Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Kerja
1. Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan Kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang

menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja

dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins, 2003

dikutip dari Wibowo, 2013). Kepuasan kerja adalah keadaan emosional

yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi para karyawan dalam

memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2010).


Greenberg dan Baron (2003 dikutip dari Wibowo, 2013)

mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang

dilakukan individual terhadap pekerjaaan mereka. Kepuasan kerja

merupakan respons affective atau emosional terhadap berbagai segi

pekerjaan seseorang (Kreitner & Kinicki, 2001 dikutip dari Wibowo,

2013). Defenisi ini menunjukkan bahwa job satisfaction bukan merupakan

konsep tunggal. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek

pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek lainnya.

2. Teori Kepuasan Kerja


Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat

sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa

lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang

terhadap kepuasan kerja. Diantara teori kepuasan kerja ada dua teori yang

dijelaskan oleh Wibowo (2013) :


a. Two-Factor Theory
Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang

menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction

(ketidakpuasan) merupakan bagian dari kelompok variabel yang

berbeda, yaitu motivators dan hygiene factors.


Pada umumnya orang mengharapkan bahwa faktor tertentu

memberikan kepuasan apabila tersedia dan menimbulkan

ketidakpuasan apabila tidak ada. Pada teori ini, ketidakpuasan

dihubungkan dengan kondisi disekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja,

pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan dan hubungan dengan

orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri. Karena faktor

ini mencegah reaksi negatif, dinamakan sebagai hygiene atau

maintenance factors.
Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan

pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat

pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan peluang promosi dan kesempatan

untuk pengembangan diri dan pengakuan. Karena faktor ini berkaitan

dengan tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan motivators.

b. Value Theory
Menurut konsep teori ini, kepuasan kerja terjadi pada tingkatan

dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin

banyak orang menerima hasil, akan semakin puas. Semakin sedikit

mereka menerima hasil, akan kurang puas. Value theory memfokuskan

pada hasil mana pun yang menilai orang tanpa memperhatikan siapa

mereka. Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah


perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan

seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang.


Implikasi teori ini mengundang perhatian pada aspek pekerjaan

yang perlu diubah untuk mendapatkan kepuasan kerja. Secara khusus

teori ini menganjurkan bahwa aspek tersebut tidak harus sama berlaku

untuk semua orang, tetapi mungkin aspek nilai dari pekerjaan tentang

orang-orang yang merasakan adanya pertentangan serius.


Dengan menekankan pada nilai-nilai, teori ini menganjurkan

bahwa kepuasan kerja dapat diperoleh dari banyak faktor. Oleh karena

itu, cara yang efektif untuk memuaskan pekerja adalah dengan

menemukan apa yang mereka inginkan dan apabila mungkin

memberikannya.

3. Penyebab Kepuasan Kerja


Menurut Kreitner dan Kinicki (2001 dikutip dari Wibowo, 2013)

terdapat lima faktor yang dapat memengaruhi timbulnya kepuasan kerja,

yaitu sebagai berikut:


a. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan

karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk

memenuhi kebutuhannya.
b. Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil

memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan

antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari

pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima,

orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas

apabila mereka menerima manfaat di atas harapan.


c. Value attainment (pencapaian nilai)
Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil

dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual

yang penting.
d. Equity (keadilan)
Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi

dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan

merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil

kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan

perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.


e. Dispositional/ genetik components (komponen genetik)
Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi

lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini

didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian

merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan

perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan

kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.

4. Elemen Kepuasan Kerja


Elemen kepuasan kerja merupakan bagian dari faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi kepuasan kerja. Beberapa faktor yang memengaruhi

kepuasan kerja dan sekaligus dapat dipakai untuk mengukur kepuasan

kerja, yaitu (Badeni, 2013) :


a. Pekerjaan itu sendiri
Pekerjaan itu sendiri merupakan isi pekerjaan yang dilakukan

seseorang yang mungkin terdapat kesesuaian dengan kemampuan,

minat, dan lain-lain. Dalam teorinya Herzberg (1959 dikutip dari

Badeni, 2013) mengemukakan teori dua faktor yaitu faktor-faktor


intrinsik berhubungan dengan kepuasan kerja, sementara faktor

ekstrinsik berhubungan dengan ketidakpastian. Herzberg yakin bahwa

hubungan seorang individu dengan pekerjaannya merupakan suatu

hubungan dasar dan sikapnya terhadap kerja dapat menentukan sukses

atau kegagalan individu yang bersangkutan. Selain itu ia juga

mengatakan bahwa sumber kepuasan kerja berkaitan dengan sejauh

mana pekerjaan tersebut memiliki tantangan (challenge),

menimbulkan perkembangan diri (advancement), pengakuan

(recognition) dan tanggung jawab (responsibility). Sedangkan ahli lain

mengatakan unsur-unsur yang penting dalam menentukan kepuasan

kerja yaitu:
1) Autonomy, yaitu hingga sejauh mana seseorang diberikan

kebebasan untuk mengatur pekerjaan, misalnya menentukan

metode kerja dan penjadwalan kerja. Setiap orang suka bekerja

apabila diberikan kebebasan sehingga kebebasan menjadi sumber

kepuasan.
2) Task variety, yaitu hingga sejauh mana seseorang memiliki

pekerjaan yang beragam yang memerlukan keterampilan yang

beragam pula. Seseorang pada umumnya suka dengan pekerjaan

yang beragam sehingga tidak menimbulkan kebosanan. Dengan

demikian dalam tingkat tertentu, semakin beragam pekerjaan

seseorang semakin memuaskan.


3) Task identity, yaitu hingga sejauh mana seseorang terlibat dalam

penyelesaian suatu pekerjaan. Seseorang bisa saja sedikit terlibat

dalam pekerjaan, misalnya dalam penyelesaian sebuah meja


seseorang hanya terlibat dalam pengecatan, tetepi disisi lain

seseorang dapat terlibat lebih besar. Semakin besar keterlibatan

seseorang dalam penyelesaian suatu pekerjaan dapat lebih

memuaskan bagi orang tersebut.


4) Task significance, yaitu arti pentingnya suatu pekerjaan yang

dilakukan seseorang bagi orang lain. Apabila pekerjaan yang

dilakukan oleh seseorang dirasakan tidak penting, pekerjaan

tersebut menjadi tidak memuaskan.


5) Feed back, yaitu adanya masukan yang diterima seseorang

mengenai pelaksanaan pekerjaan, sejauh mana dia telah

melakukan dengan baik atau tidak. Masukan disini terutama

mengenai pujian, tetapi juga dengan kekurangan yang perlu kita

lakukan. Mudah memahami bahwa respon orang lain senantiasa

kita butuhkan sehingga dapat menjadi sumber kepuasan.


b. Gaji
Gaji merupakan jumlah bayaran yang didapat seseorang sebagai

akibat dari pelaksanaan kerja. Gaji dapat dirasakan seseorang dengan

sangat memuaskan atau sebaliknya tidak memuaskan. Gaji dapat

meningkatkan kepuasan kerja apabila gaji yang diterima seseorang

dirasakan dapat memenuhi kebutuhan, memenuhi keadilan internal

dan memenuhi keadilan eksternal. Memenuhi kebutuhan yaitu dapat

memenuhi kebutuhan dasar yang layak sebagai manusia yaitu

kebutuhan pangan, sandang, perumahan. Keadilan internal adalah gaji

yang diterima seseorang dirasakan sesuai dengan tingkat usaha yang

dilakukan, keahlian yang dimiliki dan pengalaman yang dimiliki


dibandingkan orang lain. Kemudian, keadilan eksternal adalah

pegawai merasakan jumlah yang diterima sebanding dengan apa yang

diterima pihak lain dalam pekerjaan yang sama di tempat lain.


c. Rekan sekerja
Rekan sekerja yaitu teman-teman, kepada siapa seseorang

senantiasa berinteraksi di dalam pelaksanaan pekerjaan. Seseorang

dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau

sebaliknya tidak menyenangkan. Rekan kerja yang menyenangkan

dapat berupa rekan kerja yang memberikan dorongan, membantu, dan

lain-lain.
d. Atasan
Atasan yaitu seseorang yang setia memberi perintah atau petunjuk

dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dapat tidak menyenangkan

atau menyenangkan bagi seseorang. Hal ini dapat mempengaruhi

kepuasan kerja.
e. Promosi
Promosi yaitu kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui

kenaikan jabatan. Seseorang dapat merasakan terdapat kemungkinan

yang besar untuk naik jabatan atau tidak, proses kenaikan jabatan

kurang terbuka atau terbuka. Ini pun dapat memengaruhi tingkat

kepuasan kerja seseorang. Hal ini jelas, sebab setiap orang tentu saja

menginginkan perkembangan diri.


f. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja yaitu kenyamanan tempat kerja dan ketersediaan

berbagai sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan.

Kenyamanan dapat berkaitan dengan penerangan yang cukup,

ventilasi yang memberikan kesegaran, kebersihan tempat kerja, dan


mudah melihat bahwa aspek-aspek tersebut menjadi sumber kepuasan

kerja sebab disamping hal tersebut dapat memudahkan dalam

pelaksanaan tugas juga menjadi penghargaan yang bersifat non materi

bagi seseorang.

5. Korelasi Kepuasan Kerja


Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat

positif atau negatif. Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah

sampai kuat. Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa manajer dapat

memengaruhi dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan

kepuasan kerja (Kreitner & Kinicki, 2001 dikutip dari Wibowo, 2013).

Beberapa korelasi kepuasan kerja, yaitu (Wibowo, 2013):


a. Motivation (motivasi)
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan

signifikan antara motivasi dengan kepuasan kerja. Karena kepuasan

dengan supervisi juga mempunyai korelasi signifikan dengan

motivasi, manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku

mereka memengaruhi kepuasan kerja. Manajer secara potensial dapat

meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha untuk

meningkatkan kepuasan kerja.


b. Job involvement (pelibatan kerja)
Pelibatan kerja menunjukkan kenyataan dimana individu secara

pribadi dilibatkan dengan peran kerjanya. Penelitian menunjukkan

bahwa pelibatan kerja mempunyai hubungan moderat dengan

kepuasan kerja. Untuk itu, manajer didorong memperkuat lingkungan

kerja yang memuaskan untuk mendorong keterlibatan kerja pekerja.


c. Organizational citizenship behavior
Organizational citizenship behavior merupakan perilaku pekerja di

luar dari apa yang menjadi tugasnya. Sebagai contoh adalah adanya

bisik-bisik sebagai pernyataan konstruktif tentang departemen,

ekspresi tentang perhatian pribadi atas pekerjaan orang lain, saran

untuk perbaikan, melatih orang baru, menghargai semangat, perhatian

terhadap kekayaan organisasi dan kehadiran di atas standar yang

ditentukan. Organizational citizenship behavior lebih banyak

ditentukan oleh kepemimpinan dan karakteristik lingkungan kerja

daripada kepribadian pekerja.


d. Organizational commitment (komitmen organisasi)
Komitmen organisasi mencerminkan tingkatan di mana individu

mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen

terhadap tujuannya. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat

hubungan signifikan dan kuat antara komitmen organisasi dan

kepuasan. Manajer disarankan meningkatkan kepuasan kerja dengan

maksud untuk menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi.

Selanjutnya, komitmen yang lebih tinggi dapat memfasilitasi

produktivitas lebih tinggi.


e. Absenteeism (kemangkiran)
Kemangkiran merupakan hal mahal dan manajer secara tetap

mencari cara untuk menguranginya. Satu rekomendasi telah

meningkatkan kepuasan kerja. Apabila rekomendasinya sah, akan

terdapat korelasi negatif yang kuat antara kepuasan dan kemangkiran.

Dengan kata lain, apabila kepuasan meningkat, kemangkiran akan

turun. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan terdapat


hubungan negatif yang lemah antara kepuasan dan kemangkiran. Oleh

karena itu, manajer akan menyadari setiap penurunan signifikan dalam

kemangkiran akan meningkatkan kepuasan kerja.


f. Turnover (perputaran)
Perputaran sangat penting bagi manajer karena mengganggu

kontinuitas organisasi dan sangat mahal. Penelitian menunjukkan

bahwa terdapat hubungan negatif moderat antara kepuasan dan

perputaran. Dengan kekuatan hubungan tertentu, manajer disarankan

untuk mengurangi perputaran dengan meningkatkan kepuasan kerja

pekerja.
g. Perceived stress (perasaan stres)
Stres dapat berpengaruh sangat negatif terhadap perilaku organisasi

dan kesehatan individu. Stres secara positif berhubungan dengan

kemangkiran, perputaran, sakit jantung koroner dan pemeriksaan

virus. Penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif kuat antara

perasaan stress dengan kepuasan kerja. Diharapkan manajer berusaha

mengurangi dampak negatif stres dengan memperbaiki kepuasan

kerja.
h. Job performance (prestasi kerja)
Kontroversi terbesar dalam penelitian organisasi adalah tentang

hubungan antara kepuasan dan prestasi kerja atau kinerja. Ada yang

menyatakan bahwa kepuasan memengaruhi prestasi kerja lebih tinggi,

sedangkan lainnya berpendapat bahwa prestasi kerja memengaruhi

kepuasan.

6. Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja


Dampak perilaku kepuasan dan ketidakpuasan kerja telah banyak

diteliti dan dikahi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan tentang adanya


dampak kepuasan kerja terhadap produktivitas, ketidakhadiran dan

keluarnya pegawai serta dampak terhadap kesehatan (Sutrisno, 2012).


a. Dampak terhadap produktivitas
Pada mulanya orang berpendapat bahwa produktivitas dapat

dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja. Hubungan produktivitas

dengan dengan kepuasan kerja sangat kecil.Vroom (dikutip dari

Sutrisno, 2012) mengatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh

banyak faktor-faktor moderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan

Porter (dikutip dari Sutrisno, 2012) mengharapkan produktivitas yang

tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika

tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa

telah mencapai sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik (misalnya gaji) yang

diterima kedua-duanya adil dan wajar diasosiasikan dengan prestasi

kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak mempersepsikan ganjaran

intrinsik dan ekstrinsik berasosiasi dengan prestasi kerja, maka

kenaikan dalam prestasi kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan

dalam kepuasan kerja.


b. Dampak terhadap ketidakhadiran dan keluarnya tenaga kerja
Ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban-

jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih spontan

sifatnya dan mencerminkan ketidakpuasan kerja. Lain halnya dengan

berhenti dan keluar dari pekerjaan. Perilaku ini akan mempunyai

akibat ekonomis yang besar, maka lebih besar kemungkinannya

berhubungan dengan kepuasan kerja. Organisasi melakukan upaya

yang cukup besar untuk menahan orang-orang ini dengan jalan


menaikkan upah, pujian, pengakuan, kesempatan promosi yang

ditingkatkan, dan seterusnya. Justru hal sebaliknya bagi mereka yang

mempunyai kinerja buruk, sedikit upaya yang dilakukan oleh

organisasi untuk menahan mereka, bahkan mungkin ada tekanan halus

untuk mendorong mereka agar keluar. Menurut Steers dan Rhodes

(dikutip dari Sutrisno, 2012) mereka melihat ada dua faktor pada

perilaku hadir, yaitu motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan

kerja dalam kombinasi dengan tekanan-tekanan internal dan eksternal

untuk datang pada pekerjaan. Robbins (dikutip dari Sutrisno, 2012)

ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat

diungkapkan dalam berbagai macam cara misalnya selain

meninggalkan pekerjaan, karyawan selalu mengeluh, membangkang,

menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka.


c. Dampak terhadap kesehatan
Salah satu temuan yang penting dari kajian yang dilakukan oleh

Kornhauser (dikutip dari Sutrisno, 20102) tentang kesehatan mental

dan kepuasan kerja ialah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari

tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menurut penggunaan efektif dan

kecakapan-kecakapan mereka berkaitan denagn skor kesehatan mental

yang tinggi. Meskipun jelas kepuasan kerja berhubungan dengan

kesehatan, hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa

kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental, dan

kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari

kepuasan kerja dan kesehatan saling mengukuhkan sehingga


peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan

sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga

pada yang lain.

7. Respons Terhadap Ketidakpuasan Kerja


Dalam suatu organisasi dimana sebagian terbesar pekerjanya

memperoleh kepuasan kerja, tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil

diantaranya merasakan ketidakpuasan. Ketidakpuasan pekerja dapat

ditunjukkan dalam sejumlah cara. Robbins (2003 dikutip dari Wibowo,

2013) menunjukkan empat tanggapan yang berbeda satu sama lain dalam

dimensi konstruktif/ destruktif dan aktif/ pasif, dengan penjelasan sebagai

berikut.
a. Exit
Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada

meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau

mengundurkan diri.
b. Voice
Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan

konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan

perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan dan berbagai bentuk

aktivitas perserikatan.
c. Loyality
Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan

menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan berbicara

bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan memercayai organisasi

dan manajemen melakukan hal yang benar.


d. Neglect
Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif

membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau


keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha dan meningkatkan

tingkat kesalahan.

8. Pedoman Meningkatkan Kepuasan Kerja


Greenberg dan Baron (2003 dikutip dari Wibowo, 2013) memberikan

saran untuk mencegah ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan dengan

cara, yaitu:
a. Membuat pekerjaan menyenangkan
Orang lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senang kerjakan

daripada yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara

intrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin

meningkatkan tingkat kesenangan ke dalam setiap pekerjaan.


b. Orang dibayar dengan jujur
Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan tidak jujur

cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diperlakukan

tidak hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit.

Konsisten dengan value theory, mereka merasa dibayar dengan jujur

dan apabila orang diberi peluang memilih fringe benefit yang paling

mereka inginkan, kepuasan kerjanya cenderung naik.


c. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan

minatnya
Semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat

memenuhi kepentingannya sambil di tempat kerja, semakin puas

mereka dengan pekerjaannya. Perusahaan dapat menawarkan

counselling individu kepada pekerja sehingga kepentingan pribadi dan

profesional dapat diidentifikasi dan disesuaikan.


d. Menghindari kebosanan dan pekerjaan berulang-ulang
Kebanyakan orang cenderung mendapatkan sedikit kepuasan

dalam melakukan pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang.


Sesuai dengan two-factor theory, orang jauh lebih puas dengan

pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses secara bebas

melakukan kontrol atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu.

9. Pengukuran Kepuasan Kerja


Terdapat dua macam pendekatan yang secara luas dipergunakan untuk

melakukan pengukuran kepuasan kerja (Robbins, 2003 dikutip dari

Wibowo, 2013), yaitu:


a. Single global rating
Single global rating yaitu tidak lain dengan meminta individu

merespons atas satu pertanyaan, seperti dengan mempertimbangkan

semua hal, seberapa puas anda dengan pekerjaan anda? Responden

menjawab antara “Highly Satisfied” dan “Highly Dissatisfied”.


b. Summation score
Summation score merupakan cara yang lebih canggih.

Mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan menanyakan

perasaan pekerja tentang masing-masing elemen. Faktor spesifik yang

diperhitungkan adalah sifat pekerjaan, supervisi, upah sekarang,

kesempatan promosi dan hubungan dengan co-worker. Faktor ini di

peringkat pada skala yang distandarkan dan ditambahkan untuk

menciptakan job satisfaction score secara menyeluruh.

Sementara itu, Greenberg dan Baron (2003 dikutip dari Wibowo, 2013)

menunjukkan adanya tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan

kerja, yaitu:
a. Rating scales dan kuesioner
Rating scales dan kuesioner merupakan pendekatan pengukuran

kepuasan kerja yang paling umum dipakai dengan menggunakan

kuesioner di mana rating scales secara khusus disiapkan. Dengan


menggunakan metode ini, orang menjawab pertanyaan yang

memungkinkan mereka melaporkan reaksi mereka pada pekerjaan

mereka.
b. Critical incidents
Disini individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan

pekerjaan mereka yang mereka rasakan terutama memuaskan atau

tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk mengungkap tema

yang mendasari. Sebagai contoh misalnya apabila banyak pekerja

menyebutkan situasi di pekerjaan dimana mereka diperlakukan kasar

oleh supervisor atau apabila pekerja memuji supervisor atas

sensitivitas yang ditunjukkan pada masa yang sulit, gaya pengawasan

memainkan peranan penting dalam kepuasan kerja mereka.


c. Interviews
Interview merupakan prosedur pengukuran kepuasan kerja dengan

melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja. Dengan

menanyakan secara langsung tentang sikap mereka, sering mungkin

mengembangkan lebih mendalam dengan mengguanakan kuesioner

yang sangat terstruktur. Dengan mengajukan pertanyaan secara

berhati-hati kepada pekerja dan mencatat jawabannya secara

sistematis, hubungan pekerjaan dengan sikap dapat dipelajari.

B. Budaya Organisasi
1. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang ditemukan dan

dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena mempelajari dan

menguasai masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah

bekerja dengan cukup baik untuk dipertimbangkan secara layak dan karena
itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang dipersepsikan, berpikir

dan dirasakan dengan benar dalam hubungan dengan masalah tersebut

(Edgar Schein, 1997 dikutip dari Wibowo, 2011). Menurut Jeff Cartwright

(1999 dikutip dari Wibowo, 2011), budaya adalah penentu yang kuat dari

keyakinan, sikap dan perilaku orang, dan pengaruhnya dapat diukur

melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespons pada lingkungan

budaya mereka.
Menurut Schermerhorn, Hunt dan Osborn (1985 dikutip dari Badeni,

2013), budaya organisasi adalah suatu sistem nilai dan keyakinan bersama

yang membimbing perilaku anggota-anggota organisasi. Budaya

Organisasi adalah norma yang menginformasikan anggota organisasi

mengenai apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima, nilai-

nilai dominan yang dihargai organisasi di atas yang lainnya, asumsi dasar

dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota organisasi, peraturan

main yang harus dipelajari jika orang ingin dapat sejalan dan diterima

sebagai anggota organisasi, dan filsafat yang mengarahkan organisasi

dalam berhubungan dengan karyawan dan kliennya (Owen, 1991 dikutip

dari Wirawan, 2007).


Robert P. Vecchio (1995 dikutip dari Wibowo, 2011) memberikan

defenisi bahwa budaya organisasi sebagai nilai-nilai dan norma-norma

bersama yang terdapat dalam suatu organisasi dan mengajarkan pada

pekerja yang datang. Jadi, budaya organisasi adalah norma, nilai-nilai,

asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan sebagainya (isi

budaya organisasi) yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh


pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi yang disosialisasikan dan

diajarkan kepada anggota baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi

sehingga memengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi

dalam memproduksi produk, melayani para konsumen dan mencapai

tujuan organisasi.

2. Fungsi Budaya Organisasi


Fungsi budaya organisasi menunjukkan peranan atau kegunaan dari

budaya organisasi. Fungsi budaya organisasi menurut Robert Kreitner dan

Angelo Kinicki (2001 dikutup dari Wibowo, 2011), yaitu:


a. Memberi anggota identitas organisasional, menjadikan perusahaan

diakui sebagai perusahaan yang inovatif dengan mengembangkan

produk baru. Identitas organisasi menunjukkan ciri khas yang

membedakan dengan organisasi lain yang mempunyai sifat khas yang

berbeda.
b. Memfasilitasi komitmen kolektif, perusahaan mampu membuat

pekerjanya bangga menjadi bagian daripadanya. Anggota organisasi

mempunyai komitmen bersama tentang norma-norma dalam

organisasi yang harus diikuti dan tujuan bersama yang harus dicapai.
c. Meningkatkan stabilitas sistem sosial sehingga mencerminkan bahwa

lingkungan kerja dirasakan positif dan diperkuat, konflik dan

perubahan dapat dikelola secara efektif. Dengan kesepakatan bersama

tentang budaya organisasi yang harus dijalani mampu membuat

lingkungan dan interaksi sosial berjalan dengan stabil dan tanpa

gejolak.
d. Membentuk perilaku dengan membantu anggota menyadari atas

lingkungannya. Budaya organisasi dapat menjadi alat untuk membuat

orang berpikiran sehat dan masuk akal.

Adapun fungsi budaya organisasi menurut pandangan Stephen P.

Robbins (2001 dikutip dari Wibowo, 2011), yaitu:


a. Mempunyai boundrary-difining roles, yaitu menciptakan perbedaan

antara organisasi yang satu dengan lainnya.


b. Menyampaikan rasa identitas untuk anggota organisasi.
c. Budaya memfasilitasi bangkitnya komitmen pada sesuatu yang lebih

besar daripada kepentingan diri individual.


d. Meningkatkan stabilitas sistem sosial. Budaya adalah perekat sosial

yang membantu menghimpun organisasi bersama dengan memberikan

standar yang cocok atas apa yang dikatakan dan dilakukan pekerja.
e. Budaya melayani sebagai sense-making dan mekanisme kontrol yang

membimbing dan membentuk sikap dan perilaku pekerja.

3. Karakteristik Budaya Organisasi


Menurut Jerald Greenberg dan Robert A. Baron (1997 dikutip dari

Wibowo, 2011) terdapat tujuh elemen yang menunjukkan karakteristik

budaya organisasi, yaitu:


a. Innovation (inovasi), suatu tingkatan dimana orang diharapkan kreatif

dan membangkitkan gagasan baru.


b. Stability (stabilitas), bersifat menghargai lingkungan yang stabil, dapat

diperkirakan, dan berorientasi pada peraturan.


c. Orientation toward people (orientasi pada orang), merupakan orientasi

untuk menjadi jujur, mendukung dan menunjukkan penghargaan pada

hak individual.
d. Result-orientation (orientasi pada hasil), meletakkan kekuatannya

pada kepeduliannya untuk mencapai hasil yang diharapkan.


e. Attention to detail (perhatian pada hal detail), dimaksudkan dengan

berkepentingan untuk menjadi analitis dan seksama.


f. Collaborative orientation (orientasi pada kolaborasi), merupakan

orientasi yang menekankan pada bekerja dalam tim sebagai lawan dari

bekerja secara individual.

Stephen P. Robbins (2003 dikutip dari Wibowo, 2011) juga

mengemukakan adanya tujuh karakteristik budaya organisasi, namun

dengan perincian sedikit berbeda dibandingkan dengan pendapat Jerald

Greenberg dan Robert A. Baron, yaitu:


a. Innovation and risk taking (inovasi dan pengambilan risiko), suatu

tingkatan di mana pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan

mengambil risiko.
b. Attention to detail (perhatian pada hal detail), di mana pekerja

diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis dan perhatian pada hal

detail.
c. Outcome orientation (orientasi pada manfaat), di mana manajemen

memfokus pada hasil atau manfaat daripada sekadar pada teknik dan

proses yang dipergunakan untuk mendapatkan manfaat tersebut.


d. People orientation (orientasi pada orang), di mana keputusan

manajemen mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang

dalam organisasi.
e. Team orientation (orientasi pada tim), di mana aktivitas kerja

diorganisasi berdasar tim daripada individual.


f. Aggressiveness (agresivitas), di mana orang cenderung lebih agresif

dan kompetitif daripada easygoing.


g. Stability (stabilitas), di mana aktivitas organisasional menekankan

pada menjaga status quo sebagai lawan dari perkembangan.


4. Peran Budaya Organisasi
Budaya organisai diteliti secara intensif oleh pakar untuk mengetahui

perannya dalam organisasi. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa

budaya organisasi mempunyai peran besar dalam upaya mencapai tujuan

organisasi. Akan tetapi sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa

budaya organisasi dapat menghambat perkembangan organisasi. Di bawah

ini dikemukakan peran budaya organisasi terhadap organisasi, anggota

organisasi dan mereka yang berhubungan dengan organisasi (Wirawan,

2007), yaitu:
a. Identitas organisasi.
Budaya organisassi berisi satu set karakteristik yang melukiskan

organisasi dan membedakannya dengan organisasi yang lain. Budaya

organisasi menunjukkan identitas organisasi kepada orang di luar

organisasi.
b. Menyatukan organisasi
Budaya organisasi merupakan lem normatif yang merekatkan

unsur-unsur organisasi menjadi satu. Norma, nilai-nilai, dan kode etik

budaya organisasi menyatukan mengoordinasi anggota organisasi.

Ketika akan masuk menjadi anggota organisasi, para calon anggota

organisasi mempunyai latar belakang budaya dan karakteristik yang

berbeda. Agar dapat diterima sebagai anggota organisasi, mereka

wajib menerima dan menerapkan budaya organisasi. Budaya

organisasi menyediakan alat kontrol bagi aktivitas organisasi dan

perilaku anggota organisasi.norma, nilai-nilai dan kode etik budaya

organisasi menyatukan pola pikir dan perilaku anggota organisasi. Isi


budaya organisasi mengontrol apa yang boleh dilakukan dan yang

tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi.


c. Reduksi konflik
Budaya organisasi sering dilukiskan sebagai semen atau lem yang

menyatukan organisasi. Isi budaya mengembangkan kohesi sosial

anggota organisasi yang mempunyai latar belakang berbeda. Pola

pikir, asumsi dan filsafat organisasi yang sama memperkecil

perbedaan dan terjadinya konflik di antara anggota organisasi. Jika

terjadi perbedaan atau koflik, budaya organisasi mempunyai cara

untuk menyelesaikannya.
d. Komitmen kepada organisasi dan kelompok
Budaya organisasi bukan saja menyatukan, tetapi juga

memfasilitasi komitmen anggota organisasi kepada organisasi dan

kelompok kerjanya.
e. Reduksi ketidakpastian
Budaya organisasi mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan

kepastian. Dalam mencapai tujuannya, organisasi menghadapi

ketidakpastian dan kompleksitas lingkungan, demikian juga aktivitas

anggota dalam organisasi dalam mencapai tujuan tersebut. Budaya

organisasi menentukan ke mana arah, apa yang akan dicapai dan

bagaimana mencapainya. Budaya organisasi juga mengembangkan

pembelajaran bagi anggota baru. Mereka mempelajari apa yang

penting dan yang tidak penting, apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan. Mereka mempunyai pedoman yang memberikan kepastian

dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.


f. Menciptakan konsistensi
Budaya organisasi menciptakan konsistensi berpikir, berperilaku

dan merespons lingkungan organisasi. Budaya organisasi memberikan

peraturan, panduan, prosedur, serta pola memproduksi dan melayani

konsumen, pelanggan, nasabah atau klien organisasi. Semua hal

tersebut menimbulkan konsistensi pola pikir, cara bertindak dan

berperilaku anggota organisasi dalam melaksanakan tugas dan

perannya.dengan kata lain, anggota organisasi melaksanakan tugasnya

by book, tidak menyimpang dari panduan yang ada di buku budaya

organisasi.
g. Motivasi
Budaya organisasi merupakan kekuatan tidak terlihat atau invisible

force di belakang faktor-faktor organisasi yang kelihatan dan dapat di

observasi. budaya organisasi memotivasi anggota organisasi untuk

mencapai tujuan organisasi. Mereka merasa berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk merealisasi tujuan organisasi. Dalam

mencapai tujuan organisasi, mereka juga termotivasi untuk

menggunakan perilaku dan cara tertentu, yaitu cara yang dapat

diterima oleh budaya organisasi.


h. Kinerja organisasi
Budaya organisasi yang kondusif menciptakan, meningkatkan dan

mempertahankan kinerja tinggi. Budaya organisasi yang kondusif

menciptakan kepuasan kerja, etos kerja dan motivasi kerja karyawan.

Semua faktor tersebut merupakan indikator terciptanya kinerja tinggi

dari karyawan yang akan menghasilkan kinerja organisasi yang juga

tinggi.
i. Keselamatan kerja
Budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap keselamatan

kerja. Richard L. Gardner (1999 dikutip dari Wibowo, 2011) dalam

penelitiannya menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kecelakaan

industri adalah budaya organisasi perusahaan. Ada hubungan kausal

positif antara budaya organisasi dan kecelakaan industri. Untuk

meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja, perlu

dikembangkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.


j. Sumber keunggulan kompetitif
Budaya organisasi merupakan salah satu sumber keunggulan

kompetitif. Budaya organisasi yang kuat mendorong motivasi kerja,

konsistensi, efektivitas dan efisiensi, serta menurunkan ketidakpastian

yang memungkinkan kesuksesan organisasi dalam pasar dan

persaingan.

5. Pembentukan Budaya Organisasi


Proses pembentukan budaya organisasi pada umumnya dimulai dari

sumbernya, yaitu filosofi pendiri. Pendiri organisasi menanamkan budaya

organisasi seperti apa yang seharusnya dijalankan dalam organisasi.

filosofi dasar ini sangat memengaruhi kriteria yang dipergunakan dalam

merekrut dan menseleksi sumber daya manusia. Dengan sumber daya

manusia dimaksudkan semua tenaga kerja yang terdapat dalam organisasi

pada berbagai tingkat kedudukannya, baik pada tingkat pimpinan tingkat

atas, menengah, bawah maupun para pekerja. Selanjutnya manajemen

puncak akan menetapkan iklim perilaku, seperti apa yang dapat diterima

dan apa yang tidak diterima dalam organisasi (Wibowo, 2011).


Untuk itu, manajemen puncak perlu melakukan sosialisasi tentang

budaya organisasi yang ditetapkan pada seluruh sumber daya manusia.

Bagaimana sosialisasi akan dilakukan tergantung pada tingkat keberhasilan

yang dicapai dalam memadukan antara nilai-nilai yang dimiliki sumber

daya manusia baru ke dalam mereka yang sudah ada di dalam organisasi

(Wibowo, 2011).
Pembentukan budaya merupakan suatu hal yang cukup penting

dipahami dalam upaya mempertahankan atau menggantinya jika memang

dirasa tidak sesuai lagi dengan implementasi strategi perusahaan (Badeni,

2013). Menurut Stephen P. Robbin (2003 dikutip dari Wibowo, 2011),

proses pembentukan budaya organisasi dilakukan melalui tiga cara, yaitu:


a. Pendiri hanya merekrut dan menjaga pekerja yang berpikir dan merasa

dengan cara yang sama untuk melakukannya.


b. Mengindokrinasi dan mensosialisasikan pekerja dalam cara berpikir

dan merasakan sesuatu.


c. Prilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang

mendorong pekerja mengidentifikasi diri dengan mereka dan

kemudian menginternalisasi keyakinan, nilai dan asumsi. Ketika

organisasi berhasil, visi pendiri menjadi terlibat sebagai determinan

utama keberhasilan.

Tahapan yang penting dalam proses pembentukan budaya adalah proses

sosialisasi kepada segenap sumber daya manusia dalam organisasi.

sosialisasi merupakan suatu proses menyesuaikan pekerja pada budaya

organisasi. Adapun proses sosialiasi perlu dilakukan dengan urutan sebagai

berikut (Robbins, 2003 dikutip dari Wibowo, 2011):


a. The prearrival stage, merupakan periode pembelajaran dalam proses

sosialisasi yang terjadi sebelum pekerja baru bergabung dalam

organisasi.
b. The ecounter stage, suatu tahapan sosialisasi di mana pekerja baru

melihat apa yang diinginkan organisasi dan menghadapi kemungkinan

bahwa antara harapan dan realitas mungkin berbeda.


c. The metamorphosis stage, suatu tahapan proses sosialisasi di mana

pekerja baru berubah dan menyesuaikan diri pada pekerjaan,

kelompok kerja dan organisasi.

6. Indikator Budaya Organisasi


Anderson (2001 dikutip dari Wibowo, 2011) menunjukkan beberapa

indikator budaya organisasi diantaranya:


a. Leadership style (gaya kepemimpinan)
Rauch dan Behling mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu

proses yang memengaruhi aktivitas kelompok yang diatur untuk

mencapai tujuan bersama sebagai proses hubungan antarpribadi dalam

memengaruhi sikap seseorang, kepercayaan, dan khususnya perilaku

orang lain. Seorang pemimpin yang menjalankan fungsi

kepemimpinannya dengan segenap

filsafat,keterampilan dan sikapnya, secara keseluruhan,

dipersepsikan oleh karyawannya sebagai pemimpin

dengan gaya kepemimpinan (leadership style). Gaya

tersebut dapat berbeda-beda atas dasar motivasi,

kuasa, ataupun orientasi terhadap tugas atau orang

tertentu (Nasrudin, 2010).


Gaya kepemimpinan adalah ciri khas yang dimiliki

seseorang dalam menjalankan perannya sebagai

seorang pemimpin (Simamora, 2012). Gaya kepemimpinan

merupakan faktor penentu keberhasilan dan kesinambungan suatu

organisasi. Kepemimpinan mempunyai kewenangan yang dapat

dipergunakan kapan saja untuk menyelesaikan persoalan yang

menyangkut organisasi. Pendekatan atau gaya kepemimpinan yang

akan digunakan oleh pimpinan akan turut memengaruhi keberhasilan

pimpinan melalui otoritas dan kewenangan yang dimiliki dalam

mencapai suatu tujuan organisasi yang dipimpinnya (Wibowo, 2011).


Menurut Gillies (1996 dikutip dari Nursalam, 2012) , gaya

kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan dibedakan

menjadi empat, yaitu:


1) Otoriter
Merupakan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas

atau pekerjaan. Menggunakan kekuasaan posisi dan kekuatan

dalam memimpin. Pemimpin menentukan semua tujuan yang

akan dicapai dalam pengambilan keputusan. Informasi diberikan

hanya pada kepentingan tugas. Motivasi dilakukan dengan

imbalan dan hukuman.


2) Demokratis
Merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan

kemampuan setiap staf. Menggunakan kekuasaan posisi dan

pribadinya untuk mendorong ide dari staf, memotivasi kelompok

untuk menentukan tujuan sendiri. Membuat rencana dan


pengontrolan dalam penerapannya. Informasi diberikan seluas-

luasnya dan terbuka.


3) Partisipatif
Merupakan gabungan antara otoriter dan demokratis, yaitu

pemimpin yang menyampaikan hasil analisis masalah dan

kemudian mengusulkan tindakan tersebut pada bawahannya.

Pemimpin meminta saran dan kritik staf serta mempertimbangkan

respons staf terhadap usulannya. Keputusan akhir yang diambil

bergantung pada kelompok.


4) Bebas Tindak
Merupakan pimpinan ofisial, karyawan menentukan sendiri

kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan kondisi. Staf/bawahan

mengevaluasi pekerjaan sesuai dengan caranya sendiri. Pimpinan

hanya sebagai sumber informasi dan pengendalian secara

minimal.

b. Communications pattern (pola komunikasi)


Chitty (2001 dikutip dari Marquis & Houston, 2010)

mendefinisikan komunikasi sebagai pertukaran kompleks antara

pikiran, gagasan, atau infornasi, setidaknya ada dua level: verbal dan

non verbal. Struktur organisasi formal mempunyai dampak terhadap

organisasi. Orang yang berada ditingkat lebih bawah dalam hirarki

organisasi berisiko tidak emndapatkan komunikasi yang memadai di

tingkat yang lebih tinggi. Strategi komunikasi dalam organisasi dapat

meningkatkan kemungkinan yang jelas dan lengkap, dengan cara

yaitu:
1) Manajer harus memahami struktur organisasi dan

mengenali siapa yang akan terpengaruh oleh keputusan oleh

keputusan yang dibuat yang dibuat. Jaringan komunikasi baik

formal maupun informal perlu dipertimbangkan.


2) Komunikasi bukanlah saluran satu arah, manajer harus

berkonsultasi untuk mendapatkan umpan balik sebelum

komunikasi.
3) Komunikasi harus jelas, sederhana dan pasti. Manajer

(pengirim) bertanggung jawab untuk memastikan pesan tersebut

dipahami.
4) Manajer mencari umpan balik mengenai apakah

komunikasi diterima dengan benar.


5) Manajer sebaiknya tidak membebani pegawai dengan

informasi yang tidak perlu.


c. Decision making style (gaya pengambilan)
Pengambilan keputusan merupakan proses kognitif yang kompleks

dan sering didefinisikan sebagai suatu upaya memutuskan serangkaian

tindakan tertentu. Definisi lain pengambilan keputusan adalah

menentukan atau menetapkan (Webster, 1991 dikutip dari Marquis &

Houston, 2010). Sebagai salah satu langkah dalam proses

penyelesaian masalah, pengambilan keputusan merupakan tugas

penting yang sangat bergantung pada keterampilan berfikir kritis dari

(Marquis & Houston, 2010).


Harrison (1991 dikutip dari Marquis & Houston, 2010)

menetapkan langkah-langkah pengambilan keputusan manajerial

yaitu: 1) tetapkan tujuan, 2) cari alternative, 3) evaluasi alternative), 4)

pilih, 5) implementasikan dan 6) lakukan tindak lanjut pengendalian.


Proses pengambilan keputusan dimulai dengan identifikasi masalah,

pengumpulan data, identifikasi kriteria keputusan, identifikasi

alternative, perbandingkan alternative dengan kriteria, pemilihan

alternative, implementasi alternatif dan evaluasi langkah dalam

keputusan (Marquis & Houston, 2010).

Anda mungkin juga menyukai