Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL INFEKSI IMUNOLOGI


PEMICU 2

KELOMPOK DISKUSI 2
1. Jamalludin
2. Tata Rimba Parmanto
3. Nur'Azmi Ayuningtyas
4. Dina Fitri Wijayanti
5. Guntur Suseno
6. Dodi Novriadi
7. Adela Brilian
8. Irvinia Rahmadyah
9. Ridha Rahmatania
10. Alvina Elsa Bidari
11. Anis Komala

I11108071
I11110035
I11111009
I11112007
I11112012
I11112014
I11112020
I11112023
I11112027
I11112038
I11112041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015

BAB I
PENDAHULUAN

PEMICU 2
By. Laki-laki usia 10 bulan dibawa ibunya ke puskesmas karena demam tinggi
dan rewel mulai sore hari kemarin. Riwayat batuk, pilek, maupun muntah disangkal.
Sang ibu hanya mengeluhkan bayinya rewel sejak tadi malam. Dari keterangan sang
ibu, 1 hari yang lalu bayinya mendapatkan imunisasi campak di puskesmas tersebut.
A. Klarifikasi dan definisi
- Imunisasi
: Prosedur untuk meningkatkan derajat imunisasi.
- Demam
: Peningkatan suhu tubuh diatas 37,5oC per aksial.
B. Kata Kunci
1. Bayi 10 bulan
2. Imunisasi campak
3. Demam tinggi
C. Rumusan Masalah
Bayi 10 bulan mengalami demam tinggi setelah imunisasi campak 1 hari yang
lalu
D. Analisis Masalah
Anamnesis:
-Rewel

Bayi Nuni,
10 bulan

Demam
tinggi

-Imunisasi
Campak
-Batuk,
pilek,
muntah (-)

E. Hipotesis

KIPI

Penangan
an

Demam tinggi yang dialami bayi


tersebut merupakan kejadian Ikutan Pasca
Edukasi
Imunisasi Campak

F. Pertanyaan Diskusi
1. Imunisasi
a. Definisi

b. Klasifikasi
c. Cara Pemberian
d. Jadwal pemberian
e. Indikasi dan kontraindikasi
f. Jeni-jenis vaksin
g. Tingkat keberhasilan
2. Imunisasi apa saja yang menimbulkan demam ?
3. Apa perbedaan imunisasi pada anak, orang dewasa, dan ibu hamil ?
4. Jelaskan mengenai KIPI !
5. Apa saja reaksi yang dapat ditimbulkan setelah imunisasi ?
6. Mengapa imunisasi ada yang diberikan sekali dan berkali-kali ?
7. Bagaimana bila terlambat imunisasi?
8. Jelaskan mengenai demam
9. Bagaimana tatalaksana dan edukasi pada kasus ?
10. Infeksi yang sering terjadi pada anak dan pemeriksaan penunjangnya ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Imunisasi
1. Definisi
Imunisasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas,
memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respon memori terhadap

patogen tertentu atau toksin dengan menggunakan antigen nonvirulen atau


nontoksik.1
2. Klasifikasi Imunisasi
2.1.
Imunisasi pasif
Imunisasi pasif terjadi bila seseorang menerima antibodi atau produk sel
dari orang lain yang telah mendapat imunisasi aktif. Imunitas pasif dapat
diperoleh melalui antibodi dari ibu atau dari globulin gama homolog yang
dikumpulkan. Imunisasi pasif dibagi lagi menjadi:
a. Imunisasi pasif alamiah
1. Imunitas maternal melalui plasenta
Antibodi dalam darah ibu merupakan proteksi pasif kepada janin.
IgG dapat berfungsi antitoksik, antivirus dan antibakterial terhadap H.
Influenza B atau S. Agalacti B. Ibu yang mendapat mendapat vaksinasi
aktif akan memberikan proteksi pasid kepada janin dan bayi.1
2. Imunitas maternal melalui kolostrum
ASI mengandung berbagai komponen sistem imun. Beberapa di
antaranya berupa Enhancement Growht Factor untuk bakteri yang
diperlukan dalam usus atau faktor yang justru dapat menghambat
tumbuhnya kuman tertentu (lisozim, laktoferin, interferon, makrofag, sel
T, sel B, granulosit). Antibodi ditemukan dalam ASI dan kadarnya lebih
tinggi dalam kolostrum (ASI pertama segera setelah partus).1
b. Imunisasi pasif buatan
1. Immune Serum Globulin nonspesifik (Human Normal Immunoglobulin)
Imunisasi pasif tidak diberikan secara rutin, hanya diberikan dalam
keadaan tertentu kepada penderita yang terpajan dengan bahan yang
berbahaya terhadapnya dan sebagai regimen jangka panjang pada
penderita dengan defisiensi antibodi. Jenis imunitas diperoleh segera
setelah suntikan, tetapi hanya berlangsung selama masa hidup antibodi in
vivo yang sekitar 3 minggu untuk kebanyakan bentuk proteksi oleh Ig.
Imunisasi pasif dapat berupa tindakan profilaktik atau terapeutik, tetapi
sedikit kurang berhasil sebagai terapi.1

Preparat dibuat dari plasma atau serum yang dikumpulkan dari


donor sehat atau plasenta tanpa memperhatikan sudah atau belum
divaksinasi/dalam atau tidak dalam masa konvalesen suatu penyakit.
Preparat yang diperoleh harus bebas dari virus hepatitis dan HIV atau
AIDS, kadar antibodi sekitar 25 kali (biasanya mengandung 16,5 g/dl
globulin, terutama IgG), stabil untuk beberapa tahun dan dapat mencapai
puncaknya dalam darah sekitar 2 hari setelah pemberian IM.1
2. Immune Serum Globulin spesifik
Plasma atau serum yang diperoleh dari donor yang dipilih sesudah
imunisasi atau booster atau konvalesen dari suatu penyakit, disebut sesuai
dengan jenisnya misalnya TIG, HBIG, VZIG dan RIG. Preparat dapat pula
diperoleh dalam jumlah besar dari hasil plasmaferesis.1
a. Hepatitis B Immune Globulin
HBIG yang diperoleh dari pool plasma manusia yang menunjukkan
titer tinggi antibodi HbsAg. HBIG juga dapat diberikan pada masa
perinatal kepada anak yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi virus
hepatitis B, para tenaga medis yang tertusuk jarum terinfeksi atau pada
mereka setelah kontak dengan seseorang hepatitis B yang HbsAg
positif.
b. ISG Hepatitis A
Diberikan sebagai proteksi sebelum dan sesudah pajanan. Juga
diberikan untuk mencegah hepatitis A pada mereka yang akan
mengunjungi negara dengan prevalensi hepatitis A tinggi.
c. ISG Campak
ISG dapat diberikan sebelum vaksinasi dengan virus campak yang
dilemahkan kepada anak-anal yang imunodefisien.
d. Human Rabies Immune Globulin
HRIG yang diperoleh dari serum manusia yang hiperimun terhadap
rabies (biasanya dokter hewan atau mahasiswa calon dokter hewan).
HRIG digunakan untuk mengobati penderita terpajan dengan aning
gila. HRIG juga dapat diberikan bersamaan dengan imunisasi aktif

oleh karena antibodi dibentuk lambat. Karena tidak tersedianya serum


asal manusia, kadang diberikan serum asal kuda.
e. Human Varicella-Zoster Immune Globulin
HVIG dipilih oleh karena mengandung antibodi dengan titer tinggi
terhadap virus varisela-zoster. Produk ini digunakan sebagai
profilaksis pada anak imunodefisiensi untuk mencegah terjangkit
varisela, tetapi tidak menguntungkan untuk digunakan pada penderita
dengan varisela aktif atau herpes zoster.
f. Antisera terhadap virus Sitomegalo
Antisera terhadap virus Sitomegalo diberikan secara rutin kepada
mereka yang mendapat transplan sumsum tulang untuk mengurangi
reaktivasi virus bila diberikan obat imunosupresif dalam usaha
mengurangi kemungkinan penolakan tandur
g. Antibodi Rhogam
Antibodi Rhogam terhadap antigen RhD, diberikan dalam usaha
mencegah imunisasi oleh eritrosit fetal yang RH+. Rho )D)-Immune
Globulin (RhoGAM) adalah preparat asal manusia, diberikan kepada
wanita Resus negatif dalam 72 jam sesudah melahirkan, keguguran
atau aborsi dengan bayi/janin resus positif. Maksudnya ialah
mencegah sensitisasi ibu terhadap kemungkinan sel darah merah janin
yang Resus-positif. Juga diberikan selama trimester terakhir (16
minggu) kepada prima gravida Resus-negatif.
h. Tetanus Immune Globulin
TIG adalah antitoksin yang diberikan sebagai proteksi pasif stelah
menderita luka. Biasanya diberikan IM dengan toksoid tetapi pada
lengan sebaliknya.
i. Vaccinia Immune Globulin
VIG yang diberikan kepada

penderita

dengan

eksim

atau

imunokompromais yang terpajan dengan vaksinia dan pada anggota


tentara.
2.2. Imunisasi Aktif

Untuk mendapatkan proteksi dapat diberikan vaksin hidup/ dilemahkan


atau yang dimatikan. Vaksin yang baik harus mudah diperoleh, murah, stabil
dalam cuaca ekstrim dan nonpatogenik. Efeknya harus tahan lama dan mudah
direaktivasi dengan booster antigen. Baik sel B maupun sel T diaktifkan oleh
imunisasi.
Keuntungan dari pemberian vakin hidup/ dilemahkan ialah terjadinya
replikasi mikroba sehingga menimbulkan pajanan dengan dosis lebih besar dan
respon imun ditempat infeksi alamiah. Vaksin yang dilemahkan diproduksi
dengan mengubah kondisi biakan mikroorganisme dan dapat merupakan
pembawa gen dari mikroorganisme lain yang sulit untuk dilemahkan.
BCG merupakan pembawa yang baik untuk antigen yang memerlukan
imunitas sel CD4 dan Salmonella sehingga dapat memberikan imunitas melalui
pemberian oral. Imunisasi intranasal telah mendapat popularitas. Risiko vaksin
yang dilemahkan ialah oleh karena dapat menjadi virulen kembali dan
merupakan hal yang berbahaya untuk subjek immunokompromais.1
3. Indikasi dan Kontraindikasi imunisasi 2,3,4
1.

Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)


a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer atau
yang ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG,
pencegahan imunisasi BCG untuk TBC yang berat seperti TBC yang selaput
otak, TBC milier (pada seluruh lapangan paru) atau TBC tulang. Imunisasi
BCG ini merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah
dilemahkan. Frekuensi pemberiaan imunisasi BCG adalah satu kali dan
waktu pemberian imunisasi BCG pada umur 0-11 bulan, akan tetapi pada
umumnya

diberikan pada bayi umur 2 atau 3 bulan, kemudiaan cara

pemberiaan imunisasi BCG melalui intra derma.


b. Kontra Indikasi

1) Adanya penyakit kulit yang berat atau menahun seperti eksim,


furunkolis, dan sebagainya.
2) Mereka yang sedang menderita TBC.
c. Efek Samping
Imunisasi BCG meninggalkan indurasi dan kemerahan di tempat suntikan
yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak
perlu pengobatan akan sembuh secara spontan dan akan meninggalkan tanda
parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan
atau di leher, terasa padat tetapi tidak sakit, tidak perlu di obati akan sembuh
dengan sendirinya
2. Imunisasi PPT (Diphteri, Pertusis, dan Tetanus)
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin yang mengandung
racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi masih
dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberiaan
imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberiaan pertama zat anti
terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan
organ-organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zay anti
yang cukup. Waktu pemberian imunisasi DPT antar umur 2-11 bulan dengan
interval empat minggu. Cara pemberiaan imunisasi DPT melalui intra
muscular.
b. Efek Samping
Efek samping pada DPT mempunyai efek ringan dan efek berat, efek
ringan seperti pembengkakkan dan nyeri pada tempat penyuntikan, demam
sedangkan efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih empat
jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock.
c.
Kontra Indikasi
Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala
serius keabnormalan pada saraf merupakan kontra indikasi pertusis. Anak

yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis


harus dihilangkan pada dosis kedua dan untuk meneruskan imunisasinya
dapat diberikan DT, riwayat anafilaksis, ensefalopati, hiperpireksia
3. Imunisasi Polio
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak.
Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberiaan
imunisasi polio adalah empat kali. Waktu pemberiaan imunisasi polio pada
umur 0-11 bulan dengan interval pemberiaan empat minggu. Cara
pemberiaan imunisasi polio melalui oral.
b. Efek Samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping . efek samping berupa
paralysis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang ( < 0,17 : 1.000.000;
Bull WHO 66 :1998)
c.
Kontra Indikasi
1) Diare berat
2) Penyakit akut atau demam
3) Hipersensitif yang berlebihan terutama pada neomisin, polimiksin,
streptomisin)
4) Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi,
kortikosteroid)
5) Kehamilan
4. Imunisasi Campak
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit campak pada anak karena penyakit ini sangat menular.
Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi
pemberiaan imunisasi campak adalah satu kali. Waktu pemberiaan

10

imunisasi campak pada umur 9-11 bulan. Cara pemberiaan imunisasi


campak melalui subkutan.
b. Efek Samping
Efek sampingnya adalah dapat terjadi ruam pada tempat suntikan dan
panas selama 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksin.
c. Kontra Indikasi
Individu yang menderita penyakit immune deficiency atau individu yang
di duga menderita gangguan respon imun seperti leukemia, lymphoma.
5. Imunisasi Hepatitis B
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit hepatitis yang kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair.
Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis tiga kali. Waktu pemberiaan
imunisasi hepatitis B pada umur 0-11 bulan. Cara pemberiaanya adalah
intramuscular.
b. Efek Samping
Reaksi local seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar
tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya
hilang setelah dua hari.
c. Kontra Indikasi
Hipersensitif pada komponen vaksin. Seperti vaksin-vaksin yang lain,
vaksin ini tidak boleh diberikan pada penderita infeksi berat yang disertai
kejang.
6. Imunisasi MMR (Measles, Mumps, dan Rubela)
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan

dalam memberikan atau

mencegah terjadinya penyakit campak (measles), gondong , parotis


epidemika (mumps) dan rubela (campak jerman). Dalam imunisasi MMR
ini antigen yang dipakai adalah virus campak strainedmonson yang
dilemahkan, virus rubella strain RA 27/3 dan virus gondong. Vaksin ini
tidak dianjurkan pada bayi usia dibawah 1 tahun karena dikhawatirkan

11

terjadi interferensi dengan antibodi maternal yang masih ada, khusus pada
daerah endemic sebaiknya diberikan imunisasi campak yang monovalen
dahulu pada usia 4-6 bulan atau 9-11 bulan dan boster dapat dilakukan
MMR pada usia 15-18 bulan.
b. Efek Samping
Efek samping vaksin porotitis biasanya berupa pembengkakan kelenjar
liur yang timbul 10-14 hari setelah vaksin. Sedangkan untuk vaksin rubella,
efek sampingnya terinfeksi rubella ringan seperti demam ringan, nyeri
tenggorokan, pusing ruam, dan pembengkakan kelenjar.
7. Imunisasi Tiphus Abdominalis
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit tifus abdominalis, dalam persediaannya khususnya Indonesia
terdapat tiga jenis vaksin tifus abdominalis diantaranya kuman yang
dimatikan, kuman yang dilemahkan (vivotf, berna) dan antigen capsular Vi
polysacchgaride (typhim Vi, Pasteur meriux) pada vaksin kuman yang
dimatikan dapat diberikan untuk bayi 6-12 bulan adalah 0,1 ml, 1-2 tahun
0,2 ml, dan 2-12 tahun adalah 0,5 ml, pada imunisasi awal dapat diberikan
sebanyak dua kali dengan interval empat minggu kemudian penguat setelah
satu tahun kemudian.
Pada vaksin kuman yang dilemahkan dapat diberikan dalam bentuk
capsul ateric coated sebelum makan pada hari 1,2,5 pada anak diatas usia 6
tahun dan pada antigen capsular diberikan pada usia diatas dua tahun dan
dapat diulang tiap tiga tahun.

8. Imunisasi Varicella
a.

Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit varicella (cacar air). Vaksin varicella merupakan virus hidup

12

varicella zoozter strain OKA yang dilemahkan pemberian vaksin varicella


dapat diberikan suntukan tunggal pada usia 12 tahun di daerah tropic dan
bila diatas usia 13 tahun dapat diberikan dua kali suntikan dengan interval
4-8 minggu.
9.

Imunisasi Hepatitis A
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit hepatitis A. pemberiaan imunisasi ini dapat diberikan pada usia
diatas dua tahun. Untuk imunisasi awal dengan menggunakan vaksin
havrix (isinya virus hepatitis A strain HM175 yang inactivated) dengan 2
suntikan dengan interval 4 minggu dan boster pada enam bulan kemudiaan
dan apabila menggunakan vaksin MSD dapat dilakukan tiga kali suntikan
pada usia 0, 6 dan 12 bulan.
10. Imunisasi HIB (Haemophilus Influenza Tipe B)
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit influenza tipe b. Vaksin ini adalah bentuk polisakarida murbi
(PRP; purified capsular polysacharide) kuman H. Influenzae tipe b ,
antigen dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein
lain seperti toksoid tetanus (PRP- OMPC). Pada pemberiaan imunisasi
awal dengan PRP-T dilakukan dengan tiga suntikan dengan interval dua
bulan kemudian vaksin PRP OMPC dilakukan dengan suntikan dengan
interval dua bulan kemudian bosternya dapat dilakukan pada usia 18
bulan.
b. Efek Samping
Efektivitas vaksi HIB sekitar 95 % dan relative aman meskipun
menimbulkan reaksi local berupa rasa nyeri dan kemerahan pada sekitar 515 % bayi.

13

4. Tingkat Keberhasilan
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun host,
faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas vaksin. 2
a. Status Imun Host
Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa
fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila
vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih
tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air
susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio
dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral.
Tetapi umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada
waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di subbagian AlergiImunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak
ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi
terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio secara oral diberikan
pada masa kadar sIgA polio ASI masih tinggi, hendaknya ASI jangan
diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi. 2
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan
antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada permukaannya, selain
deformabilitas membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar
komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, demikian pula
aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol
pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin lebih
ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang.
Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibanding pada

14

anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda sampai bayi berumur 2 bulan
atau lebih.2
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang
mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun kongenital,
atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti
pada penyakit keganasan, juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi,
bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin
hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi
pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau
tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi. 2
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas
humoral spesifitasnya rendah. Meskipun kadar globulin- normal atau bahkan
meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan
baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis
antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag
berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang. 2
b. Faktor genetik host
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas
genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder
baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan
respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain tinggi
sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor
genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada
kompleks MHC dan non MHC. 2
- Gen kompleks MHC
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc
akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I,
dan sel Th akan mengenali antigen yang berasosiasi dengan molekul
MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat

15

dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara


klinis terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih serig pada HLA
tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan
-

HLA-B27. 2
Gen non MHC
Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan
dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang
terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-laki.
Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan
perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit
yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran genetik
dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya bekum

diketahui. 2
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah
sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi
masih tetap mengandung antigenisitasnya. Beberapa faktor kualitas dan
kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara
pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan
jenis vaksin. 2

5.

Syarat Pemberian
Menurut Depkes RI (2005), dalam pemberian imunisasi ada syarat yang harus

diperhatikan, yaitu:5
a. Diberikan pada bayi atau anak yang sehat.
b. Vaksin yang diberikan harus baik, disimpan di lemari es dan belum lewat
c.
d.
e.
f.

masa berlakunya.
Pemberian imunisasi dengan teknik yang tepat.
Sesuai dengan jadwal imunisasi yang ada.
Memberikan dosis yang sesuai.
Memberikan informed consent kepada orang tua atau keluarga sebelum
melakukan imunisasi yang sebelumnya telah dijelaskan kepada orang

16

tuanya tentang manfaat dan efek samping atau Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah pemberian imunisasi.

6. Jadwal Pemberian 6

17

B. Imunisasi yang menimbulkan Demam


Tidak semua imunisasi dapat menyebabkan demam. Hal ini tergantung jenis
vaksin yang digunakan. Vaksin yang paling sering menyebabkan demam adalah DPT,
karena kandungan pertusis, namun sekarang udah ada DPT yang tidak menyebabkan
demam DPaT, A disini maksudnya aseluler, sehingga kandungan toksin sudah tidak
ada jadi tidak terjadi demam. Dalam pemberian vaksin, system imun spesifik inilah
yang berperan untuk memberikan kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi, melalui
mekanisme memori. Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naf, yaitu sel T
yang belum pernah terpajan oleh antigen. Jika terpajan antigen, sel T naf akan
berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan bermigrasi ke

18

tempat-tempat infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada
di organ limfoid untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama.1
Sel B, jika terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibody. Antibodi akan
menetralkan antigen sehingga kemampuan menginfeksinya hilang. Proliferasi dan
diferensiasi sel B tidak hanya menjadi sel plasma, tetapi juga sebagian akan menjadi
sel B memori. Sel B memori akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan
antigen serupa, akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan
menghasilkan antibody yang lebih banyak.1
Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang
kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksinasi (artinya sudah pernah terpajan
oleh antigen) terinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi
system imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan
yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon imun pada pajanan
antigen yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B terlihat lebih banyak,
pembentukan antibody lebih cepat, dan bertahan lebih lama, titer antibody lebih
banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi. Dengan demikian, diharapkan
seseorang yang sudah pernah divaksinasi tidak akan mengalami penyakit akibat
pajanan antigen yang sama karena system imunya memiliki kemampuan yang lebih
dibanding mereka yang tidak divaksinasi. 1

C. Imunisasi pada Anak, Dewasa, dan Ibu Hamil


Secara umum imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kematian da
kesakitan serta mencegah akibat buruk lebih lanjut dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Secara khusus imunisasi memberikan kekebalan pada bayi da
anak, memberikan kekebalan pada ibu hamil da wanita dewasa. Imunisasi campak
tidak dianjurkan pada ibu hamil, pasien kanker dan transplantasi organ, mereka yang

19

mendapatkan pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais


yang terinfeksi HIV.2,4
Jenis imunisasi Yang Dibutuhkan Wanita Hamil 7,9
Tetanus (Tetanus Toksoid) : vaksin ini dianjurkan pada wanita hamil untuk
mencegah tetanus neonatorum (tetanus pada bayi) dan sebaiknya diberikan pada
wanita yang tidak melengkapi 3 kali imunisasi dasar atau 10 tahun boster.Tetanus
pada bayi baru lahir-begitu umum di seluruh Amerika-dicegah jika ibu sudah
diimunisasi. Hal ini karena ibu yang melewati kekebalan antibodi kepada bayi di
plasenta. Sang ibu yang kebal jika dia telah diimunisasi sebelum hamil atau selama
kehamilan. Seorang ibu hamil yang status imunisasi tetanus tidak pasti atau yang
terakhir imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu harus diimunisasi terhadap tetanus.
Hal ini biasanya diberikan dikombinasikan dengan vaksin difteri toksoid (produk
yang disebut Td). Baru-baru ini vaksin Td baru yang juga berisi vaksin pertusis telah
dilisensi untuk orang dewasa (Tdap) termasuk untuk digunakan bagi wanita di
kelompok usia subur.
Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk Tdap imunisasi. Namun, pada
saat ini, CDC merekomendasikan bahwa wanita hamil yang menerima terakhir
toksoid tetanus vaksin yang mengandung kurang dari 10 tahun yang lalu menerima
Tdap dalam periode pasca-melahirkan sesuai dengan rekomendasi vaksinasi rutin.
Jika dosis terakhir toksoid tetanus-vaksin yang mengandung lebih dari 10 tahun
sebelumnya, mereka lebih suka bahwa ia akan diimunisasi dengan Td selama
trimester kedua dan ketiga bukan Tdap.
Hepatitis B : untuk wanita dengan risiko tinggi Hepatitis B (memiliki > 1 pasangan
seksual dalam 6 bulan terakhir, memiliki riwayat Penyakit Menular Seksual,
penggunaan narkoba suntik).
Hepatitis B adalah suatu penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus, penyakit
ini bisa mengakibatkan kerusakan hati berat seperti hati yang mengeras atau sirosis
hati dan bahkan kanker hati dan menyebabkan kematian pada akhirnya. Sebelum

20

menjadi hamil, seharusnya calon ibu memeriksakan diri untuk memastikan bahwa
dirinya tidak sedang terinfeksi dengan virus Hepatitis B. Karena untuk bayi yang
lahir ini akan terinfeksi juga dari ibu yang positif terinfeksi virus Hepatitis B, maka
begitu bayi dilahirkan, kita harus segera memberikannya vaksin Hepatitis B ditambah
dengan zat immunoglobulin anti Hepatitis B, untuk melawan infeksi virus Heppatitis
B dari ibunya.Hepatitis B (HBV) infeksi selama kehamilan dapat mengakibatkan
penyakit berat baik bagi ibu, janin, dan akhirnya untuk neonate. Imunisasi dianjurkan
universal di Amerika Serikat untuk semua orang di bawah usia 18 tahun dan mereka
lebih tua dari yang yang mengalami peningkatan risiko eksposur.
Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk imunisasi HBV dan vaksin
harus diberikan kepada orang-orang dengan risiko pekerjaan atau gaya hidup,
kelompok risiko khusus pasien (seperti yang menjalani hemodialisis), mereka yang
memiliki penyakit menular seksual lainnya, rumah tangga dan kontak seksual
pembawa HBV, penjara tahanan, dan untuk pelancong internasional untuk daerahdaerah endemik. Semua wanita hamil harus memiliki skrining prenatal dini untuk
kekebalan tubuh dan, jika rentan dan jika mereka memiliki faktor risiko, harus
diimunisasi.
Semua wanita hamil harus diskrining untuk infeksi hepatitis virus B aktif
karena kebanyakan perempuan yang terinfeksi tidak tahu dan, jika mereka memiliki
infeksi hepatitis B, bayi baru lahir harus menerima kelahiran dosis vaksin hepatitis B
dan hepatitis B globulin imun -memberikan baik di dalam jam lahir mengurangi
kemungkinan bahwa anak akan menjadi terinfeksi virus hepatitis B dan, jika
terinfeksi, mengurangi kemungkinan bahwa bayi akan terinfeksi secara kronis.

Influenza (Inaktif)

: vaksin ini dapat mencegah penyakit serius pada ibu hamil

namun sebaiknya diberikan setelah minggu ke-14.


Ibu hamil yang terinfeksi dengan virus influenza akan meningkatkan risiko
rawat inap, komplikasi medis yang serius, dan hasil kehamilan yang merugikan.
Imunisasi wanita hamil dengan vaksin virus influenza inaktif yang efektif dalam

21

mengurangi infeksi saluran pernapasan demam pada wanita hamil. Imunisasi ibu
selama kehamilan juga melindungi bayi yang baru lahir karena dia melewati antibodi
kekebalan di plasenta (antibodi influenza sebenarnya lebih tinggi di dalam darah tali
pusat daripada di darah ibu). Bayi dengan account infeksi virus influenza untuk rawat
inap banyak dan cenderung untuk infeksi pernafasan bakteri. Kematian Anak Usia
berhubungan dengan infeksi virus influenza terjadi paling sering pada bayi kurang
dari usia 6 bulan. Sayangnya, selama 6 bulan pertama kehidupan, tidak ada vaksin
atau obat anti-virus influenza yang tersedia. Untuk alasan ini, perempuan hamil harus
menerima vaksin virus influenza dan mereka yang akan membantu untuk merawat
bayi baru lahir harus divaksinasi juga.
Studi tentang vaksinasi influenza lebih dari 2.000 wanita hamil telah
menunjukkan tidak ada efek samping untuk janin dari vaksin. Namun, vaksin
influenza hidung tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena merupakan
vaksin virus hidup.
Jenis imunisasi yang dipertimbangkan diberikan pada wanita hamil dengan
pajanan infeksi spesifik

Pneumokokus : diberikan pada triwulan kedua atau ketiga pada wanita dengan risiko
tinggi infeksi pneumokokus atau dengan penyakit kronik (wanita dengan gangguan
jantung, paru, atau penyakit hati; penurunan kekebalan tubuh; diabetes)

Rabies : direkomendasikan bagi mereka yang terpajan dengan rabies

Hepatitis A : belum banyak penelitian mengenai keamanan imunisasi ini selama


kehamilan, namun risikonya rendah (karena vaksin berasal dari virus inaktif)

Vaksin Polio Oral & Vaksin Polio Inaktif

Tabel Imunisasi pada Wanita Hamil

Agen

Tipe

Imunobiologi

Imunisasi

AgenIndikasi
Imunisasi

Kontra

Jadwal Dosis

indikasi

Keterangan

selama
Tetanus

Toksoid

Kehamilan
X

Diberikan

22

Toksoid

kali,

terakhir
Hepatitis A

Vaksin

Hepatitis B

inaktif
Hepatitis

ketika hamil
Dua dosis
Direkomendasikan

virus

pada

wanita dengan risiko tinggi


Tergantung Umumnya
diberikan

BX

imunoglobulin

pajanan

dengan

vaksin

virus

Hepatitis B, bayi baru lahir


yang

terpajan

membutuhkan profilaksis
Influenza

Vaksin

(inaktif)
inaktif
MMR(campak, Vaksin
gondong,

virusX

(musim

Dosis

influenza)
virus

hidup

rubella)

tunggal IM
Dosis

Vaksinasi terhadap wanita

tunggal,

risiko

Subkutan

dilakukan

tinggi

melahirkan,

sebaiknya
setelah
imunisasi

sebelum kehamilan
Varisela (cacar Varisela-zoster
air)

imunoglobulin

Dosis
tunggal

IM

dalam 96 jam
setelah
pajanan

D. KIPI
1. Definisi
KIPI atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah semua kejadian
sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imuniasi dan
diduga karena imunisasi.Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI/adverse event

23

following immunization) adalah kejadian 23rach yang berhubungan dengan


imunisasi, baik berupa reaksi vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi
sensitivitas, efek farmakologis; atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi
suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam
masa 1 bulan setelah imunisasi. 1-4
2. Klasifikasi
Klasifikasi menurut WHO yaitu klasifikasi lapangan untuk petugas sebagai
berikut: 7,8,9
a. Kesalahan program / teknik pelaksanaan (programmatic errors)
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan
teknik

pelaksanaan

imunisasi

yang

meliputi

kesalahan

program

penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan


tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur, misalnya:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)

dosis antigen (terlalu banyak)


lokasi dan cara menyuntik
sterilisasi semprit dan jarum suntik
jarum bekas pakai
tindakan aseptik dan antiseptic
kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
penyimpanan vaksin
pemakaian sisa vaksin
jenis dan jumlah pelarut vaksin
tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian,
indikasi kontra dan lain-lain)

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila


terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
b. imunisasi.
Contoh kesalahan program : dosis antigen (terlalu banyak), lokasi dan cara
penyuntikan, sterilisasi semprit dan jarum, jarum bekas pakai, tindakan
23rachia dan anti septic, kontaminasi vaksin dan alat suntik, penyimpanan

24

vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, serta tidak
memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dll).
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugasyang sama.
Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin
dengan batch yang sama tetapi tidak
Terdapat masalah, atau apabila sebagian populasi setempat dengan
karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tetapi justru menunjukkan masalah
tersebut.
c. Reaksi suntikan (Injection reaction)
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak, dan kemerahan pada tempat
suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut,
pusing, mual, sampai sinkope. Reaksi ini tidak berhubungan dengan
kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal
yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Syncope /fainting
Sering pada anak > 5 tahun
Terjadi beberapa menit post imunisasi
Tidak perlu penanganan khusus
Hindari stress saat anak menunggu
Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk.
Hiperventilasi akibat ketakutan
Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.
Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (penderita ini perlu

diperiksa)
10) Beberapa anak takut jarum, gemetar, histeria.
11) Penting penjelasan dan penenangan
d. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan
secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala

25

klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian.


Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam
petunjuk pemakaian terrtulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi
khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik
lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain.
Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana
imunisasi.
Reaksi vaksin terdiri atas :
1. Reaksi lokal :
a.
b.
c.
d.

Rasa sakit di tempat suntikan.


Bengkak-kemerahan ditempat suntikan sekitar 10 %
Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi
dan sembuh setelah beberapa bulan.

2. Reaksi Sistemik :
a. Panas pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi
lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.
b. MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus
vaksin. Terjadi panas dan atau rash dan konjungtivitis pada 5-15%
dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada
penderita imunodefisiensi.
c. Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,
rubela terjadi rasa sakit sendi 15 % dan pembengkaan limfonodi.
d. OPV kurang dari 1% diare, pusing dan sakit otot.
3. Reaksi vaksin berat :
a.
b.
c.
d.

Kejang
Trombositopenia
Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak

merupakan long-term problems


e. Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan tanpa
long-term effects

26

f. Ensefalopati akibat imunisasi measles atau DTP


d. Faktor kebetulan (koinsiden)
Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah
imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya
kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat
dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.
e. Faktor kebetulan (Coincidental)
Kejadian terjadi setelah imunisasi tapi tidak disebabkan oleh vaksin.
Indikator faktor kebetulan ditemukannya kejadian yang sama di saat
bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakter serupa tetapi
tidak mendapat imunisasi.
f. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan
ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam
kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab
KIPI.
World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded
programme on immunisation (EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI
dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang yang paling penting
adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors,
termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali pakai
atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga
transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa
untuk memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan
ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan. 10,11
Sedangkan Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah
Komnas PP KIPI : 9

27

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda
dengan laporan Comittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi
saat ini, yaitu:
1. Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated)
2. Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal
(unlikely)
3. Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
4. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)
5. Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)
3. Gejala
Manifestasi klinis KIPI digolongkan waktu terjadinya dan bagian tubuh
yang terganggu. Waktu terjadinya dapat timbul secara cepat maupun lambat
dan dapat dibagi menjadi gejala 27rach, sistemik, reaksi susunan saraf pusat,
serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat
gejalanya. Manifestasi klinis KIPI digolongkan waktu terjadinya dan bagian
tubuh yang terganggu.12
1. Lokal: Abses pada tempat suntikan,Limfadenitis,Reaksi 27rach lain yang
berat, misalnya selulitis, BCG-it is
2. SSP: Kelumpuhan akut, Ensefalopati,EnsefalitisMeningitis Kejang
3. lain-lain :Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema,Reaksi anafilaksis ,Syok
anafilaksis ,Artralgia, Demam tinggi >38,5C, Osteomielitis
Gejala klinis dan saatnya timbul: 12
1. Toksoid Tetanus (DPT, DT, TT) : gejala ,Syok anafilaksis ,Neuritis 27rachial
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat timbul : 4 jam 2-18
hari
2. Pertusis whole cell (DPwT) : gejala ,Syok anafilaksis Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat timbul :4 jam72 jam
3. Campak : gejala ,Syok anafilaksis EnsefalopatiKomplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian ,saat timbul :4 jam5-15 hari.

28

4. Polio hidup (OPV): gejala , Polio paralisis Polio paralisis pada resipien
imunokompromais Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat
timbul,30 hari6 bulan.
5. Hepatitis B : gejala ,Syok anafilaksis saat timbul, 4 jam

Gambar 6. Gejala Klinis 13


4. Tatalaksana
Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus
lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi. Dalam waktu 24 jam

29

setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh orang tua (masyarakat) ataupun
petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan. Pelacakan perlu
dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan tersebut benar.
Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus,
data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana
sikap masyarakat saat menghadapi masalah tersebut. 14
Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain yang sama, terutama
yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin yang sama.
Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain yang
bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga menyebabkan KIPI harus
disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada umumnya (perhatikan cold
chain). 14
Kepala Puskesmas atau Pokja KIPI daerah dapat menganalisis data hasil
pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan dicoba untuk mencari penyebab KIPI
tersebut. Dengan adanya data kasus KIPI dokter Puskesmas dapat memberikan
pengobatan segera. Apabila kasus tergolong berat, penderita harus segera dirawat
untuk pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan pengobatan segera. Evaluasi akan
dilakukan oleh Pokja KIPI setelah menerima laporan. Pada kasus ringan tatalaksana
dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan Pokja KIPI hanya perlu diberikan laporan.
Untuk kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau kasus
meninggal, diperlukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Pokja KIPI segera
dilibatkan. Evaluasi akhir dan kesimpulan disampaikan kepada Kepala Puskesmas
untuk perbaikan program yang akan datang. 14
5.

Reaksi yang ditimbulkan setelah Imunisasi


Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara

aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa
tidak akan terjadi penyakit. Pemberian vaksin sama dengan pemberian antigen pada

30

tubuh. Jika terpajan antigen, baik secara alamiah maupun melalui pemberian vaksin,
tubuh akan bereaksi untuk menghilangkan antigen tersebut melalui respon imun.
Secara umum, sistem imun dibagi menjadi 2, yaitu sistem imuni non-spesifik dan
sistem imun spesifik. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan pertama yang
harus dihadapi oleh agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun nonspesifik tidak berhasil menghasilkan antigen, barulah sistem imun spesifik
berperan.2,3
Sistem imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan adaptif yang
didapatkan selama kehidupan dan ditujukan khusus untuk satu jenis antigen. Sistem
imun spesifik diperankan oleh sel T dan sel B. Pertahanan oleh sel T dikenal sebagai
imunitas seluler sedangkan pertahanan oleh pertahanan sel B dikenal sebagai
imunitas humoral. Imunitas seluler berperan melawan antigen di dalam sel (intrasel),
sedangkan imunitas humoral berperan melawan antigen di luar sel (ekstrasel). Sistem
imun spesifik inilah yang berperan dalam pemberian vaksin untuk memberikan
kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme
memori dalam sistem imun spesifik.2,3,4
Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naif yaitu sel T yang belum
pernah terpajan oleh antigen. Jika terpajan antigen, sel T anif akan berdiferensiasi
menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan bermingrasi ke tempat-tempat
infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada di organ
limfoif untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama.Sel B, jika
terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibodi. Antibodi akan menetralkan
antigen dan memicu reaksi peradangan. Proliferasi dan diferensiasi sel B tidak hanya
menjadi sel plasma tetapo juga sebagiam akan menjadi sel B memori. Sel B memori
akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan pada antigen serupa, akan
terjadi proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan menghasilkan antibodi
yang lebih banyak.2

31

Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang
kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksin (artinya sudah pernah terpajan
oleh antigen) terrinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi
sistem imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan
antigen yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon imun pada
pajanan yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B yang terlibat lebih
banyak, pembentukan antibodi lebih cepat dan bertahan lebih lama, titer antibodi
lebih banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi. Dengan demikian,
diharapkan seseorang yang sudah pernah divaksin tidak akan mengalami penyakit
akibat pajanan antigen yang sama karena sistem imunnya memiliki kemampuan yang
lebih dibanding mereka yang tidak divaksin.1,3
6.

Booster pada Imunisasi


Dosis booster adalah pemberian vaksin ekstra setelah dosis awal. Setelah

imunisasi inisial, injeksi booster diperlukan agar sistem imun kembali terpapar
dengan antigen yang diimunisasikan. Tujuannya untuk meningkatkan imunitas
terhadap antigen pada tingkat protektif setelah imunitas tersebut menunjukkan
penurunan atau setelah periode waktu tertentu. Contohnya, pemberian booster tetanus
direkomendasikan setiap 10 tahun. 15
Jika pasien menerima dosis booster, tetapi sudah memiliki kadar antibodi yang
tinggi, maka dapat timbul reaksi yang disebut reaksi Arthus, suatu bentuk
hipersensitivitas tipe III, diinduksi oleh fiksasi komplemen oleh antibodi sirkulasi
yang sudah dibentuk sebelumnya. Pada kasus yang berat, tingkat fiksasi komplemen
dapat menjadi sangat substansial sehingga dapat menginduksi nekrosis jaringan. 15
Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menyebabkan sel efektor
aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping
frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila
vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka
antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik tersebut sehingga tidak

32

sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan
reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat
pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.
Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan
sesuai dengan hasil uji coba. 9, 11, 15
7.

Bagaimana bila terlambat imunisasi ?


Pemberian imunisasi yang terlambat dari jadwal sebenarnya tidak akan

mengurangi efektivitas vaksinasi tersebut untuk membentuk imunitas tubuh. Hanya,


selama jangka waktu keterlambatan tersebut, antibodi yang dimiliki anak untuk
melawan jenis penyakit yang bersangkutan akan melemah. Akibatnya, dia lebih
rentan terserang penyakit tersebut. Imunisasi campak idealnya diberikan pada usia 9
bulan. Jika terlambat namun maih dalam rentang usia 9-12 bulan, imunisasi campak
tetap dapat diberikan dengan pengulangan imunisasi pada usia 5-7 tahun. Namun jika
terlambat memberikan imunisasi campak pada usia di atas 12 bulan atau 1 tahun,
imunisasi campak tidak perlu diberikan dan dapat diberikan langsung imunisasi
MMR dengan sayarat kondisi anak sehat karena imunisasi MMR ini merupakan virus
hidup yang dilemahkan dan jarak imunisasi MMR dengan imunisasi sebelumnya 1
bulan. Pengulangan imunisasi MMR pada saat usia 5-7 tahun.6,11,13
E. Demam
Demam yang berarti suhu tubuh di atas batas normal dapat disebabkan
oleh kelainan diotak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang mempengaruhi
pusat pengaturan suhu. Penyebab tersebut meliputi penyakit yang disebabkan oleh
bakteri, tumor otak, dan keadaan lingkungan yang dapat berakhir dengan
heatstroke.
Sebagian besar protein, hasil pemecahan protein dan beberapa zat tertentu
lainnnya, terutam toksin liposakarida yang dilepaskan dari membran sel bakteri,
dapat menyebabkan peningkatan set-point pada termostat hipotalamus. Zat yang
menimbulkan efek seperti ini disebut pirogen.

33

Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat di dalam jaringan


atau dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag
jaringan dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya
mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin 1 (disebut
leukosit pirogen atau pirogen endogen) ke dalam cairan tubuh. IL-1 saat mencapai
hipotalamus, segera mengaktifkan proses yang menimbulkan demam, kadangkadang meningkatkan suhu dalam jumlah yang jelas terlihat dalam waktu 8
sampai 10 menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endotoksin lipopolisakarida
dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan leukosit darah,
makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh, dapat menyebabkan demam. Jumlah
IL-1 yang dibentuk sebagai respon LPS untuk menyebabkan demam hanya
beberapa nanogram.
Beberapa percobaan menunjukkan bahwa IL-1, menyebabkan demam,
pertama-tama dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin,
terutama PGE2, atau zat yang mirip, dan selanjutnya bekerja dihipotalamus untuk
membangkitkan reaksi demam. Ketika pembentukan PG dihambat oleh obat,
demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berkurang.9
1.

Klasifikasi demam dan Tata laksana demam10,11


a. Klasifikasi Demam

34

2.

Tatalaksana demam
Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis

terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam


bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk
menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua garis
besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan
penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur
<3 bulan dengan suhu rectal >38C, penderita dengan umur 3-12 bulan dengan
suhu >39C, penderita dengan suhu >40,5C, dan demam dengan suhu yang tidak
turun dalam 48-72 jam.12
a. Terapi non-farmakologi

35

Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan


demam:12
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan
beristirahat yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat
menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai
satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman
kepada penderita.
3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat
efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena
akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti
b. Terapi farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah
parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam
menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama. 10 Pada
anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik.
Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan
resiko sindrom Reye pada anak-anak.13
Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi:

Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian


obat untuk mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan

36

untuk mengatasi infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan


tes sensitivitas kultur bakteri apabila memungkinkan.14
F. Edukasi pada Kasus
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat
timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan
gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan,
mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1 2 hari. Di
tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan, pembekakan, gatal, nyeri selama
1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadang-kadang
teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi
umunya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak
nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang
timbul 5 12 hari setelah penyuntikan, yaitu demam tidak tinggi atau erupsi kulit
halus/tipis yang berlangsung kurang dari 48 jam. Pembengkakan kelenjar getah
bening di belakang telinga dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR.
Orangtua / pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau
air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam diberikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 4 jam
bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka
dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua
merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter.16,17

BAB III
KESIMPULAN

37

Demam tinggi yang dialami bayi tersebut merupakan kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Campak

DAFTAR PUSTAKA

38

1.

Baratawidjaja, Karnen G dan Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar ed. 10.

2.
3.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 557-618


Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 6. Jakarta : EGC. 2012.
Silverthorn, DU. Human Physiology. An Integrated Approach. 3rd Edition. San

4.

Fransisco: Pearson Education. 2004.


Tortora, G.J. Principles of Anatomy and Physiology 12 th Edition. The Special

5.

Sense. 2009.
Powell, KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. 8th Edition. Philadelphia: Saunders

Elsevier; 2007.
6. http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html
7. Wahab Samik A. Praktek Praktek Imunisasi. Dalam : Bart JK, Penyunting.
8.

Nelson Ilmu kesehatan Anak. 2005.


Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Ranuh
IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Penyunting. Ed. 2. IDAI :

Balai Penerbit: Jakarta. 2008.


9. Ranuh, IGN et al. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Ed. 4. IDAI. 2011.
10. Depkes RI. Pedoman Tata Laksana Medik KIPI bagi Petugas Kesehatan. Jakarta:
KNPP KIPI Depkes. 2005.
11. Stratton KR, Howe CJ, Johnston RB. Adverse events associated with childhood
vaccines. Evidence bearing on causality. Washington DC: National Academy
Press. 1994.
12. American Academy of Pediatrics. Recommended Immunization Schedules for
13.

Children and Adolescents United Statesdari : http://www.pediatrics.org. 2007.


Chen RT. Safety of vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer WA, penyunting.

Vaccines. ED. 3. Philadelphia, Tokyo: WB Saunders, 1999:1144-57.


14. Hadinegoro, Sri Rezeki S. Sari Pediatri, Vol 2: Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi.
2000.
15. Rahajoe, N.N et al. Tuberkulosis (Vaksin BCG) dalam Buku Imunisasi di
Indonesia. Edisi kedua. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
16.

2005.
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/penjelasan-kepada-orangtuamengenai-imunisasi.html. 2015

39

17.

Depkes RI. (2005c). Keputusan Menteri Kesehatan RI Pedoman Pemantauan dan


Penanggulangan KIPI. Jakarta: Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai