Anda di halaman 1dari 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/360132550

PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA

Technical Report · April 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.11124.83844

CITATIONS READS
0 452

1 author:

Suhartono Nurdin
South Sulawesi Province
19 PUBLICATIONS 189 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

spermonde View project

All content following this page was uploaded by Suhartono Nurdin on 23 April 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019

1
CABANG DINAS KELAUTAN MAMMINASATA
DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
2019
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
I. LATAR BELAKANG

Sektor perikanan di Indonesia diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih besar
terhadap pembangunan nasional. Ini telah diamanahkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 dimana dinyatakan bahwa pembangunan berdasarkan sumber
daya kelautan dan perikanan sebagai penggerak pembangunan negara. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan juga menetapkan bahawa tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk: (1)
meningkatkan taraf hidup nelayan dan pembudidaya ikan kecil, (2) meningkatkan pendapatan dan
devisa negara, (3) membuka peluang pekerjaan, (4) meningkatkan persediaan sumberdaya protein
ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu,
nilai tambah, dan daya saing, (7) meningkatkan persediaan bahan baku untuk industri pengolahan
ikan, (8) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan, dan (9) menjamin kelestarian
sumberdaya ikan dan kawasan budidaya ikan.
Ikan tuna merupakan jenis ikan pelagis besar ekonomis penting di dunia. Jenis ikan tuna
cukup beragam, antara lain tuna mata besar (bigeye tuna), madidihang (yellowfin tuna),
albakora (albacore), tuna sirip biru (bluefin tuna), cakalang (skipjack tuna) dan tongkol (little
tuna). Ikan tuna memiliki kandungan nutrisi tinggi. Selain protein yang tinggi (22,6-26,2 gram/100
gram daging) dan lemak yang rendah (0,2-2,7 gram/100 gram daging), tuna juga mengandung
vitamin A (retinol), B (thiamin, riboflavin, dan niasin), D, B6, B12 dan kaya akan mineral
(kalsium, fosfor, besi, sodium). Ikan tuna juga kaya akan omega 3 lebih tinggi daripada daging
ayam dan sapi yang bermanfaat menjaga kolesterol dan jantung (kkp.go.id 2018).

Gambar 1. Info grafik komoditas tuna (sumber: Katadata.co.id 2017 & Google)

2
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019

Indonesia sebagai negara penghasil tuna terbesar memiliki potensi besar merajai pasar tuna
internasional. Nilai ekonomi dari perdagangan produk perikanan tuna Indonesia sangat besar dan
menjadi peluang yang dapat terus dimanfaatkan, namun tetap harus mengedepankan aspek
keberlanjutan agar perikanan tuna dapat terus lestari.
Ikan tuna bagi Indonesia merupakan komoditas ekspor terbesar kedua setelah udang. Rata-
rata produksi tuna, cakalang dan tongkol Indonesia mencapai lebih dari 1,2 juta ton/tahun.
Sedangkan volume ekspor tuna Indonesia mencapai 198.131 ton dengan nilai 492 juta ton/tahun
pada tahun 2015 (Gambar 1) dan meningkat menjadi 659,99 juta USD pada tahun 2017.
Berdasarkan data Food and Agriculture Oganization (FAO) dalam State of World Fisheries and
Aquaculture (SOFIA) pada tahun 2016, Indonesia menyumbang hampir 16% atau 1,1 juta ton dari
total sekitar 7,7 juta metrik ton tuna (kkp.go.id 2018).
Tuna merupakan salah satu dari komoditas perikanan yang paling banyak diperjualbelikan di
dunia. Permintaan tuna dunia yang tinggi membuat industri tuna kian bergairah dari tahun ke tahun
sehingga membuat harga jualnya makin melambung. Ikan tuna merupakan salah satu unggulan
produk perikanan dari Indonesia yang dijual ke pasar ekspor. Bentuk tuna yang diekspor tersebut
berupa tuna beku atau pre-cooked loin. Negara yang menduduki peringkat atas sebagai tujuan
ekspor tuna Indonesia adalah Jepang (36,84%), disusul Amerika Serikat (20,45%) dan Uni Eropa
(12,69%). Data ini menggambarkan bahwa tiga negara tersebut sangat berpengaruh terhadap
kinerja ekspor tuna Indonesia dan sampai saat ini peringkat negara tujuan ekspor belum bergeser
walaupun pasar ekspor hasil laut Indonesia sudah berkembang sampai ke negara kawasan Timur
Tengah, Korea dan Uni Soviet (farming.id 2017).
Sifat ikan tuna sebagai jenis ikan bermigrasi jauh (high migratory) menyebabkan
pengelolaannya dilakukan bersama secara regional (RFMO). Peraturan internasional tata kelola
penangkapan tuna di EEZ dan laut lepas disepakati oleh negara anggota didalam sidang tahunan
RFMO. Untuk mendukung upaya pemanfaatan dan pengelolaan tuna Nasional yang lestari,
Indonesia bergabung dan mnenjadi anggota dalam beberapa oragnisasi tuna dunia antara lain The
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), The Western and Central Pacific Fisheries Commission
(WCPFC), The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Inter-
American Tropical Tuna Commission (IATTC) (kkp.go.id 2018).
Tingginya permintaan ikan tuna di pasar global mendorong eksploitasi secara besar-besaran
hingga populasinya turun dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir. Menurut data FAO pada 2016,
sebanyak delapan jenis ikan tuna mengalami overexploited, yaitu terdiri atas tuna sirip biru pasifik,
ikan tuna sirip biru atlantik, tuna sirip biru selatan, tuna big eye, tuna sirip kuning, tuna albacore,
tuna ekor panjang dan tuna ekor hitam. Daerah penangkapan ikan tuna pun makin jauh cenderung
ke laut lepas dan tingkat hasil tangkapan per unit upaya atau catch per unit effort (CPUE) semakin

3
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
rendah. Dengan adanya beberapa kendala tersebut memberatkan nelayan yang memiliki modal
terbatas, biaya penangkapan ikan tuna akan lebih tinggi dibandingkan biaya produksi ikan tuna
dalam unit budidaya. Indonesia yang dikenal sebagai produsen terbesar tuna jenis sirip kuning
(yellow fin tuna), dengan produksi 75% dari total tuna sirip kuning dunia, terus menurun karena
over fishing (tangkap berlebih) (farming.id 2017).
Mencermati fakta-fakta tersebut, sejumlah negara mulai melakukan teknik budidaya pada
ikan tuna. Adapun negara-negara yang mulai melakukan teknik pembudidayaan pada ikan tuna
yaitu Australia, Jepang, Meksiko, Spanyol, Maroko, Portugis, Kroasia, Turki, dan Indonesia.
Meskipun di Indonesia budidaya tuna masih dalam tahap pengembangan, pada tahun 2015
Indonesia menjadi negara pertama yang melakukan budidaya ikan tuna dari tahap pemijahan untuk
jenis tuna sirip kuning (farming.id 2017).
Budidaya tuna tentunya harus didukung oleh teknologi yang cukup besar dengan tenaga
teknis yang terampil. Beberapa negara maju seperti di Eropa dan Jepang telah berhasil
megembangkan budidaya tuna dengan sistem keramba jarring apung (Gambar 2). Budidaya tuna
dilakukan sebagai solusi untuk mengatasi populasi tuna yang memijah di perairan Indonesia yang
terus menurun dan mulai terancam. Untuk itu sebagai solusi mempertahankan eksistensi tuna yang
dirasa paling tepat adalah dengan budidaya dan juga mendukung sertifikasi dan ketertelusuran
(traceability) produk tuna dari Indonesia.

Gambar 2. Karamba Jaring Apung budidaya tuna (sumber: Google)

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tengah menjajaki sejumlah kerja sama investasi dari
sejumlah perusahaan di Prefektur Ehime di Jepang. Salah satunya budidaya ikan tuna di wilayah
pesisir atau pulau di Sulawesi Selatan. Sebahagian besar wilayah pesisir dan pulau di Sulawesi
Selatan cukup layak sebagai lokasi pengembangan budidaya ikan tuna. Penjajakan kerjasama ini
diawali dengan penandatanganan MoU antara Pemprov Sulsel dan Gubernur Prefektur Ehima di
Makassar pada bulan Januari 2019. Melalui MoU ini, sumber daya manusia dari Sulawesi Selatan
akan dikirim ke Jepang untuk diberi pelatihan terkait budidaya laut termasuk budidaya tuna sambil
menunggu penyiapan infrastruktur utama dan pendukung budidaya tersebut (news.detik.com
2019).

4
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
II. WILAYAH MAMMINASATA (PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE) LAYAK
JADI LOKASI BUDIDAYA TUNA

A. Dukungan Kebijakan

Salah satu Visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yaitu mewujudkan masyarakat
Sulawesi Selatan yang mandiri sejahtera yang di jabarkan dalam misi menjadikan masyarakat
Sulawesi Selatan, utamanya petani dan nelayan mandiri dan berdaulat atas kebutuhan pertanian dan
perikanan, dibekali dengan skill, fasilitas, dan teknologi. Visi Misi tersebut kemudian dituangkan
dalam program nyata yaitu pemberdayaan ekonomi kerakyatan melalui hilirisasi komoditas
perikanan Sulawesi Selatan. Guna merealisasikan program tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Sulawesi Selatan didukungan oleh Sekretariat Dinas, 4 (empat) Bidang Teknis, 4 (empat)
Unit Pelaksana Teknis (UPT) serta 7 (tujuh) Cabang Dinas Kelautan (CDK). Kerjasama yang baik
antara Bidang Budidaya, UPT Budidaya serta Cabang Dinas merupakan kunci sukses program
pengembangan budidaya tuna dengan menggunakan karamba jaring apung tersebut.
Selain itu, Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (RZWP3K) Sulawesi Selatan telah disetujui dan ditetapkan pada awal tahun 2019.
Perda ini merupakan acuan utama dalam penataan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan
laut Provinsi Sulawesi Selatan. Perencanaan ruang laut ini memberikan ruang bagi pengembangan
budidaya dengan keramba jaring apung (KJA) di wilayah perairan Mamminasata (Spermonde)
terutama di sekitar perairan Kota Makassar (Kepulauan Sangkarrang) dan perairan Kabupaten
Takalar (Kepulauan Tanakeke). Perda ini menjadi rujukan dalam pemilihan calon lokasi dan
penempatan KJA budidaya tuna.
Zona perikanan budidaya adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara
berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya untuk kegiatan dan/atau
usaha pemeliharaan dan pembesaran komoditas ikan. Salah satu zona perikanan budidaya adalah
Sub zona budidaya laut yaitu ruang dalam zona perikanan budidaya yang dimanfaatkan untuk
budidaya KJA kerapu, kakap, kerang hijau dan kerang mutiara (RZWP3K 2017).
Berdasarkan dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
Sulawesi Selatan, Kebijakan pengelolaan zona perikanan budidaya ditetapkan untuk
mengoptimalkan zona perikanan budidaya, mengembangkan sub zona budidaya laut,
meningkatkan produktifitas perikanan budidaya, dan mengembangkan penelitian dan data.
Sedangkan strategi pengelolaan zona perikanan budidaya dilakukan dengan cara mengoptimalkan
pengelolaan lahan perairan umum dan perairan laut untuk kegiatan perikanan budidaya,
mengembangkan sarana dan prasarana perikanan budidaya, mengembangkan teknologi pasca
panen, perikanan budidaya yang ramah lingkungan, dan pemasaran, serta mengembangkan
sumberdaya manusia di bidang perikanan budidaya. Untuk Zona Budidaya Laut dialokasikan ruang
seluas 540.628 Ha, di sebagaian perairan sekitar Selat Makassar, Lut Flores dan Teluk Bone.

5
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
Dimana, rencana penetapan kawasan perikanan budidaya karamba jaring apung yaitu di perairan
sekitar di Kabupaten Pangkep, Selayar, Luwu, Takalar dan Barru. Rencana penetapan lokasi
pengembangan budidaya laut ini harus memenuhi persyaratan teknis, ekologis, ekonomi, sosial,
dan budaya, serta Memperhatikan daya dukung perairan.

B. Dukungan Faktor Lingkungan Perairan

Produktivitas lautan yang paling tinggi berada pada kawasan tropis di sepanjang jalur
khatulistiwa di antara 10°U hingga 10°S (Longhurst 1993). Di sepanjang kawasan khatulistiwa ini,
sinar matahari yang sangat diperlukan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis fitoplankton
cukup tersedia spanjang tahun. Selain itu, dikawasan ini juga sering terjadi proses upwelling yang
menyebabkan peningkatan nutrien pada lapisan permukaan sehingga mendorong pertumbuhan
fitoplankton yang merupakan sumber produsen utama dalam perairan (Longhurst 1993; Reddy &
Salvekar 2008). Oleh karena itu, kawasan perairan Indonesia memiliki sebahagian besar
produktivitas lautan tropis (Susanto et al. 2006).
Laut Indonesia memiliki keanekaragaman biologi yang tinggi, dengan potensi sumberdaya
perikanan yang sangat besar, baik kualitas maupun keanekaragaman jenisnya serta menjadi tempat
yang penting bagi berbagai aktivitas perikanan (Lehodey et al. 1997; Susanto et al. 2006).

1. Letak Kepulauan Spermonde


Salah satu gugusan pulau-pulau yang terletak di Selat Makassar adalah Kepulauan
Spermonde. Perairan kepulauan Spermonde merupakan dangkalan yang terletak di sebelah barat
daya Sulawesi Selatan dan terdiri dari banyak pulau-pulau dan shelf banks. Kawasan perairan
kepulauan ini meliputi bagian selatan Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten Pangkep
hingga Kabupaten Barru (Rasyid & Ibrahim, 2013).

2. Arus Lintas Indonesia (Arlindo)


Perairan Kepulauan Spermonde adalah bagian dari Selat Makassar. Kondisi perairan Selat
Makassar secara umum juga menggambarkan kondisi perairan Kepulauan Spermonde. Selat
Makassar merupakan perairan yang cukup dalam, dengan kedalaman hingga 5,000 m. Selat
Makassar dikenal sebagai salah satu jalur utama massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia (Masumoto 2002; Wajsowicz et al. 2003). Aliran air di kawasan ini dikenal sebagai arus
lintas Indonesia atau The Indonesian Throughflow (ITF). Sebanyak 80% daripada keseluruhan ITF
melalui Selat Makassar (Gordon et al. 2008). ITF memberi pengaruh yang signifikan terhadap suhu
lautan dan iklim. Air yang lebih panas dari Samudera Pasifik mengalir melalui Selat Makassar dan
keluar melalui tiga jalur utama iaitu Selat Lombok, Selat Ombai dan Selat Timor, menuju ke
Samudera Hindia (Gordon et al. 2008; Hendiarti et al. 2004) (Gambar 3). Aliran massa air melalui

6
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
ITF bervariasi dan dipengaruhi oleh El Niño-Southern Oscillation (ENSO), monsun Asia-Australia
dan variasi iklim tahunan di Samudera Hindia (Gordon et al. 2008).

Massa air dari Samudera Pasifik Utara


Massa air dari Samudera Pasifik Selatan
Massa air dank e Laut Jawa

Gambar 3 Gambar skematik Arus Lintas Indonesia (ITF). Garis merah dan biru menunjukkan
pergerakan massa air dari Samudera Pasifik yang melintasi perairan Indonesia menuju
ke Samudera Hindia. Garis hijau (putus-putus) menunjukkan pergerakan massa air dari
Laut Jawa sepanjang monsun Barat dan pergerakan massa air ke Laut Jawa sepanjang
monsun Timur. Kawasan di dalam kotak warna orange menunjukkan kawasan perairan
Selat Makassar dan kawasan dalam kotak warna ungu menunjukkan perairan
Kepulauan Spermonde. (Sumber: Gordon et al. 2008; digambarkan kembali oleh
Suhartono 2016)

7
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
3. Iklim Monsun

Seperti halnya kawasan lainnya di Indonesia, perairan Kepulauan Spermonde juga sangat
dipengaruhi oleh iklim monsun (monsun Asia-Australia). Monsun ini memiliki ciri khas yaitu
perubahan dalam kecepatan dan arah angin pada setiap monsun (Sukresno & Kasa 2008). Monsun
di perairan Indonesia terbagi menjadi monsun Barat yaitu sepanjang bulan November hingga Maret
(15-20 knot), monsun Timur yaitu sepanjang bulan Mei hingga September (13-17 knot) dan dua
peralihan monsun yaitu peralihan monsun Barat ke Timur (10-12 knot) dan peralihan monsun
Timur ke Barat (12-15 knot) (Susanto et al. 2006). Perubahan monsun tersebut menyebabkan
perubahan keadaan biologi dan fisika di kawasan ini sepanjang tahun.

4. Pola Arus Permukaan

Monsun mempengaruhi arus lautan, dimana arus berubah mengikuti perubahan angin
monsun yang mengalami pembalikan arah dua kali setahun (Wyrtki 1961). Pada monsun Timur
angin bergerak dari Australia ke Asia dan pada monsun Barat terjadi sebaliknya. Pola ini
berpengaruh terhadap aliran massa air khususnya pada lapisan permukaan. Pada monsun Barat
massa air bergerak dari arah barat Indonesia menuju ke timur dan didominasi aliran massa air yang
berasal dari Samudera Hindia, sedangkan pada monsun Timur arus permukaan bergerak dari arah
timur Indonesia menuju ke barat yang didominasi aliran massa air dari Samudera Pasifik.
Seperti yang telah dibahas pada bahagian sebelumnya, Selat Makassar merupakan bagian
dari sistem peredaran massa air dunia yang mengalirkan massa air dari samudera Pasifik ke
samudera Hindia (ITF). Letak geografis Spermonde di Selat Makassar yang memanjang dari utara
ke selatan, menjadikan sepanjang tahun hampir dapat dikatakan arus permukaan perairan tidak
mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan (ITF) kecuali pada bagian selatan Selat
Makassar karena terjadi pertemuan arus massa air dari Laut Jawa, Laut Flores dan Selat Makassar.
Pada monsun Timur, massa air yang mengalir dari Laut Flores bertemu dengan air yang
keluar dari Selat Makassar kemudian bersama-sama mengalir memasuki Laut Jawa. Semasa
monsun Timur, angin bertiup kuat dan menghasilkan arus laut yang kuat dan menyebabkan
perpindahan massa air permukaan dan digantikan oleh massa air dari lapisan bawah yang memiliki
suhu yang rendah dan kaya dengan nutrien. Keadaan ini pula menyebabkan terjadinya proses
upwelling terutamanya di kawasan sebelah selatan dan barat daya Pulau Sulawesi (Susanto et al.
2006).
Sebaliknya pada monsun barat, massa air dari Laut Jawa yang mengalir dari arah barat ke
timur bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan bersama-sama masuk ke Laut
Flores. Massa air dari Laut Jawa lebih hangat namun memiliki kandungan nutrien yang rendah,
sehingga hanya berdampak pada peningkatan suhu di perairan tersebut (Rasyid & Ibrahim 2013).

8
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
Pada kondisi perairan tidak mendapat pengaruh angin atau kecepatan angin lemah, maka
pasang surut merupakan faktor dominan yang mempengaruhi pola arus permukaan. Type pasang
surut demikian menyebabkan dua pola arus yaitu: Pola arus pasang ke utara, dimana arus dari
selatan cenderung menuju ke utara melewati laut dalam di sebelah barat perairan kepulauan
Spermonde dengan kecepatan 0,62 m/s dan semakin menurun hingga 0,15 m/s. Arus dari selatan
melewati pulau-pulau bagian selatan dengan kecepatan 0,1 m/s. Sedangkan Pola arus surut ke
selatan, dimana arus dari utara cenderung menuju ke selatan melewati laut dalam di sebelah barat
kepulauan Spermonde dengan kecepatan 0,1 m/s dan semakin meningkat hingga 0,35 m/s (Rasyid
& Ibrahim 2013).

5. Variasi Konsentrasi Klorofil-a

Konsentrasi klorofil-a yang tinggi terjadi sepanjang monsun Barat (November-Maret) dan
peralihan monsun Barat ke Timur (April). Sedangkan sepanjang monsun Timur (Mei-September)
dan peralihan monsun Timur ke Barat (Oktober), konsentrasi klorofil-a lebih rendah (Suhartono
2016; Suhartono et al. 2015, 2017a, 2017b).

Sepanjang monsun Barat, konsentrasi klorofil-a di perairan Kepulauan Spermonde adalah


0.65 mg/m3. Sepanjang peralihan monsun Barat ke Timur, konsentrasi klorofil-a di perairan
Kepulauan Spermonde adalah 0.53 mg/m3. Sedangkan Sepanjang monsun Timur, konsentrasi
klorofil-a di perairan Kepulauan Spermonde adalah 0.45 mg/m3. Sepanjang peralihan monsun
Timur ke Barat, konsentrasi klorofil-a di perairan Kepulauan Spermonde adalah 0.30 mg/m 3
(Suhartono 2016; Suhartono et al. 2017b) (Gambar 4).

9
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019

Gambar 4. Peta klimatologi konsentrasi klorofil-a selama dua belas tahun (Juli 2002-Juni 2014)
di perairan Selat Makassar (Suhartono 2016)

6. Variasi Suhu Permukaan Laut

Keadaan suhu permukaan laut sepanjang monsun Timur secara umum lebih dingin.
Sepanjang monsun Barat, suhu permukaan laut di bagian selatan Selat Makassar lebih panas
(30.10oC) berbanding di bagian utara (29.20oC). Pada pertengahan monsun Barat (Januari), suhu
permukaan laut di Selat Makassar lebih dingin di bagian selatan (28.90oC) dan utara (29.10oC).

10
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
Memasuki peralihan monsun Barat ke Timur, suhu permukaan laut lebih panas mencapai 30.40oC
hampir merata di keseluruhan perairan selat Makassar (Suhartono 2016; Suhartono et al. 2015,
2017a).

Gambar 5. Peta klimatologi suhu permukaan laut selama dua belas tahun (Juli 2002-Juni 2014) di
perairan Selat Makassar (Suhartono 2016)

Sepanjang monsun Timur, suhu permukaan laut di bagian selatan Selat Makassar adalah
lebih dingin (28.30oC) dibandingkan bagian utara (29.50oC). Semasa peralihan monsun Timur ke

11
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
Barat, suhu permukaan laut di bagian selatan Selat Makassar adalah lebih dingin (28.90oC)
dibandingkan di bagian utara (29.60oC). Suhu permukaan laut di perairan Kepulauan Spermonde
juga menunjukkan variasi yaitu 30.10oC semasa monsun Barat, 30.50oC semasa peralihan monsun
Barat ke Timur, 28.30oC semasa monsun Timur dan 28.90oC semasa peralihan monsun Timur ke
Barat (Suhartono 2016; Suhartono et al. 2015, 2017a) (Gambar 5).

7. Dinamika Oseanografi

Curah hujan yang tinggi pada monsun Barat menyebabkan limpahan air sungai yang banyak
dan membanjiri kawasan pantai terutama melalui beberapa sungai besar yang berada di Pulau
Kalimantan dan Pulau Sulawesi (Afdal & Riyono 2004). Limpahan air sungai membawa banyak
nutrien yang dapat digunakan dalam proses fotosintesis. Kondisi ini menyebabkan variasi klorofil-
a dan suhu permukaan laut di kawasan perairan Kepulauan Spermonde. Kajian yang dilakukan
oleh Rasyid dan Ibrahim (2013) mendapati bahawa sepanjang monsun Barat dan peralihan monsun
Barat ke Timur, suhu permukaan laut di perairan Kepulauan Spermonde lebih tinggi dibandingkan
saat monsun Timur dan peralihan monsun Timur ke Barat. Konsentrasi klorofil-a cukup tinggi
sepanjang tahun, terutama pada bulan Desember hingga Juli. Interaksi antara ITF dengan monsun
menyebabkan sistem sirkulasi air yang spesifik, Ekman dan panas, pencampuran massa air,
upwelling, downwelling, variasi suhu permukaan laut, variasi salinitas, dan variasi klorofil-a di
kawasan ini (Gordon 2005).
Keadaan biologi dan fisika yang dinamis di perairan kepulauan Spermonde menyebabkan
terbentuknya suatu kawasan yang mempunyai produktivitas tinggi dan berfungsi sebagai kawasan
tempat mencari makan bagi berbagai spesies ekonomis penting (Zainuddin et al. 2013). Kondisi ini
mendorong perkembangan aktivitas penangkapan ikan di kawasan ini yang telah berlangsung
selama ratusan tahun. Kawasan perairan kepulauan Spermonde merupakan kawasan yang selalu
subur sepanjang tahun (Realino et al. 2008). Kawasan ini merupakan daerah utama penangkapan
ikan bagi nelayan di pulau-pulau sekitarnya serta nelayan yang berada di sepanjang pantai barat
Sulawesi Selatan.

C. Titik Lokasi Budidaya KJA Tuna yang Diusulkan

Perikanan Budidaya adalah kegiatan untuk membenihkan, memelihara, membesarkan


dan/atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Di Australia
dan Jepang, ikan tuna dibudidayakan di dalam KJA yang berukuran panjang 120 m, lebar 50 m dan
kedalaman 30 m. Ikan tuna yang dibudidayakan dalam KJA diberi makan ikan segar (sarden atau
makarel) ataupun pakan buatan dua kali sehari.

12
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
Berdasarkan data yang tersedia dari hasil kajian, didapati bahwa fisika oseanografi di perairan
Sulawesi Selatan relatif cukup baik, begitu pula dengan kimia oseanografi. Hampir semua lokasi
cocok digunakan sebagai budidaya laut secara kesesuaian dengan oseanografi fisik dan kimia dan
keamanan, titik-titik lokasi budidaya hanya perlu di plotkan pada daerah yang relatif lebih sesuai
berdasarkan kajian lebih lanjut (RZWP3K 2017).

Gambar 6. Calon lokasi KJA tunaditandai dengan symbol bendera hitam (nomor 1, 2, 3, dan 4)

Kawasan yang mempunyai kesesuaian dengan peruntukan ruang budidaya laut berdasarkan
RZWP3K SulSel dan direkomendasikan sebagai alternatif calon lokasi KJA tuna adalah sebagai
berikut:

13
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
Koordinat
No Nama Lokasi Keterangan
LS BT
1 Barat Daya Pulau Lanjukang 119.069 -4.987 Calon Lokasi KJA Tuna
2 Tenggara Pulau Langkai 119.105 -5.052 Calon Lokasi KJA Tuna
3 Timur Laut Pulau Lanjukang 119.131 -4.962 Calon Lokasi KJA Tuna
4 Barat Laut Pulau Dayangdayangan 119.093 -5.330 Calon Lokasi KJA Tuna

Ke empat calon lokasi yang diusulkan memiliki karakteristik perairan dengan kedalaman 40-
50 m, substrat dasar perairan berpasir, dan perairan yang jernih (tidak keruh). Kedalaman yang
dipilih merupakan kedalaman optimum karena kedalaman jaring KJA mencapai 30 m, maka lokasi
yang sesuai adalah perairan yang kedalamannya >30 m, sehingga terdapat beberapa meter ruang
kosong dibawah jaring KJA untuk memudahkan sirkulasi air dan meminimalisir penumpukan
kotoran dibawah jaring. Selain itu, kedalaman tersebut juga cukup ideal karena lebih efisien dalam
hal biaya pembuatan KJA dibanding menempatkan KJA pada kedalaman ratusan meter. Lokasi
dengan substrat pasir dipilih karena perairan dengan karakteristik tersebut cenderung lebih jernih
dan ramah lingkungan (tidak merusak ekositem karang). Kecerahan perairan juga cukup baik yaitu
4 m – 9 m. Kecerahan merupakan indikator kedalaman cahaya matahari melakukan penetrasi ke
dalam kolom air. Kecerahan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
kegiatan budidaya laut. Perairan yang keruh umumnya kurang baik untuk kegiatan budidaya laut.
Hal ini terkait dengan sistem pencahayaan dalam perairan. Kecerahan yang baik untuk kegiatan
budidaya laut adalah lebih dari 3 meter.
Suhu permukaan laut di lokasi tersebut (4 lokasi) berkisar antara 28,90oC - 30,50oC,
sedangkan konsentrasi klorofil-a di perairan Kepulauan Spermonde adalah 0,65 mg/m3 – 0,30
mg/m3 (Suhartono 2016). Kisaran suhu ini sangat sesuai dalam menunjang aktivitas metabolisme
ikan sedangkan kisaran klorofil-a tersebut adalah cukup bagi menjamin ketersediaan sumber
makanan bagi kegiatan budidaya laut. Selanjutnya, berdasarkan data arus (Rasyid & Ibrahim
2013), didapati arus permukaan antara 0,08 m/s – 0,50 m/s. Kecepatan arus tersebut relatif cukup
aman bagi usaha budidaya tuna dengana menggunakan KJA.
Selanjutnya, menurut kajian (Susiana et al. 2013) didapati bahwa Oksigen Terlarut (DO)
adalah 6 ppm – 9 ppm dan pH 7,4 – 7,6. DO merupakan indikator besarnya oksigen yang terlarut di
dalam perairan, dimana oksigen ini diperlukan untuk pernafasan bagi biota air. Kandungan oksigen
yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut adalah >4 ppm. Sedangkan kandungan pH juga masih
dalam kondisi normal, dimana pH yang optimum untuk budidaya laut yaitu dengan batas pH 7-8,5.

14
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019

Gambar 7. Calon lokasi KJA tuna. Panorama eksotis Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang Kota
Makassar

Ke empat calon lokasi tersebut berjarak kurang lebih 24 mil laut atau sekitar 44 km dari
pesisir Kota Makassar dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit. Lokasi tersebut relatif
dekat sehingga sangat mungkin untuk tetap mempertahankan kualitas produk ikan tuna hasil
budidaya setelah di panen/ditangkap untuk mendapatkan penanganan optimal sebelum di
distribusikan ke pasaran. Selain itu, tiga lokasi diantaranya (calon lokasi 1, 2 dan 3) memiliki jarak
yang cukup dekat dengan Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang. Ke dua pulau tersebut merupakan
pulau terluar Kota Makassar dengan pemandangan yang sangat eksotis sehingga menjadi salah satu
destinasi wisata di Kota Makassar. Ini tentunya cukup menunjang kegiatan budidaya yang akan
dilakukan,dimana ke dua pulau tersebut diharapkan akan menunjang distribusi logistik budidaya,

15
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
menunjang ketersediaan pakan alami, menunjang keamanan usaha serta saling mendukung dalam
memajukan kegiatan pariwisata bahari di daerah tersebut.

III. PENUTUP
Perairan sekitar kepulauan Spermonde (Makassar dan Takalar) memiliki karakteristik
perairan yang sesuai untuk pengembangan budidaya tuna dengan sistem KJA. Lokasi-lokasi yang
disebutkan diatas selain memiliki kondisi oseanografi yang sesuai untuk budidaya, juga sejalan
dengan penataan ruang laut berdasarkan RZWP3K Sulawesi Selatan sehingga pengembangannya
dapat lebih optimal. Pengembangan budidaya tuna ini diharapkan dapat mendukung ketahanan
pangan, meningkatkan volume dan nilai ekspor perikanan Sulawesi Selatan, serta menunjang
pengembangan wilayah MAMMINASATA sebagai Kawasan Strategis Nasional. Selain itu,
aktifitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang
bermukim disekitar lokasi budidaya tuna tersebut (masyarakat pulau).

Makassar, 16 April 2019

Tim Penyusun

16
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
REFERENSI

Afdal & Riyono, S. H. 2004. Sebaran klorofil-a kaitannya dengan kondisi hidrologi di Selat
Makassar. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36: 69-82.

Hendiarti, N., Siegel, H. & Ohde, T. 2004. Investigation of different coastal processes in
Indonesian waters using Sea WiFS data. Deep-Sea Research II 51: 85-97.

http://farming.id/potensi-tuna-di-indonesia/ [Desember 2017].

https://katadata.co.id/infografik/2017/02/15/tuna-unggulan-perikanan-indonesia [Februari 2017].

https://kkp.go.id/artikel/4409-pesona-tuna-sebagai-penggerak-bisnis-perikanan-indonesia [Mei
2018].

https://news.detik.com/berita/d-4384233/pemprov-sulsel-ehima-jepang-jajaki-investasi-budidaya-
tuna-di-selayar [Januari 2019].

Gordon, A. L., 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their throughflow. Oceanography
18: 14–27.

Gordon, A. L., Susanto, R. D., Ffield, A., Huber, B. A., Pranowo, W. & Wirasantosa, S. 2008.
Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophysical Research Letters 35(24). L24605:
1-5.

Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A. & Picaut, J. 1997. El Niño Southern
Oscillation and tuna in the wastern Pacific. Nature 389: 715-718.

Longhurst, A. 1993. Seasonal cooling and blooming in tropical oceans. Deep-Sea Research I 40:
2145–2165.

Masumoto, Y. 2002. Effect of interannual variability in the eastern Indian Ocean on the Indonesian
Throughflow. Journal of Oceanography 58: 175-182.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2017. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Sulawesi Selatan. Dokumen Final.

Rasyid, A. J. & Ibrahim. 2013. Spermonde: kondisi oseanografi versus ikan pelagis. Masagena
Press Makassar. Indonesia. 124 hlm.

Realino, B., Wibawa, T. A., Zahrudin, D. A. & Napitu, A. M. 2008. Pola spasial dan temporal
kesuburan perairan permukaan laut Indonesia. Jurnal Geografi 1(2): 92-100.

Reddy, P. R. C. & Salvekar, P. S. 2008. Phytoplankton blooms induced/sustained by cyclonic


eddies during the Indian Ocean Dipole event of 1997 along the southern coast of Java and
Sumatra. Biogeoscience Discussions 5: 3,905-3,918.

Suhartono, N. 2016. Penentuan Kawasan Potensi Penangkapan Ikan Rastrelliger kanagurta


(Cuvier 1817) di Perairan Kepulauan Spermonde, Indonesia Menggunakan Penderiaan Jauh
dan GIS. Fakulti Sains dan Teknologi Universiti Kebangsaan Malaysia. Tesis.
Suhartono, N., Mustapha, M.A., Lihan, T., & Ghaffar, M.A. 2015. Determination of Potential
Fishing Grounds of Rastrelliger kanagurta Using Satellite Remote Sensing and GIS
Technique. Sains Malaysiana 44 (2): 225-232.

17
PROPOSAL PROJECT BUDIDAYA TUNA
CDK MAMMINASATA-DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROV. SULSEL 2019
Suhartono, N., Mustapha, M.A., Lihan, T., & Zainuddin, M. 2017a. Applicabilityof Remote
Sensing Oceanographic Data in the Detection of Potential Fishing Grounds of Rastrelliger
kanagurta in the Archipelagic Waters of Spermonde, Indonesia. Fsiheries Research (196):
1-12.

Suhartono, N., Mustapha, M.A., Lihan, T., & Tangang, F. 2017b. Spatial and Temporal Variability
of Chlorophyll-a in Makassar Strait using Empirical Orthogonal Function Analysis of
Satellite Images. Indian Journal of Geo Marine Science 46 (07): 1381-1389.

Sukresno, B. & Kasa, I. W. 2008. Dynamical analysis of Banda Sea concerning with El Nino,
Indonesian Throughflow and monsoon by using satellite data and numerical model.
Ecothrophic 3(2): 87-91.

Susanto, R. D., Moore II, T. S. & Marra, J. 2006. Ocean color variability in the Indonesian Seas
during the SeaWiFS era. Geochemistry Geophysics Geosystems 7(5): 1-16.

Susiana, Niartiningsih, A., & Amran, M.A., 2013. Hubungan antara kesesuaian kualitas perairan
dan kelimpahan kima (Tridacnidae) di Kepulauan Spermonde.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia No: 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Undang-Undang Republik Indonesia No: 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Wajsowicz, R. C., Gordol, A. L., Ffield, A. & Susanto, R. D. 2003. Estimating transport in
Makassar Strait. Deep-Sea Research II 50: 2,163-2,181.

Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian waters. Naga Report Vol. 2.
Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand
1959-1961. The University of California. La Jolla, California. 195 hlm.

Zainuddin, M., Nelwan, A., Farhum, S. A., Najamuddin, Hajar, M. A. I., Kurnia, M. & Sudirman.
2013. Characterizing potential fishing zone of Skipjack Tuna during the Southeast monsoon
in the Bone Bay-Flores Sea using remotely sensed oceanographic data. International
Journal of Geoscience 4: 259-266.

18

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai