Anda di halaman 1dari 59

PEDOMAN

TATALAKSANA CEDERA OTAK


(Guideline for Management of Traumatic Brain Injur y)

Editor : Joni Wahyuhadi


Wihasto Suryaningtyas
Rahadian Indarto Susilo

Tim Neurotrauma
RSU Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya, 2007

Tim Neurotrauma dan Kontributor


DR, dr, Abdul Hafid Bajamal, SpBS
Prof. DR, dr, Nancy Margarita Rehatta SpAn. KIC
Prof.DR,dr, Eddy Rahardjo, SpAn.KIC
dr. Hamzah, SpAn
DR, dr, M. Arifin Parenrengi, SpBS
dr. Agus Turchan SpBS
dr. Joni Wahyuhadi, SpBS
dr. Eko Agus Subagio, SpBS
dr. Edward Kusuma, SpAn
dr. Achmad Zuhro Maruf, SpBS
dr. Agus Chairul Anab, SpBS
dr. Gigih Pramono, SpBS
dr. Khamim Thohari, SpBS
dr. Yoppie Prim Avidar
dr. Wihasto Suryaningtyas
dr. Khairul Ihsan Nasution
dr. Yusuf Asmunandar
dr. Andre Kusuma
dr. M. Ihsan Z. Tala
dr. Rahadian Indarto Susilo
dr. Yahya Ari Pramono
dr. Made Agus M. Inggas
dr. Bambang Priyanto
dr. Nyoman Gde Wahyudana
dr. M. Faris
dr. Nadjullah Budi Setiawan
dr. Yudi Cahyono
dr. M. Ainul Huda
Nyoman Suparna, Amd-Kep.
Nunuk, Amd-Kep.
Ni Luh Widiasih,S.Kepnes.
Endang, Amd-Kep.
Bambang Sugiarto, Amd-Kep

Sekretariat Neurotrauma:
SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf
RSU dr. Soetomo FK Universitas Airlangga
Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 8
Surabaya
Telp: 031-5501325/ 5501304
Fax: 031-5025188
e-mail: nssbaya@yahoo.com

SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM


DR. SOETOMO, SURABAYA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,dan atas
berkat rahmat Nya Tim Neurotrauma RSU dr. Soetomo Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya dapat menerbitkan buku Pedoman Tatalaksana
Cidera Otak.
Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju untuk menjawab tantangan
di bidang pelayanan, pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidang
pelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap institusi yang berhubungan
dengan penanganan neurotrauma, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan
menurunkan angka keacatan dan kematian akibat cedea otak.
Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga merupakan
tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari jenjang diploma hingga
spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini
dengan baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima.
Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa sehingga memberi
peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa fenomena kasus
neurotrauma masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum semuanya terjawab dengan jelas.
Mudah-mudahan hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para klinisi yang
memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis, dokter muda serta paramedis.
Semoga apa yang telah diraih saat ini menjadi bibit untuk perkembangan dan kemajuan di masa
mendatang.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Direktur
Rumah Sakit Umum dr. Soetomo, Surabaya

H. Slamet R. Yuwono, dr, DTMH. MARS

SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA, SURABAYA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU dr.
Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat
menerbitkan buku Pedoman Tatalaksana Cedera Otak, yang disusun
berdasarkan evidence base medicine.
Mengingat kemajuan ilmu dan tehnologi yang tak dapat dibendung, adalah hal
yang wajar bahwa perubahan-perubahan dapat terjadi terutama di bidang ilmu
kedokteran yang selalu dinamis. Neurotrauma adalah kasus emergency terbanyak
di RSU dr. Soetomo yang membutuhkan penanganan yang cepat, tepat, dan
akurat. Banyak hal baru yang muncul ke permukaan dan telah dibuktikan melalui suatu proses
penelusuran evidence based medicine yang memberikan arah dalam proses penanganan pasien
cedera otak.
Pelayanan yang bermutu dan proses pendidikan yang didukung dengan pedoman baku akan sangat
bermanfaat bukan hanya bagi pasien tetapi bagi peserta didik dan penyedia pelayanan baik medis
maupun paramedis. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan pendidikan yang terpadu ini kelak akan
muncul hal-hal baru yang memberi lahan bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang
neurotrauma.
Besar harapan Saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa
kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis, perawat, peserta didik
keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan
dan penyempurnaan ilmu yang telah ada selalu Saya harapkan dan Saya dukung untuk memperluas
khazanah dan wawasan keilmuan.
Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku pedoman ini, Saya
sampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga dapat bermanfaat dan dapat terus
mengembangkan keilmuan yang dimiliki demi kemanusiaan. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Muhammad Amin

KATA PENGANTAR
Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian para dokter,
kususnya yang berkecimpung dalam bidang trauma dan perawatan gawat darurat.
Problem pada cedera otak adalah menimbulkan kecacatan yang berat dan bahkan sampai kematian
.Angka kematian di RSU,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai 12 % keadaan
ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara 3-8 %. Disamping itu cedera
otak juga sering terjadi pada usia-usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas
dan sangat berpangaruh pada kemajuan bangsa.

Dalam upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan
pada para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pusat pelayanan kesehatan di daerah-daerah
dan para peserta didik program spesialis bedah,bedah saraf,saraf dan aneatesia serta para dokter
muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku pedoman in dengan sistematika yang mudah
dipahami.Dan semoga dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada
saat yang tepat pula dalam menghadapi penderita nurotrauma. Kecepatan dan ketepatan adalah
faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cidera pada susunan saraf.
Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya penyusunan
pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi kemanusiaan.

Ketua tim neurotrauma


RSU.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.

DR.dr. Adbul Hafid Bajamal, dr., SpBS

DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA
SAMBUTAN
Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya
Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
I. PENDAHULUAN
II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN
III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM
(GENERAL MEASURES)
III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage
III.2. Tatalaksana Awal Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat
III.3. Anamnesis
III.4. Pemeriksaan Fisik Umum
III.5. Pemeriksaan Neurologis
III.6. Observasi
III.7. Pemeriksaan Foto Polos Kepala
III.8. Pemeriksaan CT Scan
III.9. Kriteria Masuk Rumah Sakit
III.10. Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala
III.11. Lembar Pesanan Saat Pulang
III.12. Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI)
III.13. Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA
IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan
IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang
IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat
V. REKOMENDASI TATALAKSANA TANPA INTERVENSI PEMBEDAHAN
(GUIDELINE FOR NON-SURGICAL MEASURES)
V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang
V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol
V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik
V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik
V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid
V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer
V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi
V.8. Rekomendasi Penggunaan Acid Suppresor Agent dan Gastric Mucosal Protector
V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline
V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam
VI. REKOMENDASI TATALAKSANA INTERVENSI PEMBEDAHAN
(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)
VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)
VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH)
VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak
VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior
VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Patah Tulang Kepala Depresi

1
4
4
4
6
6
7
8
8
9
9
9
9
10
10
11
11
12
13
14
14
16
16
17
18
19
21
22
23
24
26
26
27
29
30
31

VII. REKOMENDASI PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL


(GUIDELINE FOR INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT)
VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial ventrikulostomi
VII.2. Manajemen Tekanan Intra Kranial
VIII. REKOMENDASI TATALAKSANA CEDERA OTAK PADA ANAK
VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi
VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial
VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat
VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial
VIII.5. Peran Pengeluaran Cairan Serebrospinal pada Pengendalian TIK
VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB
VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri
IX. PENUTUP
X. KEPUSTAKAAN

33
33
33
38
38
39
40
41
43
43
45
49
50

Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd edition.
McGraw-Hill. New York, 1996

DAFTAR SINGKATAN
CBF
CMRO2
COB
COR
COS
CPP
CSF
CSS
CT Scan
EDH
EVD
GCS
HCU
ICP
IRD
KRS
LCT
LCU
MAP
MCT
MRS
NSAID
PPI
RCT
ROI
SDH
SRMD
TBI
TIK

Cerebral Blood Flow


Cerebral Metabolic Rate of O 2
Cedera Otak Berat
Cedera Otak Ringan
Cedera Otak Sedang
Cerebral Perfusion Pressure
Cerebro Spinal Fluid
Cairan Serebro Spinal
Computed Tomography Scan
Epidural Hematoma
Extra Ventricular Drainage
Glasgow Coma Scale
High Care Unit
Intra Cranial Pressure
Instalasi Rawat Darurat
Keluar Rumah Sakit
Long Chain Triglycerides
Low Care Unit
Main Arterial Pressure
Medium Chain Triglycerides
Masuk Rumah Sakit
Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs
Proton Pump Inhibitor
Randomized Control Trial
Ruang Observasi Intensif
Sub Dural Hematoma
Stress Related Mucosa Damage
Traumatic Brain Injury
Tekanan Intra Kranial

PENDAHULUAN
Neurotrauma masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah
saraf. Neurotrauma di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian
dan memerlukan biaya yang tinggi dalam penanganannya. Perkembangan pengetahuan
mengenai patofisiologi dan tatalaksana neurotrauma terlihat pesat pada dekade terakhir.
Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian laboratoris dan klinis serta
biomolekuler dan genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat
terjadinya impak melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya dan
dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap trauma. Karenanya berkembang dengan
cepat pula metode penanganan yang komprehensif, cepat, tepat,dan monitoring yang
benar serta penemuan obat-obat baru, metode neurorestorasi dan rehabilitasi dalam rangka
meningkatkan outcome dari pasien neurotrauma.
Di Indonesia khususnya di rumah sakit Dr. Soetomo, neurotrauma masih merupakan
masalah yang cukup serius. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr. Sutomo
sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2006, didapatkan data sebagai berikut:
Data
Penderita
Cedera
Otak
Dr. Soetomo
Data
Penderita
Cedera
Otak RSU
Dr.RSU
Soetomo,
Surabaya
Th.
2002
2006
Tahun 2002 - 2006
Tahun
S Penderita CO S Penderita COB Total Kematian
2002
2005
455
225
2003
1910
467
210
2004
1621
275
134
2005
1670
199
103
2006
1588
195
98

%
Kematian COB
11.22
169
10.99
127
8.267
81
6.168
65
6.171
49

%
37.14
27.19
29.45
32.66
25.13

Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera otak berkisar antara 6,171 %
hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur
internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.

Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih tinggi,
berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan menurun. Angka ini
relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu sekitar 22 %.

Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera
otak yang datang ke IRD.
Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien dengan cedera otak di RSU
dr.Soetomo menunjukkan bahwa neurotrauma memerlukan penanganan yang terpadu,
meliputi prehospital care dan hospital care yang merupakan faktor penting untuk dibenahi
dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Pembenahan hospital care meliputi:
1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara:
a. Pembuatan guideline atau pedoman yang berisi algoritma dan rekomendasi
b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider)

neurotrauma

neurotrauma

c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat


d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU)
e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris
2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara:
a. Sosialisasi guideline atau pedoman yang berisi algoritma dan rekomendasi
pada rumah sakit daerah.
b. Peningkatan sistem rujukan
c. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dengan cara pendidikan
berkelanjutan.
3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain
4. Evaluasi berkala
Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per tahun di
RSU Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka morbiditas dan
mortalitas yang sama dengan pusat-pusat neurotrauma internasional, oleh karena itu
pedoman tatalaksana cedera otak adalah merupakan langkah awal yang sangat penting dan
strategis dalam rangka memberikan pelayanan, proses pendidikan dan penelitian dalam
upaya menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien cedera otak.

PROSES PEMBUATAN PEDOMAN


Proses pembuatan guideline atau pedoman diawali pada tahun 2004 di SMF/
Departemen Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga dengan membentuk
tim kecil neurotrauma yang terdiri dari komponen para ahli bedah saraf, anestesi, peserta
didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat Darurat dan
Instalasi Rawat Inap Bedah. Pada diskusi-diskusi tim neurotrauma dilakukan pengumpulan
data, identifikasi masalah, opini-opini, pengalaman praktis dan studi literatur serta penelitian
yang berkaitan dengan neurotrauma.
Pada pedoman ini terdapat dua bagian besar yaitu berupa algoritma tatalaksana cedera
otak yang merupakan alur penanganan pasien trauma kepala di RSU dr. Soetomo. Bagian
kedua adalah rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan intervensi pembedahan
maupun tanpa pembedahan.
Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi
tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori (class), yaitu:
A.

Klas I : adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat


dari penelitian yang bersifat prospektif randomized controlled trial (RCT)
atau meta analisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan
gold standard atau standard (high degree of clinical certainty).

B.

Klas II: adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat
dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif
(studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode
yang didapat adalah berupa guideline (moderate clinical certainty).

C.

Klas III: adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang didapat
dari peneliitian retrospektif, serial case, data registrasi pasien, laporan
kasus, review kasus, dan pendapat ahli. Metode yang didapat adalah
berupa option (unclear clinical certainty).

Sistematika penulisan dan isi dari pedoman ini adalah sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kondisi di RSU. Dr. Soetomo sebagai rumah sakit pendidikan. Diharapkan secara
mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter spesialis dan mahasiswa
kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan dan rekomendasi-rekomendasi
yang disarankan, diperoleh dari penelitian penelitian klinis dan laboratoris sehingga
sangat mungkin berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian
penelitian pendukung sehingga dihasilkan acuan-acuan dan rekomendasi-rekomendasi
dengan tingkat kepercayaan klinis ( clinical certainty) yang lebih tinggi.

neurotrauma

Pemilihan tehnologi operasi selalu dievaluasi berdasarkan akurasi, tingkat kepercayaan,


potential therapy, efektifitas biaya, dan ketersediaan alat.

ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM


( GENERAL MEASURES )

neurotrauma

III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD


Triage bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label sesuai kegawatan dan
semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada dokter jaga bedah.
III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat
1. General precaution
2. Stabilisasi Airway, Breathing, Circulation
3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seluruh organ)
4. Pemeriksaan neurologis
5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6. Menentukan tahapan tatalaksana selanjutnya sesuai buku Pedoman

III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution )

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

10.

11.

Jenis Perlindungan
Mencuci tangan dengan antiseptik
- setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda yang
terkontaminasi
- segera setelah melepas sarung tangan
- diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda
Pemakaian sarung tangan
- jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda
benda yang terkontaminasi
- jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak
Pemakaian Masker, dan goggles
- untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan berhadapan
dengan darah atau cairan tubuh
Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns)
- untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh
- mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang
melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh
Linen
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi
- jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien
Alat - alat perawatan pasien
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat alat yang telah
terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta
lingkungan sekitarnya
- alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali
Kebersihan lingkungan
- area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan
menggunakan desinfektan
Benda benda tajam
- jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan
- jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya
- jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas
dengan tangan
- buang benda benda tajam di dalam kontainer anti tembus.
Resusitasi pasien
- hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation
bags, atau alat bantu ventilasi lain.
Penempatan pasien
- pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan
ditempatkan pada ruangan khusus

Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities
with Limited Resources )

neurotrauma

No
1.

III.2.1 Stabilisasi ABC


Pemeriksaan
A Airway
B Breathing

Evaluasi
Patensi ?
Suara tambahan ?
Efektif ?

C Circulation

Adekuat ?

D Disability
( status neurologis )

Normal ?

E Exposure ( buka seluruh


pakaian )

Cedera lain ?

Perhatikan, catat, dan perbaiki


Obstruksi
Frekuensi dan kedalaman
Gerakan dada
Air entry
Sianosis
Nadi dan pengisian
Warna kulit
Capilary refilling time
Perdarahan
Tekanan darah
Tingkat kesadaran (AVPU
atau GCS)
Reflek pupil
Gerakan ekstremitas. Evaluasi
respon terhadap perintah atau
rangsang nyeri

Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak (Dikutip dari: Reilly P.Head Injury.1997)
III.3. Anamnesis
Informasi yang diperlukan adalah:
Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
Mekanisma trauma
Waktu trauma
Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
Amnesia retrograde atau antegrade
Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, kejang, vertigo
Riwayat mabuk, alkohol, narkotika
Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi
dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah
III.4. Pemeriksaan fisik Umum
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk menentukan
kelainan:
Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki
Per sistem B1 B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

neurotrauma

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan trauma otak adalah:


1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda tanda :
a. Jejas di kepala meliputi: hematoma sub kutan,sub galeal, luka terbuka, luka
tembus dan benda asing.
b. Tanda tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita, ekimosis
post auricular, rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani
atau leserasi kanalis auditorius.

c. Tanda - tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Le Fort), fraktur
rima orbita dan fraktur mandibula
d. Tanda tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.
Mencari tanda tanda adanya cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal)
dan cedera pada medula spinalis. Meliputi jejas,deformitas dan status motorik,
sensorik dan autonomik.

neurotrauma

III.5. Pemeriksaan Neurologis


Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS)
b. Saraf kranial
Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek
konsensuil, bandingkan kanan-kiri
Tanda-tanda lesi saraf VII perifer (wajah asimetris)
c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tandatanda lateralisasi.
e. Autonomis: refleks bulbocavernous, refleks kremaster, refleks spingter, refleks
tendon, refleks patologis dan tonus spingter ani.
.

III.6. Observasi
Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan suhu)
dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar observasi
neurologis sebagai berikut:

neurotrauma

Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat
kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5
menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan
penanganan yang kurang tepat

III.7. Pemeriksaan Foto Polos Kepala


Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Gejala neurologis fokal
4. Jejas pada kulit kepala
5. Kecurigaan luka tembus
6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba

8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, pasien anak
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :
benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasien usia > 50 tahun.
III.8. Pemeriksaan CT Scan
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera otak :
1. GCS < 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. Pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
9. Indikasi sosial
III.9. Kriteria Masuk Rumah Sakit
Pasien cedera otak akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut:
1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran
2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah
3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi
4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus
5. Fraktur tengkorak
6. CT scan kepala abnormal
7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit
8. Umur pasien diatas 50 tahun
9. Anak-anak (usia < 18 tahun)
10. Indikasi sosial
III.10. Kriteria Pulang Pasien Cedera otak
Kriteria pasien cedera otak dapat dipulangkan dengan pesan :
- Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
- Tidak ada gejala neurologis
- Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
- Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
- Ada yang mengawasi di rumah
- Tempat tinggal dalam kota

neurotrauma

III.11. Lembar Pesanan saat Pulang


Pasien cedera otak yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera dibawa ke
IRD bila :
- Muntah makin sering
- Nyeri kepala atau vertigo memberat
- Gelisah atau kesadaran menurun
- Kejang
- Kelumpuhan anggota gerak

III.12. Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI)


Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI :
- GCS < 8
- GCS < 13 dg tanda TIK tinggi
- GCS < 15 dengan lateralisasi
- GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.
- Cedera otak dengan defisit neurologis progresif menurun belum indikasi
operasi.
- Pasien pasca operasi
Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1
- Pasien cedera otak yang tidak memerlukan ventilator dan layak transport.
- Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1

neurotrauma

III. 13 Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1


- Pasien dengan CT scan kepala abnormal yang belum indikasi operasi
- Pasien Cedera Otak Ringan (COR) dan Cedera Otak Sedang (COS) yang
tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan memerlukan observasi ketat.

10

ALGORITMA PENATALAKSANAAN
PASIEN CEDERA OTAK
IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan

Pasien

1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC)


2. Anamnesis, fisik diagnostik
3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi
4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi
5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi
6. Lapor jaga bedah saraf

MRS di ruang
HCU - F

OPERASI

ICU/ ROI-1

Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam


(anak < 2 tahun: D5 0.25 NS; 80-100
cc/KgBB/ 24 jam)
Puasa 6 jam
Obat simptomatik IV atau supp
Observasi ketat
Catat keadaan vital dan neurologis bila
akan dikirim ke ruangan perawatan
Serah terima penderita serta informasi
lengkap keadaan penderita

VS. Stabil
Neurologis Stabil

Cepat
memburuk

R. Perawatan ( LCU )

Resusitasi + Rediagnosis

KRS

ICU/ ROI - 1

Operasi
neurotrauma

IRD

11

IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang

Penderita

Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang


collar brace
Lapor jaga bedah saraf
Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya
Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match)
Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam
Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Obat simptomatik IV atau supp
Bila telah stabil CT scan kepala, foto leher lat, thorak
foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
Pasang kateter, evaluasi produksi urine

IRD

Operatif

ICU/ ROI-1

MRS di ruang HCU - F

Membaik

VS. Stabil
Neurologis Stabil

Memburuk

Stabilisasi + Resusitasi
Rediagnosis cito

ICU/ ROI-1

neurotrauma

Ruang
Perawatan (LCU)

12

Operasi

IV.3. Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat

Penderita

IRD

Lapor jaga bedah saraf

Bila keadaan fungsi vital telah stabil


Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU
Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita,
obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan)
MRS di ICU ROI-1

R. HCU - F

R. Perawatan (LCU)

neurotrauma

Operasi

Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi


Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak
boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau
nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut
dilakukan cricothyrotomi dan persiapan intubasi atau tracheostomi
Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 40 mmhg,, PaO2 : 80 200
mmHg atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung (dianjurkan
melalui oral)
Pasang collar brace
Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tandatanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa..
Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau
darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg.
Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal
ginjal dan atau gagal jantung, manitol 20% 200 ml bolus dalam
20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit
setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm.
Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga
kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin
bolus15-20 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl
0,9% iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB
Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %)
1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas
indikasi.
. Pemeriksaan lab DL, BGA, GDA, cross match
Anamnesis pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake
terakhir, alergi
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi
Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine
Tanda vital stabil CT scan kepala, foto leher lat, thorak fot AP,
Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek
oculocephalik
Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmhg.atau<22 cm
H2O pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial.
Bila ada lesi intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang
bersamaan saat operasi emergensi

13

REKOMENDASI TATALAKSANA
PERAWATAN TANPA INTERVENSI
PEMBEDAHAN
V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang
Standard : Pemberian fenitoin dimulai dengan Loading Dose segera setelah trauma
efektif sebagai profilaksis terjadinya kejang dini pasca trauma kepala
Guideline :
1. Pengobatan profilaksis dengan fenitoin, carbamazepin atau valproat
sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak
menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma.
2. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini
pasca trauma.
Option
: -

neurotrauma

Penjelasan rekomendasi :
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca
trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan untuk
menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang pasca
trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari paska trauma (early type) pada pasien yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau karbamazepin
terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada fase ini belum
terbentuk fokus epilepsi.
Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:
1. Cedera Otak Berat
2. Amnesia 24 jam
3. Fraktur depresi
4. Hematom intrakranial
5. Subdural Hematom
6. Kontusio Serebri
7. Fraktur tulang tengkorak
8. Defisit neurologis fokal
9. usia 65 tahun atau 15 tahun
Dosis dan cara pemberian :
Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk
menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera
setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kg dalam 100 cc NaCl 0,9% dengan
kecepatan infus maksimum 50 mg/min.
Pada pasien pediatri dosis loading yang direkomendasi 10-20 mg/kg, diikuti dosis
rumatan 5 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10
mg/kg/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.

14

Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )


No
1

Penulis
Golden,
1996

Temkin
all, 1990

Annegers et
all, 1998

Chang SB,
Lowenstein
DH, 2003

et

Deskripsi penelitian
Penelitian
retrospektif
dengan rancangan case
control
study
untuk
mengetahui
pengaruh
faktor resiko terhadap
angka kejadian epilepsi
pasca trauma dini
Penelitian
randomized
double
blind
untuk
mengetahui
efektifitas
pemberian fenitoin untuk
mencegah kejang pasca
trauma
Penelitian
retrospektif
untuk
mengetahui
karakteristik cedera otak
yang
berhubungan
dengan timbulnya kejang
pasca trauma
Meta analisis beberapa
penelitian level I,II untuk
mengetahui
peranan
profilaksis
obat
anti
epilepsi pada penderita
cedera otak berat

Kelas
II

Kesimpulan
Faktor resiko terjadinya
pasca trauma dini :
- usia 15 tahun
- fraktur depress
- lesi intrakranial
- defisit neurologis fokal

epilepsi

II

Fenitoin
hanya
efektif
untuk
mencegah kejang dini pasca trauma

II

Faktor resiko yang signifikan :


- subdural hematom
- skull fractures
- amnesia lebih dari satu hari
- usia 65 tahun

Pengobatan
profilaksis
dengan
Fenitoin, dimulai dengan dosis
loading segera setelah trauma efektif
menurunkan resiko kejang dini pasca
trauma.
Profilaksis tidak efektif untuk kejang
fase lanjut.
Faktor resiko terjadinya kejang :
cedera otak berat, amnesia atau
tidak
sadar
berkepanjangan,
hematom intrakranial atau kontusio
serebri, dan fraktur depress.

Referensi

V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : mannitol membantu menurunkan TIK pada pasien cidera otak berat. Pemberian
secara bolus dengan dosis 0,25 sampai 1 gram / kgBB lebih dianjurkan
dibandingkan pemberian secara kontinyu.

15

neurotrauma

Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma Dini di
RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf
FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996
Temkin et all. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post traumatic
seizures. The NEJM 1990; 323 : 497-502.
Annegers JF et all. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain Injuries. The
NEJM 1998
Chang S, Bernard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter : Antiepileptic drug prophylaxis in
severe traumatic brain injury : Report of the Quality Standards Subcommittee of the
American Academy of Neurology. Neurology 2003; 60:10-6.

Option

: pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan monitor TIK jika


didapatkan tanda tanda herniasi transtentorial atau terjadi penurunan
kesadaran yang progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol /l untuk
mencegah terjadi gagal ginjal. Pasien harus dipertahankan dalam kondisi
euvolumia dan dipasang urin kateter untuk memonitor produksi urin

Penjelasan rekomendasi
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK
dengan cara menarik cairan ke dalam ruang intravaskuler. Ketika menggunakan manitol
harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga supaya pasien tetap euvolumia dan
osmolaritas serum kurang dari 320 mmol/L. Euvolumia dipertahankan dengan penggantian
volume cairan yang isotonis dan harus dicegah terjadinya hipotensi (tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg). ( Balafif, 1999. Gemma, 1997., Mendelow, 1985 )
Tabel tingkat pembuktian ( evidence)
No
1

Penulis
Balafif,
1999

Gemma,
1997

Mendelow,
1985

Deskripsi
Studi
case
control
membandingkan
antara
pasien COB tipe non
surgical mass lession
yang mendapat manitol
secara empiris dengan
tanpa manitol.
Prospective randomized
clinical study
membandingkan efek
hypertonic saline 7,5%
dengan manitol 20%
Penilaian
pengaruh
pemberian manitol 20
dengan dosis 0,25 0,5
g/kg intravena terhadap
TIK, CPP dan CBF

Kelas
II

II

III

Kesimpulan
Manitol
secara
bermakna
menurunkan mortalitas COB tipe
non surgical mass lession bila
tidak ada episode hypotension
atau hypoksia selama perawatan
pada GCS 3-5 atau CY scan
menunjukkan kontusio grade III
Hypertonic saline sama efektifnya
dengan manitol dalam
menurunkan edema otak selama
proses operasi bedah saraf
Terjadi penurunan TIK,
peningkatan CBF dan CPP

dan

Referensi

neurotrauma

Balafif F. Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada penderita cder a otak berat tipe
Non Surgical Mass Lession di RS dr. Soetomo Surabaya. 1999
Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Calvi MR, Cipriani A, Garancini MP., 7.5%
hypertonic saline versus 20% mannitol during elective neurosurgical supratentorial
procedures., J Neurosurg Anesthesiol. 1997;9(4):329-34.
Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral perfusion pressure in
human head injury. J Neurosurg 1985; 63:43-8.

V.3 Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Options
: Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter
ventrikuler tidak mengurangi resiko infeksi.

16

Penjelasan Rekomendasi
Pada cedera otak berat oleh karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat
pada tindakan pemasangan monitor TIK, tindakan ventilasi mekanik dsb. Infeksi
memberi pengaruh signifikan terhadap,morbiditas,mortalitas dan lama rawat inap dari
penderita.
Dan pada pemasangan monitor TIK jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi
sampai dengan 27%. Penggunaan monitor TIK jangka pendek belum terbukti menaikkan
risiko morbiditas,mortalitas.
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No

Penulis

Deskripsi

Kelas

Kesimpulan

Arabi et all,
2005

Analisa terhadap insidens


infeksi ventrokulostomy dan
evaluasi terhadap factor
resikonya.

III

Penggunaan antibiotic lokal ataupu


sistemik tidak menurunkan resiko
infeksi pada pemasangan kateter
ventrikel.

Sunbarg et
all., 1996

Analisa rertrospektif dari


648 pasien yang memakai
TIK
monitor.
142-nya
adalah COB. Tidak ada
yang mendapat antibiotik
profilaksis.

III

Dari seluruh pasien COB tidak ada


insiden definitive terhadap infeksi
CSF.

Holloway et
all.,1996

Analisa retrospektif dari 584


pasien cedera otak berat.

III

Pada
61
pasien
dengan
venticulostomy ditemukan infeksi.
Pada umumnya infeksi ditemukan
pada 10 hari pertama setelah
pemasangan ventriculostomy. Tidak
ada pengaruh antara kateter yang
diganti setiap 5 hari atau tidak.

Referensi

V.4 Rekomendasi Penggunaan Analgetik


Standard : Belum ada data pendukung
Guideline : Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) dan Acetaminophen dapat
digunakan pada pasien trauma kepala. Ketorolak hanya boleh diberikan
maksimal lima hari. Obat-obatn NSAID lainnya seperti ibuprofen dan
naproxen bisa diberikan per-oral.

17

neurotrauma

Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections: Insidence and risk
factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.
Sundbarg G, Nordstrom C-H, Soderstrom S. Complication due to prolonged ventricular fluid
pressure recording. Br. J Neurosurg 1988;2:48595.
Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of monitoring duration and
catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg 1996;85:41924.

Option

: Ketoprofen supositoria dan Acetaminophen supositoria bermanfaat


mengurangi nyeri pada cedera otak ringan. Belum ada data yang tidak
memperbolehkan metamizol diberikan pada pasien trauma kepala.

Penjelasan rekomendasi :
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan tekanan intra kranial dan harus ditangani.
NSAID seperti ketorolak, metamizole, dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri
dengan menghambat sintesa prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase.
Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama dalam
menghambat sintesa prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase. Peningkatan
kadar prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID
dapat pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No
1

Penulis
Jacobi J et
all., 2002

Hedenmalm
K et all.,
2002

Prasetya H,
2005

Deskripsi penelitian
Membahas literatur pada
Medline search 19942001 untuk penyusunan
guideline dengan review
dari metaanalisis dan
tabel evidence
Secara retrospektif
membahas laporan kasus
agranulocytosis akibat
pemakaian metamizole
Penelitian eksperimental
semu pada pemakaian
ketoprofen dan
acetaminophen pada
COR

Kelas
II

Kesimpulan
Ketorolak dan acetaminophen boleh
digunakan pada pasien trauma
kepala

III

Insiden agranulocytosis 92% terjadi


pada 2 bulan pertama pemakaian
metamizole

II

Ketoprofen dan acetaminophen


bermanfaat mengurangi nyeri pada
COR

Referensi

neurotrauma

Jacobi J et all. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives and analgesics in the
critically ill adult. Am J Health Syst Pharm 2002;59(2):150 -78
Hedenmalm K et all. Agranulocytosis and other blood dyscrasias associated with dipyrone
(metamizole). Eur J Clin Pharmacol 2002;58(4):265-74.
Prasetya H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian Paracetamol 650 mg Suppositoria
dengan Ketoprofen 100 mg Suppositoria terhadap Nyeri Kepala pada Penderita Cedera
Otak Ringan. Karya Akhir, 2005.

V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid


Standard : Penggunaan glukokortikoid tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
cedera otak
berat. Glukokortikoid tidak meningkatkan keluaran dan
menurunkan TIK pada pasien dengan cedera otak berat
Guideline : Kortikosteroid tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita cedera otak
sebagai cara untuk menurunkan TIK yang tinggi.
Option
:18

Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor
kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau
meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid
tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagian
reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga
terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu. Pada beberapa
kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi bisa timbul
perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan mortalitas dan
manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid di beberapa penelitian menjadi
pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien dengan cedera otak.
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No
1

Penulis
Alderson P,
2005

Philip
Aiderson,
1997

Umar Kasan,
1994

Deskripsi
Penelitian
Randomised
Controlled Trials untuk menilai
kuantitas
efektifitas dan
keamanan tentang penggunaan
kortikosteroid pada trauma
kepala
Penelitian
Randomised
Controlled Trials untuk menilai
kuantitas
efektifitas dan
keamanan tentang penggunaan
kortikosteroid pada trauma
kepala
Penelitian prospektif komparatif
penggunaan dengan dan tanpa
kortikosteroid
pada
pasien
cedera otak

Kelas
I

II

Kesimpulan
Penelitian
yang
terbesar
menyimpulkan
mortalitas
dengan steroid pada penelitian
ini menyarankan steroid tidak
lagi digunakan rutin pada
cedera otak
Review sistemik pada RCT
untuk
kortikosteroid
pada
cedera otak akut menunjukkan
efek yang tidak jelas.

Terapi dengan dan tanpa


kortikosteroid pada pasien
memar otak secara statistik
tidak
berbeda
secara
bermakna

Referensi

V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer


Standard : Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3
mg/kgBB/jam.
Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20 menit;
dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam
Penthotal loading dose diberikan 5-10mg/kg BB diberikan dalam 10 menit,
dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam.
Guideline : -

19

neurotrauma

Alderson P, Roberts I. corticosteroid for acute traunatic brain injury, 2005


Philip Aiderson. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of randomised
controlled trials, BMJ 1997.
Umar Kasan. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif Komparatif dengan
dan tanpa Penggunaan Kortikosteoid, disertasi 1994.

Option

:-

Penjelasan rekomendasi :
Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak,
dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan
pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan
yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik.

Agent sedasi yang ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan
suplai oksigen ke otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara
autoregulasi otak dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat
(v) mudah dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki
therapeutic window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis.
Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK.
Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence)
Penulis
Sanchez et al

Karabinis et al

neurotrauma

No
1

20

Deskripsi Penelitian
Meneliti safety dan efficacy
penggunaan propofol;
midazolam araupun
kombinasi propofol dan
midazolam pada pasien
trauma kepala
Meneliti safety dan efficacy
sedasi berbasis analgesia
menggunakan rami
fentanil, kombinasi dengan
midazolam dan propofol
dibandingkan dengsn
fentanil, morphin kombinasi
dengan midazolam dan
propofol di unit perawatan
neuro-intensif.

Class
I

Kesimpulanon
Baik propofol, midazolam,
ataupun kombinasi
keduanya dinyatakan aman
untuk pasien dengan trauma
kepala.

Waktu pemeriksaan
neurologis lebih cepat dan
lebih mudah diprediksi
dengan menggunakan
ramifentanil dibandingkan
dengan penggunaan fentanil
ataupun morphin.

Referensi:
Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the Brain-Failure Patient.
In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park GR and Sladen RN.
Blackwell Science 1995. pp 130-144
Sanchez-Izquierdo-Riera JA et all. Propofol versus Midazolam: safety and efficacy for sedating
the severe trauma patient. Anesth Analg. 1998;86(6):1219-24.
Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive care unit
patients with brain injuries: a randomised, controlled trial. Crit Care.2004;8(4):R268 80.
Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with severe brain trauma.
Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35

V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi


Standard : Pemberian nutrisi dini
Guideline : Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total harus
tercapai dalam waktu 7 hari setelah trauma. Kebutuhan nutrisi pasien
cedera otak sebesar 140% dari kebutuhan basal pada pasien yang tidak
di lumpuhkan dan 100% pada pasien yang di lumpuhkan. Nutrisi dapat
diberikan secara enteral dan parenteral. Sedikitnya 15% dari asupan
energi harus mengandung protein. Pemberian lemak sebaiknya yang
merupakan kombinasi LCT (Long-Chain Triglyserides) dan MCT (MediumChain Triglyserides).
Option
: Pemberian melalui gastrojejunostomy untuk menghindari masalah
pengosongan lambung dan memudahkan pemberian

neurotrauma

Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga
membutuhkan nutrisi yang cukup. Pemberian asupan nutrisi yang adekuat dapat
memperbaiki outcome pasien dengan cedera otak. Dari penelitian diketahui bahwa
pemberian kombinasi LCT (Long-Chain Triglyserides) dan MCT (Medium- Chain
Triglyserides) mungkin dapat memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme
protein di viscera pasca trauma. Disarankan pemberian early feeding karena
memberikan outcome lebih baik. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode
pemberian mana yang paling baik. Tetapi penelitian menunjukkan pemberian late
feeding ( lebih dari 1 minggu setelah trauma ) berhubungan dengan nitrogen loss yang
besar disertai penurunan berat badan sebesar 15% per minggu. Untuk mencapai
pemenuhan kebutuhan nutrisi pada hari ke 7, maka pemberian nutrisi harus dimulai
paling lambat 72 jam setelah trauma. Diperlukan komunikasi yang baik antara dokter,
farmasi, dan ahli gizi untuk menjamin asupan nutrisi. Salah satu keuntungan pemberian
makanan melalui pipa gastrojejunostomi adalah letaknya jauh dari wajah pasien dan
terhindar dari tercabut pasien saat gelisah ( Borzotta, 1994, Grahm, 1989., Taylor 1987)

21

Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence)


No
1

Penulis
Sarafzadeh et al

Parel P et al

Krakau K et al

Calon B et al

Deskripsi Penelitian
Mengukur perubahan
metabolik pada penderita
impending atau manifest
hypoxia pada pasien
cedera otak. Meneliti safety
dan efficacy penggunaan
propofol; midazolam
araupun kombinasi
propofol dan midazolam
pada pasien trauma kepala
Review article dukungan
nutrisi pada penderita
cedera otak.
Systematic review
mengenai status metabolik
dan terapi nutrisi pada
penderita cedera otak
sedang-berat

Klass
II

Kesimpulan
Hiperventilasi memiliki
potensi terjadinya efek
samping metabolisme
cerebral. keadaan
metabolisme cerebral
anaerobitergantung dari
derajat dan lamanya episode
hipoksik .

Meneliti nilai metabolik


MCT dan LCT pada
penderita trauma kepala

II

Early feeding memberikan


survival dan disability
outcome yang lebih baik
Hasil review menunjukkan
peningkatan metabolic rate,
hiperkatabolisme, dan
intoleransi gastrointestinal
sampai 2 minggu pasca
trauma.
Kecenderungan morbiditas
dan mortalitas yang lebih
rendah pada penderita yang
mendapat early feeding .
MCT memiliki efek
menguntungkan pada
metabolisme protein viseral
pasca trauma

Referensi:

neurotrauma

Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest cerebral hypoxia in
traumatic brain injury. Br J Neurosurg.2003;17(4):340-6
Krakau K;Omne-Ponten M;Karlson T;Borg j. Metabolism and nutrition in patients with moderate
and severe traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345 -67.
Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat emulsion in
parental nutrition of severe head trauma patients. Infusiontherapie.1990;17(5):246 -8.

V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Supressor Agent
Standard :Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid suppressive agent dengan
H2 blocker, Proton Pump Inhibitor (PPI), dan gastric mucosal protector
dapat membantu penurunan insiden perdarahan gastrointestinal dan stress
related mucosal damage (SRMD). Proton pump Inhibitor (PPI) lebih
dianjurkan karena memiliki karakteristik cara kerja dan durasi kerja yang
lebih baik dibandingkan H2 Blocker dan gastric mucosal protector.
Guideline Option
:Penjelasan rekomendasi
Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan insiden
perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan PH

22

asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site
of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih
lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12 jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde
(Messori et all, 2000., Michelle et all, 2004., David C. Metz, 2005.)
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No
1

Penulis
David
C.
Metz, 2005

Michelle E.
Allen, 2004

S Trippoli, et
all, 2000

Deskripsi penelitian
Meta analisis dari RCT
tentang penggunaan acid
suppressive agent untuk
pencegahan SRMD dan
stress ulcer
Meta analisis dari RCT
tentang profilaksis terapi
terhadap stress ulcer

Kelas
I

Meta
analisis
dari
penelitian
tentang
penggunaan
ranitidine
versus sucralfat dalam
pencegahan stress ulcer

Kesimpulan
Pemberian
regimen
acid
suppressive
agent
dapat
mencegah terjadinya SRMD dan
stress ulcer dengan menjaga
keasaman lambung.
Pemberian obat propilaksis untuk
pencegahan
perdarahan
gastrointestinal yang disebabkan
oleh stess ulcer memberikan hasil
yang sedikit significan dalam
menurunkan insiden perdarahan
gastrointestinal
Pemberian ranitidine dan sucralfat
kurang efektif dalam pencegahan
perdarahan gastrointestinal yang
disebabkan oleh stess ulcer

Referensi
David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress-Related Mucosal
Disease. Medscape. 2005
Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of Health-System
Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst
Pharm. 1999; 56:347-79.
S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in intensive care patients
given ranitidine and sucralfate for prevention of stress ulcer: meta-analysis of randomised
controlled trials. BMJ 2000;321:1103-07

Penjelasan Rekomendasi:
Citicoline (Cytidine 5' - diphosphocholine or CDP-choline) berfungsi mengaktifasi biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolisme otak dan
menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicoline juga
mempunyai fungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K
ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2. Citicoline dapat diberikan pada
pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka lama dan hasilnya
23

neurotrauma

V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline


Standar
:Belum ada data pendukung
Guideline
:Pemberian citicoline pada pasien sindroma post concussio,
ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala pasca
commotio. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pasca
trauma menunjukkan perbaikan yang bermakna.
Option
:Pemberian Citicoline pada jangka waktu lama setelah cedera otak
dapat memberikan peningkatan kemampuan kognitif.

menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala sindroma post concussion,


perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya. Pemberian dapat diberikan
dengan dosis 1 gram perhari baik oral maupun injeksi.
Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )
No
1

Penulis
Levin
HS.
1991

Calatayud
MV, Perez
JB,
Aso
Escario
J.1991

Spiers PA,
Hochanadel
G, 1999

Deskripsi penelitian
Penelitian double blind
placebo-control
untuk
menilai efikasi citicoline
dengan pemberian 1
gram tablet selama 1
bulan pada 14 orang
untuk pengobatan tanda
dan gejala sindroma
post
concussional
setelah
cedera
otak
ringan dan sedang.
Penelitian single blind
randomized pada 216
pasien
cedera
otak
sedang dan berat yang
menerima pengobatan
citicoline.
Case report: 2 pasien
dengan
pemberian
citicoline selama 1,5
sampai 4 tahun setelah
cedera otak.

Kelas
II

Kesimpulan
Hasil: adanya perbaikan dalam
fungsi memori pada pasien dengan
pemberian
citicoline
dibanding
dengan tanpa pemberian obat
tersebut (P < 0.02)

II

Hasil: adanya perbaikan dalam fungsi


motor, kognisi dan psikis serta
didapatkan adanya pemendekan
masa waktu rawat inap pada pasien
dengan pemberian citicoline.

III

Citicoline
memberikan
hasil
perbaikan fungsi kognisi setelah
cedera otak sedang dan berat.

Referensi:
Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J Neurology Science.
103: S39-42, 1991
Maldonado VC et al. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with head injury. J
Neurology Science. 103: S15-18, 1991
Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two cases, including
my own. J Int Neuropsychol Soc. 5:260-264, 1999

V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam


Standar
Guideline

neurotrauma

Option

24

:Belum ada data pendukung


:Pemberian piracetam dengan dosis 24-30mg/hari secara bermakna
dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis pada pasien
cedera otak.
:Piracetam juga dapat memberikan pengaruh mengurangi tingkat
keparahan dan gejala-gejala sindroma post concussion, dan
memperbaiki tingkat kesadaran pasien cedera otak dalam kondisi
koma dalam.

Penjelasan Rekomendasi:
Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif,
meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme
phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan
oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatkan perfusi lokal. Pemakaian piracetam
dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera dengan gejala
sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis dan kesadaran.
Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30 mg/hari baik injeksi
maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan per oral dengan dosis 4,800
gram/hari.
Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )
No
1

Penulis
Goscinski I, et
al, 1998

Goscinski I, et
al, 1999

Hakkarainen
H
dan
Hakamies L.
1978

Deskripsi penelitian
Penelitian
prospektif
kasus-kontrol
untuk
mengetahui efektifitas
pemberian
piracetam
pada 100 pasien cedera
otak sedang dan berat.
Penelitian observasional
yang dilakukan pada
tahun
1995-1996
dengan jumlah pasien
100
orang
untuk
mengetahui pengaruh
piracetam pada cedera
otak.
Penelitian double-blind
dengan
60
pasien
dengan sindroma post
concussional
yang
diberikan selama 2-12
bulan, dengan dosis
4,800 mg perhari.

Kelas
II

III

II

Kesimpulan
Hasil:
Dosis
24-30
g/hari
memberikan hasil yang positif untuk
memperbaiki kondisi pasien yang
dapat dilihat pada parameter:
partial oxygen pressure (oxygen
therapy) dan kadar gula darah.
Hasil: dosis tinggi piracetam (24-30
g/hari) memperbaiki kondisi pasien
jika pengobatan dimulai segera
setelah cedera.

Hasil:
setelah
8
minggu
pengobatan,
ditemukan
pengurangan tanda dan gejala
sindroma post concussional seperti
vertigo, sakit kepala, kelelahan,
gangguan kesadaran, peningkatan
keringat dan gejala lain.

Referensi:

neurotrauma

Goscinski I, Sliwonik S, Sondej T, Kwiatkowski S, Moskala M, Cichonski J, Wegrzyn D, Uhl H,


Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol Neurochir Pol
SepOct;32(5):1189-97, 1998
Hakkrainen, H. & Hakamies, L. Piracetam in the treatment of post-concussional syndrome.
Eur Neurol 17, 50-55, 1978
Goscinski I, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T, Clinical
observations concerning piracetam treatment of patients after craniocerebral
injury, Przegl Lek;56(2):119-20, 1999

25

REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA


PEMBEDAHAN
VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option
: Indikasi, waktu, dan metode pembedahan
Indikasi pembedahan
- Pasien epidural hematoma dengan volume >30 cc, tanpa melihat GCS
- Perdarahan epidural dengan volume <30 cc dan ketebalan <15 mm dan
pergeseran struktur midline <5mm dengan GCS >8 tanpa defisit fokal dapat
dilakukan penatalaksanaan nonoperatif dengan CT scan kepala serial dan
observasi neurologis secara ketat di pusat perawatan neurologis.
Waktu
Pasien perdarahan epidural akut dengan koma (GCS<9) dan anisocoria secepat
mungkin dilakukan evakuasi.
Metode
Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan,
bagaimanapun juga craniotomi memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih
lengkap.
Penjelasan Rekomendasi
Ketebalan, volume hematoma, dan pergeseran midline struktur pada CT scan kepala
awal mempengaruhi outcome. CT scan kepala evaluasi pada pasien non operatif
dilakukan 6-8 jam setelah trauma. Tidak ada data penelitian tentang perbandingan
tata laksana pembedahan dan non pembedahan pada pasien koma. Literatur
mendukung bahwa pasien dengan EDH > 30 cc dan GCS < 9 sebaiknya dilakukan
pembedahan. Juga pasien dengan EDH > 30 cc, tanpa melihat GCS, sebaiknya
dilakukan pembedahan karena efek masa yang signifikan. Pasien dengan EDH < 30
cc perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan, tapi mungkin saja tanpa tindakan
pembedahan pada beberapa kasus.
Tabel Tingkat Pembuktian ( evidence )
Penulis
Bullock
et
all., 2006

Deskripsi
Manajemen pembedahan
Hematome
epidural,
analisis retrospektif

Kelas
III

Mitesh
1998

Analisis
Retrospektif
terhadap 221 pasien EDH

III

neurotrauma

No
1

26

V,

Kesimpulan
Guideline disusun berdasar data
yang mendukung evakuasi masa
bila ada efek masa dan penurunan
fungsi neurologi secara progresif
Pengambilan keputusan operatif
atau non operatif berdasarkan
radiologis dan keadaan klinis
penderita

Referensi
Bullock et all. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery 2006;58:7
15.
Mitesh V. American Journal of Neuroradiology 1998;20:115-6.

VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH)


Standard : Belum ada data yang mendukung.
Guideline : Menurunkan TIK dengan drainase CSS transventrikel dan monitoring TIK
lebih penting daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal 10 mm).
Option
: Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan rekomendasi.
Indikasi Pembedahan
1. Pasien subdural hematoma, tanpa melihat GCS
- dengan ketebalan >10mm
- atau pergeseran struktur midline > 5mm pada CT scan
2. Semua pasien subdural hematoma dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring
tekanan intrakranial.
3. Pasien subdural hematoma dengan GCS < 9,
- ketebalan subdural hematoma < 10mm dan pergeseran struktur midline, jika
mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian
dengan saat masuk ke rumah sakit
- dan/atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetris atau fixed
- dan/atau TIK > 20mmHg.
Waktu
Pada pasien subdural hematoma akut dengan indikasi pembedahan, pembedahan
dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada
evakuasi hematom.

Penjelasan Rekomendasi
Penderita cedera otak berat dengan komplikasi subdural hematom akut merupakan
penyebab utama kematian pada cedera otak berat dengan lesi massa intrakranial.
Angka kematian mencapai 42% - 90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena
mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema
serebral.
Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih
penting dari efek hematom subdural itu sendiri. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih
penting daripada waktu pelaksanaan evakuasi hematom.

27

neurotrauma

Metode
Metode penanganan pasien dengan subdural hematoma akut tipis traumatik dengan
drainase CSF transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy
dekompressi dan pemasangan drainase CSF transventrikel dilakukan pada penderita
dengan indikasi tertentu.

Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )


No
1

Penulis
Widodo,
1999

Hartanto,
2003

Thohari,
2006

Wilberger
et all, 1991

Deskripsi penelitian
Penelitian
prospektif
eksperimental
untuk
mengetahui
perbedaan
hasil
akhir
antara
tindakan operasi dan
konservatif
pada
penderita cedera otak
berat dengan hematom
subdural akut traumatika
tipis.
Penelitian
prospektif
analitik untuk mengetahui
perbedaan hasil akhir
antara
tindakan
pembedahan (evakuasi
hematom
dan
dekompressi)
dengan
penanganan
secara
konservatif
pada
penderita dengan cedera
otak
berat
dengan
komplikasi
hematom
subdural kurang dari 1
cm dan efek massa lebih
dari 5 mm.
Studi
prospektif
observasional
untuk
mengetahui
perbedaan
hasil
akhir
antara
tindakan
pembedahan
evakuasi hematom dan
dekompresi
dengan
drainase
CSF
transventrikel
pada
penderita dengan cedera
otak
berat
dengan
komplikasi
hematom
subdural kurang dari 1
cm dan efek massa lebih
dari 5 mm.
Penelitian
retrospektif
analitik untuk mengetahui
apakah operasi yang
dilakukan kurang dari 4
jam
setelah
trauma
memberi hasil akhir yang
lebih baik

Kelas
II

Kesimpulan
Tidak ada perbedaan bermakna
secara statitistik antara tindakan
operasi
dan
konservatif
pada
penderita cedera otak berat dengan
hematom subdural akut traumatika
tipis.

II

Tindakan pembedahan (evakuasi


hematom dan dekompresi) lebih baik
daripada
penanganan
secara
konservatif.

II

Tindakan
drainase
CSF
transventrikel lebih baik dibandingkan
dengan
pembedahan
evakuasi
hematom dan dekompresi.

Class
II

Kemampuan untuk mengontrol TIK


lebih berpengaruh terhadap hasil
akhir
dibandingkan
waktu
pelaksanaan evakuasi hematom

neurotrauma

Referensi
Widodo J. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita dengan komplikasi
hematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS I
Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999
Hartanto RA. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural akut tipis pada cedera otak
berat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD
Dr Soetomo. 2003

28

Thohari K. Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis pada Penderita Cedera otak Berat.
Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr
Soetomo. 2006
Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity, mortality, and
operative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.

VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option
: Indikasi, waktu, dan metode pembedahan
Indikasi pembedahan
1. Pasien dengan lesi masa parenkimal
- tanda-tanda deteorisasi neurologis yang progresif dan sesuai dengan lesi,
- hipertensi intrakranial yang refrakter dengan pengobatan
- atau ada anda-tanda efek masa pada CT kepala.
2. Pasien dengan GCS 6-8
- dengan kontusio frontal atau temporal volume >20 ml, dengan pergeseran
struktur
- midline 5mm
- dan atau kompresi sisterna pada CT
- lesi 50ml..
3. Pasien dengan intra cerebral hematoma yang tidak menunjukkan tanda-tanda
neurologis yang menjelek, dan telah dilakukan kontrol terhadap TIK, dan tidak
menunjukkan efek massa yang bermakna pada CT, dapat dilakukan
penatalaksanaan non operatif dengan monitor yang intensif dan foto serial
Waktu dan Metode
- Kraniotomi dan evakuai lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi
fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas.
- Kraniektomi dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan
penanganan untuk pasien dengan cerebral edema diffusa dan hipertensi
intrakranial membandel yang dengan pengobatan.
- Prosedur dekompresi, termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi temporal
dan kraniektomi dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk
pasien dengan hipertensi intrakranial yang membandel dan trauma parenkimal
difus dengan klinis dan radiologis adanya impending herniasi transtentorial.
Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )
Penulis
Bullock et
all., 2006

Deskripsi
Manajemen bedah pada
perdarahan parenkim otak

Kelas
III

De Luca et
all, 2000

III

Soloniuk et
all, 1986

Pengalaman
pengarang
terhadap
penanganan
pasien dengan peningkatan
tekanan intracranial.
Manajemen dan indikasi
operasi ICH trauma

III

Kesimpulan
Evakuasi masa yang segera bila ada
efek masa dan penurunan fungsi
neurologi progresif
Operasi
dekompresi
untuk
peningkatan TIK harus dilakukan
sesegera
mungkin,
sebelum
keadaan yang irrversibel terjadi.
Indikasi operasi dibuat berdasarkan
data dari yang ada dan waktu kapan
untuk dilakuan evakuasi.

neurotrauma

No
1

29

Referensi
Bullock et all. Surgical management of posterior fossa mass lesions. Neurosurgery 2006;58:47
55.
De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al: The role of decompressive craniectomy in the treatment
of uncontrollable post-traumatic intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl
2000;76:401-4.
Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al: Traumatic intracerebral hematomas: timing of appearance
and indications for operative removal. J Trauma 1986; 26:787-94.

VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Masa di Fosa Posterior


Standard
: Belum ada data yang mendukung
Guideline
: Belum ada data yang mendukung
Option
: Indikasi, waktu, dan metode pembedahan
Indikasi pembedahan
- Pasien dengan efek massa pada CT scan kepala. Efek massa ditandai dengan
distorsi, dislokasi atau obliterasi ventrikel IV, kompresi atau hilangnya sisterna
basalis atau adanya hidrosefalus obstruktif.
- Pasien dengan disfungsi neurologis
- Pasien dengan deteriorisasi yang sesuai dengan lesi
- Pasien dengan lesi tanpa efek massa yang bermakna pada CT dan tanpa tandatanda disfungsi neurologis dapat dilakukan penatalaksanaan non operatiif
dengan observasi yang ketat dan foto serial
Waktu
Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukan
secepat mungkin sejak pasien mengalami deteriorisasi dengan cepat dan penderita
dengan GCS > 8 memiliki prognosa yang lebih baik.
Metode
Kraniektomi suboccipital merupakan metode yang banyak
direkomendasikan untuk evakuasi lesi massa fossa posterior.

dipakai

dan

neurotrauma

Penjelasan Rekomendasi
Trauma yang berakibat lesi masa pada fossa posterior hanya berkisar 3 %
dari seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi masa
fosa posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan
ruang fosa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.
Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik.
Tabel Tingkat Pembuktian ( Evidence )
No

Penulis

Bullock
all., 2006

30

Deskripsi
et

Manajemen bedah lesi


masa fosa posterior dari
analisa 24 dokumen
medline secara review
sistematis

Kelas
III

Kesimpulan
Guideline disusun berdasar data
yang mendukung evakuasi masa
yang segera bila ada efek masa
dan penurunan fungsi neurologi
progresif

Avella et all.,
2003

Laporan kasus 24 pasien


SDH trauma fosa
posterior

III

Pada pasien dengan GCS > 8


yang segera dilakukan operasi
memiliki outcome yang lebih baik

Kizilkilc
all., 2003

Laporan kasus pasien


SDH trauma fosa
posterior dengan kista
arakhnoid

III

Terapi konservatif dapat dilkukan


secara selektif pada kasus SDH
fosa posterior

et

Referensi
Bullock et all. Surgical management of posterior fossa mass lesions. Neurosurgery 2006;58:47
55.
Avella et all. Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa : Clinicoradiological analysis of 24
patients. 2003.
Kizilkilc et all. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with an Arachnoid
Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003;29:242 -6.

VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Patah Tulang Kepala Depresi


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Pemberian obat antibiotik propilaksis untuk pencegahan meningitis pada
fraktur dasar tengkorak tidak bermakna dibandingkan placebo
Option
:Penatalaksanaan fraktur dasar tengkorak terdiri dari perawatan konservatif
dan atau tindakan pembedahan

Indikasi pembedahan
1. Kebocoran likuor serebrospinal pos trauma yang disertai dengan meningitis.
2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule
3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot otot wajah
4. Trauma balistik pada tulang temporal yang menyebabkan kerusakan vaskular
5. Defek yang luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal, pneumocephalus
atau kebocoran CSF lebih dari lima hari
Waktu
31

neurotrauma

Penjelasan rekomendasi
Perawatan konservatif
Dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran dura yang persisten, fraktur tulang
temporal, kelumpuhan otot otot wajah, kehilangan pendengaran, atau kebutaan. Terapi
konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama lima hari untuk
memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir menganjurkan
pemberian 1 sampai 2 juta unit penicillin perhari pada kasus kebocoran likuor. Kultur
nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur.
Pasien dipertahankan dalam posisi tirah baring total dengan elevasi posisi the head of
bed , untuk mengurang aliran CSF. Bila kebocoran tidak berkurang dalam waktu 72 jam
dengan terapi konservatif. Pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150
ml CSF per hari selama 3 sampai 4 hari. Diversi CSF dari kebocoran dura dapat
membantu penutupan secara spontan.

Tidak ada konsensus mengenai Waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir


menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu lima hari semenjak CSF
fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi insiden
infeksi.
Metode
1. Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell
tracts dan obliterasi dari tuba Eustachian. Setelah struktur yang cidera diperbaiki
atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang
terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal.
2. Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa
posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang
petrosus. Diusahakan melakukan penutupan primer, namun bila tidak
memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk
menutup defek.
3. Tindakan operasi untuk rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yang
diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.
Tabel Tingkat Pembuktian (evidence)
No

Penulis

Deskripsi penelitian

Kelas

Kesimpulan

Katzen T. et
al, 2007

Review
beberapa
penelitian tentang fraktur
dasar tengkorak

III

Penanganan
fraktur
dasar
tengkorak dapat dilakukan dengan
konservatif bila tidak didapatkan
indikasi pembedahan.

Turchan A.
1995

Prospektif case control


insiden meningitis pada
pemberian antibiotik pada
fraktur dasar tengkorak.

II

Pemberian
obat
antibiotik
propilaksis
untuk
pencegahan
meningitis pada fraktur dasar
tengkorak
tidak
bermakna
dibandingkan placebo.

Referensi
Katzen T., Jarrahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK. Craniofacial and
Skull Base Trauma. 2007. Available at: WWW. Skull Base Institute.

neurotrauma

Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal Mencegah


Komplikasi Meningitis Bakteri Pada Penderita Patah Tulang Dasar Tengkorak.
Laboratorium Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. 1995

32

REKOMENDASI PENGENDALIAN
TEKANAN INTRAKRANIAL
VII.1. Indikasi pemasangan alat pantau tekanan intrakranial ventrikulostomi
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : pemasangan Monitor TIK perlu dilakukan pada pasien cedera otak berat
(GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal
(hematoma, contusio, edema atau penyempitan sisterna basalis ). Monitor
TIK juga perlu dipasang pada pasien Cedera Otak Berat (COB) dengan CT
scan kepala normal jika didapatkan dua atau lebih dari hal berikut :
a. Usia > 40 tahun
b. Tekanan darah sistolik < 90
c. Postural bilateral atau unilateral
Option
: Indikasi pemasangan monitor TIK
Penjelasan Rekomendasi
Banyak data dilaporkan sejak tahun 1970 - an penurunan angka mortalitas dan
morbiditas pada pasien COB dengan penerapan protokol penanganan yang intensif
(Intensif Menagement Protokol). Tujuan utama penanganan secara intensif ini adalah
memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak
sekunder. Perfusi otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan
hipotensi sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu satunya jalan untuk menentukan
Cerebral Perfusion Pressure dan Cerebral Hypoperfusion adalah dengan memonitor TIK
dan tekanan darah secara kontinyu
Metode
Metode monitoring tekanan intra kranial adalah melakukan pemasangan drainase
intraventrikuler, dengan lokasi insersi pada titik Kocher.

neurotrauma

VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial


Standard : belum ada data yang mendukung
Guideline : belum ada data yang mendukung
Option
: Beberapa option dalam penanganan TIK
Penjelasan rekomendasi :
Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta
Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:
Pemasangan TIK Monitor
Menjaga CPP 60 - 70 mmHg
Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)
Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB
Hiperventilasi PaCO2 30-35 mmHg (pada kasus impending herniasi)
Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCO2 <30mmHg,
Hypothermia, Decompressive Craniectomy.

33

Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I

Pemasangan
Monitor TIK

Menjaga CPP
60-70mmHg

Hipertensi TIK

CT Scan
ulang

Pertahankan
terapi TIK

Manitol
0.25-1.0 g/KgBB

ya
a

Hipertensi TIK?

tidak
j

Hiperventilasi sampai
PaCO2 30-35mmHg

ya

Hipertensi
Intrakranial?

tidak

neurotrauma

Terapi tersier
penanganan TIK

Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of
Neurotrauma November 1996)

34

Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II

Sedasi dan analgesik

Penggunaan Ventilator
(PaCO2 30-35 mmHg, PEEP sampai 10 cmH2O)

Head Up 30 dengan leher


yang lurus
Terapi Dasar
Terapi Lanjutan
Manitol

THAM

Cairan hipertonik

Drainase CSF

Decompressive Craniectomy

neurotrauma

Koma dengan barbiturat

Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common
Questions. 2004

35

Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III

Sedasi

Drainase CSF

Manitol

Mild Hiperventilasihipothermi 32 oC

Hiperventilasi agresif

neurotrauma

Barbiturat

Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly
1997

36

Tabel Tingkat Pembuktian ( evidence)


No
1

Pengarang
Bullock et al.

Diskripsi
Jalur kritis penanganan TIK

Kelas
III

Valadka et al

Algoritma penanganan TIK

III

Peter Reilly

Algoritma penanganan TIK

III

Kesimpulan
Sesuai skema I,
drainase CSF setelah
itu manitol
Sesuai skema II,
pemberian manitol
setelah itu drainase
CSF
Skema III,drainase CSF
dulu baru pemberian
manitol

Referensi

neurotrauma

Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury,Journal of
Neurotrauma,November 1996.
Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury,1997
Valadka,Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004

37

ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK


TRAUMATIK PADA ANAK
VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi
Standard
: Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines
: Hipotensi harus segera diatasi dengan cairan resusitasi.
Option
: Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS
sama atau kurang dari 8.
Penjelasan Rekomendasi :
Pada anak, hipotensi didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah di bawah 5
persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah tekanan sistolik
(persentil kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula: 70 mmHg + (2 x usia
dalam tahun).
Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri dan end-tidal CO2
monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala. Hipoksia didefinisikan
sebagai apnea, cyanosis, PaO2 <60-65 mmHg, atau saturasi oksigen 90%. Cyanosis
sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya hipoksia pada anak-anak.
Hipoventilasi didefinisikan sebagai pernapasan yang tidak adekuat sesuai
usianya, pernapasan yang tak teratur dan dangkal, periode apnea yang sering, atau
didapatkan tanda hiperkarbia. Hipoventilasi adalah indikasi untuk dilakukan kontrol jalan
nafas dan assisted ventilation dengan oksigen 100%.
Pada anak, resusitasi cairan merupakan indikasi bila didapatkan tanda-tanda
penurunan perfusi meskipun tekanan darah sudah adekuat. Syok biasanya tidak
disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, evaluasi adanya cedera spinal atau cedera
lainnya harus dilakukan. Restriksi cairan untuk membatasi edema otak merupakan
kontraindikasi pada penanganan cedera otak. Jika akses vaskular perifer sulit
didapatkan, infus intraosseus dan obat-obatan harus dilakukan.

neurotrauma

Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence) :


No
1

Penulis
Luerssen et al, 1988

Deskripsi Penelitian
Penelitian prospektif serial
membandingkan cedera otak
pada anak dengan dewasa

Kelas
II

Michaud et al, 1992

II

Ong et al, 1996

Studi
retrospektif
untuk
mengetahui
faktor-faktor
prediktif terhadap survival
dan/atau
kecacatan
dan
GOS saat keluar dari Rumah
Sakit.
Penelitian prospektif kohort

38

II

Kesimpulan
Mortalitas pada anak-anak
lebih rendah dibandingkan
dengan dewasa.
Pada anak hanya hipotensi
yang berhubungan dengan
angka kematian yang lebih
tinggi, sedangkan pada
dewasa faktor hipotensi dan
hipertensi.
Angka Mortalitas meningkat
bila ada hipotensi atau
abnormalitas pupil

Hasil

akhir

yang

jelek

untuk mencari faktor-faktor


prediktif penentu hasil akhir
yang jelek.
4

Pigula et al, 1993

Penelitian prospektif kohort


membandingkan kelompok
penderita anak-anak dan
dewasa dengan tekanan
darah dan PaO 2 yang normal
dengan kelompok penderita
hipotensi atau hipoksia atau
kedua-duanya.

II

berhubungan dengan : GCS


< 8, pupil abnormal, defisit
motorik, hipoksia, hipotensi,
dan cedera ekstrakranial
Hipotensi dengan dan tanpa
hipoksia
meningkatkan
angka mortalitas secara
signifikan.

Referensi :
Pigula FA, Wald SL, Shackford SR, et al : The effect of hypotension and hypoxia on children with
severe head injuries. J Pediatr Surg 1993; 28 : 310 -314
Michaud LJ, Rivara FP, Grady MS et al : Predictors of survival and severity of disability after
severe brain injury in children. Neurosurgery 1992; 31 :254-264
Ong L. Selladurai BM, Dhillon MK, et al : The prognostic value of the Glasgow Coma Scale,
hypoxia and computerized tomography in outcome prediction of pediatric head injury.
Peditr Neurosurg 1996; 24 : 285-291
Luerssen TG, Klauber MR, Marshall LF : Outcome from head injury related to patients age. J
Neurosurg 1988; 68: 409-416

VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial


Standard
: Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines : Belum ada yang cukup untuk mendukung guideline terapi.
Option
: Monitor Tekanan Intrakranial (TIK) dapat dilakukan pada bayi dan anak
dengan cidera otak berat.
Penjelasan Rekomendasi :
TIK monitor diindikasikan pada penderita cedera otak berat dengan CT scan
abnormal. Penderita cedera otak berat dengan CT scan normal dipasang TIK bila
didapatkan dua atau lebih keadaan berikut : motor posturing, hipotensi sistemik, usia >
40 tahun. Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan terjadinya TIK yang tinggi atau menyingkirkan penggunaan
alat monitor TIK. Monitor TIK tidak dianjurkan rutin pada cidera otak sedang dan ringan.
Belum ada penelitian RCT (Randomized Clinical Trial) untuk mengevaluasi pengaruh
penanganan cedera otak berat terhadap hasil akhir dengan atau tanpa pemasangan TIK
monitor.

No
1

Penulis
Chambers et al, 2000

Deskripsi Penelitian
Penelitian
observational
pada pada anak-anak dan
dewasa yang dilakukan TIK
dan CPP monitor.

Kelas
III

Eder et al, 2000

Studi retrospektif pada anak


dengan cedera otak berat.
Membandingkan beberapa

III

Kesimpulan
TIK > 35 mm dan CPP < 55
mm (dewasa) dan 45 mm
(anak) merupakan prediktif
faktor untuk hasil akhir yang
jelek.
Anak-anak dengan cedera
pada batang otak dan TIK >
40
mm
berhubungan

39

neurotrauma

Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence) :

Peterson et al, 2000

Downard et al, 2000

faktor dan TIK monitor


terhadap outcome.
Penelitian retrospektif untuk
mengetahui
efek
cairan
hipertonis Saline 3% dalam
menurunkan TIK.
Penelitian retrospektif pada
anak
yang
dilakukan
pemasangan TIK

III

III

dengan
kematian
dan
kondisi vegetatif yang tinggi.
Cairan hipertonis Saline 3%
efektif dalam menurunkan
TIK.
TIK
>
20
berhubungan
peningkatan
kematian.

mmHg
dengan
resiko

Referensi :
Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of cerebral perfusion
pressure and intracranial pressure in severe brain injury by using receiver operating
characteristic curves : An observational study in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :
412-416
Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs Nerv Syst 2000;
16: 21-24
Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion pressure and survival in
pediatric brain-injured patients. J Trauma 2000; 49: 654-659
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial
pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143

VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat


Standard : Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines : Belum ada yang cukup untuk mendukung guideline terapi.
Option
:.Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan patologis pada
TIK. Tatalaksana segera dimulai bila TIK > 20 mmHg. Interpretasi dan terapi
hipertensi intrakranial didasarkan pada titik kritis TIK yang dikaitkan dengan
pemeriksaan klinis, pemantauan variabel fisiologis (misal tekanan perfusi
serebral) dan foto serial.
Penjelasan Rekomendasi :
Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap outcome
cedera otak berat pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi
peningkatan tersebut. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak
dengan cedera otak berat belum dapat ditegakkan.

neurotrauma

Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence) :


No
1

Penulis
Cho et al, 1995

Shapiro and Marmarou


, 1982

Sharples et al, 1995

40

Deskripsi Penelitian
Penelitian retrospektif pada
shaken baby syndrome pada
pasien < 2 tahun, yang
dipasang TIK / operasi.
Studi prospektif non random
menentukan huungan antara
TIK dan PVI (Pressure
Volume Index).

Kelas
III

Kesimpulan
Outcome yang jelek bila TIK
> 30 mmHg dibandingkan
TIK < 20 mmHg.

III

Peningkatan TIK >20 mmHg


berbanding terbalik dengan
PVI
(Pressure
Volume
Index)

Penelitian
prospektif.
Mengetahui hubungan antara
CBF dengan TIK.

III

CBF berbanding
dengan TIK.

terbalik

Referensi :

VIII.4. Penggunaan Terapi Hiperosmolar Untuk Mengendalikan Tekanan Intra Kranial


Standard
: Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines : Belum ada yang cukup untuk mendukung guideline terapi.
Option
: Cairan hipertonis Salin 3% dan manitol dapat digunakan untuk
mengendalikan TIK.
Penjelasan Rekomendasi :
Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak. Pada
survey sebelumnya termasuk pada 70 % pasien anak yang dirawat di ruang intensif di
Inggris, manitol digunakan pada cedera otak di semua unit. Kebanyakan dari studi
sebelumnya penggunaan manitol lebih banyak pada orang dewasa dibandingkan dengan
anak-anak.
Manitol semakin diminati untuk penggunaan sebagai hiperosmolar untuk mengendalikan
tekanan tinggi intrakranial. Manitol dapat menurunkan TIK melalui dua mekanisme.
Manitol secara cepat menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan
mengurangi resultante diameter pembuluh darah. Hal ini juga berdampak pada CBF
autoregulasi. Tingkat CBF dapat dikendalikan, walaupun adanya reduksi viskositas darah
disertai refleks vasokonstriksi. Ini menimbulkan penurunan volume darah otak dan TIK.
Mekanisme ini tergantung dari autoregulasi viskositas yang intak dari CBF, yang mana
berhubungan dengan autoregulasi tekanan darah dari CBF. Manitol menimbulkan efek
yang cepat pada viskositas darah namun bersifat sementara (<75 menit). Penggunaan
manitol juga dapat menurunkan TIK melalui efek osmotik, yang mana berkembang
secara perlahan (lebih dari 15-30 menit), mengikuti pergerakan air secara graduil dari
parenkim ke sirkulasi. Efek timbul sekitar lebih dari 6 jam dan memerlukan sawar darah
otak yang intak. Manitol mungkin dapat menumpuk pada area otak yang mengalami
trauma yang mana osmotik berbalik dapat terjadi dengan pergerakan cairan dari
kompartemen intravaskuler ke parenkim otak.
Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah antara 0,1 dan 1,0 mL/ Kg BB per jam.
Efektivitasnya dan sifat toksisitasnya masih perlu penyesuaian di beberapa pusat
penelitian. Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 g/ KgBB hingga 1 g/KgBB.
Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan. Pemasangan kateter Folley
diwajibkan untuk mencegah ruptur buli. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320
mOsm/L pada penggunaan manitol, dan pada 320 mOsm/L untuk penggunaan salin
hipertonis.

41

neurotrauma

Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact baby syndrome.
Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198
Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and metabolism in children with
severe head injury. Part I : Relation to age, Glasgow Coma Score, outcome,
intracranial pressure, and time after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152
Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on treatment of
pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819 -825

Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence) :


No
1

Penulis
Fisher et al, 1992

Deskripsi Penelitian
Penelitian
double-blind
crossover membandingkan
penggunaan cairan saline
3% (1025 mOsm/L) dan
0,9% (308 mOsm/L) pada
anak dengan cedera otak
berat.

Kelas
III

Khanna et al, 2000

Studi
prospektif
tentang
penggunaan
cairan
hipertonis saline 3% (1025
mOsm/L)

III

Peterson et al, 2000

III

Simma et al, 2000

Penelitian retrospektif untuk


mengetahui
efek
cairan
hipertonis Saline 3% dalam
menurunkan TIK.
Penelitian prospektif random
terbuka
membandingkan
penggunaan saline hipertonis
(598 mOsm/L) dengan ringer
laktat yang diberikan lebih
dari 3 hari pada 35 anak
dengan cedera otak berat

III

Kesimpulan
Cairan hipertonis saline 3%
dapat menurunkan TIK dan
mengurangi intervensi yang
lain
(
thiopental
dan
hiperventilasi).
Kadar
Serum
sodium
meningkat sekitar 7 mEq/L
setelah pemberian saline
3%
Terjadi penurunan yang
signifikan pada TIK dan
peningkatan CPP selama
pemberian cairan saline 3%
Timbulnya hipernatremi dan
hiperosmoler
dapat
ditoleransi secara aman
pada pasien anak-anak.
Cairan hipertonis Saline 3%
efektif dalam menurunkan
TIK.
Pasien yang diterapi dengan
salin hipertonis memerlukan
intervensi tambahan yang
lebih sedikit dibandingkan
dengan pemberian dengan
ringer
laktat
dalam
mengatur
TIK.
Group
dengan pemberian salin
hipertonis memiliki waktu
tinggal di ICU lebih singkat,
penggunaan
ventilasi
mekanik lebih singkat, lebih
sedikit
komplikasi
dibandingkan
dengan
penggunaan ringer laktat

Referensi :

neurotrauma

Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in children
after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10
Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severe
refractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury.
Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial
pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143
Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluid
management in children with severe head injury : Lactated Ringers solution versus
hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270

42

VIII.5. Peran Pengeluaran Cairan Serebrospinal (CSS) Pada Pengendalian Tekanan


Intrakranial
Standard
: Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines
: Belum ada yang cukup untuk mendukung guideline terapi.
Opsi
: Pengeluaran atau drainase dapat dilakukan melalui kateter
ventrikulostomi atau dikombinasi dengan drainase lumbal.
Penjelasan Rekomendasi :
Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan drainase ventrikuler
pada TBI. Shapiro and Marmarou melakukan studi retrospektif pada 22 anak dengan TBI
berat, didapat score 8 pada glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya
dilakukan ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index, dan
angka kematian. Ditemukannya pengaliran CSF meningkatkan Pressure-volume index
dan penurunan TIK, hanya terjadi 2 kematian neurologis pada pasien dengan hipertensi
intrakranial refrakter.
Drainase CSF tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal sebagai kombinasi
perlu dipertimbangkan pada kasus hipertensi intrakranial yang membandel setelah
pemasangan kateter ventrikulostomi yang berfungsi baik, sisterna basal yang terbuka,
dan tak ada gambaran lesi massa yang besar atau pergeseran kompartemen pada foto.
Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence) :
No
1

Penulis
Shapiro
Marmaron, 1982

Baldwin and Rekate,


1991-1992
Levy et al, 1995

and

Deskripsi Penelitian
Penelitian retrospektif , 22
pasien
dengan
EVD,
ditentukan TIK / PVI

Kelas
III

Laporan Serial klinis, lima


pasien dengan drain lumbar.
Penelitian retrospektif, 16
pasien dengan lumbar drain

III
III

Kesimpulan
Drainase meningkatkan PVI,
menurunkan TIK, kematian
hanya pada pasien dengan
TIK tak terkendali
Tiga dari lima selamat
setelah penurunan TIK
TIK menurun pada 14
penderita dari 16 orang,
kematian pada dua pasien
dengan TIK tak terkendali

Referensi :

VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan Cidera
Otak Berat
Standard : Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines : Belum ada yang cukup untuk mendukung guideline terapi.
Option
: Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2 < 35 mmHg) harus dihindari
pada anak.

43

neurotrauma

Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on treatment of


pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819 -825
Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience with controlled external lumbar drainage in
diffuse pediatric head injury. Pediatr Neurosurg 1991-2; 17: 115-120
Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in pediatric head injury J
Neurosurg 1995; 83 : 452-460

Penjelasan Rekomendasi :
Hiperventilasi ringan (PaCO2 30 35 mmHg) dapat dipertimbangkan pada kondisi
hipertensi intrakranial yang tidak turun dengan sedasi dan analgesia, blokade
neuromuskular, pengeluaran CSS, dan terapi hiperosmolar. Hiperventilasi agresif
(PaCO2 < 30 mmHg) dapat dipertimbangkan sebagai terapi tingkat kedua pada
hipertensi membandel. Aliran darah serebral (Cerebral Blood Flow), saturasi oksigen
vena jugularis, atau monitor oksigen jaringan otak dianjurkan untuk membantu
mengidentifikasi terjadinya iskemia pada kondisi ini. Hiperventilasi agresif dalam waktu
singkat dapat dipertimbangkan pada kasus herniasi otak atau penurunan kondisi
neurologis.
Terapi hiperventilasi secara agresif telah digunakan dalam penanganan TBI berat
pada anak untuk penurunan yang cepat dari TIK sejak 1970. Pada studi tak terkontrol,
Bruce et al menggunakan protokol yang menggunakan hiperventilasi agresif dan
dilaporkan hasil yang sangat baik. Keadaan ini berdasarkan pada asumsi bahwa
hiperemi biasa setelah TBI anak-anak. Terapi hiperventilasi juga menunjukkan
keuntungan pada cedera otak dengan berbagai mekanisme termasuk penurunan
asidosis otak, peningkatan metabolisme otak, perbaikan tekanan darah dari tekanan
darah dari aliran darah otak, dan peningkatan perfusi pada area otak yang iskhemi.
Hiperventilasi menurunkan TIK dengan meningkatkan hipocapnia. Ini menuntun ke
vasokostriksi otak dan penurunan CBF. Hal ini diikuti denngan penurunan volume darah
otak, menghasilkan pada penurunan TIK. Bagaimanapun juga, hiperventilasi
dihubungkan dengan resiko iskhemi iatrogenik. Pada model eksperimental, Muizelaar et
al melaporkan bahwa vasokonstiktor berefek pada hiperventilasi tertahan dalam periode
< 24 jam. Hiperventilation kronis menurunkan buffer bikarbonat interstisial jaringan otak
dan menyebabkan sirkulasi otak menjadi hiper responsive menjadi peningkatan PaCO2.
Alkalosis respiratoris menimbulkan pergeseran kekiri dari kurva dissosiasi hemoglobinoksigen yang mana mengganggu pembawaan oksigen ke jaringan.

neurotrauma

Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence) :


No

Penulis

Deskripsi Penelitian

Kelas

Kesimpulan

Skippen et al, 1997

II

Bila PaCO 2 turun, TIK akan


turun dan CPP meningkat

Stringer et al, 1993

Penelitian kohort prospektif,


23 anak dengan cedera otak
berat, GCS < 8. Umur 3
hingga 16 thn, rata-rata 11
tahun. PaCO 2 dipertahankan
pada > 35, 25-35 dan < 25
torr
Penelitian serial non random
untuk
pengukuran
CBF.
Diukur TIK, CPP, MAP,
ETCO2, XeCT, CBF

II

Iskemia
karena
hiperventilasi terjadi dan
mempengaruhijaringan otak
yang cedera dan masih
intak.

Referensi :
Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al : Effect of hyperventilation on regional cerebral blood flow in
head-injured children. Crit Care Med 1997; 25: 1402-1409
Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al: Hyperventialtion-induced cerebral ischemia in
patients with acute brain lesions : Demonstration by Xenon -enhanced CT.AJNR 1993;
14: 475-484

44

VIII.7. Pembedahan Untuk Hipertensi Intrakranial Pada Pediatri


Standard : Belum ada yang cukup untuk mendukung terapi standar.
Guidelines : Belum ada yang cukup untuk mendukung guideline terapi.
Option
: Kraniektomi dekompresi perlu dipertimbangkan pada pasien pediatri
dengan cidera otak berat, pembengkakan otak (brain swelling), dan
hipertensi intrakranial yang membandel terhadap terapi medis intensif.
Kraniektomi dekompresi dapat dipertimbangkan juga untuk anak dengan
cidera otak berat dan hipertensi intrakranial yang tampaknya akan
mengalami perbaikan dari cidera otaknya. Kraniektomi dekompresi
tampaknya kurang efektif pada pasien dengan cidera sekunder yang berat.
Keluaran yang baik dapat diharapkan pada kasus penurunan GCS sekunder
dan atau sindrom herniasi otak yang masih dalam proses dalam waktu 48
jam pertama setelah cidera. Pasien dengan GCS 3 dan tidak membaik
adalah kelompok yang keluarannya tidak baik.
Penjelasan Rekomendasi :
Nilai pengukuran TIK kemungkinan sesuai dengan defek kranium pada pasien
dengan dekomperesive kraniektomi. Bagaimanapun juga, dilakukannya pembedahan
secara umum untuk mencapai tujuan control dari intrakranial hipertensi berat, ini berefek
pada TIK. Taylor dan colleagues melaporkan penurunan signifikan rata-2 TIK setelah
dekompresi craniektomi untuk TBI berat pada anak-anak (rata-rata penurunan 9 mmHg).
Hieu dan teman menggambarkan intraoperative dan postoperative segera TIK pada
waktunya dekompresi kraniektomi pada dua pasien anak. Penurunan TIK terlihat pada
poin dari kraniektomi dan duraplasty pada immediate periode postoperative.
Tabel Tingkat Pembuktian (Evidence) :
Penulis
Polin et al, 1997

Cho et al, 1995

Taylor et al, 2001

Deskripsi Penelitian
Penelitian case control, 35
pasien cedera otak berat
yang dilakukan dekompresi
kraniektomi dengan pre dan
post operatif TIK monitor dan
terapi medis
Penelitian retrospektif pada
pada anak-anak dengan
shaken baby syndrome yang
dilakukan
operasi
dekompresi
atau
terapi
medis
Single center PRCT, 27
cedera otak berat pada anak
dengan
hipertensi
intrakranial yang membandel
dengan terapi medis dan
drainase
ventrikel
yang
dirandom antara bitemporal
dekompresi kraniotomi vs
tanpa pembedahan

Kelas
III

Kesimpulan
Outcome
yang
baik
didapatkan pada usia muda,
operasi lebih awal dan TIK
tidak pernah >40 mmHg

III

Pasien
yang
dioperasi
survivalnya
lebih
baik
dibandingkan yang hanya
mendapat terapi medis

III

Kraniotomi
dekompresi
secara nyata menurunkan
TIK dalam 48 jam setelah
dirandomisasi dan hasilnya
tidak
terlalu
bermakna
terhadap perbaikan klinis.

neurotrauma

No
1

45

Referensi :

neurotrauma

Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy in the treatment
of severe refractory posttraumatic cerebral edema. Neurosurgery 1997; 41:8494
Taylor A, Warwick B, Rosenfeld J, et al: A randomized trial of very early decompressive
craniectomy in children with traumatic brain injury and sustained intracranial
hypertension.Childs Nerv Syst 2001; 17:154162
Cho DY, Wang YC, Chi CS: Decompressive craniotomy for acute shaken/impact
syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192198

Tinjauan:
Perbandingan antara trauma pada anak dan dewasa menurut National Pediatric Trauma
Registry menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami cidera otak traumatik lebih
besar dibandingkan orang dewasa. Tetapi karena sulitnya untuk menilai terapi pada anak
dengan rentang kelompok umur yang lebar dan perbedaan tingkat perkembangan pada tiap
fase mengakibatkan masih belum banyak penelitian yang memenuhi syarat untuk dijadikan
standard penanganan pada masa akut hingga rehabilitasi.
Karena tidak benar anggapan bahwa anak adalah miniatur orang dewasa, maka tidaklah
tepat untuk menyamakan dan mengaplikasikan begitu saja literatur penelitian pada orang
dewasa atau guideline yang ada untuk orang dewasa pada anak. Usaha-usaha untuk
mengenali aspek khusus pada anak dikaji dan guideline yang disusun adalah sebagai
pendamping guideline yang ada untuk orang dewasa. Guideline yang disusun sebagian
besar adalah hasil konsensus bersama.
Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Cidera
otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai cidera otak saja, adalah perlukaan primer
atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cidera otak akibat penganiayaan (abusive
head injury) termasuk didalamnya penganiyaan, penyiksaan, penelantaran dan shaken baby
syndrome dimasukkan juga dalam kategori cidera otak ini. Cidera akibat trauma kelahiran,
tenggelam, dan gangguan pembuluh darah otak tidak dimasukkan dalam kelompok ini.
Secara epidemiologi, cidera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40% kasus anak
usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19 tahun. Pola dan
prinsip manajemen cedera otak pada anak hampir sama dengan pada orang dewasa tetapi
ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat perkembangan anak, variasi
anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan respon otak anak terhadap cidera
traumatik.
Hal-hal yang terkait adalah : pada anak kecil tidak mungkin melakukan pemeriksaan GCS
seperti orang dewasa. Modifikasi skala yang diadopsi untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi
respon lebih banyak pada anak dan dicatat secara terpisah pada kartu monitoring seringkali
menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan apakah ada penurunan kesadaran pada waktu
benturan. Gegar otak bisa sangat singkat dan tidak bisa dinilai dengan observasi Trauma
tumpul pada kepala anak dapat terjadi dalam waktu singkat dengan perkembangan edema
otak akut. Kondisi ini bisa terjadi pada trauma kepala yang nampaknya terlihat ringan dan
diindikasikan dengan penurunan status kesadaran yang cepat dan dalam. Kondisi ini dapat
di diagnosa hanya setelah lesi masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan.
Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai beratnya
cedera otak. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk memastikan tidak ada
perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak trauma tidak sama resikonya

46

47

neurotrauma

dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang dewasa. Pada umumnya anak anak
membaik dan sembuh total setelah serangan, tidak ada indikasi pemberian anti konvulsan.
Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak kecil meningkatkan resiko kerusakan otak oleh
penetrasi objek dimana pada orang dewasa tidak bisa tembus. Beberapa luka tusuk pada
kepala anak harus diterapi seolah-olah telah terjadi trauma langsung pada otak. Luka masuk
harus diperiksa dengan teliti untuk mencari tanda fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak.
Jika masih ragu-ragu, CT scan dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada sisi
itu. Rujukan ke ahli bedah saraf diperlukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Fraktur
impresi, baik yang sederhana maupun yang komplikata umumnya berkaitan dengan
kerusakan lokal terhadap otak dibawahnya. Energi benturan secara substansial dapat
diserap pada sisi trauma dan efek akselerasi pada otak diminimalisir. Tidak adanya riwayat
hilangnya kesadaran tidak menghilangkan adanya cedera fokal yang berat. Foto polos
kepala, khususnya tangensial view, bisa menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT
scan dapat menunjukkan lebih jelas aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan
apakah ada atau tidak cedera otak dibawahnya.
Karena elastisitasnya, kalvaria anak kecil dapat mengalami perubahan bentuk setelah
benturan tanpa ada fraktur. Deformitas ini bisa berhubungan dengan trauma lokal terhadap
otak atau trauma pada meningen yang menghasilkan timbulnya hematom ekstradural. Tidak
adanya fraktur tidak menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah
adalah pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak
termasuk bayi. Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan
dari luka, hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil karena
mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya penting untuk
menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi peningkatan tekanan
intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah bisa turun dengan cepat. Ini
penting pada anak-anak jika merencanakan untuk melakukan pembedahan sebagai
pertimbangan pemberian transfusi darah segera. Pada kondisi emergensi darah O negatif
dapat diberikan. Otak anak kecil kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma
tumpul dan ini penting sekali untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti
ini. Sebagaimana pada orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk
mengganti perkiraan kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan
perubahan yang tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama 24 jam
setelah cedera ringan dianjurkan.
Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya peningkatan
tekanan intrakranial. Keadaan fontanela memberikan informasi dimana perlunya bantuan
ahli bedah saraf.
Di populasi anak ada tingkat kejadian yang bermakna dari cedera non kecelakaan. Ini
penting untuk difahami bahwa riwayat yang ada bisa tidak benar dan menyesatkan
penilainan ahli bedah dalam mempertimbangkan beratnya atau ringannya cedera
intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral menunjukkan suatu trauma non
kecelakaan. Gelisah pada cedera otak anak kecil bisa menyulitkan saat CT scan.
Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi akut.
Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cidera otak berat pada anak sesuai dengan
Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain Injury in Infants,
Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine, 4(3), 2003.

neurotrauma

(Rainer Gedeit.Head Injury. Pediatrics in Review Vol.22 No.4 April 2001)

48

PENUTUP
Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sisitematis dilakukan penelitian penelitian yang mendukung, sehingga dapat sebagai acuan atau rekomendasi baik untuk
tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cidera otak.
Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran dan
kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung pada
pelayanan dan pendidikan serta penelitian dibidang neurotrauma.

neurotrauma

Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami namun
ketebatasan kami jualah yang membatasi, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian
selalu ada pada buku ini.

49

KEPUSTAKAAN
Adelson et al, 2003, Guidelines For The Acute Medical Management Of Severe Traumatic
Brain Injury In Infants, Children, And Adolescents., Pediatr Crit Care Med 2003 Vol. 4,
No. 3 (Suppl.)
Erard AC, Walder B, Ravussin P.,2003. Effects Of Equiosmolar Load Of 20% Mannitol,
7.5% Saline And 0.9% Saline On Plasma Osmolarity, Haemodynamics And Plasma
Concentrations Of Electrolytes., Ann Fr Anesth Reanim. 2003 Jan;22(1):18-24.
Balafif F, 1999., Pengaruh Pemberian Manitol Secara Empiris pada Penderita Cedera Otak
Berat Tipe Non Surgical Mass Lession di RS. Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian case
control study analisis komparatif dengan dan tanpa pemberian manitol. SMF Bedah
Saraf / Lab Ilmu Bedah FK UNAIR Surabaya
Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Calvi MR, Cipriani A, Garancini MP, 1997.,
7.5% Hypertonic Saline Versus 20% Mannitol During Elective Neurosurgical
Supratentorial Procedures. J Neurosurg Anesthesiol. 1997 Oct;9(4):329-34.
Guidelines for Healthcare Facilities with Limited Resources, Johns Hopkins University
Mendelow AD,Teasdale GM, Russell T, Flood J, Petterson J, Murray GD, 1985, Effect of
Mannitol on Cerebral Blood Flow and Cerebral Perfusion Pressure in Human Head
Injury. J Neurosurg, 63(1) : 43-8

neurotrauma

Ravussin P, Abou-Madi M, Acher D, et al, 1988, Changes in CSF Pressure sfter Mannitol in
Patients with and without Elevated CSF Pressure, J Neurosurg ec:69(6): 869-76

50

Anda mungkin juga menyukai