Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN TARIF DAN NON TARIF UNI EROPA

TERHADAP EKSPOR TUNA INDONESIA

Abstrak - Perdagangan produk perikanan memberikan kontribusi yang signifikan bagi negara.
Tuna merupakan komoditas ekspor utama Indonesia dan memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar
dunia. Uni Eropa (UE) merupakan pasar potensial bagi Indonesia. Ekspor tuna ke UE meningkat
rata-rata 3,82% selama periode 1992-2006. Proteksi yang diberikan oleh UE yang diatur dalam
kebijakan perdagangan berupa kebijakan tarif dan non tarif menjadi kendala bagi Indonesia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memahami dampak kebijakan perdagangan UE
terhadap volume ekspor tuna Indonesia. Kebijakan terkait tarif impor UE antara lain EC No.
2886/96, EU No. 980/2005 dan EC No. 975/2003 yang berlaku dari tahun 2006-2008, yang
memberikan keringanan tarif spesifik untuk tuna kaleng dari Indonesia, Thailand dan Filipina
.Kebijakan nontarif dirangkum dalam EC No. 178/2002, kemudian diperjelas dalam aplikasi oleh
EC No. 466/2001, EC No. 852/2004, EC 853/2004, EC No. 854/2004, EC No. 882/2004 dan EC
No. 2073/2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tarif dua tahun sebelumnya, kebijakan non
tarif UE dan volume ekspor berdampak pada volume ekspor tuna Indonesia pada tahun t. Hal ini
sejalan dengan kenyataan bahwa UE terus memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk terus
meningkatkan ekspor dengan kualitas yang ada, namun tetap harus dilakukan upaya untuk
menyeimbangkan kualitas. Prakiraan yang diperoleh menunjukkan bahwa ekspor tuna ke UE akan
terus meningkat selama lima tahun ke depan.

Kata kunci: kebijakan, tarif, non tarif, Uni Eropa, ekspor, tuna
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 81.000
kilometer, Indonesia memiliki potensi perikanan dan kelautan yang luar biasa dari segi
kualitas dan keragaman. Namun potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal
karena industri perikanan dan kelautan saat ini belum berkembang pesat. Peluang
pengembangan bisnis perikanan dan kelautan di Indonesia masih sangat besar. Potensi
sumber daya kelautan dan perikanan yang tersedia untuk pemulihan ekonomi diperkirakan
sebesar US$82 miliar per tahun, dengan potensi perikanan tangkap sebesar US$15,1 miliar
per tahun, potensi budidaya laut sebesar US$46,7 miliar per tahun, potensi perairan umum
sebesar US$1,1 miliar per tahun, dan potensi budidaya tambak US$ 10 miliar per tahun,
potensi budidaya air tawar US$ 5,2 miliar per tahun dan potensi bioteknologi kelautan US$
4 miliar per tahun (Dauri 2004).
Sektor perikanan merupakan sektor penting bagi pembangunan nasional. Kegiatan
perdagangan hasil perairan dapat memberikan pemasukan devisa yang besar bagi negara.
Menurut hasil perhitungan BPS (2006), perdagangan ekspor nonmigas Indonesia terus
tumbuh dari US$18.247,5 juta pada tahun 1991 menjadi US$79.589,1 juta pada tahun
2006. Ekspor nonmigas Indonesia meliputi beberapa sektor yaitu sektor pertanian, industri,
pertambangan dan komoditas lainnya.
Menurut data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, volume perdagangan
produk perairan Indonesia di pasar dunia terus tumbuh signifikan. Selama tahun 1997-
2006, volume ekspor hasil perairan Indonesia meningkat secara signifikan, dari 574.419
ton pada tahun 1997 menjadi 926.478 ton pada tahun 2006, dengan rata-rata peningkatan
sebesar 7,29%.Komoditas ekspor utama adalah udang, tuna/cakal/tongkol jagung. Ikan
lainnya (laut dan darat), kepiting, dll.
Dalam rangka memaksimalkan potensi sumber daya perikanan dan menggerakkan
potensi seluruh bangsa, perlu percepatan pemajuan rencana revitalisasi perikanan nasional
dan terobosan-terobosan. Hal ini bertujuan agar sektor perikanan menjadi salah satu
penggerak utama pembangunan ekonomi nasional dan berupaya mendorong pemanfaatan
potensi sumber daya perikanan yang berwawasan lingkungan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan mendorong kontribusi yang lebih besar bagi pertumbuhan
ekonomi nasional. Tujuan Program Revitalisasi Perikanan difokuskan pada pengembangan
tiga komoditas penting yaitu udang, tuna dan rumput laut (DKP 2007a).
Tuna merupakan komoditas perikanan yang digemari oleh hampir semua negara di
dunia, dan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, produksi dan
penjualan ikan tuna di dunia (termasuk Indonesia) sangat berpengaruh terhadap
perkembangan perikanan secara keseluruhan.
Sasaran utama ekspor tuna Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa
Ketiga negara tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja ekspor tuna
Indonesia. Pada tahun 2004, negara tujuan pertama ekspor tuna Indonesia adalah Jepang
dengan volume ekspor tuna Indonesia sebesar 36,84%, diikuti oleh Amerika Serikat
dengan volume ekspor tuna Indonesia sebesar 20,45%, dan Uni Eropa dengan pangsa
ekspor tuna Indonesia sebesar 12,69%. volume. Berikut perkembangan ekspor ikan tuna
Indonesia menurut negara tujuan pada tahun 2004 seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor Tuna Menurut Negara Tujuan, 2004

No Negara Tujuan Volume Nilai


(Ton) (%) (US $ 1000) (%)
1 Jepang 34.715 36,84 122.889 50,38
2 Amerika Serikat 19.270 20,45 54.705 22,43
3 Uni Eropa 11.955 12,69 21.161 8,67
4 Taiwan 2.583 2,74 1.973 0,81
5 Singapura 6.320 6,71 11.334 4,65
6 Philipina 2.845 3,02 877 0,36
7 Jordan 2.308 2,45 5.962 2,44
8 Mesir 5.270 5,59 9.957 4,08
9 Lainnya 8.955 9,50 15.078 6,18
Jumlah 94.221 243.938
Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan, 2004

Perkembangan ekonomi saat ini merangsang pasar dan mengubah arah dunia usaha,
tidak lagi terbatas pada lingkup nasional, tetapi berdimensi internasional atau global.
Dalam The Wealth of Nations, Adam Smith berpendapat bahwa jika suatu negara
memproduksi barang lebih efisien, maka akan mengekspor barang ke negara lain, yang
disebut keunggulan absolut. Terjadinya kegiatan perdagangan internasional akan dapat
meningkatkan keuntungan dan output dunia yang terlibat di dalamnya (Sukwiaty 2005).
Semakin berkembangnya kegiatan perdagangan antar negara menyebabkan banyak
negara melakukan kegiatan proteksi untuk melindungi produsen dan konsumen di negara
yang bersangkutan. Hampir setiap negara menerapkan pembatasan perdagangan atau
pungutan dalam bentuk pungutan, perlindungan dalam bentuk kebijakan atau peraturan
perdagangan.Pembatasan ini merupakan hambatan bagi kegiatan perdagangan, sehingga
sangat berpengaruh kepada negara-negara berkembang yang melakukan kerjasama dengan
negara tesebut.
Uni Eropa merupakan pasar potensial bagi Indonesia. Dibandingkan dengan Jepang dan
Amerika Serikat, UE menempati urutan ketiga di antara tujuan ekspor tuna Indonesia,
namun UE, sebagai organisasi antar pemerintah negara-negara Eropa, merupakan pasar
yang berkembang dan menawarkan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan
volume ekspor tuna. UE sangat protektif terhadap produsen dan konsumen dalam negeri.
Proteksi yang ditawarkan UE berupa penetapan kebijakan perdagangan yang menjadi
kendala bagi Indonesia yang mengekspor tuna ke UE. Hambatan yang dikenakan terhadap
produk yang masuk ke negara anggotanya berupa hambatan tarif dan non tarif yang dinilai
cukup berat dibandingkan dengan negara pengimpor lainnya. Oleh karena itu, dalam
rangka mendorong ekspor tuna Indonesia, perlu dilakukan analisis sejauh mana pengaruh
kebijakan perdagangan UE terhadap perkembangan ekspor tuna Indonesia ke UE.

1.2 Perumusan Masalah


Banyak negara di dunia memiliki pembatasan jenis dan jumlah barang impor mereka.
Pembatasan ini dapat bersifat umum dalam arti pembatasan kuantitatif, terlepas dari negara
asal barang tersebut. Namun juga datang dalam bentuk pembatasan khusus, seperti hanya
di negara tertentu.
Produk akuatik Indonesia baru-baru ini menghadapi hambatan untuk memasuki pasar
UE karena dugaan residu dalam produk akuatik seperti tuna dan udang yang tidak
mematuhi masalah lingkungan dan peraturan yang diberlakukan oleh UE. Meski negara-
negara Eropa sudah menjadi pasar yang tidak asing lagi bagi pengusaha Indonesia, pangsa
pasar produk Indonesia yang diekspor ke negara-negara UE terus menurun. Hal ini
dikarenakan kendala yang masih belum dapat diatasi oleh Indonesia.
Hambatan berupa pengenaan tarif bea masuk yang diterapkan oleh Uni Eropa
merupakan salah satu usaha yang dilakukan Uni Eropa untuk melindungi produksi dalam
negeri dari serbuan produk impor. Pengenaan tarif bea masuk dilakukan secara
deskriminatif ini tergantung dari skema generalized system of preferences (GSP) Uni
Eropa terhadap negara-negara berkembang dan Indonesia merupakan salah satu negara
penerima GSP.
Ketidakmampuan pengusaha ekspor tuna Indonesia dalam memenuhi aturan non-tarif
merupakan hambatan lain dalam mengembangkan pasar di Uni Eropa. Hambatan non-tarif
yang dialami Indonesia ini berkaitan dengan masalah mutu produk, spesifikasi, satandar
serta isu lingkungan. Masalah mutu dan keamanan pangan menjadi sangat penting dengan
meningkatnya teknologi, proses pengolahan pangan, pemakaian bahan tambahan
makanan, pemakaian bahan pengawet serta terbukanya perdagangan makanan dari luar
negeri.
Melihat uraian dan kenyataan diatas dan juga merujuk pada latar belakang yang telah
dibuat, maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu :
1. Kebijakan tarif dan non tarif apa saja yang dikeluarkan oleh Uni Eropa untuk
produk tuna yang berasal dari Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh penerapan kebijakan tarif Uni Eropa terhadap ekspor tuna
Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh penerapan kebijakan non tarif Uni Eropa terhadap ekspor
tuna Indonesia?
4. Bagaimana peramalan volume ekspor tuna Indonesia di Uni Eropa pada masa yang
akan datang?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi kebijakan tarif dan non tarif yang dikeluarkan Uni Eropa untuk
impor tuna yang berasal dari Indonesia.
2. Mengetahui pengaruh penerapan kebijakan tarif Uni Eropa terhadap ekspor tuna
Indonesia.
3. Mengetahui pengaruh penerapan kebijakan non tarif Uni Eropa terhadap ekspor
tuna Indonesia.
4. Meramalkan volume ekspor tuna Indonesia di Uni Eropa pada masa yang akan
datang.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai masukan dan pedoman bagi pembuat kebijakan dan pelaku usaha ekspor
tuna.
2. Sebagai bahan acuan bagi peneliti lebih lanjut bagi pihak akademisi maupun
pemerintah.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ragam Spesies Tuna dan Penyebarannya


Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili Scombridae,
terutama genus Thunnus. Dalam statistik perikanan tangkap Indonesia, tuna merupakan
nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari :
1. Jenis tuna besar (Thunnus spp.) yakni bluefin tuna (Thunnus thynnus), yellowfin
tuna (Thunnus albacares), bigeye tuna (Thunnus obesus), southern bluefin tuna
(Thunnus maccoyii), dan albacore (Thunnus alalunga) serta jenis ikan mirip tuna
(tuna-like species) seperti marlin, sailfish dan swordfish;
2. Jenis cakalang (skipjack tuna); dan
3. Jenis tongkol, meliputi eastern little tuna (Euthynus spp.), frigate and bullet tuna
(Auxus spp.) dan longtail tuna (Thunnus tonggol).
Ikan tuna tidak seperti kebanyakan ikan yang memiliki daging berwarna putih,
daging ikan tuna berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih
banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih
besar, seperti tuna sirip biru (bluefin tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu
air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang lebih
dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam.
Dalam Burhanudin (1984) dikatakan suku Scombridae mencakup banyak jenis di
dunia dan tercatat sebanyak 46 jenis. Dari 46 jenis suku Scombridae, perairan Indonesia
hanya memiliki sebanyak 20 jenis dan untuk jenis tuna yang terdapat di perairan Indonesia
hanya sebanyak 9 jenis. Jenis tuna di perairan Indonesia diterangkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Tuna di Perairan Indonesia

Nama Indonesia Jenis Nama Perdagangan


- Ikan
Auxis rochei Bullet Tuna
Tongkol Pisang Auxis thazard Frigated mackeral
Tongkol Eutynnus affinis Little tuna
Cakalang Katsuwonus pelamis Skipjack Tuna
- Thunnus tonggol Longtail Tuna
Madidihang Thunnus albacares Yellowfin Tuna
Albakora Thunnus alalunga Albacore
Mata besar Thunnus obesus Bigeye Tuna
Abu-abu Selatan Thunnus maccoyii Southern bluefin tuna

Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia mencakup


wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.
Keberadaan tuna di suatu perairan sangat bergantung pada beberapa hal yang terkait
dengan spesies tuna, kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE
Indonesia, migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur
migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan
antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik. (DKP 2006b).

2.2 Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia


Pada tahun 1997-2006, ekspor hasil perikanan Indonesia mengalami fluktuasi dengan
persentase kenaikan rata-rata sebesar 7,29 %. Pada periode tahun yang sama, komoditas
tuna memberikan sumbangan yang tidak terlalu besar dalam kegiatan ekspor dan hanya
mengalami rata-rata kenaikan volume sebesar 0,23 % dan rata-rata kenaikan nilai sebesar
5,58%. Persentase rata-rata kenaikan ekspor komoditi utama Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Rata-rata Kenaikan Ekspor Komoditi Utama Indonesia

Rata-rata % Rata-rata %
Komoditi Kenaikan Volume Kenaikan Nilai
1997-2006 1997-2006
Udang 9,07 4,26
Tuna, Cakalang, Tongkol 0,23 5,38
Ikan Lainnya (termasuk 6,54 6,19
darat)
Kepiting 12 24,64
Lainnya 15,61 0,88
Total Hasil Perikanan 7,29 5,17
Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan, 2006a

Pada tahun 2001, volume ekspor tuna Indonesia sebesar 84.206 ton dan mengalami
peningkatan menjadi sebesar 92.797 ton pada tahun 2002. Kenaikan volume tuna tidak
diikuti kenaikan nilainya di pasar dunia, hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah sedang
mengalami penurunan dari Rp 8.653 per US$ pada tahun 2001 menjadi hanya Rp 8.542
per US$ pada tahun 2002. Daftar nilai tukar rupiah terhadap US$ dapat dilihat pada
Lampiran 1. Persentasi rata-rata kenaikan ekspor tuna Indonesaia ke pasar dunia dari tahun
1997-2006 masih relatif kecil yaitu 0,23%. Namun jika dilihat dari nilai produksi tuna
Indonesia, keadaan ini dapat ditingkatkan dengan usaha pengembangan industri tuna yang
komprehensif.
2.3 Teori Perdagangan Internasional
Jones dalam Julianingsih, 2003 mengatakan bahwa kebijakan terdiri dari komponen-
komponen 1) Goal atau tujuan yang diinginkan, 2) Plans atau proposal yaitu pengertian yang
spesifik untuk mencapai tujuan, 3) Program yaitu usaha yang berwenang untuk mencapai tujuan,
4) Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan membuat rencana
melaksanakan dan mengevaluasi program dan efek yaitu akibat-akibat dari program (baik
disengaja atau tidak, primer atau sekunder).
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro ekonomi ilmu
ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diperlakukan
sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditi. Dalam arti luas
kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah,
yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi konposisi, arah serta bentuk daripada
perdagangan dan pembayaran internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, quota, dan
sebagainya, tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak
langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan serta pembayaran internasional seperti
misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal. Sedangkan definisi yang lebih sempit kebijaksanaan
ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara
langsung mempengaruhi perdagangan dan pembayaran internasional (Nopirin, 1999).
Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff
barrier) dan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers). Hambatan yang bersifat tarif
(tariff barrier) merupakan hambatan terhadap terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang
disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan yang dimaksud
dengan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers) merupakan hambatan terhadap arus
barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan
pengenaan tarif atas suatu barang.

2.4 Kebijakan Tariff (Hambatan Tarif)


Hambatan perdagangan yang paling nyata secara historis adalah tarif. Tarif adalah pajak
yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal
komoditi ada 2 macam tarif yakni tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif
impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk dipakai
atau dikonsumsi habis di dalam negeri. Tarif impor berdampak pada penurunan konsumsi
domestik dan kenaikan produksi domestik. Berkurangnya volume impor akibat tarif impor tercipta
pendapatan tambahan bagi pemerintah dalam bentuk pajak, serta terjadinya retribusi pendapatan
dari konsumen domestik. Sebaliknya ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditi yang di ekspor
(Salvatore 1997).
Tarif yang diberlakukan pada barang-barang impor bertujuan untuk dapat meningkatkan
harga domestik produksi impor yang membuat produk domestik bisa berkompetisi. Tarif impor
akan dibebankan pada harga jual barang atau jasa yang akan dibeli konsumen, sehingga
menyebabkan harga barang atau jasa bertambah tinggi. Di pasar domestik harga yang berada di
pasar adalah harga ekspor ditambah tarif. Jadi tarif atau bea masuk adalah salah satu cara untuk
memberi proteksi terhadap industri dalam negeri.
Sistem tarif yang umum dilakukan oleh tiap negara dan sudah disepakati dalam pengenaan
tarif adalah (Amir 2003):
1. Tarif Tunggal (Singgle column tariff), yaitu suatu tarif untuk satu jenis komoditi yang
besarnya (prosentasenya) berlaku sama untuk impor komoditi tersebut dari negara mana
saja, tanpa kecuali.
2. Tarif Umum/Konvensional (General/Conventional Tariff), yaitu satu tarif untuk satu
komoditi yang besar persentase tarifnya berbeda antara satu negara dengan negara lain,
lazim juga dekenal sebagai tarif berkolom-ganda (two-column tariff).
3. Tarif Preferensi (Preferential Tariff), yaitu salahs atu tarif yang merupakan pengecualian
dari prinsip non-diskriminatif. Yang dimaksud dengan tarif preferensi adalah tarif GATT
yang persentasinya diturunkan, bahkan untuk beberapa komoditi sampai menjadi nol
persen (zero) yang diberlalukan oleh negara terhadap komoditi yang diimpor dari negara-
negara lain tertentu karena adanya hubungan khusus antara negara pengimpor dengan
negara pengekspor.
Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:
1. Tarif rendah antara 0%-5%. Tarif ini dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital,
seperti beras, mesin-mesin vital, dan alat-alat militer;
2. Tarif sedang antara 5%-20%. Tarif ini dikenakan untuk barang setngah jadi dan barang-
barang lain yang belum cukup produksi di dalam negeri; dan
3. Tarif tinggi di atas 20%. Tarif ini dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-
barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan
pokok.
Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan tindakan diskriminatif yang digunakan
untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam negeri dari persaingan
dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi
barang tertentu, dan lain-lain. Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi
produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi ekonomi.

2.5 Kebijakan Non-Tariff (Hambatan Non-Tarif)


Kebijakan non-tarif barrier ( NTB) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk
yang dapat menimbulkan distori, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional
(Hady, 2004). Secara garis besar NTB dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pembatasan Spesifik (Specific Limitation)
Pembatasan spesifik terdiri dari larangan impor secara mutlak, pembatasan impor dan
kuota sistem, peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu, peraturan
kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara, peraturan
kebudayaan, perizinan impor atau impor licenses, serta embargo;
2. Pembatasan Bea cukai (Custom Administration Rules)
Peraturan bea cukai terdiri dari tatalaksana impor tertentu (procedure), penetapan harga
pabean (custom value) penetapan forex rate (kurs valas) dan pengawasan devisa (forex
control), consulat formalities, packaging/ labeling regulation, dokumentation needed,
quality and testing standard, pungutan administrasi (fees), serta tariff classification; dan
3. Campur tangan Pemerintahan (Goverment Participation)
Campur tangan pemerintah terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintahan, subsidi dan
insentif ekspor, conterravailing duties, domestic assistance, dan trade diverting.
Amir (2003) mengatakan selain hambatan berbentuk tarif bea masuk, terdapat aneka ragam
kendala yang sengaja diciptakan untuk mengahalangi masuknya barang ke dalam peredaran suatu
negara. Kendala impor yang berciri non-tarif adalah:
1. Anti-Dumping atau Countervailing Duties, yaitu bea yang dipungut oleh negara
pengimpor atas komoditi yang terbukti mendapat subsidi dari pemerintah negara
pengekspor.
2. Pajak Impor, adalah pajak yang dipungut atas komoditi impor disamping bea-masuk.
3. Ijin Impor dan Alokasi Devisa.
4. Kontraksi Mata Uang dan Mempengaruhi Harga Impor.
5. Approved Traders (Importer), yaitu pemerintah dengan sadar membatasi importir untuk
komoditi tertentu, sehingga kuantum, mutu, harga dan distribusi komoditi tersebut secara
langsung dapat dikendalikan pemerintah.
6. Pengaturan teknis dan Administratif, yaitu dengan memberikan peraturan dan prosedur
yang rumit dan sulit dipenuhi serta memakan biaya dan waktu yang lama.
7. Pengadaan Pemerintah dan Penunjukan PNN.
8. Import-Quota, yaitu pembatasan yang diterapkan negara pengimpor atas jenis dan
jumlah (quantity) dari sutau komoditi yang boleh diimpor dari suatu negara lain.

2.6 Penelitian Terdahulu


No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
1 Rismutia Hayu Sertifikat Mutu Sebagai Penelitian ini bertujuan Hasil penelitian
Deswati, Tajerin Salah Satu Jenis untuk mendeskripsikan menunjukkan
dan Budi Wardono Hambatan Non Tarif pengertian, jenis dan bahwa ada berbagai
2015 Perdagangan Tuna Dan permasalahan sertifikasi jenis sertifikasi
Udang: mutu sebagai non-tariff mutu yang harus
Definisi, Jenis Dan barrier untuk ekspor dilengkapi
Permasalahannya. produk tuna dan udang dari eksportir, antara lain
Indonesia SKP, HACCP,
BRC, BAP, MSC,
ASC dan ISO
22000. Setiap
sertifikasi mahal
dengan biaya tinggi,
masa berlaku 1
hingga 2 tahun.
2 Subhechanis Dampak Hambatan Bertujuan untuk Hasil penelitian
Saptanto, Rikrik NonTarif Terhadap menganalisis dampak menunjukkan
Rahadian dan Tajerin Kinerja Makroekonomi hambatan non tarif terhadap bahwa pengurangan
Dari Sektor Perikanan sector perikanan dengan hambatan non-tarif
Dengan Menggunakan menggunakan pendekatan dan intervensi
Pendekatan Model Gtap model GTAP. kebijakan
memiliki pengaruh
yang besar secara
makro dan sectoral.
3 Darmiati Dahar, Analisis Pemberlakuan Menganalisis penerapan Menghasilkan
Rina Oktaviani, Non Tariff Measures ukuran nontariff (NTM) di analisis yang
Wiwiek Rindayati (Ntm) Pada Ekspor PT Ekspor hortikultura beroriantasi solusi
Hortikultura Indonesia Indonesia ke negara-negara dan untuk
Ke Asean +3 Volume 98 ASEAN +3. Studii ni mengidentifikasi
18, Nomor 1, Januari berdasarkan penggunaan kebijakan yang
2014. NTM yang semakin banyak mungkin
digunakan oleh setiap ditanggapi.
negara di dunia.

4 Septika Tri Ardiyanti, Dampak Non Tarif Tujuannya adalah untuk Hasil menunjukkan
Ayu Sinta Saputri Measures (Ntms) menganalisis dampak bahwa NTM
Terhadap Ekspor Udang tindakan nontariff terhadap berdampak negatif
Indonesia ekspor udang dan produk terhadap ekspor
olahannya dari Indonesia. udang dan udang
Untuk mengetahui dampak olahan dalam
NTM terhadap ekspor, negeri.
penelitian ini menggunakan Pemberlakuan
model gravity dengan TBT di negara
menggunakan data panel. pengekspor
memiliki dampak
negatif yang lebih
besar dibandingkan
SPS
5 Ratih Wijayati, Dampak kebijakan Tujuannya adalah untuk Dari hasil penlitian
Irham, Suhatmini tarif dan non-tarif mengetahui pengaruh yang dilakukan
hardyastuti pada terhadap permintaan dan penerapan tarif dan nontariff membuktikan
tahun daya saing tuna terhadap permintaan dan bahwa nilai ekspor
2011 Indonesia dipasar Uni daya saing tuna Indonesia, di Uni Eropa dan
Eropa, Amerika dan serta berbagai factor harga jual udang
Jepang . lainnya. di Jepang
merupakan
permintaan utama
tuna Indonesia di
pasar produktif

Dari berbagai hasil penelitian sebelumnya, penelitian ini terdapat kesamaannya dengan
penelitian Rismutia Hayu Deswati dkk 2015, Ratih Wijayati dkk 2011, dan Dian Dwi dkk karena
samasama mendeskripsikan tarif dan non-tarif serta menganalisis dampak dari kebijakan tarif dan
non-tarif pada sektor ekspor perikanan dan kelautan. Namun, penelitian ini berbeda dengan
penelitian Subhechanis dkk, Darmiati Dahar dkk dan Septika Tri Ardiyanti dkk karena dari
penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan Teknik panel data serta pendekatan model GTAP,
yang mana penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif, sedangkan penelitian ini
menggunakan metode kualitatif
2.7 Kerangka Pemikiran

Permintaan Tuna Total Uni Produksi Tuna Dalam


Eropa Negeri (Uni Eropa)

Impor Tuna Uni Erpoa


1. Analisis content
2. Analisis Regresi
dengan Variabe
Hambatan Perdagangan: Dummy
1. Kebijakan Tariff
3. Peramalan
2. Kebijakan Non-tariff

Supply/Ekspor Supply/Ekspor
tuna Negara tuna Indonesia
Lain ke Uni ke Uni Eropa
Eropa

Volume Ekspor

Peramalan Volume Ekspor Tuna ke Uni


Eropa

Gambar 1. Kerangka Pemikiran


= Ruang Lingkup yang di teliti
= Runag Lingkup Perdagangan Internasional
3. METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penempatan lokasi penelitian sangat penting bagi peneliti untuk bertanggung jawab atas data yang
sudah didapatkan. Serta sebagai bukti yang akurat, bahwa penelitian benar ada dilakukan. Maka
dari itu penliti melaksanakan penelitian dengan informan pada kantor Dinas Kelautan dan
Perikanan Banda Aceh dan Direktorat Bea Cukai kota Banda Aceh.

3.2 Subjek dan Objek Penelitian


1. Subjek penelitian
Dalam penelitian kualitatif tidak mengenal istilah sampel, namun penelitian yang digunakan
dalam penelitain kualitatif memakai istilah pendekatan pakar berdasarkan key informan. Informan
atau subjek merupakan seseorang yang menjadi sumber data dalam penelitian. Menurut Sugiyono
(2014:141) informan adalah pihak yang dipilih untuk diwawancarai sesuai dengan tujuan
penelitian. Informan yang dipilih memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih mengenai
penelitian ini. Infoman yang akan diwawancarai mengenai penelitian ini yaitu instansi pemerintah
yaitu dinas Kelautan dan Perikanan dan Bea Cukai.
2. Objek Penelitian
Adapun objek dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan perdagan internasional antara tarif
dan non-tarif terhadap ekspor tuna di kota Banda Aceh. Objek penelitian ini mencatat dan
mengumpulkan informasi mengenai sistem tersebut.

3.3 Jenis dan Sumber Data


Data adalah bentuk jamak dari datum yang merupakan kumpulan observasi atau
pengamatan. Hasan (2004) mengatakan bahwa data merupakan keterangan-keterangan tentang
suatu hal, dapat berupa sesuatu yang diketahui atau yang dianggap atau anggapan. Atau suatu fakta
yang digambarkan lewat angka, simbol, kode, dan lain-lain.
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kualitatif
maupun kuantitatif. Data kualitatif yang digunakan adalah data text berupa keterangan-keterangan
mengenai prosedur ekspor, kebijakan perdagangan Uni Eropa, laporan perkembangan ekspor tuna
Indonesia dan datadata lain yang relevan dengan penelitian ini. Data kuantitatif yang digunakan
berupa data berkala (times series) perkembangan nilai dan volume ekspor dan impor baik Uni
Eropa maupun Indonesia selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 1997-2006. Santoso (2000)
menyatakan time series adalah data kuantitatif berdasarkan rentang waktu tertentu yang teratur.
Data sekunder tersebut bersumber dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian
seperti BPS, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Departemen Perindustrian dan Perdagangan
RI, BPEN, FAO, WTO, EUROSTAT, FISHSTAT, internet dan perpustakaan.

3.4 Metode Analisis Data


Menurut Hasan (2004) pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data
ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumusan-rumusan. Menurut
Patto (1980) dalam Hasan (2004), analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
3.4.1 Analisis Data Kualitatif
Analisis kualitatif yang dilakukan dari data yang diperoleh adalah dengan analisa
deskriptif . Analisis deskriprtif yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode content
analysis (analisis isi) terhadap dokumen-dokumen yang terkait. Pada content analysis, analisa
dilakukan terhadap substansi kebijakan perdagangan Uni Eropa dan pengaruh terhadap ekspor tuna
Indonesia.
3.4.2 Analisis Data Kuantitatif
Data kuantitatif yang diperoleh khususnya tentang data perkembangan volume ekspor tuna
Indonesia ke Uni Eropa yang akan diolah menggunakan Microsoft Excel dan SPSS versi 13.0.
Pemilihan program tersebut dikarenakan merupakan program yang telah banyak dan mudah
digunakan.
3.4.3 Analisis Regresi
Analisis ini dilakukan untuk menganalisis sajauh mana pengaruh kebijakan perdagangan
Uni Eropa terhadap nilai ekspor tuna Indonesia. Analisis ini dilakukan dengan bantuan model
regresi data yang diolah. Model yang digunakan adalah model regresi berganda dengan
menggunakan dummy intersep. Spesifikasi model dilakukan dirumuskan sebantuk melihat bentuk
fungsi yang tepat. Model yang digunakan yaitu model bentuk linier, model bentuk semilog, dan
model bentuk double log, pemilihan ketiga model fungsi dikarenakan bentuk fungsi yang paling
banyak digunakan dan bentuk ketiga model tersebut sebagai berikut :
Pemilihan model terbaik dari ketiga model yang diuji dilakukan untuk melihat contoh yang
terbaik sesuai dengan harapan teori ekonomi ataupun prinsip-prinsip bisnis.

3.4.4 Peramalan
Pola data yang mengacu pada deret waktu menentukan teknik atau metode peramalan yang
baik digunakan. Metode yang digunakan untuk mengolah data yang bersifat trend yaitu data
perkembangan volume ekspor tuna Indonesia antara lain adalah metode trend linier, metode rata-
rata bergerak ganda (double moving average), metode pemulusan eksponential ganda (double
exponential smoothing) brown, metode pemulusan eksponential ganda (double exponential
smoothing) holt. Sedangkan nilai mana yang diambil sebagai nilai yang tepat dalam proses
peramalan dipilih dari metode mana yang menunjukkan nilai MSE terkecil.

3.5 Batasan Variabel


1. Volume ekspor tuna negara produsen didefinisikan sebagai total volume tuna yang diekspor
tiap negara produsen ke Uni Eropa (UE) setiap tahun dan dinyatakan dalam satuan ton.
2. Produksi tuna negara produsen adalah jumlah total produksi tuna yang dihasilkan oleh negara
produsen setiap tahun dan dinyatakan dalam satuan ton.
3. Nilai ekspor tuna negara produsen adalah jumlah total volume ekspor tuna yang dinilai oleh
nilai tukar mata uang negara produsen terhadap dolar Amerika Serikat per tahun.
4. Volume impor tuna suatu negara didefinisikan sebagai total volume tuna yang diimpor tiap
negara konsumen setiap tahun dan dinyatakan dalam satuan ton.
5. Nilai impor tuna suatu negara adalah jumlah total volume impor tuna yang dinilai oleh nilai
tukar mata uang negara pengimpor terhadap dolar Amerika Serikat per tahun.
6. Lembaga eksekutif pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan UE
adalah European Comission (EC).
7. Departemen dibawah EC yang secara khusus menangani permasalah pengawasan mutu dan
keamanan pangan adalah Directorate General.Sanco (DG Sanco).
8. UE adalah kelompok negara-negara independen yang pada tahun 1986-1994 negara anggota
UE berjumlah 12 (UE-12), tahun 1995-2003 negara anggota UE berjumlah 15 (UE-15), pada
tahun 2004-2006 negara anggota UE berjumlah 25 (UE-25).
9. Kebijakan tarif UE adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh UE yang mengatur mengenai
besar tarif bea masuk yang dikenakan kepada produk-produk impor UE.
10. Kebijakan non tarif adalah kebijakan teknis seperti syarat standar mutu, sanitasi,
pemberlakuan Rapid Alert System (RASFF), ketelusuran (tracebility), dan otoritas kompeten
(Competent Authority).
11. Komoditi tuna yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi kelompok tuna besar dan sejenis
tuna (tuna like spesies).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekspor Tuna Indonesia ke Uni Eropa


Ekspor tuna Indonesia ke pasar dunia sejak tahun 1997 hingga tahun 2006 mengalami
fluktuasi dengan laju kenaikan rata-rata sebesar 23 %. Uni Eropa merupakan pasar potensial
Indonesia yang menduduki posisi ketiga setelah Jepang dan Amerika Serikat bagi produk hasil
perikanan Indonesia terutama tuna. Pada tahun 2005, besar ekspor tuna yang ditujukan ke Uni
Eropa meningkat menjadi 17.367 ton atau 18,95 % dari total tuna yang diekspor Indonesia pada
tahun tersebut. Tahun 2006 terjadi penurunan ekspor tuna ke Uni Eropa dan ekspor tuna menjadi
11,53 % dari total tuna yang diekspor Indonesia pada tahun tersebut atau sebesar 10.591 ton.
Perkembangan ekspor tuna menurut pasar potensial Indonesia tahun 2005-2006 dapat dilihat pada
Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Ekspor Tuna Menurut Pasar Potensial Indonesia, Tahun 2005-2006

Perkembangan ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa periode 1992-2006 sangat fluktuatif.
Rata-rata kenaikan ekspor tuna ke Uni Eropa selama selang periode 1992-2006 sebesar 3,82 % per
tahun. Peningkatan yang besar terjadi pada tahun 1998 dengan tingkat pertumbuhan dari 9 %
menjadi 32 % atau sebesar 8.523 ton pada tahun 1997 menjadi 11.211 ton pada tahun 1998.
Pertambahan negara Uni Eropa yang terjadi pada tahun 1995 dan 2004 memberikan pengaruh yang
cukup besar kepada Indonesia. Pada tahun 1995 peningkatan ekspor terjadi sebesar 13,77% dari
volume ekspor tahun sebelumnya atau menjadi sebesar 7.537ton. Tahun 2004 juga terjadi
peningkatan sebesar 3,26 % dari tahun sebelumnya atau menjadi sebesar 12.877 ton dan tersu
mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2006 terjadi penurunan yang cukup besar menjadi
hanya 10.591 ton.
4.2 Hasil Analisis Regresi Pengaruh Hambatan Tarif dan Non Tarif Uni Eropa Terhadap
Volume Ekspor Tuna Indonesia

Analisis kondisi perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Uni Eropa dapat dilakukan
menggunakan ekonometrika dengan fungsi linier regresi berganda untuk mengetahui besar
pengaruh kebijakan perdagangan baik berupa tarif maupun non-tarif terhadap volume ekspor tuna
Indonesia. Pada analisis ini besar tarif yang digunakan adalah tarif tuna kemasan kedap udara
dengan kode HS 1604.141000. Hal ini dikarenakan pasar Uni Eropa lebih didominasi oleh produk
tuna olahan atau tuna kaleng dan persentase ekspor tuna olahan yang dilakukan Indonesia pada
tahun 2006 sebesar 77,18 % dari total tuna yang diekspor Indonesia. Sehingga besar tarif yang
digunakan juga tarif yang dikenakan Uni Eropa untuk produk tuna olahan Indonesia.

Analisis pengaruh kebijakan perdagangan Uni Eropa ini dilakukan menggunakan beberapa
model dugaan dan pengolahan data dilakukan menggunakan software SPSS 13.0 (Statistical
Product and Service Solutions). Hasil pendugaan parameter ekspor tuna ke pasar Uni Eropa
dengan beberapa model dugaan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pendugaan Parameter Hambatan Tarif dan Non-Tarif Ekspor Tuna Indonesia ke
Uni Eropa

Sumber : Diolah dari data sekunder


Hasil analisis regresi yang dilakukan dengan beberapa model dugaan, didapatkan persamaan
kondisi perdagangan tuna di Uni Eropa dengan varibel bebas berupa hambatan tarif, dan volume
ekspor tuna ke Uni Eropa pada tahun sebelumnya, sebagai berikut :

Hasil yang terdapat pada Tabel 5. memperlihatkan signifikansi atau selang kepercayaan pada
variabel dummy hambatan non-tarif (Dt) sangat rendah dan tidak berpengaruh nyata terhadap
volume ekspor tuna (Qt) sehingga variable ini tidak digunakan dalam model. Tabel 22. juga
memperlihatkan nilai adj R2 dan F-hit tertinggi terdapat pada model dugaan semi log dengan nilai
0,454 dan 4,332. Sehingga proses analisis dan evaluasi berikutnya dilakukan pada persamaan (2).

4.3 Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Non Tarif Perdagangan Tuna Indonesia di Uni
Eropa

Uni Eropa sebagai negara yang memberlakukan GSP memberikan perlakuan khusus kepada
Indonesia. Perlakuan khusus ini berupa pemberian tarif preferensi terhadap produk ekspor
Indonesia (termasuk produk tuna) yang ditujukan ke Uni Eropa. Tarif preferensi ini menjadi
sebuah peluang kepada Indonesia untuk dapat memperluas akses pasar. Selain Indonesia, pemasok
tuna ke Uni Eropa lainnya Thailand dan Filiphina. Kedua negara ini juga memperoleh tarif
preferensi yang sama karena termasuk negara dunia ketiga yang dibantu oleh Uni Eropa.
Ketentuan terhadap besarnya tarif preferensi yang diberlakukan Uni Eropa kepada negara dunia
ketiga ada pada EC No. 2658/87 yang merupakan dasar perlakuan tarif dan dalam Council
Regulation (EC) No. 980/2005 yang mengatur skema GSP.
Tarif yang dikenakan Uni Eropa untuk produk tuna kaleng (canned tuna) Indonesia
diturunkan sebesar 50 % dari tarif sebelumnya menjadi 12 % pada tahun 2003. Penurunan tarif ini
diatur dalam Council Regulation (EC) No.975/2003 terhitung sejak 1 Juli 2003 sampai 30 Juni
2008. Jika masa berlaku regulasi itu berakhir besar tarif yang dikenakan untuk produk tuna
Indonesia menjadi 20,5 % sesuai dengan skema GSP yang dikeluarkan pada tahun 2005.

Berikut besar tarif bea masuk yang dikenakan pada produk tuna Indonesia yang
ditampilkan Tabel 6.

Sumber : Taxation and Common Unions, 2008

Jumlah terbesar tuna yang diekspor Indonesia adalah tuna kemasan dengan tarif yang
dikenakan Uni Eropa lebih tinggi dibandingkan negara tujuan ekspor lainnya. Penurunan tarif yang
dilakukan Uni Eropa pada tahun pertengahan tahun 2003 berimbas positif terhadap volume ekspor
tuna Indonesia sehingga Indonesia dapat meningkatkan volume ekspornya.

Pada tahun 2003, volume ekspor tuna ke Uni Eropa mengalami peningkatan sebesar 37,32
% dari tahun sebelumnya dan terus mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar
9,11 % per tahun periode 2003-2006. Kondisi ini sesuai dengan analisis regresi yang dilakukan
dengan menggunakan model semi log bahwa ada hubungan negatif antara volume ekspor tuna
Indonesia dengan tarif yang diberlakukan Uni Eropa dan hal ini diterangkan dengan nyata oleh
koefisien (α) dalam model sebesar 91%.

Uni Eropa sangat melindungi masyarakatnya atau kesehatan manusia dari keamanan pangan
yang beredar dipasaran. Hal ini kemudian menjadi sebuah hambatan tambahan bagi perusahaan
ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa karena standar yang ditentukan Uni Eropa sangat tinggi dan
masih belum dapat dicapai oleh produk tuna dari Indonesia. Regulasi yang menjadi menghambat
perdagangan tuna secara non teknis ini adalah EC No. 178/2002. Regulasi inimerupakan peraturan
mengenai persyaratan umum pangan serta prosedur keamanan pangan yang menjadi dasar
peraturan standar mutu lainnya di Uni Eropa. Ragulasi ini bersifat mandatory yaitu peraturan yang
harus diterapkan oleh semua negara anggota Uni Eropa.

Penerapan dilakukan oleh negara-negara anggota di setiap port entry, menjadikan hambatan
yang mempengaruhi volume ekspor produk tuna Indonesia tidak hanya tarif melainkan hambatan
non tarif yang bersifat teknis. Peraturanparaturan teknis yang dikeluarkan Uni Eropa ini memiliki
tingkat keketatan jauh lebih tinggi dibandingkan Codex Alimentarius Comission dan negara maju
lainnya (Iqbal 2008).

4.4 Peramalan Ekspor Tuna Indonesia ke Uni Eropa

Metode peramalan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode trend, metode rata-
rata bergerak ganda, metode pemulusan eksponential ganda brown, dan metode pemulusan
eksponential holt (α=0,1 dan β=0,2). Berdasarkan hasil peramalan yang dilakukan dengan
menggunakan metode peramalan didapatkan hasil peramalan volume eskpor tuna Indonesia lima
tahun mendatang. Hasil peramalan yang diperoleh dan trend dari data time series sebelumnya
dinyatakan volume ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa terus mengalami peningkatan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kebijakan perdagangan mengenai tarif Uni Eropa untuk impor tuna asal Indonesa antara lain
EC No.2886/89 yang berlaku dari tahun 1989-2005, EC No. 980/2005 yang berlaku mulai
tahun 2006-2008, dan EC No. 975/2003 mengatur pengurangan besar tarif khusus tuna kaleng
asal Indnesai, Thailand dan Filiphina. Kebijakan non tarif Uni Eropa untuk impor tuna asal
Indonesia terangkum dalam EC No. 178/2002, EC 466/2001, EC 178/2002, EC 852/2004, EC
853/2004, EC 854/2004, EC 882/2004 dan EC 2073/2005.
2. Model pengaruh hambatan tarif dan non tarif yang terbaik adalah model semilog diwakili
oleh variabel tarif dan volume ekspor dua tahun sebelumnya. Kebijakan tarif berpengaruh
nyata terhadap model sebesar 91% dengan nilai elastisitas tarif sebesar -0,64 dan bersifat
inelastic.
3. Kebijakan hambatan non tarif tidak berpengaruh nyata terhadap model dugaan karena hanya
memiliki SK sebesar 20 % walaupun secara ekonomi variable ini telah sesuai. Ketidak nyataan
variabel ini didukung fakta yang terjadi bahwa Indonesia dijinkan terus melakukan ekspor ke
Uni Eropa namun harus diimbangi dengan usaha penyetaraan standar.
4. Hasil peramalan yang dilakukan dengan beberapa metode didapatkan metodetrend yang
mendekati keadaan sebenarnya dengan nilai MSE.

5.2 Saran
1. Indonesia perlu mengajukan permohonan kepada pihak Uni Eropa untuk menurunkan besar
tarif yang dikenakan pada produk tuna Indonesia
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap volume ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa seperti harga tuna Indonesia, harga tuna
negara pesaing, GDP Uni Eropa, dan nilai tukar.
DAFTAR PUSTAKA

Amir M.S. 2000. Seluk-Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Edisi Revisi. Cetakan ke-9.
Jakarta : Penerbit PPM

________. 2003. Ekspor dan Impor (Teori dan Penerapannya). Seri Bisnis Internasional no.13
Jakarta : Penerbit PPM.
Aritonang, R. L. R. 2002. Peramalan Bisnis. Jakarta : Penerbit Ghalia Indo.

Bappenas. 2006. Laboran KAjian Prospek Comoditas Unggulan Kelautan dan

Perikanan. Jakarta : Direktorat Kelautan dan Perikanan, Bappenas.

Bugin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Burhanudin, dkk. 1984. Suku Scombridae: Tinjauan Mengenai Ikan Tuna, Cakalang dan Tongkol.
Proyek Studi Potensi Sumber Daya Alam Indonesia. Jakarta : Lembaga Oseanologi Nasional
LIPI.

Dahuri, H Rokhmin. 2004. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan: Orasi
Ilmiah. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

DKP RI. 2004. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Tahun 2004. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.

______. 2006. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Tahun 2006. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.

FAO Year Book. 2006. FAO Statistics.Vol. 99

Gujarati, Damodar. 1995. Ekonomertika Dasar. Terjemahan oleh Sumarzo Zain.Jakarta : Erlangga.

Gonarsyah, Isang. 1987. Landasan Perdagangan IntLandasan Perdagangan Intnasional.


Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hady, Hamdy. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional.
Edisi Cetakan ke-4. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Hamdani, Andan. 2006. Analisis Perdagangan Udang Indonesia di Pasar Eropa. Skripsi.
Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Hanke, JE, Reitsch AG, Wichern DW. 1992. Bussines Forcasting. Ed ke-4. Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai