Anda di halaman 1dari 13

Massa Kongenital pada Hidung

ABSTRAK
Massa kongenital pada hidung termasuk kista dermoid, glioma dan ensefalokel.
Massa kongenital merupakan kasus yang jarang, diperkirakan terjadi pada sekitar 1:
20.000 hingga 40.000 setiap kelahiran. Meski kasusnya jarang, penyakit ini penting
secara klinis karena berpotensi memiliki hubungan dengan sistem saraf pusat. Biopsi
pada lesi yang berhubungan dengan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya
meningitis ataupun kebocoran cairan serebrospinal. Penatalaksanaan pada massa ini
adalah eksisi pembedahan. Informasi pre-operatif adanya suatu hubungan intrakranial
diperoleh dari konsultasi dengan ahli bedah saraf dan direncanakan kraniotomi. Untuk
mengetahui perkembangan massa congenital hidung, penting kita ketahui perkembangan
embryologi yang normal.
Kata kunci : massa kongenital hidung, embriologi, tatalaksana

Abstract
Congenital nasal masses include nasal dermoids, nasal gliomas, and
encephaloceles. are rare congenital anomalies, estimated to occur in 1:20,000 to 40,000
births. Although rare, these disorders are clinically important because of their potential
for connection to the central nervous system. Biopsy of a lesion with an intracranial
connection can lead to meningitis or cerebrospinal fluid leak. The treatment of these
masses is surgical excision. Preoperative knowledge of an intracranial connection
allows for neurosurgical consultation and planning for craniotomy. To understand the
development of congenital nasal masses, knowledge of the normal embryological
development of the nose is important.
Key Word : congenital nasal masses, embryologi, treatment

PENDAHULUAN
Massa kongenital pada hidung termasuk kista dermoid, glioma dan
ensefalokel. Massa kongenital merupakan kasus yang jarang, diperkirakan terjadi pada
sekitar 1: 20.000 hingga 40.000 setiap kelahiran. Meski kasusnya jarang, penyakit ini
penting secara klinis karena berpotensi memiliki hubungan dengan sistem saraf pusat.
Biopsi pada lesi yang berhubungan dengan intracranial dapat menyebabkan terjadinya
meningitis ataupun kebocoran cairan serebrospinal. Pengobatan pada massa ini adalah
eksisi pembedahan. Informasi pre-operatif adanya suatu hubungan intrakranial diperoleh
dari konsultasi dengan ahli bedah saraf dan direncanakan kraniotomi. Kista sinus dermoid
adalah alah massa pada dorsum nasi atau intranasal, dengan lubang atau traktus sinus
yang terbuka pada dorsum nasi, rambut disekitar muara yang terbuka, dan cairan pus atau
cairan sebaseus yang keluar. Glioma nasal adalah massa jinak dengan karakteristik non
pulsasi, muncul di dorsum nasi atau dari dinding, telagiektasis di permukaan hidung, dan
tidak membesar bila dilakukan kompresi bilateral pada vena jugularis (Furstenberg test).
Ensefalokel dapat muncul sebagai pembesaran massa yang berpulsasi, membiru dekat
nasal bridge, bertransiluminasi, membesar saat pasien menangis ataupun dengan
kompresi bilateral pada vena jugularis interna, atau massa intranasal yang muncul dari
lempeng cribriformis. Untuk mengetahui perkembangan massa congenital hidung,
penting kita ketahui perkembangan embryologi yang normal. 1,2,3

KEKERAPAN
Massa kongenital pada hidung termasuk kista dermoid, glioma dan
ensefalokel. Massa kongenital merupakan kasus yang jarang, diperkirakan terjadi pada
sekitar 1: 20.000 hingga 40.000 setiap kelahiran. Insidensi Ensefalokel sekitar 1:35,000
kelahiran hidup 1:6000 kelahiran hidup di Asia tenggara dan Russia 30-40% Ensefalokel
berhubungan dengan anomali lain yaitu microcephaly, hydrocephalus, microopthalmia,
anopthalmia, agenesis of the corpus callosum, porencephaly, atrofi cortical , dilatasi
ventricular

3,4

EMBRIOLOGI HIDUNG
Periode terpenting pada embryologi wajah adalah pada 12 minggu pertama dari
perkembangan fetus. Antara minggu ke tiga dan ke empat perkembangan dari
perkembangan neural fold dan pembentukan tuba neuralis pada aspek dorsal dari embryo.
Penutupan lengkung neuralis dimulai di bagian tengah embryo dan meluas hingga ke
kranial dan kaudal. Elemen kunci dalam pemahaman perkembangan muka, termasuk
hidung, adalah sel-sel neural crest.. Tuba neuralis terbentuk dari penutupan lengkung
neuralis, sel-sel neural crest bermigrasi ke lateral dan anterior mengelilingi mata dan
prosesus frontonasal. Sel-sel neural crest terlibat dalam pembentukan komponen
ektodermal. Meski demikian, sel-sel neural crest pada daerah wajah membentuk sel-sel
mesenkim yang akan membentuk tulang, kartilago, dan otot wajah.
Selama pembentukan dasar tengkorak dan hidung struktur mesenkin dibentuk dari
beberapa pusat yang akan berfusi dan mulai osifikasi. Sebelum terjadi fusi terdapat celah
antar elemen yang penting pada perkembangan massa hidung kongenital. Celah-celah ini
yaitu fonticulus frontalis, ruang pre-nasal, dan foramen caecum. Fonticulus nasofrontalis
adalah jarak diantara Os nasal dan Os frontal. Ruang pre-nasal antara Os nasal dan
kapsula nasalis (prekursor septum dan kartilago nasalis). Selama perkembangan fetus
ruang ini normalnya mengalami penutupan dengan fusi maupun osifikasi. Perkembangan
struktur abnormal yang menyebabkan pembentukan dermoid, glioma dan ensefalokel di
hidung.
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari dibagi menjadi
dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian
rongga hidung yang berbeda; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian
berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan
membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus.
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional
anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang
terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah
frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung
pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang

hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan
perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih
sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu
membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,
mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada
saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang
membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan
empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal
dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari
bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu
, dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka.
Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru
lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah
sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. 1,4,6
KISTA DERMOID, MENINGOKEL, ENSEFALOKEL DAN GLIOMA NASAL
Merupakan kelainan bawaan dimana terjadi pemburutan selaput otak dan isi
kepala keluar melalui celah pada tengkorak atau tulang belakang. Etiologinya adalah
karena adanya defek pada penutupan spina bifida yang berhubungan dengan
pertumbuhan yang tidak normal dari korda spinalis atau penutupnya, biasanya terletak
pada garis tengah. Angka kejadiannya adalah 3 dari 1000 kelahiran. 2,6,7
Gambaran klinis: meningokel , biasanya terdapat pada daerah servikal atau daerah
torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam
korda spinalis dalam durameter tidaak terdapat saraf), sedangkan pada ensefalokel terjadi
pada bagian oksipital. Pada bagian ini terdapat kantong berisi cairan, jaringan saraf, atau
sebagian otak.
Ensefalokel nasal dan glioma nasal merupakan suatu anomali kongenital.
Ensefalokel nasal terjadi akibat herniasi meningens dengan ataupun tanpa jaringan otak,
melalui defek pada tengkorak. Lokasinya dapat terjadi di area occipital, basal, ataupun

frontoethmoidalis. Semua ensefalokel merupakan defek tengkorak di midline, dengan


hubungan pada tuba neuralis di dekat midlin. Glioma nasal serupa dengan ensefalokel
nasal, kondisi hilangnya koneksi meningeal intrakranial disertai penutupan fontanela
anterior.
Pokok penting dalam diagnosis Ensefalokel nasal dan glioma nasal adalah :
timbulnya penyakit, biasanya sejak lahir, ditandai dengan massa di pertengahan nasal,
obstruksi nasal, hingga kebocoran LCS. Encefalokel nasal bersifat menekan dan meluas
saat pasien menangis. Glioma nasal bersifat tidak menekan. Pemeriksaan MRI dapat
membantu mengetahui perluasan intrakranial dan anomali lainnya.5,8,9
Kista Dermoid Sinus
Kista dermoid di sinus adalah massa hidung kongenital tersering. Beberapa
merupakan bawaan lahir tetapi ada juga yang ditemukan hingga periode akhir kanakkanak atau awal masa dewasa muda menjadi simptomatis. Kista ini merupakan suatu
kista terisolasi ataupun dengan pembukaan traktus sinus pada permukaan kulit. Kista ini
meliputi 1-3 % dari semua kista dermoid tetapi hanya 3 12 % kista dermoid pada kepala
dan leher. Pada suatu penelitian kista epidermoid dan dermoid yang muncul bersama
terdapat sebanyak 61 % dari massa di hidung dari 109 kasus. Kista dermoid sering
berhubungan dengan kista epidermoid tetapi kista ini mengandung kedua elemen
ektodermal dan mesodermal (struktur adneksa seperti folikel rambut dan kelenjar
keringat).
Kista sinus dermoid di hidung muncul sebagai lubang di garis tengah hidung,
fistula ataupun massa terinfeksi yang berlokasi di area mulai dari glabella hingga ke
nasal columella. Biasanya kista dermoid bermuara pada traktus subkutaneus yang dapat
ditumbuhi rambut pada muara nya. Kista ini dapat mengeluarkan sekret sebaseus ataupun
pus, menjadi peradangan intermitten, membentuk sebuah abses, menyebabkan
osteomyelitis, meluas ke nasal root ataupun nasal bridge, menyebabkan meningitis,
hingga membentuk abses serebri. Hubungannya dengan sistem saraf pusat dilaporkan
bervariasi terjadi sekitar 4-45%. Dugaan keterlibatan intrakranial tetap tinggi. Kita ini
sering berhubungan dengan anomali kongenital yang lain pada 5-14% kasus seperti
atresia liang telinga, retardasi mental, abnormalitas kolumna spinalis, hidrosefalus,
hipertelorisme, mikrosomia hemifasial, albinisme, corpus callosum agenesis, cerebral
5

atrofi, atrofi cerebral, coronary artery anomaly, cleft lip palate,tracheoesofagheal fistula,
anomali cerebri, jantung, dan genital.
Suatu teori yang telah secara luas diterima bahwa kista dermoid berkembang dari
ruang pre-nasal. Berdasarkan teori ini, selama masa perkembangan normal proyeksi
penonjolan dura melalui fontikulus frontalis atau ke inferior masuk ke ruang pre-nasal.
Proyeksi ini secara normal akan mengalami regresi tetapi jika tidak terjadi regresi dura
akan tetap lengket di epidermis dan menyebabkan elemen ektodermal terperangkap.
6,8,10,11,12

Glioma
Glioma terbentuk dari elemen neuroglial yang terdiri dari sel-sel glia pada suatu
matrik jaringan dengan atau tanpa koneksi fibrosa ke duaramater. Tidak ada cairan yang
mengisi ruang yang menghubungkan dengan ruang subarachnoid. Lesi ini biasanya
tampak sebagai tonjolan merah ataupun merah kebiruan di sepanjang sutura nasomaksila,
atau muncul sebagai massa intranasal. Glioma intranasal sering muncul dari dinding
lateral dari hidung, sangat sedikit yang ditemukan berasal dari septum. Enam puluh
persen ekstranasal, 30% intranasal, dan 10% keduanya. Dari semua itu sebanyak 15%
berhubungan dengan dura. Tipe intranasal sering berhubungan dengan lapisan dura (35%)
dibandingkan tipe ekstranasal (9%). Insiden pada laki-laki lebih banyak daripada
perempuan dengan rasio 3:1 meski signifikansi dari insiden ini belum ditetapkan.
Perkembangan embryologi dari nasal glioma mirip dengan dermoid nasal.
Penutupan abnormal dari fontikulus frontalis menyebabkan ectopic rest dari jaringan glial
ke ekstrakranial. Kondisi ini mirip dengan mekanisme pembentukan ensefalokel, meski
tidak semua kasus glioma memiliki keterkaitan dengan intrakranial seperti yang pada
ensefalokel. 10,13,14,15
Ensefalokel
Ensefalokel adalah herniasi ekstrakranial dari meningens dengan ataupun tanpa
jaringan otak yang masih mempertahankan hubungan subarachnoid. Bila itu hanya
mengandung meningens maka disebut meningokel, tetapi bila massa mengandung
jaringan otak disebut meningoensefalokel. Ingraham dan Matson membagi ensefalokel

menjadi 3 kategori : occipital, sinsipital dan basal. Occipital adalah yang paling umum
yaitu sekitar 75%. Sinsipital adalah lesi frontonasal yang muncul di atas hidung, glabella
dan dahi. Hubungan intrakranial biasanya di anterior dari lempeng cribriformis.
Swanwela dan swanwela membagi ensefalokel nasal menjadi nasofrontal, nasoethmoid,
dan naso-orbita berdasarkan proyeksi dari massa antara os nasal dan os frontal, sepanjang
sisi dari hidung, ataupun ke dalam medial orbita. Mereka melaporkan bahwa ensefalokel
nasofrontalis terjadi secara langsung di anterior dengan tangkai yang pendek dan
kemungkinan dapat dieksisi secara eksternal semetara nasoethmoidal dan nasoorbitalis
memiliki tangkai yang panjang dan penting untuk menutup intrakranial. Lesi basal terjadi
sekitar 10% dari lesi yang muncul sebagai massa intranasal ataupun nasofaringeal.
Herniasi lesi basal melalui lempeng cribriformis ataupun posterior yang dapat
menjelaskan presentasi mereka pada hidung secara eksternal. Insindensinys jarang,
terjadi sekitar 1: 35.000 kelahiran hidup di Eropa barat, Amerika, Australia, Jepang, Cina,
dan India, namun lebih sering terjadi sekitar 1: 6000 kelahiran hidup pada penduduk Asia
tenggara dan Russia. Ensefalokel sering berupa massa kebiruan, lembut, bersifat
menekan dan dapat ditransiluminasikan. Ensefalokel membesar saat pasien menangis
maupun dengan manuver Valsava. Tanda karakteristik Fursteinberg test, yang membesar
dengan kompresi vena jugularis interna. Massa ini juga dapat menyebabkan pelebaran
hidung ataupun vhipertelorismw. Ensefalokel intranasal biasanya medial di cavitas nasal
berlawanan dengan glioma yang sering lateral.
Perkembangan embriologi dari ensefalokel sama dengan glioma. Kegagalan
fonticulus frontalis untuk menutup dengan sempurna dapat menyebabkan herniasi
komponen intrakranial dengan tetap mempertahankan hubungan dengan ruang
subarachnoid. Massa ini berhubungan dengan susunan saraf pusat dan kemungkinan
mengandung jaringan otak, dan penting untuk menentukan apakah itu suatu ensefalokel
ketika kita menemukan massa di garis tengah hidung. 15,16
Evaluasi
Evaluasi dan penatalaksanaan dari massa hidung kongenital ini dimulai dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Banyak lesi muncul pada awal kehidupan
tetapi dapat juga ditemukan pada masa dewasa bila tidak terdiagnosis pada masa kanak-

kanak. Kista dermoid sering disertai infeksi berulang ataupun drainase, traktus sinus yang
tampak, lebih solid, tidak menekan, dan tidak bertransiluminasi. Glioma nasal juga jinak,
tidak menekan, dan tidak bertransiluminasi tetapi dapat muncul sebagai telagiektasia.
Ensefalokel dapat berwarna kebiruan atau merah, lunak, menekan, membesar saat
menangis, dan Furstenberg test positif. Dengan lesi intranasal glioma muncul dari dari
dinding lateral sedangkan ensefalokel muncul lebih lateral. Berdasarkan Haafiz, suatu
probe intranasal dapat melewati sisi medial glioma tetapi tidak pada ensefalokel.
Perbedaan antara glioma dan ensefalokel penting karena hanya 15% glioma yang
memiliki hubungan dengan intrakranial semua ensefalokel memiliki hubungan dengan
intrakranial.
Pada kista dermoid, glioma, ataupun ensefalokel bila masih diduga maka biopsi
sebaiknya tidak dilakukan sebelum hubungan intrakranial disingkirkan karena berisiko
dapat menyebabkan meningitis ataupun kebocoran liquor cerebrospinal. Mayoritas lesi
ditemukan pada anak-anak, dan indeks dugaan harus tetap tinggi, khususnya pada massa
intranasal yang unilateral. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah CT-scan
ataupun dengan MRI. Hasil pencitraan yang ditemukan termasuk massa jaringan lunak,
kista yang berisi cairan, massa intrakranial, pembesaran foramen caecum, dan distorsi
dari crista galli. CT-scan dapat menggambarkan abnormalitas tulang sementara MRI
berguna untuk mengidentifikasi adanya hubungan intrakranial. Penemuan CT konsisten
dengan keterlibatan intrakranial dengan pembesaran foramen caecum ataupun crista galli
yang bifida. Meski penemuan ini konsisten dengan keterlibatan intrakranial yang tidak
didiagnostik. Berdasarkan Pensler dkk, pencitraan dengan CT-scan maupun MRI
diperlukan untuk menyingkirkan dugaan keterlibatan intrakranial. MRI memberikan
gambaran soft tissue yang lebih baik dan dapat memvisualisasikan potongan sagital.
Denoyelle meneliti 36 pasien anak dengan kista dermoid dan merekomendasikan MRI
untuk pencitraan dengan MRI untuk mengkonfirmasi dugaan keterlibatan intrakranial
mengikuti pencitraan dengan CT- scan. Pada serial kasusnya sebanyak 2 pasien
didapatkan hasil CT-scan positif palsu adanya hubungan dengan intrakranial dan pada
intra-operasi tidak ditemukan. Bloom dkk meneliti 10 pasien dengan kista dermoid nasal,
melaporkan hasil CT scan dengan hasil positif palsu adanya perluasan ke intrakranial
pada 1 dari 6 kasus. Karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk kedua

pemeriksaan ini, tertundanya diagnosis, dan bertambahnya risiko dari anestesi tambahan
saat pencitraan, mereka merekomendasikan MRI sebagai studi pencitraan awal.
Schlossser dkk melaporkan 3 kasus yang memakai CT scan 3 dimensi. Mereka
menemukan manfaat pemeriksaan ini pada kasus ensefalokel dengan defek pembesaran
di anterior dasar kranial untuk menunjukkan perluasan defek dan menyediakan gambaran
CT scan dua dimensi yang tepat untuk dapat digunakan dalam memberikan penjelasan
pada orang tua pasien. 17,18,19
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kista dermoid nasal, glioma dan ensefalokel adalah dengan eksisi
pembedahan komplet. Intervensi pembedahan lebih awal direkomendasikan untuk
mencegah distrosi lebih jauh dari hidung dan atrofi tulang yang disebabkan pertumbuhan
massa dan inflamasi rekuren. Komplikasi yang lain adalah terbentuknya abses,
osteomyelitis, dan meningitis dengan karena adanya hubungan intrakranial. Masuknya
lesi diantara traktus fistula harus dieksisi dengan tujuan untuk mencegah rekurensi.
Denoyelle dll, dilaporkan angka rekurensi 5.5 % ( 20-36 pasien) untuk kista dermoid
nasal pada kasus serial mereka, keduanya dengan pendekatan rhinoplasti eksternal.
Informasi penting untuk rencana pembedahan adalah adanya suatu koneksi intrakranial
pada massa itu.
Pollock

menulis

terapi

pembedahan

pada

kasus

kista

dermoid

dan

merekomendasikan 4 kriteria untuk pendekatan pembedahan. Pertama, pendekatan


pembedahan harus dilakukan pada kista dermoid dan harus dilakukan pendekatan
osteotomi medial maupun lateral, jika diperlukan. Kedua, pemaparan bedah harus
dilakukan untuk mempercepat repair dari defek Cribriformis, harus dilakukan
pembedahan dan dikontrol kemungkinan adanya rinorrhoe CSF, jiks diperlukan. Ketiga,
ini diperlukan untuk melakukan rekonstruksi dorsum nasi, jika diperlukan. Ke-empat
pendekatan harus dilakukan pencegahan terbentuknya scar. Pendekatan rhinotomi
transversal dapat dilakukan dengan vertical zig-zag rhinotomy, tripod-eversi rhinotomy.
Rhinotomi transversal digunakan dengan ukuran lesi yang kecil hingga sedang dengan
tanpa bukti perluasan intrakranial. Keuntungan pendekatan ini adalah terbentuknya
sedikit scar tanpa splaying yang biasa terjadi pada rhinotomi vertical. Pembukaan fistula

dengan cara eksisi dengan segmen transversal kulit yang berfusi dan traktus di kanulasi
dengan probe lakrimalis. Insisi transversal kemudian dibuat sedikit di bawah dermoid,
dan memasuki traktus yang dieksisi. Osteotomi lateral mapun medial dapat dilakukan jika
diperlukan untuk pemaparan. Dengan lesi yang lebih besar, khususnya pada area keduaketiga dari hidung saat dilakukan rhinotomi tripod eversi. Incisi transversal dibuat untuk
mengurangi columella, insisi transfiksi dibuat dan disapu ke lateral antara antara kartilago
atas dan bawah. Incisi para alar dilakukan rotasi ke atas hidung. Beberapa traktus fistula
yang terbuka dikurangi dengan incisi yang menyatu dan kanulasi traktus dengan probe
lacrimal. Operasi dengan menggunakan mikroskop digunakan untuk menambah
visualisasi. Lesi yang cukup luas, dimana pada masa dewasa tulang dan kartilago telah
dirusak oleh prosedur pembedahan maupun karena erosi dan pada pasien dengan
komplikasi intrakranial dapat dilakukan prosedur rhinotomy zig-zag yang digunakan
untuk eksisi luas. Insisi dibuat dengan perluasan ke arah superior dari sumbu tubuh pada
sudut 40-90. Beberapa fistula yang terbuka dieksisi dengan eksisi fusiform. Prognosis
terbentuknya scar lebih kecil dibanding incisi lurus karena incisi zig-zag dapat
mengurangi garis ketegangan kulit dengan membentuk sudut 90 yang horisontal
menyeberangi hidung. Rochich dkk merekomendasikan pendekatan Open rhinoplasty
dengan incisi Columelar bertingkat dengan beberapa alasan utama yaitu : memudahkan
pemaparan, pemaparan yang luas pada dorsum nasi, mengontrol osteotomi eksternal,
memudahkan rekonstruksi dorsal dan memudahkan pemaparan sis lateral atas dari
kartilago dan septum.
Lesi intranasal dilakukan dengan rinotomi lateral atau dapat juga dilakukan
dengan teknik endoskopi. Weiss dkk mendeskripsikan penggunaan teknik endoskopi
untuk mengangkat dermoid nasal pada 2 kasus. Mereka merekomendasikan teknik ini
untuk mengangkat dermoid yang berada dalam cavum nasi dengan keterlibatan kutaneus
yang minimal. Teknik ini dapat dikombinasikan dengan midline minimal dari titik
kutaneus. Mereka merekomendasikan teknik teknik endoskopi dengan perluasan pada
anterior fossa cranii direkomendasikan dengan kombinasi pendekatan ekstra-intrakranial
pada massa yang telah meluas ke Falk cerebri.
Peneliti lain mendeskripsikan eksisi nasal glioma yang diisolasi dari cavitas nasi
tanpa bukti keterlibatan intrakranial yang tampak pada pencitraan.

10

Massa di daerah midline yang memiliki keterlibatan intrakranial memerlukan


kerjasama dengan ahli bedah. Kraniotomi frontalis dilakukan, bagian massa di
intrakranial dieksisi dan defek dura-tulang direkonstruksi, kemudian massa ekstrakranial
diangkat. Beberapa peneliti telah menyarankan penggunaan teknik Intraoperative frozen
section untuk mengidentifikasi tangkai dermoid yang tidak dapat ditelusuri dasarnya.
Ketika telah ditemukan jaringan fibrosa tangkai dapat diligasi, namun bila yang
ditemukan adalah jaringan dermoid maka perlu dilakukan pendekatan intrakranial.
20,21,22,23,24,25

Kesimpulan
Diagnosis dari massa kongenital nasal midline memerlukan indeks persangkaan
yang tinggi. Kelainan ini jarang ditemukan, meski demikian komplikasi yang mengancam
nyawa akibat adanya hubungan intrakranial patut diperhatikan. Ketika pasien datang
dengan massa berupa dermoid nasal, glioma, ataupun ensefalokel, khususnya pada
pasien-pasien anak, biopsi sebaiknya ditunda hingga bukti tidak adanya keterlibatan
intrakranial didapatkan dengan pencitraan CT-scan maupun MRI. CT-scan dapat
dilakukan sebagai langkah pencitraan awal dengan follow up MRI untuk mendapatkan
bukti yang meyakinkan adanya keterlibatan intrakranial atau dengan pencitraan MRI
sebagai studi pencitraan tunggal.
Penatalaksanaan lesi ini adalah eksisi pembedahan dengan pendekatan eksternal
intrakranial ataupun kombinasi keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bloom DC, Carvalho DS, Dory C, Brewster DF, Wickersham
JK, Kearns DB. Imaging and surgical approach of nasal dermoids. International
J. Pediatric Otorhinolaryngology 2002;62:111-122.
2. Bradley PJ. Nasal dermoids in children. International J. Pediatric
Otorhinolaryngology 1981;3:63-70.
3. Burckhardt W, Tobon D. Endoscopic approach to nasal glioma. OtolaryngologyHead and Neck Surgery 1999;120:747-748.

11

4. Brown K, Brown OE. Congenital Malformations of the nose. In: Cummings CW,
ed. Pediatric Otolaryngology Head & Neck Surgery 3rd edition, St. Louis, Mosby;
1998:92-98.
5. Cauchois R, Laccourreye O, Bremond D, Testud R, Kuffer R, Monteil JP. Nasal
dermoid sinus cyst. Ann Otol Rhinol Laryngol 1994;103:615-618.
6. Denoyelle F, Ducroz V, Roger G, Garabedian EN. Nasal dermoid sinus cysts in
children. The Laryngoscope 1997;107:795-800.
7. Dimov P, Rouev P, Tenev K, Krosneva R, Valkanov P. Endoscopic surgery for
removal of a nasal glioma: case
report. Otolaryngol Head Neck Surg1991;124:690.
8. Frodel JL, Larrabee WF, Raisis J. The nasal dermoid. Otolaryngol Head Neck
Surg 1989;101:392-396.
9. Haafiz AB, Sharma R, Faillace WJ. Congenital Midline
Nasofrontal Mass. Clinical Pediatrics September 1995:482-486.
10. Knudsen SJ, Bailey BJ. Midline nasal masses. In: Bailey BJ, ed., Head & Neck
Surgery- Otolaryngology, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins,
2001:309-313.
11. Pensler J, Bauer B, Naidich T. Craniofacial dermoids. Plast Reconstr
Surg 1988;82:953-958.
12. Pollock RA. Surgical approaches to the nasal dermoid cyst. Annals of Plastic
Surgery. 1983;10:498-501.
13. Posnick JC, Bortoluzzi P, Armstrong DC. Nasal dermoid sinus cysts: An unusual
presentation, computed tomographic scan findings, and surgical results. Annals of
Plastic Surgery 1994;32:519-523.
14. Rohrich RJ, Lowe JB, Schwartz MR. The role of open rhinoplasty in the
management of nasal dermoid cysts. Plastic and Reconstructive
Surgery1999;104(7):2163-2170.
15. Schlosser RJ, Faust RA, Phillips CD, Gross CW. Three dimensional computed
tomography of congenital nasal anomalies. International J. Pediatric
Otorhinolaryngology 2002;65:125-131.
16. Sessions RB, Picken C. Congenital Anomalies of the nose. In: Bailey BJ,
ed., Head & Neck Surgery- Otolaryngology, Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins, 2001:941-948.
17. Suwanwela C, Suwanwela N. A morphological classification of sincipital
encephalomeningoceles. J. Neurosurgery 1972;36:201-211.
18. Swift AC, Singh SD. The presentation and management of the nasal
glioma. International J. Pediatric Otorhinolaryngology 1985;10:253-261.
19. Tewfik TL, Yoskovitch A. Congenital malformations, nose. 2002 available at
www. emedicine.com.
20. Turgut M, Ozcan OE, Benli K, Ozgen T, Gurcay O, Saglam S, Bertan V, Erbengi
A. Congenital nasal encephalocele: a review of 35 cases. Journal of Cranio
Maxillo-Facial Surgery 1995;23:1-5.
21. Ward RF, April MM. Congenital Malformations of the Nose, Nasopharynx, and
Sinuses. In: Wetmore RF, ed., Pediatric Otolaryngology, New York,
Thieme, 2000:453-460.

12

22. Weiss DD, Robson CD, Mulliken JB. Transnasal endoscopic excision of midline
nasal dermoid from the anterior cranial base. Plastic and Reconstructive
Surgery 1998;101(6):2119-2123.
23. Whitaker SR, Sprinkle PM, Chou SM. Nasal glioma. Arch
Otolaryngol 1981;107:550-554.
24. Yokoyama M, Inouye N. Endoscopic management of nasal glioma in
infancy. International J. Pediatric Otorhinolaryngology 1999;51:51-54.
25. Younus M, Coode PE. Nasal glioma and encephalocele: two separate entities:
report of two cases. J Neurosurg 1986;64:516-519.

13

Anda mungkin juga menyukai