Chapter II 8
Chapter II 8
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sabun
2.1.1 Pengertian Sabun
Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi,
terdiri dari dua komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16 dan
sodium atau potasium. Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi
kimia antara kalium atau natrium dengan asam lemak dari minyak nabati atau
lemak hewani. Sabun yang dibuat dengan NaOH dikenal dengan sabun keras
(hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dengan KOH dikenal dengan sabun
lunak (soft soap). Sabun dibuat dengan dua cara yaitu proses saponifikasi dan
proses netralisasi minyak. Proses saponifikasi minyak akan memperoleh produk
sampingan yaitu gliserol, sedangkan proses netralisasi tidak akan memperoleh
gliserol. Proses saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali,
sedangkan proses netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan alkali
(Qisti, 2009).
Sabun merupakan senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti
natrium stearat, C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan
dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan
dari air. Konsep ini dapat di pahami dengan mengingat kedua sifat dari anion
sabun (Achmad, 2004).
4
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan selain meminyaki kulit juga dapat menstabilkan busa dan berfungsi
sebagai peramas (plasticizers) (Wasitaatmadja, 1997).
c. Antioksidan dan Sequestering Agents
Antioksidan adalah senyawa atau zat yang dapat menghambat, menunda,
mencegah, atau memperlambat reaksi oksidasi meskipun dalam konsentrasi yang
kecil. Untuk menghindari kerusakan lemak terutama bau tengik, dibutuhkan
bahan penghambat oksidasi, misalnya stearil hidrazid dan butilhydroxy toluene
(0,02%-0,1%). Sequestering Agents dibutuhkan untuk mengikat logam berat yang
mengkatalis oksidasi EDTA. EHDP (ethanehidroxy-1-diphosphonate) (Anonimb,
2013; Wasitaatmadja, 1997).
d. Deodorant
Deodorant adalah suatu zat yang digunakan untuk menyerap atau
mengurangi bau menyengat. Deodorant dalam sabun mulai dipergunakan sejak
tahun 1950, namun oleh karena khawatir efek samping, penggunaannya dibatasi.
Bahan yang digunakan adalah TCC (trichloro carbanilide) dan 2-hidroxy 2,4,4trichlodiphenyl ester (Anonimc, 2013; Wasitaatmadja, 1997).
e. Warna
Kebanyakan sabun toilet berwarna cokelat, hijau biru, putih, atau krem.
Pewarna sabun dibolehkan sepanjang memenuhi syarat dan peraturan yang ada,
pigmen yang digunakan biasanya stabil dan konsentrasinya kecil sekali (0,010,5%). Titanium dioksida 0,01% ditambahkan pada berbagai sabun untuk
6
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan efek berkilau. Akhir-akhir ini dibuat sabun tanpa warna dan
transparan (Wasitaatmadja, 1997).
f. Parfum
Isi sabun tidak lengkap bila tidak ditambahkan parfum sebagai pewangi.
Pewangi ini harus berada dalam pH dan warna yang berbeda pula. Setiap pabrik
memilih bau dan warna sabunbergantung pada permintaan pasar atau masyarakat
pemakainya. Biasanya dibutuhkan wangi parfum yang tidak sama untuk
membedakan produk masing-masing (Wasitaatmadja, 1997).
g. Pengontrol pH
Penambahan asam lemak yang lemah, misalnya asam sitrat, dapat
menurunkan pH sabun (Wasitaatmadja, 1997).
h. Bahan tambahan khusus
Menurut Wasitaatmadja (1997), berbagai bahan tambahan untuk memenuhi
kebutuhan pasar, produsen, maupun segi ekonomi dapat dimasukkan ke dalam
formula sabun. Dewasa ini dikenal berbagai macam sabun khusus, misalnya:
1. Superfatty yang menambahkan lanolin atau paraffin.
2. Transparan yang menambahkan sukrosa dan gliserin.
3. Deodorant, yang menambahkan triklorokarbon, heksaklorofen, diklorofen,
triklosan, dan sulfur koloidal.
4. Antiseptik (medicated = carbolic) yang menambahkan bahan antiseptic,
misalnya: fenol, kresol, dan sebagainya.
5. Sabun bayi yang lebih berminyak, pH netral, dan noniritatif.
7
Universitas Sumatera Utara
6. Sabun netral, mirip dengan sabun bayi dengan konsentrasi dan tujuan yang
berbeda.
7. Apricot, dengan sabun menambahkan apricot atau monosulfiram.
2.1.3 Fungsi Sabun
Fungsi sabun dalam anekaragam cara adalah sebagai bahan pembersih.
Sabun menurunkan tegangan permukaan air, sehingga memungkinkan air itu
membasahi bahan yang dicuci dengan lebih efektif, sabun bertindak sebagai suatu
zat pengemulsi untuk mendispersikan minyak dan gemuk; dan sabun teradsorpsi
pada butiran kotoran (Keenan, 1980).
Kotoran yang menempel pada kulit umumnya adalah minyak, lemak dan
keringat. Zat-zat ini tidak dapat larut dalam air karena sifatnya yang non polar.
Sabun digunakan untuk melarutkan kotoran-kotoran pada kulit tersebut. Sabun
memiliki gugus non polar yaitu gugus R yang akan mengikat kotoran, dan gugus
COONa yang akan mengikat air karena sama-sama gugus polar. Kotoran tidak
dapat lepas karena terikat pada sabun dan sabun terikat pada air (Qisti, 2009).
2.1.4 Efek Samping Sabun pada Kulit
Sabun digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit baik berupa
kotoran yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak. Namun dengan
penggunaan sabun kita akan mendapatkan efek lain pada kulit, pembengkakan
dan
pengeringan
kulit,
denaturasi
protein
dan
ionisasi,
antimikrobial,
8
Universitas Sumatera Utara
sintetik sudah jauh berkurang karena sabun sintetik memakai berbagai bahan
yang tidak alkalis. Berbagai penelitian mengenai daya iritasi sabun pada kulit
akibat pH sabun yang tinggi telah banyak dilakukan. Pada tahun-tahun terakhir
beberapa peneliti membuktikan bahwa sifat iritasi sabun berada di kulit setelah
dibilas dan bagaimana absorpsi kulit terhadap sabun (Wasitaatmadja, 1997).
b. Daya Pembengkakan dan Pengeringan Kulit
Kontak air (pH) pada kulit yang lama akan menyebabkan lapisan tanduk
kulit membengkak akibat kenaikan permeabilitas kulit terhadap air. Cairan yang
mengandung sabun dengan pH alkalis akan mempercepat hilangnya mantel asam
pada lemak kulit permukaan sehingga pembengkakan kulit akan terjadi lebih
cepat. Marchionini dan Schade (1928), yang meneliti hal tersebut menyatakan
bahwa kelenjar minyak kulit berperan dalam membentuk keasaman kulit dengan
pembentukan lapisan lemak permukaan kulit yang agak asam. Seperti air dan
9
Universitas Sumatera Utara
sabun, deterjen sintetik juga dapat mengganggu lapisan lemak permukaan kulit
yang agak asam. Seperti air dan sabun, deterjen sintetik juga dapat mengganggu
lapisan lemak permukaan kulit dalam kapasitas yang lebih kecil. Besarnya
kerusakan lapisan lemak kulit yang terjadi bergantung pada: temperatur,
konsentrasi, waktu kontak, dan tipe kulit pemakai. Kerusakan lapisan lemak kulit
dapat meningkatkan permeabilitas kulit sehingga mempermudah benda asing
menembus ke dalamnya. Bergantung pada lama kontak dan intensitas
pembilasan, maka cairan sabun dapat diabsorpsi oleh lapisan luar kulit sehingga
dapat tetap berada di dalam kulit sesudah dibilas. Kerusakan lapisan lemak kulit
dapat menambah kekeringan kulit akibat kegagalan sel kulit mengikat air.
Pembengkakan kulit inisial akan menurunkan pula kapasitas sel untuk menahan
air sehingga kemudian terjadi pengeringan yang akan diikuti oleh kekenduran dan
pelepasan ikatan antarsel tanduk kulit. Kulit tampak kasar dan tidak elastis.
Terjadi pula peningkatan permeabilitas stratum korneum terhadap larutan kimia
yang iritan. Inilah yang sering dirasakan pada kulit oleh mereka yang sering dan
lama berhubungan dengan deterjen (rasa deterjen). Penambahan sabun/deterjen
dengan
bahan-bahan
pelumas
(superfatty)
dapat
mengurangi
efek
ini
(Wasitaatmadja, 1997).
c. Daya Denaturasi Protein dan Ionisasi
Reaksi kimia sabun dapat mengendapkan ion kalsium (K) dan magnesium
(Mg) di lapisan atas kulit. Pada kulit yang kehilangan lapisan tanduk,
pengendapan K+ dan Mg+ akan mengakibatkan reaksi alergi. Pengendapan K+ dan
Mg+ di atas lapisan epidermis akan menutup folikel rambut dan kelenjar palit
10
Universitas Sumatera Utara
sehingga menimbulkan infeksi oleh kuman yang larut dalam minyak. Berbeda
dengan sabun, deterjen sintetik tidak menimbulkan pengendapan itu, namun
iritasi kulit dapat terjadi karena adanya gugus SH akibat denaturasi keratin. Pada
keratin normal tidak ada gugus merkapto (SH) bebas, dan adanya deterjen dapat
melepas gugus ini dari sistein dan sistin (Wasitaatmadja, 1997).
d. Daya Antimikrobial
Sabun yang mengandung surfaktan, terutama kation, mempunyai daya
antimikroba, apalagi bila ditambah bahan antimikroba. Daya antimikroba ini
terjadi pula akibat kekeringan kulit, pembersihan kulit, oksidasi di dalam sel
keratin, daya pemisah surfaktan, dan kerja mekanisme air (Wasitaatmadja, 1997).
e. Daya Antiperspirasi
Kekeringan kulit juga dibantu oleh penekanan perspirasi. Pada percobaan
dengan larutan natrium lauril sulfat, didapat penurunan produksi kelenjar keringat
antara 25-75% (Wasitaatmadja, 1997).
f.
Lain-lain
Efek samping lain berupa dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak
11
Universitas Sumatera Utara
dengan intensitas yang bervariasi. Reaksi alergi terhadap deterjen sintetik lebih
jarang, lebih mungkin terjadi secara kumulatif akibat penggunaan yang berulang
pada kulit yang sensitif (Wasitaatmadja, 1997).
2.1.5 Proses Pembuatan Sabun
Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu:
1. Saponifikasi
Saponifikasi melibatkan hidrolisis ikatan ester gliserida yang menghasilkan
pembebesan asam lemak dalam bentuk garam dan gliserol. Garam dari asam
lemak berantai panjang adalah sabun (Stephen, 2004).
Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut:
2. Netralisasi
Netralisasi adalah proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak
atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau
pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (Ketaren, 2008).
Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut:
12
Universitas Sumatera Utara
3RCO2Na + C3H5(OH)3
Basa
Sabun
Gliserol
13
Universitas Sumatera Utara
Uraian
Satuan
Tipe I
Tipe II
Superfat
1.
Kadar air
maks. 15
maks. 15
maks. 15
2.
Jumlah asam
> 70
64 70
> 70
maks. 0,1
maks. 0,1
maks. 0,1
maks. 0,14
maks. 0,14
maks. 0,14
< 2,5
< 2,5
2,5 7,5
negatif
negatif
Negatif
lemak
3.
Alkali bebas
-
Dihitung
sebagai NaOH
Dihitung
sebagai KOH
4.
5.
Minyak mineral
14
Universitas Sumatera Utara
dihasilkan cukup keras sehingga lebih efisien dalam pemakaian dan sabun tidak
mudah larut dalam air. Kadar air akan mempengaruhi kekerasan dari sabun
(Qisti, 2009).
2. Jumlah Asam Lemak
Jumlah asam lemak merupakan jumlah total seluruh asam lemak pada
sabun yang telah atau pun yang belum bereaksi dengan alkali. Sabun yang
berkualitas baik mempunyai kandungan total asam lemak minimal 70%, hal ini
berarti bahan-bahan yang ditambahkan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan
sabun kurang dari 30%. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi proses
pembersihan kotoran berupa minyak atau lemak pada saat sabun digunakan.
Bahan pengisi yang biasa ditambahkan adalah madu, gliserol, waterglass, protein
susu dan lain sebagainya. Tujuan penambahan bahan pengisi untuk memberikan
bentuk yang kompak dan padat, melembabkan, menambahkan zat gizi yang
diperlukan oleh kulit (Qisti, 2009).
3. Alkali Bebas
Alkali bebas merupakan alkali dalam sabun yang tidak diikat sebagai
senyawa. Kelebihan alkali bebas dalam sabun tidak boleh lebih dari 0,1% untuk
sabun Na, dan 0,14% untuk sabun KOH karena alkali mempunyai sifat yang
keras dan menyebabkan iritasi pada kulit. Kelebihan alkali bebas pada sabun
dapat disebabkan karena konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada proses
penyabunan. Sabun yang mengandung alkali tinggi biasanya digunakan untuk
sabun cuci (Qisti, 2009).
15
Universitas Sumatera Utara
16
Universitas Sumatera Utara
sabun Na dan 0,14% untuk sabun KOH karena alkali mempunyai sifat yang keras
dan menyebabkan iritasi pada kulit. Kelebihan alkali bebas pada sabun dapat
disebabkan karena konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada proses
penyabunan. Sabun yang mengandung alkali tinggi biasanya digunakan untuk
sabun cuci (Qisti, 2009).
Mutu sabun sangat ditentukan oleh kadar alkali bebas di dalamnya. Jika
terlalu basa alkali bebas dapat merusak kulit bila dipakai. Oleh karena itu, kadar
alkali bebasnya tidak boleh lebih dari 0,1% untuk sabun Na dan 0,14% untuk
sabun KOH. Kadar alkali bebas juga dapat dipakai sebagai indikator dari tidak
sempurnanya proses penyabunan (Nandawai, 2009).
2.3.2 Efek Samping Alkali pada Kulit
Alkali juga dapat merusak kulit dibandingkan dengan menghilangkan
bahan berminyak dari kulit. Sungguh pun demikian dalam penggunaan sabun
dengan air akan terjadi proses hidrolis sehingga mendapatkan sabun yang baik
maka diukur sifat alkalisnya yakni pH 5,8-10,5. Pada kulit yang normal
kemungkinan pengaruh alkali lebih banyak. Beberapa penyakit kulit sensitif
terhadap reaksi alkalis, dalam hal ini pemakaian cairan sabun merupakan kontra
indikasi. pH kulit normal antara 3-6, tetapi bila dicuci dengan sabun pH menjadi
9, walaupun kulit cepat bertukar kembali menjadi normal mungkin ini tidak
diinginkan pada penyakit kulit tertentu (Sari, 2003).
17
Universitas Sumatera Utara
18
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan
permanganometri,
reaksi
ini
serimetri,
digunakan
secara
iodi-iodometri,
luas
iodatometri,
seperti
serta
bromatometri.
3. Reaksi pengendapan (presipitasi)
Penetapan kadar berdasarkan pada terjadinya endapan yang sukar larut
misalnya pada penetapan kadar secara argentometri.
4. Reaksi pembentukan kompleks
Dasar yang digunakan adalah terjadinya reaksi antara zat-zat
pengkompleks organik dengan ion logam menghasilkan senyawa
kompleks yang mantap. Penetapan kadar yang menggunakan prinsip ini
adalah metode kompleksometri.
b. Berdasarkan cara titrasi
Teknik volumetri berdasarkan cara titrasinya dapat dikelompokkan
menjadi:
1. Titrasi langsung
Cara ini dilakukan dengan melakukan titrasi langsung terhadap zat
yang akan ditetapkan. Cara ini mudah, cepat, dan sederhana.
2. Titrasi kembali
Dilakukan dengan cara penambahan titran dalam jumlah berlebihan,
kemudian kelebihan titran dititrasi dengan titran lain. Pada cara ini ada 2
sumber kesalahan karena menggunakan 2 titran sehingga kesalahan
19
Universitas Sumatera Utara
menjadi lebih besar. Disamping itu cara ini juga memakan waktu yang
lama.
c. Berdasarkan jumlah sampel
Menurut Rohman (2007), berdasarkan jumlah sampel, teknik volumetri
dibedakan menjadi:
1. Titrasi makro
-
Jumlah sampel
: 100 1000 mg
Volume titran
: 10 100 ml
Ketelitian buret
: 0,02 ml
Jumlah sampel
: 10 100 mg
Volume titran
: 1 10 ml
Ketelitian buret
: 0,001 ml
3. Titrasi mikro
-
Jumlah sampel
: 1 100 mg
Volume titran
: 0,1 1 ml
Ketelitian buret
: 0,001 ml
2.4.2 Asidimetri-Alkalimetri
Asidimetri dan alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara
ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa
untuk menghasilkan air yang bersifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan
sebagai reaksi antara donor proton (asam) dengan penerima proton (basa)
(Rohman, 2007).
20
Universitas Sumatera Utara
21
Universitas Sumatera Utara
1 unit pH, di bawah atau di atas nilai pKa. Seringkali pelarut organik yang dapat
campur dengan air, seperti etanol ditambahkan untuk melarutkan analit sebelum
dilakukan titrasi.
3. Titrasi tidak langsung dalam pelarut air
Titrasi tidak langsung ini dapat dilakukan untuk titrasi asam kuat/basa
kuat, titrasi asam lemah dengan basa kuat, ataupun titrasi basa lemah dengan
asam kuat. Contoh yang paling umum dilakukan adalah titrasi asam lemah
dengan basa kuat (Rohman, 2007; Watson, 2009).
22
Universitas Sumatera Utara