Anda di halaman 1dari 30

PENERAPAN TELEREHABILITATION TERHADAP PROSES

PERAWATAN REHABILITASI PASIEN POST STROKE DIRUMAH

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Evidence Based Nursing

Dosen Fasilitator:
Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes

Disusun Oleh:

Nur Sayyid Jalaluddin R NIM. 131914153002


Inta Susanti NIM. 131914153004
Glorya Riana L NIM. 131914153007
Anis Fauziah NIM. 131914153024
Ni Ketut Putri Martha S NIM. 131914153026
Christina Marina M NIM. 131911573037

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penerapan
Telerehabilitation Terhadap Proses Perawatan Rehabilitasi Pasien Post Stroke
Dirumah”.
Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas Evidence Based Nursing, Program
Magister Keperawatan Semester 1 Tahun Akademik 2019/2020 Ganjil. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes, selaku Dosen Fasilitator dalam Mata Kuliah Evidence
Based Nursing, Fakultas Keperawatan yang telah memberikan bimbingan dan masukan
terhadap penyelesaian makalah ini.
2. Seluruh anggota Kelompok 1 Komunitas yang telah bekerjasama dengan baik dalam
penyusunan makalah Evidence Based Nursing ini.
3. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dalam
mengaplikasikan terapi-terapi baru yang ada dalam dunia keperawatan untuk penyakit tidak
menular khususnya stroke. Akan tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini.

Surabaya, November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................................... i


Kata Pengantar ........................................................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................................................. iii
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 3
1.4 Manfaat ............................................................................................................................ 3
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Konsep Stroke ................................................................................................................... 4
2.2 Konsep Telerehabilitasi .................................................................................................... 14
BAB 3 Pembahasan
3.1 PICOT .............................................................................................................................. 21
3.2 Pembahasan Penerapan Telerehabilitasi ........................................................................... 22
BAB 4 Penutup
Simpulan ................................................................................................................................. 24
Saran ....................................................................................................................................... 24
Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan silent killer atau pembunuh berdarah dingin yang dapat menyerang
siapa saja, kapan saja tanpa mengenal waktu dan tempat. Penyakit stroke menyerang otak
sehingga aliran darah dan oksigen yang mengalir seketika berhenti dan dapat berisiko
menyebabkan kematian sel-sel otak.

Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung
dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor satu di
RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang
terkena stroke dan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Daerah (Riskesdas) tahun 2018, salah
satu penyakit tidak menular (PTM) mengalami kenaikan prevalensi yaitu stroke. Hasil
Riskesdas 2013 memaparkan prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 7,1% dan perempuan
6,8% sedangkan pada hasil Riskesdas 2018 pada laki-laki sebanyak 11% dan untuk
perempuan 10,9%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian penting bagi kita semua untuk
mencegah dan mendeteksi stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali,
sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga
sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di
kasur yang membutuhkan perawatan jangka panjang (Yastroki, 2006).

Penanganan stroke selama di rumah sakit akan dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai
dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Tanda dan gejala stroke yang terjadi tidak dapat
secara langsung pulih selama dirawat di rumah sakit karena proses pemulihan kondisi setiap
orang berbeda-beda tergantung daerah otak yang mengalami kerusakan. Sebelum pulang ke
rumah, pasien dan keluarga akan diberikan edukasi untuk merawat pasien post-stroke agar
proses rehabilitasi pasien dapat berkelanjutan. Tahap rehabilitasi ini sangat penting karena
dapat mengurangi angka kecacatan pasien post-stroke dan mencegah terjadinya stroke
berulang.

Kemajuan terbaru dalam teknologi informasi telah memungkinkan pemberian


pelayanan medis dan keperawatan dari penyedia layanan kepada pasien di rumah mereka
sendiri (Burn et, 1998). Salah satu bidang penerapan teknologi ini adalah telerehabilitasi.
Tujuannya adalah untuk mengelola dan untuk memberikan intervensi terapeutik kepada

1
pasien dengan defisit karena cedera ortopedi, traumatik atau cedera pembuluh darah otak
(Reinkensmeyer, 2002). Dalam hal ini, terdapat peningkatan jumlah pasien yang memerlukan
perawatan jangka panjang untuk memperbaiki kerusakan saraf yang dialami pasien. Pedoman
Sistem Kesehatan Nasional memang telah merekomendasikan pengurangan lama rawat inap,
karena kurangnya fasilitas rehabilitative yang tersedia dan kebutuhan untuk mencapai
penghematan biaya operasional (Burdea, J, 2000). Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan
pemulangan dini, ditambah dengan pelaksanaan terapi di rumah sendiri dapat bermanfaat
bagi pasien pasca stroke dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.

Telerehabilitasi merupakan salah satu faktor yang penting untuk dipertimbangkan


sebagai usaha dalam mencapai tujuan ini. Sistem ini dapat lebih diterima pasien, tanpa harus
menghadirkan terapis atau profesional lainnya di rumah. Oleh karenanya, sistem ini dapat
memberikan terapi yang sifatnya jangka panjang, memenuhi kebutuhan pasien dan pada saat
yang sama, dapat menghemat sumber daya kesehatan yang dibutuhkan (Palsbo and Bauer,
2000). Penggunaan teknologi informasi dalam pemberian pelayanan rehabilitasi juga dapat
meningkatkan akses perawatan bagi orang yang tinggal di pedesaan (atau di daerah tanpa
tenaga kesehatan) dan untuk pasien dengan gangguan mobilitas yang memiliki kesulitan
untuk bepergian. Hal ini dapat juga secara substansial mengurangi waktu perjalanan tenaga
kesehatan dan karenanya meningkatkan jumlah pasien yang melakukan konsultasi dalam
sehari. Akhirnya, penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan rehabilitasi dapat
memperluas kesinambungan perawatan bagi pasien dengan kondisi lumpuh dan
memungkinkan pasien untuk mengatur kebutuhan terapi perawatannya sendiri secara
mandiri.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah penerapan dari telerehabilitation terhadap proses perawatan rehabillitasi
pasien post stroke dirumah?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan penerapan dari telerehabilitation terhadap proses perawatan
rehabillitasi pasien post stroke dirumah
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep penyakit stroke
2. Menjelaskan konsep penanganan pasien stroke
3. Menjelaskan konsep dari telerehabilitation

2
4. Menjelaskan penerapan dari telerehabilitation terhadap proses perawatan
rehabillitasi pasien post strok
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu mengaplikasikan terapi-terapi baru yang ada dalam dunia
keperawatan untuk penyakit tidak menular khususnya stroke dengan mengetahui
inovasi teknologi informasi kesehatan berupa telerehabilitasi pada pasien pasca stroke
dan menjelaskan implikasinya terhadap perkembangan ilmu keperawatan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Stroke


2.1.1 Definisi Stroke
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah
di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan
seseorang menderita kelumpuhan atau kematian. Stroke merupakan deficit neurologis
yang mempunyai serangan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari
cardiovascular disease (Batticaca, 2012).
Stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
(dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan tanda dan gejala
klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, disebabkan oleh
terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan (stroke hemoragik) ataupun
sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena,
yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau kematian.

2.1.2 Epidemiologi Stroke


Stroke penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan
kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu dari 10 kematian
disebabkan oleh stroke (American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015).
Secara global, 15 juta orang terserang stroke setiap tahunnya, satu pertiga meninggal
dan sisanya mengalami kecacatan permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan
penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperlihatkan bahwa stroke
merupakan penyebab kematian nomor satu pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Menurut Yayasan Stroke Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500.000 penduduk
mengalami serangan stroke dan 25% di antaranya (125.000 penduduk) meninggal,
sisanya mengalami cacat ringan maupun berat. Di Indonesia, kecenderungan prevalensi
stroke per 1000 orang mencapai 12,1 dan setiap 7 orang yang meninggal, 1 diantaranya
terkena stroke (Depkes, 2013).

4
2.1.3 Etiologi
a. Trombosis (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain)
c. Iskemia ( penurunan aliran darah ke area otak)
d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak).
2.1.4 Patofisologi
Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak akan
menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang berlangsung lama dapat menyebabkan
iskemik otak. Iskemik yang terjadi dalam waktu yang singkat kurang dari 10-15 menit
dapat menyebabkan defisit sementara dan bukan defisit permanen. Sedangkan iskemik
yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan sel mati permanen dan
megakibatkan infark pada otak. Setiap defisit fokal permanen akan bergantung pada
daerah otak mana yang terkena. Daerah otak yang terkena akan menggambarkan
pembuluh darah otak yang terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami
iskemik adalah arteri serebral tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal permanen
dapat tidak diketahui jika klien pertama kali mengalami iskemik otak total yang dapat
teratasi.
Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena trombus atau emboli, maka
mulai terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan otak. Kekurangan oksigen dalam
satu menit dapat menunjukan gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran.
Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama menyebabkan nekrosis
mikroskopik neuron-neuron. Area yang mengalami nekrosis disebut infark. Gangguan
peredaran darah otak akan menimbulkan gangguan pada metabolisme sel-sel neuron, di
mana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan glikogen sehingga kebutuhan
metabolisme tergantung dari glukosa dan oksigen yang terdapat pada arteri-arteri yang
menuju otak.
Perdarahan intrakranial termasuk perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau
ke dalam jaringan otak sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya penebalan dan
degenertif pembuluh darah yang dapat menyebabkan ruprutnya arteri serebral sehingga
perdarahan menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat serta iritasi
pada pembuluh darah otak. Perdarahan biasanya berhenti karena pembentukan trombus
oleh fibrin trombosit dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai
5
direabsorbsi. Ruptur ulangan merupakan risiko serius yang terjadi sekitar akibat 7-10
hari setalah perdarahan pertama.
Ruptur ulangan mengakibatkan terhentinya aliran darah ke bagian tertentu,
menimbulkan iskemik lokal, dan infark jaringan otak. Hal tersebut dapat menimbulkan
geger otak dan kehilangan kesadaran, peningkatan tekanan cairan serebrospinal (CSS),
dan menyebabkan gesekan otak (otak terbelah sepanjang serabut). Perdarahan mengisi
ventrikel atau hematoma yang merusak jaringan otak. Perubahan sirkulasi CSS,
obstruksi vena, adanya edema dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang
membahayakan jiwa dengan cepat. Peningkatan tekanan intrakranial yang tidak diobati
mengakibatkan herniasi unkus atau serebellum. Di samping itu, terjadi bradikardi,
hipertensi sistemik, dan gangguan hipertensi.
Darah merupakan bagian yang merusak dan bila terjadi hemodialisa, darah dapat
mengiritasi pembuluh darah, meningen, dan otak. Darah dan vasoaktif yang dilepas
mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya perfusi serebral. Spasme serebri
atau vasospasme biasa terjadi pada hari ke-4 sampai ke-10 setalah terjadinya perdarahan
dan menyebabkan konstruksi arteri otak. Vasospasme merupakan komplikasi yang
mengakibatkan terjadinya penurunan fokal neurologis, iskemik otak, dan infark.

2.1.5 Faktor Resiko


1. Faktor Mayor
a. hipertensi merupakan faktor resiko utama.
b. Penyakit jantung; gangguan pembuluh darah koroner, dan karotis, gagal
jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, fibrilasi atrium, penyakit jantung
kongestif.
c. Diabetes mellitus (dikaitkan dengan aterogenesis terakselerasi).
d. Polisitema.
e. Riwayat pernah terkena stroke.
2. Faktor Minor
a. Kadar lemak yang tinggi dalam darah/ kolesterol tinggi.
b. Hematokrit tinggi (meningkatkan resiko infark serebral).
c. Kebiasaan merokok.
d. Obesitas.
e. Kadar asam urat darah tinggi.
f. Kurang olah raga.
6
g. Fibrinogen tinggi.
h. Penggunaan kontrasepsi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok,
kadar esterogen yang tinggi).
i. Penyalahgunaan obat, khususnya kokain.
j. Konsumsi alkohol.

2.1.6 Klasifikasi
a. Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan)
Serangan sering terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan terjadi pada malam hingga
pagi hari.
1) Thrombosis pada pembuluh darah otak (thrombosis of serebral vessels)
2) Emboli pada pembuluh darah otak (embolism of cerebral vesels)
b. Stroke hemoragik (perdarahan)
Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahun dan biasanya timbul setelah
aktivitasfisik atau karena psikologis (mental)
1) Perdarahan intraserebral (parenchymatous hemorrhage)
Gejalanya:
a) Tidak jelas, kecuali nyeri kepla hebat karena hipertensi
b) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau
marah
c) Mual atau muntah pada permulaan serangan hemiparesis atau
hemiplegia terjadi sejak awal serangan
d) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi
kurang dari ½ jam – 2 jam; < 2% terjadi setelah 2 jam – 19 hari).
2) Perdarahan subaraknoid (subarachnoid hemorrhage)
Gejalanya:
a) Nyeri kepala hebat dan mendadak
b) Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi
c) Ada gejala atau tanda meningeal
d) Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid kerena pecahnya
aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.

2.1.7 Manefestasi Klinis

7
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan
jumlah aliran darah kolateral yaitu sekunder atau aksesori (Smeltzer & Bare, 2013).
a. Kahilangan motorik
Stroke merupakan penyakit motor neuron dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Disfungsi motorik
paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan pada salah satu
sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
b. Kehilangan komunikasi
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa
dan komunikasi dapat dimanefestasikan oleh hal berikut :
1) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otak yag bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara.
2) Disfagia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama
ekspresis atau represif.
3) Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha
menyisir rambutnya.
c. Gangguan persepsi
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterprestasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan
visual-spasial dan kehilangan sensori.
d. Homonimus Hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang)
Dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen. Sisi visual
yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis.
e. Amorfosintesis
Kepala pasien berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan cenderung mengabaikan
bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut
f. Kerusakan Fungsi Kognitif dan Efek Psikologis
Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
8
Disfungsi ini ditunjukan dalam lapang perhatian yang terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini
menghadapi masalah frustasi dalam profram rehabilitasi mereka.
g. Disfungsi Kandung Kemih
Setelah stroke pasien mungin mengalami inkontinensia urinarius sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan control motorik
dan postural.

Gejala-gejala yang timbul tergantung lokasi serangan baik itu stroke hemoragik
maupun stroke iskemik, hal ini dapat diterangkan dengan gambar sebagai berikut:

1. Hijau merupakan pusat gerakan atau motorik.


Jika area ini yang terkena, penderita akan mengalami kelemahan sampai
kelumpuhan dari anggota gerak pada sisi yang berlawanan, sehingga apabila terkena
sisi kanan, yang mengalami kelemahan/kelumpuhan anggota gerak sebelah kiri.
2. Biru muda merupakan pusat sensibilitas atau perasa

9
Area ini merupakan pusat perasa. Seandainya sisi ini yang terkena serangan stroke,
pasien akan mengeluhkan rasa kebas sampai mati rasa pada arah yang berlawanan.
3. Hijau toska di area hijau disebut area broca atau pusat bicara motoric
Penderita yang mengalami gangguan didaerah ini tidak dapat bicara tetapi dapat
mengerti apa yang kita tanyakan hal ini disebut afasia motoris.
4. Hijau toska di area biru disebut area wernicke sebagai pusat bicara sensoris.
Penderita masih dapat bicara, tetapi tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh si
penanya, sehingga antara pertanyaan dan jawaban tidak sesuai.
5. Kuning sebagai area visuosensoris
Daerah ini jika terganggu akan mengeluhkan adanya gangguan penglihatan yang
disebut sebagai anopsia, jika terkena satu sisi disebut hemianopsia.
6. Coklat garis-garis adalah otak kecil sebagai pusat koordinasi.
Serangan stroke didaerah ini menyebabkan penderita tidak dapat berjalan dengan
baik atau mengkoordinasi gerakan baik gerakan tangan maupun kaki.
7. Krem bawah disebut batang otak.
Merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ, seperti pengatur
nafas, tekanan darah, anggota gerak, serta serabut-serabut lainnya. Apabila terjena
stroke di daerah ini pasiennya biasanya fatal, sebagian besar tidak tertolong

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


a. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
misalnya pertahanan atau sumbatan arteri.
b. Scan Tomografi Komputer (ComputerTomography scan – CT-scan). Mengetahui
adanya tekanan normal dan adanya trombosis, emboli serebral, dan tekanan
intrakranial (TIK).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukan daerah infark, perdarahan,
malformasi arteriovena (MAV).
d. Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidintifikasi penyakit arteriovena
(masalah sistem arteri karotis [aliran darah atau timbulnya plak]) dan
arteriosklerosis.
e. Elektroensefalogram (electroencephalogram – EEG). Mengindentifikasi masalah
pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
f. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada
10
trombosis serebral, klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhoid.
g. Pemeriksaan laboratorium:
1) Darah rutin
2) Gula darah
3) Urine rutin
4) Cairan serebrospinal
5) Analisa gas darah (AGD)
6) Biokimia darah
7) Elektrolit

2.1.9 Komplikasi
1. Hipoksia serebral
Diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak
bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian
oksigen suplemen dan mempertahankan Hb serta Ht pada tingkat normal akan
membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan
hipotensi ekstrem prlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3. Embolisme serebral
Dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari
katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan
selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah
jantung tidak konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia juga
dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
2.1.10 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien stroke terdiri dari berbagai macam tindakan. Jenis
tindakan yang dilakukan tergantung dari jenis stroke yang menyerang. Apakah
pemicunya adalah pasokan darah yang kurang ke otak (stroke iskemik), atau karena

11
bocornya pembuluh darah intrakranial (stroke hemoragik). (Dr. Alferd sutrisno,
2008:75)
Jika terjadi perdarahan tentu tindakan medis yang diambil adalah bagaimana
menghentikan perdarahan. Tetapi, jika yang terjadi adalah pembekuan darah/sumbatan
pembuluh darah, tindakan medis yang diambil adalah memberi obat yang bisa
mengencerkan darah. Untuk memastikan jenis mana yang tengah menyerang penderita,
tentu pemeriksan diagnostik perlu dilakukan untuk membantu proses pengobatan
stroke. (Dr. Alferd sutrisno, 2008:75-76)
1. Metode Konvensional
yaitu melalui pemberian obat-obatan, hal ini banyak dilakukan untuk menangani
jenis stroke iskemik (meskipun tidak jarang pula dilakukan tindakan operatif/
bedah). Sebaliknya, pada stroke jenis hemorhagik tindakan yang lebih cocok untu
dipilih adalah tindakan operatif/ bedah. (Dr. Alferd sutrisno, 2008:76). Jenis
metotde/ tindakan konvensional (non-operatif) meliputi:
a. Obat Anti Trombosis
yang termasuk dalam keluarga obat-obatan ini adalah aspirin, tiklopidin,
warfarin, dan heparin.
b. Semax
Pada agustus 1998, gencar diekspos obat baru dengan merek semax. Obat
ini merupakan pecahan ACTH (adrenocorticotropic hormone) 4-7. Prinsip
kerja obat ini adalah memperbaiki metabolisme sel saraf.( (Dr. Alferd
sutrisno, 2008:78)
c. Diuretik
Obat ini digunakan untuk menurunkan edema srebral, yang mencapai
tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.
2. Metode Operatif
Tujuan tindakan ini adalah untuk memperbaiki pembuluh darah yang cacat.
Dengan begitu diharapkan dapat meningkatkan peluang hidup pasien, dan
menyelamatkan jiwanya. Meski terjadi perdarahan, tidak otomatis dokter
melakukan pebedahan. Pertimbangan pembedahan biasanya dilihat dari:
a. Letak pembuluh darah yang bermasalah, jika letakpembuluh darah yang
bermasalah nerada ditempat yang mudah dijangkau, pembedahan menjadi
pelihan terbaik. Misalnya bila terjadi aneurisme di daerah sirkulus willisi,
aneurisma ini berpoensi pecah sehingga perlu dilakukan clipping aneurysm.
12
b. Terjadi hemorhagi subarknoid akibat pecahnya aneurisma, pecahnya
pembuluh darah inimnegakibatkan otak kebanjiran cairan (hidrosefalus).
Untuk mengatasi kondisi ini, diperlukan pemasangan VP shunt
(ventuculoperitoneal shunt), yakni alat untuk mengalirkan kelebihan cairan
dalam otak ke rongga perut.
c. Apabila perdarahan terletak dilokasi yang sulit dijangkau maka tindakan yang
dilakukan baisanya adalah dengan embolisasi (penyumbatan) atau koiling.
Koiling dilakukan dengan jalan memasang per pada pembuluh darah yang
mulai bocor. Dengan begitu kebocoran bisa dihantikan. Pemasangan koil
dilakukan dengan menggunakan kateter dari pembuluh darah paha.
Untuk membantu pemulihan, pasien harus ekstra hati-hati. Pasca operasi
pemasangan koil pasien dilarang batuk, duduk, atauhal lain yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Sebab,
semua itu bisa mengancam gagalnya proses koiling.
3. Penatalaksanaan Pasien Stroke Fase Akut
Pasien yang koma pada saat masuk rumah sakit dipertimbangkan mempunyai
prognosa yang buruk. Sebaliknya, pasien sadar penuh menghadapi hasil yang
dapat lebih diharapkan. Fase akut biasanya berakhir 48-72 jam. Dengan
mempertahankan jalan nafas dan ventilasi adekuat adalah perioritas dalam fase
akut ini.
a. Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup/sims dengan
kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral
berkurang.
b. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien dengan
stroke masif, karena henti pernafasan biasanya faktor yang mengancam
kehidupan pada situasi ini.
c. Pasien dipantau untuk adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, atelaktasis,
pneumonia) yang mungkin berkaitan dengan kehilangan reflek jalan nafas,
imobilitas, atau hipoventilasi.
d. Jantung diperiksa untuk abnormalitas dalam ukuran dan irama serta tanda
dan gagal jantung kongestif.
4. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah
yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan perawatan dirumah pada pasien
stroke adalah:
13
a. Perencanaan Perawatan
Proses penyembuhan dan rehabilitasi stroke dapat terjadi dalam waktu yang
lama,yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan dari pasien sendiri dan
keluarga. Pasien yang membutuhkan pelayanan beberapa tenaga pelayanan
kesehatan profesional, bergantung pada penurunan neurologis yang spesifik
yang disebabkan oleh stroke. Perawatan pasien di rumah sering dibantu oleh
bantuan perawat, keluarga atau pasangan.
b. Aspek Emosional
Keluarga diberitahu bahwa pasien akan sering mudah lelah, akan menjadi
peka rangsangan dan kecewa dengan kejadian kecil, dan menunjukkan
kurang minat terhadap sesuatu. Karena sering mengalami stroke dan dalam
tahapan kehidupan lanjut, dan adanya dimensia maka kemungkinan akan
terjadi kemunduran intelektual. Depresi akan terjadi dan merupakan masalah
yang serius pada pasien stroke.dalam hal ini dapat diberikan obat anti
depresan apabila depresi sudah termasuk parah dan dalam waktu yang lama.
Namun, keluarga dapat menolong terus menerus untuk mendukung pasien
dan memberikan pujian pada setiap kemajuan yang ditunjukkan oleh paisen.
c. Modifikasi Rumah
Ahli terapi okupasi membantu dalam mengkaji lingkungan rumah pasien dan
menganjurkan untuk mengubah tata ruang untuk membantu pasien menjadi
lebih mandiri.
d. Sumber Pendukung
Banyak alat yang menolong diri sendiri yang digunakan untuk membantu
pasien dalam melkaukan aktivitas sehari-hari. Kelompok dasar dalam
lingkungan dan keluarga merupakan sumber pendukung paling utama.
Pasien dianjurkan untuk tetap menjalankan hobi, rekreasi, dan menggunakan
waktu luangnya untuk berhubungan dengan teman-temannya untul
mencegah isolasi sosial. Semua perawat yang berhubungan dengan pasien
harus mendorong pasien agar tetap aktif, taat melakukan program latihan,
dan alat bantu disediakan bila memungkinkan

2.2 Telerehablitasi
2.2.1 Definisi Telerehabilitasi

14
Telerehabilitation dapat didefinisikan sebagai suatu penggunaan teknologi
komunikasi untuk memberikan layanan rehabilitasi jarak jauh (Rusel, 2007).
Telerehabilitasi telah dilakukan uji coba di berbagai lahan praktik dengan jarak jauh
meliputi pengkajian, perencanaan, perawatan yang memadai, pendidikan kesehatan
dan konseling. Beberapa hasil studi telah menunjukkan bahwa pemulangan dini (early
discharge) memberikan kemungkinan kesembuhan yang lebih baik dengan pasien
rawat jalan yang jauh dari fasilitas rehabilitasi, dan kesempatan untuk menyediakan
terapi jangka panjang di rumah jangka panjang

2.2.2 Aplikasi Rehablitasi


Telerehabilitation merupakan suatu layanan interdisipliner serbaguna yang sangat
potensial dalam memfasilitasi tindak lanjut perawatan stroke di rumah dengan
berbagai layanan rehabilitatif bagi pasien penyandang cacat akibat stroke melalui
teknologi telekomunikasi. Beberapa aplikasi telerehabilitasi yang telah berhasil
diidentifikasi yaitu TeleMentoring, TeleMonitoring, TeleConsultation, Tele-
Education, TeleSupervision, dan TeleTherapy.
Tipe Intervensi Kegunaan
TeleMentoring Memberikan penjelasan dan petunjuk
tentang latihan ke klinisi dari jarak jauh
TeleMonitoring Melakukan pengkajian kondisi atau situasi
spesifik pasien
TeleConsultation Memberikan penekanan/aarahan tentang
rencana terapi yang akan dilaksanakan
TeleSupervision Meninjau status perkembangan pasien
dalam menjalani telerehabilitasi
TeleTherapy
a) with physical intervention Menfasilitasi penyembuhan fungsional
pasien melalui instruksi latihan fisik
b) without physical intervention Menfasilitasi penyembuhan dan perbaikan
fungsional pasien melalui pemberian saran

Sumber : Forducey et al, 2003

2.2.3 Perangkat Telerehabilitasi


Telerehabilitasi ini terdiri atas 3 perangkat yang saling menunjang dalam pemberian
terapi rehabilitasi jarak jauh, yaitu health provider, health operator dan home platform
(rumah pasien).

15
Home Health Health
Platform Provider Operator

Telerehabilitasi dan Alur Data

1. Health Provider
Health provider merupakan unit sentral sistem dan layanan sebagai struktur teknis
yang memungkinkan layanan rehabilitasi berlangsung. Health provider secara
langsung terkoneksi ke rumah sakit atau pusat rehabilitasi Health provider harus
a. Menginstal dan menset-up peralatan rehabilitasi pada rumah pasien
b. Memberikan, mengatur, dan mempertahankan komunikasi antara pasien dan
profesional pemberi layanan rehabilitasi
c. Mengatur perangkat lunak (software) di rumah pasien (termasuk alur data
antara rumah pasien dan operator kesehatan)
d. Memperoleh dan mentransfer data terkait latihan rehabilitasi pasien
2. Health Operator
Health operator adalah suatu unit yang terdiri dari (pada umumnya terapis) dan
dilengkapi dengan modul software yang memungkinkan untuk :
a. Mengakuisisi, memvisualisasi dan mengelola data mengenai pelaksanaan
latihan rehabilitasi untuk mamantau keberhasilan protokol rehabilitasi
b. Mengaktivasi videoconference untuk memandu pasien melakukan latihan
dengan tepat. Videoconference ini dibutuhkan oleh pasien dan terapis untuk
menciptakan suatu link yang efektif dan kooperatif
3. Home Platform
Home platform dirancang untuk penggunaan umum. Untuk tujuan mengatasi
keberagaman kebutuhan pengguna layanan, sehingga perlu dirancang suatu sentral
dengan level modularitas dan upgrade yang tinggi yang dapat mengelola
komunikasi antara health provider dan unit-unit perifer yang terpasang di rumah-
rumah pasien. Pengembangan pusat konsol ini membuat integrasi yang lebih
mudah pada perangkat rehabilitasi atau pemantauan.
a. PC yang mensimulasi semua fungsi unit sentral
16
b. Meja untuk latihan aktivitas motorik yang memungkinkan pasien untuk
mlaksanakan terapi okupasi dan latihan fisik aktif menurut petunjuk dari
terapis. Meja mengimplementasikan fitur yang diminta oleh dokter dan
fisioterapi agar pasien melakukan latihan rehabilitasi yang sama dengan yang
dilakukan di rumah sakit. Sebuah electromyograph perifer yang dilengkapi
dengan biofeedback untuk mengukur kontraksit atau relaksasi otot selama
latihan
c. Modul videoconference yang memungkinkan pasien untuk langsung
terhubung dengan operator kesehatan dan dipandu melakukan latihan
terapeutik.
d. Pusat konsol memperoleh data dari instrumen rehabilitatif dan mengirimkan
data ke operator kesehatan. Sebuah modul perangkat lunak yang user-friendly
(ramah pengguna) memungkinkan pasien dan pemberi perawatan untuk
berinteraksi dengan mudah dengan perangkat yang digunakan (Russel et al,
2003)

2.2.4 Evidence Based Practiced terkait Telerehabilitasi Stroke


Kepuasan penggunaan teknologi pernah diteliti Lamberto Piron (2008) pada
kelompok yang terdiri dari lima pasien, dua laki-laki dan tiga perempuan, rata-rata
usia 53-54 tahun. Pasien-pasien ini menderita kerusakan motorik lengan dari ringan
hingga sedang akibat stroke iskemik pada arteri belahan otak kiri (2 orang) dan
belahan otak kanan (3 orang) yang terjadi 1 tahun sebelum penelitian ini dilakukan.
Pasien dengan bukti anamnestic atau klinis mengalami kerusakan kognitif atau
gangguan bahasa dan verbal dikeluarkan dari penelitian. Sistem tele-rehabilitasi
terdiri dari dua workstation PC, satu terletak di rumah pasien dan yang kedua di
rumah sakit rehabilitasi. Paduan untuk sistem tele-rehabilitasi dan sebuah
videoconference berkualitas tinggi memungkinkan pemantauan jarak jauh terhadap
sesi rehabilitasi.
Peralatan videoconference ini memungkinkan untuk mengamati sepenuhnya
gerakan pasien selama pelaksanaan tugas rehabilitasi. Workstation juga dilengkapi
dengan sistem pelacakan gerak 3D (Polhemus 3Space Fastrack, Vermont, AS) untuk
merekam gerakan lengan dengan magnet penerima yang melekat pada sebuah objek
nyata (end effector). Virtual tugas terutama terdiri dari gerakan sederhana, misalnya
menuangkan air dari gelas, menggunakan palu, membalik donat, dan beberapa
17
kompleksitas tugas lainnya yang ditentukan oleh terapis, tergantung pada pasien
motor defisit dan tingkat pemulihan motor. Setelah itu, pasien memindahkan objek
nyata (amplop, teko, palu) mengikuti lintasan objek virtual yang sesuai ditampilkan
pada layar komputer sesuai dengan tugas virtual diminta. Selama pasien melakukan
prosedur, pasien bisa melihat tidak hanya gerakannya tetapi juga dapat melihat
gerakan yang dicontohkan oleh terapis. Selain itu, terapis memberikan evalusi berupa
informasi tentang kebenaran tugas yang dilakukan melalui sistem videoconference.
Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa kurangnya interaksi fisik antara
pasien dan terapis serta kompleksitas sistem tidak menghambat proses belajar dalam
melakukan rehabilitasi. Penelitian ini juga membuktikan bahwa umpan balik
(feedback) meningkatkan kemampuan pasien melakukan prosedur rehabilitas
sehingga dapat diasumsikan bahwa kita dapat mempengaruhi sistem motor pasien
dengan memberikan beberapa umpan balik, yang berasal dari lintasan akhir-efektor,
yang disediakan bersama dengan visualisasi dari tugas-tugas tertentu. Pasien dapat
melihat langsung kinerja motoriknya via on line dan bisa menyesuaikan gerakan
sesuai dengan kebutuhan tugas.

18
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Telerehabitasi Sebagai Proses Perawatan Rehabilitasi Pasien Pasca Stroke di


Rumah
No. Judul PICOT
1. BeMobil: Developing a P : Eleven volunteers participated in this study. Subjects
User-Friendly and ranged in age from 44 to 83 years (M = 66.2, seven
Motivating female). Out of the eleven participants, four were patients
Telerehabilitation System after stroke, three of which suffered weakness in the left
for Motor Relearning after half of the body. Since the planned telesystem will be used
Stroke after being discharged from the clinic, it was essential to
include not only patients as participants but also healthy
seniors, who were acquired through a participant database

(Sebelas sukarelawan berpartisipasi dalam penelitian ini.


Subjek berkisar usia 44-83 tahun (M = 66,2, tujuh
perempuan). Dari sebelas peserta, empat adalah pasien
setelah stroke, tiga di antaranya mengalami kelemahan di
setengah kiri tubuh. Karena teleskop yang direncanakan
akan digunakan setelahnya keluar dari klinik, itu penting
untuk dimasukkan tidak hanya pasien sebagai peserta tetapi
juga manula yang sehat, yang diperoleh melalui database
peserta.)

I : In the beginning, the therapists demonstrated training


movements with Reha-Slide and Bi-Manu-Track. The
following requirements for the execution of movements
were explained: (1) Range of motion, (2) symmetry, (3)
smoothness, (4) tempo, and (5) fine motor skills. Before
generating design solutions for visual feedback, assessment
criteria for rating the ideas were discussed, defined, and
prioritized. In the ideation session, participants used the
provided material, such as inspirational pictures, sketches
of games, paper and pencils to develop ideas for visual
feedback (Figure 5).The ideas were then presented and
rated. The most promising concepts were selected for
implementation in order to be evaluated and optimized by
patients as direct users in the next step.

(Setelah tiba, tujuan dan sasaran proyek adalah dijelaskan


kepada sukarelawan dan persetujuan berdasarkan informasi
tertanda. Setelah itu peserta diminta untuk mulai bekerja
dengan prototipe klik pertama. Interaksi berorientasi pada
tugas. Tiga tugas harus diselesaikan: (1) Memilih dan
melakukan uji coba pelatihan, (2) menemukan dan

19
menafsirkan skor pelatihan generik, dan (3) menyiapkan a
koneksi ke staf medis. Selama interaksi, gunakan perilaku
diamati dan peserta diperintahkan untuk berpikir keras.
Akhirnya, dia atau dia diminta untuk menilai prototipe
pada tiga skala kuantitatif yang disebutkan di atas. Selain
itu, penerimaan keseluruhan prototipe adalah dikumpulkan
setelah setiap percobaan menggunakan rentang skala
berkelanjutan dari "buruk" ke "baik". Setiap prototipe
menerima peringkat pada skala ini, tanpa dua prototipe
menerima peringkat yang sama. Peringkat pada skala
disajikan kepada para peserta setelah setiap percobaan
untuk memfasilitasi perbandingan dan peringkat yang valid
dari prototipe. Itu mungkin untuk mengubah peringkat
sebelumnya untuk memasukkan peringkat untuk prototipe
yang diuji terakhir. Kami menggunakan skala
berkelanjutan untuk memfasilitasi spontan penilaian.
Ketika semua peringkat telah dikumpulkan, urutan
peringkat terakhir dari prototipe didokumentasikan. Setiap
tes Sesi berlangsung sekitar tiga perempat jam);

C : Commercial haptic devices for therapy training, such as


joysticks (perangkat haptic komersial untuk terapi
pelatihan, seperti joystick)
O : No significant differences were found in the way
participants experienced the navigation concept of the
remaining prototypes C and D. These two versions did not
substantially differ with regard to ease of use,
comprehensibility and pleasantness.

(Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan


peserta mengalami konsep navigasi
sisa prototipe C dan D. Kedua versi ini tidak
sangat berbeda dalam hal kemudahan penggunaan,
kelengkapan dan kesenangan. Sisa prototipe C dan D.
Kedua versi ini tidak prototipe yang tersisa C dan D. Kedua
versi tidak)

T : July 17-20, 2017, Brandenburgklinik and the Center for


Stroke Research of Charité Universitätsmedizin Berlin
2 Effectiveness and neural P : In this pilot study, we aim to collect 40 patients diagnosed
mechanisms of home-based as stroke from the Department of Neurology, Shanghai the
telerehabilitation in patients Fifth People’s Hospital, Fudan University. Patients
with stroke based on fMRI included in the study will be randomly allocated into 2
and DTI groups in a ratio of 1:1 after baseline assessment: home-
based rehabilitation group and conventional rehabilitation
group.

(Dalam studi percontohan ini, kami bertujuan untuk


mengumpulkan 40 pasien yang didiagnosis sebagai stroke
dari Departemen Neurologi, Shanghai the Fifth People's

20
Hospital, Universitas Fudan. Pasien termasuk dalam
penelitian ini akan dialokasikan secara acak ke dalam 2
kelompok dalama rasio 1: 1 setelah penilaian awal:
rehabilitasi berbasis rumah kelompok dan kelompok
rehabilitasi konvensional.)

I Intervantion measures were described in detail in our


previous studies.[19] Rehabilitation therapies include
exercise rehabilitation training and electromyography-
triggered neuromuscular stimulation (ETNS). (Langkah-
langkah intervensi dijelaskan secara rinci di sebelumnya
kami studi. Terapi rehabilitasi meliputi pelatihan
rehabilitasi olahraga dan neuromuskuler yang dipicu oleh
elektromiografi stimulasi (ETNS).
C : An independent statistician will conduct randomized
allocation by using a computer. The former will receive
exercise training rehabilitation and electromyography-
triggered neuromuscular stimulation with the assistance of
caregivers at home. Specialist physicians will evaluate the
recovery condition of patients via telerehabilitation system
every week and give guidance on rehabilitation training
and electro-stimulation therapy. The latter will receive the
same rehabilitation training under the guide of specialist
physicians face to face. Specialist physicians will evaluate
the recovery condition of patients at outpatient clinic every
week and adjust the rehabilitation strategies. Allocation
concealment will be guaranteed, since allocation
information will be protected in opaque sealed envelopes
by a specially assigned person who is not involved in the
study.
(Mandiri ahli statistik akan melakukan alokasi acak dengan
menggunakan komputer. Yang pertama akan menerima
rehabilitasi pelatihan olahraga dan stimulasi neuromuskuler
yang dipicu oleh elektromiografi bantuan pengasuh di
rumah. Dokter spesialis akan mengevaluasi kondisi
pemulihan pasien melalui telerehabilitasi sistem setiap
minggu dan memberikan bimbingan tentang pelatihan
rehabilitasi dan terapi stimulasi elektro. Yang terakhir akan
menerima yang sama pelatihan rehabilitasi di bawah
panduan dokter spesialis tatap muka. Dokter spesialis akan
mengevaluasi pemulihan kondisi pasien di klinik rawat
jalan setiap minggu dan menyesuaikan diri strategi
rehabilitasi. Penyembunyian alokasi akan menjadi dijamin,
karena informasi alokasi akan dilindungi di amplop
tertutup buram oleh orang yang ditugaskan khusus yang
tidak terlibat dalam penelitian ini.)

O : Primary outcome. Primary outcomes will be conducted


before and after rehabilitation therapies, including sum of
bilateral activated volume of primary motor (M1),

21
supplementary motor area (SMA), premotor cortex (PMC)
(VM1+SMA+PMC); lateralization index (LI) of
interhemispheric M1, SMA, and PMC
(LIM1+SMA+PMC)(LI=(SVC SVI)/(SVC+ SVI),
subscripts C and I refer to contralateral and ipsilateral
hemisphere responses, respectively. The SV measures the
regional activation level associated with the activated
voxel); functional connectivity of bilateral M1, SMA,
PMC, and the value of fractional anisotropy (FA) in
corticospinal tract (CST) at ipsilesional posterior limb of
internal capsule. Data will be collected before (at
basement) and after (3 months) rehabilitation.
Secondary outcome. Fugl–Meyer assessment (FMA) score
will be assessed as secondary outcome. The FMA score
consists of 17 items, ranging from 0 to 34, with lower
scores demonstrating poorer movement function.

T : to collect 40 patients diagnosed as stroke from the


Department of Neurology, Shanghai the Fifth People’s
Hospital, Fudan University. Patients receive the designated
exercise rehabilitation for 45minutes, once a day for 5 days
a week for 3 months.

3.2 Pembahasan penerapan telerehabilitasi terhadap proses perawatan rehabilitasi


pasien post stroke dirumah
Layanan telerehabilitasi dirancang bagi pasien yang membutuhkan terapi
jangka panjang setelah menjalani terapi awal di pusat rehabilitasi. Rumah pasien
dijadikan sebagai suatu unit yang diset-up sebagai stasiun telerehabilitasi yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan staf rehabilitasi. Ini memungkinkan
profesional kesehatan untuk berkonsentrasi pada kebutuhan darurat dan primer.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efektifitas rehabilitasi berbasis
rumah (Richer JH, 2000). Kesulitan muncul dari monitoring kinerja dan aktivitas
terapeutik di rumah dan dari teknologi terkini yang secara umum belum siap untuk
memberikan layanan. Kolaborasi antara teknisi dan profesional rehabilitasi diperlukan
untuk mengatasi masalah ini. Layanan telerehabilitasi yang dapat mengubah
perawatan rutin manjadi proses rehabilitasi ini akan memberikan manfaat yang besar
bagi pasien, pemberi pelayanan dan sistem kesehatan secara umum.
Masalah yang perlu ditangani untuk memastikan manfaat klinis dari
telerehabilitasi sebagai metode terapi adalah : 1. Interaksi virtual antara pasien dan
terapis dapat mengganggu pemulihan 2. Pasien yang lebih tua mungkin kurang
mampu mengoperasikan peralatan sehingga tidak memperoleh manfaat dari terapi

22
Untuk mengatasi interaksi “muka dan mesin” maka perlu dilengkapi perangkat lunak
yang tepat untuk mendukung dan memastikan berlangsungnya mekanisme alamiah
pemulihan otot pasien yang mengalami kecacatan. Terdapat beberapa masalah yang
harus dipecahkan oleh Health Provider dan Health Operator sebelum telerehabilitasi
ini dapat digunakan pada pasien seperti perbaikan efektifitas, keandalan teknis,
peralatan yang ramah terhadap pengguna (user-friendly), efektivitas biaya,
perlindungan data dan kepuasan pasien 9 merupakan hal-hal yang harus diberi
perhatian. Kepuasan merupakan suatu indikator penting dari keberhasilan intervensi
terapi dan tingkat kepuasan yang tinggi meningkatkan motivasi pasien untuk terlibat
dalam rehabilitasi untuk memulihkan kemampuan otaknya yang mengalami lesi.
Telerehabilitation merupakan pilihan yang tepat dan layak bagi pasien pasca
stroke yang mengalami keterbatasan untuk mengakses layanan rehabilitasi akibat
jarak yang jauh dan keterbatasan fisik yang dialami. Dawson et al (1999)
membuktikan bahwa highband connection cukup untuk menyampaikan informasi
tentang kemampuan pergerakan pasien stroke. Selama delapan minggu dilakukan
teleterapi fisik, pasien menunjukkan perbaikan kemampuan fungsional (misalnya,
mobilitas aman di lingkungan rumah). Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, bahwa
pemulangan dini dari rumah sakit dan selanjutnya dilakukan rehabilitasi di rumah,
memiliki efek menguntungkan pada kualitas hidup pasien dan dapat lebih lanjut
menghasilkan beberapa penghematan sumber daya fasilitas rehabilitasi. Namun, salah
satu kendala yang muncul adalah telerehabilitasi ini memakan banyak waktu operator
yang bekerja di wilayah itu. Tele-rehabilitasi juga merupakan metode yang dapat
diwujudkan dengan interaksi jarak jauh antara pasien dan operator. Telerehabilitasi
membutuhkan biaya yang lebih rendah, karena prosedur ini tidak memerlukan
perpindahan pengguna dari lokasi alami mereka. Di sisi lain, telerehabilitasi
melibatkan alur data yang cukup rumit yang belum terselesaikan yang belum
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
beberapa masalah yang masih menjadi keterbasan dari telerahbilitasi ini.

23
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Simpulan
Perawat sebagai seorang profesional kesehatan memiliki peran yang penting
dalam membantu pasien untuk pulih dari kondisi kecacatan dan keterbatasan yang
dialaminya dengan menjalankan program rehabilitasi. Penggunaan teknologi dan
informasi dapat dimanfaatkan oleh perawat untuk mengoptimalkan perannya
sehingga akan lebih banyak pasien yang dapat dijangkau untuk menjalani program
rehabilitasi. Peningkatan jumlah pasien yang memerlukan perawatan jangka panjang
untuk memperbaiki kerusakan motorik yang dialami pasien pasca stroke, memerlukan
penyikapan dari perawat sebagai seorang profesional kesehatan. Perawat harus terus
mengadaptasikan diri dengan perkembangan teknologi dan informasi khususnya
dalam bidang kesehatan dan keperawatan untuk dapat berperan sebagai seorang
health provider dan menjalin kolaborasi dengan health operator untuk merancang dan
menciptakan telerehabilitasi yang dapat diakses dengan mudah dan terjangkau oleh
pasien-pasien pasca stroke untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.
Telerehabilitasi dapat mendukung keberlanjutan terapi jangka panjang karena
kemudahan untuk diakses dari rumah dan meningkatkan periode latihan pasien dan
konsultasi antara terapis dan pasien serta memungkinkan pasien untuk mengatur
kebutuhan terapi perawatannya sendiri secara mandiri di rumah Beberapa
keterbatasan telerehabilitasi seperti kurangnya interaksi fisik antara terapis dan pasien
dapat diatasi dengan meningkatkan kolaborasi antara teknisi dan praktisi untuk
menciptakan software yang mendukung dan memastikan berlangsungnya mekanisme
alamiah pemulihan otot pasien yang mengalami kecacatan.
4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil dan pembahasan tersebut ialah:
1. Bagi Ilmu Keperawatan
Bagi Ilmu keperawatan disarankan untuk tetap meningkatkan pembelajarannya di
bidang keperawatan keluarga dan program rehabilitasi stroke dengan berfokus pada
dukungan keluarga sehingga dapat menambah pengetahuan dan menerapkannya di
kehidupan nyata karena hubungan dukungan keluarga sangat penting terhadap
kepatuhan rehabilitasi pasien stroke.

24
Perawat sebagai seorang profesional kesehatan memiliki peran yang penting dalam
membantu pasien untuk pulih dari kondisi kecacatan dan keterbatasan yang
dialaminya dengan menjalankan program rehabilitasi. Penggunaan teknologi dan
informasi dapat dimanfaatkan oleh perawat untuk mengoptimalkan perannya sehingga
akan lebih banyak pasien yang dapat dijangkau untuk menjalani program rehabilitasi.
Manfaat yang paling terasa dari penggunaan teknologi informasi sebagai basis
pemberian rehabilitasi akan menembus dimensi jarak yang terkadang menjadi
masalah. Pasien yang tinggal jauh dari pusat rehabilitasi atau sulit menjangkau tempat
rehabilitasi karena kesulitan bepergian akibat keterbatasan mobilitas yang dialaminya.

2. Bagi Pasien
Bagi Pasien ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi pembelajaran
bagi pasien pasca stroke terkait pentingnya untuk selalu patuh dalam mengikuti
rehabilitasi dan memperoleh dukungan dari keluarga saat menjalani rehabilitasi
sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan kondisi kesehatannya menjadi
lebih baik.
3. Bagi Keluarga

Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita stroke


diharapkan dapat dijadikan sebagai kajian serta bahan masukan untuk dapat
memberikan dukungan dan motivasi sehingga pasien menjadi tidak stres dan menjadi
semangat menjalani program rehabilitasinyaPeningkatan jumlah pasien yang
memerlukan perawatan jangka panjang untuk memperbaiki kerusakan motorik yang
dialami pasien pasca stroke, memerlukan penyikapan dari perawat sebagai seorang
profesional kesehatan. Perawat harus terus mengadaptasikan diri dengan
perkembangan teknologi dan informasi khususnya dalam bidang kesehatan dan
keperawatan untuk dapat berperan sebagai seorang health provider dan menjalin
kolaborasi dengan health operator untuk merancang dan menciptakan telerehabilitasi
yang dapat diakses dengan mudah dan terjangkau oleh pasien-pasien pasca stroke
untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.

25
DAFTAR PUSTAKA

Albornos-Muñoz, L., Moreno-Casbas, M.T., Sánchez-Pablo, C., Bays-Moneo, A.,


Fernández-Domínguez, J.C., Rich-Ruiz, M., Gea-Sánchez, M., Rodriguez-Baz, P.,
Skelton, D., Todd, C., Townley, R., Abad-Corpa, E., Pancorbo-Hidalgo, P.L., Caño-
Blasco, Ó., Escandell-García, C., Comino-Sanz, I.M., Cidoncha-Moreno, M.Á., Solé-
Agustí, M., González-Pisano, A.C., Miralles-Xamena, J., Rivera-Álvarez, A., the
Otago Project Working Group Efficacy of the Otago Exercise Programme to reduce
falls in community-dwelling adults aged 65–80 years old when delivered as group or
individual training (2018) Journal of Advanced Nursing, 74 (7), pp. 1700-1711.
Batticca, B. F. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Burdea, G., Popescu, V., Henz, V. and Colbert, K., 2000, Virtual reality based orthopedic
telerehabilitation. IEEE Transactions on Neural Systems and Rehabilitation
Engineering, 8, 430 – 432
Burns, R. B., Crislip, D., Daviou, P., Temkin, A., Vesmarovich, S., Anshutz, J., Furbish, C.
and Jones, M. L., 1998, Using telerehabilitation to support assistive technology.
Assistive Technology, 10, 126 – 133.
Chen, J., Liu, M., Sun, D., Jin, Y., Wang, T., Ren, C. Effectiveness and neural mechanisms of
home-based telerehabilitation in patients with stroke based on fMRI and DTI (2018)
Medicine (United States), 97 (3), art. no. e9605, . Cited 1 time
Edgar, M.C., Monsees, S., Rhebergen, J., Waring, J., Van Der Star, T., Eng, J.J., Sakakibara,
B.M. Telerehabilitation in Stroke Recovery: A Survey on Access and Willingness to
Use Low-Cost Consumer Technologies (2017) Telemedicine and e-Health, 23 (5), pp.
421-429. Cited 7 times.
Minge, M., Ivanova, E., Lorenz, K., Joost, G., Thüring, M., Krüger, J. BeMobil: Developing
a user-friendly and motivating telerehabilitation system for motor relearning after
stroke (2017) IEEE International Conference on Rehabilitation Robotics, art. no.
8009358, pp. 870-875.
S.J. Dawson, P.G. Clark and C. Scheideman-Miller, The new frontier: Telerehabilitation,
Physical Therapy Case Report 3 (1999), 84–90.
Powers.,J., William., et all. (2015). American Heart Association/American Stroke Association
Focused Update of the 2013 Guidelines for the Early Management of Patients With

26
Acute Ischemic Stroke Regarding Endovascular Treatment. AHA Jounals, Vol.46,
No.10.
Palsbo, S. E. and Bauer, D., 2000, Telerehabilitation: managed care’s new opportunity.
Managed Care Quarterly, 8, 56 – 64
Reinkensmeyer, D. J., Pang, C. T., Nessler, J. A. and Painter, C. C., 2002, Webbased
telerehabilitation for the upper extremity after stroke. IEEE Transactions on Neural
Systems and Rehabilitation Engineering, 10, 102 – 108.
Ricker JH. Clinical and methodological considerations in the application of telerehabilitation
after traumatic brain injury: a commentary. NeuroRehabilitation 2003;18:179–81
Riskesdas,. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Retrieved from http://www.depkes.go.id. Diakses
Tanggal 11 November 2015
Russell T, Buttrum P, Wootton R, Jull GA. Low-bandwidth telerehabilitation for patients
who have undergone total knee replacement: preliminary results. J \ Telemed Telecare
2003;9 (Suppl. 2):44–7
Russell TG. Physical rehabilitation using telemedicine. J Telemed Telecare 2007;13:217–20
Smeltzer, C. S., & Bare, G. B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth (8 ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.

27

Anda mungkin juga menyukai