Anda di halaman 1dari 12

0

KOMPILASI HUKUM ISLAM


PASAL 51 - 66

TINJAUAN PASAL-PASAL
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kompilasi Hukum Islam)

Dosen Pengampu :

Dahlan Suherlan, SH. MH.

Disusun Oleh :

Wahyu Tri Cahyono

PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
JAKARTA
1436 H / 2015 M

LANJUTAN BAB VII


PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta
pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat,
boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah
tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.
TINJAUAN PASAL
Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri, tidak
dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya
ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan
suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan
perceraian dalam gugatan. Demikian juga sebaliknya, jika istri yang melanggar
perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke
Pengadilan Agama.
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

TINJAUAN PASAL
Kawin hamil sendiri adalah perkawinan yang dilaksanakan karena
mempelai wanita pada saat melangsungkan perkawinan tersebut dalam keadaan
hamil (pernikahan karena hamil di luar ikatan pernikahan yang sah). Dalam
menjawab permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat, yaitu1 :
1.

Para ulama Syafiiyah berpendapat bahwa zina tidak memiliki kewajiban


beriddah, baik wanita tersebut hamil atau tidak. Sama halnya wanita tersebut
mempunyai suami atau tidak. Apabila dia mempunyai suami, maka halal bagi
suaminya untk menyetubuhinya secara langsung. Dan jika dia tidak
mempunyai suami, maka boleh bagi laki laki yang berzina dengannya atau
orang lain untuk menikahinya, baik dia hamil atau tidak. Hanya saja,
menyetubuhinya dalam keadaan hamil berhukum makruh sampai dia

melahirkan.
2. Jika wanita yang dizinai tidak hamil, maka laki laki yang berzina dengannya
atau laki laki lain boleh menikahinya, dan dia tidak wajib beriddah.
Pendapat ini di sepakati di kalangan Madzhab Hanafi. Jika yang menikahinya
adalah laki laki yang berzina dengannya, maka dia boleh menyetubuhinya
dan anak adalah milik laki laki tersebut jika lahir enam bulan setelah
pernikahan. Namun jika dilahirkan sebelum enam bulan, maka dia bukan
anaknya dan tidak mendapat warisan darinya. Sedangkan jika wanita yang
dizinai hamil, maka menurut Abu Hanifah, dia boleh dinikahi namun tidak
boleh disetubuhi sampai melahirkan. Sedangkan Abu Yusuf dan Zafar dari
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika wanita yang berzina hamil, maka
3.

dia tidak boleh dinikahi.


Wanita yang berzina tidak boleh dinikahi dan dia wajib beriddah dengan
waktu yang ditetapkan jika dia tidak hamil, dan dengan melahirkan
kandungan jika dia hamil. Jika ia memiliki suami, maka suaminya tidak boleh
menyetubuhinya sampai iddahnya habis. Ini adalah pendapat Rabiah, AtsTsauri, Al Auzai dan Ishaq dari kalangan Madzhab Maliki dan Hanbali. Para
1

Yahya Abdurrahman Al Khatib, Fikih Wanita Hamil, Penerjemah Mujahidin Muhayyan,


Jakarta: Qisthi Press, Cet. 4, 2009, Hal. 87-88.

ulama Madzhab Hanbali memberikan syarat lain bagi bolehnya menikahi


wanita yang berzina yaitu taubat dari zina.
Dasar yang dipakai pertimbangan oleh Kompilasi Hukum Islam dalam
menetapkan perkawinan wanita hamil adalah surat An-Nur ayat 3 yang berbunyi :

3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang


berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kebolehan perempuan hamil menikah
dengan laki-laki yang menghamilinya adalah suatu pengecualian, sehingga lakilaki yang menghamilinya adalah yang tepat menjadi suaminya. Ayat tersebut juga
menerangkan

bahwa

haram

bagi

laki-laki

mukmin

yang

baik

untuk

mengawininya2.
Dan juga, jumhur ulama berdasar pada hadis Aisyah dari Ath-Thobary
dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah saw. ditanya tentang seorang lakilaki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau
berkata: Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan
yang halal. Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar,
Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali As-Shobuny/I/hlm49-50).

Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan
perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih
berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

46.

H.Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika,2006, Hal. 45-

TINJAUAN PASAL
Berdasarkan hadist Utsman Dari Utsman ra. bahwa Nabi saw. bersabda : Orang
yang berihram tidak boleh menikahi, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh
melamar. (Sahih: Mukhtashar Muslim no. 814)
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat
isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun
1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan
Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari
isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
TINJAUAN PASAL
Definisi poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Poligami
memiliki arti: Sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Kata
bersamaan didalam penjelasannya bukan menunjukan pada proses upacara
pernikahannya, tetapi menunjuk kepada kehidupan pernikahan dimana bersamaan

dalam arti bukan terjadi pada selang beda waktu, misalkan setelah ditinggal
pasangan lawan jenis meninggal atau cerai kemudian menikah lagi.
Poligami juga dapat diartikan secara singkat yaitu perkawinan antara
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita 3.
Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan
sifat pembawaan kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam memperhatikan
kenyataan-kenyataan manusiawi, kemudian mengaturnya agar sesuai dengan
nilai-nilai keutamaan.
Pengaruh iklim membawakan perbedaan-perbedaan dalam kenyataan
hidup manusia. Tiap-tiap individu mempunyai pembawaan yang mungkin berbeda
dengan individu lain. Keadaan sosial dalam suatu masyarakat pada masa tertentu
mengalami problem-problem yang meminta pemecahan (Ahmad Azhar Basyir,
2007: 40).
Dihubungkan dengan masalah perkawinan, dapat dikemukakan macammacam keadaan yang memerlukan pemecahan sebagai berikut:
a.

Apabila ada orang laki-laki yang kuat syahwatnya, baginya seorang istri
belum memadai, apakah ia dipaksa harus mempunyai seorang istri hanya satu
orang saja, dan untuk mencukupkan kebutuhannya dibiarkan berhubungan
dengan orang lain di luar perkawinan? Dalam hal ini, agar hidupnya tetap
bersih, kepadanya di beri kesempatan untuk berpoligami asal syarat akan
dapat berbuat adil dapat terpenuhi.

b.

Apabila ada seorang suami benar-benar ingin mempunyai anak (keturunan),


padahal istrinya ternyata mandul, apakah suami itu harus mengorbankan
keinginannya untuk berketurunan? Untuk memenuhi tuntutan naluri hidup
suami subur yang beristri mandul, ia dibenarkan kawin lagi dengan
perempuan subur yang mampu berketurunan.

c.

Apabila ada istri yang menderita sakit hingga tidak mampu melayani
suaminya, apakah suami harus menahan saja tuntutan biologisnya? Untuk
memungkinkan suami terpenuhi hasrat naluriahnya dengan jalan halal,
kepadanya diberi kesempatan kawin lagi.
3

J.N.D Anderson (Terjemahan Machnun Husein), Hukum Islam di Dunia Moderen, New
York: New York University Press, 1994, Hal. 49

d.

Apabila suatu ketika terjadi dalam suatu masyarakat, jumlah perempuan lebih
besar dari jumlah laki-laki, apakah akan di pertahankan laki-laki hanya boleh
kawin dengan seorang istri saja? Bagaimana nasib perempuan yang tidak
sempat memperoleh suami? Untuk memberikan kesempatan perempuanperempuan memperoleh suami, dan dalam waktu sama untuk menjamin
kehidupan yang lebih stabil, jangan sampai terjadi permainan tindakantindakan serong.
Demikianklah contoh alasan-alasan yang dapat menjadi pertimbangan

kawin poligami itu, yang merupakan alasan moral, biologis, dan sosial ekonomis.
Dengan memperhatikan konteks ayat 3 QS. An-Nisa yang membolehkan
perkawinan poligami tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa perkawinan
poligami menurut ajaran Islam merupakan perkecualian yang dapat ditempuh
dalam keadaan yang mendesak. Dalam keadaan biasa, Islam berpegang kepada
prinsip monogami, kawin hanya dengan seorang istri saja yang dalam ayat AlQuran tersebut dinyatakan akan lebih menjamin suami tidak akan berbuat aniaya 4.
Apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi syaratsyarat poligami dalam Islam yaitu sebagai berikut5:
1.
2.

Membatasi jumlah istri yang akan dikawininya.


Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali

3.

persaudaraan menjadi istrinya.


Disyaratkan pula berlaku adil (adil terhadap dirinya sendiri, adil diantara para
istri, adil memberikan nafkah, adil dalam menyediakan tempat tinggal, adil
dalam mendapat giliran menginap. Anak-anak juga mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari

4.
5.

seorang ayah.
Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan istri maupun anak-anak.
Berkuasa menanggung nafkah/mempunyai kemampuan finansial. Biar
bagaimana pun ketika seorang suami memutuskan untuk menikah lagi, maka
yang harus pertama kali terlintas dikepalanya adalah masalah tanggung jawab
nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga sekaligus.

4
5

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2007, Hal. 40
Ahmad Sarwat, Lc., Fiqih Nikah, Jakarta: Kampus Syariah, 2009, Hal. 98

BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri
yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundangundangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali
tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah
seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksanakan fungsinya sebagai kepala
keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akan
dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat
dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon
suami yang akan melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah
perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal 65

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah


Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga
kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan
pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
TINJAUAN PASAL
Pencegahan

perkawinan

adalah

menghindari

suatu

perkawinan

berdasarkan larangan hukum Islam yang diundangkan. Pencegahan perkawinan


dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan
perkawinan berdasarkan hukum Islam yang termuat dalam Pasal 13 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak
yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.
Selain itu Pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan:
1.

Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan


kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan
dilansungkan.

2.

Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10


hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3.

Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebutkan sesuatu


alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Selain itu, dapat juga dilihat pada Pasal 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 PP Nomor 9

Tahun 1975. Berdasarkan uraian yang di atas, menunjukkan bahwa, apabila ada
pihak-pihak yang merasa keberatan dapat melakukan pencegahanan, agar tidak
terjadi perkawinan yang dilangsungkan pertentangan dengan hukum Islam dan
perundang-undangan yang berlaku. Upaya pencegahan perkawinan tidak
menimbulkan kerancuan sehingga baik Undang-Undang Perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan

10

pencegahan perkawinan dimaksud. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 menyatakan:
1.

Yang dapat mencegah perkawinan keluarga dalam garis keturunan lurus ke


atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

2.

Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlansungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada
di bawah pengampuan, sehingga dalam perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1)
pasal ini.
Kompilasi Hukum Islam mempunyai prinsip untuk menguatkan apa yang

ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Tambahan penjelasan


Pasal 62 ayat (2) dikemukakan bahwa ayah kandung yang tidak pernah
melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya
untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga memberi
kesempatan kepada suami atau istri yang masih terikat dengan salah satu dari
kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan yang baru. Hal ini
bertujuan untuk mengatasi perkawinan atau poligami liar, yang dilakukan tanpa
izin dari pengadilan atau dari istri yang sudah ada.
Selain rumusan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut,
juga diungkapkan rumusan Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam, Pejabat yang
ditunjuk untuk mengawasi perkawinan, berkewajiban mencegah perkawinan bila
rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi. Oleh karena itu, pegawai pencatat
nikah mempunyai tugas ganda, yaitu di satu pihak sebagai petugas yang ditunjuk
untuk mencatat perkawinan dan di pihak lain bertugas untuk mengawasi terhadap
adanya pelanggaran perkawinan antara calon mempelai atau tidak.
Apabila pegawai pencatat nikah berpendapat bahwa perkawinan akan
dilaksanakan terdapat larangan menurut Undang-Undang Perkawinan, maka ia
akan menolak melangsungkan perkawinan. Hal ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (1)

11

dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 69 ayat (1) dan (2)
Kompilasi Hukum Islam.
Kalau pegawai pencatat nikah melakukan pencegahan pelaksanaan
perkawinan, maka ia memberikan surat keterangan tertulis disertai dengan alasanalasan penolakannya.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam tersebut, dapat dipahami bahwa tenggang waktu 10 hari adalah
memberikan kesempatan kepada orang yang merasa terkait dalam kelangsungan
perkawinan, agar mengajukan keberatan-keberatan jika dipandang rencana
perkawinan calon mempelai terdapat larangan-larangan atau syarat dan rukun
yang belum terpenuhi. Namun demikian, apabila pengajuan permohonan
pencegahan perkawinan dipandang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya,
yaitu perkawinan yang akan dilangsungkan oleh calon mempelai memenuhi rukun
dan syarat-syarat perkawinan maka permohonan pencegahan dapat dicabut seperti
yang ditegaskan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal
67 KHI.

Anda mungkin juga menyukai