pelatihan
2007
PARADIGMA,
EPISTEMOLOGI
DAN METODE
ILMU SOSIAL-BUDAYA
- SEBUAH PEMETAAN -
.
Heddy Shri Ahimsa-Putra
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
I. PENGANTAR
Sudah sering, bahkan sangat sering, kita mendengar istilah-istilah: teori,
kerangka teori dan paradigma. Dalam berbagai forum diskusi, lokakarya dan
seminar tentang metode penelitian, istilah-istilah tersebut tidak pernah lupa disebut. Namun demikian, tidak setiap orang yang pernah menggunakan istilahistilah ini dalam diskusi ataupun tulisan-tulisannya dapat menjelaskan makna
istilah-istilah tersebut dengan baik dan memuaskan. Bahkan dari pertemuan
saya dengan banyak ilmuwan sosial-budaya, saya mendapat kesan bahwa mereka umumnya tidak merasa perlu memahami arti istilah-istilah ini dengan baik,
karena semua orang dianggap telah mengetahui maknanya.
Anggapan ini tentu saja banyak melesetnya, karena dalam kenyataannya
masih banyak ilmuwan kita yang tidak memahami dan tidak berupaya memahami dengan lebih baik arti istilah-istilah tersebut. Memang ada orang yang
berpendapat bahwa memberikan definisi-definisi yang jelas dan ketat pada istilah-istilah tertentu dalam kegiatan ilmiah dianggap tidak begitu penting, karena
definisi dianggap dapat menghambat gerak atau aktivitas keilmuannya. Selain
itu, ada pula yang berpendapat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak ditentukan oleh jelasnya pengertian istilah-istilah yang digunakan. Dua pendapat ini
jelas salah saya kira.
Bagaimanapun juga pendefinisian atas istilah-istilah tertentu, apalagi yang
berasal dari bahasa asing (seperti teori, metodologi dan paradigma), tetaplah
penting. Jika pendefinisian ini dirasakan terlalu sulit, maka minimal apa-apa
yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut harus kita ketahui. Artinya, kita
harus mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam suatu istilah. Misalnya saja, kalau kita merasa sangat kesulitan mendefinisikan atau mengatakan apa
yang kita maksud sebagai teori, paling tidak kita harus mengetahui apa saja
unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah teori, sehingga kalau ada sesuatu
yang disodorkan kepada kita, kita bisa mengatakan apakah yang disodorkan
tersebut sebuah teori atau bukan.
1
pertumbuhan ilmu sosial-budaya yang evolutif, dari dalam, yang berasal dari
kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia sendiri.
Dalam tulisan ini saya menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai metodemetode dalam penelitian ilmu sosial-budaya seharusnya -dan sebaiknya memang- dikaitkan dengan pembicaraan mengenai unsur-unsur lain dalam suatu
paradigma. Sayangnya, hal semacam ini umumnya tidak terjadi. Banyak ilmuwan sosial-budaya yang tidak mengetahui dengan baik dan sistematis keterkaitan antar unsur-unsur dalam paradigma ini, sehingga penelitian dan pengembangan ilmu sosial-budaya di Indonesia kemudian selalu mengekor pada
perkembangan ilmu pengetahuan alam, dan cenderung mempertahankan kepengekoran tersebut.
II. TEORI, KERANGKA TEORI DAN PARADIGMA
Istilah teori adalah istilah yang sangat biasa kita dengan sehari-hari, baik di
lingkungan akademik maupun bukan. Biasanya orang mempertentangkan istilah teori dengan praktek, sehingga seringkali kita mendengar orang
berkata :Ah... itu kan cuma teori. Prakteknya kan lain. Teori di sini menjadi
suatu hal yang seharusnya, sebaiknya, seyogyanya. Jadi adanya dalam
angan-angan, bukan dalam kenyataan; sedang praktek adalah apa yang
sebenarnya terjadi, dilakukan atau diwujudkan. Oleh karena itu praktek adalah
kenyataan-nya, bukan idealnya atau sebaiknya. Dalam pembicaraan kita di sini
yang di-maksud dengan teori bukanlah yang seperti itu, walaupun teori
tersebut me-mang masih berada dalam dunia angan-angan atau pemikiran.
a. Teori
Teori di sini diartikan sebagai suatu pernyataan, pendapat atau pandangan tentang (a) hakekat suatu kenyataan atau suatu fakta, atau tentang (b)
hubungan antara kenyataan atau fakta tersebut dengan kenyataan atau
fakta yang lain, dan kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu. Jika pengujian ini dilakukan melalui metode dan
prosedur (atau cara dan tata-urut) ilmiah, maka teori tersebut dikatakan sebagai teori yang ilmiah atau teori ilmu pengetahuan, sedang kalau pengujiannya
dilakukan tidak dengan menggunakan dan mengikuti prosedur ilmiah tadi, maka teori tersebut akan dianggap sebagai teori yang tidak ilmiah dan karenanya
tidak harus diyakini kebenarannya.
Jadi, sebuah teori bisa merupakan pandangan tentang hakekat suatu kenyataan atau gejala, seperti misalnya masyarakat, kebudayaan, kepribadian, kesenian, agama atau gejala yang lain. Teori tentang masyarakat misalnya memaparkan berbagai hal tentang masyarakat tersebut, seperti ciri-cirinya,
unsur-unsurnya, sifat-sifatnya, dan sebagainya. Tujuan teori ini adalah untuk
3
daya, dan berbagai teori tentang gejala ini, pada dasarnya adalah bagian dari
kerangka teori tersebut. Jadi suatu kerangka teori memang lebih luas daripada
teori, sebagaimana terlihat dari definisi-definisi di atas.
c. Paradigma
Istilah yang sangat populer kini untuk menyebut kerangka teori adalah paradigma. Istilah ini menjadi populer setelah Thomas Kuhn menggunakannya
dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1945). Kuhn mengatakan bahwa revolusi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah pergantian paradigma atau pergantian pola pikir, cara memandang, cara mendefinisikan suatu
gejala atau suatu persoalan. Revolusi dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya
adalah penggantian paradigma lama oleh suatu paradigma baru yang dipandang dapat menjelaskan lebih banyak gejala atau dapat memberikan jawaban
yang lebih tepat atau lebih menguntungkan atas pertanyaan yang dikemukakan
Meskipun demikian, apa yang dikatakan oleh Kuhn sebagai penggantian paradigma sebenarnya lebih tepat digunakan dalam konteks ilmu-ilmu alam.
Dalam ilmu sosial-budaya saya berpendapat bahwa revolusi ilmu pengetahuan tidak terjadi lewat penggantian paradigma, karena dalam ilmu-ilmu sosial
budaya paradigma yang lama biasanya tidak sama sekali ditinggalkan walaupun paradigma baru telah muncul. Revolusi ilmu pengetahuan dalam ilmu sosial-budaya terjadi ketika muncul paradigma baru yang mengungkap aspek-aspek tertentu dari gejala sosial-budaya yang selama ini terabaikan. Dengan demikian pengembangan ilmu pengetahuan sosial-budaya adalah pengembangan paradigma baru yang melengkapi paradigma lama,. Di sini paradigma lama
dapat hidup berdampingan dengan paradigma baru, yang kemudian dikenal
se-bagai aliran. Dengan munculnya paradigma baru -tanpa mematikan
paradig-ma lama- para ilmuwan akan dapat memperoleh pemahaman yang
lebih leng-kap, lebih komprehensif, lebih menyeluruh mengenai gejala yang
diteliti.
Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, saya setuju dengan pendapat
Thomas Kuhn bahwa paradigma merupakan bagian terpenting dari ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga hanya perubahan dan penambahan yang ada pada bidang itulah yang dapat dikatakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, saya memilih menggunakan kata paradigma untuk kerangka teori.
Meskipun Kuhn berbicara panjang lebar mengenai penggantian paradigma,
namun ternyata dia sendiri tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksudnya sebagai paradigma. Saya kira ini merupakan akibat tidak langsung dari topik pembahasannya, yakni paradigma ilmu-ilmu alam. Ilmu pengetahuan yang
menjadi topik pembicaraan Kuhn adalah ilmu pengetahuan alam. Dia tidak banyak menyinggung ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada kemungkinan dia merasa ti6
ka oleh Cuff dan Payne di atas, saya berpendapat bahwa unsur-unsur pokok
sebuah paradigma ilmu sosial-budaya adalah: (1) Asumsi-asumsi dasar; (2)
Model-model; (3) Konsep-konsep; (4) Metode-metode penelitian; (5) Metode-metode analisis; dan (6) Hasil-hasil analisis. Bisa juga ditambahkan di
sini (7) masalah-masalah yang ingin diselesaikan, dijawab, atau pertanyaan-pertanyaan. Akan tetapi saya merasa ini kurang begitu perlu, sebab masalah-masalah yang ingin dijawab ini -yang kenyataannya berupa pertanyaanpertanyaan atau hipotesa yang perlu diuji- biasanya merupakan wujud asumsiasumsi dasar dalam bentuk pertanyaan. Jadi enam komponen tersebut saya kira sudah sangat memadai untuk menjadi landasan dalam menentukan perbedaan antara paradigma satu dengan yang lain dalam ilmu sosial-budaya.
Berikut ini adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma tersebut, yang menurut saya perlu diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan
ten-tang paradigma yang menyentuh komponen-komponen tersebut serta
menje-laskannya dengan rinci.
1. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions)
Wacana ilmu sosial-budaya di Indonesia sangat jarang menyinggung tentang asumsi-asumsi dasar dalam penelitian atau hasil penelitian. Hal ini paling
tidak menunjukkan bahwa (a) kita tidak menganggap penting elemen asumsi
dasar dalam perbincangan mengenai teori-teori, atau (b) kita tidak mengetahui
tentang adanya elemen asumsi dasar di balik teori-teori, atau (c) kita tidak mengetahui adanya hubungan penting antara teori dengan asumsi dasar, dalam
sebuah kerangka pemikiran tertentu. Padahal, jika kita perhatikan wacana ilmuilmu sosial-budaya di Barat, bahkan juga wacana politik praktis mereka, elemen
asumsi dasar selalu menjadi salah satu elemen yang paling awal ditelaah secara kritis sebelum elemen-elemen yang lain, karena memang asumsi-asumsi inilah yang mendasari sebuah sudut pandang tertentu dan kemudian juga sejumlah kebijakan dan langkah-langkah politis tertentu. Sudah saatnya kini kita lebih
sadar tentang asumsi-asumsi dasar ini, dan kemudian berusaha bersikap kritis
terhadapnya, agar dapat membangun sebuah paradigma baru.
Sikap kritis ini hanya dapat dilakukan bilamana kita telah mengetahui
dengan baik apa asumsi dasar itu sendiri, seperti apa wujudnya, dan apa
isinya. Hanya dengan pemahaman yang baik atas hakekat asumsi dasar kita
kemudian da-pat mengetahui asumsi-asumsi kita sendiri, mengambil jarak
terhadapnya, me-ngetahui kelemahan dan kekuatannya, dan kemudian
membangun suatu ke-rangka berfikir baru atas dasar asumsi-asumsi yang
berbeda.
Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai
suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Jadi, pandangan ini
8
merupakan titik-tolak atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu
persoalan, karena pandangan-pandangan tersebut kita anggap benar atau kita
yakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenunganperenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris
yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama. Jika asumsi ini
berasal dari pandangan filosofis dan reflektif, pandangan ini biasanya lantas
mirip dengan 'ideologi' si ilmuwan, dan ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh karena itu, muncul kini pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada "obyektivitas" dalam ilmu sosi-al-budaya, sebab apa yang selama ini dianggap sebagai
"obyektivitas" ternyata juga didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis tertentu,
yang tidak berbeda dengan 'ideologi'. Jadi, pandangan tentang obyektivitas dalam ilmu sosial-budaya tersebut sebenarnya bersandar pada ideologi tertentu
pula. Oleh karena itu tetap 'subyektif' juga.
Asumsi-asumsi dasar biasanya terlihat dengan jelas dalam rumusan-rumusan tentang hakekat sesuatu atau definisi mengenai sesuatu, dan ini biasanya
merupakan jawaban atas pertanyaan "Apa itu...?". Misalnya saja, "Apa itu kebudayaan?"; "Apa itu masyarakat?"; "Apa itu karya sastra?", dan sebagainya.
Dalam dunia ilmu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan
sangat menentukan langkah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya. Sebaliknya,
tanpa definisi ini akan sulit bagi si ilmuwan untuk menentukan apakah kegiatan
ilmiah yang dilakukannya telah berada pada jalur yang 'benar'. Di lain pihak perumusan tentang hakekat tersebut juga berawal dari sejumlah asumsi-asumsi
tertentu pula.
Dengan kata lain, asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah
disiplin atau bidang keilmuan, dan seperti halnya fondasi sebuah gedung
yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Asumsi-asumsi
ini umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit. Oleh karena itu, tidaklah terlalu
mengherankan jika sebagian ilmuwan tidak mengetahui dengan baik berbagai
asumsi dasar paradigma yang kebetulan digunakannya dalam memandang
dan mempelajari suatu gejala sosial-budaya. Diskusi yang lebih eksplisit tentang asumsi dasar biasanya sudah berada pada tataran yang berbeda dengan
diskusi tentang teori-teori yang dihasilkan oleh kajian-kajian yang bersandarkan
pada asumsi-asumsi dasar tersebut.
Banyak di antara kita misalnya yang mengetahui teori evolusi masyarakat
dan kebudayaan dari tokoh-tokoh seperti L.H.Morgan, H.Spencer, E.B.Tylor, H.
Maine dan sebagainya, namun tidak banyak di antaranya yang mengetahui
asumsi-asumsi dasar yang ada di balik berbagai macam teori tersebut. Hal ini
mungkin karena di kalangan kita mempelajari berbagai teori ilmu sosial-budaya
biasanya masih diartikan sebagai upaya mengetahui dan kemudian menghapalkan berbagai teori atau pendapat yang dikemukakan oleh ilmuwan lain tentang suatu persoalan, dan tidak berusaha menukik lebih dalam, menuju ke tataran asumsi-asumsi dasarnya, yang lebih implisit. Memang, langkah ini lebih
9
10
dalam buku atau artikel strukturalisme kita akan banyak menemukan pernyataan kebudayaan itu seperti bahasa, dan sebagainya.
3. Konsep-konsep (Concepts)
Dibandingkan dengan pengetahuan mengenai asumsi dasar dan model, pengetahuan ilmuwan sosial-budaya Indonesia mengenai konsep memang lebih
baik. Mereka umumnya tahu apa yang dimaksud dengan konsep, walaupun tidak selalu dapat mendefinisikannya dengan baik. Mereka juga tahu tentang
pentingnya konsep-konsep dalam penelitian, akan tetapi hal ini tidak selalu diiringi dengan kemampuan untuk memberikan batasan atau definisi mengenai
konsep-konsep yang mereka gunakan dalam penelitian, karena biasanya mereka (a) kurang mampu membayangkan bagaimana wujud konsep tertentu itu
sendiri dalam kenyataan empiris, ditambah dengan (b) kurang mampu menggunakan bahasa Indonesia tulis dengan baik. Akibatnya, batasan-batasan konsep penting yang mereka gunakan dalam penelitian kurang sesuai dengan realitas empirisnya, atau sama sekali tidak jelas maknanya.
Para ilmuwan sosial-budaya Indonesia umumnya sudah mengenal istilah
konsep, dan mungkin telah menggunakannya berulangkali, tetapi belum tentu
mereka semua mengetahui maknanya dengan baik atau dapat
menjelaskannya kepada orang lain. Dalam ilmu sosial-budaya, konsep juga
dimaknai berbeda-beda. Di sini secara sederhana saya mendefinisikan konsep
sebagai istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga
membuatnya dapat digunakan untuk memahami, menafsirkan,
menganalisis dan men-jelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang
dipelajari.
Apa contoh dari konsep ini? Banyak sekali dalam ilmu sosial-budaya. Misalnya: masyarakat, kebudayaan, pendidikan, sekolah, konflik, sukubangsa, dan
sebagainya. Kamus antropologi, kamus sosiologi, dan sejenisnya, merupakan
kumpulan penjelasan konsep-konsep yang dipandang penting dalam kajian antropologi dan sosiologi. Banyak istilah-istilah di situ merupakan istilah yang kita
gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian belum tentu kita mengetahui makna istilah-istilah tersebut dengan baik, bahkan tidak sedikit yang
salah dalam menggunakannya, terutama jika istilah tersebut berasal dari bahasa asing.
Sekedar contoh misalnya, konsep kebudayaan. Istilah ini begitu biasa kita
dengar. Demikian juga istilah pariwisata. Akan tetapi, tahukah kita makna istilah-istilah tersebut dengan baik? Dapatkah kita menjelaskannya kepada orang
lain dengan cara yang cukup mudah? Walaupun di negeri kita sudah ada Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, saya sama sekali tidak yakin bahwa
pejabat-pejabat yang ada di situ mengetahui dengan baik makna kebudayaan
13
Sehubungan dengan persoalan eksplisit dan implisit ini pula, maka asumsi
dan model yang kita gunakan sebaiknya juga eskplisit, atau minimal kita dapat
menyatakanya, memaparkannya, menjelaskannya, kepada orang lain ketika diminta, sebab dalam kegiatan ilmiah keeksplisitan ini suatu saat pasti dibutuhkan, apalagi jika pendapat atau temuan kita ternyata mengundang perdebatan
dengan ilmuwan-ilmuwan lain. Dalam situasi seperti ini biasanya pemahaman
yang mendalam atas asumsi-asumsi dan model-model yang ada dalam diri
sendiri maupun yang dimiliki oleh orang lain menjadi sangat diperlukan. Pemahaman seperti ini akan menjadi sulit bilamana asumsi dan model di situ masih
terus bersifat implisit.
Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan
berbagai macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada definisi yang
paling benar, karena setiap konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang
tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah apakah definisi
sebuah konsep memungkinkan peneliti mempelajari, memahami dan menjelaskan gejala yang diteliti dengan baik. Oleh karena itu, sebelum merumuskan sebuah definisi seyogyanya peneliti melakukan kajian pustaka yang cukup komprehensif agar dapat memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para
ilmuwan lain berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam
penelitiannya.
Jika dari kajian pustakan ini kemudian diketahui bahwa definisi-definisi konsep yang telah dikemukakan ternyata tidak ada yang dipandang sesuai atau
cocok maka peneliti seyogyanya dapat membuat definisi sendiri yang lebih sesuai. Sebelum pendefinisian ini dilakukan ada baiknya juga peneliti mengemukakan berbagai kritik atau kelemahan atas definisi-definisi yang sudah ada,
yang membuatnya tidak dapat menggunakan definisi-definisi tersebut. Uraian
ini akan menjadi semacam dasar atau alasan teoritis untuk merumuskan sebuah definisi baru yang lebih sesuai. Bilamana ini dapat dilakukan hal itu berarti
bahwa peneliti telah melakukan pembaharuan konseptual dalam studi mengenai gejala-gejala sosial-budaya tertentu.
4. Metode-metode Penelitian (Methods of Research)
Berkenaan dengan metode penelitian ini umumnya kita mengenal
pembeda-an antara metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian
kualitatif. Mes-kipun demikian banyak sekali mahasiswa dan sarjana ilmu
sosial-budaya yang mempunyai pengertian kurang lengkap tentang metode
penelitian ini, sehing-ga ketika mereka ditanya di mana letak kualitatifnya dan
kuantitatifnya sebuah metode?, mereka tidak dapat menjawab. Selain itu,
banyak juga ilmuwan sosi-al-budaya yang hanya mengetahui satu jenis metode
saja, yaitu yang kuantita-tif, sehingga semua masalah selalu diteliti dengan
menggunakan metode yang sama, padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih
15
jelek lagi, karena tidak me-ngetahui jenis metode peneletian yang lain, metode
penelitian itulah (yang ku-antitatif) yang kemudian dianggap sebagai satusatunya metode penelitian yang ilmiah.
Sayangnya lagi, satu-satunya metode penelitian yang dianggap benar inipun tidak dikuasai dengan baik. Masih banyak sarjana ilmu sosial-budaya kita
yang belum dapat membuat kuesioner dengan runtut, sistematis, dan terarah,
sesuai dengan masalah yang diteliti, serta tidak mengandung pertanyaan-pertanyaan yang etnosentris. Akibatnya, kita bisa membayangkannya sendiri.
Oleh karena itu, sebelum membicarakan tentang metode penelitian ini kita bicarakan terlebih dulu konsep-konsep yang ada di sini, agar maknanya kita ketahui dengan baik.
Pertama, yang dimaksud dengan penelitian di sini harus diartikan sebagai
pengumpulan data. Oleh karena itu, metode penelitian kualitatif dan kuantitatif tidak lain adalah metode atau cara guna memperoleh, mengumpulkan,
data kualitatif dan data kuantitatif. Jadi yang bersifat kuantitatif atau kualitatif bukanlah metodenya, tetapi datanya. Selanjutnya, sifat data ini juga
sangat menentukan cara kita untuk mendapatkannya. Untuk itu kita perlu tahu
ciri-ciri penting yang ada pada masing-masing data. Dilihat dari sudut pandang
ini, maka sebenarnya tidak ada pemisahan dan tidak perlu ada pemisahan
yang sangat tegas dan kaku antara penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif, sebagaimana sering dikatakan oleh sebagian ilmuwan sosial-budaya
yang kurang memahami tentang metode-metode penelitian.
Yang penting dalam suatu penelitian adalah bagaimana dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dengan memuaskan, dengan
meya-kinkan, dan ini sangat tergantung pada data yang dikemukakan. Data ini
bisa berupa data kuantitatif, data kualitatif atau kedua-duanya. Sebelum kita
membi-carakan tentang jenis-jenis data dan cara mendapatkannya, ada
baiknya kita pahami dengan baik terlebih dulu makna dari : realita, fakta dan
data. Apa yang dimaksud dengan realita(kenyataan), fakta dan data? Tiga
konsep ini sangat perlu diketahui maknanya serta dimensi-dimensinya, agar
kita tidak mengalami kesulitan dalam menggunakannya untuk penelitian.
a. Realita, Fakta dan Data.
Apa yang dimaksud dengan realita atau kenyataan? Secara sederhana kenyataan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dianggap ada. Kata
dianggap di sini menduduki posisi penting, sebab kata tersebut mencerminkan
relativitas. Artinya, apa yang ada bagi seseorang belum tentu ada bagi yang
lain, karena masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tentang suatu
hal. Ada di sini tidak harus bersifat empiris, atau dapat diketahui lewat
pancaindera, sebab banyak hal-hal yang kita anggap ada tanpa kita pernah
16
mengalaminya secara empiris. Ada di sini juga bisa berarti ada di dunia, di
jagad raya ini, baik secara empiris maupun dalam pikiran kita.
Fakta seringkali disamakan dengan kenyataan. Akan tetapi kalau kita melakukan ini timbul pertanyaan: mengapa kita harus menggunakan dua kata
yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama? Jika ada dua kata yang berbeda maka keduanya harus menunjuk dua hal yang berbeda. Bahkan apa
yang kita sebut synonym pada dasarnya tidak dapat menunjuk kepada dua hal
yang persis sama. Ada pengertian-pengertian tertentu yang terdapat pada satu
kata tidak kita temukan pada synonimnya. Jadi, fakta harus kita bedakan
dengan realitaatau kenyataan.
Fakta di sini kita definisikan sebagai pernyataan tentang realita, tentang
kenyataan. Seseorang yang menceriterakan suatu kejadian pada dasarnya
adalah orang yang sedang mengemukakan fakta-fakta, mengemukakan pernyataan-pernyataan tentang suatu kenyataan. Oleh karena itu, suatu fakta selalu bersifat subyektif, dalam arti bahwa fakta tersebut selalu dihasilkan lewat sudut pandang orang tertentu. Suatu kenyataan yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang berbeda. Ini terlihat jelas dalam berbagai
macam berita mengenai suatu kejadian yang dimuat oleh berbagai suratkabar
yang berbeda. Walaupun peristiwanya sama, namun berita mengenai peristiwa
ini tidak akan pernah persis bisa sama. Di lain pihak suatu fakta juga dapat dikatakan sebagai obyektif karena selalu didasarkan pada suatu kenyataan.
Pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu kenyataan tidak dapat dikatakan
sebagai fakta. Dia lebih tepat disebut sebagai karangan atau hasil dari sebuah
khayalan, hasil imajinasi.
Fakta ini dapat menjadi data, tetapi tidak semua fakta adalah data. Apa
yang dimaksud dengan data? Data di sini dikatakan sebagai fakta yang relevan, yang berkaitan secara logis dengan (a) masalah yang ingin dijawab
atau masalah penelitian, dan dengan (b) kerangka teori atau paradigma
yang digunakan untuk menjawab masalah tersebut. Jadi, data adalah fakta
yang telah dipilih, diseleksi, berdasarkan atas relevansinya.
Sebuah buku atau suratkabar memuat banyak sekali fakta. Ada fakta tentang pemilu, tentang pengeboman, tentang demo mahasiswa, tentang hasil
lomba, tentang perayaan kemerdekaan, dan sebagainya. Akan tetapi tidak semua fakta tersebut akan menjadi data kita apabila kita melakukan penelitian.
Kalau kita meneliti tentang perkembangan sistem politik di Indonesia, maka
fakta-fakta dalam suratkabar yang dapat menjadi data kita adalah fakta-fakta
mengenai peristiwa-peristiwa politik, tentang otonomi daerah, tentang partai politik, dan sebagainya. Meskipun demikian, fakta-fakta inipun belum tentu semuanya akan menjadi data kita, karena kita menggunakan kerangka teori atau paradigma tertentu, dan se-tiap paradigma memerlukan data yang agak ataupun
sangat berbeda dengan da-ta yang diperlukan oleh paradigma yang lain.
17
Fakta
^
|
Fakta
^
|
Data
^
|
Data
^
|
relevan
tidak
relevan
^
|
relevan
relevan
^
|
tidak
relevan
^
|
Fakta 1
^
|
Fakta 2
^
|
Fakta 3
^
|
^
|
Fakta 4
^
|
^
|
Fakta 5
^
|
Individu 1
Individu 2
Individu 3
Individu 4
Individu 5
^
^
^
^
^
|
|
|
|
|
-------------------------------------------------------------------------^
|
Realita (kenyataan)
empiris dan non-empiris
b. Data Kualitatif
Data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian bisa berupa data kualitatif
atau data kuantitatif, atau kedua-duanya, dan sebuah penelitian bisa saja memerlukan dan memanfaatkan dua jenis data ini untuk menjawab masalah-masalahnya. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara yang berbeda dengan data
kualitatif. Oleh karena ciri dan sifatnya yang berbeda maka analisis terhadap
data ini juga berbeda. Sebelumnya perlu diketahui lebih dulu apa yang dimaksud dengan data kuantitatif dan data kualitatif.
Data kuantitatif adalah kumpulan simbol -bisa berupa pernyataan, huruf
atau angka- yang menunjukkan suatu jumlah (quantity) atau besaran dari suatu
gejala, seperti misalnya jumlah penduduk, jumlah laki dan perempuan, jumlah
anak sekolah, jumlah rumah, jumlah tempat ibadah, luas sebuah kelurahan,
jumlah padi yang dipanen, dalamnya sebuah sumur, dan sebagainya. Data
kuantitatif dapat diperoleh dari kantor statistik atau kantor pemerintah (kabupa18
kan kategori-kategori tersebut. Data kualitatif tentang santri bisa seperti berikut. Santri adalah istilah yang biasa digunakan di berbagai pondok pesantren
untuk menunjuk mereka yang berada di pesantren tersebut untuk mempelajari
kitab-kitab agama di bawah bimbingan seorang ustadz (guru) atau seorang
kyai. Di banyak pesantren biasanya dikenal dua jenis santri, yakni yang tinggal
(mondok) di pesantren dan mereka yang pulang kembali ke rumah setelah pelajaran membaca kitab selesai.
Dalam penelitian di desa kita selain kita akan menemui kategori-kategori sosial dan budaya yang sudah umum, kita juga akan menemukan kategori-kategori yang khas, yang mungkin hanya ditemui pada masyarakat setempat.
Misalnya saja, di Sumatra Barat kita akan menemukan kategori ninik-mamak,
urang sumando, dukun baranak, dan sebagainya selain kategori-kategori yang
biasa kita temui seperti pedagang, pegawai, petani dsb.
Ceritera. Ceritera ini bisa mengenai banyak hal, sehingga kita menyebutnya
sebagai legenda, mitos, sejarah, dsb. Berbagai ceritera ini sangat penting dalam konteks masalah penelitian tertentu, sehingga tujuan penelitian antara lain
adalah mendapatkan ceritera-ceritera semacam ini. Ceritera-ceritera ini tidak
harus terasa masuk akal menurut kita. Masuk akal atau tidaknya sebuah ceritera terkait erat dengan hal-hal lain dalam kebudayaan.
Ada banyak macam ceritera dapat kita temukan dalam penelitian. Ada ceritera mengenai tokoh-tokoh tertentu yang pernah ada di daerah tersebut, entah
itu mengenai kehebatannya, kebaikannya atau kejelekan-kejelekannya. Ada
ceritera mengenai peristiwa dibukanya daerah tersebut menjadi sebuah desa
atau tempat pemukiman. Ada juga ceritera mengenai mahluk-mahluk halus
yang dianggap ada di situ. Berbagai macam ceritera ini oleh peneliti biasanya
kemudian dikelompok-kelompokkan berdasarkan ats kesamaan-kesamaan ciriciri tertentu dalam ceritera tersebut, sehingga ada yang dikelompokkan dalam
kategori legenda, sejarah, atau mitos.
Berbagai macam ceritera ini sebenarnya merupakan data kebudayaan suatu masyarakat, namun tidak semua data ini relevan untuk sebuah penelitian.
Oleh karena itu, seorang peneliti juga harus dapat menentukan ceritera-ceritera
yang mana yang dianggap relevan atau dapat memberikan sumbangan tertentu terhadap usahanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskannya.
Percakapan. Catatan mengenai sebuah atau beberapa percakapan yang
terjadi di lapangan juga merupakan data kualitatif yang penting untuk penelitian
tertentu. Kalau data sebelumnya hampir semuanya diperoleh lewat pengamatan atau wawancara, data percakapan ini diperoleh lewat metode mendengarkan. Ini sebenarnya merupakan sebuah metode yang telah sangat banyak digunakan, namun sangat sedikit ditulis. Demikian juga dengan hasilnya, sehing20
ga data kualitatif yang berasal dari percakapan ini biasanya sampai pada sudah dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang merupakan abstraksi-abstraksi
dari peneliti dari data percakapan yang diperolehnya.
Data berupa percakapan biasanya lebih banyak ditampilkan para peneliti
bahasa yang data utamanya memang percakapan. Meskipun demikian kini bebeberapa ilmuwan sosial-budaya yang menggunakan paradigma tertentu dalam penelitian mereka -misalnya etnosains dan etnometodologi- sangat banyak
memerlukan data percakapan ini. Analisis yang dilakukan para ilmuwan sosialbudaya ini berbeda dengan analisis para ahli bahasa, karena lebih ditujukan
untuk mengungkapkan sisi sosial-budaya dari fenomene percakapan yang terjadi.
Pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Data kualitatif mengenai perilaku
biasanya menggambarkan kegiatan-kegiatan tertentu atau pola-pola perilaku
tertentu. Misalnya saja perilaku dalam matapencaharian. Data kualitatifnya bisa
seperti berikut. Pada pagi hari, setelah kegiatan sholat pagi (sholat subuh) di
masjid selesai, sebelum matahari terbit beberapa petani tampak memanggul
cangkul menuju daerah persawahan di luar desa untuk mengolah tanah mereka. Bulan itu adalah bulan mulainya turun hujan setelah musim kemarau yang
berlangsung sekitar 4 bulan. Setelah hujan turun beberapa kali dalam seminggu terakhir, yang menandakan datangnya musim penghujan, para petani di
desa Sibolangit biasanya mulai mempersiapkan lahan yang akan mereka tanami dengan padi.
Pola-pola perilaku ini merupakan hasil abstraksi peneliti atas perilaku satu
atau banyak individu yang muncul berulang kali dengan tingkat kemiripan yang
besar. Pola-pola perilaku ini bisa diamati setiap hari dan ada pada setiap bidang kehidupan, mulai dari pagi sampai malam. Di pagi hari kita menemukan
misalnya pola-pola perilaku orang mempersiapkan diri untuk melakukan aktivitas hari itu, mulai dari buang air, masak air, mandi, berpakaian, makan pagi dan
pergi ke tempat bekerja atau sekolah. Pola-pola perilaku pagi hari akan
berbeda dengan pola perilaku di siang, sore dan malam hari, dan pola-pola perilaku sangat perlu kita deskripsikan, karena mungkin menjadi fokus penelitian
kita.
Organisasi Sosial. Dalam organisasi sosial ini tercakup hal-hal seperti pelapisan sosial, kelompok-kelompok sosial, golongan sosial, struktur sosial,
struktur pemerintahan, organisasi pemerintahan, sistem kekerabatan dsb. Kalau penelitian kita mengenai sistem kekerabatan misalnya, maka data kualitatifnya akan berupa deskripsi tentang pola tempat tinggal setelah menikah, pola
pernikahan, pola pewarisan nama keluarga, harta, rumah, tanah, istilah-istilah
kekerabatan, interaksi antarkerabat, dsb. Data kualitatif tersebut akan berupa
seperti berikut. Dalam masyarakat Minangkabau di Sungai Puar, seorang lakilaki mempunyai kewajiban terlibat dalam proses pendewasaan anak-anak dari
21
rena posisi mereka sebagai orang luar. Mereka juga tidak banyak tahu isyu
yang beredar dalam masyarakat yang diteliti, yang seringkali merupakan data
yang sangat penting, tetapi relatif sulit diperoleh, kecuali jika mereka tinggal cukup lama di lapangan. Selain itu, para asisten ini juga tidak selalu menguasai
bahasa lokal, yang sangat perlu dikuasai untuk mendapatkan informasi yang
akurat dari warga yang diteliti.
5. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis)
Sebagaimana halnya metode penelitian, metode analisis kualitatif dan
metode analisis kuantitatif harus diartikan sebagai metode menganalisis
data kualitatif dan metode menganalisis data kuantitatif. Pertanyaannya
kemudian adalah: bagaimana metode analisis data kuantitatif dan bagaimana
pula metode analisis data kualitatif. Saya tidak akan membicarakan analisis data kuantitatif karena itu bukan tugas saya di sini, dan setahu saya itu sudah banyak diajarkan dalam kuliah-kuliah. Sebagian besar kuliah metode penelitian di
Indonesia setahu saya adalah kuliah tentang metode pengumpulan dan analisis data kuantitatif. Yang akan saya bicarakan adalah analisis data kualitatif.
Penggunaan metode analisis tertentu sangat ditentukan oleh masalah penelitian dan kerangka teori atau paradigma yang digunakan, dan dalam hal ini
bimbingan dari kerangka teori sangat penting, sehingga dalam analisis kualitatif
hubungan antara kerangka teori (asumsi, model, dan konsep-konsep) dengan
metode analisis terasa lebih erat, lebih kuat, daripada dalam penelitian yang
menggunakan banyak data kuantitatif. Selain itu, paradigma yang digunakan
juga harus dapat tercermin dalam hasil analisis yang diberikan. Eratnya hubungan antara metode analisis dengan asumsi, model dan konsep yang digunakan ini membuat metode analisisnya juga disebut dengan nama yang agak
sama dengan nama paradigma.
Beberapa metode analisis tersebut adalah: (1) analisis evolusional; (2) analisis historis-diffusional; (3) historis-kausal; (4) analisis historis-materialis; (5)
analisis komparatif-korelasional; (6) analisis komparatif fungsional (7) analisis
fungsional; (8) analisis fungsional-struktural; (9) analisis fungsional ekologis;
(10) analisis struktural; (11) analisis interpretif/simbolik/hermeneutik; (12) analisis fenomenologis-etnosaintifik; (13) analisis fenomenologis etnometodologis;
(14) analisis fenomenologis-konstruksionis; (15) analisis post-modernistis. Itulah beberapa jenis metode analisis yang dapat saya identifikasi sampai saat ini,
dan itu adanya terutama dalam antropologi budaya. Analisis-analisis tersebut
sedikit banyak mencerminkan paradigma yang melingkupi analisis-analisis itu
sendiri.
Dalam kenyataannya berbagai kategori analisis tersebut seringkali mencakup beberapa bentuk analisis lagi yang lebih spesifik. Misalnya saja analisis
evolusional. Analisis evolusional ini dapat dibedakan menjadi: (a) analisis evo25
lusional unilinier; (b) analisis evolusional universal; (c) analisis evolusional ekologis; (d) analisis evolusional differensial. Masing-masing analisis ditujukan untuk mengungkapkan aspek, bentuk dan pola evolusi yang berbeda. Analisis
evolusional ekologis misalnya lebih mengarahkan perhatian pada evolusi yang
terjadi karena adanya interaksi manusia dengan lingkungan, sedang analisis
evolusional differensial lebih ditujukan untuk memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan dalam kecepatan berevolusinya unsur-unsur budaya tertentu.
Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu diperhatikan
adalah tujuan akhir dari suatu kerja analisis. Kita harus selalu bertanya: analisis
ini di-tujukan untuk memberikan hasil seperti apa? Hasil ini harus merupakan
jawab-an atas pertanyaan penelitian yang kita kemukakan. Oleh karena itu,
dengan memperhatikan secara seksama pertanyaan penelitian yang kita
kemukakan sebenarnya kita sudah dapat menentukan sejak awal metode
analisis seperti apa yang akan lakukan atau kita perlukan.
Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah,
mengelompokkan data -kualitatif maupun kuantitatif- agar kemudian dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang
lain. Mengelompokkan data kuantitatif memerlukan siasat atau cara yang berbeda dengan mengelompokkan data kualitatif, karena sifat dan ciri data tersebut memang berbeda. Metode analisis data kuantitatif sudah banyak dibicarakan, sehingga tidak perlu dijelaskan lagi di sini. Tidak demikian halnya dengan
metode analisis data kualitatif.
Metode analisis data kualitatif pada dasarnya sangat memerlukan kemampuan untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan di antara data
kualitatif, dan ini hanya dapat dilakukan apabila konsep-konsep teoritis yang
digunakan didefinisikan dengan baik. Persamaan dan perbedaan ini tidak begitu mudah ditemukan, namun bilamana pada saat pengumpulannya data ini
sudah dikelompokkan terlebih dahulu hal itu akan mempermudah analisis lebih
lanjut. Sebagai contoh misalnya, data mengenai sistem kepercayaan. Data kualitatif yang terkumpul hanya akan memadai untuk analisis bilamana definisi
sistem kepercayaan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencakup berbagai
gejala empiris yang tergolong dalam sistem kepercayaan. Definisi sistem ini
paling tidak harus dapat merangkum kegiatan rituil, upacara, mitos-mitos, serta
pandangan-pandangan mengenai dunia supernatural. Tanpa definisi semacam
ini data yang terkumpul tidak akan lengkap.
Meskipun ada berbagai macam jenis metode analisis, namun secara umum
kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis adalah menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variable/gejala/unsur tertentu dengan variable/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di
situ. Dengan demikian kita dapat menilai sendiri apakah analisis yang dilakukan telah mencapai hasil yang diinginkan.
26
Analisis evolusional. Ini adalah cara menganalisis data dengan menggunakan perspektif evolusional. Di sini data kualitatif maupun kuantitatif dikemukakan dan ditafsir dari sudut pandang tertentu sehingga akan dapat menguatkan atau mendukung pernyataan-pernyataan tentang evolusi -yakni proses
per-kembangan yang relatif lambat dari sebuah sistem atau gejala, dalam
waktu yang relatif lama, menuju sebuah sistem yang relatif lebih kompleks- dari
gejala atau sistem yang diteliti.
Di sini peneliti mengelompokkan data mengenai gejala kebudayaan tertentu
sistem teknologi misalnya- berdasarkan atas kompleksitasnya, dan kemudian
menyusunnya sedemikian rupa sehingga gejala kebudayaan yang diteliti menjadi terlihat telah mengalami evolusi, mengalami perkembangan menuju gejala
yang lebih kompleks. Selanjutnya alur perkembangan ini juga dapat dibagi
menjadi beberapa tahap di mana masing-masing tahap memperlihatkan sifat,
ciri atau kualitas sistem yang berbeda.
Analisis historis-diffusional. Analisis ini ditujukan untuk dapat menghasilkan pernyataan-pernyataan mengenai penyebaran unsur-unsur budaya atau
gejala-gejala sosial-budaya tertentu dalam kurun waktu tertentu. Data kualitatif
dan kuantitatif di sini dikemukakan dan ditafsir dari perspektif tertentu sedemikian rupa sehingga dapat mendukung pernyataan-pernyataan mengenai penyebaran unsur-unsur kebudayaan dalam ruang atau kawasan dan kurun waktu
tertentu.
Di sini peneliti mengelompokkan unsur-unsur kebudayaan tertentu atau gejala-gejala sosial-budaya tertentu menurut wilayah geografis atau tempat ditemukannya unsur-unsur atau gejala-gejala social-budaya tersebut, dan kemudian mencoba menentukan persamaan dan perbedaan di antara unsur-unsur
atau gejala-gejala tersebut. Dengan memperhatikan ciri-ciri dan kompleksitasnya, peneliti kemudian menentukan kelompok unsur-unsur atau gejala mana
yang lebih tua atau lebih dulu muncul. Jika ini dapat diketahui, maka kemudian
ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur atau gejala-gejala kebudayaan tersebut
telah menyebar dari kawasan A menuju kawasan B misalnya.
Analisis historis-kausal. Analisis ini bertujuan untuk merumuskan hubungan sebab-akibat antara suatu variabel dengan variabel yang lain. Variabel
ini bisa berupa gejala social-budaya tertentu, kemiskinan misalnya, atau
kekeras-an massal, atau berupa unsur-unsur budaya tertentu, ritual
misalnya, atau sis-tem kekerabatan, matapencaharian, system
kesehatan, atau yang lain.
Di sini peneliti lebih dulu menentukan variabel atau unsur budaya yang ingin
dijelaskan secara historis-kausal, dan kemudian menelusuri sejarah atau proses munculnya variabel tersebut. Data kualitatif yang terkumpul ditafsirkan dari
27
sudut pandang tertentu sehingga akan membawa peneliti kepada suatu kesimpulan tertentu atau akan dapat mendukung pernyataan mengenai hubungan
sebab-akibat antara gejala satu dengan gejala yang lain. Analisis historis-kausal merupakan salah satu analisis yang paling banyak dilakukan di kalangan
ilmuwan sosial-budaya di Indonesia, walaupun mungkin banyak di antaranya
yang melakukannya tanpa sepenuhnya sadar akan jenis analisis yang mereka
kerjakan tersebut.
Analisis historis-materialis. Analisis ini ditujukan untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan hubungan kausal atau kondisional antara suatu gejala social-budaya dengan gejala atau kondisi material tertentu.
Data kualitatif di sini sebagian besar merupakan data mengenai kondisi-kondisi
material dari masyarakat atau kebudayaan yang diteliti. Yang dimaksud dengan
kondisi material di sini tidak lain adalah kondisi fisik, yang mencakup antara
lain: lingkungan alam dan peralatan atau teknologi. Lingkungan alam mencakup antara lain sumber-sumber daya yang mendukung kehidupan masyarakat
di situ.
Data kualitatif di sini ditafsirkan dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat mendukung atau menguatkan pernyataan mengenai hubungan kausal antara kondisi-kondisi material tertentu dengan hadirnya atau munculnya gejalagejala sosial-budaya tertentu. Kondisi-kondisi material ini secara diakronis, historis, ditempatkan mendahului gejala-gejala social-budaya yang ingin dijelaskan.
Analisis komparatif-korelasional. Analisis komparatif atau perbandingan
di sini ditujukan untuk menentukan korelasi-korelasi antara unsur-unsur budaya
tertentu dengan unsur-unsur budaya yang lain, misalnya saja korelasi antara
sistem matapencaharian dengan pola kekerabatan tertentu. Agar korelasi ini
tidak terlihat seperti kebetulan, tetapi lebih dekat pada hukum atau dalil, maka digunakan studi perbandingan, studi komparatif, yang luas, yang melibatkan
banyak kebudayaan.
Data kualitatif di sini sebagian besar mengenai unsur-unsur kebudayaan
yang akan dibandingkan. Di sini peneliti menyatukan kebudayaan-kebudayaan
yang memiliki persamaan-persamaan pada unsur-unsur budaya tertentunya
dalam satu kelompok, sehingga dihasilkan suatu tipologisasi atau pengelompokan yang didasarkan pada tipe-tipe atau corak-corak budaya tertentu. Tipetipe budaya tertentu kemudian dikorelasikan dengan kehadiran unsur-unsur
budaya tertentu di dalamnya.
Analisis komparatif-fungsional. Analisis komparatif ini ditujukan untuk
mencapai suatu generalisasi mengenai fungsi-fungsi dari unsur atau gejala sosial-budaya tertentu atau mengenai hubungan fungsional antara suatu unsur
budaya dengan unsur budaya yang lain. Misalnya saja mengenai fungsi sistem
28
kekerabatan dalam kehidupan manusia. Berbagai data kualitatif mengenai sistem kekerabatan dari berbagai kebudayaan akan dibandingkan untuk dapat diperoleh gambaran mengenai fungsi sistem tersebut dalam kebudayaan. Misalnya saja data mengenai perkawinan dan berbagai fungsinya; data mengenai
kehidupan keluarga dan fungsinya; data mengenai pewarisan harta dan fungsinya, dan sebagainya.
Melalui perbandingan yang seksama dari berbagai macam unsur sistem kekerabatan dan fungsinya dalam kebudayaan akan dapat diperoleh suatu gambaran umum, suatu generalisasi, mengenai fungsi-fungsi sistem kekerabatan
dalam kehidupan manusia. Selain itu, juga akan dapat diperoleh gambaran mengenai variasi-variasi fungsi sistem kekerabatan tersebut dalam berbagai sukubangsa yang berbeda corak kebudayaannya. Variasi-variasi ini merupakan
fungsi-fungsi khusus dari suatu sistem kekerabatan dalam suatu kebudayaan.
Analisis fungsional. Analisis ini ditujukan untuk menghasilkan pernyataanpernyataan yang memperlihatkan hubungan fungsional antara suatu unsur
sosial-budaya atau gejala tertentu dengan unsur sosial-budaya atau gejala
yang lain dalam suatu kebudayaan. Berbeda dengan analisis komparatif fungsional, hasil dari analisis fungsional ini tidak diharuskan atau ditujukan sebagai
suatu generalisasi. Pernyataan relasi fungsional yang dihasilkan bisa saja bersifat sangat khusus, yang berlaku hanya pada masyarakat atau kebudayaan
yang diteliti.
Pernyataan fungsional ini biasanya hanya akan dianggap cukup meyakinkan bilamana peneliti juga memaparkan data mengenai gejala atau unsur budaya yang bersangkutan dengan cukup baik, dan disertai dengan beberapa
contoh kongkrit, yang memperlihatkan relasi fungsional tersebut. Oleh karena
itu, dalam analisis ini data kualitatif memainkan peran yang sangat penting.
Analisis fungsional-struktural. Analisis fungsional-struktural pada dasarnya sama dengan analisis fungsional. Bedanya adalah bahwa dalam analisis
ini peneliti berupaya untuk bisa menunjukkan relasi fungsional antara suatu
unsur budaya atau gejala sosial-budaya tertentu dengan struktur sosial yang
ada dalam suatu masyarakat. Di sini peneliti memberikan penekanan pada
struktur sosial. Oleh karena itu deskripsi mengenai struktur sosial ini tidak kalah
pentingnya dengan deskripsi atau pernyataan mengenai relasi fungsional itu
sendiri.
Seperti halnya dalam analisis fungsional, data kualitatif berupa contoh-contoh kasus yang kongkrit memainkan peran yang penting untuk meyakinkan
pembaca akan adanya relasi fungsional antara unsur budaya atau gejala sosial-budaya yang dimaksud dengan struktur sosial di situ.
29
Dalam hal ini ketidak-sesuaian konsep dengan data yang diberikan, sedikitnya atau buruknya kualitas yang disajikan, akan sangat berpengaruh pada kualitas tafsir yang dihasilkan. Konsep yang kurang sesuai dengan data, data yang
kurang lengkap, akan membuat tafsir yang dikemukakan terasa sangat subyektif, atau mengada-ada, atau sama sekali tidak meyakinkan. Sebaliknya,
konsep yang sangat mendukung pengumpulan data, data yang relatif lengkap
dan rinci, akan membuat tafsir yang disodorkan menjadi terasa begitu meyakinkan.
Analisis fenomenologis-etnosaintifik. Analisis ini ditujukan untuk membuat peneliti mampu mengungkap atau mendeskripsikan kesadaran sosial, kesadaran kolektif dari suatu komunitas atau masyarakat, yang merupakan etnosains dari komunitas tersebut. Unsur dasar atau elementer dari suatu kesadaran atau pengetahuan kolektif pada dasarnya adalah kategori-kategori dan relasi-relasi. Oleh karena itu, suatu analisis fenomenologis-etnosaintifik ditujukan
terutama untuk dapat menghasilkan deskripsi berupa kategori-kategori dan relasi-relasi di antara kategori-kategori tersebut.
Secara keseluruhan deskripsi berbagai kategori ini -baik kategori sosial
maupun kategori budaya- akan memperlihatkan suatu sistem klasifikasi yang
diasumsikan bersifat sosial atau kolektif, yang berarti dimiliki oleh sejumlah
warga masyarakat atau komunitas yang diteliti. Sistem klasifikasi atau kategorikategori dan relasi di antaranya juga dianggap sebagai salah satu sistem yang
menjadi acuan atau pembimbing warga masyarakat yang diteliti dalam mewujudkan berbagai perilaku dan interaksi sosial mereka.
Analisis fenomenologis-etnometodologis. Analisis etnometodologis ditujukan terutama untuk mengetahui metodologi yang digunakan oleh individu-individu yang diteliti -yang diasumsikan mewakili individu pada umumnya- dalam
interaksi sosial mereka, yang kemudian menghasilkan sebuah sistem sosial
yang terstruktur. Data utama dari penelitian ini adalah percakapan-percakapan,
karena lewat percakapan inilah berbagai hal yang implisit -namun bukan hasil
spekulasi atau tebak-menebak peneliti- terlihat dengan cukup jelas. Analisis
atas data semacam ini juga dapat menghindarkan peneliti dari tuduhan
melaku-kan tebak-tebakan atau spekulasi, karena kesimpulan yang ditarik
kemudian terlihat ada dasarnya atau didasarkan atas sejumlah data tertentu.
Kemampuan peneliti untuk menunjukkan hal-hal yang implisit ada di balik
merupakan hal yang penting dalam analisis ini. Di sini peneliti juga melakukan
tafsir atas data yang tersedia, namun penafsiran ini diarahkan untuk menghasilkan sejumlah pernyataan berupa aturan-aturan atau metodologi interaksi sosial
yang ada di balik berbagai interaksi sosial yang terjadi.
Analisis fenomenologis-konstruksionis. Analisis ini dimaksudkan untuk
dapat menghasilkan uraian mengenai bagaimana suatu pemahaman atau pe31
maknaan kolektif tertentu dapat memperoleh sifatnya yang kolektif. Data utama
yang dianalisis di sini adalah data kualitatif berupa percakapan-percakapan.
Suatu pemahaman atau pemaknaan dikatakan bersifat kolektif bilamana pemahaman tersebut terlihat terwujud dalam banyak perilaku individu dalam suatu
masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan sebuah pemahaman yang bersifat
kolektif akan terlihat dari berbagai perilaku dan interaksi sosial dalam masyarakat.
Pemahaman kolektif tersebut tentu tidak muncul begitu saja, karena setiap
pemahaman pada dasarnya berawal dari seorang individu, atau bersifat individual. Analisis fenomenologis-konstruksionis ditujukan untuk mengetahui dan
mendeskripsikan hal-hal serta cara kerja seperti apa yang membuat suatu pemahaman yang pada awalnya bersifat individual tersebut kemudian dapat bersifat sosial atau kolektif.
Analisis post-modernistis. Analisis ini ditujukan untuk mengungkapkan
motivasi-motivasi politis yang ada di balik setiap kegiatan, praktek atau aktivitas
representasional atau aktivitas merepresentasikan, menampilkan sesuatu, seperti misalnya penulisan sebuah buku, pementasan sebuah kesenian, pemuatan sebuah foto, pembuatan dan pemutaran sebuah film, dan sebagainya. Analisis ini sangat dekat dengan analisis hermeneutis, karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti untuk memberikan tafsirannya atas data yang tersedia. Perbedaannya adalah pada penekanannya.
Penekanan analisis post-modernistis adalah pada membangun tafsir berupa
motivasi-motivasi yang dianggap ada di balik setiap kegiatan representasi.
Apakah motivasi ini memang betul-betul ada pada diri pelaku atau tidak, itu
bukanlah persoalan utama, karena kebenaran hasil analisis semacam ini lebih
terletak pada kemampuan peneliti untuk meyakinkan pembacanya tentang
adanya relasi motivasional semacam itu di antara data dengan kesimpulannya.
Selain itu, analisis juga ditujukan untuk dapat mengetahui siasat-siasat representasi yang digunakan, termasuk di dalamnya media representasinya. Dengan analisis ini sedikit banyak akan diketahui effek yang akan dicapai dari
strategi dan media representasi tersebut.
6. Hasil Analisis/Teori (Results of Analysis/Theory).
Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia dengan baik
dan tepat, maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikatakan sebagai kesimpulan kita. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antarunsur atau antargejala yang kita teliti. Jika hasil
analisis kita tidak berhasil mencapai ini maka hal itu bisa berarti tiga hal. Pertama, data yang kita analisis mengandung beberapa kesalahan mendasar. Ke32
dua, analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita masih kurang mendalam, dan
ini mungkin juga disebabkan oleh kurangnya data yang kita miliki.
Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hubungan
antarvariabel atau antargejala inilah yang kemudian biasa disebut sebagai
teori. Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis berasal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan
dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum, universal, melampaui batas-batas ruang dan waktu, maka dia akan disebut sebagai teori besar (grand
theory). Kalau teori tersebut hanya kita tujukan untuk menjelaskan gejala-gejala
tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dia lebih tepat
disebut sebagai teori menengah (middle-range theory). Bilamana teori yang kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi
hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti, maka dia lebih tepat
disebut teori kecil (small theory). Di sini pernyataan tentang hubungan antarvariabel tersebut kecil atau terbatas cakupannya.
Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar pada dasarnya pasti akan menghasilkan satu atau beberapa teori. Sebuah tesis master
yang dihasilkan dari sebuah penelitian yang dikerjakan secara baik dan benar
juga akan dapat menghasilkan teori tertentu. Hanya mungkin di sini cakupan
teori tersebut relatif kecil dibandingkan dengan cakupan dari teori yang ada dalam sebuah disertasi misalnya.
Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh dengan
menggunakan metode-metode tertentu kita akan memperoleh suatu kesimpulan tertentu, suatu pendapat tertentu, dan inilah yang seringkali juga disebut
sebagai teori. Di sini biasanya kita mengemukakan pendapat kita berkenaan
dengan suatu gejala. Pendapat ini bisa berupa pernyataan-pernyataan yang
menunjukkan relasi antara suatu variable dengan variable yang lain, atau pernyataan yang menunjukkan hakekat (the nature), keadaan dari gejala yang kita teliti. Jadi setiap penelitian yang baik pada dasarnya pasti akan dapat menghasilkan sebuah teori baru atau menguatkan teori tertentu yang sudah ada.
Ciri, sifat atau karakter dari teori ini sama antara teori satu dengan yang lain,
yang berbeda adalah cakupannya, sehingga dikenal istilah grand theory, middle-range theory dan small theories. Grand theory atau teori besar adalah teori yang penjelasannya dapat mencakup banyak gejala, dan karena itu biasanya juga lebih abstrak daripada dua jenis teori yang lain. Middle-range theory
atau teori menengah adalah teori-teori yang cakupan penjelasannya lebih sempit daripada teori besar, namun karena itu terasa lebih membumi, lebih kongkrit. Small theory atau teori-teori kecil adalah penjelasan-penjelasan mengenai
gejala-gejala yang diteliti dengan cakupan yang lebih sempit lagi daripada teori
menengah. Teori-teori kecil inilah yang boleh dikatakan paling membumi, paling dapat menjelaskan sejumlah gejala empiris dengan ketepatan yang tinggi,
33
karena dihasilkan secara langsung dari data yang diperoleh. Teori-teori semacam inilah yang biasanya terdapat dalam disertasi, tesis, skripsi dan hasil penelitian tertentu.
Atas dasar uraian di atas kita dapat menggambarkan urutan atau jenjang
unsur-unsur paradigma seperti berikut.
Hasil Analisis (Teori)
^
|
Metode Analisis
^
|
Metode Penelitian
^
|
Konsep-konsep
^
|
Model-model
^
|
Asumsi-asumsi Dasar
Skema ini disusun dengan anggapan bahwa dalam sebuah paradigma unsur asumsi dasar merupakan dasar dari unsur-unsur yang lain, dan sudah
ada sebelum adanya unsur-unsur yang lain. Oleh karena itu, asumsi-asumsi
dasar ditempatkan paling bawah. Hasil analisis merupakan unsur yang terakhir
muncul dalam sebuah paradigma, sehingga unsur ini ditempatkan di atas.
Sebaliknya, bilamana kita mengatakan bahwa unsur-unsur paradigma diturunkan dari asumsi-asumsi dasar, maka skema yang akan kita peroleh adalah
sebagai berikut (lihat hal. berikut). Skema ini juga disusun atas dasar tingkat
keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-unsur paradigma.
Asumsi-asumsi Dasar
|
v
Model-model
|
v
Konsep-konsep
|
v
Metode Penelitian
|
34
v
Metode Analisis
|
v
Hasil Analisis (Teori)
Asumsi-asumsi dasar dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma yang
paling abstrak, paling implisit dan karena itu biasanya juga paling tidak disadari.
Oleh karena itu berada di tempat yang teratas. Model-model merupakan unsur
paradigma yang sudah lebih jelas atau agak kongkrit dibanding dengan
asumsi-asumsi dasar, walaupun tingkat keabstrakan dan keimplisitannya seringkali sama dengan asumsi dasar, namun unsur ini lebih sederhana dibanding asumsi dasar. Konsep-konsep merupakan unsur paradigma yang sudah
kongkrit, karena dalam setiap penelitian makna konsep-konsep ini sudah harus
dipaparkan dengan jelas. Jadi, konsep-konsep ini sudah tidak lagi bersifat implisit atau tersembunyi sebagaimana halnya asumsi dan model. Konsep-konsep ini sudah bersifat eksplisit dan disadari, diketahui, walaupun tidak selalu dimengerti dengan baik segala implikasinya.
Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap pewujudan
dari asumsi-asumsi dasar, model dan konsep yang digunakan. Metode-metode
ini pelaksanaannya didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar,
model dan konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan tahap pelaksanaan penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma sebelumnya.
Penelitian dengan menggunakan konsep-konsep tertentu akan memerlukan
metode yang berbeda dengan penelitian yang menggunakan konsep-konsep
yang lain.
Hasil analisis merupakan unsur yang terakhir muncul setelah dilakukannya
analisis atas data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode
tertentu. Hasil analisis ini juga dinyatakan secara eksplisit, dan karena itu pula
terasa sangat kongkrit. Oleh karena itu pula, tempatnya berada di paling bawah.
IV. MASALAH PENELITIAN, ASUMSI DASAR DAN MODEL
Pertanyaan yang muncul setelah melihat paparan di atas adalah adakah kaitannya itu semua dengan masalah penelitian? Kalau ada, di mana terletak keterkaitan tersebut? Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, masalah penelitian sebenarnya secara implisit terkait dengan asumsi-asumsi dasar dan model yang dianut oleh seorang peneliti. Benarkah demikian?
Ada berbagai pendapat mengenai makna masalah penelitian, demikian
pula dalam menyatakannya. Ada yang menggunakan istilah masalah peneliti35
an, ada yang menggunakan permasalahan penelitian, ada juga yang menggunakan istilah pertanyaan penelitian. Akan tetapi, itu semua sebenarnya tidak sangat penting. Yang jelas suatu penelitian selalu berawal dari suatu kebutuhan, keperluan, untuk (a) memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tertentu, atau keinginan (b) membuktikan kebenaran dugaan-dugaan atau pernyataan-pernyataan tertentu secara empiris.
Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari sejumlah pertanyaan (questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap
menarik, aneh, asing, menggelisahkan, menakutkan, merugikan, dan seterusnya, sedang penelitian kedua selalu berawal dari sejumlah pernyataan yang
masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya (hypothesis) atau hipotesa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian harus ada pertanyaan-pertanyaan
yang ingin dijawab, dan/atau hipotesa-hipotesa yang ingin dibuktikan. Penelitian yang berawal dari beberapa pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipotesa, demikian pula penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa, tidak perlu
lagi menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu
penelitian dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sekaligus menjawab hipotesa hal itu juga tidak dilarang, tetapi ini mungkin justru malah akan memberatkan penelitinya.
Pada dasarnya setiap pertanyaan atau hipotesa secara implisit menyimpan
asumsi-asumsi dasar berkenaan dengan gejala yang diteliti, tujuan meneliti,
ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Jika kita perhatikan dan analisis dengan
seksama pertanyaan-pertanyaan atau hipotesa-hipotesa yang kita rumuskan,
maka kita akan dapat menemukan asumsi-asumsi dasar yang -sadar atau tidak- kita anut, yang membimbing atau mengarahkan kita dalam kita bertanya
dan membuat hipotesa. Telaah yang lebih seksama juga akan memungkinkan
kita mengetahui model-model atau perumpamaan-perumpamaan apa yang kita
gunakan dalam dalam kita mempelajari suatu gejala sosial-budaya tertentu.
1. Pertanyaan Penelitian
Penelitian yang berawal dari pertanyaan-pertanyaan biasanya pasti menggunakan satu atau beberapa kata tanya yang ada dalam suatu bahasa, seperti
misalnya: apa, siapa, mengapa, dimana, bagaimana, kapan, dan sebagainya.
Beberapa pertanyaan dianggap tidak menarik dan tidak layak untuk dicari jawabannya lewat penelitian bilamana jawabannya dianggap akan mudah dicari
atau sudah dapat ditebak sebelumnya.
Sebuah penelitian dianggap akan banyak manfaatnya bilamana dapat memberikan keterangan atau jawaban yang tidak biasa, yang baru, atas pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal yang dipandang penting dalam suatu masyarakat. Ini terlihat misalnya di Indonesia pada masa-masa terjadinya konflik meluas dalam masyarakat. Berbagai penelitian yang dianggap akan dapat memberikan keterangan yang penting, menarik, bermanfaat, berkenaan dengan
36
ber-bagai konflik yang terjadi akan mudah untuk mendapatkan dukungan dana
dari berbagai departemen pemerintah.
Tidak semua orang dapat menyatakan pertanyaan dengan bahasa yang baik atau dengan menggunakan kata-kata yang tepat, namun bahasa yang baik,
kata-kata yang tepat, konsep yang jelas maknanya, merupakan syarat-syarat
pokok dalam penelitian. Tanpa itu semua pertanyaan-pertanyaan penelitian
akan menjadi membingungkan, dan ini membuat penelitian tidak terarah atau
tidak dapat dilakukan sama sekali. Dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan
penelitian juga harus diperhatikan apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya akan dapat dijawab dan untuk menjawabnya diperlukan yang seperti apa, serta bagaimana data tersebut dapat dikumpulkan
Pendeknya beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian antara lain adalah: (a) penggunaan
kata-kata yang tepat; (b) penggunaan bahasa yang baik; (c) bisa-tidaknya pertanyaan tersebut dijawab; (d) jenis data yang diperlukan untuk menjawabnya;
(e) bisa-tidaknya data diperoleh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan penelitian biasanya menyimpan di dalamnya asumsi-asumsi dan model-model mengenai gejala yang akan atau sedang dipelajari.
Sebagai contoh misalnya, kalau kita mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
berikut:
- Faktor-faktor apa yang menyebabkan penduduk melakukan migrasi besar-besaran dari Jawa?
- Bagaimana proses munculnya sistem politik berupa kerajaan dalam suatu
masyarakat?
- Bagaimana terjadinya konflik antarsuku di Kalimantan Barat?
- Apa yang membuat masyarakat di daerah X kurang menyukai musik?
Pola-pola pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan pola-pola pertanyaan
yang paling sering muncul dalam berbagai penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa kerangka pemikiran atau paradigma yang digunakan dalam berbagai penelitian sebenarnya tidak banyak bedanya satu dengan yang lain, bahkan sama.
Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan asumsi-asumsi dasar yang sama,
dan ini dapat diketahui dengan mudah jika kita dapat membayangkan atau
memperkirakan jawaban-jawaban seperti apa yang akan diberikan nantinya.
Misalnya saja, empat pertanyaan di atas dapat dijawab dengan mengemukakan berbagai faktor yang menyebabkan gejala yang diteliti terjadi, entah itu
migrasi besar-besaran dari Jawa, munculnya kerajaan, konflik antarsuku, atau
37
ketidak-sukaan pada musik. Biasanya inilah yang terjadi dalam banyak penelitian. Walaupun rumusan pertanyaan berbeda, namun pola jawabannya ternyata sama. Ini menunjukkan bahwa pola pikir peneliti-penelitinya juga sama.
Jika pola jawaban yang diberikan mengacu pada sebab-sebab atau faktorfaktor penyebab terjadinya suatu fenomena, maka paradigma yang digunakan
sebenarnya adalah kausal-historis. Sadar atau tidak para peneliti di situ berasumsi bahwa gejala-gejala sosial-budaya yang diteliti berhubungan secara kausal, atau berada dalam relasi sebab-akibat (cause and effect relationship) dan
ini berarti hubungan tersebut juga bersifat diakronis, dan itu berarti juga historis, karena dalam kerangka berfikir yang kausalistis, cause (sebab) mendahului
effect (akibat). Lebih lanjut, kerangka berfikir sebab-akibat ini juga menunjukkan adanya asumsi pada peneliti bahwa gejala-gejala sosial-budaya sama dengan gejala-gejala alam, dan ini berarti bahwa peneliti menggunakan model
atau analogi dari ilmu alam. Gejala sosial budaya di sini diumpamakan seperti
gejala alam.
Dalam pertanyaan penelitian juga terkandung konsep-konsep penting untuk
penelitian. Pada pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas misalnya terdapat
konsep-konsep seperti: faktor penyebab; migrasi; sistem politik; kerajaan; konflik antarsuku; menyukai; musik, dan sebagainya. Konsep-konsep ini umumnya
merupakan istilah-istilah sehari-hari dan sering sekali digunakan. Meskipun demikian maknanya tidak selalu jelas, dan orang dapat memberikan makna yang
berbeda pada satu konsep tertentu. Oleh karena itu peneliti harus mengemukakan makna atau definisi konsep tersebut agar peneliti lain mengetahui apa sebenarnya makna yang dianut oleh peneliti, sehingga tidak terjadi perdebatan
yang tidak perlu.
Dari uraian ini kita dapat mengatakan bahwa dalam praktek penelitian perumusan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam suatu penelitian merupakan tahap yang paling penting. Di sini peneliti harus sadar dan memahami
betul-betul pentingnya konsep-konsep yang digunakannya dalam pertanyaan,
asumsi-asumsi dan model yang dianutnya, yang tersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan yang dibuatnya. Selanjutnya peneliti juga harus dapat membayangkan seperti apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakannya, data yang akan diperlukannya untuk sampai pada jawaban seperti itu, dan
metode apa yang akan digunakannya untuk mendapatkan data tersebut.
2. Hipotesa
Sebagaimana halnya dengan pertanyaan, hipotesis sebenarnya juga sudah
menyimpan sejumlah asumsi dasar dan model tertentu, dan dibandingkan
dengan pertanyaan, hipotesis ini lebih jelas memperlihatkan asumsi dan model
tersebut. Oleh karena itu, kita akan lebih mudah mengenali asumsi dasar dan
38
model dibalik sebuah hipotesis daripada asumsi dasar dan model di balik sebuah pertanyaan.
Salah satu pandangan yang cukup umum di Indonesia, namun menurut hemat saya agak keliru, mengenai hipotesis dan kaitannya dengan penelitian
adalah bahwa penelitian yang berangkat dari satu atau beberapa hipotesa harus atau selalu memerlukan data kuantitatif. Pandangan ini tidak selalu benar.
Apakah suatu penelitian memerlukan data kuantitatif atau kualitatif tidak selalu
ada kaitannya dengan ada tidaknya hipotesa. Banyak sekali penelitian yang
berawal dari sejumlah hipotesa namun ternyata sama sekali tidak menggunakan data kuantitatif untuk membuktikan hipotesa tersebut. Jenis penelitian dan
data yang diperlukan lebih ditentukan oleh rumusan hipotesa itu sendiri, dan
bukan oleh ada-tidaknya hipotesa.
Seperti halnya pertanyaan penelitian, hipotesa pada dasarnya juga sudah
menyimpan asumsi-asumsi dasar, model dan konsep-konsep. Jika demikian, di
mana tempat pertanyaan penelitian jika kita akan menempatkannya dalam hirarkhi unsur-unsur paradigma di atas? Oleh karena asumsi dasar dan model
merupakan elemen-elemen yang mendasari sebuah paradigma, dan tidak selalu eksplisit, sedang konsep-konsep merupakan unsur paradigma yang eksplisit namun belum tersusun dalam suatu kerangka berfikir tertentu, sementara
pertanyaan penelitian adalah rangkaian konsep-konsep yang menyiratkan anggapan dasar dan model tertentu, maka pertanyaan penelitian tentunya lebih teat ditempatkan di antara konsep-konsep dan metode penelitian. Posisi pertanyaan penelitian yang mendahului metode penelitian juga tepat karena metode
penelitian baru dapat ditentukan setelah pertanyaan penelitian dirumuskan
terlebih dahulu.
Susunan unsur-unsur paradigma tersebut adalah sebagai berikut.
Asumsi-asumsi Dasar
|
Model-model
||
Pertanyaan Penelitian /
Hipotesa
|
Konsep-konsep
|
Metode Penelitian
|
Metode Analisis
|
Hasil Analisis (Teori)
39
Dalam hipotesa juga terdapat berbagai macam konsep penting yang kemudia harus didefinisikan dengan baik. Definisi-definisi seringkali disebut sebagai
definisi operasional, dan upaya untuk merumuskannya disebut operasionalisasi definisi. Pendefinisian konsep-konsep yang ada dalam hipotesa harus dilakukan sedemikian rupa sehingga definisi tersebut kemudian dapat diwujudkan, dioperasionalkan, menjadi sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang kemudian disusun menjadi sebuah kuesioner, atau menjadi sejumlah konsep-konsep
yang lebih jelas acuannya pada realitas empiris. Dengan begitu data yang diperlukan untuk membuktikan wujud konsep tersebut dalam kenyataan empiris
dapat diketahui, dan metode pengumpulannya dapat ditentukan.
Dengan demikian perumusan hipotesa -seperti halnya perumusan pertanyaan penelitian- juga menduduki posisi sangat penting dalam penelitian. Dalam
hal ini seorang peneliti dapat memilih apakah dia akan memulai penelitiannya
dari sejumlah pertanyaan atau dari sejumlah hipotesa. Bisa saja dia memulai
dari dua-duanya, namun hal itu tidak begitu dianjurkan, karena hanya akan
membebani diri peneliti sendiri.
V. PARADIGMA, EPISTEMOLOGI DAN JENIS PENELITIAN
Atas dasar paparan di atas kita bisa mengemukakan beberapa pendapat
berikut. Pertama, bahwa suatu paradigma merupakan suatu perangkat konsep
yang digunakan untuk memandang, mempelajari dan menjelaskan gejala-gejala empiris. Konsep-konsep ini sebagian berupa atau memuat asumsi-asumsi
dasar, model, istilah-istilah tertentu, metode penelitian, metode analisis dan hasil analisis.
Kedua, asumsi dasar merupakan unsur paradigma yang mendasari unsurunsur lainnya. Kehadirannya mendahului unsur-unsur paradigma yang lain. Dalam asumsi-asumsi dasar inilah terkandung pandangan-pandangan filosofis dari suatu paradigma. Pandangan-pandangan filosofis inilah yang biasa disebut
epistemologi.
Ketiga, berbagai jenis metode penelitian sebenarnya merupakan bagian dari
sebuah paradigma. Suatu metode penelitian tidak dapat berdiri sendiri terlepas
dari unsur paradigma yang lain. Oleh karena itu, nama suatu metode penelitian
sebenarnya harus sesuai dengan nama paradigmanya. Dengan demikian,
istilah penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif sebenarnya kurang tepat,
kecuali jika penelitian di situ diartikan sebagai pengumpulan data. Sebagai
bagian dari sebuah paradigma, nama sebuah kegiatan penelitian akan lebih tepat jika disebut sebagai penelitian evolusioner, penelitian difusi, penelitian
struktural, penelitian fungsional, penelitian fenomenologis, penelitian interpretif,
dan seterusnya.
40
3. Fenomenologi :
4. Hermeneutik :
5. Semiotik :
6. Materialisme :
46
Filmer, P. et al.
1972 New Directions in Sociological Theory. London: Collier-MacMillan
Firth, R.
1973 Empiricism. Encyclopedia Americana vol.10: 315-316.
Geertz,
1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books
Geuijen, K. et al
1995 Post-Modernism and Anthropology. Assen: Van Gorcum.
Hirsch, Jr., E.D.
1976 The Aims of Interpretation. Chicago: Chicago University Press.
Jorgensen, J.G.
1974 Cross-Cultural Comparisons. Annual Review of Anthropology 8: 309-332.
Keat, R. dan J.Urry
1975 Social Theory as Science. London: Routledge and Kegan Paul.
Koentjaraningrat
1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta.
Lane, M.
1970 Introduction dalam Introduction to Structuralism, M.Lane (ed.). New York:
Basic Books.
Lastrucci, C.
1967 The Scientific Approach. Cambridge: Schenkman Books.
Leiter, K.
1980 A Primer on Ethnomethodology. Oxford: Oxford University Press.
Levi-Strauss, C.
1963 Structural Anthropology. New York: Basic Books.
1973 Structural Anthropology 2. New York: Penguin Books.
Lewis, C.I.
1929 Mind and the World Order: Outline of a Theory of Knowledge. New York :
Dover.
Moustakas, C.
1994 Phenomenological Research Methods. London: Sage
Nagel, E.
1961 The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explanation
47
48
DAFTAR ISI
I.
PENGANTAR..1
II.
III.
VI. PENUTUP..41
DAFTAR PUSTAKA..41
ooooo
49