Oleh :
B. Zanuar Ichsan, S. ked
G0005068
G0005089
G0003172
G0004131
Pembimbing :
Prof.Dr.Bambang Soebagyo,dr., Sp.A(K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2010
A. DIARE AKUT
Diare berdasarkan durasinya, dibagi menjadi :
1. Diare akut
: berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari)
2. Diare persisten: berlangsung lebih dari 14 hari
3. Diare kronik : berlangsung lebih dari 14 hari dan intermiten (hilang timbul)
Diare akut merupakan adanya BAB lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan
konsistensi tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah, berlangsung kurang dari 7
hari, secara mendadak. Perubahan konsistensi disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
absorbsi dan sekresi intestinal yang mengakibatkan peningkatan volume air di dalam tinja.
Diare paling lama berlangsung kurang dari 14 hari.
Diare pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dapat didefinisikan sebagai
peningkatan frekuensi BAB atau perubahan konsistensi tinja menjadi cair yang menurut
ibunya abnormal/tidak seperti biasanya.
Penyebab Penyakit Diare:
1. Infeksi
1) Golongan bakteri:
a) Aeromonas
b) Bacillus cereus
c) Campylobacter jejuni
d) Clostridium perfringens
e) Clostridium defficile
f) Eschericia coli
g) Plesiomonas shigeloides
h) Salmonella
i) Shigella
j) Staphylococcus aureus
k) Vibrio cholera
l) Vibrio parahaemolyticus
m) Yersinia enterocolitica
2) Golongan virus:
a)Astrovirus
b)Calcivirus
c)Enteric adenovirus
d)Virus rota
e)Cytomegalovirus*
f) Herpes simplex virus*
3) Golongan parasit
a)Balantidium coli
b)Blastocystis homonis
c)Cryptosporidium parvum
d)Entamoeba histolytica
e)Giardia lamblia
f) Isospora belli
g)Strongyloides stercoralis
h)Trichuris trichiura
*umumnya
berhubungan
imunokompromised.
2. malabsorbsi
3. alergi
4. keracunan
dengan
diare
hanya
pada
penderita
5. imunisasi, defisiensi
6. sebab-sebab lain
B. PERBEDAAN DIARE PADA ROTAVIRUS, SHIGELLA, GIARDIA, KOLERA
DAN AMOEBA
1. DISENTRI BASILER SHIGELLA
a. Etiologi
Spesies shigella merupakan bakteri fakultatif anaerob gram negatif yang
hanya menginfeksi manusia. Morfologi berbentuk batang, gram negatif, ukuran 0,50,7 m x 2-3 m, tidak berflagel. Ada 4 species Shigella yaitu S. dysentriae,
flexneri, bondii dan sonnei. Spesies yang sering menyerang manusia antara lain:
Shigella dysentriae, Shigella sonnei, Shigella flexneri. Namun S. Flexneri
merupakan penyebab tersering dari disentri basilar endemik pada lokasi yang kurang
higien, seperti di negeri berkembang. Keadaan lingkungan yang jelek akan
menyebabkan mudahnya penularan penyakit ini kemana-mana. Shigellosis epidemik
dapat terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan yang tidak dimasak.
Disentri adalah diare yang disertai darah dalam tinja. Sekurangnya 140 juta
kasus dan hanya 600.000 kematian terjadi akibat disentri basilar pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun. Kuman penyakit disentri basilar didapatkan dimana-mana di
seluruh dunia, tetapi kebanyakan di temukan di negara-negara sedang berkembang,
yang kesehatan lingkungannya masih kurang.
b. Patogenesis
Transmisinya secara fekal-oral dan bisa disebabkan oleh sejumlah kecil
organisme yang tertelan ( 10 organisme yang tertelan pada 10% penderita, dan 500
organisme menyebabkan penyakit pada 50% penderita).
Bakteri shigella
menginvasi sel-sel mukosa intestinal, namun tidak selalu melewati lamina propria.
Disentri disebabkan oleh bakteri yang melepaskan diri dari fagolisosom sel epitel,
bermultiplikasi di dalam sitoplasma, dan kemudian menghancurkan sel host. Shiga
toxin manyebabkan kolitis hemoragik dan sindrom heolitik-uremik dengan cara
menghancurkan sel-sel endotel di mikrovastulatur kolon dan glomeruli, secara
berturut-turut. Sebagai tambahan, artritis kronis sekunder karena S. Flexneri, yang
disebut reiter sindrom, dapat disebabkan oleh antigen bakterial, kejadian sindrom ini
sangat kuat berhubungan dengan genotipe HLA-B27, namun basis imunologis reaksi
ini tidak dimengerti.
Patogenesis
terjadinya
diare
oleh
Shigella
terutama
disebabkan
tinja.
Panas tinggi (39,50 - 400 C)
Muntah-muntah.
Anoreksia.
Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB.
Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis
(kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).
Bentuk klinis disentri basilar dapat bermacam-macam dari yang ringan,
sedang sampai yang berat. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya
disebabkan oleh S. dysentriae. Berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air, muntahmuntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik, dan dapat
meninggal bila tidak cepat ditolong. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dapat
berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan. Pada kasus fulminating.
gejalanya timbul mendadak dan berat, dengan pengeluaran tinja yang banyak
berlendir dan berdarah serta ingin berak terus menerus. Akibatnya timbul rasa haus,
kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi
berwarna
kebiruan,
ekstremitas
dingin,
dan
viskositas
darah
meningkat
(hemokonsentrasi).
Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran
tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Di daerah anus terjadi luka dan
nyeri, kadang-kadang timbul prolaps. Bila ada hemorroid yang biasanya tidak timbul
akan menjadi mudah muncul ke luar. Suhu badan biasanya tidak khas biasanya lebih
tinggi dari 390C tetapi bisa juga subnormal. Nadi cepat dan halus, muntah-muntah
dan cegukan jarang. Nyeri otot dan kejang kadang-kadang ada. Perkembangan
selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang bertambah berat, keadaan umum
memburuk, inkontinensia urin dan alvi, gelisah tapi kesadaranmasih tetap baik,
kelainan-kelainan menjadi bertambah berat.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria, dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dantindakan pengobatan.
Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisa, dan keadaan darurat misalnya
kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahanlahan, tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama, penyembuhan yang cepat
jarang terjadi. Bentuk yang sedang, keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya
tidak berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Bentuk yang
ringan keluhan-keluhan atau gejala tersebut diatas lebih ringan. Bentuk ysng
menahun terdapat serangan seperti bentuk akut secara menahun. Bentuk ini jarang
sekali bila mendapat pengobatan yang baik.
d. Diagnosis
Diagnosis klinis disentri didasarkan semata-mata pada terlihatnya darah di
dalam
tinja.
Tinja
mungkin
juga
mengandung
sel-sel
nanah
(lekosit
suhunya rendah, terutama pada kasus-kasus yang berat. Sakit kram di perut dan sakit
di dubur pada waktu defekasi, atau tetanus juga sering terjadi, namun anak kecil
tidak dapat menggambarkan keluhan ini.
Pemeriksaan lain yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis disentri
basilar ialah pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab. Pada
stadium lanjut dilakukan pengerokan daerah sigmoid untuk pemeriksaan sitologi
(sigmoidoskopi). Aglutinasi karena agglutinin terbentuk pada hari kedua dengan
maksimum pada hari keenam. Pada S. dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada
pengenceran 1/50, dan pada S. flexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks, dan oleh
karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.
e. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang berat dan kemungkinan fatal dapat terjadi pada
waktu disentri, terutama bila penyebabnya Shigella. Keadaan ini meliputi :
1) Dehidrasi
2) Gangguan elektrolit, terutama hiponatremia
3) Kejang (dengan atau tanpa hiperpireksia)
4) Protein loosing enteropathy
5) Sepsis dan DIC
6) Sindoma Hemolitik Uremik
7) Malnutrisi/malabsorpsi
8) Hipoglikemia
9) Prolapsus rektum
10) Artritis reaktif
11) Sindroma Guillain-Barre
12) Ameboma
13) Toksik megakolon
14) Perforasi usus
15) Peritonitis
Komplikasi utama disentri adalah kehilangan berat badan dan status gizi
yang dengan cepat memburuk. Hal ini disebabkan oleh anoreksia, kebutuhan badan
terhadap gizi untuk mengatasi infeksi dan memperbaiki kerusakan usus dan
kehilangan protein melalui jaringan yang rusak (misal : hilangnya protein karena
enteropati). Kematian karena disentri biasanya disebabkan oleh kerusakan pada
ileum dan kolon, komplikasi sepsis, infeksi sekunder (misal : pneumonia) atau gizi
buruk. Anak yang baru sembuh dari disentri juga meningkat resiko kematiannya
karena infeksi lain, disebabkan buruknya status gizi atau turunnya imunitas.
f. Terapi
Anak dengan disentri basilar harus dicurigai karena Shigellosis dan diberi
pengobatan yang sesuai. Ini disebabkan karena kira-kira 60% kasus disentri yang
datang ke sarana kesehatan dan hampir semua kasus berat dan mengancam
kehidupan adalah disebabkan Shigella. Empat komponen kunci pengobatan disentri
adalah
1) Koreksi dan maintenance cairan dan elektrolit
2) Penilaian dan koreksi terhadap status hidrasi dan keseimbangan elektrolit.
Seperti halnya pada kasus diare akut secara umum, ini merupakan hal pertama
yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan disentri setelah keadaan stabil.
3) Diet. Anak dengan disentri harus diteruskan pemberian makanannya. Berikan
diet lunak tinggi kalori dan protein untuk mencegah malnutrisi. Dosis tunggal
tinggi vitamin A (200.000 IU) dapat diberikan untuk menurunkan tingkat
keparahan disentri, terutama pada anak yang diduga mengalami defisiensi.
Untuk mempersingkat perjalanan penyakit, dapat diberikan sinbiotik dan
preparat seng oral. Dalam pemberian obat-obatan, harus diperhatikan bahwa
obat-obat yang memperlambat motilitas usus sebaiknya tidak diberikan karena
adanya resiko untuk memperpanjang masa sakit.
4) Antibiotika
a) Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis dan mendapatkan
terapi yang sesuai. Pengobatan dengan antibiotika yang tepat akan
mengurangi masa sakit dan menurunkan resiko komplikasi dan kematian.
b)Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimokasazol
(trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari) dibagi
dalam 2 dosis, selama 5 hari.
c) Dari hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan manfaat pemberian
kotrimoksazol dibandingkan placebo10.
d)Alternatif yang dapat diberikan :
e) Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit dan
darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll. Bila dalam 2
hari tidak terjadi perbaikan, antibiotik harus dihentikan dan diganti dengan
alternatif lain.
f) Terapi antiamubik diberikan dengan indikasi :
mikroskopis tinja.
Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturutturut (masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif
untuk disentri basiler.
ukuran 20-40 m.
ektoplasma bening homogen pada tepi sel dan terlihat nyata.
endoplasma berbutir halus dan tidak mengandung bakteri/sisa makanan,
ukuran 10-20 m
dan
ukuran 10-20 m
sebagai bentuk dorman pertahanan terhadap lingkungan, dapat hidup lama
luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standar di
mati pada suhu 50C atau dalam keadaan kering. Bentuk trofozoitnya terdiri dari 2
macam, trofozoit komensal (<10 m) dan trofozoit patogen (>10 m).
Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini
masih belum diketahui dengan pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh penderita,
sifat keganasan (virulensi) amoeba maupun lingkungannya mempunyai peran. Sifat
keganasan amoeba ditentukan oleh strainnya. Strain amoeba di daerah tropis
ternyata lebih ganas daripada strain di daerah sedang. Akan tetapi sifat keganasannya
tersebut tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan lingkungan mengizinkan.
Ameba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang
dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus
amoeba sangat khas yaitu lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan
submukosa dan muskularis melebar
permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal.
Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan
muskular akan terjadi perforasi dan peritonitis.
d. Gejala Klinis
Berdasarkan berat ringannya gejala klinis yang ditimbulkan maka amoebiasis
dapat dibagi menjadi :
1)
2)
3)
4)
5)
kejang
Diare ringan 4-5 kali sehari
Tinja berbau busuk
Kadang tinja bercampur darah dan lendir
Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid
Tanpa atau disertai demam ringan (subfebril)
Kadang-kadang disertai hepatomegali
Amebiasis intestinal sedang (disentri amoeba sedang)
Keluhan dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi
penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, dengan ciri-ciri :
Tinja disertai darah dan lendir
Perut kram
Demam dan lemah badan
Hepatomegali yang nyeri ringan
Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berat lagi, yaitu dengan ciri-ciri :
Diare disertai darah yang banyak
Diare >15 kali per hari
Demam tinggi (400C-40,50 C)
Mual dan anemia
Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi
karena dapat mengakibatkan perforasi usus
Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare
diselingi periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Penderita biasanya menunjukkan
gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan,
demam atau makanan yang sukar dicerna.
e. Diagnosis
Amoebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari irritable bowel
syndrom, divertikulitis, enteritis regional dan hemorroid interna, sedang disentri
amoeba sukar dibedakan dengan disentri basilar (Shigellosis) atau Salmonellosis,
kolitis ulserosa dan skistosomiasis. Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja penderita
amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri.
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan apabila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan
tetapi
dengan
diketemukan
ameba
tersebut
tidak
berarti
menyingkirkan
Leukositosis
2) Adanya trofozoit atau kista di dalam feses atau trofozoit di dalam pus
g. Komplikasi
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun
ringan. Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi menjadi :
1)
2)
Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ameboma
Intususepsi
Komplikasi Ektra Intestinal
Amebiasis hati
Amebiasis pleuropulmonal
Abses otak, limpa, dan organ lain
Amoebiasis kulit
h. Terapi
Amoeba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam dinding usus,
maupun di luar usus. Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di
semua tempat tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena itu sering
digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan.
1)
Paromomycin
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari
Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa usus besar,
walaupun tidak mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dianjurkan untuk
menambah amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisid jaringan yang
dapat dipakai adalah :
Klorokin difosfat (chloroquin diphosphate)
Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian dilanjutkan 2 x
250 mg, selama 7-12.
Metronidazol
Tinidazol
Omidazol
Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari
Ketiga obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat
bekerja baik di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri
kepala.Tidak dianjurkan yang mengidap penyakit darah, juga pada ibu hamil
karena bersifat karsinogenik dan teratogenik serta dapat mengakibatkan mutasi
2)
bakteri.
Amebiasis intestinal ringan sedang
Penderita akan mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat,
sehingga tidak memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah. Oleh
karena didapatkan trofozoit di dalam lumen usus besar, maka sebagai obat
Metronidazol
pilihan adalah :
Dosis 3 x 750 mg sehari, selama 5-10 hari
Tinidazol
Imidazol
3)
meninggal mendadak.
Amoebiasis Ektraintestinal dan Ameboma
Penderita abses hati ameba dapat diberi :
Metronidazol
Dosis 35-50 mg/kg BB atau 3x 500 mg sehari, selama 5 hari
Tinidazol
Dosis 50 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 2 3 hari
Omidazol
Dosis 50-60 mg/kgBB atau 2 mg sehari, selama 3 hari
Klorokindifosfat
Dosis 1 g sehari, selama 1-2 hari, dilanjutkan dengan 600 mg sehari,
4)
selama 4 minggu.
Masing-masing obat tersebut perlu ditambah dehidroemetin atau
emetin dengan dosis seperti tersebut diatas selama 10 hari. Kadang-kadang
apabila abses hati sangat besar sukar sembuh. Perlu dipertimbangkan tindakan
pungsi
abses,
untuk
mempercepat
penyembuhan.
Pada
amoebiasis
Peranan utama Rotavirus sebagai penyebab diare, belum diketahui secara luas oleh
Instansi Kesehatan khususnya di negara berkembang. Hampir setiap anak terinfeksi
virus ini pertama kali pada umur 5 tahun. Rotavirus menjadi penyebab utama diare
yang berat pada bayi dan anak-anak, yakni sekitar 20 % kasus dan 50% penyebab
perawatan di rumah sakit. Anak laki-laki mempunyai resiko 2 kali lebih besar untuk
di rawat di rumah sakit daripada anak perempuan.
Pada negara dengan 4 musim, infeksi Rotavirus terjadi pada musim dingin,
sedangkan pada negara dengan iklim tropis infeksi Rotavirus ini dapat terjadi
sepanjang tahun, perbedaan ini dipengaruhi oleh suhu udara dan kelembaban.
Jumlah yang diperlukan untuk mengkontaminasi makanan tidak diketahui.
Kejadian luar biasa diare Rotavirus sering terjadi pada bayi yang dirawat di
rumah sakit, anak kecil yang dititipkan, orang dewasa yang dirawat di rumah.
Kejadian luar biasa ini biasanya disebabkan oleh karena kontaminasi air, seperti
yang terjadi di Colorado pada tahun 1981. Sampai tahun 2005 tercatat kejadian luar
biasa diare Rotavirus terbesar terjadi di Nicaragua. Hal ini terjadi oleh karena diduga
adanya mutasi gen rotavirus A, sehinngga tidak dikenali oleh sistem imun tubuh
yang lama. Kejadian luar biasa yang hampir sama juga terjadi di Brazil pada tahun
1977.
Rotavirus B juga disebut sebagai adult diarrhea Rotavirus (ADRV), menjadi
penyebab terjadinya kejadian diare luar biasa yang berat pada ribuan orang dalam
berbagai umur di China. Kejadian epidemik ini terjadi oleh karena kontaminasi air
minum. Infeksi Rotavirus B ini juga terjadi di India pada tahun 1998, strain
penyebabnya dinamakan CAL. Tidak seperti ARDV, strain baru bernama CAL
sifatnya epidemik di China, tetapi hasil survey melaporkan adanya penyebaran ke
Amerika.
Infeksi Rotavirus C sangat jarang menimbulkan diare pada anak di sebagian
besar negara, namun demikian kejadian luar biasa infeksi Rotavirus C ini pernah
dilaporkan terjadi di Jepang dan Inggris.
c. Transmisi
Penularan dapat terjadi melalui jalur fekal-oral, kontak dengan tangan, atau
benda yang terkontaminasi, dan juga melalui inhalasi. Feces orang yang terinfeksi
dapat mengandung 10 triliun virus per gramnya. Hanya 10-100 virus yang
diperlukan untuk menginfeksi orang lain.
Rotavirus sangat stabil pada lingkungan biasa dan dapat ditemukan sebanyak
1-5 partikel infeksius per US gallon. Sanitasi yang baik, yang bebas dari bakteri dan
kuman juga tidak efektif untuk mengeliminasi rotavirus, sebagai bukti jumlah
infeksi rotavitus pada negara dengan standar sanitasi yang tinggi ataupun rendah
sama saja.
d. Patogenesis
Diare disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan virus. Malabsorbsi terjadi
oleh karena kerusakan sel usus (enterocyt). Racun yang diprosuksi Rotavirus berupa
protein NSP4 menyebabkan sekresi ion kalsium, mengganggu SGLT1 dalam proses
reabsorbsi air, menghambat aktivitas membran silia disakarida, dan kemungkinan
mengganggu
reflek
simpatis
parasimpatis
usus.
Enterocyt
yang
sehat
mengsekresikan lactase ke usus kecil, intoleransi susu dapat terjadi oleh karena
defisiensi lactase dan menjadi gejala khas dari infeksi rotavirus ini, dan kondisi ini
dapat berlangsung sampai satu minggu. Diare sedang yang berulang oleh karena
pengenalan susu buatan pada anak terjadi oleh karena fermentasi disakarida laktosa
oleh bakteri di usus.
e. Gejala Klinis
Gejala yang didapatkan pada gastroenteritis oleh karena rotavirus antara lain
dapat berupa muntah, diare air, dan demam sumer-sumer. Ketika seorang anak
terinfeksi virus ini perlu waktu inkubasi selama kurang lebih 2 hari sebelum
timbulnya gejala klinis. Dehidrasi lebih sering terjadi pada infeksi rotavirus daripada
oleh karena bakteri patogen, dan menjadi penyebab kematian tersering oleh karena
infeksi rotavirus ini.
Infeksi rotavirus dapat terjadi seumur hidup, infeksi pertama kali
menimbulkan gejala, namun infeksi berikutnya tidak menimbulkan gejala oleh
karena adanya peningkatan sistem imunitas tubuh. Oleh karena itu, infeksi dengan
manifestasi klinis terbanyak pada usia di bawah 2 tahun dan menurun sampai dengan
usia 45 tahun. Infeksi pada neonatus biasanya asimtomatik atau infeksi sedang,
infeksi yang berat biasanya pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun, juga pada anak
yang lebih tua dengan imunokompromis. Oleh karena imunitas yang didapat pada
waktu anak, orang dewasa kebal terhadap infeksi rotavirus, diare pada dewasa lebih
sering disebabkan hal lain, selain rotavirus, akan tetapi infeksi asimtomatik pada
dewasa ini dapat menjadi sumber penularan. Infeksi simptomatis pada dewasa dapat
disebabkan rotavirus tipe A dengan serotipe yang lain.
f. Diagnosis
Diagnosis infeksi Rotavirus normalnya mengikuti diagnose gastroenteritis
yang menyebabkan diare berat. Kebanyakan anak yang masuk rumah sakit dengan
gastroenteritis diperiksa untuk infeksi Rotavirus A. Diagnosis yang lebih spesifik
dengan mengidentifikasi virus pada tinja pasien dengan menggunakan teknik enzim
immunoassay. Ada banyak alat test berlisensi yang beredar di pasaran, yang sensitif,
spesifik dan dapat mendeteksi semua serotype Rotavirus A. Metode lain,
menggunakan mikoroskop elektron, dan elektroporesis policrylamide gel, digunakan
pada laboratorium penelitian. Reverse transcription-polymerase chain reaction (RTPCR) dapat mendeteksi dan mengidentifikasi semua spesies dan serotype Rotavirus
pada manusia.
g. Terapi
Penatalaksanaan infeksi Rotavirus akut tidak spesifik, meliputi terapi gejala
yang ada, dan sangat penting untuk mengatasi dehidrasinya. Berdasarkan berat
ringannya diare, terapi meliputi oral rehidrasi baik dengan air putih, air dengan
garam, atau air dengan garam dan gula. Pada beberapa infeksi yang berat dengan
kondisi yang mengkhawatirkan perlu dirawatinapkan, sehingga
cairan dapat
diberikan secara intravena, ataupun melalui nasogastric tube, selain itu kadar
elektrolit, dan gula dapat terus dimonitor dengan baik.
4. GIARDIASIS
a. Etiologi
Giardiasis disebabkan oleh Giardia lamblia. Transmisinya secara fekal-oral.
Terdapat 2 stadium dalam daur hidupnya, yaitu:
1) Bentuk tropozoit
Pear shape (Bentuk tropozoit bilateral simetris seperti buah jambu monyet yang
bagian anteriornya membulat dan bagian posteriornya meruncing. Permukaan
2)
b. Epidemiologi
Manusia adalah hospes alamiah Giardia lamblia. Spesies Giardia dengan
morfologi yang sama ditemukan pada berbagai hewan. Parasit ini tersebar
kosmopolit, prevalensinya 2-25% atau lebih, tergantung dari golongan umur yang
diperiksa dan sanitiasi lingkungan. Lebih sering ditemukan di daerah beriklim panas
daripada di daerah beriklim dingin. Parasit ini juga ditemukan di Indonesia.
Prevalensi yang pernah ditemukan di Jakarta ialah 4,4%. Prevalensinya di Jakarta
antara tahun 1983 dan 1990 adalah sebesar 2,9% (194 positif dari 6810 sampel tinja
yang dikirim ke bagian Parasitologi FKUI dari penderita di Jakarta).
Transmisi terjadi dengan tertelannya kista matang. Makanan dan minuman
yang terkontaminasi dengan tinja, juga lalat atau penjaja makanan merupakan
sumber infeksi, tetapi kadang-kadang transisi terjadi karena kontak langsung antara
individu yang terinfeksi dengan individu yang tidak terinfeksi seperti pada infeksi
cacing kremi (hand-to-mouth).
diare yang encer, berbau tidak enak, dan banyak. Nyeri perut dan buang angina.
Stadium ini berlangsung 3-4 hari. Jika tidak diobati maka gejala akan menetap
sampai beberapa bulan. Giardiasis kronis dapat menyebabkan malabsorbsi. Gejala
giardiasis bervariasi dari orang ke orang, tergantung ukuran tempat melekat parasit,
lama infeksi, dan faktor pejamu, individu dan parasit.
e. Diagnosis
Gejala klinis giardiasis tidak khas. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan
bentuk tropozoit dalam tinja encer dan cairan duodenum dan bentuk kista dalam tinj
padat. Dalam sediaan basah dengan larutan iodin atau dalam sediaan yang dipulas
dengan trikom. Morfologi G.lamblia dapat dibedakan dengan jelas dari protozoa
lain. Tropozoit hanya dapat ditemukan dalam tinja segar, sebelum tropozoit
mengalami disintegrasi. Teknik konentrasi dapat meningkatkan penemuan kista.
Dengan enterotest harus ditelan kapsul gelatin, kemudian mukus usus yang
menempel pada kapsul dapat diperiksa secara mikroskopik. Tetapi ditemukannya
parasit ini belum membuktikannya sebagai penyebab gejala duodenitis. Tukak
lambung, karsinoma, strongloidiasis dan gastroenteritis oleh sebab lain harus
disingkirkan dahulu.
f.
Komplikasi
1) Gangguan Gatrointestinal, seperti Irritable Bowel Syndrome dan disfungsi saluran
empedu
2) Manifestasi Ekstraintestinal
3) Arthritis
4) Manifestasi Dermatologi, berupa pruritus dan urtikaria
5) Manifestasi Okuler, berupa uveitis, retinal arteritis, dan perubahan salt and
pepper pada retina.
g. Pengobatan
Giardiasis dapat diobati dengan metronidazol yang jarang menimbulkan efek
samping. Dosis untuk dewasa adalah 3 x 250 mg sehari selama 7hari, dosis anak
disesuaikan dengan umur.
h. Prognosis
Prognosis giardiasis adalah baik bila pengobatannya tepat dan disertai
perbaikan lingkugan dan sanitasi.
5. DISENTRI KOLERA
a. Etiologi
Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Vibrio cholerae. Vibrio
cholerae merupakan kuman aerob gram negative dengan ukuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4
mm, mudah ditemukan dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnaan gram sebagai
batang-batang pendek sedikit pendek (koma), tersusun berkelompok seperti
gerombolan ikan. Terdapat 2 biotipe yaitu klasik dan El Tor. Tiap biotipe dibagi
menjadi 2 serotipe yaitu inawa dan ogawa. Diagnosis presumtit dengan mikroskop
fluoresensi dengan memakai antibodi tipe spesifik yang telah dilabeli dengan
fluoresen. Kuman kolera tumbuh cepat dalam berbagai media selektif seperti agar
empedu, agar thiosufate-citrate-bile salt-sucrose (TCBS). Dalam medium ini koloni
vibrio tampak berwarna kuning suram. Identifikasi V. cholera biotipe El Tor penting
untuk tujuan epidemiologis.
b. Epidemiologi
Kolera dapat menyebar sebagai penyakit endemik, epidemik dan pandemik.
Sejak tahun 1917 dikenal 7 pandemi yang penyebarannya bahkan mencapai eropa.
Vibrio yang bertanggungjawab terjadinya pandemik ke-7 yaitu vibrio cholera O1,
biotipe El Tor. Pandemi ke -7 diawali dengan epidemi terjadi di Indonesia terjadi
tahun 1961 di sulawesi. Sampai tahun 1992 hanya serotipe V. cholera tipe O1 yang
menyebabkan epidemi. Pandemi ke-8 terjadi di bangladesh yang diakibatkan oleh V.
cholera O139.
c. Patogenesis
Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila berhasil melalui pertahanan primer
dalam mulut bakteri ini akan cepat mati oleh karena asam lambung yang tidak di
encerkan. Jika V. Cholera dapat melewati asam lambung dia akan berkembang di
usus halus. Suasana alkali usus halus merupakan medium yang menguntungkan bagi
vibrio untuk hidup dan memperbanyak diri.
Penempelan vibrio pada usus halus dapat terjadi karena adanya membran
protein terluar dan adhesi flagella. V. cholera merupakan bakteri yang invasif,
patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin
pada sel epitel duodenum dan jejunum sehingga menyebabkan hilangnya cairan dan
elektrolit secara masif.
Toksin kolera mengandung dua sub unit yaitu B (binding) dan A (active). Sub
unit B terikat pada gangliosid monosialosil yang spesifik, reseptor GM1 yang
terdapat pada sel epitel usus halus sehingga sub unit A dapat menembus membrane
sel epitel. Sub unit tersebut memiliki akifitas adenosine diphosphate (ADP)
ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari nicotinamide-adenine
dinucleotide (NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang
mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi
cAMP, yang menghambat absorbsi Nacl dan merangsang ekskresi klorida yang
menyebabkan hilangnya air, Nacl, kalium dan bikarbonat.
Toksin-toksin tambahan yang diketahui terlibat pada patogenesis kolera yaitu
Zonula Ocludens Toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa usus halus dengan
mempengaruhi struktur tight junction interseluler dan Accessory cholera exotoxin
(Ace) yang meningkatkan transpor ion transmembran.
Figure 17-32 Mechanisms of cholera toxin action.
d. Gejala Klinis
Kolera dikenal dengan manifestasi diare disertai muntah akut dan hebat
akibat enterotoksin yang dihasilkan kuman tersebut. Manifestasi klinis khasnya bisa
mengakibatkan dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan asidosis
metabolik yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat akibat diare sekretorik dan
dapat berakhir kematian.
Masa inkubasi kolera berlangsung antara 16-72 jam. Gejala klinis kolera
bervariasi mulai dari asimtomatik sampai dehidrasi berat. Gejala klinis khasnya
ditandai dengan diare encer dan banyak tanpa didahului rasa mulas maupun
tenesmus. Feces berupa cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau
busuk, ataupun amis tapi manis menusuk. Muntah timbul setelah diare tanpa
didahului mual, kejang otot dapat menyusul baik dalam bentuk fibrilasi maupun
fasikulasi, maupun kejang klonik yang mengganggu. Kejang otot ini disebabkan
karena berkurangnnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuskular.
Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan elektrolit serta asidosis.
Pasien dalam keadaan lemah lunglai, namun kesadaran relatif baik di banding
dengan berat penyakitnya. Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, nadi cepat, napas
lebih cepat, suara serak seperti bebek manila (vox cholerica), turgor kulit menurun,
bibir kering, perut cekung (skafoid), suara peristaltik menurun,ujung jari keriput
(washer woman hand), diuresis berangsur berkurang berakhir dengan anuria.
e. Diagnosis
Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan bakteriologis. Tidak sukar
menegakkan diagnosis kolera berat, terutama di daerah endemik. Kesulitan
menentukan diagnosis biasanya teradi pada kasus ringan dan sedang, terutama diluar
endemik atau epidemik. Kolera yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala
diare sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului rasa mual, cairan
tinja seperti air cucian beras, suhu badan tetap normal atau menurun, dan keadaan
bertambah buruk secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, renjatan sirkulasi
dan asidosis.
Bila gambaran klinis menunjukkan dugaan yang kuat ke arah penyakit ini,
pengobatan harus segera dimulai, tanpa menunggu pemeriksaan bakteriologis. Diare
sekretorik lain dengan gambaran klinis mirip dengan kolera, dapat disebabkan oleh
Enterotoxigenic Eschericia coli (ETEC).
Jika tinja segar pasien kolera yang tanpa pewarnaan diamati dibawah
mikroskop lapangan gelap, akan tampak mikroorganisme berbentuk spiral yang
memiliki pola motilitas seperti shooting star. Untuk pemeriksaan biakan, cara
pengambilan bahan pangambilan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal
(rectal swab) yang diawetkan dalam media transport carry-blair atau pepton alkali,
atau langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan presentase hasil positif
yang tinggi.
f. Terapi
Dengan diketahui patogenesis dan patofisiologi penyakit kolera saat ini tidak
ada masalah dengan pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi
simtomatik dan kasual secara simultan. Tata laksana mencakup penggantian
kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan
bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan, kemih, keringat, dan
kehilangan insensibel), serta terapi antimikrobial.
Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap yaitu terapi rehidrasi dan rumatan.
Pada dehidrasi yang disertai renjatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau
dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan
rehidrasi harus secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan rehidrasi dapat
secara peroral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS).
Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya dengan cairan rehidrasi oral
baik pada kasus dehidrasi berat, sedang, maupun ringan.
DAFTAR PUSTAKA