Anda di halaman 1dari 25

PRE PLANNING

DISEMINASI ILMU PRESSURE ULCER (DEKUBITUS)


BUNDLE DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

PEMINATAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

OLEH:

SILVIA ROZA
1541312107

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017
PRE PLANNING
DISEMINASI ILMU PRESSURE ULCER
(DEKUBITUS) BUNDLE DI RUANG
ICU RSUP. DR. M. DJAMIL
PADANG

Topik : Diseminasi ilmu Pressure Ulcer (Dekubitus) Bundle


Sasaran : Semua perawat yang dinas aktif di ruang ICU RSUP Dr. M.
Djamil Padang
Hari / Tanggal : Senin, 13 Februari 2017
Waktu : 11.00 WIB s/d selesai
Tempat : Ruang ICU RSUP Dr. M. Djamil Padang

A. Latar Belakang
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian mandiri dari rumah
sakit, yang dilengkapi dengan tenaga medis dan teknologi khusus untuk
mengobservasi, merawat, memberikan terapi serta menunjang fungsi-fungsi
vital pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau kondisi kritis yang
mengancam nyawa (Kemenkes, 2010). ICU merupakan unit pelayanan yang
tidak bisa dipisahkan dari rumah sakit dan bisa dikatakan suatu unit vital yang
ada di rumah sakit (Avidan, Barnet, Hill, Hopley & Jones, 2008).
Kriteria pasien yang berada di ruang ICU adalah pasien sakit kritis
dengan ketidakstabilan atau kegagalan sistem organ yang memerlukan
bantuan alat teknologi canggih ICU seperti: bantuan ventilator, multi
kompleks infus, monitoring dan obat-obatan vasoaktif (Avidan, dkk, 2008).
Alasan pasien ICU membutuhkan bantuan alat ventilator yaitu ventilasi
mekanik dikarenakan pasien memiliki kegagalan pada sistem pernapasan
yang meliputi gangguan mekanisme pertukaran gas di dalam paru-paru
(Mackenzie, 2008).
Pasien dengan ventilasi mekanik memerlukan pemantauan, dan asuhan
keperawatan yang berulang, sehingga dapat meminimalisir risiko komplikasi
seperti: ganguan jalan napas, infeksi paru, hipoksia, hipoventilasi,
hiperventilasi, penurunan perfusi jaringan akibat penurunan fungsi jantung,
nyeri, imobilisasi, peningkatan mordibiti dan mortaliti, serta beberapa efek
psikologis (gangguan tidur, stres, ketidaknyamanan dan kegelisahan) akibat
pemakaian alat ventilator. Beberapa pasien ICU akan diberikan obat sedasi
guna mengurangi efek psikologis dan nyeri yang dirasakannya (Mackenzie,
2008) sehingga dengan pemberian obat ini juga akan meningkatan imobilisasi
pasien (Morton dan Dorrie, 2009).
Imobilitas merupakan faktor risiko dekubitus yang signifikan (Zuo &
Meng, 2015). Suheri (2009 dalam Mutia, Pamungkas & Anggraini, 2015)
mendapatkan ulkus dekubitus muncul pada hari ke-3 hingga hari ke-5.
Sabandar (2008 dalam Mutia, dkk, 2015) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa tanda-tanda luka terjadi akibat posisi pasien yang imobilisasi dalam
jangka waktu lebih dari 6 jam pada hari pertama perawatan. Pasien
imobilisasi selalu terbaring di atas tempat tidur dan sulit untuk merubah
posisinya, sehingga terjadi tekanan pada bagian tubuh yang menonjol dan
menyentuh linen. Penekanan dalam jangka waktu lama akan menurunkan
aliran darah pada bagian tubuh tersebut lalu menyebabkan iskemia jaringan
yang berakhir dengan kematian jaringan. Gesekan yang terjadi pada
permukaan kulit yang mati akan mengakibatkan luka dekubitus (Copper,
2013).
Menurut Zuo & Meng (2015) pasien dengan dekubitus secara
signifikan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan beban keuangan.
Sejumlah bukti signifikan telah terkumpul menunjukkan bahwa pencegahan
dekubitus adalah komponen penting bagi perawatan pasien. Hal yang dapat
dilakukan untuk mencegah dekubitus yaitu dengan menerapkan pressure
ulcer (dekubitus) bundle. Lima elemen utama yang terdapat dalam dekubitus
bundle yaitu: pengkajian risiko, pengkajian kulit, dukungan permukaan,
nutrisi dan reposisi (Zuo & Meng, 2015).
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner tentang pengetahuan dan sikap
mengenai pencegahan dekubitus yang telah dilakukan didapatkan bahwa
hampir seluruh (91%) perawat tidak mengetahui format pengkajian yang
digunakan untuk mengkaji faktor risiko dekubitus, kurang dari separuh (36%)
perawat tidak mengetahui tentang pengkajian kulit dan seluruh (100%)
perawat melakukan reposisi 2 kali yaitu pada shift pagi. Dari hasil observasi
juga didapatkan tidak adanya format pengkajian risiko dekubitus dan
sebagian besar perawat melakukan reposisi pagi hari ketika pasien
dimandikan dan setelah pasien dimandikan.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang Pressure Ulcer
(Dekubitus) Bundle di Intensive Care Unit (ICU) RSUP. Dr. M. Djamil
Padang.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan pengetahuan tentang definisi, faktor risiko dan
klasifikasi dekubitus.
b. Meningkatkan pengetahuan tentang Pressure Ulcer (Dekubitus)
Bundle dan elemen-elemennya.

C. Metode
- Ceramah

D. Media dan Alat


- Laptop
- Infocus

E. Waktu dan Tempat


Hari : Senin, 13 Februari 2017
Waktu : 11.00 WIB s/d selesai
Tempat : Ruang ICU RSUP Dr. M. Djamil Padang

F. Kegiatan Diseminasi Ilmu


No Kegiatan Kegiatan Peserta Waktu
1. Pembukaan 5 menit
Mengucapkan salam Menjawab salam
Menjelaskan Tujuan Mendengarkan

Menjelaskan Kontrak Menyepakati kontrak


2 Pelaksanaan 30 menit
Menjelaskan tentang definisi Mendengarkan dan
dekubitus memperhatikan
Menjelaskan tentang faktor Mendengarkan dan
risiko dekubitus memperhatikan
Menjelaskan tentang klasifikasi Mendengarkan dan
dekubitus memperhatikan

Menjelaskan tentang Pressure


Ulcer (Dekubitus) Bundle
Menjelaskan definisi Mendengarkan dan
memperhatikan
Pressure Ulcer
(Dekubitus) Bundle
Menjelaskan elemen- Mendengarkan dan
elemen Pressure Ulcer memperhatikan
(Dekubitus) Bundle
Menjelaskan dan Memperhatikan
mendemonstrasikan pengisian
format
Meminta peserta melakukan Melakukan redemonstrasi

kembali cara pengisian format

3 Penutup 10 menit
Melakukan diskusi Menngemukakan pendapat
Menyimpulkan materi Menjelaskan

Mengucapkan salam Menjawab salam

Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi struktur
a. Laporan telah dikoordinasikan sesuai dengan perencanaan
b. 65% peserta mengikuti diseminasi ilmu
c. Tempat sesuai dengan rencana.

2. Evaluasi proses
a. Peran dan tugas mahasiswa/ panitia sesuai dengan perencanaan
b. Waktu yang direncanakan sesuai dengan pelaksanaan
c. 65% peserta aktif dalam diseminasi ilmu
d. 65% peserta tidak meninggalkan ruangan selama diseminasi ilmu
berlangsung.

3. Evaluasi hasil
a. 65% Perawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP. Dr. M. Djamil
Padang mengetahui tentang definisi, faktor risiko dan klasifikasi
dekubitus.
b. 65% Perawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP. Dr. M. Djamil
Padang mengetahui tentang Pressure Ulcer (Dekubitus) Bundle.
DAFTAR PUSTAKA

Avidan, M., Barnet, K.M., Hill, L.L. Hopley, L., and Jones, N. (2008). Intensive
Care. China: Churchill Livingstone Elsevier.
Cooper, K.L. 2013. Evidence-Based Prevention of Pressure Ilcers in intensive
Care Unit. Critical Care Nurse, 33(6): 57-66 .
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa Nomor 1778. (2010).
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit di Rumah
Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Mackenzie, L. (2008). Core Topics in Mechanical Ventilation. 1st Edition. New
York: Cambride University Press.
Morton, P.G., dan Dorrie, K.F. (2009). Essentials of critical care nursing : a
holistic approach. 9th edition. Philadelphia: Woltres Kluwer.
Mutia, L., Pamungkas, K.A & Aggraini, D. (2015). Profil penderita ulkus
dekubitus yang menjalani tirah baring di ruang rawat inap RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau periode Januari 2011-Desember 2013. JOM FK,
2(2): 1-11.
Zuo, X.L & Meng, F.J. (2015). A care bundle for pressure ulcer treatment in
intensive care units. International Journal of Nursing Sciences,
2015(2): 340-347.
Lampiran Materi

Pressure Ulcers (Dekubitus) Bundle

A. Definisi Pressure Ulcer (Dekubitus)


Pressure Ulcers juga dikenal sebagai luka tekanan, luka decubitus
dan luka tempat tidur, adalah cedera lokal pada kulit atau jaringan bawah
yang paling sering terjadi di atas tonjolan tulang yang dapat disebabkan oleh
kombinasi dari tekanan, kekuatan geseran atau gesekan (NPUAP, 2014).
Kompresi jaringan lunak dan tonjolan tulang yang lama menyebabkan
iskemia jaringan kulit, otot dan fasia pada daerah kompresi antara permukaan
kulit dan tulang. Iskemia jaringan pada titik kompresi sebagian besar
merupakan hasil dari kompresi pembuluh kecil di jaringan yang terkompresi,
hal ini menghambat pasokan lokal oksigen dan nutrisi pada penghubung
kapiler serta aliran balik vena dari sisa metabolisme. Jika tekanan
berkepanjangan, sisa metabolik menumpuk dan menginduksi respon
vasodilatasi lokal. Induksi respon vasodilatasi memberikan kontribusi untuk
edema lokal, kompresi lanjut pembuluh kecil di wilayah yang terkena dampak
dan meningkatkan edema dan iskemia pada putaran umpan balik positif
(NPUAP, 2011).
Pada akhirnya, siklus ini menghasilkan kematian jaringan lokal yang
berujung pada pembentukan sebuah dekubitus. Dekubitus terjadi paling sering
di atas tonjolan tulang, dan yang paling umum lokasi rentan dekubitus
termasuk sacrum, tulang ekor, tumit dan telinga (Zuo & Meng, 2015).

B. Faktor Risiko Dekubitus


Menurut Coleman, dkk, 2013 & Manzano, dkk, 2010 (dalam Zuo &
Meng, 2015) terdapat 3 faktor intrinsik dekubitus, yaitu:
1. Mobilitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol
posisi tubuh. Pasien yang berbaring terus menerus di tempat tidur
tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena
dekubitus. Imobilitas merupakan faktor risiko dekubitus yang

signifikan (Moore&Cowman, 2012 dalam Zuo & Meng, 2015).


Resikonya sangat tinggi bagi pasien menggunakan ventilasi mekanik
dalam jangka waktu yang lama atau penggunaan obat penenang, dan
ini adalah karena pasien dengan ventilasi mekanik cenderung
mengalami penurunan tingkat kesadaran dan penurunan sensasi

(Manzano, dkk, 2010 dalam Zuo & Meng, 2015). Penelitian yang
dilakukan Suriadi di salah satu rumah sakit di Pontianak juga
menunjukan bahwa mobilitas merupakan faktor yang signifikan untuk
perkembangan dekubitus.
2. Perfusi Jaringan
Perfusi jaringan yang terkait termasuk edema, diabetes, penyakit
pembuluh darah, sirkulasi dan tekanan darah. Faktor-faktor yang
merusak sirkulasi akan meningkatkan kemungkinan perkembangan

dekubitus (Zuo&Meng, 2015). Penurunan sirkulasi menyebabkan


jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia.
Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler,
pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor

(Potter & Perry, 2005). Tekanan darah rata-rata yang ebih rendah dari 60-
70 mmHg dikaitkan dengan gangguan kondisi kulit. Dalam keadaan
hipotensi darah akan dialihkan dari kulit ke organ vital, sehingga akan
menurunkan toleransi kulit terhadap tekanan. Hal ini menggambarkan
kondisi dimana tekanan yang lebih sedikit akan mampu melawan tahanan
kapiler yang sudah rendah, yang akan memperburuk perfusi ke daerah
kulit (Curry, Kutash, Chambers, Evans, Holt & Purcell, 2012).
3. Usia
Umur adalah variabel yang signifikan di ICU, dan usia lanjut
berkontribusi terhadap risiko perkembangan dekubitus. Lansia yang
berusia >60 tahun memiliki sedikit lemak subkutan, penurunan ketebalan
kulit dan penurunan persepsi sensorik. Kombinasi faktor tersebut
membuat pasien usia lanjut rentan terhadap cedera jaringan yang cepat
dibandingkan pasien yang lebih muda. Orang yang lebih tua lebih
mungkin untuk mengembangkan dekubitus karena ketidakpekaan,
kelemahan dan kekebalan yang rendah (Schuurman, dkk, 2009 dalam
Zuo&Meng, 2015).
Faktor Ekstrinsik terjadinya dekubitus, yaitu (Eberlein, dkk, 2013 dalam
Zuo&Meng, 2015):
1. Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah
pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry
2005). Gaya ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi
tubuhnya diatas saat tempat tidur dengan cara didorong atau di geser
kebawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya
gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat
tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan
tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada kulit
(Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Kapiler
jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan
tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan
mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan
nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran darah
kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan
terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di
bawahnya. Akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai
drainase dari area nekrotik. Perlu di ingat bahwa cedera ini melibatkan
lapisan jaringan bagian dalam dan paling sering dimulai dari kontrol,
seperti berada di bawah jaringan rusak. Dengan mempertahankan tinggi
bagian kepala tempat tidur dibawah 30 derajat dapat menghindarkan
cedera yang diakibatkan gaya gesek (AHPCR, 1994 dalam Potter &
Perry, 2005). Brayan, dkk (1992 dalam Potter & Perry, 2005) mengatakan
juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi.
2. Friksi
Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat
digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR,
1994 dalam Potter & Perry, 2005) . Tidak seperti cedera akibat gaya
gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit
bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.
Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant,
1992 dalam Potter & Perry, 2005). Karena cara terjadi luka seperti ini,
maka perawat sering menyebut luka bakar seprei sheet burns (Bryant et
el, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Cedera ini terjadi pada pasien
gelisah, pasien yang gerakan nya tidak terkontrol, seperti kondisi kejang,
dan pasien yang kulitnya diseret dari pada diangkat dari permukaan
tempat tidur selama perubahan posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam
Potter & Perry, 2005). Tindakan keperawatan bertujuan mencegah cedera
friksi antara lain sebagai berikut: memindahkan klien secara tepat dengn
mengunakan teknik mengangkat siku dan tumit yang benar, meletakkan
benda-benda dibawah siku dan tumit seperti pelindung dari kulit domba,
penutup kulit, dan membran transparan dan balutan hidrokoloid untuk
melindungi kulit, dan menggunakan pelembab untuk mempertahankan
hidrasi epidermis (Potter & Perry, 2005) .

Faktor lain yang menyebabkan risiko terjadinya dekubitus, yaitu (Zuo &
Meng, 2015):
1. Nutrisi
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi
sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh
karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi
merupakan penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam
etiologi, patogenesis, dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & scheele,
1991 dalam Potter & Perry, 2005). Pasien yang mengalami malnutrisi
mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan
tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter
& Perry, 2005). Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien
mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal.
Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea
(level albumin serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983 ;
Steinberg 1990 dalam Potter & Perry, 2005).
Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminimea
menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan
sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi
dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun
dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada
sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & litwalk, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005).
2. Keparahan Penyakit
Keparahan penyakit juga merupakan faktor risiko untuk
perkembangan dekubitus, dan risiko ini adalah faktor dalam Acute
physiology, Age, Chronic Health Evaluation (APACHE) III score (Knaus,
dkk, 1991 dalam Zuo&Meng, 2015). Model APACHE III telah banyak
divalidasi dan digunakan oleh banyak ICU untuk mengklasifikasikan
tingkat keparahan penyakit dan mempredisi angka kematian (mortalitas)
rumah sakit. Skor APACHE III lebih tinggi menunjukkan risiko kematian
yang lebih tinggi (Ozyurek, dkk, 2015 dalam Zuo&Meng, 2015).
3. Status Hematologi
Status hematologi mencakup status protein, albumin, limfopenia dan
Hemoglobin (Hb), dan hasil yang tidak normal, termasuk anemia dan
tingkat serum albumin rendah, memiliki hubungan terjadinya risiko
dekubitus (Theaker, dkk, 2000 dalam Zuo&Meng, 2015).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk
mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya
dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el,
1989); Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Walaupun
kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein
viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk
semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry,
2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus,
level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik
koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan
oksigen ke jaringan (Hanan & Scheele 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di
bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan
level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera
jaringan (Potter & Perry, 2005).
Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level
hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen
serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia
juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka
(Potter & Perry, 2005).
4. Kelembaban Kulit
Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan
terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi
peningkatan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat
(Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005). Kelembaban
menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekenan atau
gaya gesek (Potter & Perry, 2005).
Pasien imobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
higienisnya sendiri, tergantung untuk menjaga kulit pasien tetap kering
dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana
perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat,
kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan,
muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan
inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi
luka akibat tekanan pada pasien (Potter & Perry, 2005).
5. Suhu Tubuh
Berkembangnya dekubitus dapat juga dipengaruhi oleh suhu tubuh.
Hal ini dapat terjadi karena dengan meningkatnya suhu tubuh 1oC akan
meningkatkan kebutuhan matabolisme jaringan sebesar 10%. Peningkatan
metabolisme ini akan meningkatkan konsumsi oksigen dan kebutuhan
energi pada tingkat sel termasuk pada daerah yang mendapat tekanan
sehingga kerusakan jaringan akan semakin cepat terjadi. Peningkatan
suhu tubuh juga akan mengaktivasi kelenjar keringat sehingga
meningkatkan kelembaban pada permukaan kulit (Skheleton & Litwalk,
1991 dalam Potter & Perry, 2005).
6. Imunitas
Pada orang yang memiliki sistem imun yang rendah lebih mudah
terserang infeksi. Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien
infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan
kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia
(penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi (Skheleton &
Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain itu demam
menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban
kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien
(Potter & Perry, 2005).

C. Klasifikasi Dekubitus
Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP, 2014),
dekubitus dibagi dalam 4 stadium berdasarkan kedalaman jaringan yang
mengenainya yaitu :
1. Stadium 1
Stadium I ditandai dengan adanya eritema yang tidak menjadi pucat bila
ditekan. Sebelum dekubitus stadium I ini terbentuk maka area kemerahan
yang ditekan akan menjadi pucat untuk sementara waktu dan akan
kembali menjadi eritema setelah tekanan dilepaskan, sedangkan pada
stadium I kulit tidak menjadi pucat bila ditekan. Warna kulit dapat
bervariasi dari kulit berwarna kemerahan, pucat pada kulit putih, biru,
merah atau ungu pada kulit hitam. Temperatur kulit berubah hangat atau
dingin, bentuk perubahan menetap dan ada sensasi gatal atau nyeri. Area
yang tertekan bentuknya tidak teratur, dan menggambarkan bentuk
tonjolan tulang yang memberi tekanan pada area tersebut. Kerusakan
jaringan masih minimal dan bersifat reversibel dan dapat sembuh dalam
5-10 hari.
2. Stadium II
Terdapat kehilangan kulit parsial yang menyangkut lapisan epidermis
dan atau dermis. Luka bersifat superficial dan secara klinis nampak
seperti abrasi, melepuh atau lubang yang dangkal.
3. Stadium III
Tahap ini dikarakteristikan oleh kehilangan seluruh lapisan kulit (full
thickness). Kerusakan dan nekrosis meliputi lapisan dermis dan jaringan
subkutan tetapi tidak melewatinya sampai terlihat fasia. Luka terlihat
sebagai lubang dalam, luka dapat terinfeksi. Biasanya luka terbuka dan
mempunyai drainase yang terdiri dari cairan dan protein. Pasien dapat
mengalami demam, dehidrasi, anemia, dan leukositosis.
4. Stadium IV
Kehilangan lapisan kulit secara lengkap hingga tampak tendon,
tulang, ruang sendi. Berpotensi untuk terjadi destruksi dan risiko
osteomyelitis. Kerusakan dapat meluas, dapat terbentuk saluran sinus
pada derajat ini.

D. Pressure
Ulcer

(Dekubitus) Bundle
1. Definisi
Bundel perawatan adalah kumpulan dari kualitas ide-ide manajemen
perawatan yang dapat diimplementasikan di ICU dengan tujuan
mempromosikan kerjasama antar berbagai disiplin kesehatan dan
mempromosikan wujud dari pedoman klinis untuk praktek klinis. Sebuah
bundel perawatan biasanya mencakup 3-6 elemen, masing-masing yang
didukung oleh bukti-bukti dari randomized controlled trials (RCT) atau
systematic reviews (SR) (Zuo&Meng, 2015).
Bundel perawatan dekubitus yang tersedia berdasarkan bukti dan
pedoman terbaik yang ada: international guideline dan pedoman dari
Registered Nurse Association of Ontario (RNAO, 2009). Pedoman yang
universal menjelaskan dekubitus, dan termasuk rekomendasi berbasis
bukti yang dimasukkan dari hasil RCT dan SR. Ulasan dikembangkan
lebih lanjut dan rekomendasi spesialisasi dari bundel perawatan
pencegahan dekubitus untuk pasien dewasa yang dirawat di ICU. Ulasan
ini mengidentifikasi lima elemen kunci dari pencegahan dan perawatan
dekubitus: penilaian risiko, penilaian kulit, dukungan permukaan, nutrisi
dan reposisi (Zuo & Meng, 2015).

2. Elemen-Elemen
Adapun elemen-elemen dari pressure ulcer (dekubitus) bundle, yaitu
(Zuo & Meng, 2015):
a. Pengkajian Risiko
Penilaian pasien menggunakan Risk Assesment Scale (RAS)
harus dilakukan segera setelah masuk. Meskipun tidak sempurna, alat
ini memberikan metode praktis menilai risiko dekubitus dan
menyarankan intervensi tepat untuk mengurangi risiko. Alat penilaian
utama yang digunakan di ICU di Inggris, Eropa dan Amerika Utara
adalah skala Braden dan Waterlow (Zuo&Meng, 2015). Namun
NPUAP merekomendasikan skala Braden sebagai alat pengkajian
resiko terjadinya luka tekan yang paling baik digunakan dalam
memprediksi dekubitus (NPUAP, 2014).
Skala Braden adalah instrumen yang divalidasi untuk
memperkirakan risiko dekubitus di ICU yang meneliti enam kriteria:
persepsi sensorik, kelembaban, tingkat aktivitas, mobilitas pasien,
gizi, dan gesekan dan robekan (Serpa, dkk, 2011 dalam Zuo & Meng,
2015) . Ketika menilai pasien dengan skala Braden, paparan gesekan
kulit dan gaya geser diukur menggunakan tiga titik skala, sedangkan
lima item lainnya diukur dengan menggunakan empat titik skala .
Jumlah pengukuran ini adalah total skor, dan skor ini dapat berkisar
dari 6-23. Skor Braden tertinggi menunjukkan risiko dekubitus lebih
rendah, dan pasien diklasifikasikan sesuai dengan skala Braden
sebagai berikut: risiko sangat tinggi (skor <9), berisiko tinggi (skor
10 - 12), risiko sedang (skor 13 - 14), risiko rendah (skor 15 - 18) dan
tidak ada risiko (skor 19 - 23). Sensitivitas skala berkisar antara 71%
sampai 100% (Baris, dkk, 2015 dalam Zuo & Meng, 2015).
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing skala:
1) Persepsi sensori
Kemampuan untuk merespon tekanan berarti yang
berhubungan dengan ketidaknyamanan. Pada subskala ini
terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah
(risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah).
Skor I: Diberikan apabila terjadi keterbatasan total, yaitu tidak
adanya respon pada stimulus nyeri akibat kesadaran yang
menurun ataupun karena pemberian obat-obat sedasi atau
keterbatasan kemampuan untuk merasakan nyeri pada sebagian
besar permukaan tubuh.
Skor 2: Diberikan apabila sangat terbatas, yaitu berespon hanya
pada stimulus nyeri. Tidak dapat mengkomunikasikan
ketidaknyamanan, kecuali dengan merintih dan / atau gelisah.
Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi
kemampuan untuk merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada
separuh permukaan tubuh.
Skor 3: Diberikan pada saat hanya terjadi sedikit keterbatasan
yaitu dalam keadaan pasien berespon pada perintah verbal, tetapi
tidak selalu dapat mengkomunikasikan ketidaknyamanan atau
harus dibantu membalikkan tubuh, atau mempunyai gangguan
sensorik yang membatasi kemampuan merasakan nyeri atau
ketidaknyamanan pada 1 atau 2 ektrimitas.
Skor 4: Diberikan pada saat tidak terjadi gangguan, yaitu dalam
berespon pada perintah verbal dengan baik. Tidak ada penurunan
sensorik yang akan membatasi kemampuan untuk merasakan atau
mengungkapkan nyeri atau ketidaknyamanan.
2) Kelembaban
Tingkat kulit yang terpapar terhadap kelembaban. Pada
subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai
terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko
rendah).
Skor 1: Diberikan apabila terjadi kelembaban kulit yang konstan,
yaitu saat kulit selalu lembab karena perspirasi, urine dan
sebagainya. Kelembapan diketahui saat klien bergerak, membalik
tubuh atau dengan dibantu perawat.
Skor 2: Diberi apabila kulit sangat lembab, yaitu saat kelembaban
sering terjadi tetapi tidak selalu lembab. Idealnya alat tenun
dalam keadaan ini harus diganti setiap pergantian jaga.
Skor 3: Diberikan pada saat kulit kadang lembab, yaitu pada
waktu tertentu saja terjadi kelembaban. Dalam keadaan ini,
idealnya alat tenun diganti dengan 1 kali pertambahan ekstra (2 x
sehari).
Skor 4: Diberikan pada saat kulit jarang lembab, yaitu pada saat
keadaan kulit biasanya selalu kering, alat tenun hanya perlu
diganti sesuai jadwal (1 x sehari).

3) Aktifitas.
Tingkat aktifitas fisik. Pada subskala ini terdapat 4 (empat)
tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4
adalah nilai tertinggi (risiko rendah).
Skor 1: Diberikan kepada klien dengan tirah baring, yang
beraktifitas terbatas di atas tempat tidur saja.
Skor 2: Diberikan kepada klien yang dapat bergerak (berjalan)
dengan keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan.
Tidak dapat menopang berat badannya sendiri dan / atau harus
dibantu pindah ke atas kursi atau kursi roda.
Skor 3: Diberikan kepada klien yang dapat berjalan sendiri pada
siang hari, tapi hanya dalam jarak pendek/dekat, dengan atau
tanpa bantuan. Sebagian besar waktu dihabiskan di atas tempat
tidur atau kursi.
Skor 4: Diberikan kepada klien yang sering jalan ke luar kamar
sedikitnya 2 kali sehari dan di dalam kamar sedikitnya 1 kali tiap
2 jam selama terjaga.
4) Mobilisasi
Kemampuan mengubah dan mengontrol posisi tubuh. Pada
subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai
terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko
rendah).
Skor 1: Diberikan pada klien dengan imobilisasi total. Tidak
dapat melakukan perbuahan posisi tubuh atau ekstrimitas tanpa
bantuan, walaupun hanya sedikit.
Skor 2: Diberikan kepada klien dengan keadaan sangat terbatas,
yaitu klien dengan kadang-kadang melakukan perubahan kecil
pada posisi tubuh dan ekstrimitas, tapi tidak mampu melakukan
perubahan yang sering dan berarti secara mandiri.
Skor 3: Diberikan kepada klien yang mobilisasinya agak terbatas,
yaitu klien yang dapat dengan sering melakukan perubahan kecil
pada posisi tubuh dan ekstrimitas secara mandiri.
Skor 4: Diberikan kepada klien yang dapat melakukan perubahan
posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.
5) Nutrisi
Pola asupan makanan yang lazim. Pada subskala ini terdapat
4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko
tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah).
Skor 1: Diberikan kepada klien dengan keadaan asupan gizi yang
sangat buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan
makanan lengkap, jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan
yang diberikan. Tiap hari asupan protein (daging / susu) 2 x atau
kurang. Kurang minum. Tidak makan suplemen makanan cair.
atau puasa dan/atau minum air bening atau mendapat infus > 5
hari.
Skor 2: Diberikan kepada klien dengan keadaan mungkin kurang
asupan nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan
lengkap dan umumnya makan kira-kira hanya 1/2 porsi makanan
yang diberikan. Asupan protein, daging dan susu hanya 3 kali
sehari. Kadang-kadang mau makan makanan suplemen. Atau
menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dari sonde
(NGT).
Skor 3: Diberikan kepada klien dengan keadaan cukup asupan
nutrisi, yaitu klien dengan keadaan makan makanan > 1/2 porsi
makanan yang diberikan. Makan protein daging sebanyak 4 kali
sehari. Kadang-kadang menolak makan, tapi biasa mau makan
suplemen yang diberikan. Atau diberikan melalui sonde (NGT)
atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin dapat memenuhi
sebagian besar kebutuhan nutrisi.
Skor 4: Diberikan kepada klien yang baik asupan nutrisinya,
yaitu klien dengan keadaan makan makanan yang diberikan.
Tidak pernah menolak makan. Biasa makan 4 kali atau lebih
dengan protein (daging/susu). Kadang-kadang makan di antara
jam makan. Tidak memerlukan suplemen.
6) Gesekan dan Robekan
Pada subskala ini terdapat 3 (tiga) tingkat nilai, yaitu; 1
adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 3 adalah nilai tertinggi
(risiko rendah).
Skor 1: Diberikan pada klien dengan masalah, yaitu klien yang
memerlukan bantuan sedang sampai maksimum untuk bergerak.
Tidak mampu mengangkat tanpa terjatuh. Seringkali terjatuh ke
atas tempat tidur atau kursi, sering membutuhkan maksimum
untuk posisi kembali kejang, kontraktur atau agitasi
menyebabkan friksi terus menerus.
Skor 2: Diberikan kepada klien dengan masalah yang berpotensi,
yaitu klien yang bergerak dengan lemah dan membutuhkan
bantuan minimum. Selama bergerak kulit mungkin akan
menyentuh alas tidur, kursi, alat pengikat atau alat lain. Sebagian
besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik diatas
kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang jatuh ke bawah.
Skor 3: Diberikan kepada klien yang tidak memiliki masalah,
yaitu klien yang bergerak di atas tempat tidur maupun kursi
dengan mandiri dan mempunyai otot yang cukup kuat untuk
mengangkat sesuatu sambil bergerak. Mampu mempertahankan
posisi yang baik di atas tempat tidur atau kursi.

Tabel 1. Skala Braden untuk Mengukur Risiko Dekubitus


Item Skor
Persepsi Sensorik
Terbatas total 1
Sangat Terbatas 2
Sedikit Terbatas 3
Tidak ada gangguan 4
Kelembaban
Kelembaban kulit yang konstan 1
Sangat lembab 2
Kadang-kadang lembab 3
Jarang Lembab 4
Aktivitas
Tirah Baring 1
Diatas kursi 2
Kadang Kadang Berjalan 3
Item Skor
Sering berjalan 4
Mobilisasi
Imobilisasi total 1
Sangat terbatas 2
Agak terbatas 3
Tidak terbatas 4
Nutrisi
Sangat buruk 1
Mungkin kurang 2
Cukup 3
Baik 4
Gesekan dan Robekan
Masalah 1
Masalah yang berpotensi 2
Tidak ada masalah 3
Total Skor

b. Pengkajian Kulit
Inspeksi kulit dan penilaian harus terjadi sekali selama setiap
shift di ICU, atau lebih sering pada pasien pada peningkatan risiko
perkembangan dekubitus. Jika seorang pasien dianggap berisiko
untuk perkembangan dekubitus, atau jika pasien memiliki dekubitus,
rujukan yang tepat untuk layanan gizi dan spesialis perawatan luka
harus dimulai. Staf ICU juga harus melakukan penilaian kulit lengkap
sebagai bagian dari skrining risiko pasien di ICU. Pengkajian kulit
biasa dilakukan setiap shift di ICU, setiap perubahan kondisi kulit
harus dicatat, dan frekuensi penilaian harus ditingkatkan jika ada
perubahan dalam kondisi kulit diperhatikan (NPUAP, 2014).
Munculnya Tahap I dekubitus meningkatkan kemungkinan kemajuan
untuk Tahap II dekubitus dua sampai tiga kali lipat. Oleh karena itu,
pasien dengan Tahap I dekubitus harus dipantau sangat ketat.
Dekubitus sering terjadi pada penonjolan tulang yang lebih seperti
tumit, tengkuk, sacrum dan tuberositas iskia. Sakrum dan tumit
adalah lokasi yang paling sering terjadinya dekubitus (Huang, dkk,
2013 dalam Zuo & Meng, 2015).

c. Dukungan Permukaan (Kasur dan Tempat tidur Terapeutik)


Dukungan permukaan termasuk pelapisan (ditempatkan di atas
tempat tidur standar) atau kasur khusus. Tidak ada satu alat pun yang
dapat menghilangkan efek tekanan pada kulit. Alat yang dapat
mengurangi tekanan antar permukaan (tekanan antara tubuh dengan
alas pendukung) dibawah 32 mmHg (tekanan yang menutupi kapiler).
Alat untuk mengurangi tekanan juga mengurangi tekanan antara
permukaan tapi tidak di bawah besar tekanan yang menutupi kapiler.
Ada 2 jenis dukungan permukaan: statis tanpa bergerak dan dinamis
dengan bagian yang bergerak yang dijalankan oleh energi. Matras
udara dan air efektif tetapi mungkin bocor, jadi mereka perlu terus
menerus dirawat.. Kadang-kadang digunakan glove yang diisi air atau
udara atau bantalan donat. Namun bantalan donat kini mulai
ditinggalkan karena terbukti menimbulkan efek tekanan baru pada
area pinggir donat. Termasuk upaya memperbaiki dukungan
permukaan adalah menjaga alat tenun tetap licin dan kencang, kasur
yang rata dan tebal serta pemberian bantal pada area-area berisiko
tekanan seperti tumit, siku, bahu dan sakrum. Permukaan tekanan
rendah yang konstan, seperti kasur busa, udara, air dan elastomer,
telah dilaporkan mengungguli kasur rumah sakit konvensional dalam
mencegah pembentukan ulkus di ICU (McInnes, Jammali, Bell,
Dumville & Cullum, 2011 dalam Zuo & Meng, 2015).
Sebuah tinjauan sistematis menyimpulkan bahwa penggunaan
kasur busa alternatif 69% mengurangi risiko dekubitus dibandingkan
dengan kasur rumah sakit standar (Coleman, dkk, 2013 dalam Zuo &
Meng, 2015). Studi lain melaporkan bahwa penggunaan tempat tidur
udara di ICU minimal tiga hari menghasilkan sebuah pengurangan
risiko relative yaitu 76% dalam kejadian dekubitus bila dibandingkan
dengan tempat tidur standar ICU (Zuo & Meng, 2015).

d. Nutrisi
Tingkat albumin yang rendah merupakan indikator dari
malnutrisi dan tingkat prealbumin mungkin mencerminkan dari status
gizi saat ini. Albumin dan tingkat prealbumin harus diperiksa secara
rutin (mingguan atau 2 kali seminggu) untuk memperlihatkan
kecenderungan kecukupan dari terapi gizi. Menurun atau rendahnya
tingkat albumin/ prealbumin harus diwaspadai perawat ICU untuk
menginformasikan dokter atau ahli gizi dari kebutuhan potensial
untuk mengubah terapi nutrisi. Perawat harus mengidentifikasi status
gizi pasien saat masuk dan menganjurkan sedini mungkin
mengkonsumsi suplemen jika perlu. Memastikan gizi yang cukup
sangat sulit pada pasien yang menerima vasopressor karena aksi
vasokonstriksi dari penyempitan vasopressor mukosa lambung,
mencegah penyerapan nutrisi. Selain itu, nutrisi enteral sering
menyebabkan mencret, dan jika pasien tidak dapat menunjukkan
kebutuhan untuk pispot, mereka harus bergantung pada penilaian
keperawatan yang sering dari status pengawasan. Sebuah studi baru-
baru melaporkan bahwa di antara pasien ICU yang menerima formula
gizi enteral diperkaya dengan minyak ikan yang mengandung -3
light-chain polyunsaturated fatty acids (PUFA) dan mikronutrien,
kejadian dekubitus baru berkurang secara signifikan (Singer, dkk,
2006 dalam Zuo & Meng, 2015). Bukti ini konsisten dengan yang
dilaporkan dalam studi oleh Theilla M (Theilla, dkk, 2012 dalam Zuo
& Meng, 2015).
e. Reposisi
Sebuah analisis evidence-based baru-baru ini merekomendasikan
mengubah pasien setidaknya setiap 2 jam sekali pada kasur busa
standar dan sekali setiap 4 jam pada kasur busa khusus(Coleman,
dkk, 2013 dalam Zuo & Meng, 2015). Disarankan pasien diubah
posisinya setiap 2 jam, bergantian dari lateral ke posisi terlentang
(NPUAP, 2011). Beberapa penelitian juga menganjurkan penggunaan
posisi miring 30 dengan cara mengganjal bantal dibagian bokong
dan salah satu kaki.

Ketika reposisi, tubuh pasien harus berubah lateral 30o dan


kepala tempat tidur ditinggikan tidak lebih tinggi dari 30o untuk
mencegah tekanan pada tulang ekor. Namun, posisi ini dapat
mempromosikan ventilator-associated pneumonia (VAP) pada pasien
yang diintubasi dan pasien yang menerima makanan enteral. Untuk
mencegah risiko VAP pada pasien, disarankan agar kepala tempat
tidur ditinggikan lebih tinggi dari 30o. Seringkali, pasien yang
diintubasi dapat dikendalikan atau diobati dengan obat penenang
untuk mencegah perpindahan pipa endotrakeal. Tindakan pencegahan
ini mencegah pasien merubah posisi. Namun, harus dilakukan hati-
hati jika hemodinamik pasien juga tidak stabil, karena ia mungkin
tidak mentolerir perubahan posisi lateral (Burk, dkk, 2012 dalam Zuo
& Meng, 2015).

REFERENSI

Curry, K., Kutash, M., Chambers, T., Evan, A., Holt, M & Purcell, S.A. (2012).
Prospective, descriptive study of characteristics associated with skin
failure in critically ill adults. Ostomy Wound Manage, 58(5): 36-40.
National Pressure Ulcer Advisory Panel. (2011). Pressure ulcers: avoidable or
unavoidable? Results of the National Pressure Ulcer Advisory Panel
Consensus Conference. Ostomy Wound Manage,57(2) :24-37.
National Pressure Ulcer Advisory Panel, European Pressure Ulcer Advisory Panel
and Pan Pacific Pressure Injury Alliance. (2014). Prevention and
treatment of pressure ulcers: clinical practice guideline. Australia:
Cambridge Media.
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses,
dan Praktik. Edisi 4 volume 1. Jakarta: EGC.
Registered Nurses' Association of Ontario. (2009). Risk assessment and
prevention of pressure ulcers. Toronto: The Association.
Zuo, X.L & Meng, F.J. (2015). A care bundle for pressure ulcer treatment in
intensive care units. International Journal of Nursing Sciences,
2015(2): 340-347.

Anda mungkin juga menyukai