Tim Neurotrauma
RSU Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya, 2007
Sekretariat Neurotrauma:
SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf
RSU dr. Soetomo FK Universitas Airlangga
Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 8
Surabaya
Telp: 031-5501325/ 5501304
Fax: 031-5025188
e-mail: nssbaya@yahoo.com
Direktur
Rumah Sakit Umum dr. Soetomo, Surabaya
Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Muhammad Amin
KATA PENGANTAR
Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian para dokter,
kususnya yang berkecimpung dalam bidang trauma dan perawatan gawat darurat.
Problem pada cedera otak adalah menimbulkan kecacatan yang berat dan bahkan sampai kematian
.Angka kematian di RSU,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai 12 % keadaan
ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara 3-8 %. Disamping itu cedera
otak juga sering terjadi pada usia-usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas
dan sangat berpangaruh pada kemajuan bangsa.
Dalam upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan
pada para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pusat pelayanan kesehatan di daerah-daerah
dan para peserta didik program spesialis bedah,bedah saraf,saraf dan aneatesia serta para dokter
muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku pedoman in dengan sistematika yang mudah
dipahami.Dan semoga dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada
saat yang tepat pula dalam menghadapi penderita nurotrauma. Kecepatan dan ketepatan adalah
faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cidera pada susunan saraf.
Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya penyusunan
pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi kemanusiaan.
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA
SAMBUTAN
Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya
Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
I. PENDAHULUAN
II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN
III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM
(GENERAL MEASURES)
III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage
III.2. Tatalaksana Awal Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat
III.3. Anamnesis
III.4. Pemeriksaan Fisik Umum
III.5. Pemeriksaan Neurologis
III.6. Observasi
III.7. Pemeriksaan Foto Polos Kepala
III.8. Pemeriksaan CT Scan
III.9. Kriteria Masuk Rumah Sakit
III.10. Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala
III.11. Lembar Pesanan Saat Pulang
III.12. Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI)
III.13. Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA
IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan
IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang
IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat
V. REKOMENDASI TATALAKSANA TANPA INTERVENSI PEMBEDAHAN
(GUIDELINE FOR NON-SURGICAL MEASURES)
V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang
V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol
V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik
V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik
V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid
V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer
V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi
V.8. Rekomendasi Penggunaan Acid Suppresor Agent dan Gastric Mucosal Protector
V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline
V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam
VI. REKOMENDASI TATALAKSANA INTERVENSI PEMBEDAHAN
(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)
VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)
VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH)
VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak
VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior
VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Patah Tulang Kepala Depresi
1
4
4
4
6
6
7
8
8
9
9
9
9
10
10
11
11
12
13
14
14
16
16
17
18
19
21
22
23
24
26
26
27
29
30
31
33
33
33
38
38
39
40
41
43
43
45
49
50
Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd edition.
McGraw-Hill. New York, 1996
DAFTAR SINGKATAN
CBF
CMRO2
COB
COR
COS
CPP
CSF
CSS
CT Scan
EDH
EVD
GCS
HCU
ICP
IRD
KRS
LCT
LCU
MAP
MCT
MRS
NSAID
PPI
RCT
ROI
SDH
SRMD
TBI
TIK
PENDAHULUAN
Neurotrauma masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah
saraf. Neurotrauma di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian
dan memerlukan biaya yang tinggi dalam penanganannya. Perkembangan pengetahuan
mengenai patofisiologi dan tatalaksana neurotrauma terlihat pesat pada dekade terakhir.
Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian laboratoris dan klinis serta
biomolekuler dan genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat
terjadinya impak melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya dan
dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap trauma. Karenanya berkembang dengan
cepat pula metode penanganan yang komprehensif, cepat, tepat,dan monitoring yang
benar serta penemuan obat-obat baru, metode neurorestorasi dan rehabilitasi dalam rangka
meningkatkan outcome dari pasien neurotrauma.
Di Indonesia khususnya di rumah sakit Dr. Soetomo, neurotrauma masih merupakan
masalah yang cukup serius. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr. Sutomo
sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2006, didapatkan data sebagai berikut:
Data
Penderita
Cedera
Otak
Dr. Soetomo
Data
Penderita
Cedera
Otak RSU
Dr.RSU
Soetomo,
Surabaya
Th.
2002
2006
Tahun 2002 - 2006
Tahun
S Penderita CO S Penderita COB Total Kematian
2002
2005
455
225
2003
1910
467
210
2004
1621
275
134
2005
1670
199
103
2006
1588
195
98
%
Kematian COB
11.22
169
10.99
127
8.267
81
6.168
65
6.171
49
%
37.14
27.19
29.45
32.66
25.13
Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera otak berkisar antara 6,171 %
hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur
internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.
Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih tinggi,
berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan menurun. Angka ini
relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu sekitar 22 %.
Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera
otak yang datang ke IRD.
Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien dengan cedera otak di RSU
dr.Soetomo menunjukkan bahwa neurotrauma memerlukan penanganan yang terpadu,
meliputi prehospital care dan hospital care yang merupakan faktor penting untuk dibenahi
dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Pembenahan hospital care meliputi:
1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara:
a. Pembuatan guideline atau pedoman yang berisi algoritma dan rekomendasi
b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider)
neurotrauma
neurotrauma
B.
Klas II: adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat
dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif
(studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode
yang didapat adalah berupa guideline (moderate clinical certainty).
C.
Klas III: adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat
dari peneliitian retrospektif, serial case, data registrasi pasien, laporan
kasus, review kasus, dan pendapat ahli. Metode yang didapat adalah
berupa option (unclear clinical certainty).
Sistematika penulisan dan isi dari pedoman ini adalah sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kondisi di RSU. Dr. Soetomo sebagai rumah sakit pendidikan. Diharapkan secara
mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter spesialis dan mahasiswa
kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan dan rekomendasi-rekomendasi
yang disarankan, diperoleh dari penelitian penelitian klinis dan laboratoris sehingga
sangat mungkin berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian
penelitian pendukung sehingga dihasilkan acuan-acuan dan rekomendasi-rekomendasi
dengan tingkat kepercayaan klinis ( clinical certainty) yang lebih tinggi.
neurotrauma
neurotrauma
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
10.
11.
Jenis Perlindungan
Mencuci tangan dengan antiseptik
- setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda yang
terkontaminasi
- segera setelah melepas sarung tangan
- diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda
Pemakaian sarung tangan
- jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda
benda yang terkontaminasi
- jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak
Pemakaian Masker, dan goggles
- untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan berhadapan
dengan darah atau cairan tubuh
Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns)
- untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh
- mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang
melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh
Linen
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi
- jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien
Alat - alat perawatan pasien
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat alat yang telah
terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta
lingkungan sekitarnya
- alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali
Kebersihan lingkungan
- area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan
menggunakan desinfektan
Benda benda tajam
- jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan
- jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya
- jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas
dengan tangan
- buang benda benda tajam di dalam kontainer anti tembus.
Resusitasi pasien
- hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation
bags, atau alat bantu ventilasi lain.
Penempatan pasien
- pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan
ditempatkan pada ruangan khusus
Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities
with Limited Resources )
neurotrauma
No
1.
Evaluasi
Patensi ?
Suara tambahan ?
Efektif ?
C Circulation
Adekuat ?
D Disability
( status neurologis )
Normal ?
Cedera lain ?
Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak (Dikutip dari: Reilly P.Head Injury.1997)
III.3. Anamnesis
Informasi yang diperlukan adalah:
Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
Mekanisma trauma
Waktu trauma
Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
Amnesia retrograde atau antegrade
Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, kejang, vertigo
Riwayat mabuk, alkohol, narkotika
Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi
dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah
III.4. Pemeriksaan fisik Umum
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk menentukan
kelainan:
Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki
Per sistem B1 B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
neurotrauma
c. Tanda - tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Le Fort), fraktur
rima orbita dan fraktur mandibula
d. Tanda tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.
Mencari tanda tanda adanya cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal)
dan cedera pada medula spinalis. Meliputi jejas,deformitas dan status motorik,
sensorik dan autonomik.
neurotrauma
III.6. Observasi
Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan suhu)
dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar observasi
neurologis sebagai berikut:
neurotrauma
Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat
kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5
menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan
penanganan yang kurang tepat
8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, pasien anak
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :
benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasien usia > 50 tahun.
III.8. Pemeriksaan CT Scan
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera otak :
1. GCS < 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. Pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
9. Indikasi sosial
III.9. Kriteria Masuk Rumah Sakit
Pasien cedera otak akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut:
1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran
2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah
3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi
4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus
5. Fraktur tengkorak
6. CT scan kepala abnormal
7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit
8. Umur pasien diatas 50 tahun
9. Anak-anak (usia < 18 tahun)
10. Indikasi sosial
III.10. Kriteria Pulang Pasien Cedera otak
Kriteria pasien cedera otak dapat dipulangkan dengan pesan :
- Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
- Tidak ada gejala neurologis
- Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
- Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
- Ada yang mengawasi di rumah
- Tempat tinggal dalam kota
neurotrauma
neurotrauma
10
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
PASIEN CEDERA OTAK
IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan
Pasien
MRS di ruang
HCU - F
OPERASI
ICU/ ROI-1
VS. Stabil
Neurologis Stabil
Cepat
memburuk
R. Perawatan ( LCU )
Resusitasi + Rediagnosis
KRS
ICU/ ROI - 1
Operasi
neurotrauma
IRD
11
Penderita
IRD
Operatif
ICU/ ROI-1
Membaik
VS. Stabil
Neurologis Stabil
Memburuk
Stabilisasi + Resusitasi
Rediagnosis cito
ICU/ ROI-1
neurotrauma
Ruang
Perawatan (LCU)
12
Operasi
Penderita
IRD
R. HCU - F
R. Perawatan (LCU)
neurotrauma
Operasi
13
REKOMENDASI TATALAKSANA
PERAWATAN TANPA INTERVENSI
PEMBEDAHAN
V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang
Standard : Pemberian fenitoin dimulai dengan Loading Dose segera setelah trauma
efektif sebagai profilaksis terjadinya kejang dini pasca trauma kepala
Guideline :
1. Pengobatan profilaksis dengan fenitoin, carbamazepin atau valproat
sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak
menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma.
2. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini
pasca trauma.
Option
: -
neurotrauma
Penjelasan rekomendasi :
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca
trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan untuk
menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang pasca
trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari paska trauma (early type) pada pasien yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau karbamazepin
terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada fase ini belum
terbentuk fokus epilepsi.
Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:
1. Cedera Otak Berat
2. Amnesia 24 jam
3. Fraktur depresi
4. Hematom intrakranial
5. Subdural Hematom
6. Kontusio Serebri
7. Fraktur tulang tengkorak
8. Defisit neurologis fokal
9. usia 65 tahun atau 15 tahun
Dosis dan cara pemberian :
Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk
menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera
setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kg dalam 100 cc NaCl 0,9% dengan
kecepatan infus maksimum 50 mg/min.
Pada pasien pediatri dosis loading yang direkomendasi 10-20 mg/kg, diikuti dosis
rumatan 5 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10
mg/kg/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.
14
Penulis
Golden,
1996
Temkin
all, 1990
Annegers et
all, 1998
Chang SB,
Lowenstein
DH, 2003
et
Deskripsi penelitian
Penelitian
retrospektif
dengan rancangan case
control
study
untuk
mengetahui
pengaruh
faktor resiko terhadap
angka kejadian epilepsi
pasca trauma dini
Penelitian
randomized
double
blind
untuk
mengetahui
efektifitas
pemberian fenitoin untuk
mencegah kejang pasca
trauma
Penelitian
retrospektif
untuk
mengetahui
karakteristik cedera otak
yang
berhubungan
dengan timbulnya kejang
pasca trauma
Meta analisis beberapa
penelitian level I,II untuk
mengetahui
peranan
profilaksis
obat
anti
epilepsi pada penderita
cedera otak berat
Kelas
II
Kesimpulan
Faktor resiko terjadinya
pasca trauma dini :
- usia 15 tahun
- fraktur depress
- lesi intrakranial
- defisit neurologis fokal
epilepsi
II
Fenitoin
hanya
efektif
untuk
mencegah kejang dini pasca trauma
II
Pengobatan
profilaksis
dengan
Fenitoin, dimulai dengan dosis
loading segera setelah trauma efektif
menurunkan resiko kejang dini pasca
trauma.
Profilaksis tidak efektif untuk kejang
fase lanjut.
Faktor resiko terjadinya kejang :
cedera otak berat, amnesia atau
tidak
sadar
berkepanjangan,
hematom intrakranial atau kontusio
serebri, dan fraktur depress.
Referensi
15
neurotrauma
Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma Dini di
RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf
FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996
Temkin et all. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post traumatic
seizures. The NEJM 1990; 323 : 497-502.
Annegers JF et all. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain Injuries. The
NEJM 1998
Chang S, Bernard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter : Antiepileptic drug prophylaxis in
severe traumatic brain injury : Report of the Quality Standards Subcommittee of the
American Academy of Neurology. Neurology 2003; 60:10-6.
Option
Penjelasan rekomendasi
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK
dengan cara menarik cairan ke dalam ruang intravaskuler. Ketika menggunakan manitol
harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga supaya pasien tetap euvolumia dan
osmolaritas serum kurang dari 320 mmol/L. Euvolumia dipertahankan dengan penggantian
volume cairan yang isotonis dan harus dicegah terjadinya hipotensi (tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg). ( Balafif, 1999. Gemma, 1997., Mendelow, 1985 )
Tabel tingkat pembuktian ( evidence)
No
1
Penulis
Balafif,
1999
Gemma,
1997
Mendelow,
1985
Deskripsi
Studi
case
control
membandingkan
antara
pasien COB tipe non
surgical mass lession
yang mendapat manitol
secara empiris dengan
tanpa manitol.
Prospective randomized
clinical study
membandingkan efek
hypertonic saline 7,5%
dengan manitol 20%
Penilaian
pengaruh
pemberian manitol 20
dengan dosis 0,25 0,5
g/kg intravena terhadap
TIK, CPP dan CBF
Kelas
II
II
III
Kesimpulan
Manitol
secara
bermakna
menurunkan mortalitas COB tipe
non surgical mass lession bila
tidak ada episode hypotension
atau hypoksia selama perawatan
pada GCS 3-5 atau CY scan
menunjukkan kontusio grade III
Hypertonic saline sama efektifnya
dengan manitol dalam
menurunkan edema otak selama
proses operasi bedah saraf
Terjadi penurunan TIK,
peningkatan CBF dan CPP
dan
Referensi
neurotrauma
Balafif F. Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada penderita cder a otak berat tipe
Non Surgical Mass Lession di RS dr. Soetomo Surabaya. 1999
Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Calvi MR, Cipriani A, Garancini MP., 7.5%
hypertonic saline versus 20% mannitol during elective neurosurgical supratentorial
procedures., J Neurosurg Anesthesiol. 1997;9(4):329-34.
Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral perfusion pressure in
human head injury. J Neurosurg 1985; 63:43-8.
16
Penjelasan Rekomendasi
Pada cedera otak berat oleh karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat
pada tindakan pemasangan monitor TIK, tindakan ventilasi mekanik dsb. Infeksi
memberi pengaruh signifikan terhadap,morbiditas,mortalitas dan lama rawat inap dari
penderita.
Dan pada pemasangan monitor TIK jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi
sampai dengan 27%. Penggunaan monitor TIK jangka pendek belum terbukti menaikkan
risiko morbiditas,mortalitas.
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No
Penulis
Deskripsi
Kelas
Kesimpulan
Arabi et all,
2005
III
Sunbarg et
all., 1996
III
Holloway et
all.,1996
III
Pada
61
pasien
dengan
venticulostomy ditemukan infeksi.
Pada umumnya infeksi ditemukan
pada 10 hari pertama setelah
pemasangan ventriculostomy. Tidak
ada pengaruh antara kateter yang
diganti setiap 5 hari atau tidak.
Referensi
17
neurotrauma
Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections: Insidence and risk
factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.
Sundbarg G, Nordstrom C-H, Soderstrom S. Complication due to prolonged ventricular fluid
pressure recording. Br. J Neurosurg 1988;2:48595.
Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of monitoring duration and
catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg 1996;85:41924.
Option
Penjelasan rekomendasi :
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan tekanan intra kranial dan harus ditangani.
NSAID seperti ketorolak, metamizole, dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri
dengan menghambat sintesa prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase.
Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama dalam
menghambat sintesa prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase. Peningkatan
kadar prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID
dapat pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No
1
Penulis
Jacobi J et
all., 2002
Hedenmalm
K et all.,
2002
Prasetya H,
2005
Deskripsi penelitian
Membahas literatur pada
Medline search 19942001 untuk penyusunan
guideline dengan review
dari metaanalisis dan
tabel evidence
Secara retrospektif
membahas laporan kasus
agranulocytosis akibat
pemakaian metamizole
Penelitian eksperimental
semu pada pemakaian
ketoprofen dan
acetaminophen pada
COR
Kelas
II
Kesimpulan
Ketorolak dan acetaminophen boleh
digunakan pada pasien trauma
kepala
III
II
Referensi
neurotrauma
Jacobi J et all. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives and analgesics in the
critically ill adult. Am J Health Syst Pharm 2002;59(2):150 -78
Hedenmalm K et all. Agranulocytosis and other blood dyscrasias associated with dipyrone
(metamizole). Eur J Clin Pharmacol 2002;58(4):265-74.
Prasetya H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian Paracetamol 650 mg Suppositoria
dengan Ketoprofen 100 mg Suppositoria terhadap Nyeri Kepala pada Penderita Cedera
Otak Ringan. Karya Akhir, 2005.
Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor
kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau
meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid
tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagian
reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga
terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu. Pada beberapa
kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi bisa timbul
perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan mortalitas dan
manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid di beberapa penelitian menjadi
pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien dengan cedera otak.
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No
1
Penulis
Alderson P,
2005
Philip
Aiderson,
1997
Umar Kasan,
1994
Deskripsi
Penelitian
Randomised
Controlled Trials untuk menilai
kuantitas
efektifitas dan
keamanan tentang penggunaan
kortikosteroid pada trauma
kepala
Penelitian
Randomised
Controlled Trials untuk menilai
kuantitas
efektifitas dan
keamanan tentang penggunaan
kortikosteroid pada trauma
kepala
Penelitian prospektif komparatif
penggunaan dengan dan tanpa
kortikosteroid
pada
pasien
cedera otak
Kelas
I
II
Kesimpulan
Penelitian
yang
terbesar
menyimpulkan
mortalitas
dengan steroid pada penelitian
ini menyarankan steroid tidak
lagi digunakan rutin pada
cedera otak
Review sistemik pada RCT
untuk
kortikosteroid
pada
cedera otak akut menunjukkan
efek yang tidak jelas.
Referensi
19
neurotrauma
Option
:-
Penjelasan rekomendasi :
Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak,
dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan
pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan
yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik.
Agent sedasi yang ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan
suplai oksigen ke otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara
autoregulasi otak dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat
(v) mudah dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki
therapeutic window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis.
Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK.
Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence)
Penulis
Sanchez et al
Karabinis et al
neurotrauma
No
1
20
Deskripsi Penelitian
Meneliti safety dan efficacy
penggunaan propofol;
midazolam araupun
kombinasi propofol dan
midazolam pada pasien
trauma kepala
Meneliti safety dan efficacy
sedasi berbasis analgesia
menggunakan rami
fentanil, kombinasi dengan
midazolam dan propofol
dibandingkan dengsn
fentanil, morphin kombinasi
dengan midazolam dan
propofol di unit perawatan
neuro-intensif.
Class
I
Kesimpulanon
Baik propofol, midazolam,
ataupun kombinasi
keduanya dinyatakan aman
untuk pasien dengan trauma
kepala.
Waktu pemeriksaan
neurologis lebih cepat dan
lebih mudah diprediksi
dengan menggunakan
ramifentanil dibandingkan
dengan penggunaan fentanil
ataupun morphin.
Referensi:
Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the Brain-Failure Patient.
In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park GR and Sladen RN.
Blackwell Science 1995. pp 130-144
Sanchez-Izquierdo-Riera JA et all. Propofol versus Midazolam: safety and efficacy for sedating
the severe trauma patient. Anesth Analg. 1998;86(6):1219-24.
Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive care unit
patients with brain injuries: a randomised, controlled trial. Crit Care.2004;8(4):R268 80.
Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with severe brain trauma.
Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35
neurotrauma
Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga
membutuhkan nutrisi yang cukup. Pemberian asupan nutrisi yang adekuat dapat
memperbaiki outcome pasien dengan cedera otak. Dari penelitian diketahui bahwa
pemberian kombinasi LCT (Long-Chain Triglyserides) dan MCT (Medium- Chain
Triglyserides) mungkin dapat memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme
protein di viscera pasca trauma. Disarankan pemberian early feeding karena
memberikan outcome lebih baik. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode
pemberian mana yang paling baik. Tetapi penelitian menunjukkan pemberian late
feeding ( lebih dari 1 minggu setelah trauma ) berhubungan dengan nitrogen loss yang
besar disertai penurunan berat badan sebesar 15% per minggu. Untuk mencapai
pemenuhan kebutuhan nutrisi pada hari ke 7, maka pemberian nutrisi harus dimulai
paling lambat 72 jam setelah trauma. Diperlukan komunikasi yang baik antara dokter,
farmasi, dan ahli gizi untuk menjamin asupan nutrisi. Salah satu keuntungan pemberian
makanan melalui pipa gastrojejunostomi adalah letaknya jauh dari wajah pasien dan
terhindar dari tercabut pasien saat gelisah ( Borzotta, 1994, Grahm, 1989., Taylor 1987)
21
Penulis
Sarafzadeh et al
Parel P et al
Krakau K et al
Calon B et al
Deskripsi Penelitian
Mengukur perubahan
metabolik pada penderita
impending atau manifest
hypoxia pada pasien
cedera otak. Meneliti safety
dan efficacy penggunaan
propofol; midazolam
araupun kombinasi
propofol dan midazolam
pada pasien trauma kepala
Review article dukungan
nutrisi pada penderita
cedera otak.
Systematic review
mengenai status metabolik
dan terapi nutrisi pada
penderita cedera otak
sedang-berat
Klass
II
Kesimpulan
Hiperventilasi memiliki
potensi terjadinya efek
samping metabolisme
cerebral. keadaan
metabolisme cerebral
anaerobitergantung dari
derajat dan lamanya episode
hipoksik .
II
Referensi:
neurotrauma
Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest cerebral hypoxia in
traumatic brain injury. Br J Neurosurg.2003;17(4):340-6
Krakau K;Omne-Ponten M;Karlson T;Borg j. Metabolism and nutrition in patients with moderate
and severe traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345 -67.
Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat emulsion in
parental nutrition of severe head trauma patients. Infusiontherapie.1990;17(5):246 -8.
V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Supressor Agent
Standard :Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid suppressive agent dengan
H2 blocker, Proton Pump Inhibitor (PPI), dan gastric mucosal protector
dapat membantu penurunan insiden perdarahan gastrointestinal dan stress
related mucosal damage (SRMD). Proton pump Inhibitor (PPI) lebih
dianjurkan karena memiliki karakteristik cara kerja dan durasi kerja yang
lebih baik dibandingkan H2 Blocker dan gastric mucosal protector.
Guideline Option
:Penjelasan rekomendasi
Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan insiden
perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan PH
22
asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site
of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih
lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12 jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde
(Messori et all, 2000., Michelle et all, 2004., David C. Metz, 2005.)
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No
1
Penulis
David
C.
Metz, 2005
Michelle E.
Allen, 2004
S Trippoli, et
all, 2000
Deskripsi penelitian
Meta analisis dari RCT
tentang penggunaan acid
suppressive agent untuk
pencegahan SRMD dan
stress ulcer
Meta analisis dari RCT
tentang profilaksis terapi
terhadap stress ulcer
Kelas
I
Meta
analisis
dari
penelitian
tentang
penggunaan
ranitidine
versus sucralfat dalam
pencegahan stress ulcer
Kesimpulan
Pemberian
regimen
acid
suppressive
agent
dapat
mencegah terjadinya SRMD dan
stress ulcer dengan menjaga
keasaman lambung.
Pemberian obat propilaksis untuk
pencegahan
perdarahan
gastrointestinal yang disebabkan
oleh stess ulcer memberikan hasil
yang sedikit significan dalam
menurunkan insiden perdarahan
gastrointestinal
Pemberian ranitidine dan sucralfat
kurang efektif dalam pencegahan
perdarahan gastrointestinal yang
disebabkan oleh stess ulcer
Referensi
David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress-Related Mucosal
Disease. Medscape. 2005
Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of Health-System
Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst
Pharm. 1999; 56:347-79.
S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in intensive care patients
given ranitidine and sucralfate for prevention of stress ulcer: meta-analysis of randomised
controlled trials. BMJ 2000;321:1103-07
Penjelasan Rekomendasi:
Citicoline (Cytidine 5' - diphosphocholine or CDP-choline) berfungsi mengaktifasi biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolisme otak dan
menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicoline juga
mempunyai fungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K
ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2. Citicoline dapat diberikan pada
pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka lama dan hasilnya
23
neurotrauma
Penulis
Levin
HS.
1991
Calatayud
MV, Perez
JB,
Aso
Escario
J.1991
Spiers PA,
Hochanadel
G, 1999
Deskripsi penelitian
Penelitian double blind
placebo-control
untuk
menilai efikasi citicoline
dengan pemberian 1
gram tablet selama 1
bulan pada 14 orang
untuk pengobatan tanda
dan gejala sindroma
post
concussional
setelah
cedera
otak
ringan dan sedang.
Penelitian single blind
randomized pada 216
pasien
cedera
otak
sedang dan berat yang
menerima pengobatan
citicoline.
Case report: 2 pasien
dengan
pemberian
citicoline selama 1,5
sampai 4 tahun setelah
cedera otak.
Kelas
II
Kesimpulan
Hasil: adanya perbaikan dalam
fungsi memori pada pasien dengan
pemberian
citicoline
dibanding
dengan tanpa pemberian obat
tersebut (P < 0.02)
II
III
Citicoline
memberikan
hasil
perbaikan fungsi kognisi setelah
cedera otak sedang dan berat.
Referensi:
Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J Neurology Science.
103: S39-42, 1991
Maldonado VC et al. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with head injury. J
Neurology Science. 103: S15-18, 1991
Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two cases, including
my own. J Int Neuropsychol Soc. 5:260-264, 1999
neurotrauma
Option
24
Penjelasan Rekomendasi:
Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif,
meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme
phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan
oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatkan perfusi lokal. Pemakaian piracetam
dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera dengan gejala
sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis dan kesadaran.
Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30 mg/hari baik injeksi
maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan per oral dengan dosis 4,800
gram/hari.
Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )
No
1
Penulis
Goscinski I, et
al, 1998
Goscinski I, et
al, 1999
Hakkarainen
H
dan
Hakamies L.
1978
Deskripsi penelitian
Penelitian
prospektif
kasus-kontrol
untuk
mengetahui efektifitas
pemberian
piracetam
pada 100 pasien cedera
otak sedang dan berat.
Penelitian observasional
yang dilakukan pada
tahun
1995-1996
dengan jumlah pasien
100
orang
untuk
mengetahui pengaruh
piracetam pada cedera
otak.
Penelitian double-blind
dengan
60
pasien
dengan sindroma post
concussional
yang
diberikan selama 2-12
bulan, dengan dosis
4,800 mg perhari.
Kelas
II
III
II
Kesimpulan
Hasil:
Dosis
24-30
g/hari
memberikan hasil yang positif untuk
memperbaiki kondisi pasien yang
dapat dilihat pada parameter:
partial oxygen pressure (oxygen
therapy) dan kadar gula darah.
Hasil: dosis tinggi piracetam (24-30
g/hari) memperbaiki kondisi pasien
jika pengobatan dimulai segera
setelah cedera.
Hasil:
setelah
8
minggu
pengobatan,
ditemukan
pengurangan tanda dan gejala
sindroma post concussional seperti
vertigo, sakit kepala, kelelahan,
gangguan kesadaran, peningkatan
keringat dan gejala lain.
Referensi:
neurotrauma
25
Deskripsi
Manajemen pembedahan
Hematome
epidural,
analisis retrospektif
Kelas
III
Mitesh
1998
Analisis
Retrospektif
terhadap 221 pasien EDH
III
neurotrauma
No
1
26
V,
Kesimpulan
Guideline disusun berdasar data
yang mendukung evakuasi masa
bila ada efek masa dan penurunan
fungsi neurologi secara progresif
Pengambilan keputusan operatif
atau non operatif berdasarkan
radiologis dan keadaan klinis
penderita
Referensi
Bullock et all. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery 2006;58:7
15.
Mitesh V. American Journal of Neuroradiology 1998;20:115-6.
Penjelasan Rekomendasi
Penderita cedera otak berat dengan komplikasi subdural hematom akut merupakan
penyebab utama kematian pada cedera otak berat dengan lesi massa intrakranial.
Angka kematian mencapai 42% - 90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena
mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema
serebral.
Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih
penting dari efek hematom subdural itu sendiri. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih
penting daripada waktu pelaksanaan evakuasi hematom.
27
neurotrauma
Metode
Metode penanganan pasien dengan subdural hematoma akut tipis traumatik dengan
drainase CSF transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy
dekompressi dan pemasangan drainase CSF transventrikel dilakukan pada penderita
dengan indikasi tertentu.
Penulis
Widodo,
1999
Hartanto,
2003
Thohari,
2006
Wilberger
et all, 1991
Deskripsi penelitian
Penelitian
prospektif
eksperimental
untuk
mengetahui
perbedaan
hasil
akhir
antara
tindakan operasi dan
konservatif
pada
penderita cedera otak
berat dengan hematom
subdural akut traumatika
tipis.
Penelitian
prospektif
analitik untuk mengetahui
perbedaan hasil akhir
antara
tindakan
pembedahan (evakuasi
hematom
dan
dekompressi)
dengan
penanganan
secara
konservatif
pada
penderita dengan cedera
otak
berat
dengan
komplikasi
hematom
subdural kurang dari 1
cm dan efek massa lebih
dari 5 mm.
Studi
prospektif
observasional
untuk
mengetahui
perbedaan
hasil
akhir
antara
tindakan
pembedahan
evakuasi hematom dan
dekompresi
dengan
drainase
CSF
transventrikel
pada
penderita dengan cedera
otak
berat
dengan
komplikasi
hematom
subdural kurang dari 1
cm dan efek massa lebih
dari 5 mm.
Penelitian
retrospektif
analitik untuk mengetahui
apakah operasi yang
dilakukan kurang dari 4
jam
setelah
trauma
memberi hasil akhir yang
lebih baik
Kelas
II
Kesimpulan
Tidak ada perbedaan bermakna
secara statitistik antara tindakan
operasi
dan
konservatif
pada
penderita cedera otak berat dengan
hematom subdural akut traumatika
tipis.
II
II
Tindakan
drainase
CSF
transventrikel lebih baik dibandingkan
dengan
pembedahan
evakuasi
hematom dan dekompresi.
Class
II
neurotrauma
Referensi
Widodo J. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita dengan komplikasi
hematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS I
Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999
Hartanto RA. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural akut tipis pada cedera otak
berat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD
Dr Soetomo. 2003
28
Thohari K. Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis pada Penderita Cedera otak Berat.
Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr
Soetomo. 2006
Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity, mortality, and
operative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.
Deskripsi
Manajemen bedah pada
perdarahan parenkim otak
Kelas
III
De Luca et
all, 2000
III
Soloniuk et
all, 1986
Pengalaman
pengarang
terhadap
penanganan
pasien dengan peningkatan
tekanan intracranial.
Manajemen dan indikasi
operasi ICH trauma
III
Kesimpulan
Evakuasi masa yang segera bila ada
efek masa dan penurunan fungsi
neurologi progresif
Operasi
dekompresi
untuk
peningkatan TIK harus dilakukan
sesegera
mungkin,
sebelum
keadaan yang irrversibel terjadi.
Indikasi operasi dibuat berdasarkan
data dari yang ada dan waktu kapan
untuk dilakuan evakuasi.
neurotrauma
No
1
29
Referensi
Bullock et all. Surgical management of posterior fossa mass lesions. Neurosurgery 2006;58:47
55.
De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al: The role of decompressive craniectomy in the treatment
of uncontrollable post-traumatic intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl
2000;76:401-4.
Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al: Traumatic intracerebral hematomas: timing of appearance
and indications for operative removal. J Trauma 1986; 26:787-94.
dipakai
dan
neurotrauma
Penjelasan Rekomendasi
Trauma yang berakibat lesi masa pada fossa posterior hanya berkisar 3 %
dari seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi masa
fosa posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan
ruang fosa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.
Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik.
Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )
No
Penulis
Bullock
all., 2006
30
Deskripsi
et
Kelas
III
Kesimpulan
Guideline disusun berdasar data
yang mendukung evakuasi masa
yang segera bila ada efek masa
dan penurunan fungsi neurologi
progresif
Avella et all.,
2003
III
Kizilkilc
all., 2003
III
et
Referensi
Bullock et all. Surgical management of posterior fossa mass lesions. Neurosurgery 2006;58:47
55.
Avella et all. Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa : Clinicoradiological analysis of 24
patients. 2003.
Kizilkilc et all. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with an Arachnoid
Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003;29:242 -6.
Indikasi pembedahan
1. Kebocoran likuor serebrospinal pos trauma yang disertai dengan meningitis.
2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule
3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot otot wajah
4. Trauma balistik pada tulang temporal yang menyebabkan kerusakan vaskular
5. Defek yang luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal, pneumocephalus
atau kebocoran CSF lebih dari lima hari
Waktu
31
neurotrauma
Penjelasan rekomendasi
Perawatan konservatif
Dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran dura yang persisten, fraktur tulang
temporal, kelumpuhan otot otot wajah, kehilangan pendengaran, atau kebutaan. Terapi
konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama lima hari untuk
memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir menganjurkan
pemberian 1 sampai 2 juta unit penicillin perhari pada kasus kebocoran likuor. Kultur
nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur.
Pasien dipertahankan dalam posisi tirah baring total dengan elevasi posisi the head of
bed , untuk mengurang aliran CSF. Bila kebocoran tidak berkurang dalam waktu 72 jam
dengan terapi konservatif. Pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150
ml CSF per hari selama 3 sampai 4 hari. Diversi CSF dari kebocoran dura dapat
membantu penutupan secara spontan.
Penulis
Deskripsi penelitian
Kelas
Kesimpulan
Katzen T. et
al, 2007
Review
beberapa
penelitian tentang fraktur
dasar tengkorak
III
Penanganan
fraktur
dasar
tengkorak dapat dilakukan dengan
konservatif bila tidak didapatkan
indikasi pembedahan.
Turchan A.
1995
II
Pemberian
obat
antibiotik
propilaksis
untuk
pencegahan
meningitis pada fraktur dasar
tengkorak
tidak
bermakna
dibandingkan placebo.
Referensi
Katzen T., Jarrahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK. Craniofacial and
Skull Base Trauma. 2007. Available at: WWW. Skull Base Institute.
neurotrauma
32
REKOMENDASI PENGENDALIAN
TEKANAN INTRAKRANIAL
VII.1. Indikasi pemasangan alat pantau tekanan intrakranial ventrikulostomi
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : pemasangan Monitor TIK perlu dilakukan pada pasien cedera otak berat
(GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal
(hematoma, contusio, edema atau penyempitan sisterna basalis ). Monitor
TIK juga perlu dipasang pada pasien Cedera Otak Berat (COB) dengan CT
scan kepala normal jika didapatkan dua atau lebih dari hal berikut :
a. Usia > 40 tahun
b. Tekanan darah sistolik < 90
c. Postural bilateral atau unilateral
Option
: Indikasi pemasangan monitor TIK
Penjelasan Rekomendasi
Banyak data dilaporkan sejak tahun 1970 - an penurunan angka mortalitas dan
morbiditas pada pasien COB dengan penerapan protokol penanganan yang intensif
(Intensif Menagement Protokol). Tujuan utama penanganan secara intensif ini adalah
memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak
sekunder. Perfusi otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan
hipotensi sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu satunya jalan untuk menentukan
Cerebral Perfusion Pressure dan Cerebral Hypoperfusion adalah dengan memonitor TIK
dan tekanan darah secara kontinyu
Metode
Metode monitoring tekanan intra kranial adalah melakukan pemasangan drainase
intraventrikuler, dengan lokasi insersi pada titik Kocher.
neurotrauma
33
Pemasangan
Monitor TIK
Menjaga CPP
60-70mmHg
Hipertensi TIK
CT Scan
ulang
Pertahankan
terapi TIK
Manitol
0.25-1.0 g/KgBB
ya
a
Hipertensi TIK?
tidak
j
Hiperventilasi sampai
PaCO2 30-35mmHg
ya
Hipertensi
Intrakranial?
tidak
neurotrauma
Terapi tersier
penanganan TIK
Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of
Neurotrauma November 1996)
34
Penggunaan Ventilator
(PaCO2 30-35 mmHg, PEEP sampai 10 cmH2O)
THAM
Cairan hipertonik
Drainase CSF
Decompressive Craniectomy
neurotrauma
Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common
Questions. 2004
35
Sedasi
Drainase CSF
Manitol
Mild Hiperventilasihipothermi 32 oC
Hiperventilasi agresif
neurotrauma
Barbiturat
Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly
1997
36
Pengarang
Bullock et al.
Diskripsi
Jalur kritis penanganan TIK
Kelas
III
Valadka et al
III
Peter Reilly
III
Kesimpulan
Sesuai skema I,
drainase CSF setelah
itu manitol
Sesuai skema II,
pemberian manitol
setelah itu drainase
CSF
Skema III,drainase CSF
dulu baru pemberian
manitol
Referensi
neurotrauma
Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury,Journal of
Neurotrauma,November 1996.
Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury,1997
Valadka,Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004
37
neurotrauma
Penulis
Luerssen et al, 1988
Deskripsi Penelitian
Penelitian prospektif serial
membandingkan cedera otak
pada anak dengan dewasa
Kelas
II
II
Studi
retrospektif
untuk
mengetahui
faktor-faktor
prediktif terhadap survival
dan/atau
kecacatan
dan
GOS saat keluar dari Rumah
Sakit.
Penelitian prospektif kohort
38
II
Kesimpulan
Mortalitas pada anak-anak
lebih rendah dibandingkan
dengan dewasa.
Pada anak hanya hipotensi
yang berhubungan dengan
angka kematian yang lebih
tinggi, sedangkan pada
dewasa faktor hipotensi dan
hipertensi.
Angka Mortalitas meningkat
bila ada hipotensi atau
abnormalitas pupil
Hasil
akhir
yang
jelek
II
Referensi :
Pigula FA, Wald SL, Shackford SR, et al : The effect of hypotension and hypoxia on children with
severe head injuries. J Pediatr Surg 1993; 28 : 310 -314
Michaud LJ, Rivara FP, Grady MS et al : Predictors of survival and severity of disability after
severe brain injury in children. Neurosurgery 1992; 31 :254-264
Ong L. Selladurai BM, Dhillon MK, et al : The prognostic value of the Glasgow Coma Scale,
hypoxia and computerized tomography in outcome prediction of pediatric head injury.
Peditr Neurosurg 1996; 24 : 285-291
Luerssen TG, Klauber MR, Marshall LF : Outcome from head injury related to patients age. J
Neurosurg 1988; 68: 409-416
No
1
Penulis
Chambers et al, 2000
Deskripsi Penelitian
Penelitian
observational
pada pada anak-anak dan
dewasa yang dilakukan TIK
dan CPP monitor.
Kelas
III
III
Kesimpulan
TIK > 35 mm dan CPP < 55
mm (dewasa) dan 45 mm
(anak) merupakan prediktif
faktor untuk hasil akhir yang
jelek.
Anak-anak dengan cedera
pada batang otak dan TIK >
40
mm
berhubungan
39
neurotrauma
III
III
dengan
kematian
dan
kondisi vegetatif yang tinggi.
Cairan hipertonis Saline 3%
efektif dalam menurunkan
TIK.
TIK
>
20
berhubungan
peningkatan
kematian.
mmHg
dengan
resiko
Referensi :
Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of cerebral perfusion
pressure and intracranial pressure in severe brain injury by using receiver operating
characteristic curves : An observational study in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :
412-416
Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs Nerv Syst 2000;
16: 21-24
Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion pressure and survival in
pediatric brain-injured patients. J Trauma 2000; 49: 654-659
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial
pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143
neurotrauma
Penulis
Cho et al, 1995
40
Deskripsi Penelitian
Penelitian retrospektif pada
shaken baby syndrome pada
pasien < 2 tahun, yang
dipasang TIK / operasi.
Studi prospektif non random
menentukan huungan antara
TIK dan PVI (Pressure
Volume Index).
Kelas
III
Kesimpulan
Outcome yang jelek bila TIK
> 30 mmHg dibandingkan
TIK < 20 mmHg.
III
Penelitian
prospektif.
Mengetahui hubungan antara
CBF dengan TIK.
III
CBF berbanding
dengan TIK.
terbalik
Referensi :
41
neurotrauma
Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact baby syndrome.
Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198
Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and metabolism in children with
severe head injury. Part I : Relation to age, Glasgow Coma Score, outcome,
intracranial pressure, and time after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152
Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on treatment of
pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819 -825
Penulis
Fisher et al, 1992
Deskripsi Penelitian
Penelitian
double-blind
crossover membandingkan
penggunaan cairan saline
3% (1025 mOsm/L) dan
0,9% (308 mOsm/L) pada
anak dengan cedera otak
berat.
Kelas
III
Studi
prospektif
tentang
penggunaan
cairan
hipertonis saline 3% (1025
mOsm/L)
III
III
III
Kesimpulan
Cairan hipertonis saline 3%
dapat menurunkan TIK dan
mengurangi intervensi yang
lain
(
thiopental
dan
hiperventilasi).
Kadar
Serum
sodium
meningkat sekitar 7 mEq/L
setelah pemberian saline
3%
Terjadi penurunan yang
signifikan pada TIK dan
peningkatan CPP selama
pemberian cairan saline 3%
Timbulnya hipernatremi dan
hiperosmoler
dapat
ditoleransi secara aman
pada pasien anak-anak.
Cairan hipertonis Saline 3%
efektif dalam menurunkan
TIK.
Pasien yang diterapi dengan
salin hipertonis memerlukan
intervensi tambahan yang
lebih sedikit dibandingkan
dengan pemberian dengan
ringer
laktat
dalam
mengatur
TIK.
Group
dengan pemberian salin
hipertonis memiliki waktu
tinggal di ICU lebih singkat,
penggunaan
ventilasi
mekanik lebih singkat, lebih
sedikit
komplikasi
dibandingkan
dengan
penggunaan ringer laktat
Referensi :
neurotrauma
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in children
after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10
Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severe
refractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury.
Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial
pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143
Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluid
management in children with severe head injury : Lactated Ringers solution versus
hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270
42
Penulis
Shapiro
Marmaron, 1982
and
Deskripsi Penelitian
Penelitian retrospektif , 22
pasien
dengan
EVD,
ditentukan TIK / PVI
Kelas
III
III
III
Kesimpulan
Drainase meningkatkan PVI,
menurunkan TIK, kematian
hanya pada pasien dengan
TIK tak terkendali
Tiga dari lima selamat
setelah penurunan TIK
TIK menurun pada 14
penderita dari 16 orang,
kematian pada dua pasien
dengan TIK tak terkendali
Referensi :
VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan Cidera
Otak Berat
Standard : Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines : Belum ada yang cukup untuk mendukung guideline terapi.
Option
: Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2 < 35 mmHg) harus dihindari
pada anak.
43
neurotrauma
Penjelasan Rekomendasi :
Hiperventilasi ringan (PaCO2 30 35 mmHg) dapat dipertimbangkan pada kondisi
hipertensi intrakranial yang tidak turun dengan sedasi dan analgesia, blokade
neuromuskular, pengeluaran CSS, dan terapi hiperosmolar. Hiperventilasi agresif
(PaCO2 < 30 mmHg) dapat dipertimbangkan sebagai terapi tingkat kedua pada
hipertensi membandel. Aliran darah serebral (Cerebral Blood Flow), saturasi oksigen
vena jugularis, atau monitor oksigen jaringan otak dianjurkan untuk membantu
mengidentifikasi terjadinya iskemia pada kondisi ini. Hiperventilasi agresif dalam waktu
singkat dapat dipertimbangkan pada kasus herniasi otak atau penurunan kondisi
neurologis.
Terapi hiperventilasi secara agresif telah digunakan dalam penanganan TBI berat
pada anak untuk penurunan yang cepat dari TIK sejak 1970. Pada studi tak terkontrol,
Bruce et al menggunakan protokol yang menggunakan hiperventilasi agresif dan
dilaporkan hasil yang sangat baik. Keadaan ini berdasarkan pada asumsi bahwa
hiperemi biasa setelah TBI anak-anak. Terapi hiperventilasi juga menunjukkan
keuntungan pada cedera otak dengan berbagai mekanisme termasuk penurunan
asidosis otak, peningkatan metabolisme otak, perbaikan tekanan darah dari tekanan
darah dari aliran darah otak, dan peningkatan perfusi pada area otak yang iskhemi.
Hiperventilasi menurunkan TIK dengan meningkatkan hipocapnia. Ini menuntun ke
vasokostriksi otak dan penurunan CBF. Hal ini diikuti denngan penurunan volume darah
otak, menghasilkan pada penurunan TIK. Bagaimanapun juga, hiperventilasi
dihubungkan dengan resiko iskhemi iatrogenik. Pada model eksperimental, Muizelaar et
al melaporkan bahwa vasokonstiktor berefek pada hiperventilasi tertahan dalam periode
< 24 jam. Hiperventilation kronis menurunkan buffer bikarbonat interstisial jaringan otak
dan menyebabkan sirkulasi otak menjadi hiper responsive menjadi peningkatan PaCO2.
Alkalosis respiratoris menimbulkan pergeseran kekiri dari kurva dissosiasi hemoglobinoksigen yang mana mengganggu pembawaan oksigen ke jaringan.
neurotrauma
Penulis
Deskripsi Penelitian
Kelas
Kesimpulan
II
II
Iskemia
karena
hiperventilasi terjadi dan
mempengaruhijaringan otak
yang cedera dan masih
intak.
Referensi :
Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al : Effect of hyperventilation on regional cerebral blood flow in
head-injured children. Crit Care Med 1997; 25: 1402-1409
Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al: Hyperventialtion-induced cerebral ischemia in
patients with acute brain lesions : Demonstration by Xenon -enhanced CT.AJNR 1993;
14: 475-484
44
Deskripsi Penelitian
Penelitian case control, 35
pasien cedera otak berat
yang dilakukan dekompresi
kraniektomi dengan pre dan
post operatif TIK monitor dan
terapi medis
Penelitian retrospektif pada
pada anak-anak dengan
shaken baby syndrome yang
dilakukan
operasi
dekompresi
atau
terapi
medis
Single center PRCT, 27
cedera otak berat pada anak
dengan
hipertensi
intrakranial yang membandel
dengan terapi medis dan
drainase
ventrikel
yang
dirandom antara bitemporal
dekompresi kraniotomi vs
tanpa pembedahan
Kelas
III
Kesimpulan
Outcome
yang
baik
didapatkan pada usia muda,
operasi lebih awal dan TIK
tidak pernah >40 mmHg
III
Pasien
yang
dioperasi
survivalnya
lebih
baik
dibandingkan yang hanya
mendapat terapi medis
III
Kraniotomi
dekompresi
secara nyata menurunkan
TIK dalam 48 jam setelah
dirandomisasi dan hasilnya
tidak
terlalu
bermakna
terhadap perbaikan klinis.
neurotrauma
No
1
45
Referensi :
neurotrauma
Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy in the treatment
of severe refractory posttraumatic cerebral edema. Neurosurgery 1997; 41:8494
Taylor A, Warwick B, Rosenfeld J, et al: A randomized trial of very early decompressive
craniectomy in children with traumatic brain injury and sustained intracranial
hypertension.Childs Nerv Syst 2001; 17:154162
Cho DY, Wang YC, Chi CS: Decompressive craniotomy for acute shaken/impact
syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192198
Tinjauan:
Perbandingan antara trauma pada anak dan dewasa menurut National Pediatric Trauma
Registry menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami cidera otak traumatik lebih
besar dibandingkan orang dewasa. Tetapi karena sulitnya untuk menilai terapi pada anak
dengan rentang kelompok umur yang lebar dan perbedaan tingkat perkembangan pada tiap
fase mengakibatkan masih belum banyak penelitian yang memenuhi syarat untuk dijadikan
standard penanganan pada masa akut hingga rehabilitasi.
Karena tidak benar anggapan bahwa anak adalah miniatur orang dewasa, maka tidaklah
tepat untuk menyamakan dan mengaplikasikan begitu saja literatur penelitian pada orang
dewasa atau guideline yang ada untuk orang dewasa pada anak. Usaha-usaha untuk
mengenali aspek khusus pada anak dikaji dan guideline yang disusun adalah sebagai
pendamping guideline yang ada untuk orang dewasa. Guideline yang disusun sebagian
besar adalah hasil konsensus bersama.
Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Cidera
otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai cidera otak saja, adalah perlukaan primer
atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cidera otak akibat penganiayaan (abusive
head injury) termasuk didalamnya penganiyaan, penyiksaan, penelantaran dan shaken baby
syndrome dimasukkan juga dalam kategori cidera otak ini. Cidera akibat trauma kelahiran,
tenggelam, dan gangguan pembuluh darah otak tidak dimasukkan dalam kelompok ini.
Secara epidemiologi, cidera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40% kasus anak
usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19 tahun. Pola dan
prinsip manajemen cedera otak pada anak hampir sama dengan pada orang dewasa tetapi
ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat perkembangan anak, variasi
anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan respon otak anak terhadap cidera
traumatik.
Hal-hal yang terkait adalah : pada anak kecil tidak mungkin melakukan pemeriksaan GCS
seperti orang dewasa. Modifikasi skala yang diadopsi untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi
respon lebih banyak pada anak dan dicatat secara terpisah pada kartu monitoring seringkali
menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan apakah ada penurunan kesadaran pada waktu
benturan. Gegar otak bisa sangat singkat dan tidak bisa dinilai dengan observasi Trauma
tumpul pada kepala anak dapat terjadi dalam waktu singkat dengan perkembangan edema
otak akut. Kondisi ini bisa terjadi pada trauma kepala yang nampaknya terlihat ringan dan
diindikasikan dengan penurunan status kesadaran yang cepat dan dalam. Kondisi ini dapat
di diagnosa hanya setelah lesi masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan.
Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai beratnya
cedera otak. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk memastikan tidak ada
perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak trauma tidak sama resikonya
46
47
neurotrauma
dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang dewasa. Pada umumnya anak anak
membaik dan sembuh total setelah serangan, tidak ada indikasi pemberian anti konvulsan.
Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak kecil meningkatkan resiko kerusakan otak oleh
penetrasi objek dimana pada orang dewasa tidak bisa tembus. Beberapa luka tusuk pada
kepala anak harus diterapi seolah-olah telah terjadi trauma langsung pada otak. Luka masuk
harus diperiksa dengan teliti untuk mencari tanda fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak.
Jika masih ragu-ragu, CT scan dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada sisi
itu. Rujukan ke ahli bedah saraf diperlukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Fraktur
impresi, baik yang sederhana maupun yang komplikata umumnya berkaitan dengan
kerusakan lokal terhadap otak dibawahnya. Energi benturan secara substansial dapat
diserap pada sisi trauma dan efek akselerasi pada otak diminimalisir. Tidak adanya riwayat
hilangnya kesadaran tidak menghilangkan adanya cedera fokal yang berat. Foto polos
kepala, khususnya tangensial view, bisa menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT
scan dapat menunjukkan lebih jelas aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan
apakah ada atau tidak cedera otak dibawahnya.
Karena elastisitasnya, kalvaria anak kecil dapat mengalami perubahan bentuk setelah
benturan tanpa ada fraktur. Deformitas ini bisa berhubungan dengan trauma lokal terhadap
otak atau trauma pada meningen yang menghasilkan timbulnya hematom ekstradural. Tidak
adanya fraktur tidak menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah
adalah pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak
termasuk bayi. Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan
dari luka, hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil karena
mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya penting untuk
menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi peningkatan tekanan
intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah bisa turun dengan cepat. Ini
penting pada anak-anak jika merencanakan untuk melakukan pembedahan sebagai
pertimbangan pemberian transfusi darah segera. Pada kondisi emergensi darah O negatif
dapat diberikan. Otak anak kecil kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma
tumpul dan ini penting sekali untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti
ini. Sebagaimana pada orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk
mengganti perkiraan kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan
perubahan yang tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama 24 jam
setelah cedera ringan dianjurkan.
Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya peningkatan
tekanan intrakranial. Keadaan fontanela memberikan informasi dimana perlunya bantuan
ahli bedah saraf.
Di populasi anak ada tingkat kejadian yang bermakna dari cedera non kecelakaan. Ini
penting untuk difahami bahwa riwayat yang ada bisa tidak benar dan menyesatkan
penilainan ahli bedah dalam mempertimbangkan beratnya atau ringannya cedera
intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral menunjukkan suatu trauma non
kecelakaan. Gelisah pada cedera otak anak kecil bisa menyulitkan saat CT scan.
Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi akut.
Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cidera otak berat pada anak sesuai dengan
Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain Injury in Infants,
Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine, 4(3), 2003.
neurotrauma
48
PENUTUP
Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sisitematis dilakukan penelitian penelitian yang mendukung, sehingga dapat sebagai acuan atau rekomendasi baik untuk
tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cidera otak.
Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran dan
kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung pada
pelayanan dan pendidikan serta penelitian dibidang neurotrauma.
neurotrauma
Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami namun
ketebatasan kami jualah yang membatasi, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian
selalu ada pada buku ini.
49
KEPUSTAKAAN
Adelson et al, 2003, Guidelines For The Acute Medical Management Of Severe Traumatic
Brain Injury In Infants, Children, And Adolescents., Pediatr Crit Care Med 2003 Vol. 4,
No. 3 (Suppl.)
Erard AC, Walder B, Ravussin P.,2003. Effects Of Equiosmolar Load Of 20% Mannitol,
7.5% Saline And 0.9% Saline On Plasma Osmolarity, Haemodynamics And Plasma
Concentrations Of Electrolytes., Ann Fr Anesth Reanim. 2003 Jan;22(1):18-24.
Balafif F, 1999., Pengaruh Pemberian Manitol Secara Empiris pada Penderita Cedera Otak
Berat Tipe Non Surgical Mass Lession di RS. Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian case
control study analisis komparatif dengan dan tanpa pemberian manitol. SMF Bedah
Saraf / Lab Ilmu Bedah FK UNAIR Surabaya
Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Calvi MR, Cipriani A, Garancini MP, 1997.,
7.5% Hypertonic Saline Versus 20% Mannitol During Elective Neurosurgical
Supratentorial Procedures. J Neurosurg Anesthesiol. 1997 Oct;9(4):329-34.
Guidelines for Healthcare Facilities with Limited Resources, Johns Hopkins University
Mendelow AD,Teasdale GM, Russell T, Flood J, Petterson J, Murray GD, 1985, Effect of
Mannitol on Cerebral Blood Flow and Cerebral Perfusion Pressure in Human Head
Injury. J Neurosurg, 63(1) : 43-8
neurotrauma
Ravussin P, Abou-Madi M, Acher D, et al, 1988, Changes in CSF Pressure sfter Mannitol in
Patients with and without Elevated CSF Pressure, J Neurosurg ec:69(6): 869-76
50