KELOMPOK DISKUSI 2
1. Jamalludin
2. Tata Rimba Parmanto
3. Nur'Azmi Ayuningtyas
4. Dina Fitri Wijayanti
5. Guntur Suseno
6. Dodi Novriadi
7. Adela Brilian
8. Irvinia Rahmadyah
9. Ridha Rahmatania
10. Alvina Elsa Bidari
11. Anis Komala
I11108071
I11110035
I11111009
I11112007
I11112012
I11112014
I11112020
I11112023
I11112027
I11112038
I11112041
BAB I
PENDAHULUAN
PEMICU 2
By. Laki-laki usia 10 bulan dibawa ibunya ke puskesmas karena demam tinggi
dan rewel mulai sore hari kemarin. Riwayat batuk, pilek, maupun muntah disangkal.
Sang ibu hanya mengeluhkan bayinya rewel sejak tadi malam. Dari keterangan sang
ibu, 1 hari yang lalu bayinya mendapatkan imunisasi campak di puskesmas tersebut.
A. Klarifikasi dan definisi
- Imunisasi
: Prosedur untuk meningkatkan derajat imunisasi.
- Demam
: Peningkatan suhu tubuh diatas 37,5oC per aksial.
B. Kata Kunci
1. Bayi 10 bulan
2. Imunisasi campak
3. Demam tinggi
C. Rumusan Masalah
Bayi 10 bulan mengalami demam tinggi setelah imunisasi campak 1 hari yang
lalu
D. Analisis Masalah
Anamnesis:
-Rewel
Bayi Nuni,
10 bulan
Demam
tinggi
-Imunisasi
Campak
-Batuk,
pilek,
muntah (-)
E. Hipotesis
KIPI
Penangan
an
F. Pertanyaan Diskusi
1. Imunisasi
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Cara Pemberian
d. Jadwal pemberian
e. Indikasi dan kontraindikasi
f. Jeni-jenis vaksin
g. Tingkat keberhasilan
2. Imunisasi apa saja yang menimbulkan demam ?
3. Apa perbedaan imunisasi pada anak, orang dewasa, dan ibu hamil ?
4. Jelaskan mengenai KIPI !
5. Apa saja reaksi yang dapat ditimbulkan setelah imunisasi ?
6. Mengapa imunisasi ada yang diberikan sekali dan berkali-kali ?
7. Bagaimana bila terlambat imunisasi?
8. Jelaskan mengenai demam
9. Bagaimana tatalaksana dan edukasi pada kasus ?
10. Infeksi yang sering terjadi pada anak dan pemeriksaan penunjangnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Imunisasi
1. Definisi
Imunisasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas,
memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respon memori terhadap
penderita
dengan
eksim
atau
10
11
terjadi interferensi dengan antibodi maternal yang masih ada, khusus pada
daerah endemic sebaiknya diberikan imunisasi campak yang monovalen
dahulu pada usia 4-6 bulan atau 9-11 bulan dan boster dapat dilakukan
MMR pada usia 15-18 bulan.
b. Efek Samping
Efek samping vaksin porotitis biasanya berupa pembengkakan kelenjar
liur yang timbul 10-14 hari setelah vaksin. Sedangkan untuk vaksin rubella,
efek sampingnya terinfeksi rubella ringan seperti demam ringan, nyeri
tenggorokan, pusing ruam, dan pembengkakan kelenjar.
7. Imunisasi Tiphus Abdominalis
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit tifus abdominalis, dalam persediaannya khususnya Indonesia
terdapat tiga jenis vaksin tifus abdominalis diantaranya kuman yang
dimatikan, kuman yang dilemahkan (vivotf, berna) dan antigen capsular Vi
polysacchgaride (typhim Vi, Pasteur meriux) pada vaksin kuman yang
dimatikan dapat diberikan untuk bayi 6-12 bulan adalah 0,1 ml, 1-2 tahun
0,2 ml, dan 2-12 tahun adalah 0,5 ml, pada imunisasi awal dapat diberikan
sebanyak dua kali dengan interval empat minggu kemudian penguat setelah
satu tahun kemudian.
Pada vaksin kuman yang dilemahkan dapat diberikan dalam bentuk
capsul ateric coated sebelum makan pada hari 1,2,5 pada anak diatas usia 6
tahun dan pada antigen capsular diberikan pada usia diatas dua tahun dan
dapat diulang tiap tiga tahun.
8. Imunisasi Varicella
a.
Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit varicella (cacar air). Vaksin varicella merupakan virus hidup
12
Imunisasi Hepatitis A
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit hepatitis A. pemberiaan imunisasi ini dapat diberikan pada usia
diatas dua tahun. Untuk imunisasi awal dengan menggunakan vaksin
havrix (isinya virus hepatitis A strain HM175 yang inactivated) dengan 2
suntikan dengan interval 4 minggu dan boster pada enam bulan kemudiaan
dan apabila menggunakan vaksin MSD dapat dilakukan tiga kali suntikan
pada usia 0, 6 dan 12 bulan.
10. Imunisasi HIB (Haemophilus Influenza Tipe B)
a. Indikasi
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit influenza tipe b. Vaksin ini adalah bentuk polisakarida murbi
(PRP; purified capsular polysacharide) kuman H. Influenzae tipe b ,
antigen dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein
lain seperti toksoid tetanus (PRP- OMPC). Pada pemberiaan imunisasi
awal dengan PRP-T dilakukan dengan tiga suntikan dengan interval dua
bulan kemudian vaksin PRP OMPC dilakukan dengan suntikan dengan
interval dua bulan kemudian bosternya dapat dilakukan pada usia 18
bulan.
b. Efek Samping
Efektivitas vaksi HIB sekitar 95 % dan relative aman meskipun
menimbulkan reaksi local berupa rasa nyeri dan kemerahan pada sekitar 515 % bayi.
13
4. Tingkat Keberhasilan
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun host,
faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas vaksin. 2
a. Status Imun Host
Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa
fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila
vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih
tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air
susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio
dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral.
Tetapi umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada
waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di subbagian AlergiImunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak
ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi
terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio secara oral diberikan
pada masa kadar sIgA polio ASI masih tinggi, hendaknya ASI jangan
diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi. 2
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan
antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada permukaannya, selain
deformabilitas membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar
komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, demikian pula
aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol
pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin lebih
ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang.
Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibanding pada
14
anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda sampai bayi berumur 2 bulan
atau lebih.2
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang
mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun kongenital,
atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti
pada penyakit keganasan, juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi,
bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin
hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi
pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau
tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi. 2
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas
humoral spesifitasnya rendah. Meskipun kadar globulin- normal atau bahkan
meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan
baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis
antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag
berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang. 2
b. Faktor genetik host
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas
genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder
baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan
respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain tinggi
sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor
genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada
kompleks MHC dan non MHC. 2
- Gen kompleks MHC
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc
akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I,
dan sel Th akan mengenali antigen yang berasosiasi dengan molekul
MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat
15
HLA-B27. 2
Gen non MHC
Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan
dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang
terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-laki.
Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan
perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit
yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran genetik
dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya bekum
diketahui. 2
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah
sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi
masih tetap mengandung antigenisitasnya. Beberapa faktor kualitas dan
kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara
pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan
jenis vaksin. 2
5.
Syarat Pemberian
Menurut Depkes RI (2005), dalam pemberian imunisasi ada syarat yang harus
diperhatikan, yaitu:5
a. Diberikan pada bayi atau anak yang sehat.
b. Vaksin yang diberikan harus baik, disimpan di lemari es dan belum lewat
c.
d.
e.
f.
masa berlakunya.
Pemberian imunisasi dengan teknik yang tepat.
Sesuai dengan jadwal imunisasi yang ada.
Memberikan dosis yang sesuai.
Memberikan informed consent kepada orang tua atau keluarga sebelum
melakukan imunisasi yang sebelumnya telah dijelaskan kepada orang
16
tuanya tentang manfaat dan efek samping atau Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah pemberian imunisasi.
6. Jadwal Pemberian 6
17
18
tempat-tempat infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada
di organ limfoid untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama.1
Sel B, jika terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibody. Antibodi akan
menetralkan antigen sehingga kemampuan menginfeksinya hilang. Proliferasi dan
diferensiasi sel B tidak hanya menjadi sel plasma, tetapi juga sebagian akan menjadi
sel B memori. Sel B memori akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan
antigen serupa, akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan
menghasilkan antibody yang lebih banyak.1
Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang
kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksinasi (artinya sudah pernah terpajan
oleh antigen) terinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi
system imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan
yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon imun pada pajanan
antigen yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B terlihat lebih banyak,
pembentukan antibody lebih cepat, dan bertahan lebih lama, titer antibody lebih
banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi. Dengan demikian, diharapkan
seseorang yang sudah pernah divaksinasi tidak akan mengalami penyakit akibat
pajanan antigen yang sama karena system imunya memiliki kemampuan yang lebih
dibanding mereka yang tidak divaksinasi. 1
19
20
menjadi hamil, seharusnya calon ibu memeriksakan diri untuk memastikan bahwa
dirinya tidak sedang terinfeksi dengan virus Hepatitis B. Karena untuk bayi yang
lahir ini akan terinfeksi juga dari ibu yang positif terinfeksi virus Hepatitis B, maka
begitu bayi dilahirkan, kita harus segera memberikannya vaksin Hepatitis B ditambah
dengan zat immunoglobulin anti Hepatitis B, untuk melawan infeksi virus Heppatitis
B dari ibunya.Hepatitis B (HBV) infeksi selama kehamilan dapat mengakibatkan
penyakit berat baik bagi ibu, janin, dan akhirnya untuk neonate. Imunisasi dianjurkan
universal di Amerika Serikat untuk semua orang di bawah usia 18 tahun dan mereka
lebih tua dari yang yang mengalami peningkatan risiko eksposur.
Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk imunisasi HBV dan vaksin
harus diberikan kepada orang-orang dengan risiko pekerjaan atau gaya hidup,
kelompok risiko khusus pasien (seperti yang menjalani hemodialisis), mereka yang
memiliki penyakit menular seksual lainnya, rumah tangga dan kontak seksual
pembawa HBV, penjara tahanan, dan untuk pelancong internasional untuk daerahdaerah endemik. Semua wanita hamil harus memiliki skrining prenatal dini untuk
kekebalan tubuh dan, jika rentan dan jika mereka memiliki faktor risiko, harus
diimunisasi.
Semua wanita hamil harus diskrining untuk infeksi hepatitis virus B aktif
karena kebanyakan perempuan yang terinfeksi tidak tahu dan, jika mereka memiliki
infeksi hepatitis B, bayi baru lahir harus menerima kelahiran dosis vaksin hepatitis B
dan hepatitis B globulin imun -memberikan baik di dalam jam lahir mengurangi
kemungkinan bahwa anak akan menjadi terinfeksi virus hepatitis B dan, jika
terinfeksi, mengurangi kemungkinan bahwa bayi akan terinfeksi secara kronis.
Influenza (Inaktif)
21
mengurangi infeksi saluran pernapasan demam pada wanita hamil. Imunisasi ibu
selama kehamilan juga melindungi bayi yang baru lahir karena dia melewati antibodi
kekebalan di plasenta (antibodi influenza sebenarnya lebih tinggi di dalam darah tali
pusat daripada di darah ibu). Bayi dengan account infeksi virus influenza untuk rawat
inap banyak dan cenderung untuk infeksi pernafasan bakteri. Kematian Anak Usia
berhubungan dengan infeksi virus influenza terjadi paling sering pada bayi kurang
dari usia 6 bulan. Sayangnya, selama 6 bulan pertama kehidupan, tidak ada vaksin
atau obat anti-virus influenza yang tersedia. Untuk alasan ini, perempuan hamil harus
menerima vaksin virus influenza dan mereka yang akan membantu untuk merawat
bayi baru lahir harus divaksinasi juga.
Studi tentang vaksinasi influenza lebih dari 2.000 wanita hamil telah
menunjukkan tidak ada efek samping untuk janin dari vaksin. Namun, vaksin
influenza hidung tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena merupakan
vaksin virus hidup.
Jenis imunisasi yang dipertimbangkan diberikan pada wanita hamil dengan
pajanan infeksi spesifik
Pneumokokus : diberikan pada triwulan kedua atau ketiga pada wanita dengan risiko
tinggi infeksi pneumokokus atau dengan penyakit kronik (wanita dengan gangguan
jantung, paru, atau penyakit hati; penurunan kekebalan tubuh; diabetes)
Agen
Tipe
Imunobiologi
Imunisasi
AgenIndikasi
Imunisasi
Kontra
Jadwal Dosis
indikasi
Keterangan
selama
Tetanus
Toksoid
Kehamilan
X
Diberikan
22
Toksoid
kali,
terakhir
Hepatitis A
Vaksin
Hepatitis B
inaktif
Hepatitis
ketika hamil
Dua dosis
Direkomendasikan
virus
pada
BX
imunoglobulin
pajanan
dengan
vaksin
virus
terpajan
membutuhkan profilaksis
Influenza
Vaksin
(inaktif)
inaktif
MMR(campak, Vaksin
gondong,
virusX
(musim
Dosis
influenza)
virus
hidup
rubella)
tunggal IM
Dosis
tunggal,
risiko
Subkutan
dilakukan
tinggi
melahirkan,
sebaiknya
setelah
imunisasi
sebelum kehamilan
Varisela (cacar Varisela-zoster
air)
imunoglobulin
Dosis
tunggal
IM
dalam 96 jam
setelah
pajanan
D. KIPI
1. Definisi
KIPI atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah semua kejadian
sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imuniasi dan
diduga karena imunisasi.Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI/adverse event
23
pelaksanaan
imunisasi
yang
meliputi
kesalahan
program
24
vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, serta tidak
memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dll).
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugasyang sama.
Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin
dengan batch yang sama tetapi tidak
Terdapat masalah, atau apabila sebagian populasi setempat dengan
karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tetapi justru menunjukkan masalah
tersebut.
c. Reaksi suntikan (Injection reaction)
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak, dan kemerahan pada tempat
suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut,
pusing, mual, sampai sinkope. Reaksi ini tidak berhubungan dengan
kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal
yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Syncope /fainting
Sering pada anak > 5 tahun
Terjadi beberapa menit post imunisasi
Tidak perlu penanganan khusus
Hindari stress saat anak menunggu
Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk.
Hiperventilasi akibat ketakutan
Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.
Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (penderita ini perlu
diperiksa)
10) Beberapa anak takut jarum, gemetar, histeria.
11) Penting penjelasan dan penenangan
d. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan
secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala
25
2. Reaksi Sistemik :
a. Panas pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi
lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.
b. MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus
vaksin. Terjadi panas dan atau rash dan konjungtivitis pada 5-15%
dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada
penderita imunodefisiensi.
c. Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,
rubela terjadi rasa sakit sendi 15 % dan pembengkaan limfonodi.
d. OPV kurang dari 1% diare, pusing dan sakit otot.
3. Reaksi vaksin berat :
a.
b.
c.
d.
Kejang
Trombositopenia
Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak
26
27
Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda
dengan laporan Comittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi
saat ini, yaitu:
1. Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated)
2. Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal
(unlikely)
3. Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
4. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)
5. Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)
3. Gejala
Manifestasi klinis KIPI digolongkan waktu terjadinya dan bagian tubuh
yang terganggu. Waktu terjadinya dapat timbul secara cepat maupun lambat
dan dapat dibagi menjadi gejala 27rach, sistemik, reaksi susunan saraf pusat,
serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat
gejalanya. Manifestasi klinis KIPI digolongkan waktu terjadinya dan bagian
tubuh yang terganggu.12
1. Lokal: Abses pada tempat suntikan,Limfadenitis,Reaksi 27rach lain yang
berat, misalnya selulitis, BCG-it is
2. SSP: Kelumpuhan akut, Ensefalopati,EnsefalitisMeningitis Kejang
3. lain-lain :Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema,Reaksi anafilaksis ,Syok
anafilaksis ,Artralgia, Demam tinggi >38,5C, Osteomielitis
Gejala klinis dan saatnya timbul: 12
1. Toksoid Tetanus (DPT, DT, TT) : gejala ,Syok anafilaksis ,Neuritis 27rachial
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat timbul : 4 jam 2-18
hari
2. Pertusis whole cell (DPwT) : gejala ,Syok anafilaksis Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat timbul :4 jam72 jam
3. Campak : gejala ,Syok anafilaksis EnsefalopatiKomplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian ,saat timbul :4 jam5-15 hari.
28
4. Polio hidup (OPV): gejala , Polio paralisis Polio paralisis pada resipien
imunokompromais Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian ,saat
timbul,30 hari6 bulan.
5. Hepatitis B : gejala ,Syok anafilaksis saat timbul, 4 jam
29
setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh orang tua (masyarakat) ataupun
petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan. Pelacakan perlu
dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan tersebut benar.
Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus,
data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana
sikap masyarakat saat menghadapi masalah tersebut. 14
Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain yang sama, terutama
yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin yang sama.
Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain yang
bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga menyebabkan KIPI harus
disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada umumnya (perhatikan cold
chain). 14
Kepala Puskesmas atau Pokja KIPI daerah dapat menganalisis data hasil
pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan dicoba untuk mencari penyebab KIPI
tersebut. Dengan adanya data kasus KIPI dokter Puskesmas dapat memberikan
pengobatan segera. Apabila kasus tergolong berat, penderita harus segera dirawat
untuk pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan pengobatan segera. Evaluasi akan
dilakukan oleh Pokja KIPI setelah menerima laporan. Pada kasus ringan tatalaksana
dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan Pokja KIPI hanya perlu diberikan laporan.
Untuk kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau kasus
meninggal, diperlukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Pokja KIPI segera
dilibatkan. Evaluasi akhir dan kesimpulan disampaikan kepada Kepala Puskesmas
untuk perbaikan program yang akan datang. 14
5.
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa
tidak akan terjadi penyakit. Pemberian vaksin sama dengan pemberian antigen pada
30
tubuh. Jika terpajan antigen, baik secara alamiah maupun melalui pemberian vaksin,
tubuh akan bereaksi untuk menghilangkan antigen tersebut melalui respon imun.
Secara umum, sistem imun dibagi menjadi 2, yaitu sistem imuni non-spesifik dan
sistem imun spesifik. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan pertama yang
harus dihadapi oleh agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun nonspesifik tidak berhasil menghasilkan antigen, barulah sistem imun spesifik
berperan.2,3
Sistem imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan adaptif yang
didapatkan selama kehidupan dan ditujukan khusus untuk satu jenis antigen. Sistem
imun spesifik diperankan oleh sel T dan sel B. Pertahanan oleh sel T dikenal sebagai
imunitas seluler sedangkan pertahanan oleh pertahanan sel B dikenal sebagai
imunitas humoral. Imunitas seluler berperan melawan antigen di dalam sel (intrasel),
sedangkan imunitas humoral berperan melawan antigen di luar sel (ekstrasel). Sistem
imun spesifik inilah yang berperan dalam pemberian vaksin untuk memberikan
kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme
memori dalam sistem imun spesifik.2,3,4
Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naif yaitu sel T yang belum
pernah terpajan oleh antigen. Jika terpajan antigen, sel T anif akan berdiferensiasi
menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan bermingrasi ke tempat-tempat
infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada di organ
limfoif untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama.Sel B, jika
terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibodi. Antibodi akan menetralkan
antigen dan memicu reaksi peradangan. Proliferasi dan diferensiasi sel B tidak hanya
menjadi sel plasma tetapo juga sebagiam akan menjadi sel B memori. Sel B memori
akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan pada antigen serupa, akan
terjadi proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan menghasilkan antibodi
yang lebih banyak.2
31
Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang
kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksin (artinya sudah pernah terpajan
oleh antigen) terrinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi
sistem imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan
antigen yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon imun pada
pajanan yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B yang terlibat lebih
banyak, pembentukan antibodi lebih cepat dan bertahan lebih lama, titer antibodi
lebih banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi. Dengan demikian,
diharapkan seseorang yang sudah pernah divaksin tidak akan mengalami penyakit
akibat pajanan antigen yang sama karena sistem imunnya memiliki kemampuan yang
lebih dibanding mereka yang tidak divaksin.1,3
6.
imunisasi inisial, injeksi booster diperlukan agar sistem imun kembali terpapar
dengan antigen yang diimunisasikan. Tujuannya untuk meningkatkan imunitas
terhadap antigen pada tingkat protektif setelah imunitas tersebut menunjukkan
penurunan atau setelah periode waktu tertentu. Contohnya, pemberian booster tetanus
direkomendasikan setiap 10 tahun. 15
Jika pasien menerima dosis booster, tetapi sudah memiliki kadar antibodi yang
tinggi, maka dapat timbul reaksi yang disebut reaksi Arthus, suatu bentuk
hipersensitivitas tipe III, diinduksi oleh fiksasi komplemen oleh antibodi sirkulasi
yang sudah dibentuk sebelumnya. Pada kasus yang berat, tingkat fiksasi komplemen
dapat menjadi sangat substansial sehingga dapat menginduksi nekrosis jaringan. 15
Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menyebabkan sel efektor
aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping
frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila
vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka
antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik tersebut sehingga tidak
32
sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan
reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat
pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.
Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan
sesuai dengan hasil uji coba. 9, 11, 15
7.
33
34
2.
Tatalaksana demam
Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis
35
36
BAB III
KESIMPULAN
37
Demam tinggi yang dialami bayi tersebut merupakan kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Campak
DAFTAR PUSTAKA
38
1.
Baratawidjaja, Karnen G dan Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar ed. 10.
2.
3.
4.
5.
Sense. 2009.
Powell, KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. 8th Edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007.
6. http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html
7. Wahab Samik A. Praktek Praktek Imunisasi. Dalam : Bart JK, Penyunting.
8.
2005.
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/penjelasan-kepada-orangtuamengenai-imunisasi.html. 2015
39
17.