menurut Follet (1940 dikutip dari Nursalam, 2012), gaya

didefinisikan sebagai hak istimewa tersendiri dari si ahli dengan hasil akhir
yang dicapai tanpa menimbulkan isu sampingan.
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu
dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan tertentu sebagai proses memengaruhi sekelompok orang sehingga
mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
Sebab, pada dasarnya, kepemimpinan merupakan pola hubungan antara
individu-individu yang menggunakan wewenang serta pengaruhnya
terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama mencapai tujuan
(Fiedler, 1967 dikutip dari Nasrudin, 2010).
Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk
mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu, untuk mencapai
suatu tujuan. (S. Suarli dan Yanyan Bahtiar, 2009). Sedangkan menurut
Hersey (2004, dikutip dari Putri, 2010), gaya kepemimpinan adalah pola
tingkah laku (kata-kata dan tindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan
oleh orang lain.
2.1.3 Jenis-Jenis Gaya Kepemimpinan
1) Gaya Kepemimpinan Menurut Likert
Likert mengelompokkan gaya kepemimpinan dalam 2 sitem, yaitu
(Nursalam, 2012):
a. Sistem Otoriter-Eksploitatif
Pemimpin tipe ini sangat otoriter, mempunyai kepercayaan
yang rendah terhadap bawahannya, memotivasi bawahan melalui
ancaman atau hukuman. Komunikasi yang dilakukan bersifat satu
arah kebawah (top-down).
b. Sistem Benevolent-Otoritatif (Authoritative)
Pemimpin mempercayai bawahan sampai pada tingkat
tertentu, memotivasi bawahan dengan ancaman atau hukuman

tetapi tidak selalu, dan membolehkan komunikasi ke atas.


Pemimpin memperhatikan ide bawahan dan mendelegasikan
wewenang, meskipun dalam pengambilan keputusan masih
melakukan pengawasan yang ketat.
c. Sistem Konsultatif
Pemimpin mempunyai kepercayaan yang cukup besar
terhadap bawahan. Pemimpin menggunakan bahasa (insentif) untuk
memotivasi bawahan dan kadang-kadang menggunakan ancaman
atau hukuman. Komunikasi dua arah dan menerima keputusan
spesifik yang dibuat oleh bawahan.
d. Sistem Partisipatif
Pemimpin mempunyai kepercayaan sepenuhnya terhadap
bawahan, selalu memanfaatkan ide bawahan, serta menggunakan
insentif ekonomi untuk memotivasi bawahan. Komunikasi bersifat
dua arah dan menjadikan bawahan sebagai kelompok kerja.
2) Gaya Kepemimpinan Menurut Teori X dan Teori Y
Teori X mengasumsikan bahwa bawahan itu tidak menyukai
pekerjaan, kurang ambisi, tidak mempunyai tanggung jawab, cenderung
menolak perubahan dan lebih suka dipimpin daripada memimpin.
Sebaliknya, teori Y mengasumsikan bahwa bawahan itu senang bekerja,
bisa menerima tanggung jawab, mampu mandiri, mampu mengawasi
diri, mampu berimajinasi dan kreatif. Berdasarkan teori ini, gaya
kepemimpinan dibedakan menjadi empat macam, yaitu (Nursalam,
2012):
a. Gaya kepemimpinan diktator

Gaya kepemimpinan yang dilakukan dengan menimbulkan


ketakutan serta menggunakan ancaman dan hukuman merupakan
bentuk pelaksanaan dari Teori X.
b. Gaya kepemimpinan otokratis
Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini hampir sama dengan
gaya kepemimpinan diktator namun bobotnya agak kurang. Segala
keputusan berada ditangan pemimpin, pendapat dari bawahan tidak
pernah dibenarkan. Gaya ini juga merupakan pelaksanaan dari
Teori X.
c. Gaya kepemimpinan demokratis
Ditemukan adanya peran serta dari bawahan dalam
pengambilan sebuah keputusan yang dilakukan dengan cara
musyawarah. Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya sesuai dengan
Teori Y.
d. Gaya kepemimpinan santai
Peranan dari pemimpin hampir tidak terlihat karena segala
keputusan diserahkan pada bawahan. Gaya kepemimpinan ini
sesuai dengan Teori Y.
3) Gaya Kepemimpinan Menurut Robert House
Berdasarkan teori motivasi pengharapan,

Robert

House

menemukakan empat gaya kepemimpinan, yaitu (Nursalam, 2012):


a. Direktif
Pemimpin menyatakan kepada bawahan tentang bagaimana
melaksanakan suatu tugas. Gaya ini mengandung arti bahwa
pemimpin selalu berorientasi pada hasil yang dicapai oleh
bawahannya.
b. Suportif
Pemimpin berusaha mendekatkan diri kepada bawahan dan
bersikap ramah terhadap bawahan.

c. Partisipatif
Pemimpin

berkonsultasi

dengan

bawahan

untuk

mendapatkan masukan dan saran dalam rangka pengambilan


sebuah keputusan.
d. Berorientasi tujuan
Pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan
mengharapkan bawahan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut
dengan seoptimal mungkin.
4) Gaya Kepemimpinan Menurut Hersey dan Blanchard
Gaya kepemimpinan beserta ciri-cirinya menurut Hersey dan
Blanchard (1997 dikutip dari Nursalam, 2012), yaitu:
a. Instruksi
1. Tinggi tugas dan rendah hubungan
2. Komunikasi sejarah
3. Pengambilan keputusan berada pada pimpinan dan peran
bawahan sangat minimal
4. Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang
spesifik serta mengawasi dengan ketat
b. Konsultasi
1. Tinggi tugas dan tinggi hubungan
2. Komunikasi dua arah
3. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan cukup besar, bawahan diberi kesempatan untuk
memberi masukan, dan menampung keluhan
c. Partisipasi
1. Tinggi hubungan tetapi rendah tugas
2. Pemimpin dan bawahan bersama-sama memberi gagasan
dalam pengambilan keputusan
d. Delegasi
1. Rendah hubungan dan tendah tugas
2. Komunikasi dua arah, terjadi diskusi dan pendelegasian antara
pemimpin dan bawahan dalam pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah

5) Gaya Kepemimpinan Menurut Lippits dan K. White


Menurut Lippits dan White, terdapat tiga gaya kepemimpinan yaitu
(Nursalam, 2012) :
a. Otoriter
Gaya kepemimpinan ini memiliki ciri-ciri antara lain :
1. Wewenang mutlak berada pada pimpinan,
2. keputusan selalu dibuat oleh pimpinan,
3. kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan,
4. komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada
bawahan,
5. pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau
kegiatan para bawahan dilakukan secara ketat,
6. prakarsa harus selalu berasal dari pimpinan,
7. tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran,
pertimbangan atau pendapat,
8. tugas-tugas bawahan diberikan secara instruktif,
9. lebih banyak kritik daripada pujian,
10. pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa
syarat,
11. pimpinan menuntut kesetiaan tanpa syarat,
12. cenderung adanya paksaan, ancaman dan hukuman,
13. kasar dalam bersikap,
14. tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh
pimpinan.
b. Demokratis
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan dalam
memengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai kegiatan yang
akakn dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.
Gaya kepemimpinan ini memiliki ciri-ciri antara lain:
1. Wewenang pimpinan tidak mutlak,
2. pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada
bawahan,
3. keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan,

4.
5.
6.
7.

komunikasi berlangsung timbal balik,


pengawasan dilakukan secara wajar,
prakarsa dapat datang dari bawahan,
banyak kesempatan dari bawahan untuk menyampaikan saran

dan pertimbangan,
8. tugas-tugas yang kepada bawahan lebih bersifat permintaan
daripada instruktif,
9. pujian dan kritik seimbang,
10. pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam
batas masing-masing,
11. pimpinan meminta kesetiaan bawahan secara wajar,
12. pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan
bertindak
13. terdapat suasana saling percaya, saling menghormati dan saling
menghargai,
14. tanggung jawab keberhasilan organisasi ditanggung bersamasama.
c. Liberal atau Laissez Faire
Kepemimpinan gaya liberal atau Laissez Faire adalah
kemampuan memengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama
untuk mencapai tujuan dengan cara lebih banyak menyerahkan
pelaksanaan berbagai kegiatan kepada bawahan.
Ciri gaya kepemimpinan ini antara lain:
1. Pemimpin melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada
bawahan,
2. keputusan lebih banyak dibuat oleh bawahan,
3. kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh bawahan,
4. pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh
5.
6.
7.
8.
9.

bawahan,
hampir tidak ada pengwasan terhadap tingkah laku bawahan,
prakarsa selalu berasal dari bawahan,
hampir tidak ada pengarahan dari pimpinan,
peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok,
kepentingan pribadi lebih penting dari kepentingan kelompok,

10. tanggung

jawab

keberhasilan

organisasi

dipikul

oleh

perorangan.
6) Gaya Kepemimpinan Berdasarkan Kekuasaan dan Wewenang
Menurut Gillies (1996 dikutip dari Nursalam, 2012) , gaya
kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan dibedakan
menjadi empat, yaitu:
a. Otoriter
Merupakan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas
atau pekerjaan. Menggunakan kekuasaan posisi dan kekuatan
dalam memimpin. Pemimpin menentukan semua tujuan yang akan
dicapai dalam pengambilan keputusan. Informasi diberikan hanya
pada kepentingan tugas. Motivasi dilakukan dengan imbalan dan
hukuman.
b. Demokratis
Merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan
kemampuan setiap staf. Menggunakan kekuasaan posisi dan
pribadinya untuk mendorong ide dari staf, memotivasi kelompok
untuk

menentukan

tujuan

sendiri.

Membuat

rencana

dan

pengontrolan dalam penerapannya. Informasi diberikan seluasluasnya dan terbuka.


c. Partisipatif
Merupakan gabungan antara otoriter dan demokratis, yaitu
pemimpin yang menyampaikan hasil analisis masalah dan
kemudian mengusulkan tindakan tersebut pada bawahannya.
Pemimpin meminta saran dan kritik staf serta mempertimbangkan
respons staf terhadap usulannya. Keputusan akhir yang diambil
bergantung pada kelompok.

d. Bebas Tindak
Merupakan pimpinan ofisial, karyawan menentukan sendiri
kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan kondisi. Staf/bawahan
mengevaluasi pekerjaan sesuai dengan caranya sendiri. Pimpinan
hanya sebagai sumber informasi dan pengendalian secara minimal.
2.2 Konsep Caring
2.2.1 Pengertian Caring
Caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi bagaimana
seseorang berfikir, merasakan dan berperilaku dalam berhubungan dengan
orang lain (Potter & Perry, 2009). Menurut Mayeroff (1972 dikutip dari
Morrison&Burnard,

2008),

caring

merupakan

suatu

proses

yang

memberikan kesempatan pada seseorang (baik pemberi asuhan maupun


penerima asuhan) untuk pertumbuhan pribadi. Aspek utama caring meliputi
pengetahuan, penggantian irama (belajar dari pengalaman), kesabaran,
kejujuran, rasa percaya, kerendahan, harapan dan keberanian. Swason
mengatakan bahwa, caring juga dapat diartikan sebagai suatu cara
pemeliharaan hubungan dengan menghargai orang lain, disertai perasaan
memiliki dan tanggung jawab (Potter&Perry, 2009).
Menurut Benner (2004 dikutip dari Potter&Perry, 2009), caring
merupakan hubungan pemberi layanan yang dapat bersifat terbuka maupun
tertutup. Perawat dan klien masuk dalam suatu hubungan yang tidak hanya
sekedar seseorang melakukan tugas untuk yang lainnya. Ada hubungan
memberi dan menerima yang terbentuk sebagai awal dari saling mengenal
dan peduli antara perawat dan klien.
Griffin (1983 dikutip dari Morrison&Burnard, 2008) menggambarkan
caring dalam keperawatan sebagai proses interpersonal esensial yang

mengharuskan perawat melakukan aktivitas peran yang spesifik dalam


sebuah cara dengan menyampaikan ekspresi emosi-emosi tertentu kepada
resipien. Aktivitas tersebut meliputi membantu, menolong dan melayani
orang yang mempunyai kebutuhan khusus.
Caring merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh perawat selama
melakukan asuhan keperawatan. Perilaku caring yang ditunjukkan oleh
perawat akan mendapatkan penilaian dari pasien, karena pasien yang secara
langsung merasakan perilaku perawat. Caring menghasilkan kemungkinan
untuk beradaptasi, kemampuan untuk berkomunikasi dengan sesama dan
perhatian terhadap sesama, serta mau memberi dan menerima bantuan
(Chinn&Kramer, 2004 dikutip dari Potter&Perry, 2009).
Fry (1988 dikutip dari Morrison&Burnard, 2008) menyatakan beberapa
petunjuk tentang caring, yaitu:
a. Caring harus dilihat sebagai nilai puncak atau nilai tertinggi untuk
membimbing tindakan seseorang.
b. Caring harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bernilai universal.
c. Caring harus dipertimbangkan secara jelas karena perilaku tertentu
(empati, dukungan, simpati, perlindungan dan lain-lain).
d. Caring harus berkenaan dengan orang lain, harus berpikir untuk
menyejahterakan orang lain dan bukan menyejaterakan diri sendiri.
2.2.2 Komponen Caring
1) Komponen caring menurut Watson
Komponen caring menurut Watson (1979 dikutip dari Ardiana,
2010) diuraikan dalam 10 faktor karatif yang berasal dari perspektif
humanistik yang dikombinasikan dengan dasar ilmu pengetahuan
ilmiah. Sepuluh faktor karatif tersebut, yaitu:
a. Pembentukan sistem nilai humanistic dan alturistic.

Watson menyampaikan bahwa nilai-nilai humanistik dan


alturistik dipelajari sejak awal kehidupan, akan tetapi sangat
dipengaruhi

oleh

pendidikan

perawat.

Woodward

(2008)

mengidentifikasi berkurangnya nilai alturistik di masyarakat


kemungkinan menjadi salah satu penyebab menurunnya perilaku
caring. Perilaku caring perawat pelaksana yang mencerminkan
pembentukan sistem nilai humanistik yaitu dengan menghargai
atau menghormati pasien sebagai individu (manusia). Perilaku
caring perawat pelaksana yang mencerminkan nilai alturistik yaitu
dengan mendahulukan kepentingan pasien daripada kepentingan
pribadi (Watson, 1979 dikutip dari Ardiana, 2010).
b. Menanamkan kepercayaan dan harapan
Faktor ini menggabungkan nilai-nilai humanistik dan
alturistik, memfasilitasi pemberian pelayanan keperawatan yang
holistik dan kesehatan yang positif kepada pasien. Perawat
berperan membangun hubungan yang efektif antara perawat-pasien
dan

pencapaian

kesejahteraan

dengan

membantu

pasien

meningkatkan perilaku mencari pertolongan kesehatan, membantu


memahami terapi yang diberikan dan memberi keyakinan adanya
kekuatan penyembuhan. Perawat perlu mendorong pasien untuk
mempunyai harapan mencapai kondisi normal (sehat) kembali
(Pinto & Spiri, 2008 dikutip dari Ardiana, 2010).
c. Mengembangkan kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain.
Seorang perawat yang memiliki kepekaan (sensitivitas)
dalam perasaannya, maka ia akan lebih mampu ikhlas, apa adanya

dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Beberapa pasien


menyatakan perawat yang menyatu dengan pasien, salah satunya
diwujudkan dengan menunjukkan rasa tertarik dengan apa yang
dirasakan pasien (Wysong & Driver, 2009).
d. Mengembangkan hubungan saling percaya dan saling membantu.
Mengembangkan hubungan saling percaya dan saling
membantu antara perawat dan pasien merupakan hal yang sangat
penting dalam interpersonal caring. Hubungan saling percaya
dilakukan dengan mendukung dan menerima ekspresi perasaan
positif maupun negatif. Hubungan ini mencakup 4 hal yaitu
kecocokan (congruence), empati, hangat yang tidak posesif dan
komunikasi efektif. Congruence mencakup jujur, sesuai kenyataan
dan tulus. Empati adalah kemampuan mengalami dan memahami
persepsi dan perasaan orang lain dan mengkomunikasikan perasaan
tersebut. Hangat yang tidak posesif ditampilkan dengan berbicara
dengan volume sedang, relaks, sikap tubuh terbuka dan ekspresi
wajah yang sesuai dengan komunikasu orang lain. Komunikasi
efektif terdiri dari komponen respon kognitif, afektif dan perilaku
(Ardiana, 2010).
e. Mendukung dan menerima ungkapan perasaan yang positif dan
negatif.
Menurut Nurachmah (2001 dikutip dari Ardiana, 2010),
perilaku caring perawat yang mencerminkan faktor karatif ini yaitu
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan
keluhan dan perasaannya. Dari hasil penelitian Wysong dan Driver

(2009) teridentifikasi bahwa pasien mempersepsikan perawat


responsif adalah perawat yang dapat mendengarkan keluhan pasien,
perhatian dan menindak lanjuti permintaan pasien dengan cepat.
f. Menggunakan metode yang sistematis dalam pemecahan masalah.
Perawat menggunakan proses keperawatan untuk
memecahkan masalah yang berhubungan dengan pelayanan
keperawatan dan pengambilan keputusan secara sistematis. Proses
keperawatan merupakan pendekatan yang terorganisir, sehingga
dapat menghilangkan pandangan lama bahwa perawat adalah
asisten dokter (Watson, 2004 dikutip dari Ardiana, 2010).
Penelitian Wysong dan Driver (2009) menyebutkan bahwa klien
mempersepsikan perawat yang mempunyai keahlian adalah
perawat yang cepat, tanggap mengantisipasi kebutuhan pasien,
dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi pada pasien, melihat
tanda-tanda yang dialami pasien dengan cermat, dapat membuat
keputusan dan mempunyai rasional klinis yang tepat.
g. Meningkatkan pembelajaran dan pengajaran dalam hubungan
interpersonal.
Faktor ini merupakan konsep penting dalam keperawatan
yang

akan

membedakan

caring

dengan

curing.

Dengan

pembelajaran dan pengajaran memungkinkan pasien memperoleh


pengetahuan dan bertanggung

jawab terhadap kondisi sehat

sakitnya. Melalui proses pembelajaran ini diharapkan pasien dapat


melakukan perawatan mandiri, menentukan kebutuhan diri dan

mendorong pertumbuhan diri pasien (Watson, 2005 dikutip dari


Ardiana, 2010).
Penelitian Wysong dan Driver (2009) menyebutkan perawat
yang mampu memfasilitasi proses pembelajaran bagi pasien
dengan mengintegrasikan pendidikan pasien, dipersepsikan pasien
sebagai keahlian kedua perawat. Pasien menggambarkan perawat
yang mampu memberikan proses belajar bagi pasien adalah
perawat yang mampu memberikan informasi tentang medikasi atau
pemberian obat pasien dan penjelasan tentang prosedur yang akan
dilakukan kepada pasien, menjelaskan apa yang akan dialami
pasien, serta selalu menginformasikan kepada pasien tentang
kondisi penyakitnya.
h. Menciptakan lingkungan yang suportif, protektif, perbaikan mental,
fisik, sosial, budaya dan spiritual.
Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan
eksternal pasien terhadap kondisi sehat sakit pasien. Konsep yang
berhubungan dengan lingkungan internal antara lain kesehatan
mental,

spiritual

dan

kepercayaan

sosiokultural

individu.

Sedangkan lingkungan eksternal mencakup kenyamanan, privacy,


keamanan, kebersihan dan keindahan lingkungan sekitar (Watson,
1979 dikutip dari Ardiana, 2010).
i. Membantu memberi bimbingan dalam memenuhi kebutuhan dasar
manusia yang dibutuhkan pasien.
Perawat perlu mengenali kebutuhan biofisikal, psikofisikal
dan interpersonal diri perawat dan pasien. Pasien harus puas
terhadap kebutuhan terendah sebelum mencapai kebutuhan yang

lebih tinggi. Kebutuhan biofisikal yang terendah antara lain makan,


eliminasi dan ventilasi. Kebutuhan psikofisikal yang terendah
antara lain aktivitas dan seksualitas. Kebutuhan psikososial
tertinggi antara lain pencapaian dan afiliasi. Aktualisasi diri
merupakan kebutuhan intra-interpersonal tertinggi (Watson, 1979
dikutip dari Ardiana, 2010).
j. Menghargai kekuatan eksistensial-phenomenologikal.
Perawat perlu menghargai adanya kekuatan eksistensial dan
fenomenologikal yang diyakini pasien. Fenomenologi digambarkan
sebagai suatu data situasi yang dapat membantu individu
memahami fenomena. Psikologi eksistensial adalah ilmu eksistensi
manusia

yang

dijelaskan

menggunakan

pendekatan

fenomenologikal. Watson (1979 dikutip dari Ardiana, 1979)


menyatakan sulit menjelaskan faktor ini. Inti dari faktor ini adalah
menghargai pengalaman yang merangsang pemikiran untuk
memfasilitasi pemahaman yang lebih baik bagi diri sendiri dan
orang lain.
2) Komponen caring merurut Swason
Swason (1991 dikutip dari Ardiana, 2010) menjelaskan proses
caring dalam 5 komponen carig, yaitu:
a. Mengetahui (Knowing)
Knowing adalah usaha untuk memahami kejadian yang
berarti dalam kehidupan orang lain, menghindari asumsi, fokus
merawat orang lain, mencari petunjuk, mengkaji dengan teliti dan
menggabungkan perawat dan pasien dalam proses mengetahui.
b. Kehadiran (Being With)

Being With yaitu menghadirkan emosi ketika bersama


orang lain. Hal ini meliputi kehadiran untuk membantu dan berbagi
perasaan tanpa membebani pasien. Penelitian Davis (2005 dikutip
dari Wysong & Driver, 2009) mengidentifikasi karakteristik
pelayanan keperawatan yang baik menurut persepsi pasien yaitu
sikap perawat yang lemah lembut, tenang, sopan, baik, perhatian,
empati dan menentramkan hati.
c. Melakukan (Doing for)
Doing for yaitu melakukan tindakan untuk orang lain atau
memandirikan pasien jika mungkin, mencakup tindakan antisipasi,
kenyamanan, menampilkan kompetensi dan keahlian, melindungi
pasien dan menghargai martabat pasien.
d. Memampukan (Enabling)
Enabling yaitu memfasilitasi pasien untuk melewati masa
transisi atau kejadian yang tidak biasa dengan berfokus pada
situasi, memberikan informasi atau penjelasan, memberikan
dukungan, memvalidasi perasaan pasien, menawarkan pilihan
(alternatif) tindakan dan memberikan umpan balik.
e. Mempertahankan kepercayaan (Maintaining belief)
Maintaining belief yaitu mempertahankan kepercayaan
pasien dengan mempercayai kapasitas pasien, menghargai nilai
yang

dimiliki

pasien,

mempertahankan

perilaku

penuh

pengharapan, menawarkan harapan yang realistis, membantu


mencari makna dan selalu siap membantu pasien pada situasi
apapun.
2.2.3 Karakteristik Caring

Ada beberapa karakteristik caring menurut Rogers (1961 dalam


Sudarsono, 2001 dikutip dari Aini, 2013), yaitu :
a. Be Ourselves
Sebagai manusia harus jujur, dapat dipercaya, tidak tergantung
pada orang lain.
b. Clarity
Keinginan untuk terbuka dengan orang lain.
c. Respect
Selalu menghargai orang lain.
d. Separatenes
Perawat tidak boleh terbawa dalam suasana dan masalah yang
dihadapi

pasien

dan

tetap

dalam

kondisi

waspada

dengan

mempersiapkan diri secara fisik dan psikologis.


e. Freedom
Memberikan kebebasan kepada orang lain untuk mengekspresikan
perasaannya.
f. Emphaty
Memahami perasaan klien tetapi dirinya tidak hanyut dalam
perasaan tersebut baik secara emosional maupun fisik.
g. Communication
Komunikasi verbal dan non verbal yang selaras.
h. Evaluation
Melakukan penilaian bersama-sama antara perawat dan klien.
Karakteristik caring menurut Leinenger (1991 dikutip dari Indrastuti,
2010) terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Professional Caring
Merupakan sebagai perwujudan kemampuan kognitif. Perawat
dalam bertindak terhadap respon yang ditunjukkan klien berdasarkan
ilmu, sikap dan keterampilan professional sehingga dapat memberikan
bantuan terhadap klien sesuai dengan kebutuhan, masalah dan tujuan
yang ditetapkan perawat dan klien.
b. Scientific Caring

Segala keputusan dan tindakan dalam memberikan asuhan


keperawatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki perawat.
c. Humanistic Caring
Proses bantuan kepada orang lain yang bersifat kreatif, intuitif atau
kognitif yang didasarkan pada filosofis, fenomenologik, perasaan
objektif dan subjektif.
2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Caring
Caring merupakan aplikasi dari proses keperawatan sebagai bentuk
kinerja yang ditampilkan oleh seorang perawat. Gibson, James dan John
(2000 dikutip dari Zees, 2011), mengemukakan bahwa ada 3 faktor yang
berpengaruh terhadap kinerja individu, yaitu:
a. Faktor Individu
Variabel individu dikelompokkan pada sub variabel kemampuan
dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel
kemampuan

dan

keterampilan

merupakan

faktor

utama

yang

mempengaruhi perilaku individu. Sub variabel demografis mempunyai


efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu. Karakteristik
demografis meliputi usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan,
masa kerja, status perkawinan dan status kepegawaian.
1) Usia, usia berkaitan erat dengan kedewasaan/ maturitas seseorang.
Semakin tinggi usia, semakin mampu menunjukkan kematangan
jiwa dan semakin dapat berfikir rasional, semakin bijaksana,
mampu mengendalikan emosi dan semakin terbuka terhadap
pandangan orang lain.
2) Jenis kelamin, manusia dibedakan menurut jenis kelaminnya yaitu
laki-laki dan perempuan. Studi-studi psikologi telah menemukan
bahwa perempuan lebih bersedia mematuhi wewenamg dan laki-

laki lebih agresif, dan lebih besar kemungkinannya daripada


perempuan dalam memiliki pengharapan untuk sukses.
3) Tingkat pendidikan, latar belakang pendidikan mempengaruhi
kinerja. Siagian (2010) menegaskan bahwa tingkat pendidikan
perawat mempengaruhi kinerja perawat yang bersangkutan.
Perawat yang berpendidikan tinggi kinerjanya akan lebih baik
karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
dibandingkan dengan perawat yang tingkat pendidikan lebih
rendah.
4) Masa kerja adalah lama seorang perawat bekerja pada suatu
organisasi, yaitu dimulai dari perawat resmi dinyatakan sebagai
pegawai/ karyawan tetap rumah sakit.
5) Status kepegawaian, adanya perbedaan status kepegawaian antara
pegawai tetap dan pegawai honorer menyebabkan kesenjangan
antar tenaga perawat yang bekerja dalam satu sarana pelayanan
kesehatan dengan status dan penggajian yang berbeda.
6) Status pernikahan, menurut Siagian (2010) status pernikahan
seseorang

berpengaruh

terhadap

perilaku

seseorang

dalam

kehidupan organisasinya, baik secara positif maupun negatif yang


berarti bahwa status perkawinan turut pula memberikan petunjuk
tentang cara dan teknik motivasi yang cocok digunakan baginya
dibandingkan dengan orang yang tidak berkeluarga.
b. Faktor Psikologis
Variabel psikologik merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur.
Variabel ini terdiri atas sub variabel sikap, kepribadian belajar dan
motivasi. Faktor ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial,

pengalaman dan karakteristik demokratis (Gibson, james dan John,


2001 dikutip dari Zees,2011).
1) Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai
sesuatu. Sikap adalah pernyataan atau pertimbangan evaluatif
(menguntungkan atau tidak menguntungkan) mengenai objek,
orang dan peristiwa (Riani, 2011).
2) Kepribadian didefenisikan sebagai pola/ gambaran relatif yang
menunjukkan cara-cara seseorang dalam berfikir, berperasa dan
berperilaku. Kepribadian juga menunjukkan bagaimana seorang
individu

bereaksi

dan

berinteraksi

dengan

orang

lain

(Robbins&Judge, 2008).
3) Motivasi adalah kekuatan yang dimiliki seseorang yang melahirkan
intensitas dan ketekunan yang dilakukan secara sukarela (Sopiah,
2009). Motivasi terdiri atas 2 macam, yaitu motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan keinginan yang besar yang
timbul dari dalam individu untuk mencapai tujuan-tujuan dalam
hidupnya. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang
bersumber dari luar diri yang menjadi kekuatan bagi individu
tersebut untuk meraih tujuan-tujuan hidupnya, seperti pengaruh
atasan, teman kerja, keluarga dan lain-lain.
c. Faktor Organisasi
Organisasi adalah suatu sistem terbuka yang berinteraksi dengan
lingkungannya. Variabel organisasi yang mempengaruhi kinerja
karyawan meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan
desain pekerjaan (Gibson, James & John, 2000 dikutip dari Zees, 2011).

1) Sumber daya pada sebuah organisasi meliputi sumber daya


manusia dan sumber daya alam. Pada sistem organisasi rumah sakit
sumber daya manusia terdiri dari tenaga profesional, non
profesional, staf adminidtrasi dan pasien. Sedangkan sumber daya
alam meliputi uang, metode, peralatan dan bahan-bahan (Zees,
2011).
2) Kepemimpinan adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan
memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Gaya
kepemimpinan adalah ciri khas yang dimiliki seseorang dalam
menjalankan

perannya

sebagai

seorang

pemimpin.

Gaya

kepemimpinan pada dasarnya menekankan perilaku pimpinan


terhadap bawahan (Simamora, 2012).
3) Imbalan adalah suatu sistem balas jasa atas hasil kerja anggota/
karyawan. Perilaku yang diberi imbalan, dihukum dan dibiarkan
yang akan menentukan bagaimana sebuah budaya organisasi
berevolusi (Riani, 2011).
4) Struktur organisasi adalah bagaimana tugas pekerjaan secara
formal dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan. Desain struktur
organisasi harus memberikan karyawan lebih banyak kebebasan
dengan mengurangi aturan dan ketentuan (Robbins & Judge, 2008).
2.2.5 Aspek Yang Mendasari Perawat Untuk Bersikap Care
Aspek yang mendasari keharusan perawat untuk care terhadap orang
lain ada tiga, yaitu (Morrison & Burnard, 2008):
a. Aspek Kontrak
Sebagai profesional, perawat berada di bawah kewajiban untuk
care. Radsma (1994 dikutip dari Morrison & Burnard, 2008)

mengatakan perawat memiliki tugas profesional untuk memberikan


care. Menawarkan klien sebuah pelayanan keperawatan adalah berarti
menawarkan care kepada mereka.
b. Aspek Etika
Pertanyaan etika adalah pertanyaan tentang apa yang benar atau
salah, bagaimana membuat keputusan yang tepat, bagaimana bertindak
dalam situasi tertentu. Jenis pertanyaan ini akan memengaruhi cara
perawat memberikan asuhan. Kita terus care karena kita terus
menyatakan care sebagai tindakan yang benar.
c. Aspek Spiritual
Spriritual berhubungan dengan agama dan keyakinan keagamaan.
Tema umum dalam banyak agama adalah kebutuhan para anggota
keyakinan tersebut untuk saling care satu sama lain. Ini berarti bahwa
perawat yang religius adalah orang yang care, bukan karena dia seorang
perawat tetapi lebih karena dia anggota suatu agama atau kepercayaan.
Pandangan agama tentang caring sangat terkait erat dengan pandangan
moral tentang caring.

Anda mungkin juga menyukai