Disusun oleh :
Zameda Igga Elzsio Bima Kusuma
H0812200
Agribisnis 6A
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari
merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan / petani ikan dan
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, disamping memperluas lapangan kerja,
kesempatan berusaha, dan ekspor untuk menghasilkan devisa Negara.
Tuntutan yang sangat mendesak tersebut mengingat potensi sumberdaya
perikanan Indonesia yang saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Bahkan, potensi di perairan ZEE Indonesia khususnya tuna dan cakalang serta
ikan pelagis besar lainnya masih lebih banyak dimanfaatkan oleh kapal ikan
asing dengan berbagai akibat yang merugikan kepentingan nasional.
Tuna sebagai komoditas perikanan andalan Indonesia setelah udang
mempunyai prospek cerah dalam pengusahaanya, mengingat permintaan
produk tersebut di pasar domestik dan ekspor cenderung meningkat.
Peningkatan tersebut dipacu dengan kesadaran masyarakat khususnya di
Eropa dan Amerika serta negara-negara di kawasan Timur Tengah yang mulai
sadar akan sumber makanan yang sehat , mereka beralih dari daging ke ikan
khususnya tuna.
Ekspor komoditi tuna Indonesia hingga bulan November 2004
berdasarkan data BPS, 2005 sebesar 39,920,865 Kg dengan nilai ekspor
sebesar 110,025,438 US$. Pada tahun 2003 sebesar 117,091,984 Kg dengan
nilai 213,178,841 US$, mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 2002
sebesar 92,796,612 Kg dengan nilai 212,425,684. Ekspor komoditi tuna
Indonesia sebagian besar dalam bentuk beku, segar dan tuna dalam kaleng.
Negara tujuan utama ekspor produk tuna Indonesia adalah Jepang, Amerika
Serikat, Eropa dan Thailand. Jepang merupakan sentral pasar tuna dunia,
negara tersebut mendominasi permintaan tuna dengan total volume konsumsi
sebesar 660,000 ton yang terdiri dari 80.000 ton permintaan terhadap produk
tuna kaleng dan 580,000 ton tuna segar untuk konsumsi sashimi. Sedangkan
1,3 juta ton berasal dari permintaan negara lain.
II.
PEMBAHASAN
itu
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Susi
Pudjiastuti
komoditas perikanan.
Hambatan non tarif yang diberlakukan terhadap komoditas perikanan
impor adalah ekuivalensi, sertifikat ekspor, standar sanitasi, standar mutu, isu
lingkungan, Rapid Alert System dan Automatic Detention dan lain-lain.
1) Ekuivalensi
Uni Eropa mensyaratkan bahwa hanya approved packers (unit
pengolah yang disetujui) dari negara harmonized country yang diizinkan
mengekspor komoditas perikanannya. Terhitung sejak tanggal 23
September 2000 terdapat 247 Approval Number dari Indonesia yang
berhak mengekspor produk perikanan ke Uni Eropa.
2) Sertifikat Ekspor
Setiap produk perikanan diwajibkan dilengkapi dengan serifikat
mutu (quality certificate), dan sertifikat kesehatan (Health Certificate)
dalam bahasa nasional negara tujuan. Selain sertifikat tersebut
ditandatangani oleh inspektur yang terakreditasi dengan tinta yang
warnanya sesuai.
3) Standar Sanitasi
Standar Sanitasi yang tidak transparan atau standar ganda adalah
masalah yang sering kita dengar. Misalnya UE mensyaratkan bebas
salmonella untuk udang beku (kecuali udang rebus beku) tetapi untuk
anggota UE aturannya lebih lunak. Semua ekspor udang beku hanya bebas
bakteri patogen. Kerang-kerangan yang diimpor dari luar UE harus bebas
bakteri E. Coli sedangkan produk sejenis yang diproduksi di wilayah UE
yang mengandung bakteri patogen pun tetap dapat dijual asal diberi label
B Area Product.
4) Standar Mutu
Standar mutu yang diterapkan negara pengimpor umumnya lebih
lunak daripada standar sanitasi. Namun pengujian organoleptik masih
lazim digunakan untuk menentukan kualitas dan penerimaan suatu produk
di pelabuhan masuk. Banyak produk perikanan dari negara berkembang
ditolak masuk karena tidak lolos uji organoleptik.
5) Isu Lingkungan
swordfish.
Kendala
dan
masalah
yang
dihadapi
untuk
Target dalam pertumbuhan ekonomi yaitu (a) pada tahun 2004 penerimaan
devisa kelautan dan perikanan diharapkan mencapai US$ 5 Milyar, (b)
sumbangan terhadap PDB mencapai 10 % pada tahun 2004, (c)
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) penangkapan ikan yang akan
mencapai Rp. 295 milyar serta PNBP penangkapan di ZEEI sebesar US$
65 juta, (d) sumbangan terhadap PAD sebesar US$ 53 juta, dari budidaya
dan US$ 120 juta dari kegiatan penangkapan. Selain itu ditargetkan juga
peningkatan konsumsi ikan per kapita sebesar 21,93 kg/kapita/tahun dan
penyerapan
tenaga
kerja
sebesar
6,54
juta
orang.
pembididaya ikan.
Target dalam pemeliharaan daya dukung dan kualitas lingkungan
berkelanjutan.
Meningkatkan pengawasan dan pengendalian SDKP.
Menerapkan IPTEK dan manajemen profesional pada setiap mata rantai
perikanan
Mengembangkan sistem dan mekanisme hukum dan kelembagaan
III.
KESIMPULAN
1. Hambatan tarif dalam industri tuna Indonesia yaitu penetapan bea masuk bagi
produk tuna asal Indonesia yang terlalu tinggi, yakni mencapai 24 persen,
padahal produsen serupa dari beberapa negara lain dikenakan nol persen. Saat
ini tarif bea masuk bagi produk tuna asal Indonesia, yakni 14,5 persen untuk
tuna segar dan 24 persen untuk tuna kaleng. Saat ini Indonesia belum bisa
mendapatkan fasilitas keringanan tarif bea masuk karena Indonesia masuk ke
dalam negara-negara yang masuk ekonomi terbesar di dunia atau G20.
2. Hambatan non tarif yang diberlakukan terhadap komoditas perikanan impor
adalah ekuivalensi, sertifikat ekspor, standar sanitasi, standar mutu, isu
lingkungan, Rapid Alert System dan Automatic Detention, masalah by catch,
ecolabel, irradiasi, undang-Undang Bioterorisme atau The Bioterorisme Act,
Cargo Securuty Inisiative (CSI). Namun dalam hal ini kelemahan disektor
pengawasan mutu terhadap produk ekspor khususnya tuna menempatkan
posisi Indonesia pada urutan teratas dalam kasus RAS tersebut.
3. Untuk mengatasi masalah mengenai hambatan bea masuk untuk ekspor tuna
Indonesia maka komisi Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengirimkan
surat keberatan kepada kementerian luar negeri (Kemenlu) dan kementerian
perdagangan (Kemendag) terkait 'hambatan' tarif bea masuk tinggi produk
perikanan di negara-negara G20. Untuk menangani hambatan non tarif,
Pemerintah juga meyakinkan negara maju bila model penangkapan ikan
dilakukan dengan metode alat tangkap tradisional berupa pancing ulur
(handline). Kemudian adanya aturan moratorium perizinan kapal dan aturan
pelarangan transhipment (bongkar muat di tengah laut) yang membuktikan
bila ikan Indonesia bukan didapat dari kegiatan illegal fishing. Pemerintah
juga akan membuktikan produk ikan yang dijual mempunyai sertifikat hasil
tangkapan ikan (SHTI). Selain itu ada beberapa kebijakan indonesia yang
mampu mengatasi hambatan-hambatan tersebut melalui pembangunan sektor
kelautan dan perikanan memiliki target yang spesifik
DAFTAR PUSTAKA