Anda di halaman 1dari 16

HAMBATAN EKSPOR (TARIF DAN NON TARIF) OLEH

INDUSTRI TUNA INDONESIA DAN STRATEGI


PEMERINTAH UNTUK MENGATASINYA

Disusun oleh :
Zameda Igga Elzsio Bima Kusuma
H0812200
Agribisnis 6A

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari
merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan / petani ikan dan
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, disamping memperluas lapangan kerja,
kesempatan berusaha, dan ekspor untuk menghasilkan devisa Negara.
Tuntutan yang sangat mendesak tersebut mengingat potensi sumberdaya
perikanan Indonesia yang saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Bahkan, potensi di perairan ZEE Indonesia khususnya tuna dan cakalang serta
ikan pelagis besar lainnya masih lebih banyak dimanfaatkan oleh kapal ikan
asing dengan berbagai akibat yang merugikan kepentingan nasional.
Tuna sebagai komoditas perikanan andalan Indonesia setelah udang
mempunyai prospek cerah dalam pengusahaanya, mengingat permintaan
produk tersebut di pasar domestik dan ekspor cenderung meningkat.
Peningkatan tersebut dipacu dengan kesadaran masyarakat khususnya di
Eropa dan Amerika serta negara-negara di kawasan Timur Tengah yang mulai
sadar akan sumber makanan yang sehat , mereka beralih dari daging ke ikan
khususnya tuna.
Ekspor komoditi tuna Indonesia hingga bulan November 2004
berdasarkan data BPS, 2005 sebesar 39,920,865 Kg dengan nilai ekspor
sebesar 110,025,438 US$. Pada tahun 2003 sebesar 117,091,984 Kg dengan
nilai 213,178,841 US$, mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 2002
sebesar 92,796,612 Kg dengan nilai 212,425,684. Ekspor komoditi tuna
Indonesia sebagian besar dalam bentuk beku, segar dan tuna dalam kaleng.
Negara tujuan utama ekspor produk tuna Indonesia adalah Jepang, Amerika
Serikat, Eropa dan Thailand. Jepang merupakan sentral pasar tuna dunia,
negara tersebut mendominasi permintaan tuna dengan total volume konsumsi
sebesar 660,000 ton yang terdiri dari 80.000 ton permintaan terhadap produk
tuna kaleng dan 580,000 ton tuna segar untuk konsumsi sashimi. Sedangkan
1,3 juta ton berasal dari permintaan negara lain.

Negaranegara pesaing Indonesia di pasar internasional antara lain


Australia, Spanyol, Korea Selatan, Taiwan dan Guam. Peluang pasar tuna dan
cakalang dibeberapa negara importir utama masih terbuka lebar, dari peluang
tersebut Indonesia baru mencapai pangsa pasar dunia sebesar 7,52 %.
Sehubungan dengan itu ekspor tuna dan cakalang masih perlu ditingkatkan,
mengingat luasnya wilayah ZEE Indonesia dengan sumberdaya ikan tersebut
cukup besar dengan sentra sentra pengusahaanya yang perlu diintensifkan
seperti di perairan Maluku, Papua, Sulawesi dan Pantai Barat Sumatera,
tentunya diperlukan kerja keras dan keberpihakkan semua sektor dalam
mendukung infrastruktur dan permodalan yang memadai guna menciptakan
bisnis yang kondusif khususnya di sentra-sentra produksi tuna di kawasan
Timur Indonesia.
Banyak kendala dan masalah yang harus dihadapi untuk memanfaatkan
sumberdaya perikanan tuna secara optimal dan lestari, pertama, berkaitan
dengan sistem perbankan yang kurang kondusif bagi investasi usaha
perikanan, kedua tuna tergolong hewan yang hight miggration sehingga
pengeloaannya terkadang melewati batas-batas negara sementara Indonesia
belum menjadi anggota dalam pengelolaan tuna dunia. Ketiga, masih
maraknya illegal fishing yang mempengaruhi produksi tangkapan kapal tuna
nasional, ke empat pelayanan di pelabuhan perikanan yang mengakibatkan
biaya ekonomi tinggi, ke lima kurang terpadunya rencana tata ruang di dalam
wilayah laut dan pantai. sehingga hal itu mengurangi kepastian hukum dalam
berusaha dan menimbulkan kesenjangan sosial, ke enam, kurang tegasnya
tindakan terhadap pelanggaran peraturan, dan pengawasan keamanan,
disamping itu perlu adanya upaya peningkatan SDM dan relokasi nelayan dari
wilayah padat tangkap seperti di perairan pantai Utara Jawa ke sentra usaha
tuna di kawasan Timur Indonesia. Melalui kerja keras dan kebersamaan dari
berbagai sector diharapkan ke depan Indonesia menjadi sentral industri tuna
dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hambatan tarif dalam industri tuna Indonesia?
2. Apa saja hambatan non tarif dalam industri tuna Indonesia?

3. Bagaimana strategi dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi hambatan


tarif dan non tarif pada industri tuna Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui hambatan tarif dalam industri tuna Indonesia
2. Mengetahui hambatan non tarif dalam industri tuna Indonesia
3. Mengetahui strategi dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi hambatan
tarif dan non tarif pada industri tuna Indonesia

II.

PEMBAHASAN

A. Hambatan Tarif dalam Industri Tuna Indonesia


Mekanisme tarif bea masuk produk perikanan Indonesia perlu dibenahi
terutama dalam kawasan Uni Eropa. Penetapan bea masuk bagi produk tuna
asal Indonesia terlalu tinggi, yakni mencapai 24 persen, padahal produsen
serupa dari beberapa negara lain dikenakan nol persen. Saat ini tarif bea
masuk bagi produk tuna asal Indonesia, yakni 14,5 persen untuk tuna segar
dan 24 persen untuk tuna kaleng. Penetapan bea masuk itu dinilai
diskriminatif karena UE menerapkan bea masuk nol persen untuk Sri Lanka
dan beberapa negara anggota African, Caribbean, and Pacific Group of States
(ACP). Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan
Saut Hutagalung mengungkapkan, muncul kecenderungan tarif bea masuk
komoditas perdagangan di sejumlah negara terus menurun. Akan tetapi, tarif
bea masuk produk perikanan Indonesia ke Eropa cenderung stagnan.
Tingginya tarif bea masuk produk perikanan menyebabkan tekanan terhadap
harga jual produk. Kebijakan perdagangan Uni Eropa yang dapat menjadi
hambatan tarif berupa kebijakan tarif bea masuk dan adanya perlakuan yang
berbeda bagi negara importir (diskriminasi tarif).
Volume ekspor tuna Indonesia ke UE tahun 2008 adalah 12.879 ton
dengan nilai 35,029 juta dollar AS atau 10 persen dari total ekspor tuna
nasional. Perbaikan mekanisme tarif perlu diperjuangkan mengingat Indonesia
selalu memenuhi persyaratan pasar Uni Eropa. Di antaranya, kelayakan mutu
produk serta kesiapan melakukan sertifikasi atas produk hasil tangkapan yang
diekspor ke Eropa mulai tahun 2010. Tahun 2015, Departemen Kelautan dan
Perikanan menargetkan Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar dunia.
Peningkatan produksi akan dititikberatkan pada perikanan budidaya dan
perikanan tangkap yang terkendali.
Selain

itu

Menteri

Kelautan

dan

Perikanan

Susi

Pudjiastuti

mengungkapkan soal Kota General Santos (Gensan) di Filipina yang sukses


jadi eksportir tuna dunia akibat dipasok dari Bitung, Indonesia. Setiap tahun,

General Santos mampu mengekspor US$ 2 miliar tuna segar ke seluruh


dunia. Menurut Susi, Gensen mendapatkan insentif dalam bentuk keringanan
tarif bea masuk impor dari negara-negara maju seperti Jepang, AS hingga
Eropa. Hal yang berlawanan justru terjadi pada ekspor produk perikanan
Indonesia ke nagara-negara yang sama. General Santos ekspornya lebih besar
dari Indonesia dan 22% selisih harganya dari Indonesia, karena mereka tidak
ada impor tarif.
Susi menjelaskan tarif bea masuk impor produk perikanan Filipina
khususnya tuna di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika hingga Uni
Eropa adalah 0%. Sedangkan Indonesia harus membayar tarif bea masuk 22%
dari harga produk perikanan saat akan mengekspor ke negara yang sama.
Pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag)
mengenai peluang keringanan tarif bea masuk bagi produk perikanan
Indonesia. Susi menjelaskan saat ini Indonesia belum bisa mendapatkan
fasilitas keringanan tarif bea masuk karena Indonesia masuk ke dalam negaranegara yang masuk ekonomi terbesar di dunia atau G20.
B. Hambatan-hambatan Ekspor Non Tarif dalam Indsutri Tuna Indonesia
Hambatan non tarif yang dianggap cukup mempengaruhi kinerja
perdagangan internasional yaitu terkait dengan Technical Barrier to Trade
(TBT) agreement yang meliputi tiga area kebijakan yaitu regulasi teknis yang
bersifat wajib (mandatory technical regulation), standar yang bersifat voluntir
(voluntarystandards), dan kajian keselarasan (conformance assesment)
kemudian Sanitaryand Phytosanitary (SPS) agreement yang menguraikan
disiplin dan batas-batas tindakan yang perlu dilakukan untuk melindungi
kesehatan dan kehidupan manusia, binatang, dan tumbuhan dari wabah
penyakit, dan kontaminan dari negara asing (Nugroho, 2007). TBT dan SPS
agreement ini berlaku untuk produk pangan, yang di dalamnya termasuk
kategorial komoditas dan produk perikanan. Untuk itulah perlu dideskripsikan
kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang berpotensi
menjadi restriksi perdagangan bagi ekspor Indonesia, khususnya untuk ekspor

komoditas perikanan.
Hambatan non tarif yang diberlakukan terhadap komoditas perikanan
impor adalah ekuivalensi, sertifikat ekspor, standar sanitasi, standar mutu, isu
lingkungan, Rapid Alert System dan Automatic Detention dan lain-lain.
1) Ekuivalensi
Uni Eropa mensyaratkan bahwa hanya approved packers (unit
pengolah yang disetujui) dari negara harmonized country yang diizinkan
mengekspor komoditas perikanannya. Terhitung sejak tanggal 23
September 2000 terdapat 247 Approval Number dari Indonesia yang
berhak mengekspor produk perikanan ke Uni Eropa.
2) Sertifikat Ekspor
Setiap produk perikanan diwajibkan dilengkapi dengan serifikat
mutu (quality certificate), dan sertifikat kesehatan (Health Certificate)
dalam bahasa nasional negara tujuan. Selain sertifikat tersebut
ditandatangani oleh inspektur yang terakreditasi dengan tinta yang
warnanya sesuai.
3) Standar Sanitasi
Standar Sanitasi yang tidak transparan atau standar ganda adalah
masalah yang sering kita dengar. Misalnya UE mensyaratkan bebas
salmonella untuk udang beku (kecuali udang rebus beku) tetapi untuk
anggota UE aturannya lebih lunak. Semua ekspor udang beku hanya bebas
bakteri patogen. Kerang-kerangan yang diimpor dari luar UE harus bebas
bakteri E. Coli sedangkan produk sejenis yang diproduksi di wilayah UE
yang mengandung bakteri patogen pun tetap dapat dijual asal diberi label
B Area Product.
4) Standar Mutu
Standar mutu yang diterapkan negara pengimpor umumnya lebih
lunak daripada standar sanitasi. Namun pengujian organoleptik masih
lazim digunakan untuk menentukan kualitas dan penerimaan suatu produk
di pelabuhan masuk. Banyak produk perikanan dari negara berkembang
ditolak masuk karena tidak lolos uji organoleptik.
5) Isu Lingkungan

Untuk memblok ekspor tuna dan embargo udang, AS meniupkan


dolphin issue untuk tuna longliner dan berkaitan dengan penggunaan
TED / BED (turtle excluder device) untuk penangkapan udang. Sidang
dispute settlement body menyatakan AS kalah dan harus mencabut
embargo ekspor udang dari India, Pakistan, Malaysia dan Thailand.
6) Rapid Alert System
UE menerapkan sistem pengujian laboratorium secara acak
(Random Sampling) atau dikenal dengan Rapid Alert System untuk
mengatasi standar sanitasi dan mutu produk perikanan. Penerapan RAS
oleh UE sering menghambat ekspor hasil perikanan Indonesia karena hasil
pengujian bersifat final dan merupakan hak prerogatif inspektur veteriner
UE sehingga sulit dikaji ulang atau dibantah.
7) Autamatic Detention
Sistem yang diberlakukan di AS ini pada dasarnya sama dengan
RAS di UE. Setiap ekspor perikanan dimasukkan dalam detention list dan
diperiksa secara acak. Suatu perusahaan perikanan akan dicabut dari
detention list jika secara 3 kali berturut-turut mutunya tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan. Untuk uji iji, eksportir dikenakan biaya
sebesar 10 % dari total nilai ekspor.
8) Masalah by catch
Negara-negara maju mulai mempermasalahkan ikut tertangkapnya
shark (cucut) dan burung laut dalam penangkapan tuna. Beberapa negara
Eropa juga mulai mengeluhkan tentang ukuran ikan, yang dieksport negara
berkembang (termasuk Indonesia) karena dianggap melanggar code of
conduct for responsible fishing dan CITES.
9) Ecolabel
Beberapa negara maju telah mendesak FAO untuk segera
menyiapkan rancangan kriteria prosedur ecolabelling bagi produk
perikanan yang diperdagangkan secara global. Ecolabelling yang awalnya
bersifat sukarela (Voluntary) diganti dengan pelabelan bersifat wajib
(Compulsary) dan berlaku universal. Hal ini terlihat dari resolusi sidang
PBB ke-55 pada mata acara 34 ocean and the law of the sea.
10) Irradiasi

Amerika serikat, Australia dan Jepang memberikan toleransi


terhadap teknik irradiasi sepanjang tidak disalah gunakan untuk mengganti
sistem pembinaan mutu yang kurang baik. Sementara UE kecuali Perancis,
Belgia dan Belanda menetang digunakannya teknik irradiasi untuk
pengawetan produk perikanan.
11) Undang-Undang Bioterorisme atau The Bioterorisme Act
Bioterorisme telah disetujui Presiden Amerika Serikat dan
dinyatakan berlaku mulai 12 Desember 2003. UU bio-terorisme
merupakan bagian dari kebijakan keamanan nasional Amerika untuk
mencegah masuknya teror berupa penyakit, kuman dan virus melalui
produk-produk yang diimpor. Sektor industri yang terkena peraturan
tersebut khususnya adalah produk makanan dan minuman. Eksportir harus
menyampaikan dengan rinci pada USFDA tentang deskripsi produk, nama
produsen , kapal pengangkut, pergudangan, negara asal serta pelabuhan
tujuan untuk selanjutnya diterbitkan prior of notice . Dengan kata lain
peraturan ini mewajibkan setiap eksportir untuk mendaftarkan diri ke
USFDA.
12) Cargo Securuty Inisiative (CSI)
Merupakan sistem terbaru untuk setiap kargo yang akan masuk ke
Amerika harus terlebih dahulu diinfeksi di pelabuhan-pelabuhan yang
telah ditetapkan AS. Terdapat 20 pelabuhan yang telah ditetapkan dan
untuk Indonesia pelabuhan yang terpilih adalah Singapura, Hongkong,
Shanghai, Tokyo dan Kobe. Dengan sistem ini waktu pengapalan menjadi
lebih lama dan beresiko bagi produk-produk yang tidak tahan lama.
Pemerintah AS menyatakan akan menanggung seluruh biaya pemeriksaan,
namun hal tersebut tidak menjamin kerugian eksportir karena adanya
opportunity cost lainnya.
Berdasarkan data di atas sangatlah jelas, kelemahan disektor
pengawasan mutu terhadap produk ekspor khususnya tuna sehingga
menempatkan posisi Indonesia pada urutan teratas dalam kasus RAS tersebut.
Diperlukan pengawasan mutu yang ketat, disinilah kinerja laboratorium/

BPMHP/LPPMHP perlu ditingkatkan agar tingkat kepercayaan negara


importir terhadap produk tuna Indonesia tidak terus merosot. Disamping itu
adanya kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM khususnya solar,
mengakibatkan banyak nelayan yang tidak bisa melaut karena mahalnya biaya
operasional. Permasalahan ini akhirnya dengan merevisi kenaikan harga BBM
dan pendirian SPBU khususnya untuk solar di pusat-pusat penangkapan oleh
DKP bekerja sama dengan Pertamina.
Keanggotaan tuna dunia, Pada saat ini hampir 75 % kapal tuna long line
Indonesia beroperasi di luar ZEEI Saudera Hindia ke arah barat hingga
Srilangka, Maldives, bahkan ada yang beroperasi di Samudera Atlantik untuk
menangkap

swordfish.

Kendala

dan

masalah

yang

dihadapi

untuk

memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari, mengingat


tuna tergolong hewan yang high migration sehingga pengeloaannya melewati
batas-batas negara sementara Indonesia belum menjadi anggota dalam
pengelolaan tuna dunia seperti IOTC, CCSBT dan lainnya, ada kekhawatiran
kita dianggap ilegal walaupun menangkap diperairan sendiri. Oleh karena itu
pengelolaan ikan dimaksud di masa depan harus mengacu pada aturan-aturan
internasional yang menjadi kesepakatan bersama.
Sebagai contoh di forum-forum internasional nelayan Indonesia sering
menjadi pembicaraan karena dicurigai mengembangkan deep long line
untuk menangkap bluefin tuna dalam kondisi matang telur. Namun demikian
bila diperhatikan alat tangkap tuna long line yang dikembangkan di Indonesia
umumnya tidak terlalu dalam untuk menangkap yelowfin tuna, sehingga
tuduhan tersebut tidak mendasar dan diaragukan kebenarannya.

C. Strategi Pemerintah Mengatasih Hambatan Tarif dan Non Tarif Industri


Tuna Indonesia
Untuk mengatasi masalah mengenai hambatan bea masuk untuk ekspor
tuna Indonesia maka komisi Kelautan dan Perikanan (KKP) telah
mengirimkan surat keberatan kepada kementerian luar negeri (Kemenlu) dan

kementerian perdagangan (Kemendag) terkait 'hambatan' tarif bea masuk


tinggi produk perikanan di negara-negara G20, khususnya di Uni Eropa.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), KKP Saut P
Hutagalung menegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
tetap ingin produk perikanan tak kena tarif tinggi.
Pemerintah sedang mencari cara lain agar bisa menurunkan tingginya
tarif bea masuk yang dikenakan negara-negara maju. Beberapa cara yang akan
dilakukan pemerintah seperti meyakini negara maju bila model penangkapan
ikan dilakukan dengan metode alat tangkap tradisional berupa pancing ulur
(handline). Kemudian adanya aturan moratorium perizinan kapal dan aturan
pelarangan transhipment (bongkar muat di tengah laut) yang membuktikan
bila ikan Indonesia bukan didapat dari kegiatan illegal fishing.
Pemerintah juga akan membuktikan produk ikan yang dijual mempunyai
sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI). Kemudian beberapa perusahaan ikan
asal Indonesia juga telah mempunyai sertifikat yang diakui internasional
seperti Fair Trade dari FTUSA Amerika Serikat (AS). Komisioner Uni Eropa
di Spanyol mengatakan Indonesia cukup baik dalam mencegah penangkapan
ikan secara ilegal. Lalu apakah hal itu akan menolong tarif bea masuk tinggi
Indonesia ke Uni Eropa? Indonesia punya satu amunisi lain yaitu sertifikasi
Fair Trade yang baru diterbitkan bagi kita untuk berargumentasi ke Uni Eropa
dan Amerika
Selain hal diatas ada beberapa kebijakan indonesia yang mampu
mengatasi hambatan-hambatan tersebut melalui pencapaian target-targetnya.
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan memiliki target yang spesifik
diantaranya:

Target dalam pertumbuhan ekonomi yaitu (a) pada tahun 2004 penerimaan
devisa kelautan dan perikanan diharapkan mencapai US$ 5 Milyar, (b)
sumbangan terhadap PDB mencapai 10 % pada tahun 2004, (c)
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) penangkapan ikan yang akan
mencapai Rp. 295 milyar serta PNBP penangkapan di ZEEI sebesar US$
65 juta, (d) sumbangan terhadap PAD sebesar US$ 53 juta, dari budidaya

dan US$ 120 juta dari kegiatan penangkapan. Selain itu ditargetkan juga
peningkatan konsumsi ikan per kapita sebesar 21,93 kg/kapita/tahun dan
penyerapan

tenaga

kerja

sebesar

6,54

juta

orang.

Target dalam peningkatan dan pemerataan kesejahteraan nelayan dan

pembididaya ikan.
Target dalam pemeliharaan daya dukung dan kualitas lingkungan

ekosistem laut dan perairan tawar


Target dalam peningkatan budaya bahari bangsa dan menjadikan laut
sebagai pemersatu bangsa.

Dalam upaya meningkatkan ekspor komoditi perikanan Indonesia, pemerintah


mengambil beberapa langkah yang dinilai cukup strategis. Dalam rangka
mendukung hal tersebut di atas, beberapa hal yang diperlukan adalah :

Memanfaatkan sumberdaya dan jasa kelautan secara optimal,efisien dan

berkelanjutan.
Meningkatkan pengawasan dan pengendalian SDKP.
Menerapkan IPTEK dan manajemen profesional pada setiap mata rantai

usaha bidang kelautan dan perikanan.


Merehabilitasi ekosistem habitat pesisir dan laut
Membangun dukungan fiskal dan moneter yang kondusif
Memberdayakan sosial ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan
Mengembangkan dan memperkuat jaringan ekonomi
Mengembangkan dan memperkuat sistem informasi kelautan dan

perikanan
Mengembangkan sistem dan mekanisme hukum dan kelembagaan

Nasional dan Internasional


Menanamkan wawasan kelautan pada seluruh masyarakat.
Adapun rekomendasi kebijakan yang dapat penulis sampaikan

diantaranya yaitu : Pertama, Meningkatkan Investasi dalam bidang penelitian,


pengembangan dan pendidikan serta pengembangan sumberdaya manusia
untuk meningkatkan produktivitas, kualitas produk, memproduksi produk
dengan nilai yang lebih tinggi (divefikasi), mempertahankan kelestarian alam

dan mengurangi biaya untuk teknologi. Kedua, Mengalokasikan investasi


publik yang lebih besar pada fasilitas infrastruktur untuk meminimalkan biaya
distribusi dan mengurangi waktu antrian dalam pengapalan barang. Ketiga,
Memberikan kemudahan dalam hal investasi, pajak dan pengembangan
sumberdaya manusia serta insentif finansial untuk mengembangkan industri
inti dan industri pendukung khususnya pada pengolahan dan sub sektor
permesinan. Keempat, Memulihkan pembiayaan jangka pendek sampai jangka
panjang bagi usaha para produsen, usaha pemrosesan dan aktivitas
perdagangan internasional apabila cukup layak untuk dipulihkan. Kelima,
Melakukan langkah-langkah progresif dalam perjanjian bilateral dan
multilateral (ASEAN dan APEC) dengan menegosiasikan hambatan
diskriminasi tarif dan non tarif yang tidak adil, misalnya bea masuk 24 %
untuk tuna kalengan di Eropa, penolakan ekspor dan automatic detention di
AS, Australia, dan Eropa, ukuran persyaratan sanitasi dan phytosanitasi yang
keras dari AS dan Jepang. Keenam, mempercepat keanggataan Indonesia
dalam organisasi tuna dunia dan ikut berperan aktif dalam forum-forum
internasional mengenai strategi dan kebijakan pengeloalaan tuna.
Sedangkan untuk industri pengalengan dan pemrosesan ikan, fokus
pengembangannya adalah melalui :

Meningkatkan akses nelayan kecil dan menengah terhadap daerah


penangkapan ikan yang lebih kaya (melalui kapal-kapal modern dan

teknologi penangkapan ikan) dan teknologi pendinginan.


Menerapkan upstream dan downstream penelitian dan pengembangan.
Mendorong keterkaitan usaha yang kompetitif dan marketing intelligent

untuk meningkatkan pangsa pasar dunia.


Mengembangkan handliner dan mengorganisasikan dalam suatu wadah
armada nasional yang dilengkapi dengan mother boat dengan sstem

prosesing yang memadai


Mengembangkan coolchain system di sentra-sentra penangkapan tuna
khususnya kawasan Timur

Mengembangkan safe belt system melalui pengembangaan akses pulau


terluar sebagai sentra perikanan tuna/cakalang dan berfungsi sebagai

pagkalan kapal pengawas.


Melakukan pemasaran yang strategis dengan market intelligent, promosi,
diferensiasi produk dan kualitas (didukung dengan industri downstream
yang dinamis) dan penetrasi pasar yang proaktif misalnya melalui lobby
perdagangan, perjanjian bilateral dan pasar potensial seperti China, India,
Pakistan, Mesir dan negara-negara ASEAN.

III.

KESIMPULAN

1. Hambatan tarif dalam industri tuna Indonesia yaitu penetapan bea masuk bagi
produk tuna asal Indonesia yang terlalu tinggi, yakni mencapai 24 persen,
padahal produsen serupa dari beberapa negara lain dikenakan nol persen. Saat
ini tarif bea masuk bagi produk tuna asal Indonesia, yakni 14,5 persen untuk
tuna segar dan 24 persen untuk tuna kaleng. Saat ini Indonesia belum bisa
mendapatkan fasilitas keringanan tarif bea masuk karena Indonesia masuk ke
dalam negara-negara yang masuk ekonomi terbesar di dunia atau G20.
2. Hambatan non tarif yang diberlakukan terhadap komoditas perikanan impor
adalah ekuivalensi, sertifikat ekspor, standar sanitasi, standar mutu, isu
lingkungan, Rapid Alert System dan Automatic Detention, masalah by catch,
ecolabel, irradiasi, undang-Undang Bioterorisme atau The Bioterorisme Act,
Cargo Securuty Inisiative (CSI). Namun dalam hal ini kelemahan disektor
pengawasan mutu terhadap produk ekspor khususnya tuna menempatkan
posisi Indonesia pada urutan teratas dalam kasus RAS tersebut.
3. Untuk mengatasi masalah mengenai hambatan bea masuk untuk ekspor tuna
Indonesia maka komisi Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengirimkan
surat keberatan kepada kementerian luar negeri (Kemenlu) dan kementerian
perdagangan (Kemendag) terkait 'hambatan' tarif bea masuk tinggi produk
perikanan di negara-negara G20. Untuk menangani hambatan non tarif,
Pemerintah juga meyakinkan negara maju bila model penangkapan ikan
dilakukan dengan metode alat tangkap tradisional berupa pancing ulur
(handline). Kemudian adanya aturan moratorium perizinan kapal dan aturan
pelarangan transhipment (bongkar muat di tengah laut) yang membuktikan
bila ikan Indonesia bukan didapat dari kegiatan illegal fishing. Pemerintah
juga akan membuktikan produk ikan yang dijual mempunyai sertifikat hasil
tangkapan ikan (SHTI). Selain itu ada beberapa kebijakan indonesia yang
mampu mengatasi hambatan-hambatan tersebut melalui pembangunan sektor
kelautan dan perikanan memiliki target yang spesifik
DAFTAR PUSTAKA

Anindita, Ratya dan Michael R. Red. 2008. Bisnis dan Perdagangan


Internasional. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET. Jakarta: LP3S
Detikcom. 2014. Ini Cara Susi Agar Produk Ikan Ri Tak Kena Hambatan di Uni
Eropa.
(Online),
http://finance.detik.com/read/2014/11/26/174337/
2760104/4/. Diakses 5 April 2015
_______. 2015. Ironis, Ekspor Tuna Filipina Dapat 'Diskon' di Eropa Tapi RI Tak
Bisa.
(Online),
http://finance.detik.com/read/2015/02/18/
133535/2836617/4/ironis-ekspor-tuna-filipina-dapat-diskon-di-eropatapi-ri-tak-bisa. Diakses 5 April 2015
Esther Painte, Riri. Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Non Tarif di Pasar
Uni Eropa terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia. Manajemen
Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Kompas. 2015. Susi Heran AS Bebaskan Tarif Impor Tuna Timor Leste, RI Tidak.
(Online),
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/28/
120000926/Susi.Heran.AS.Bebaskan.Tarif.Impor.Tuna.Timor.Leste.RI.Ti
dak. Diakses 5 April 2015
Lindert, Peter H dan Charles P. Kindleberger. 1995. Ekonomi Internasional.
Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai