KELOMPOK DISKUSI 2
I11112004
I11112014
I11112019
I11112021
I11112031
I11112043
I11112066
I11112067
I11112074
I11108071
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Keluhan Utama:
Demam tinggi Hilang
timbul (2 minggu)
-Perubahan kepribadian
-Berbicara kacau
-Halusinasi
-Paranoid
-Disorientasi wajah
-Gelisah (Agitasi)
Tn. D 35 tahun
Pem. Umum:
-BP: 140/90 mmHg
-HR: 110x/menit
-Suhu: 39,5oC
Faktor Predisposisi:
-Asal Timika
-Pegawai tambang tembaga
1
DD :
- Malaria Serebral
- Skizofrenia
- Ensefalitis
Gangguan Mental Organik:
-Delirium
-Demensia
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Diagnosis
Tata laksana
1.6 Hipotesis
Tn. D 35 tahun mengalami gangguan mental organik berupa delirium et causa malaria
serebral.
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Gangguan mental organik
a.
b.
c.
d.
e.
Definisi
Klasifikasi
Gejala klinis
Etiologi
Epidemiologi
f.
g.
h.
i.
Patofisiologi
Diagnosis
Tata laksana
Prognosis
2. Malaria Serebral
a. Definisi
e. Manifestasi klinis
b. Epidemiologi
f. Diagnosis
c. Etiologi
g. Tatalaksana
d. Patofisiologi
h. Prognosis
3. Bagaimana proses terjadinya gelisah?
4. Apa saja kelainan organik yang menyebabkan gelisah?
5. Bagaimana tata laksana gelisah ?
6. Obat untuk mengatasi gelisah?
7. Siklus hidup plasmodium falciparum?
8. Penjelasan tentang skizofrenia dan ensefalitis?
9. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang dari kasus?
10. Bagaimana hubungan pekerjaan dan tempat tinggal dengan keluhan pasien?
2
18. BAB II
19. PEMBAHASAN
2.1 Gangguan mental organik
a. Definisi
20.
Gangguan mental organik merupakan gangguan mental yang berkaitan
dengan penyakit/gangguan sistemik atau otak yang dapat di diagnosis tersendiri.
Termasuk, gangguan mental simtomatik, dimana pengaruh terhadap otak merupakan
akibat sekunder dari penyakit/gangguan sistemik di luar otak (extracerebral).1
1. Delirium
21.
24. Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut1:
25. l. Demensia pada penyakit Alzheimer
26.
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini.
27.
1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
28.
1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran.
29.
1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
30. 2. Demensia Vaskular
31.
2.1.Demensia Vaskular onset akut.
32.
2.2. Demensia multi-infark
33.
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
34.
2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
35.
2.5. Demensia Vaskular lainnya
36.
2.6. Demensia Vaskular YTT
37. 3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
38.
3.1. Demensia pada penyakit Pick.
39.
3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt Jakob.
40.
3. 3. Demensia pada penyakit huntington.
41.
3.4. Demensia pada penyakit Parkinson.
42.
3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
43.
3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
44. 4. Demensia YTT.
45.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4
sebagai berikut1:
46. 1. Tanpa gejala tambahan.
47. 2. Gejala lain, terutama waham.
48. 3. Gejala lain, terutama halusinasi
49. 4. Gejala lain, terutama depresi
50. 5. Gejala campuran lain.
51. 5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
52. 6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya
53.
6.1. Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
54.
6.2. Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
55.
6. 3. Delirium lainya.
56.
6.4 DeliriumYTT.
57. 7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit
fisik.
58.
59.
60.
61.
67.
68.
69.
70.
97.
98.
99.
100.
101.
102.
103.
104.
105.
c. Gejala klinis
1. Delirium
106. Gejala utama dari delirum adalah gangguan kesadaran, yang dalam DSMIV digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan,
dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau
mengalihkan perhatian. Pada beberapa pebelitian juga menyatakan bahwa gejala
utama lainnya yang tampak pada pasien delirium adalah ketidakmampuan dalam
mempertahankan perhatian. Keadaan delirium juga biasanya diawali dengan
perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi
menakutkan di malam hari, dan kegelisahan.2
1. Kesadaran (Arousal)
107.
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien
dengan delirium. Pertama, ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan
dengan peningkatan kesiagaan. Kedua, ditandai dengan penurunan kesiagaan.
Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali
mempunyai delirium hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda
otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil
berdilatasi, mual, muntah, dan hipertermua. Pasien dengan gejala hipoaktif
kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang depresi, katatonik, atau
mengalami demensia. Pola campuran juga ditemukan dalam klinis.2
2. Orientasi
108.
Orientasi terhadap waktu, tempat, dan orang harus diuji pada
seorang pasien dengan delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang,
bahakan pada kasus delirium yang ringan, orientasi terhadap tempat dan
kemampuan untuk mengenali orang lain mungkin juga terganggu pada kasus
gambaran
yang
paling
gangguan tidur. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia lebih sering pada
demensia vaskular.2
126. Reaksi yang katastropik
127.
Ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang
defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan, pasien biasanya
berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi
untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti
mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan
cara lain.2
128. Sindroma Sundowner
129.
Ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara
tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami
sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang
bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif.2
130.
3. Gangguan Amnestik
131. Pusat gejala dan gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya
ingat yang ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi
baru (amnesia anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan
yang sebelumnya diingat (amnesia retrograd). Periode waktu dimana pasien terjadi
amnesia kemungkinan dimulai langsung pada saat trauma atau beberapa saat
sebelum trauma. Ingatan tentang waktu saat gangguan fisik mungkin juga hilang.
Daya ingat jangka pendek (short-term memory) dan daya ingat baru saja (recent
memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka jauh (remote post memory) untuk
informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti pengalaman
maka anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang kurang lama
(lewat dart 10 tahun) adalah terganggu.4
132.
133.
134.
d. Etiologi
1. Delirium
135. Penyebab utama dari delirium adalah penyakit sistem saraf pusat, penyakit
sistemik, dan intoksikasi maupun putus dari agen farmakologis atau toksik.
7
Neurotransmitter utama yang diduga berperan pada delirium adalah asetilkolin, dan
daerah neuroanatomis utama adalah formasi retikularis, dimana merupakan daerah
utama yang mengatur perhatian dan kesadaran. Jalur utama pada formasi retikularis
yang berperan dalam delirium adalah tegmental dorsalis, yang keluar dari formasi
retikularis mesensefalik ke tektum dan thalamus. Beberapa jenis penelitian telah
melaporkan bahwa berbagai faktor yang menginduksi delirium menyebabkan
penurunan aktivitas asetilkolin di otak. Di samping itu, penyebab delirium yang
paling sering adalah toksisitas dari banyak sekali medikasi yang diresepkan yang
mempunyai aktivitas antikolinergik, contoh obat antikolinergik adalah, amitriptylin
(Elavil), doxepin (sinequan), nortriptilin (Aventyl), imipramine (tofranil),
thioridazine (mellaril), dan chlorpromazine (thorazine).2
136. Mekanisme patofisiologi lain telah diajukan untuk delirium. Khususnya,
delirium yang berhubungan dengan putus alkohol telah dihubungakan dengan
hiperaktivitas lokus sereleus dan neuron nonadrenergiknya. Neurotransmitter lain
yang berperan adalah serotonin dan glutamat.2
137. Pasien dengan konsentrasi lithium serum lebih besar dari 1,5 mEq/L
berada dalam resiko delirium. Onset delirium pada pasien tersebut mungkin
ditandai oleh letargi umum, kegagapan, dan fasikulasi otot yang berkembang
selama perjalanan beberapa hari sampai minggu.2
138.
2. Demensia
139.
Penyebab-penyebab terjadinya demensia antara lain adalah2:
1. Penyakit Alzheimer
2. Demensia Vaskular
3. Infeksi
4. Gangguan nutrisional
5. Gangguan metabolik
6. Gangguan peradangan kronis
7. Obat dan toksin (termasuk demensia alkoholik kronis)
8. Massa intrakranial : tumor, massa subdural, abses otak
9. Anoksia
10. Trauma (cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome))
11. Hidrosefalus tekanan normal
140.
3. Gangguan Amnestik
141.
Penyebab-penyebab terjadinya gangguan amnestik antara lain adalah2:
Mekanisme
delirium
belum
sepenuhnya
dimengerti.
11
Mini-Mental
State
Examination
(MMSE),
Mental
Status
188.
2. Demensia
189.
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Tipe Alzheimer7:
190. a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik
191. 1. Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari
informasi baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari
sebelumnya).7
192. 2. Satu (atau lebih) gangguan kogntif berikut7:
193.
a. Afasia (gangguan bahasa)
194.
b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
motorik walaupun fungsi motorik adalah utuh)
195.
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentitikasi
benda walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
196.
d. Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan,
197.
gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan
suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya.7
198. c. Defisit tidak terjadi semata-mata hanya selama perjalanan suatu
delirium dan menetap
zat.7
199.
2. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun diatas yang menonjol pada
gambaran klinis sekarang.7
203. Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku.
204. Catatan penulisan juga tuliskan penyakit Alzheimer pada aksis III.7
205.
206.
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Vaskular7:
207. a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh
baik,
1. Gangguan daya ingat (ganguan kemampuan untuk mempelajari informasi
baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2. Afasia (gangguan bahasa)
3. Apraksia (gangguan untuk mengenali atau melakukan aktivitas motorik
ataupun fungsi motorik adalah utuh)
4. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
5. Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan, dan abstrak)
6. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut.
208. b. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan
gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan
suatu penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.7
209. c. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peninggian refleks tendon
dalam, respon ekstensor plantar, palsi pseudo bulbar, kelainan gaya berjalan,
kelemahan pada satu ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium adalah indikatif
untuk penyakit serebrovaskular (misalnya, infark multipel yang mengenai korteks
dan substansia putih di bawahnya) yang berhubungan secara etiologi dengan
gangguan.7
210. d. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium.7
211. Kode didasarkan pada ciri yang menonjol7
1. Dengan delirium :jika delirium menumpang pada demensia
2. Dengan waham jika waham merupakan ciri yang menonjol
3. Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi
(termasuk gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk
episode depresif berat) adalah ciri yang menonjol. Suatu diagnosis
terpisah gangguan suasana perasaan karena kondisi medis umum tidak
diberikan.
15
4. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun di alas yang menonjol pada
gambaran klinis sekarang.
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku
Catalan penulisan : juga tuliskan kondisi serebrovaskular pada Aksis III.7
212.
213.
214.
215.
Pemeriksaan lengkap3
1. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neorologis lengkap
2. Tanda vital
3. Mini mental state exemenation ( MMSE )
4. Pemeriksaan medikasi dan kadar obat
5. Skrining darah dan urin untuk alkohol
6. Pemeriksaan fisiologis
1. Elektrolit, glukosa, Ca , Mg.
2. Tes fungsi hati, ginjal
3. SMA -12 atau kimia serum yang ekuivalen
4. Urinalisa
5. Hit sel darah lengkap dan sel deferensial
6. Tes fungsi tiroid
7. FTA ABS
8. B12
9. Kadar folat
10. Kortikosteroid urine
11. Laju endap eritrosit
12. Antibodi antinuklear, C3C4, anti DSDNA
13. Gas darah Arterial
14. Skrining H I V
15. Porpobilinogen Urin.
216. 7. Sinar-X dada
217. 8. Elektrokardiogram (EKG)
218. 9. Pemeriksaan neurologis
219.
a. CT atau MRI kepala
220.
b. SPECT
221.
c. Pungsi lumbal
222.
d. EEG
223. 10. Tes neuropsikologis
224.
3. Gangguan Amnestik
225.
Umum.2
1. Perkembangan gangguan daya ingat seperti yang dimanifestasikan oleh
gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau ketidak
mampuan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
16
delirium.
Dosis yang kecil dari benzodiazepin atau obat hypnotic lain sangat berguna
untuk membut pasien tidur saat malam. Benzodiazepin harus dihindari saat
dosis inisial yng cukup untuk mengobati situasi akut, dosis obat oral secara
reguler dapat diberikan secara adekuat agar pasien tidak mengantuk
berlebihan. Haloperidal dapat diberikan dimana dosis harian 10-60mg. Jika
perlu dosis pertama antara 2-5mg dapat diberikan intramuskular.2,5,6
232.
233.
234.
235.
Pengobatan Farmakologis Delirium
236. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis
adalah Haloperidol. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang
tersedia sebagai suatu formula intravena alternative , walaupun monitoring
elektrokardiogram adalah sangat penting pada pengobatan ini. Golongan
phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium karena obat tersebut disertai
dengan aktifitas antikolinergik yang bermakna.Insomnia paling baik diobati dengan
golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine
(Vistaril), 25 sampai 100mg.2,5,6
1. Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan
identifikasi medikasi yang mempengaruhi derajat kesadaran.
2. Olanzapine (Zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek
ekstrapiramidal yang ringan, efektif untuk pengobatan delirium yang disertai
agitasi. Dosisnya dimulai dengan 2,5mg, dan meningkat sampai 20 mg po jika
dibutuhkan. Olanzepine dapat menurunkan ambang kejang, namun sisanya
dapat ditoleransi dengan cukup baik.
3. Risperidone (risperidal), juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik,
dimulai dengan 0,5 mg dua kali sehari atau 1mg sebelum waktu tidur,
meningkat sampai 3 mg 2 kali sehari jika dibutuhkan.
4. Haloperidol (haldol), dpat digunakan dengan dosis yang rendah (0.5 mg
sampai dengan 2 mg 2 kali sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek
samping ekstra pyramidal dapat terjadi, dapat ditambahkan sedative, misalnya
lorazepam diawali 0,5 mg sampai 1 mg setiap 3 sampai 8 jam jika
dibutuhkan.2,5,6
237.
2. Demensia
18
238.
Pendekatan
pengobatan
umum
adalah
untuk
memberikan
perawatan medis suportit, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan
pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik (perilaku yang mengganggu).
Pengobatan farmakologis dengan obat yang mempunyai aktivitas antikolinergik
yang tinggi harus dihindari. Walaupun thioridazine (Mellaril), yang mempunyai
aktivitas antikolinergik yang tinggi, merupakan obat yang efektif dalam
mengontrol perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis kecil.
Benzodiazepim kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi anxiolitik dan
sedatif yang lebih disukai untuk pasien demensia. Zolpidem (Ambient) dapat
digunakan untuk tujuan sedatif. TetrahidroaminoKridin (Tacrine) sebagai suatu
pengobatan untuk penyakit Alzheimer, obat ini merupakan inhibitor aktivitas
antikolinesterase dengan lama kerja yang agak panjang.2
239.
3. Gangguan Amnestik
240.
Delirium
2.
244.
Demensia
Perjalanan klasik dan demensia adalah onset pada pasien usia 50 60
Gangguan Amnestik
246. Onset mungkin tiba-tiba atau bertahap; gejala dapat sementara atau
menetap dan hasil akhir dapat terentang dari tanpa perbaikan sampai pemulihan
lengkap.2
247.
2.2 Malaria Serebral
a. Definisi
248.
falciparum yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang yang
terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak secepatnya
mendapatkan perawatan yang tepat. Pada malaria falciparum, 10% kasus akan
mengalami komplikasi malaria serebral, dan jumlah ini memenuhi 80% kematian pada
malaria. Malaria serebral merupakan penyebab utama ensefalopati non-traumatik di
dunia, sehingga merupakan penyakit parasitik terpenting pada manusia.8
249.
b. Epidemiologi
250.
sering dijumpai pula didaerah endemik seperti di Jepara ( Jawa Tengah), Sulawesi
Utara, Maluku, dan Irian Jaya.9
251.
Pada daerah endemik Afrika, malaria serebral terutama banyak pada anak
umur 6 bulan sampai 5 tahun. Hampir 10% anak yang sembuh dari malaria serebral
menderita sekuele neurologi yang penting. Sekuele ini adalah hemiparesis pada lebih
dari 50%, kebutaan kortikal dan gejala lain yang difus. Namun, penyembuhan
sempurna terjadi dalam kira-kira 6 bulan pada separuh anak yang pulang dengan
masalah neurologi pasca malaria serebral. Di daerah endemis, anemia berat sering
20
menjadi komplikasi malaria berat pada anak, dengan kematian yang sering disebabkan
oleh anemia (yaitu kegagalan curah jantung tinggi).10
252.
Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin lebih berkaitan
dengan perbedaan derajat kekebalan tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perempuan mempunyai respon imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki,
namun kehamilan dapat meningkatkan resiko malaria. Ada beberapa faktor yang turut
mempengaruhi seseorang terinfeksi malaria adalah11:
1. Ras atau suku bangsa
253. Pada penduduk benua Afrika prevalensi Hemoglobin S (HbS) cukup tinggi
sehingga lebih tahan terhadap infeksi P. falciparum karena HbS dapat
menghambat perkembangbiakan P. falciparum.11
2. Kekurangan enzim tertentu
254. Kekurangan terhadap enzim Glukosa 6 Phosphat Dehidrogenase (G6PD)
memberikan perlindungan terhadap infeksi P. falciparum yang berat. Defisiensi
terhadap enzim ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada
wanita.11
3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu mengancurkan Plasmodium
yang masuk atau mampu menghalangi perkembangannya.11
255.
c. Etiologi
256.
di otak karena menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa sel darah. selain
itu, beberapa faktor yang juga mempengaruhi manifestasi neurologi pada malaria,
antara lain8,9:
Demam derajat tinggi, akan mengganggu kesadaran, kejang demam (pada anak),
dan psikosis. Manifestasi tersebut akan menurun bila derajat panas diturunkan.
Apabila kesadaran tidak mengalami gangguan setelah serangan kejang atau
21
257.
d. Patofisiologi
258.
masih belum diketahui secara pasti. Meskipun dasar kelainan adalah adanya sumbatan
mikrosirkulasi serebral yang disebabkan parasit, namun mekanisme pastinya masih
merupakan hipotesis.9
259.
Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopeles betina menggigit
manusia, akan masuk kedalam sel hati dan terjadi skizogoni ektsra eritrosit. Skizon hati
yang matang akan pecah dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan
terjadi skizogoni intra eritrosit, menyebabkan eritrosit mengalami perubahan seperti
pembentukan knob, sitoadherens, sekuestrasi dan rosseting.9
260.
261.
Gambar 1. Lingkaran Hidup Plasmodium falciparum9
262. Eritrosit Parasit (EP)
263.
EP memulai proses patologik infeksi malaria falsiparum dengan
kemampuan adhesi dengan sel lain yaitu endotel vaskular, eritrosit dan menyebabkan
sel ini sulit melewati kapiler dan filtrasi limpa. Hal ini berpengaruh terjadinya
sitoadherens dan sekuestrasi.9
264. Sitoadherens
265.
Sitoadherens adalah melekatnya EP matang di permukaan endotel
vaskular. Sitoaherens merupakan proses spesifik yang hanya terjadi di kapiler dan
venula post kapiler. Penumpukan EP di mikrovaskular menyebabkan gangguan aliran
mikrovaskular sehingga terjadi anoksia/hipoksia jaringan.9
266. Sekuestrasi
267.
Sitoadherens menyebabkan EP bersekuestrasi dalam mikrovaskular organ
vital. Parasit yang bersekuestrasi menumpuk di otak, paru, usus, jantung, limpa, hepar,
otot dan ginjal. Sekuestrasi menyebabkan ketidak sesuaian antara parasitemia di perifer
dan jumlan total parasit dalam tubuh.9
268. Rosetting
22
269.
oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga.
Rosetting berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular. Meskipun demikian
peranan rosetting dalam patogenesis malaria berat masih belum jelas.9
270. Sitokin
271.
Kadar TNF-alfa di daerah perifer meningkat secara nyata pada penderita
malaria terutama malaria berat. Kadar IFN-gamma, IL-1, IL-6, LT dan IL-3 juga
meningkat pada malaria berat. Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan menghasilkan
efek patologi Meskipun demikian peranan sitokin dalam patogenesis malaria berat
masih dalam perdebatan.9
272.
Eritrosit yang terinfeksi P. vivax tidak berikatan dengan endotel, sehingga
merupakan satu alasan mengapa malaria vivax tidak bisa menyebabkan malaria serebral
walaupun kadar TNF- dalam plasma sangat tinggi. Meskipun demikian, peran TNF-
dalam patogenesis penyakit malaria lebih bersifat fisiologis dibanding patologis. Jika
dicapai kadar optimal dari TNF- akan memberikan proteksi, tetapi jika kadarnya
terlalu tinggi akan menimbulkan reaksi patologis.9
e. Manifestasi klinis
273.
Gejala malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang tidak bisa
dibangunkan, bila dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) ialah di bawah 7 atau
equal dengan keadaan klinis soporous. Sebagian penderita terjadi gangguan kesadaran
yang lebih ringan seperti apatis, somnolen, delirium, dan perubahan tingkah laku
(penderita tidak mau bicara). Dalam praktek keadaan ini harus ditangani sebagai
malaria serebral setelah penyebab lain dapat disingkirkan.
Penurunan kesadaran
menetap unuk waktu lebih dari 30 menit, tidak sementara panas atau hipoglikemi
membantu meyakinkan keadaan malaria serebral. Kejang, kaku kuduk dan hemiparese
dapat terjadi walaupun cukup jarang. Pada pemeriksaan neirologi reaksi mata divergen,
pupil ukuran normal dan reaktif, funduskopi normal atau dapat terjai pendarahan.
Papiledema jarang reflek kornea normal pada orang dewasa, sedangkan pada anal
reflek dapat hilang. Reflek abdomen dan kremaster normal, sedang babinsky abnormal
pad 50% penderita. Pada keadaan berat penderita dapat mengalami dekortikasi (lengan
fleksi dan tungkai ekstensi), decerebrasi (lengan dan tungkai ekstensi), opitotonus,
23
deviasi mata keatas dan lateral. Keadaan ini sering disrtai dengan hiperventilasi. Lama
koma pada orang dewasa dapat 2-3 hari, sedang pada anak satu hari.9
274.
275.
Gambar 2. Manifestasi Malaria Berat pada Anak dan Dewasa9
276.
Biasanya gejala-gejala neurologi timbul pada minggu kedua atau ketiga
infeksi, tapi gejala-gejala tersebut bisa menjadi tanda-tanda manifestasi. Anak-anak di
daerah endemik satu dari banyak kemunginan terjangkit malaria serebral. Di antara
orang dewasa, hanya ibu hamil, dan individual dengam imunitas rendah yang tidak di
ikuti dengan medikasi prophylactic yang dapat menimbulkan penyakit pada CNS.
Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk menemukan anemia dan parasit
pada sel darah merah. Tekanan CSF bisa naik dan terkadang berisi beberapa sel darah
putih dan kandungan glukosa.12
277.
278.
Faktor ptedisposisi terjadinya malaria berat antara lain9:
1. Anak-anak usia balita
2. Wanita hamil
3. Penderita dengan daya tahan tubuh rendah
4. Orang yang belum pernah tinggaldi daerah malaria
279.
f. Diagnosis
280.
lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang berupa test
mikroskopis darah berdasarkan tebal dan tipisnya darah menggunakan Giemsa atau
Wright, dengan tes immunochromatographic yang cepat, atau dengan PCR. Tes
serologis tidak digunakan, sebagai antibodi hanya bisa dideteksi hari ke 8-10 setelah
onset, dan hasilnya tisak bisa dibedakan apakah ini infeksi lama atau baru. Kematian
merupakan kemunkgkinan terbesar jika diagnosis dan terapi terlambat.8
281. 1. Anamnesis
282. Pada anamnesis sangat penting diperhatikan8:
Keluhan utama: Demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,
malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria.
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
24
Demam (T 37,5C).
Konjunctiva atau telapak tangan pucat.
Pembesaran limpa (splenomegali).
Pembesaran hati (hepatomegali).
Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut8:
Temperatur rektal 40C.
Nadi cepat dan lemah/kecil.
Tekanan darah sistolik <70mmHg.
Frekuensi nafas > 35 kali per manit pada orang dewasa atau >40 kali per
menit pada balita, anak dibawah 1 tahun >50 kali per menit.
Penurunan derajat kesadaran dengan GCS <11.
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
Tanda dehidrasi: mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir
pucat.
Terlihat mata kuning atau ikterik.
Adanya ronkhi pada kedua paru.
Pembesaran limpa dan atau hepar.
Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria.
Gejala neurologik: kaku kuduk, reflek patologis.
Manifestasi neurologis (1 atau beberapa manifestasi) berikut ini dapat ditemukan8:
285. 1. Ensefalopati difus simetris
286. 2. Kejang umum atau fokal
287. 3. Tonus otot dapat meningkat atau turun
288. 4. Refleks tendon bervariasi
289. 5. Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi
290. 6. Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah)
291. 7. Mulut mencebil (pouting) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut
dipukul
292. 8. Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity
293. 9. Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada
294. 10. Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan
konvergensi spasme sering terjadi. Perdarahan sub konjunctive dan retina
serta papil udem kadang terlihat
25
295. 11. Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank (Frank sign)
meningitis, Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu adanya
meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP)
296. 12. Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < 10 lekosit/ml, protein sering
naik ringan
297.
298.
hanya terdapat 3 gejala terpenting, baik pada anak dan dewasa, yaitu8:
299.
1. Gangguan kesadaran dengan demam non-spesifik
300.
2. Kejang umum dan sekuel neurologik
301.
3. Koma menetap selama 24 72 jam, mula-mula dapat dibangunkan,
kemudian tak dapat dibangukan.
Kriteria diagnosis lainnnya, yaitu menurut Lubis dkk (2005) dalam dexamedia
2005, yaitu harus memenuhi lima kriteria berikut8:
302.
303.
304.
305.
26
318.
Indicator
Hematologi
Nilai
331.
Leukositosis
> 12.000/l
332.
Anemia ringan
PCV <15%
333.
Koagulopati
Trombosit <50.000/l
334.
335.
336.
337.
Blood Film
338.
339.
340.
341.
342.
Biokimia
343.
Hipoglikemia
344.
Hiperlaktatemia
345.
Asidosis
346.
Serum kreatinin
<2,2 mmol/l
>5 mmol/l
pH Arteri <7,3, serum HCO3 < 15 mmol/l
> 265 mol/l*
27
347.
Total bilirubin
> 50 mol/l
348.
Enzim liver
349.
Enzim Otot
350.
Asam urat
351.
5-Nucleotidase
352.
CPK
353.
Myoglobin
354.
menyembuhkan jika gejala-gejala cerebral tidak berat , tapi jika koma dan gejala-gejala
serebral yang timbul berat, 20-30% dari pasien tidak bisa bertahan.14
357.
360.
H1
364.
1
4 th
369.
368.
Je
nis obat
*A
rtesunate
375.
**
Amodiaq
370.
376.
382.
388.
uine
381.
Pr
386.
imaquin
387.
*A
H2
rtesunate
kelompok umur
366.
365.
10 14
5 9 th
th
371.
372.
2
377.
2
367.
> 15 th
373.
3
378.
4
379.
383.
384.
385.
1
389.
2
390.
23
391.
4
28
393.
**
Amodiaq
uine
399.
*A
398.
H3
rtesunate
405.
**
Amodiaq
uine
1.
2.
3.
4.
394.
400.
406.
395.
396.
2
401.
3
402.
2
407.
397.
4
403.
3
408.
4
409.
4
pengobatan tepat prognosis sangat baik. Pada koma dalam, tanda-tanda herniasi, kejang
berulang, hipoglikemia berulang dan hiperparasitemia resiko kematian tinggi. Juga
prognosis tergantung dari jumlah dan berat kegagalan fungsi organ.9 Untuk prognosis
malaria berat menurut DEPKES RI adalah sebagai berikut15:
1.
Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis serta
2.
pengobatan.
Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada
anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan meningkat sampai 50%.
29
3.
Prognosis malaria berat dengan gangguan satu fungsi organ lebih baik daripada
gangguan 2 atau lebih fungsi organ.
412.
2.3 Proses Terjadinya Gelisah
413. Beberapa literatur menyebutkan tentang mekanisme biologis yang mendasari
agitasi sebagai sindrom terpisah dan spesifik. Gangguan pada neurotransmiter tertentu
terlibat dalam patofisiologi agitasi.16
414.
415.
416.
417.
418.
419.
420.
421.
422.
423.
diikuti
oleh
gangguan
fungsi
pada
serotonergik,
GABA-ergik
dan
dengan
aktivitas
dopaminergik.Antagonis
5-HT2A
2A
(5-HT2A)
meningkatkan
neurotransmitter dopamine.16
427.
2.4 Kelainan-Kelainan Organik yang Menyebabkan Gelisah
428.
Delirium
429. Delirium adalah perubahan akut pada status mental, atau fluktuasi mood, yang
dihubungkan dengan pemikiran yang tidak terorganisasi, bingung, dan perubahan level dari
kesadaran. Fenomena ini sering dihubungkan dengan kebingungan akut dan gejala yang
banyak ditemui di ICU berupa kondisi akut. Terjadi perubahan kognitif yang bervariasi dari
hari kehari dan mencapai puncaknya pada saat malam hari. Symptom ini biasanya bersifat
reversible yang berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu meskipun pada beberapa
pasien dapat terjadi kegagalan otak permanen. Ilusi dan halusinasi juga terjadi pada pasien.
Florid delirium dengan agitasi yang parah pada pasien delirium aktif sangat mudah
diidentifikasi. Akan tetapi, delirium dapat menampakkan gejala diam dan tenang (delirium
hipoaktif). Keduannya hampir sama frekuensi ditemukannya pada ICU.17,18
430.
431.
Dementia (seperti Alzheimer's disease)
432. Penyakit ini biasanya mengenai umur 60 tahun. Alzheimer merupakan salah satu
kondisi demensia yang cepat memburuk secara gradual. Penyebabnya adanya gangguan
pada memori, berpikir, dan tingkah laku. Kehilangan memori seperti masalah lupa pada
31
mempercepat perbaikan.3
Pendekatan Umum Pasien dengan Gaduh3
Selalu dalam keadaan rendah hati dan tenang
Usahakan tidak menentang pasien
Sampaikan pada pasien tentang siapa dan apa tugas kita sebagai dokter
Bicara dengan jelas, dan hindari kontak mata yang lama
Selalu menjaga jarak
Bersikap empati
Hati-hati karena wawancara yang dilakukan dapat memicu perilaku kekerasan
32
pasien
menghindari
proses-proses
penatalaksanaan
jangka
panjang.
dopamine receptor antagonist dan antipsikotik golongan kedua yang sering disebut juga
second-generation antipsychotics (SGA) atau serotonin-dopamine antagonist (SDA).20
443. Istilah FGA dan SGA berdasarkan pada teori bahwa efek antipsikotik dari obat
antagonis reseptor dopamin dihasilkan dari blokade reseptor dopamin tipe 2 (D2)
sedangkan pada SGA berbeda, terkait rasio blokadenya sebagai antagonis D2 dan 5hydroxytryptamine type 2A (5-HT2A). Antagonis reseptor dopamin selanjutnya lagi dapat
dibagi dengan yang berpotensi rendah, sedang dan tinggi terhadap reseptor D2. Obat yang
mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor D2 mempunyai tendensi
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal yang lebih besar pula. Sedangkan obat yang
potensi rendah akan menimbulkan efek samping ekstrapiramidal yang lebih kecil tetapi
lebih sering pula menyebabkan hipotensi postural, sedasi dan efek antikolinergik.20
444. Meskipun semua antipsikotik tersedia dalam formulasi oral, hanya beberapa saja
yang tersedia dalam bentuk injeksi. Klinisi sebaiknya memilih pemberian obat secara
injeksi apabila pasien tersebut agitasi yang akan lebih menguntungkan jika obat mencapai
kadar plasma dengan lebih cepat. Sebagai contoh, kebanyakan antipsikotik intramuskular
mencapai kadar maksimum plasma dalam 30 sampai 60 menit. Pasien biasanya tenang
dalam waktu 15 menit.20
445.
33
1. Haloperidol
446.
Olanzapin
adalah
sebuah
antipsikotik
atipikal
kelompok
kelas
35
eritrosit dan mungkin dapat disangka P. malariae. Sitoplasmanya dapat mengandung satu
atau dua butir pigmen. Stadium perkembangan daur aseksual berikut pada umumnya tidak
berlangsung dalam darah tepi, kecuali pada kasus berat (pernisiosa). Adanya skizon muda
dan skizon matang P. falciparum dalam sediaan darah tepi berarti keadaan infeksi berat,
sehingga merupakan indikasi untuk tindakan pengobatan cepat. Stadium skizon muda P.
falciparum dapat dikenal dengan mudah oleh adanya satu atau dua butir pigmen yang
menggumpal. Pada spesies parasit lain terdapat 20 atau lebih butir pigmen pada stadium
skizon yang lebih tua.30
457. Bentuk cincin dan trofozoit tua menghilang dari darah tepi setelah 24 jam dan
tertahan di kapiler alat dalam, seperti otak, jantung, plasenta, usus, atau sum-sum tulang,
ditempat ini parasit berkembang lebih lanjut. Dalam waktu 24 jam parasit didalam kapiler
berkembang biak secara skizogoni. Bila skizon sudah matang, akan mengisi kira-kira dua
pertiga eritrosit dan membentuk 8-24 buah merozoit, dengan jumlah rata-rata 16 buah
merozoit. Skizon matang P. falciparum lebih kecil daripada skizon matang parasit malaria
yang lain. Derajat infeksi pada jenis malaria ini lebih tinggi daripada spesies lainnya,
kadang-kadang melebihi 500.000/mikroliter darah. Dalam badan manusia parasit tidak
tersebar rata di kapiler alat dalam sehingga gejala klinis malaria falciparum dapat berbedabeda. Sebagian besar kasus berat dan fatal disebabkan eritrosit yang dihinggapi parasit
menggumpal dan menyumbat kapiler.30
458. Eritrosit yang mengandung trofozoit tua dan skizon mempunyai titik-titik kasar
yang tampak jelas (titik Maurer) tersebar pada dua pertiga bagian eritrosit. Pembentukan
gametosis juga berlangsung di kapiler alat-alat dalam, tetapi kadang-kadang stadium muda
dapat ditemukan di darah tepi. Gametosit muda mempunyai bentuk agak lonjong,
kemudian menjadi lebih panjang atau berbentuk elips; akhirnya mencapai bentuk khas
seperti sabit atau pisang sebagai gametosit matang. Gametosit untuk pertama kali tampak di
darah tepi setelah beberapa generasi mengalami skizogoni; biasanya 10 hari setelah parasit
pertama kali tampak dalam darah. Gametosit betina atau makrogametosit biasanya lebih
langsing dan lebih panjang dari gametosit jantan atau mikrogametosit dan sitoplasmanya
lebih biru dengan pulasan Romanowsky/Giemsa. Intinya lebih kecil dan padat, berwarna
merah tua dan butir-butir pigmen tersebar di sekitar inti. Mikrogametosit berbentuk lebih
lebar dan seperti sosis. Sitoplasmanya biru pucat atau agak kemerah-merahan dan intinya
berwarna merah muda, besar dan tidak padat; butir-butir pigmen tersebar di sitoplasma
36
syaraf sentral.
467. 2) Tipe pribadi yang schizothyme (pikiran yang kacau balau) atau
jasmaniah yang asthenis, dan mempunyai kecenderungan menjadi skizofrenia.
468. 3) Gangguan kelenjar-kelenjar; adanya disfungsi pada endokrin seks,
kelenjar adrenal dan kelenjar pituitary (kelenjar di bawahotak). Atau akibat dari
masa klimakterik atau menstruasi.
469. 4) Adanya degenerasi pada energi mental. Hal ini didukung dengan lebih
dari separuh dari jumlah penderita skizofrenia mempunyaikeluarga yang psikotis
atau sakit mental.
470. 5) Sebab-sebab psikologis; kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan salah.
Individu tidak mempunyai adjustment terhadap lingkungannya. Ada konflikkonflik antara Superego dan id.
471.
c. Gejala Klinis
472. Tidak ada gejala yang spesifik pada pendeita skizofrenia karena semua
gejala penyakit ini juga dapat ditemukan pada gangguan otak lainnya dan gejala
dapat berubah sepanjang waktu. Skizofrenia dikarakteristikkan dengan gejala positif
yakni halusinasi pendengaran, delusi, dan gangguan berpikir, serta gejala negatif
seperti demotivation, self neglect, dan redue emotion.31
473. Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai
realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self
insight) buruk. Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu
gejala positif dan gejala negatif.31
474. 1) Gejala positif skizofrenia
475. a) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak
masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya
itu tidak rasional, namun penderita tetap menyakini kebenarannya.31
476. b) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan
(stimulus). Misalnya penderita mendengar suarasuara atau bisikan-bisikan
ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu. 31
477. c) Kekacauan alam pikiran, yaitu dapat dilihat dari isi pembicaraannya.
Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikiranya. 31
38
39
497. f) Penderita banyak putua asa dan merasa bahwa penderita adalah korban
kejahatan orang banya dan masyarakat.
498. g) Keinginan menjauhkan diri dari masyarakat, tidak mau bertemu dengan
orang dan sebagainya.
499. Respon emosional yang terjadi pada penderita skizofrenia dapat berupa
kesulitan dalam pemberian nama dan penguraian emosi (alekstamia), kurang
memiliki perasaan, emosi, minat, atau kepedulian, dan ketidakmampuan atau
menurunnya kemampuan untuk mengalami kesenangan, kebahagiaan, keakraban,
dan kedekatan. Penderita skizofrenia tampak adanya gerakan dan perilaku
abnormal. Gerakan abnormal seperti katatonia, kelenturan seperti lilin (waxy
fleksibility), efek samping ekstrapiramidal dari pengobatan antipsikotik, gerakan
mata abnormal, meringis, kesulitan melaksanakan tugas yang kompleks (apraksia),
sengaja meniru gerakan orang lain (ekopraksia), langkah yang tidak normal, dan
manerisme. Perilaku abnormal pada penderita skizofrenia ditunjukkan dengan
adanya deteriaorasi penampilan, agresi/agitasi, perilaku stereotipik atau berulang,
kurang energi dan dorongan, serta kurang tekun dalam bekerja/sekolah.32
500. Menurut DSM IV cit. Kaplan et al, seseorang dikatagorikan sebagai
penderita skizofrenia apabila sekurangkurangnya selama 6 bulan telah menunukkan
gejala-geala gangguan. Periode 6 bulan tersebut dibagi menjadi 3 periode
berdasarka gejala yang tampak, yaitu: periode aktif selama sekurang-kurangnya 1
bulan, periode prodormal/periode sisa sebelum periode aktif, dan periode
residual/periode sisa setelah periode aktif. Periode prodormal ditandai dengan
individu menunjukkan gangguan-gangguan fungsi sosial dan interpersonal yang
progresif. Perubahan yang terjadi dapat berupa penarikan sosial, ketidakmampuan
bekerja secara produktif, eksentrik, pakaian yang tidak rapi, emosi yang tidak sesuai
perkembangan pikiran dan bicara yang aneh, kepercayaan yang tidak biasa,
pengalaman persepsi yang aneh, dan hilangnya inisatif dan energi. Periode aktif
dimana paling sedikit selama satu bulan, individu mengalami simptom psikotik,
yaitu halusinasi, delusi, pembicaraan dan tingkah laku yang tidak teratur, dan
terdapat tanda-tanda penarikan diri. Sedangkan pada periode residual terdapat
simptom seperti periode sebelumnya tetapi tidak parah dan tidak mengganggu.2
501.
d. Klasifikasi Skizofrenia
40
502. Tipe-tipe skizofrenia menurut DSM IV cit. Kaplan et al. antara lain2:
503. 1) Tipe Paranoid
504.
Skizofrenia tipe paranoid memiliki kriteria preokupasi dengan satu
atau lebih waham/halusinasi dengar yang menonjol dan tidak ada gejala berikut
ini yang meonjol seperti bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau
katatonik, atau afek datar/tidak sesuai.2
505.
506.
507.
508.
509. 2) Tipe Terdisorganisasi
510.
Skizofrenia tipe terdisorganisasi
memiliki
kriteria
bicara
terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi, dan afek datar atau tidak sesuai yang
menonjol serta tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik. 2
511. 3) Tipe Katatonik
512.
Skizofrenia tipe katatonik memiliki gambaran klinis yang
didominasi oleh dua dari gambaran berikut ini2:
513. a) Imobilitas motorik seperti yang ditunjukkan oleh katalepsi (termasuk
fleksibilitas lilin) atau stupor
514. b) Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya tidak bertujuan dan
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
515. c) Negativisme yang ekstrim (suatu resistensi yang tampaknya tanpa
motivasi terhadap semua intruksi atau mempertahankan postur yang kaku
menentang semua usaha untuk digerakkan) atau mutisme
516. d) Gerakan volunter yang aneh seperti mengambil postur yang tidak lazim
atau aneh secara disengaja (posturing), gerakan stereotipik, manerisme yang
menonjol
517. e) Ekolalia/ekopraksia merupakan dorongan kuat yang tidak terkendalikan
dari penderita gangguan jiwa untuk meniru ucapan atau perbuatan yang
dilakukan orang lain.
518. 4) Tipe Tidak Tergolongkan
519.
Skizofrenia tidak tergolongkan menunjukkan gejala yang tidak
memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau katatonik. 2
520. 5) Tipe Residual
521.
Skizofrenia tipe residual memiliki kriteria tidak adanya waham,
halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik terdisorganisasi atau
katatonik yang menonjol dan terdapat gangguan seperti gejala negatif, ditemukan
41
dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya keyakinan yang aneh dan pengalaman
persepsi yang tidak lazim).2
522.
523.
e. Penatalaksanaan Skizofrenia
524. Skizofrenia diyakini merupakan interaksi dari tiga faktor (biogenikpsikogenik-sosiogenik) maka pengobatan gangguan skizofrenia juga diarahkan pada
ketiga faktor tersebut yaitu somatoterapi, psikoterapi, dan sosioterapi. Dengan kata
lain, tidak ada pengobatan tunggal yang dapat memperbaiki keanekaragaman gejala
dan disabilitas berkaitan dengan skizofrenia, tetapi harus dilakukan secara
komprehensif.2,3
525.
1) Somatoterapi
526.
Sasaran utama somatoterapi adalah tubuh manusia dengan harapan
pasien akan sembuh melalui reaksi holistik. Somatoterapi yang umum dilakukan
adalah psikofarmaka dan ECT (Electroconvulsive Therapy). Psikofarmaka atau
disebut obat neuroleptika/antipsikotika dibedakan menjadi dua golongan tipikal
(konvensional) dan golongan atipikal (generasi kedua). Dasar pemilihan suatu
jenis psikofarmaka adalah atas pertimbangan manfaat dan resiko secara
individual yang mencakup farmakokinetik dan farmakodinamik. Semua
antipsikotik yang saat ini tersedia (tipikal maupun atipikal) adalah bersifat
antagonis reseptor dopamni D2 dalam mesokortikal. Blokader reseptor D2 ini
cenderung menyebabkan symptom ekstrapiramidal walaupun secara umum
golongan atipikal mempunyai resiko efek samping neurologik yang lebih rendah
(dibandingkan antipsikotik tipikal). Antipsikotik golongan atipikal dengan efek
samping neuromotorik relatif sedikit tersebut merupakan suatu kemauan terapi
terhadap skizofrenia. Meskipun demikian tetap harus dipertimbangkan bahwa
efek samping lain yang tidak diinginkan dari golongan atipikal tersebut yaitu
peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia, hiperglikemia, dan dislipidemia.
Akibat kurang baik lainnya seperti dislipidemia, ketoasidosis diabetika, diabetes
melitus, dan perubahan elektrokardiografi (EKG) serta resiko kanker payudara
akibat hiperprolaktinemia juga telah dicatat pada penggunaan antipsikotik
atipikal.2
42
527.
c. Klasifikasi
540.
Ensefalitis Supurativa
541. Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,
streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.34,35,36,37
-
Patogenesis
542.
Peradangan
dapat
menjalar
ke
jaringan
otak
dari
otitis
43
Manifestasi klinis
543.
544.
545.
546.
547.
Ensefalitis Sifilis
Patogenesis
550.
Manifestasi klinis
551.
552.
553.
556.
44
557.
Ensefalitis Virus
558. Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia33,34,35,36,37:
559. 1. Virus RNA
560. Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili
561. Rabdovirus : virus rabies
562. Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus
dengue)
563. Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
564. Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
565. 2. Virus DNA
566. Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus,
virus Epstein-barr
567. Poxvirus : variola, vaksinia
568. Retrovirus : AIDS
569.
- Manifestasi klinis
570.
Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan,
nausea, kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk,
hemiparesis dan paralysis bulbaris.33,34,35,36,37
571.
572.
Ensefalitis Karena Parasit
573.
a. Malaria serebral
574. Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan
utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang
terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga
menimbulkan penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis
fokal yang tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak.
Gejala-gejala yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma.
Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.34,36
575.
b. Toxoplasmosis
576. Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan
gejalagejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh
manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan
otak.34,36
577.
c. Amebiasis
578. Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika
berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis
akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku
kuduk dan kesadaran menurun.34,36
45
579.
d. Sistiserkosis
580. Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus
mukosa dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva
dapat tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim
otak. Bentuk rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam sisterna.
Jaringan akan bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala
neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.34,36
581.
582.
Ensefalitis Karena Fungus
583. Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida
albicans,mCryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan
Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat
ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi
adalah daya imunitas yang menurun.34,36
584.
585.
Riketsiosis Serebri
586. Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang
terdiri
atas
sebukan
sel-sel
mononuclear, yang
terdapat
pula
disekitar
pembuluhdarah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan
terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar
tidur, kemudian mungkin kesadaran dapat menurun. Gejala-gejala neurologik
menunjukan lesi yang tersebar.34,36
587.
d. Pemeriksaan Penunjang33,34,35,36,37
588.
589.
590.
591.
592.
593.
594.
595.
596.
597.
598.
e. Diagnosa Banding
46
599.
600.
601.
602.
603.
604.
f. Penatalaksanaan
605.
606.
607.
608.
609.
610.
1. Ensefalitis supurativa35,36,37
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
2. Ensefalitis syphilis36,37
- Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari
- Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x
634.
g. Prognosis
635. Ensefalitis supurativa angka kematian dapat mencapai 50%.36,37
636.
637.
2.9 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang untuk Kasus
638. Delirium adalah suatu gangguan dalam atensi (perhatian) yang berkembang
dengan cepat dan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Walaupun tampilan klinis delirium
berbeda antara satu pasien dengan pasien lainnya, ada beberapa ciri khas yang membantu
untuk membuat diagnosis38:
Kesadaran berkabut: Pasien tidak waspada seperti biasanya dan dapat tampak
bingung dan kacau. Lakukan observasi terhadap pasien, dapat terjadi penurunan
tes serial pengurangan tujuh atau tes huruf acak pada pasien.
Gangguan persepsi: Hal ini lazim terjadi, misal, salah interpretasi terhadap kejadian
di sekitarnya, ilusi (misal, gorden tertiup angin dan pasien yakin ada seseorang
sedang memanjat di jendela) dan halusinasi (biasanya visual). Pasien bisa atau
mungkin juga tidak mengenali kesalahan persepsinya yang dianggapnya sebagai tidak
nyata.
Perubahan pola tidur-bangun: Insomnia hampir selalu ada (semua gejala biasanya
memburuk di waktu malam hari dan pada keadaan gelap) dan kantuk berat juga dapat
terjadi.
Disorientasi: yang paling sering adalah disorientasi terhadap waktu dan tempat,
situasi dan (terakhir) orang. Tanyakanlah pada pasien hari, tanggal dan waktu saat ini.
nama anda?
Inkoheren: Pasien mencoba untuk berkomunikasi, tetapi pembicaraannya kacau,
hari).
Fluktuasi: Sebagian besar ciri-ciri tersebut di atas bervariasi keparahannya dari jam
ke jam dan hari ke hari.
639. Delirium biasanya berkembang dalam beberapa hari dan dapat mendahului tanda-
yaitu halusinasi dan ilusi. Halusinasi adalah persepsi sensorik palsu yang tidak dikaitkan
dengan stimulus eksternal yang nyata; mungkin terdapat interpretasi berupa waham atas
pengalaman tersebut namun mungkin pula tidak. Ilusi adalah persepsi atau interpretasi
yang salah akan stimulus sensorik eksterna yang nyata. Ada beberapa jenis halusinasi,
yaitu40:
Halusinasi hipnagogik: persepsi palsu yang terjadi saat akan jatuh tertidur, umunya
berbentuk (misalnya orang) dan citra tak berbentuk (misalnya kilatan cahaya).
Halusinasi olfaktorik: persepsi palsu akan bau.
Halusinasi gustatorik: persepsi palsu akan rasa.
Halusinasi taktil: persepsi palsu akan sentuhan atau sensasi permukaan, contohnya
pada ekstremitas yang diamputasi (phantom limb); sensasi merayap pada atau di
ditujuka ke tubuhnya.
Halusinasi liliput: persepsi palsu bahwa ukuran obyek terlihat mengecil.
Halusinasi yang kongruen-mood: halusinasi yang isinya konsisten dengan mood
644. Ilusi adalah persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang objektif. Delusi
adalah pemikiran yang keliru telah berakar dan tidak dapat diubah walaupun telah
50
diberikan informasi yang objektif yang bertentangan dengan pemikiran tersebut. Halusinasi
adalah pengamatan tanpa stimulus/perangsang objektif. Orang yang menderita halusinasi
akan mendengar atau melihat sesuatu (suara-suara atau kejadian) walaupun perangsangnya
tidak ada.41
645.
2.12 Penyakit Gangguan Mental pada Pasien ini dan Prognosisnya
646.
Delirium
647. Gejala utama dari delirum adalah gangguan kesadaran, yang dalam DSM-IV
digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan, dengan
penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.
Pada beberapa pebelitian juga menyatakan bahwa gejala utama lainnya yang tampak pada
pasien delirium adalah ketidakmampuan dalam mempertahankan perhatian. Keadaan
delirium juga biasanya diawali dengan perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia,
halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari, dan kegelisahan.2
648. Onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (kegelisahan dan ketakutan)
dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium biasanya
berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun delirium biasanya
berlangsung kurang dari I minggu setelah menghilangnya faktor penyebab, gejala delirium
menghilang dalam periode 3 7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan
waktu 2 minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin
lama pasien mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk
menghilang. Terjadinya delirium berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi pada
tahun selanjutnya, terutama disebabkan oleb sifat serius dan kondisi medis penyerta.2
649.
2.13 Perbedaan Gangguan Mental Organik dan Non-Organik
650.
652.
653.
654.
655.
656.
657.
658.
659.
660.
661.
662.
663.
664.
665.
666.
667.
668.
669.
670.
671.
672.
673.
674.
675.
676.
677.
BAB III
678.
PENUTUP
679.
3.1 Kesimpulan
680.
Hipotesis diterima dengan perbaikan:
681. Tn. D 35 tahun mengalami gangguan mental organik berupa delirium et causa
suspect malaria serebral.
682.
683.
684.
685.
686.
687.
688.
689.
690.
691.
692.
693.
694.
52
695.
696.
697.
698.
699.
700.
701.
702.
703.
704.
705.
706.
DAFTAR PUSTAKA
707.
1. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III dan
DSM 5: Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya; 2013. h. 46-59.
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis, Edisi 10. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 2010. h. 516-70.
3. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan ke VI. Surabaya: Airlangga
University Press; 1992. h. 179-211.
4. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi 6. Cetakan ke
dua. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 1995. H. 28-42.
5. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lipincott Illustrated Reviews. 2 nd Edition.
Phildeaphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1997.
6. Gelder M, Mayou R, Geddes J. Psychiatry. 2nd Edition. New York: Oxford University;
1999.
7. Direktorat Jendral Pelayanan Medis. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1993.
8. John B. Lange : Currrent Diagnosis and Treatment. Unites States of America: Mc Graw
Hill; 2007. p. 440-1.
9. Iskandar Z, dkk. Ilmu Penyakit Dalam: Malaria Berat. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
10. Rudolph, Abraham M, et al. Rudolphs Pediatric. 20th Edition. United States of America:
Appleton & Lange; 1996.
11. Gunawan S. Epidemiologi Malaria Dalam: Harijanto PN (editor): Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC; 2000. h. 1-15.
53
12. Hafalla, Julius C, et al. Cerebral malaria: Why Experimental Murine Models are
Required to Understand the Pathogenesis of Disease. United Kingdom: Cambridge
University; 2009.
13. Charles W. The Lancet Handbook of Treatment in Neurology. Spain: Elsevier; 2006. p.
313-6.
14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Jakarta: DEPKES RI; 2006. h. 1-12, 15-23, 67-8.
15. Allen MH. Emergency Psychiatry. Washington: American Psychiatry Publishing; 2005. p.
199-222.
16. Cloud CJ, Phillip J. Clinical Review: Agitation and Delirium in the CriticallySignificance and Management. Journal of Critical Care. 2007: 11: 214.
17. Moore DP, Jefferson JW. Handbook of Medical Psychiatry. 2nd Edition. Philadelphia: Pa:
Mosby; 2004. p. 155.
18. Daniel DG. Recent Developments in Pharmacotherapy for the Acutely Psychotic Patient.
J Emerg Nurs. 2002; 28: 12-20.
19. Kane JM, Stroup TS, Marder SR. Schizophrenia. In: Kaplan & Sadock`s, editors.
Comprehensive
Textbook
of
Psychiatry.
9 th
ed.
Philadhelphia:
Lippincott
Belgium:
Janssen
Pharmaceutica; 2005.
21. Stahl SM. Essential Psychopharmacology. Neuroscientific Basis and Practical
Applications. 2nd Edition. UK: Cambridge University Press; 2000. p. 368-73.
22. Breier A, Meehan K, Birkett M, David S, Ferchland I, Sutton V, et al. A Double-Blind,
Placebo-Controlled Dose-Response Comparison of Intramuscular Olanzapine and
Haloperidol in the Treatment of Acute Agitation in Schizophrenia. Arch Gen Psychiatry.
2002; 59: 441-8.
23. Villari V, Rocca P, Fonzo V, Montemagni C, Pandullo P, Bogetto F. Oral Risperidone,
Olanzapine and Quetiapine Versus Haloperidol in Psychotic Agitation. Progress in NeuroPsychopharmacology and Biological Psychiatry. 2008; 32: 405-13.
24. Zyprexa Intramuscular (Olanzapine) for Injection (Prescribing
Information).
54
26. Meehan K, Zhang F, Stacy D, Mauricio T, Philip J, Joyce S, et al. A double blind,
randomized comparison of the efficacy and safety of intramuscular injections of
olanzapine, lorazepam or placebo in treating agitated patiens diagnosed with bipolar
mania. Journal of clinical psychopharmacology. 2001; 21: 389-97.
27. Tulloch KJ, Zed PJ. Intramuscular olanzapine in the management of acute agitation. Ann
Pharmacother. 2004; 38: 2128-35.
28. Meehan KM, Huei W, David SR, Nisivoccia JR, Jones B, Beasley CM, et al. Comparison
of rapidly acting intramuscular olanzapine, lorazepam and placebo: A double-blind,
randomized study in acutely agitated patients with dementia, Neuropsychopharmacology.
2002; 26: 484-504.
29. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi
Keempat. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011. h. 211-35.
30. Hawari D. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2007.
31. Stuart, Sundeen. Pocket Guide to Psychiatric Nursing. Philadelphia: Mosby year; 1998.
32.
33. Chusid JG. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Bagian Dua. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press; 1990. h. 579-83.
34. Mahar M, Priguna S. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003. Hal. 313-4,
421, 327-33.
35. Mahar M, Priguna S. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat;
1999. h. 36-40.
36. Soemarmo M. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Ke Dua. Yogyakarta: Gajah Madah
University Press; 2003. h. 155-62.
37. Arif M, Suprohaita, Wardhani, Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2.
Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2000. h.14-6.
38. Tomb DA. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2003.
39. Dinas Kesehatan Papua. Data dan Informasi Tahun 2013. Papua: Departemen Kesehatan
Provinsi Papua; 2013.
40. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis, Edisi 10. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 2010.
41. Semiun F. Kesehatan Mental: Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian Diri dan
Kesehatan Mental serta Teori-Teori yang Terkait. Edisi 1. Yogyakarta: Kanisius; 2006.
42. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi keenam. Cetakan
Kedua. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 1995. h. 28-42.
55
43. Arif M, Suprohaita, Wardhani, Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
ketiga. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2001. H. 189-92.
708.
56