Nyeri
Nyeri
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
FISIOLOGI NYERI
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain
(IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan
jaringan1,2. Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan
dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual
yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin.
Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada
pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada
kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada
pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan
gangguan komunikasi2,3,26,27,28.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau
paska pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena
dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR)
yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi
pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi
dan psikologi pasien itu sendiri, seperti1,2,3,29,30 :
Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri
akut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses
pembedahan atau trauma31.
2.2
MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius
yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari
perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak28,33.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non
noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi28,33.
2.2.1
Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan
lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan
komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel
inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa
komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)
dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers)33,34.
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E 2 akan mereduksi ambang
aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan
pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan
sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu
substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi
perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi33,34.
2.2.2
Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor
2.3
2.4
2.4.1
Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung
saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve
ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini,
golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau
trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah
yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan
sensasi
nyeri.
Keadaan
ini
dikenal
sebagai
sensitisasi
perifer1,3,30,35,37.
2.4.2
Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses
transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis,
dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus
spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih
dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan
melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya
2.4.3
Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik
endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu
posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak.
Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior
sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang1,3,30,35,37.
2.4.4
Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada
thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik1,3,30,35,37.
Parasetamol
Parasetamol
Parasetamol
Ketorolak
2.5
2.6
KLASIFIKASI NYERI
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika
cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah,
kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu
dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan
mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker)1,3.
2.6.1
pasien paling tidak 1 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan
patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker,
end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan
mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan
(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai
kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada
lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi
lebih sulit2,3,26,27.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala
sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas
cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang
menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan
gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri3,26,27.
2.6.2
nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik
dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer
(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif
biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid1,2,3,26,27.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan
neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf
aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan
menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang
kurang baik terhadap analgesik opioid1,2,3,26,27.
2.6.3
Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh
jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.
Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral
seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otototot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak
dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika
organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena 3,26,27.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme
otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau
ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan
mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan
distensi berlebih dari jaringan3,26,27.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks
menjalar melalui serat aferen
simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus
dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar
melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan
bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls
ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls
nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.
Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan
pleura parietal sangat sensitif pada nyeri3,26,27.
2.6.4
Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi
bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.
Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri
menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal
menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun,
insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal
biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak1,3,26,27.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari
nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai
contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat serat
nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke
T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai
karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal
dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati
nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk
berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan
bawah3,26,27.
2.7
PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan1,2,38.
2.
2.8
PENANGANAN NYERI
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui
2.8.1
Farmakologis
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik
oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan
opioid intraspinal1.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien,
prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik
yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan1,2.
dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan opioid atau
anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang
mengalami nyeri paska pembedahan ditingkat sedang sampai berat2. Analgesia
multimodal selain harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus
disertai dengan inforced mobilization (early ambulation) disertai dengan
pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation)43.
2.8.1.4 Parasetamol
Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan antipiretik,
dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan untuk penanganan
nyeri berat paska pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita
kanker. Onset analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena,
efek puncak tercapai dalam 30 45 menit dan durasi analgesia 4 6 jam serta
waktu pemberian intravena 2 15 menit. Parasetamol termasuk dalam kelas
aniline analgesics dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid
(masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang
sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja
dengan mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa
prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan
obat AINS lainnya pada pasien-pasien dengan sekresi asam lambung yang
berlebihan atau pasien dengan masa perdarahan yang memanjang48,49,50,51,52.
Gambar 2.8-1. Rumus Bangun Parasetamol53.
N-(4-hydroxyphenyl)acetamide
Dosis pada orang dewasa sebesar 500 1000 mg, dengan dosis maksimum
direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan
untuk anak-anak dan orang dewasa54,55.
Mekanisme
kerja
utama
dari
parasetamol
adalah
menghambat
penyebab sindroma Reye pada anak-anak dengan penyakit virus63,64,65. Satusatunya efek samping dari penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi
hepatotoksik dan gangguan gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu
diatas 20.000 mg perhari63.
2.8.1.5 Ketorolak
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti
inflamasi non steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic
acid dimana secara struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak
menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti
inflamasi yang sedang bila diberikan secara intramuskular atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat
tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi
nosiseptif dari opioid3,6,11,66,67.
Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak66.
ketorolak
merupakan
penghambat
COX
non
selektif.
Efek
analgesianya 200 800 kali lebih poten dibandingkan dengan pemberian aspirin,
indometasin, naproksen dan fenil butazon pada beberapa percobaan di hewan.
yang
dihasilkan
respon
neuroendokrin
karena
stress
pembedahan berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal. Dapat juga
terjadi purpura, trombositopeni, epistaksis, anemia dan leukopeni.
3. Gastrointestinal
Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual, muntah,
dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.
4. Kardiovaskuler
Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope
5. Dermatologi
Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson, sindroma Lyell
6. Neurologi
Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor,
halusinasi, euforia, insomnia dan gelisah.
7. Pernafasan
Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk
8. Urogenital
Gagal ginjal akut dan poliuri.
2.8.2
Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk
2.9
KERANGKA TEORI
Gambar 2.9-1. Skema Kerangka Teori
CEDERA JARINGAN
STIMULUS NOKSIUS
KETOROLAK INTRAVENA
PAIN PATHWAY
SENTRAL
Blokade aktifitas neural
di dorsal horn
Modulasi neurotransmitter
excitatory
Aktifasi jalur descending
serotoninergic inhibitory
PROSES TRANSDUKSI
Sensitisasi Perifer
(Hyperalgesia)
PROSES TRANSMISI
Sensitisasi Sentral
(Allodynia)
PROSES MODULASI
PARACETAMOL INTRAVENA
ALLODYNIA
HYPERALGESIA
PEMBEDAHAN
STIMULUS NOKSIUS
ANALGESIA
VAS
EFEK SAMPING
ANALGETIK TAMBAHAN