Anda di halaman 1dari 12

TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR BUANGAN SECARA BIOLOGI AEROBIK

1. Umum
Pengolahan air buangan secara biologi terutama dimaksudkan untuk menyisihkan zat-zat organik
yang terlarut dan yang koloid tetapi zat organik yang tersuspensi juga dapat tersisihkan dalam proses ini
(Tchobanoglous dan Burton, 1991; Droste, 1997). Bahan organik tersebut dikonversi menjadi massa
mikroorganisme (biomassa) dan biomassa ini, karena sifatnya, mengalami bioflokulasi yang dapat
dipisahkan dengan pengendapan (Liao et al., 2001).
Tujuan pengolahan air limbah secara biologi adalah mengubah molekul organik yang
kompleks menjadi produk yang lebih sederhana dan biomasa dengan menggunakan mikroorganisme.
Keberhasilan pengolahan limbah secara biologi tergantung dari aktifitas mikro organisme di
dalamnya. Karena itu diperlukan perlakuan khusus yang mampu menjaga keseimbangan
pertumbuhan mikroorganisme dengan mengontrol parameter-parameter yang dibutuhkan dalam
pengolahan biologi.
Mikro organisme yang terdapat pada sistem pengolahan Biologi
Mikroorganisme yang terdapat pada unit pengolahan biologi limbah cair antara lain:
a.

b.

c.
d.

a.

Bakteri
Bakteri banyak terdapat pada unit pengolahan biologi dengan biofilter dan pada lumpur aktif,
bakteri berfungsi untuk mendegradasi zat organik. Dalam pengolahan secara biologi,
bakteri inilah yang paling banyak berperan dalam mendegradasi senyawa organik baik
proses aerobik atau anaerobik.
Jamur
Walaupun pada unit pengolahan biologi didominasi oleh bakteri tidak menutup
kemungkinan hadirnya jamur dalam pengolahan tersebut. Jamur lebih banyak terdapat pada
biofilter dari pada lumpur aktif. Jamur muncul pada kondisi pH rendah.
Alga
Alga biasanya terdapat pada permukaan biofilter dengan syarat terdapat makanan yang
cukup.
Protozoa
Protozoa lebih banyak terdapat pada biofilter. Pada unit pengolahan dengan lumpur aktif
kehadiran protozoa sangat dipengaruhi oleh karakteristik air limbah yang akan diolah.
Lebih lanjut bakteri yang terdapat pada unit pengolahan biologi antara lain:
Bakteri Nitrifikasi
Melakukan proses nitrifikasi, yaitu mengoksidasi amoniak menjadi nitrat. Proses ini terjadi
melalui 2 (dua) tahap, yaitu (Tchobanoglous et al.,2003):
Nitrosomonas:

Nitrobacter

b.

Bakteri Denitrifikasi
Bakteri ini berlawanan dengan bakteri nitrifier. Bakteri ini mereduksi nitrat menjadi gas nitrogen:
Contoh, Pseudomonas auregenusa

c. Bakteri pereduksi sulfat


Bakteri ini memperkecil SO4- menjadi SO2. Contoh, Desulvofibrio.
d. Thiobacillus Thiooxidan (bakteri pengoksidasi sulfur)
Bakteri ini mengoksidasi sulfur dan sulfida menjadi ion sulfat.
e. Bakteri penghidrolisa lipid
Bakteri ini menghidrolisa molekul lipid menjadi gliserol dan asam lemak. Contoh, Bacillus cereus.
f. Bakteri penghidrolisa urea
Bakteri ini menghidrolisa urea menjadi NH3OH. Contoh, Proteus vulgaris.
g. Bakteri yang mengkonsumsi hidrokarbon
Bakteri ini memotong rantai hidrokarbon menjadi asam organik, alkohol, dan aseton. Contoh, Pseudomonas.
h. Bakteri fermentasi
Bakteri ini dapat menghidrolisa polisakarida menjadi monosakarida atau disakarida, asam organik dan
alkohol. Cuntoh, Bacillus subcilis.
Sumber Karbon dan Energi untuk Pertumbuhan Bakteri
Untuk melakukan reproduksi dan fungsi-fungsi lainnya mikroorganisme harus mempunyai sumber
energi, karbon untuk sintesis sel baru, zat-zat anorganik sebagai nutrisi seperti nitrogen, pospor, sulfur,
potasium, kalsium, dan magnesium. Nutrisi organik (faktor pertumbuhan) juga dibutuhkan untuk sintesis
sel baru (Tchobanoglous, et al, 2003).
a. Sumber Karbon
Mikroorganisme memperoleh sumber karbon dari atom organik maupun dari karbon dioksida.
Mikroorganisme yang menggunakan karbon organik untuk membentuk sel baru disebut
heterotrophs, sedangkan yang memperoleh karbon dari karbon dioksida disebut bakteri autotrophs
b. Sumber energi
Energi dibutuhkan untuk sintesis sel, energi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dapat
diperoleh dari sinar matahri maupun dari reaksi oksidasi kimia. Bakteri dapat mengoksidasi zat
organik maupun anorganik sehingga menghasilkan energi. Organisme yang memperoleh sumber
energi dari sinar matahari disebut phototroph. Organisme phototrophic dapat berupa hetrotroph
(bakteri pereduksi sulfur) maupun autotrop (alga dan bakteri fotosintesis). Sedangkan bakteri
yang mendapatkan sumber energi dari reaksi oksidasi kimia disebut bakteri Chemotrophs. Sama
seperti phototrophs, mikroorganisme ini dapat dapat berupa mikroorganisme heterotrophic
(protozoa, fungi dan berbagai bakteri) atau mikroorganisme autotrophic (bakteri nitrifikasi).
Mikroorganisme Chemoautotroph memperoleh sumber energi dari reaksi oksidasi maupun
reduksi materi anorganik seperti amoniak, nitrit, besi, dan sulfida. Chemoautotroph
biasanya memperolah sumber energi dari oksidasi zat organik.
c. Nutrisi dan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
Nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme pada prinsipnya terdiri dari: N, S, P, K, Mg,
Ca, Fe, Na, dan Cl. Ada beberapa nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya dalam jumlah kecil antara lain: Zn, Mn, Mo, Se, Co, Cu, dan Ni (Madigan, et
al., 2000 dalam Eckenfelder, 2000). Meskipun setiap bakteri mempunyai faktor pertumbuhan
yang berbeda-beda pada umumnya faktor tersebut terdiri dari asam amino, nitrogen (purin dan
pirimidin), dan vitamin.

Nitrogen dibutuhkan dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan penyisihan BOD yang
lebih efektif dan untuk sintesis mikrobiologi. Helmets (1951 ) menyebutkan jumlah nitrogen
yang dibutuhkan adalah 4.3 Ib N/100 Ib BOD dan kebutuhan pospor adalah 0.6 Ih P/ 100 Ib BOD.
Fase Pertumbuhan bakteri
a) Fase Lag
Pada saat penambahan biomasa, fase lag menunjukkan waktu yang dibutuhkan oleh bakteri untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Selama fase lag bakteri menyesuaikan diri terhadap
perubahan salinitas, pH, temperatur dan lain-lain.
b) Fase Eksponensial
Selama fase eksponensial bakteri berkembang biak dengan cepat karena masih terdapat substrat dan
nutrisi yang cukup. Laju pertumbuhan lebih besar dari laju kematian.
c) Fase Stasioner
Pada ini konsentrasi biomasa relatif konstan, pertumbuhan bakteri tidak sebanyak pada fase eksponensial
dan sebagian mulai mati.
d) Fase kematian bakteri
Pada fase ini konsentrasi substrat sudah mulai habis sehingga tidak ada lagi pertumbuhan biomasa, bahkan
banyak bakteri yang mati sehingga konsentrasi biomasa semakin menurun. Laju kematian lebih besar dari
laju pertumbuhan.
Kinetika Pertumbuhan Bakteri
Tchobanoglous dan Burton (1991), menjelaskan kondisi lingkungan yang harus dijaga pada
pertumbuhan bakteri antara lain. pH, temperatur, nutrisi makro maupun mikro, dan ketersediaan oksigen.
Pertumbuhan bakteri pada reaktor Batch maupun continue dapat didefinisikan dengan persamaan dibawah
ini:
rg = .x
Dimana:
rg : Laju pertumbuhan bakteri (masa/volume.waktu -1)
: Pertumbuhan spesifik, (waktu -1)
x : Konsentrasi mikroorganisme ( masa/volume)
Pada reaktor continue, pertumbuhan bakteri dibatasi oleh ketersediaan substrat dan nutrisi, sehingga
pertumbuhan bakteri dinyatakan sebagai berikut:

dimana:
m : Laju pertumbuhan spesifik maksimum, (waktu -1)
S : Konsentrasi Substrat, (masa/volume)
KS : Konstanta Setengah Velocity, konsentrasi substrat pada satu setengah laju pertumbuhan maksimurn
(masa/volume)
Substrat yang terdapat dalarn air limbah sebagian dioksidasi dan sebagian lagi diubah menjadi sel baru.
Oksidasi zat organik ini akan menghasilkan produk yang berupa organik maupun anorganik.
rg = -Yrsu )
Dirnana
rsu : Laju penggunaan substrat, (masa/volume.waktu)
Y : Koefisien Yield maksimum (masa/masa)
Y didefinisikan sebagai rasio masa bakteri yang terbentuk dengan masa substrat yang dikonsumsi pada
periode logaritmik.

Dimana
X : Konsentrasi biomasa (masa/volume)
Jika k = m/Y didefinisikan sebagai laju pemanfaatan substrat setiap satuan masa mikroorganisme maka:

Dalam sistem pengolahan biologi, distribusi umur bakteri tidak merata. Tidak semua bakteri pada fase
log. Dengan demikian ungkapan untuk angka pertumbuhan harus dikoreksi dengan
memperhitungkan faktor lain yang mempengaruhi seperti kematian bakteri dan kompetisi (saling
memangsa) antar bakteri. Biasanya faktor ini dijumpai bersamaan hal ini didefnisikan sebagai
endogegenous decay, selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
r = -k X
Dimana
r : endogegenous decay
k: Koetsicn endogegenous decay (waktu - 1 )
Dengan demikian rata-rata pertumbuhan bakteri adalah:
rg = -Yrsu kdX

2. Degradasi Zat Organik Secara Biologi


Mekanisme penyisihan zat organik dalam air limbah secara biologi sangat dipengaruhi oleh
karakteristik air limbah yang akan diolah. Secara umum Eckenfelder (2000) menjelaskan bahwa objek
pengolahan air limbah secara biologi adalah mengkoagulasi zat organik dalam air limbah baik yang
tersuspensi, terkoloid, maupun terlarut. Mekanisme penyisihan zat organik dalam air limbah adalah
sebagai berikut:
a) Penyisihan zat organik tersuspensi dalam air limbah adalah dengan pelekatan zat organik
tersebut pada flok biologi. Proses ini dipengaruhi oleh gradien kecepatan yang dilakukan untuk
mencampur air limbah dengan flok biologi.
b) Penyisihan zat organik terkoloid dilakukan dengan adsorbsi kimia - fisika pada flok biologi.
c) Zat organik yang terlarut disisihkan oleh mikroorganisme dengan biosorpsi.
Pada proses biodegradasi zat organik oleh mikroorganisme pada proses aerobik, terdapat dua
fenomena dasar yaitu oksigen dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk sintesis sel baru dan untuk
mendapatkan energi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Dimana:
a
: fraksi zat organik yang dioksidasii untuk menghasilkan energi
a
: fraksi zat organik yang dioksidasi untuk sintesis sel baru
b
: fraksi degradasi biomasa perhari
b
: kebutuhan oksigen untuk oksidasi

SMP : zat yang tidak dapat didegradasi secara biologi dan terlarut dalam air
soluble residue, SMP)

(nonbiodegradable

Gambar 2 Mekanisme bio degradasi zat Organik


3. Macam-Macam Pengolahan Biologi Aerobik
Sistem pengolahan air limbah dengan cara biologi dapat digolongkan ke dalam cara aerobik dan
anaerobik dan keduanya dapat dengan sistem pertumbuhan tersuspensi (sespended growth) atau
pertumbuhan terlekat (attached growth) atau kombinasi ke duanya.
4. Sistem Lumpur Aktif
Proses lumpur aktif termasuk dalam proses pengolahan aerobik dengan pertumbuhan
tersuspensi. Dalam sistem lumpur aktif terjadi proses penyisihan zat organik dan nutrisi
menggunakan mikroorganisme. Sejak sistem lumpur aktif diciptakan pertama kali oleh Arden dan
Lockett (1914), berbagai modifikasi Sistem lumpur aktif telah dikembangkan. Namun pada
dasarnya mempunyai dua konsep dasar yaitu biochemical stage pada tangki aerasi dan physical stage
pada tangki pengendap. Pada biochemical stage terjadi proses oksidasi zat organik terlarut maupun
partikel organik dalam air limbah oleh flokulan mikroorganisme yang disebut dengan MLSS.
Sedangkan pada physical stage terjadi proses pengendapan flok yang terbentuk dari tangki aerasi dan
resirkulasi lumpur dari tangki pengendap ke tangki aerasi. Resirkulasi lumpur bertujuan untuk
menjaga kesetimbangan konsentrasi biomasa dalam tangki aerasi.

Gambar 3 Sistem Lumpur Aktif


Proses yang berlangsung di lumpur aktif berada dalam kondisi aerob. Kebutuhan oksigen
dipenuhi dengan penggunaan aerator baik secara mechanical maupun secara diffused. Setelah beberapa
waktu tertentu limbah yang sudah mengalami pengolahan secara biologic dialirkan ke bak sedimentasi.
Sebagian lumpur terendap yang masih mengandung mikroorganisme diresirkulasi ke reaktor untuk
menjaga konsentrasi bakteri dalam reaktor. Sedangkan sebagian yang lain merupakan lumpur yang
harus dibuang. (Tchobanoglous, 1991)
Bakteri yang berada pada proses lumpur aktif pada umumnya berupa Pseudomonas,
Zooglea, Achromobacter, Flavobacterium, Nocardia, Bdellovobrio, Mycobacterium, serta dua bakteri
nitritikasi yaitu Nitrosomonas dan Nitrobactcr. Begitu pula terdapat organisme filamentous seperti
Sphaertilus, Beggiatoa, Thiothrix, Lecicothrix, Geotrichum (Tebobanocglous, 1991)
Ada dua hal yang biasanya dijadikan parameter dalam menentukan kriteria beban yaitu
perbandingan makanan dan mikroorganisme (F/M) dan umur lumpur (the mean cell-residence lime,
c). (Tchobanogluus, 1991)
F/M ratio (Perbandingan makanan dan mikroorganisme)
Perbandingan
makanan
dan
mikroorganisme
didefinisikan

Dimana :
F/M = perbandingan makanan dan mikmoorganisme, hari -l
So = konsentrasi BOD atau COD influent mg/L

= hydraulic detention time pada reaktor = V/Q, hari


V = volume reaktor. M 3
Q = debit air limbah, M 3 /hari
X = konsentrasi volatile suspended solids di reaktor, mg/L
Hubungan antara perbandingan makanan dan mikroorganisme dengan spesific
utilization rate (U) adalah:

Keterangan E = effisiensi proses


Karena effisiensi adalah [(So-S}/So]100 maka didapat

S adalah konsentrasi efluen BOD dan COD mg/L

sebagai :

Mean Cell Residence Time (c)


Sedangkan mean cell-residence time dapat didefinisikan pada persamaan berikut ini (Tchobanoglous.
1991 ):

keterangan:
c = mean cell residence time, hari
Vr
= volume reaktor, m3
X
= konsentrasi volatile suspended solids di reaktor, mg/L
Qw = debit lumpur yang dibuang. m3/hari
Xw = konsentrasi volalile suspended solids di lumpur yang dibuang, mg/L
Qc = debit effluen, m3/hari
Xe = konsentrasi volatile suspended solids pada eflluen, mg/L
Berdasarkan parameter diatas, tingkat spesific utilzation (U) dapat digunakan untuk menghitung tingkat
substrat yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme dan c dapat digunakan untuk menghitung
rata-rata residence time dari organisme yang ada di sistem.
Hubungan antara mean cell-residence time dengan tingkat F/M dan spesifik utilized U adalah

dimana
Y = koefisien hasil sel, 1b sel yang dihasilkan per Ib materi organik
yang disisihkan.
kd = koeffisien endogenous decay, time-1
E = effisiensi proses. %
Produksi Lumpur
Jumlah lumpur yang dihasilkan dan yang harus dibuang tiap hari perlu dipertimbangkan
karena akan mempengaruhi desain fasilitas penanganan lumpur. Jumlah lumpur yang dihasilkan dapat
dihitung dengan persamaan berikut (Tchobanoglous. 1991):
Px = YobsQ (So - S)
keterangan:
Px = produksi lumpur yang dibuang tiap hari, Kg/hari
Yobs = observed yield, (Y/(1 + Kd.c)
Kebutuhan Oksigen
Kebutuhan oksigen teoritis untuk mereduksi materi organik dalam limbah cair pada sistem
lumpur aktif adalah (Tchobanoglous, 1991):

keterangan:
f = faktor konversi untuk konversi BOD5 ke BODL
Px = produksi lumpur yang dibuang tiap hari, Kg/hari
Jika proses nitrifikasi dipertimbangkan maka kebutuhan oksigen adalah:
keterangan :
N o = influen TKN, mg/L

N = effluen TKN, mg/L


Kebutuhan Nutrien
Nutrien merupakan unsur penting yang dibutuhkan bagi mikroorganisme dalam pengolahan
limbah secara biologis. Untuk mencapai hasil yang optimal, kebutuhan akan nutrien tersebut harus
cukup. Nutrien inorganik yang diperlukan mikroorganisme adalah N, S, P, K, Mg, Ca, Fe, Na, Cl.
Sedangkan yang termasuk nutrien minor adalah Zn, Mn. Mo, Se, Co, Cu, Ni. Nitrogen dan Phosphor
merupakan nutrien utama. Berdasarkan komposisi rata - rata suatu cell tissue C5H7NO2, Nitrogen yang
diperlukan sebesar 12,4 % berat. Sedangkan Phosphor yang diperlukan adalah sekitar seperlima dan
keperluan Nitrogen. Namun nilai tersebut bukan jumlah yang tetap, karena prosentase distribusi N dan P
dalam suatu cell tissue bervariasi tergantung pada usia sel dan kondisi lingkungan (Tchobanoglous,
1991).
4.1. Modifikasi Lumpur Aktif
Proses lumpur aktif telah dimodifikasi menjadi beberapa macam, dimana masing-masing
dibedakan berdasarkan sistem pengadukan, pola aliran dan cara pencampuran mikroorganisme kedalam
air limbah. Meskipun demikian, proses ini mempunyai prinsip kerja yang sama. Beberapa
modifikasi proses lumpur aktif adalah sebagai benikut (Tchohanoglous dan Burton. 1991):
a. Lumpur Aktif konvensional (Conventional activated sludge)
Proses ini mampu menyisihkan BOD antara 85 95 % dengan sistem aerasi melaui difusi udara dan
aerator mekanik. Dalam proses ini lumpur aktif dan endapan limbah dimasukkan lagi kedalam
proses malalui saluran pada ujung tangki, dan diaduk dengan difusi udara yang seragam di
sepanjang tangki. Padatan lumpur aktif dipisahkan dalam bak pengendapan kedua. Proses ini
sangat rentan terhadap penambahan beban pencemar tinggi yang tiba-tiba (shock Loading) dan
umumnya diterapkan untuk limbah domestik.
b. Complete-mix activated sludge
Proses ini mempunyat efisiensi penurunan BOD antara 85 - 95 % dengan sistem aerasi melalui
difusi udara dan aerator mekanik, dan merupakan reaktor tangki berpengaduk dengan aliran tetap.
Dalam proses ini, lumpur aktif dan endapan limbah dikembalikan kedalam tangki melalui
beberapa titik. Beban organik dan kebutuhan oksigen adalah seragam di sepanjang tangki. Sistem
ini dapat diterapkan secara umum dan prosesnya tahan terhadap shock loading, tetapi rentan terhadap
pertumbuhan filamen.
c. Aerasi bertahap (Step-feed aeration)
Proses ini mempunyai sistem aliran dengan melalui rangkaian saluran yang panjang (plug-flow),
efisiensi penurunan BOD 85 - 95% dan diaerasi dengan sistem difusi udara. Proses ini merupakan
modifikasi dari proses konvensional, dimana endapan limbah dikembalikan kedalam tangki melalui
beberapa titik dalam tangki aerasi. Hal ini bertujuan untuk menyamakan perbandingan F/M dan
mengurangi kebutuhan oksigen puncak Proses ini diterapkan secara luas untuk bermacam jenis
air limbah.
d. Kontak stabilisasi (Contact stabilization)
Dalam proses ini, dibutuhkan dua buah tangki atau kompartemen t erpisah untuk pengolahan air
limbah dan menstabilkan lumpur aktif. Lumpur aktif yang telah distabilkan kemudian
dicampurkan dengan air limbah dalam tangki kontak. Campuran air limbah dengan mikroba
(mixed liquor) diendapkan dalam bak pengendapan sekunder. Selanjutnya lumpur endapan tersebut
diaerasi kembali (reaeration) dalam tangki secara terpisah untuk menstabilkan bahan-bahan organik.
Proses ini me mpunyai efisiensi penyisihan BOD antara 80- 90 %, dengan sistem aliran
plug-flow dan sistem aerasi melalui difusi udara dan aerator mekanik
e. Aerasi diperpanjang (Extended aeration)
Proses ini hampir serupa dengan proses konvensional. Perbedaanya bahwa proses ini beroperasi
pada fase respirasi endogen dalam kurva pertumbuhan, dimana dibutuhkan beban organik yang

rendah dan waktu tinggal yang lebih lama. Aliran limbah dalam proses secara plug flow dengan
efisiensi penurunan BOD 75 95 %, dan sistem aerasi melalui difusi udara dan aerator mekanik.
Proses ini dipakai untuk komunitas yang kecil dan instalasi pengolahan limbah paket.
f. Saluran oksidasi (Oxidation dicth)
Selokan oksidasi terdiri dari saluran berbentuk cincin atau oval, dilengkapi dengan peralatan
aerasi mekanik. Air Iimbah diaerasi dan bersirkulasi dengan kecepatan 0,35 sampai 0,35 m/s.
Proses ini umumnya beroperasi dalam sistem aerasi diperluas dengan waktu tinggal yang lama.
Proses mempunyai efisiensi penurunan BOD sekitar 75 95 %, dengan tipe aliran (plug flow) dan sistem
aerasi menggunakan aerator mekanik model horisontal.
g. SBR (Scquencinc Batch Reactor)
Sequencing Batch Reactor (SBR) merupakan variasi dari proses lumpur aktif dengan sistem operasi fill
and draw. Berbeda dengan sistem pengolahan aliran kontinyu, dalam SBR reaksi metabolisme dan
pemisahan biomassa dilakukan dalam satu tangki. Dalam SBR volume cairan bervariasi tergantung pada
rasio perubahan volume (volumetric exchange ratio), sedangkan dalam aliran kontinyu volume cairan
tetap (Morgenroth dan Wilderer, 1999). Proses lumpur aktif pertama yang dibangun didasarkan pada
konsep SBR, namun hal ini tidak berkembang karena kendala operasional. Kendala utama adalah belum
berkembangnya teknologi kontrol proses dan terjadinya penyumbatan (clogging) pada diffuser aerasi.
Tetapi saat ini SBR kembali populer karena disamping perkembangan teknologi kontrol proses juga
karena SBR sangat fleksibel penerapannya.
Sequencing batch reactor mempunyai lima tahapan atau fase proses yang dilakukan secara beruru tan dan
setelah sampai pada tahap akhir, proses dimulai lagi dari tahap awal sehingga merupakan suatu siklus.
Adapun tahapan dalam proses SBR adalah (Droste, 1997):
1. Pengisian (fill) Pada fase ini air buangan dimasukkan ke dalam reaktor sampai mencapai volume tertentu.
Penentuan volume olahan ini didasarkan atas beberapa hal, yaitu: reaktor sudah penuh, waktu fase
pengisian sudah habis atau bila menggunakan beberapa reaktor sudah ada reaktor yang siap diisi. Beberapa strategi pengisian dapat diterapkan sesuai dengan tujuan pengolahan, yaitu (Bernardes, 1996):
static fill (tidak ada pengadukan atau aerasi), mixed fill (pengadukan tanpa aerasi) dan aerated fill (ada
aerasi).
2. Reaksi (react). Pada fase ini aliran air buangan dihentikan. Reaksi degradasi zat organik yang telah
dimulai pada fase pengisian akan disempurnakan selama fase ini. Berdasarkan konsentrasi oksigen
terlarutnya fase reaksi dibedakan atas mixed react, yaitu reaksi pada konsentrasi oksigen rendah atau
kondisi anaerob dan aerated react, yaitu reaksi pada konsentrasi oksigen tinggi.
3. Pengendapan (settle) Pada fase pengendapan aerasi dihentikan untuk memberikan kesempatan pada
biomassa mengendap. Pengendapan dapat berlangsung lebih sempurna karena kondisinya diam.
4. Pengurasan (draw) Supernatan hasil pengendapan dialirkan keluar menuju pengolahan selanjutnya atau
dibuang. Selama pengurasan diharapkan tidak ada biomassa yang keluar.
5. Tidak beroperasi (idle). Fase ini merupakan fase penantian sebelum reaktor diisi kembali. Hal ini
dilakukan karena belum ada air buangan yang akan diolah. Pada awalnya fase idle merupakan fase pilihan, yaitu bisa ada tetapi juga bisa tidak. Namun yang perlu diperhatikan bahwa fase idle dapat digunakan
untuk stabilisasi biomassa untuk mengembalikan kapasitas akumulasi mikroorganisme (Drtil et al., 1993)
Keunggulan SBR adalah sangat fleksibel dalam pengoperasiannya yang tergantung pada
tujuan pengolahan. Karena itu SBR mampu mengolah berbagai jenis air buangan (Furumai et al., 1999;
Ling dan Lo, 1999). Dalam hal ini perlu diperhatikan apakah SBR untuk menyisihkan karbon atau
nitrogen atau fosfor atau mungkin ketiganya, di sinilah diperlukan strategi operasional SBR.

Waktu siklus SBR adalah jumlah dari semua fase, yaitu (Droste, 1997):
Tc = tf + tr + ts + td + ti
Dimana: tf = Waktu siklus
tr = Waktu pengisian
ts= Waktu reaksi
td= Waktu pengendapan
ti= waktu idle
Waktu tinggal hidrolis ditentukan berdasarkan rasio perubahan volume (Volumtric exchange ratio)
dan waktu siklus (Morgenroth dan Wilderer, 1999)

diman H = waktu tinggal hidrolis


fexr = rasio perubahan volume (volume/volume)
dan

dimana: V
= volumeyang ditambahkan selama fase pengisian
V0
= volume yang ada sebelum pengisian
Vt
= volume total
Waktu tinggal lumpur dalam SBR diatur dengan pembuangan limpur yang dapat dilakukan
selama fase reaksi, fase pengendapan atau fase pengurasan. Dan perhitungan didasarkan pada jumlah
rata-rata biomassa dalam SRT, yaitu (Droste, 1997):

dimana: c

= Waktu tinggal sel (waktu)

= konsentrasi rata-rata biomassa dalam reaktor (massa/volume) yang dihitung dengan mengambil ratarata jumlah biomassa yang ada pada awal fase pengisian dibagi volume total reaktor dan konsentrasi
biomassa yang ada dikhir fase reaksi.
(QW)w = jumlah lumpur yang dibuang dari reaktor setiap hari (massa/waktu).
Waktu tinggal lumpur efektif didasarkan pada asumsi bahwa selama fase pengendapan dan
pengurasan mikroorganisme tidak aktif. Maka waktu tinggal sel efektif akan kurang dari c, yaitu
(Morgenroth dan Wildcrcr, 1999) :

dimana c.ef adalah waktu tinggal sel efektif.

Trickling Filter (TF)


Trickling filter terdiri dari media tembus air membentuk bed yang terbuat dari batuan pecah atau
material lainnya seperti pasir, kerikil, granit, keramik dan plastik dimana air dapat terdistribusi dan
tersaring. Media plastik umum digunakan karena memberikan loading rates yang tinggi dan tidak
membutuhkan lahan luas. Diameter beds dengan media batuan bisa mencapai 200 ft dengan kedalaman 38 ft dengan ukuran batuan 1-4 in. Sedangkan dengan media plastik lebih kecil (14-40 ft) berbentuk tower.

TF juga dilengkapi dengan sistem underdrain terbuka sebagai pengumpul filtrat padat dan sebagai sumber
udara bagi mikroorganisme di dalam filter.
Materi organik di dalam air limbah diadsorbsi oleh mikroorganisme (bakteri aerob, anaerob, dan
fakultatif; jamur; alga; dan protozoa) yang terlekat pada media sebagai film bilogis atau lapisan lumpur
(slime layer), tebal kira-kira 0.1-0.2 mm. Jika lapisan menebal (karena pertumbuhan mikroorganisme)
oksigen tidak dapat menembus permukaan media, dan mikroorganisme anaerob berkembang. Jika film
biologis terus tumbuh, mikroorganisme yang berada pada lapisan luar akan kehilangan kemampuan untuk
melekat pada media, dan sebagian lapisan lumpur akan jatuh. Ini dinamakan sloughing dimana padatan
yang terbentuk akan dibawa oleh sistem underdrain.
Dua tipe TF :
1. Single stage: oksidasi karbon dan nitrifikasi di dalam satu unit TF.
2. Two (separate) stage: reduksi BOD karbon (CBOD) terjadi pada pengolahan tahap pertama, dan
nitrifikasi pada tahap kedua.
Kelebihan TF : simple, proses cocok untuk area pengolahan dimana tidak tersedia ruang besar, efektif
dalam mengolah konsentrasi organik tergantung dari media yang digunakan, cocok untuk komunitas
kecil-sedang dan sistem onsite, tingkat kepercayaan kinerja tinggi, mempunyai kemampuan dalam
penanganan dan pemulihan dari shock load, daya tahan elemen proses tinggi, relatif hemat energi, tidak
membutuhkan tenaga ahli. Kekurangan TF: pengolahan tambahan mungkin dibutuhkan untuk
mendapatkan efluen standar yang baik, timbulan lumpur harus diolah dan dibuang, perlu pemeriksan
teratur, relatif tinggi masalah clogging, kurang fleksibel jika dibandingkan dengan activated sludge, dapat
menimbulkan masalah vektor dan bau busuk.
Dibawah ini beberapa masalah yang sering terjadi pada TF beserta penyebab dan cara mengatasinya:
Bau yang tidak enak dari filter
Beban organik berlebih menyebabkan dekomposisi anaerob pada filter mengurangi beban; menaikkan
penyisihan BOD pada unit pengendap pertama; mempertinggi kondisi aerob dengan menambahkan
oksidan kimia; preaerasi, menambah udara pada grit chamber aerasi; membuang off-gas; gunakan media
plastik.
Ventilasi kurang meningkatkan beban hidrolik untuk mencuci pertumbuhan biologis yang berlebih;
menghilangkan puing runtuhan dari saluran efluen, underdrain, dan bagian atas media filter; jangan
menyumbat pipa ventilasi; kurangi beban hidrolik bila underdrain banjir; cek filter flugging.
Ponding pada media filter
Pertumbuhan biologis berlebih kurangi beban organik; tingkatkan beban hidrolik untuk memperbesar
sloughing; gunakan aliran air tekanan tinggi untuk membilas permukaan filter; menjaga sisa klor 1- 2
mg/L pada filter untuk beberapa jam.
Filter flies (Psychoda)
Kadar air pada media filter tidak cukup tingkatkan beban hidrolik; gunakan bukaan orifice di akhir
putaran jari-jari distributor untuk menyiram dinding filter; luapkan filter untuk beberapa jam tiap minggu
saat musim lalat; menjaga sisa klor 1- 2 mg/L pada filter untuk beberapa jam.
Icing
Temperatur air limbah rendah kurangi resirkulasi; gunakan aliran tekanan tinggi untuk menghilangkan
ice dari orifice, nozzle, dan jari-jari distributor; kurangi jumlah filters selama efluen standar dapat
tercapai; kurangi waktu tinggal pada unit pretreatment dan primary treatment.

Gambar Trickling Filter

Rotating Biological Contactor (RBC)


RBC terdiri dari sejumlah piringan bulat yang tebal, tertutup dan bergerak vertikal pada sebuah batang
horizontal yang berotasi. Unit ini dibangun dalam suatu tangki beton sehingga permukaan air limbah yang
melewati tangki tersebut hampir setinggi sumbu putar. Ini berarti bahwa kurang lebih 40 % luas
permukaan cakram total selalu tenggelam. Sumbu tersebut secara kontinyu diputar pada kecepatan 1
sampai 2 rpm. Suatu lapisan pertumbuhan biologis dengan tebal 2-4 mm akan terbentuk pada setiap
permukaan cakram yang selalu basah tersebut.
Pertumbuhan biologis yang melekat pada cakram mengasimiliasi material organik dalam air
limbah. Aerasi diberikan dengan aksi perputaran dimana cakram tersebut akan terkena udara setelah
berkontak dengan air limbah. Kelebihan biomassa terkupas dalam tangki, yang dalam hal ini aksi
perputaran cakram mempertahankan padatan biomassa tersebut dalam suspensi. Akhirnya, aliran air
limbah membawa padatan tersebut keluar dari sistem ke dalam suatu clarifier untuk pemisahan padatan.
Dengan menyusun beberapa set cakram dalam rangkaian seri, maka memungkinkan untuk mencapai
suatu tingkat penyisihan organik (BOD) dan nitrifikasi yang tinggi.
Kelebihan RBC : waktu kontak singkat dibutuhkan karena besarnya permukaan aktif, dapat
digunakan untuk menangani aliran range lebar, biomass yang sudah menumpuk memiliki kemampuan
mengendap yang baik dan dapat dengan mudah dipisahkan dari air limbah, biaya operasi murah, waktu
tinggal pendek, hemat energi, produksi lumpur rendah dan kontrol proses bagus. Kekurangan RBC :
pembebanan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan rusaknya batang pemutar cakram, kerusakan media
cakram karena pancaran matahari serta timbulnya korosi mungkin terjadi, sulit untuk membuat model dan
evaluasi kinetik cakram biologis karena begitu kompleks interaksi antara biomassa dengan fasa gas,
padat, dan cair, effluent cakram biologis masih memiliki kadar koloid yang cukup tinggi.

Anda mungkin juga menyukai