Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KONSEP UMUM TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN


KONVENSIONAL

A. Sejarah dan Macam-macam Lembaga Keuangan Syariah


Lembaga keuangan Syariah dibentuk sebagai perwujudan dari adanya
kesadaran masyarakat terhadap aplikasi ajaran Islam dengan menggunakan sistem
ekonomi Islam, yakni sistem ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek
(penerapan ilmu ekonomi) sehari-hari bagi individu, keluarga, kelompok
masyarakat maupun pemerintah / penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor
produksi, distribusi dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk
dalam peraturan / perundang-undangan Islam.1

Sehingga lembaga keuangan

syariah merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip Islam


(syariah) sebagai landasan opresionalnya. Dengan demikian semua transaksi
yang dioperasionalkan tidak lepas dari aturan syariat dan tidak bertentangan
dengannya.
Keberadaan lembaga keuangan syariah pada awalnya dirintis dari adanya
sidang menteri luar negri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973. kemudian pada
bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil
minyak, bertemu di Jeddah untuk membicarakan berdirinya bank syariah.
Rancangan pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang menteri keuangan OKI

Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hlm. 14

18

19

di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian bank pembangunan Islami atau


Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 Milyar dinar Islam.2
Dengan berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk
lembaga keuangan syariah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras
menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank
syariah. Kerja keras ini membuahkan hasil sehingga pada akhir tahun 1970-an
dan awal dekade 80-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negaranegara Teluk, Pakistan, Iran, Malasyia, Bangladesh serta Turki. Secara garis besar
lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua kategori. Pertama,
bank Islam (Islamic Comersial Bank), kedua, lembaga investasi dalam bentuk
international holding companies.3
Bank-bank yang masuk dalam kategori pertama di antaranya:
1. Faisal Islamic Bank
2. Kuwait Finance House
3. Dubai Islamic Bank
4. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment
5. Bahrain Islamic Bank
6. Islamic International Bank for Investment and Development
Adapun yang masuk dalam kategori kedua adalah:
1. Dar al-Mal al-Islami
2. Islamic Investment Company of the Gulf

Muhammad Syafii Antonio, Perbankan Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, hlm. 20
3
Ibid., hlm. 21

19

20

3. Bahrain Islamic Investment Bank


4. Islamic Investment House

Pada perkembangan berikutnya, perkembangan lembaga keuangan


syariah begitu pesat di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia. Pada awal
periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam di
Indonesia mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah
Karnaen A. Perwaatmaja, M. Dawam Raharjo, A.M. saefuddin, M. Amin Aziz
dan lain-lain. Beberapa uji coba dalam skala yang relatif terbatas telah
diwujudkan. Di antaranya adalah baitul al-Tamwil Salman, Bandung yang
tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk
koperasi, yakni koperasi ridlo Gusti.
Akan tetapi prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di
Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majlis Ulama Indonesia pada tanggal
18-20 Agustus 1990 mengadakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua
Bogor. Hasil lokakarya tersebut, dibahas secara lebih mendalam pada
musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Syahid Jakarta pada
tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuk
kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam Indonesia.4 Akhirnya tanggal 1
November 1991 dilakukan penandatanganan akta pendirian Bank Muamalat
Indonesia oleh 200 orang pendiri dengan total modal dasar Rp. 500 miliar.5

4
5

Ibid., hlm. 25
Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hlm. 58

20

21

Perkembangan bank Syariah begitu pesat saat era reformasi tiba yakni
dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. dalam undang-undang
tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat
diopreasionalkan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang
tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka
cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank
syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan.
Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah
bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka devisi
atau cabang syariah dalam institusinya. Bahkan ada ingin melakukan
mengkonversi secara total.
Bank-bank tersebut di antaranya adalah Bank Syariah Mandiri (BSM)
yang merupakan bank pemerintah yang melandaskan opresionalnya pada prinsip
syariah. Secara struktural, BSM berasal dari bank Susila Bakti sebagai salah satu
anak perusahaan dari Bank Mandiri.
Perkembangan lainnya adalah diperkenankannya konversi cabang bank
umum konvensional menjadi cabang syariah. Beberapa bank ini adalah:
1. Bank IFI
2. Bank Niaga
3. Bank BTN
4. Bank Mega
5. Bank BRI

21

22

6. Bank Bukopin
7. BPD JABAR
8. BPD Aceh

Lembaga keuangan syariah di samping berbentuk bank sebagaimana di


atas, terdapat juga Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Selain itu terdapat
pula lembaga keuangan non bank yang dikenal dengan baitul mal wat-tamwil
(BMT).

B. Produk dan Kinerja Lembaga Keuangan Syariah


Produk dan kinerja lembaga keuangan syariah tentu tidak lepas dari
landasan syariah. Dengan demikian, lembaga keuangan syariah selalu mengacu
pada konsep fiqih muamalah maaliyah.
Lembaga keuangan syariah secara konsepsional dilaksanakan dengan
maksud menghindarkan riba dengan segala praktik dan inovasinya, yang memiliki
dua sifat utama yakni bunga berlipat dan aniaya. Selain itu, juga untuk
membangun budaya baru dalam pengelolaan perbankan yang mendapat titipan
dana dari masyarakat, dengan menghindari penentuan prosentase bunga yang
pasti untung, sebelum dilakukan.6

Karena dalam pengeluaran produk dan operasionalisasi mengacu pada


fiqih muamalah, maka akad-akad yang telah ada dalam fiqih muamalah

Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

22

23

digunakan dengan menkontekstualisasikan dalam era kekinian. Produk-produk


tersebut adalah:
1. Al-Wadiah (titipan, yang merupakan amanat di tangan penerima titipan)7.
Pemilik modal menitipkan atau menyimpan uangnya di BMT (bank), dan
pengusaha menjalankan usahanya dengan meminjam uang dari BMT (bank).8
Ini merupakan prinsip dasar yang mengacu pada konsep fiqih muamalah yang
dikembangkan menjadi al-wadiah yad al-dhamanah yang dalam aplikasi
perbankannya untuk tujuan current account (giro) dan saving account
(tabungan berjangka). Sebagai konsekuensi yad ad-dhamanah semua
keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank.
Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap
hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.9
2. Al-Musyarakah (project financing participation) yang terdiri dari syirkah alinan, muwafadhah, amal, wujuh dan syirkah mudharabah. Dalam aplikasi
perbankannya dipakai untuk: pertama, untuk pembiayaan proyek di mana
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek
tersebut. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasil yang telah disepakati bank. Kedua, modal ventura yakni
melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan.10
3. Al-Mudharabah (Trust Vinancing, Trust Investment), yang terdiri dari
mudharabah mutlaqah, dan mudharabah muqayyadah. Aplikasi perbankannya
7

Abi Abdillah Muhammad Bin Qasim, Tausyiyah Ala Ibnu Qasim, Jeddah: Al-Haramaian, tt.

Hlm. 181
8

Ahmad Rofiq, Fiqih Aktual, Semarang: Mediatama Press, 2004, hlm. 201-202
Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 87
10
Ibid., hlm. 93
9

23

24

dalam bentuk tabungan berjangka, deposito spesial, pembiayaan modal kerja


dan investasi khusus.11

4. Al-Muzaraah (Harvest-Yield Shoft Sharing) yakni kerjasama pengolahan


pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap untuk ditanami dan
pemelihara mendapat prosentase dari hasil panen. Dalam hal ini lembaga
keuangan syariah dapat memberikan modal bagi nasabah yang bergerak
dalam bidang planatation atas dasar prinsip bagi hasil dari panen.12
5. Al-Musaqah (Plantation Management Fee Based) yakni bentuk yang lebih
sederhana dari muzaraah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap mendapat nisbah
tertentu dari hasil panen.13
6. Bai al-Murabahah (defered payment sale) yakni jual beli barang pada harga
asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Aplikasi dalam perbankan
diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi,
baik domestik maupun luar negri seperti melalui letter of credit.14
7. Bai As-salam (in front payment sale), yang dalam aplikasi perbankannya
pembiayaan bagi petani dengan jangkan waktu yang relatif pendek yaitu 2-6

11

Ibid., hlm. 97
Ibid., hlm. 99
13
Ibid., hlm. 100
14
Ibid., hlm. 101
12

24

25

bulan. Di samping itu juga untuk industri misalnya produk garmen yang
ukuran barang tersebut sudah dikenal umum.15
Dengan berbagai produk dan aplikasinya dalam perbankan, maka dapat
diketahui bahwa kinerja lembaga keuangan syariah mengacu pada prinsip non
bunga yang diterapkan pada lembaga keuangan konvensional. Letak perbedaan
ini sangat penting, karena yang dilarang dalam Islam adalah adanya unsur riba
dalam transaksi. Walaupun bunga masih menyimpan kontroversi apakah
termasuk riba atau bukan, tetapi lembaga keuangan syariah mampu menghindari
unsur bunga yang kontroversial.

C. Sejarah Lembaga Keuangan Konvesional dan Jenis-jenisnya


Lembaga keuangan konvensional di Indonesia pertama kali didirikan pada
tahun 1824. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda menidirikan sebuah bank yang
diberi nama Handel Maatschappij (NHM), yang dewasa ini dikenal dengan nama
Bank Ekspor Impor Indonesia (BEI). Kemudian pada tahun 1827 pemerintah
Hindia Belanda juga mendirikan De Javasche Bank (sekarang dikenal dengan
nama Bank Indonesia) dan NV escompto Bank (cikal bakal bank swasta, yang
sekarang dikenal dengan Bank Dagang Negara).16
Apabila dilihat dari definisi, peristilahan bank berarti badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Kemudian pada perkembangannya terdapat dua macam segi pengelolaan di mana
15
16

Ibid., hl. 108


Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hlm. 45

25

26

bank dapat dikelompokkan menjadi dua yakni bank konvensional (dengan sistem
bunga) dan bank syariah (dengan sistem bagi hasil) sebagaimana dijelaskan di
atas.
Bank konvensional dibagi menjadi dua:17
1. Usaha Bank Umum
Jenis kegiatan usaha Bank Umum adalah:
-

Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,


deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya
yang disamakan dengan itu.

Memberi kredit

Menerbitkan surat pengakuan utang

Membeli, menjual, atau menjamin resiko sendiri maupun untuk


kepentingan dan atas perintah nasabahnya.

2. Usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR)


Suatu bank dinamakan bank perkreditan rakyat apabila bidang
usahanya meliputi:
-

Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa


deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu.

17

Memberikan kredit

Ibid., hlm. 39

26

27

Mengadakan pembiayaan bagi masyarakat bagi nasabah berdasarkan


prinsip bagi hasil keuntungan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah

Menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI),


deposito berjangka sertifikat deposito, dan atau pada bank lain.

D. Produk dan Kinerja Lembaga Keuangan Konvensional.


Lembaga keuangan konvensional, merupakan lembaga keuangan yang
mendasarkan pada prinsip bunga yang merupakan sistem ekonomi kapitalisme.
Sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan
oleh hak milik privat atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik,
jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba
dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.18
Dengan sistem kapitalis menimbulkan adanya monopoli usaha karena
sistem usaha bebasnya. Menurut Monzer kahf, sistem usaha bebas telah
menimbulkan ketidakstabilan dalam kegiatan-kegiatan perekonomian dan
perputaran dunia usaha.19 Sistem usaha bebas yang menibulkan monopoli usaha
juga menunjukkan tidak adanya keadilan dan pemerataan ekonomi dalam
kehidupan masyarakat.
Di samping sistem ekonomi kapitalis, lembaga keuangan konvensional
juga dipengaruhi sistem ekonomi komunis yang berdiri atas dasar bahwa alat-alat
18

Winardi, Ilmu Ekonomi, Aspek-Aspek Sejarahnya, Cet. 1, Banding, Citra Aditya


Bakti, 1990, hlm. 2002
19
Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Ekonomi Islam),
Yigyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 49

27

28

produksi seluruhnya menjadi milik bersama antara anggota-anggota masyarakat.


Individu-individu sebagai orang seorang tidak mempunyai hak untuk memilikinya
dan bertindak menurut keinginannya, kecuali sebagai upah atas jasa-jasa yang
diberikannya untuk kemaslahatan bersama.
Berdasarkan sistem tersebut lembaga keuangan konvensional melahirkan
produk jasa perbankan dengan sistem bunga yakni kelebihan dalam pengembalian
pinjaman yang ditentukan oleh bank. Dari bunga ini maka bank dapat
memperoleh keuntungan yang besar yang sebagiannya diberikan kepada
penabung yang menambah nominal saving. Adapun produk-produknya antara
lain:
-

Deposito yakni sistem menabung uang berjangka dengan pengambilan yang


sudah ditentukan misalnya enam bulan. Namun yang diambil adalah
bunganya saja, sedangkan uang pokoknya diatur dalam jangka tertentu yang
cukup lama.

Pinjaman dengan cara kerja nasabah mengajukan permohonan ke bank,


memberikan agunan sesuai dengan pinjaman, ketentuan bunga dan
pengembalian yang ditentukan bank. Dalam hal ini bunga bank telah
ditentukan bank.

Simpanan, yakni nasabah menyimpan uang dengan nilai bunga yang


ditentukan oleh bank. Secara umum simpanan dapat diambil sewaktu-waktu,
dan dalam aturan khusus bisa berbentuk deposito dan tabungan dengan
bentuk dan tujuan tertentu.

28

29

Jasa keuangan lain seperti untuk kepentingan ekspor impor, perkreditan


rumah, motor dan lainnya. Namun dalam hal ini seluruhnya tidak lepas dari
sistem bunga.
Di samping lembaga keuangan yang berupa bank, terdapat pula lembaga

keuangan non bank yang didasarkan pada Keputusan Mentri Keuangan Nomor
792/MK/IV/12/70 tanggal 7 Desember 1970. Keputusan ini kemudian diubah dan
ditambah dengan Keputusan Mentri Keuangan No. 38/MK/IV/I/72 tanggal 18
Januari 1972.
Lembaga keuangan non bank menurut ketentuan ini adalah usaha yang
melakukan kegiatan di bidang keuangan yang menghimpun dana dengan
mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya untuk membiayai investasi
perusahaan. Lembaga ini juga diperbolehkan menerima dana dari masyarakat
dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Namun berdasarkan kebijakan pakto
27, 1988, lembaga ini dapat menerbitkan sertifikat deposito sebagai sumber dana
dan dapat mendirikan kantor-kantor cabang di daerah-daerah.20

20

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2001, hlm.

44

29

Anda mungkin juga menyukai