NUSANTARA INDONESIA
PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN MENGGUNAKAN VIDEO DALAM
PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) TERHADAP PERUBAHAN
PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI DI SMAN 9 BALIKPAPAN
TAHUN 2012
Sulastri1, Ridwan M. Thaha2, Syamsiar S. Russeng.MS 3
1
SADARI Foundation
2
Jurusan Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
3
Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin
Abstrak
SADARI merupakan langkah awal yang penting untuk mengetahui secara dini adanya tumor
atau benjolan pada payudara sehingga dapat mengurangi tingkat kematian karena penyakit kanker
tersebut. Rekomendasi dari The American Cancer Sosiety, Menginformasikan bahwa banyak
keuntungan untuk melakukan SADARI saat mencapai usia 20 tahun karena hampir 85% gangguan
atau benjolan ditemukan oleh penderita sendiri melalui pemeriksaan dengan benar. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan
payudara sendiri (SADARI) terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja putri di SMAN 9
Balikpapan Tahun 2012.
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan pre post test control
group design. Subjek penelitian adalah remaja puteri kelas X SMAN 9 Balikpapan yang dipilih
dengan simple random sampling dengan perolehan sampel sebesar 50 siswi. Analisis yang digunakan
adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji paired t-test dengan taraf signifikansi 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan perubahan pengetahuan pada kelompok
eksperimen dengan rerata (49.22) lebih besar daripada kelompok kontrol I (17.36), (p = 0.000) dan
untuk perubahan sikap pada kelompok eksperimen (33.46) lebih besar daripada pada kelompok
kontrol (25.94), (p = 0.000) sehingga ada perbedaan yang signifikasi penyuluhan kesehatan
mengunakan video dalam SADARI terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap pada remaja putri
Memotivasi pengetahuan dan sikap remaja terhadap SADARI dengan membentuk organisasi PIK
KRR untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, selain itu adanya
monitoring, strategi promkes yang lebih kreatif, dukungan dari pihak sekolah, YKI, orang tua remaja
putri sehingga terjadinya kesinambungan program.
Kata Kunci : remaja putri, SADARI, kanker payudara, media video
Abstract
BSE is an important first step to determine the presence of early tumors or lumps in the
breast so as to reduce the rate of death from the cancer. Recommendations from the American
Cancer Sosiety, informing that a lot of advantages to doing BSE when they reach the age of 20
years because nearly 85% disruption or lumps are found by patients themselves through the
examination properly.
This study aimed to determine the effect of health education using video in breast selfexamination (BSE) to increase knowledge and attitudes girls in SMAN 9 Balikpapan 2012. This
research is a quasi experimental design with pre - posttest control group design. Subjects were
girls of class X - SMAN 9 Balikpapan selected by simple random sampling with the acquisition of
a sample of 50 students. The analysis is used univariate and bivariate analyzes to test paired t-test
with significance level 0.05.
The results showed there were differences in changes in knowledge in the experimental
group with a mean (49.22) is greater than the control group I (17:36), (p = 0.000) and for the
anker payudara dikenal sebagai salah satu kanker yang paling sering menyerang kaum
wanita. Selain itu kecenderungan peningkatan prevelensinya tidak dapat dihindari.
Ditambah lagi kematian karena kanker payudara masih tinggi, terutama pada negaranegara sedang berkembang, karena keterlambatan diagnosis, yang berarti juga
keterlambatan pengobatan (Bustan, 2007).
Kanker payudara menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim diantara
kanker yang menyerang wanita Indonesia. Prevalensi kanker payudara di Indonesia adalah 109 per
100.000 penduduk (WHO, 2008). Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) jenis kanker
tertinggi di Rumah Sakit di Indonesia pasien rawat inap tahun 2008 adalah jenis kanker payudara
yaitu sebanyak 18,4% yang kemudian disusul oleh kanker leher rahim (10,3%). Kanker payudara
lebih sering menyerang wanita yang sudah berusia diatas 30 tahun, dan sekarang banyak wanita
usia remaja menderita kanker payudara. Hal ini didukung berdasarkan laporan WHO pada tahun
2005 jumlah wanita khususnya remaja penderita kanker payudara mencapai 1.150.000 orang,
700.000 diantaranya tinggal di Negara berkembang temasuk Indonesia.
Kanker payudara menimbulkan rasa takut yang luar biasa bagi kaum perempuan karena
selain menimbulkan kematian juga berpengaruh pada estetika. Deteksi yang terlambat dan
kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian besar penderita kanker terlambat diobati. Masalah
kanker payudara di Indonesia menjadi lebih besar karena lebih dari 70 % penderita kanker
payudara datang ke dokter pada stadium yang sudah lanjut. Hal ini berbeda dengan di Jepang
dimana pada masalah kanker payudara lanjut hanya ditemukan sebanyak 13 % (Sutjipto, 2008).
Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer), pada tahun
2002 kanker payudara menempati urutan pertama dari seluruh kanker pada perempuan (insidens
rate 38 per 100.000 perempuan) dengan kasus baru sebesar 22,7% dan jumlah kematian 14% per
tahun dari seluruh kanker pada perempuan di dunia (Pusat Komunikasi Publik Setjen Depkes,
2011). Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit A. Wahab Syahranie Samarinda menunjukkan
bahwa jumlah penderita tumor dan kanker payudara yang ada di Kalimantan Timur lebih dari 2000
orang. Berdasarkan data pasien rawat inap tahun 2011 dengan diagnosis kanker payudara di
Kalimantan Timur paling tinggi terdapat di daerah Balikpapan sebesar 616 pasien, daerah bontang
sebesar 185 pasien dan untuk wilayah samarinda sebesar 174 pasien.
Provinsi Kalimantan Timur data tumor/kanker payudara masih terfokus pada tiga kota
besar yaitu Kota Samarinda, Kota Balikpapan dan Kota Bontang. Menurut laporan yayasan kanker
Indonesia (YKI) tahun 2011 data penderita tumor/kanker payudara di tiga kota besar ini lebih
2000 orang. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum A. Wahab Sjahranie rumah sakit Provinsi
Kalimantan Timur tahun 2011 yang berdasarkan rujukan dengan diagnosis kanker payudara di
Kalimantan Timur paling tinggi terdapat di daerah Balikpapan sebesar 616 pasien, daerah bontang
sebesar 185 pasien dan untuk wilayah samarinda sebesar 174 pasien.
Melihat tingginya angka penderita kanker/tumor payudara, maka perlu upaya
pendeteksian dini tumor/kanker payudara dalam hal ini pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)
efektif untuk dilakukan pada tahap remaja, karena pada batasan usia tersebut merupakan saat yang
tepat untuk memulai melakukan usaha preventif deteksi dini terjadinya penyakit Fibroadenoma
26
50
24
100
5
39
6
50
10
78
12
100
21
26
3
50
42
52
6
100
47
2
1
50
94
4
2
100
50
50
100
100
50
50
100
100
9
31
2
2
6
50
18
62
4
4
12
100
11
24
6
9
50
22
48
12
18
100
17
17
4
12
50
34
34
8
24
100
Tabel 2
Tabel. 3
Eksperimen
Pre
18.44
7.448
1.053
Post
39.14
3.758
0.531
P value
0.000
50
Tabel .5
Pengetahuan
Mean
SD
SE
Post
36.34
5.483
0.775
P value
0.000
50
Tabel 6.
Tabel 7.
Sikap
Mean
SD
SE
Tabel 8.
Sikap
Mean
SD
SE
Post
67.66
9.917
1.403
P value
0.000
50
Post
62.60
20.113
2.844
10
P value
0.000
50
Sikap
Mean
SD
SE
Tabel 10.
Post
41.64
12.893
1.823
P value
0.425
50
Sikap
Kelompok Eksperimen
Sebelum
Sesudah
Sikap
Kelompok Kontrol I
Sebelum
Sesudah
Sikap
Kelompok Kontrol II
Sebelum
Sesudah
Rerata
34.20
67.66
Rerata
36.66
62.60
Rerata
40.26
41.64
Perbedaan
rerata
33.46
Perbedaan
rerata
25.94
Perbedaan
rerata
1.38
P value
0.000
50
P value
0.000
50
P value
0.425
50
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A, 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Anonim. 2005. Cancer Risk factors. Mayo Fundation For Medical Educattion and Research.
(Online). (www.mayoclinic.com diakses 12 juni 2012)
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta
Burroughs, A. 1997. Maternity Nursing An Introductory Text. Philadelphia : W. B. Sauders
Company
Dalimartha., Setiawan. 2004. Kanker Payudara. Dalam : Deteksi Dini Kanker dan Simplisia
Antikanker. Penebar Swadaya, Jakarta.
Depkes RI. 2007. Petunjuk Teknis Pencegahan Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Kanker
Payudara. Direktorat Pengendalian penyakit Tidak Menular direktorat Jenderal PP dan
PL, Depkes RI. Jakarta
Kearney,A,J and Murray, M. 2006. Evidence Against breasrt Self Examination is Not Conclusive:
What Polymakers and Health Profesionals Need too Know. Journal of Public Health
Policy; 2006. Dalam proquest Medical Library. (Online). (http://www.proquest .co.id
diakses 13 juni 2012)
Kodim, Nasrin. 2004. Eppidemiologi Kanker Payudara, Himpunan Badan Kuliah Epidemiologi
Penyakit Tidak Menular. FKM UI. Jakarta
Lusa, 2009. Tentang Anatomi dan Fisiologi Payudara. (Online), (http://www.lusa.web.id/anatomidan-fisiologi-payudara , diakses 15 Mei 2012)
Ngatimin, Rusli. 2005. Sari dan Aplikasi Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK-3. Makassar
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta,
Jakarta
11
12
13
PENDAHULUAN
i Indonesia diperkirakan sekitar 4,5 juta bayi lahir setiap tahun (Statistik Indonesia,
2010), namun berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007, angka kematian neonatal (AKN) atau bayi baru lahir (Usia 0-28 hari) masih
cukup tinggi yaitu 19/1000 kelahiran hidup (KH). Dalam kurun waktu 5 tahun, angka
kematian neonatal di Indonesia hanya bergeser 1 poin yaitu 20/1000 KH tahun 2002 dan 19/1000
KH tahun 2007 (Biro Pusat Statistik, 2008).
Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia masih terdapat 234
bayi baru lahir (BBL) atau neonatus meninggal setiap hari atau sekitar 10 neonatus meninggal
setiap jam. Angka kematian neonatal di Indonesia masih merupakan yang tertinggi jika
dibandingkan beberapa negara di wilayah Asia Tenggara, seperti Filipina (17/1.000 KH), Vietnam
(12/1.000 KH), Srilanka (11/1.000 KH) dan Singapura yang hanya 1/1.000 KH (Save the Children,
2008).
Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia dengan angka kematian neonatal sama
dengan angka nasional yaitu 19/1000 kelahiran hidup (Biro Pusat Statistik, 2008). Di provinsi ini
terdapat 3 kabupaten dengan jumlah kematian neonatal tertinggi selama tahun 2009 berdasarkan
data laporan rutin jumlah kematian neonatus dari Kementerian Kesehatan, yaitu: Sukabumi 381
neonatus, Bogor 339 neonatus dan Garut 321 neonatus (Kemenkes RI, 2010).
Tiga penyebab utama kematian neonatus di Indonesia adalah Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) sebesar 29%, asfiksia sebanyak 27% dan terdapat 10% neonatus meninggal akibat tetanus
(Kemenkes RI, 2007). Penyebab kematian neonatus di Jawa Barat antara lain: asfiksia sebanyak
20,1%, infeksi sejumlah 19,5% dan 11,3% meninggal akibat komplikasi prematur dan BBLR
(Dinkes, 2007). Pola penyebab kematian neonatus di kabupaten Garut hampir serupa dengan pola
di tingkat nasional yaitu: BBLR (31%), asfiksia (28%), infeksi (3%), dan 38% karena penyebab
lain (Dinkes, 2009).
Kementerian Kesehatan RI dalam memberikan pelayanan kesehatan dan pencegahan
kematian neonatus di Indonesia, melalui Direktorat Bina Kesehatan Anak telah mengupayakan
beberapa program mulai dari saat bayi lahir hingga berusia 28 hari. Upaya yang telah dilakukan
dalam mengatasi masalah kesehatan neonatus di Indonesia, pendekatannya masih cenderung pada
tingkat petugas kesehatan dan hanya sebagian kecil upaya di tingkat keluarga. Padahal
teridentifikasi sekitar 98% kematian neonatus terjadi di negara-negara berkembang (termasuk
Indonesia) yang mana 60% diantaranya lahir di rumah tanpa bantuan perawatan tenaga kesehatan
terampil (Yinger, 2003).
Perawatan neonatus yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI), menjaga bayi tetap hangat serta tunda mandi minimal 6
jam setelah kelahiran, perawatan tali pusat dan pencegahan infeksi, serta pengenalan tanda bahaya
pada neonatus. Perawatan neonatus lebih banyak dilakukan di rumah oleh ibu dan keluarga,
dengan konteks perawatan yang dipengaruhi oleh lingkungan dan tokoh-tokoh kunci di sekitar
mereka. Hasil riset formatif di Kabupaten Garut yang dilakukan oleh Yayasan Melati (2008),
mengungkapkan bahwa perilaku ibu dan keluarga dalam perawatan neonatus dipengaruhi antara
lain oleh dukun bayi, kader kesehatan, dan tetangga. Hasil riset ini juga mengemukakan bahwa
kader kesehatan merupakan salah satu tokoh kunci yang mendampingi ibu hamil saat
memeriksakan kehamilan ke bidan atau petugas kesehatan, mendampingi ibu bersalin saat
persalinan, melakukan kunjungan pasca persalinan, memberi informasi seputar kesehatan ibu
neonatus dan bayinya, serta mendampingi keluarga saat melakukan rujukan dalam kondisi
kegawatdaruratan ibu neonatus dan bayinya (Yayasan Melati, 2008).
Di India dan Bangladesh, telah dilakukan pemanfaatan kader untuk memberikan
pendidikan kesehatan terhadap ibu neonatus dalam upaya perubahan perilaku ibu terkait perawatan
neonatus di tingkat rumah tangga (Baqui, et al 2008 dan Bang, Rany, Reddy, 2005). Di Indonesia
kader kesehatan seringkali berperan dalam memotivasi dan memberikan informasi terkait
14
15
Kualitatif
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber informasi untuk memenuhi kebutuhan data
kualitatif yakni: ibu neonatus, kader kesehatan, bidan koordinator, bidan di desa, dukun bayi dan
keluarga ibu neonatus. Proses pengumpulan data kualitatif dilaksanakan pada awal, tengah dan
akhir proses pengumpulan data kuantitatif. Teknik pengumpulan data yaitu dengan observasi
praktik terhadap ibu hamil yang melakukan simulasi perawatan neonatus dan juga terhadap kader
kesehatan yang diamati pada saat memberikan informasi dan pembelajaran praktik perawatan
neonatus kepada ibu dengan usia kehamilan antara 5-9 bulan. Selanjutnya pengamatan dilakukan
lagi setelah ibu melahirkan, terhadap informan yang sama yaitu ibu neonatus dan kader yang
berkunjung melakukan pembelajaran pada saat bayi berusia antara 0-7 hari.
Dalam penelitian kualitatif, jumlah sumber informasi biasanya sedikit. Oleh karena itu,
agar keabsahan data tetap terjaga, dilakukan strategi yang disebut triangulasi (Faisal, 1990, Morse
dan Field, 1995 serta Kemenkes RI, 2000). Dalam penelitian ini, upaya triangulasi yang dilakukan
adalah triangulasi sumber informasi dan triangulasi metode. Analisis yang dilakukan untuk data
kualitatif yaitu analisis isi (Faisal 1990, Nasution, 1992, serta Morse dan Field, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengetahuan dan sikap ibu neonatus mengenai perawatan neonatus setelah intervensi
lebih baik dibandingkan pengetahuan dan sikap ibu sebelum intervensi pada kelompok intervensi.
Hal tersebut dapat diketahui dari uraian pada tabel berikut:
Tabel 1 Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Ibu Neonatus terhadap Perawatan
Neonatus Sebelum dan Setelah Intervensi
pada Kelompok Intervensi
Variabel
Pengetahuan
(skala 0-20)
Sikap
(skala 0-10)
Mean
14,3
15,7
4,3
7,0
Sebelum intervensi
Setelah intervensi
Sebelum intervensi
Setelah intervensi
SD
3,3
2,8
2,1
1,9
Beda Mean
1,4 (9,4%)
<0,001
2,7 (62,3%)
<0,001
16
Sebelum intervensi
Setelah intervensi
Sikap
(skala 0-10)
Sebelum intervensi
Setelah intervensi
Mean
13,3
SD
3,3
13,6
3,4
4,9
2,0
5,4
1,9
Beda Mean
0,5 (8,1%)
0,014
Perubahan rata-rata nilai pengetahuan dan sikap ibu neonatus terhadap perawatan
neonatus pada kelompok intervensi lebih besar dibandingkan dengan ibu neonatus pada kelompok
kontrol. Nilai rata-rata praktik ibu neonatus pada kelompok intervensi juga lebih tinggi daripada
praktik ibu neonatus pada kelompok kontrol, setelah intervensi. Uraian mengenai perbandingan
selisih rata-rata pengetahuan dan sikap ibu neonatus sebelum maupun setelah intervensi antar
kelompok serta perbedaan rata-rata praktik ibu neonatus setelah intervensi antar kelompok dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3 Perbandingan Perubahan Rata-rata Nilai Pengetahuan, Sikap dan Praktik
Ibu Neonatus antar Kelompok
Variabel
Pengetahuan
Sikap
Praktik
Intervensi
Kontrol
Intervensi
Kontrol
Intervensi
Kontrol
Mean
1,4
0,3
2,7
0,4
19,1
12,6
SD
2,9
2,8
2,0
1,9
4,1
3,7
Beda Mean
1,1
(9,3%)
2,3
(76,4%)
6,5
(51,6%)
p*
0,017
<0,001
<0,001
*Uji Mann-Whitney
Untuk memperoleh gambaran mengenai praktik yang dilakukan ibu neonatus dalam
perawatan neonatus, dilakukan pengamatan terhadap 32 orang informan ibu neonatus pada
kelompok intervensi. Praktik ibu neonatus dinilai menggunakan lembar observasi dengan jenis
informasi berupa data kualitatif. Pengamatan terhadap tindakan ibu dalam perawatan neonatus
dilakukan sebanyak dua kali. Sebelum intervensi, ibu dengan usia kehamilan 5-9 bulan diminta
melakukan simulasi perawatan neonatus menggunakan manekin bayi, manekin payudara dan
perlengkapan bayi lainnya. Selanjutnya pengamatan kedua dilakukan setelah bayi lahir (usia bayi
masih dalam periode neonatal 2-21 hari).
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut antara lain: 1) hampir
semua ibu neonatus menyusui bayinya secara bergantian antara payudara kiri dan kanan, hanya
dua orang yang tidak melakukan tindakan tersebut, 2) pada saat simulasi sebagian ibu masih
memakaikan gurita kepada boneka bayi namun pada saat dilakukan pengamatan hanya sebagian
kecil ibu neonatus yang masih memakaikan gurita kepada bayinya, 3) sebagian besar ibu yang
mempraktikkan membungkus bayi dengan cara bedong ketat pada saat simulasi, namun hanya
sebagian kecil yaitu dua orang ibu neonatus yang diamati masih membedong ketat bayinya, 4)
pada saat simulasi dan setelah bayi lahir, sebagian besar ibu neonatus yang diobservasi sudah
mempraktikkan pemakaian penutup kepala atau topi kepada bayi baru lahir, 5) sebagian ibu masih
membubuhkan betadine dan atau alkohol kepada boneka bayi dan setelah bayi mereka lahir
17
B
1,30
1,16
-1,12
p
0,000
0,001
0,000
OR
3,68
3,20
0,32
95%CI
2,22 - 6,10
1,62 - 6,33
Berdasarkan model akhir pengaruh intervensi kader terhadap pengetahuan ibu neonatus
seperti tampak pada tabel 4, dapat dikatakan bahwa intervensi berupa pemberian informasi dan
kunjungan pembelajaran dari kader kesehatan sebanyak dua kali mampu meningkatkan
pengetahuan ibu neonatus mengenai perawatan neonatus hampir 3,7 kali dibanding sebelum
pemberian intervensi setelah dikontrol dengan tingkat pendidikan (OR=3,68, 95%CI:2,22-6,10,
p<0,001). Ibu dengan tingkat pendidikan SLTA/PT berpeluang 3,2 kali mempunyai pengetahuan
yang tinggi mengenai perawatan neonatus dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan SD/SMP
setelah dikontrol oleh intervensi kader (OR=3,20, 95%CI:1,62-6,33, p=0,001).
Sikap
18
B
1,79
1,72
-1,57
P
0,000
0,000
0,000
OR
5,96
5,59
0,21
95%CI
3,40 10,46
3,08 10,17
Berdasarkan model akhir hubungan intervensi kader dengan sikap ibu neonatus
sebagaimana terlihat pada tabel 5 dapat dikatakan bahwa intervensi dari kader kesehatan mampu
meningkatkan sikap positif ibu terhadap perawatan neonatus sebesar 6 kali dibanding sebelum
intervensi, setelah dikontrol oleh sikap ibu sebelum intervensi (OR = 5,96, 95%CI: 3,40-10,46,
p<0,001). Ibu neonatus yang mempunyai sikap positif sebelum intervensi berpeluang mempunyai
sikap positif pula terhadap perawatan neonatus setelah intervensi sebesar 5,6 kali dibanding ibu
neonatus dengan sikap negatif sebelum intervensi, setelah dikontrol oleh intervensi kader (OR=
5,59, 95%CI: 3,08-10,17, p<0,001).
Praktik
Dari empat variabel yang diduga sebagai confounder pada hubungan antara intervensi
kader kesehatan dengan praktik ibu neonatus, ternyata ada satu variabel dengan perubahan relatif
rasio odds lebih dari 10% yaitu tingkat pendidikan. Meskipun demikian variabel tingkat
pendidikan, tetap dikeluarkan dari model, oleh karena mempunyai nilai p>0,05 yaitu 0,143.
Dengan demikian model akhir hubungan intervensi kader kesehatan dengan praktik ibu dalam
perawatan neonatus seperti pada tabel berikut:
Tabel 6 Model Akhir Pengaruh Intervensi Kader Kesehatan
terhadap Praktik Ibu Neonatus dalam Perawatan Neonatus
Variabel
Intervensi Kader
Konstanta
B
2,52
-1,07
P
0,000
0,000
OR
12,41
0,34
95%CI
7,15 21,57
Pada model akhir hubungan intervensi kader dengan praktik ibu setelah intervensi
sebagaimana terlihat pada tabel 6 dapat dikatakan bahwa intervensi berupa pemberian informasi
dan kunjungan pembelajaran dari kader kesehatan sebanyak dua kali mampu memperbaiki praktik
ibu dalam perawatan neonatus sebesar 12,4 kali dibanding tanpa pemberian intervensi (OR=
12,41, 95%CI: 7,15-21,57, p<0,001).
Pembahasan
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap
obyek melalui indera yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui
indera pendengaran dan penglihatannya (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa
19
20
21
22
23
Abstrak
Persepsi masyarakat tentang kusta sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat yang
cenderung menyalahkan penderita kusta, sehingga pasrah pada nasib. Meskipun sudah sembuh,
penderita kusta masih berpikir ulang untuk kembali hidup bermasyarakat di luar RS. Cacat
permanen pada tubuh akibat penyakit kusta dikhawatirkan menimbulkan stigma negatif yang
membuat penderita dikucilkan masyarakat sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
persepsi masyarakat (penderita, keluarga dan tokoh masyarakat) terhadap penyakit kusta di
wilayah kerja Puskesmas Kalumata Kota Ternate tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif melalui wawancara mendalam, dengan jumlah informan sebanyak 14 orang, (5
penderita, 5 keluarga penderita, 3 tokoh masyarakat dan 1 petugas kesehatan). Hasil penelitian
menunjukan bahwa pengetahuan informan terhadap penyakit kusta didasarkan atas gejala yang
dirasakan dan dilihat secara fisik, yaitu menurut informan adanya bercak-bercak putih, dan lukaluka di kulit serta mati rasa pada kulit. Informan juga masih percaya bahwa penyakit kusta
adalah penyakit keturunan dan kutukan. Penyebab kusta menurut informan karena lingkungan
yang kotor, bakteri dan karena guna-guna. Penularan kusta melalui peralatan makanan jika
digunakan bersama penderita. Upaya pengobatan yang dilakukan menurut informan yaitu pergi
ke dukun dan puskesmas. Kemudian untuk sikap, bagi penderita sendiri masih merasa minder
ketika harus bergaul dengan masyarakat, sedangkan bagi sebagian keluarga dan masyarakat
yang bukan penderita, mereka masih merasa takut jika harus berinteraksi dengan penderita.
Tindakan penderita dalam melakukan upaya pengobatan yaitu dengan berobat ke dukun dan ke
puskesmas, disamping itu dukungan dari keluarga juga sangat menentukan keinginan untuk pergi
berobat, sedangkan tindakan masyarakat yang bukan penderita, mereka mau bergaul dengan
penderita, tapi tetap menjaga jarak karena takut tertular. Perlunya gerakan penyuluhan efektif
dengan melibatkan petugas kesehatan, penderita, keluarga serta tokoh masyarakat sehingga
diharapkan mampu mengoreksi persepsi-persepsi masyarakat yang salah tentang penyakit kusta.
Kata kunci
Abstract
Public perception of leprosy is strongly influenced by local cultural values that tend to blame the
lepers, so resigned to fate. Although cured, lepers are still to return to re-think living in a society
outside the hospital. Permanent disability caused by leprosy on the body caused feared the
negative stigma which makes people shut out the surrounding community. This study aims to
determine the public perception (patients, families and community leaders) against leprosy in the
area of PHC Kalumata of Ternate in 2010. The method used was qualitative research through indepth interviews, with the number of informants as many as 14 people, (5 patients, 5 patients'
family, community leaders and the first three health workers). The results showed that the
knowledge of informants against leprosy is based on symptoms and physical visits, ie according to
the informant of white patches, and the wounds in the skin and numbness on the skin. Informants
also still believe that leprosy is hereditary disease and a curse. The cause of leprosy according to
informants because of the dirty environment, bacteria, and because of witchcraft. Transmission of
24
PENDAHULUAN
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 19 negara di dunia,
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia dan lebih dari 750 ribu kasus baru ditemukan
setiap tahun di dunia atau sekitar 85 orang setiap jamnya. Pada tahun 2005 Indonesia merupakan
penyumbang penyakit kusta ketiga setelah India dan Brazil. Menurut data World Health
Organization (WHO) jumlah penderita kusta yang disebut juga dengan lepra memang mengalami
penurunan. Jumlah kasus lepra baru di dunia yang tahun 2001 sebanyak 760 ribu turun tajam
menjadi 210 ribu kasus pada awal 2008. Jumlah kasus yang terdeteksi di seluruh dunia terus
mengalami penurunan (Susanto, 2009). Penurunan kasus kusta di angka dunia, tidak diikuti
penurunan kasus di Indonesia, kasus kusta yang pada tahun 2002 jumlah kasus barunya baru 12
ribu pada awal tahun 2008 malah bertambah menjadi sekitar 17 ribuan (Soewono, 2009).
Peta endemik kusta di Indonesia sebetulnya bisa disoroti di daerah pesisir pantai. Daerah
seperti Surabaya, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Jakarta Utara menjadi sarang orang dengan
kusta. Dan temuan kasus baru yang Paling tinggi selama beberapa tahun terakhir ini adalah di
Maluku Utara. secara keseluruhan, masih ada 17 provinsi dan 150 kabupaten yang mempunyai
kasus kusta dengan rasio 1 per 10 ribu penduduk. Penderita baru pada 2006 sebanyak 11.719 jiwa
(Anonim, 2009)
Maluku Utara merupakan daerah dengan angka temuan kasus baru kusta tertinggi di
Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini. Sebagai daerah endemik kusta, temuan kasus kusta
baru pada tahun 2006, 2007 dan 2008 masing-masing sebanyak 632 penderita, 479 penderita dan
604 penderita. 85% diantaranya merupakan penderita tipe MB yang diketahui merupakan tipe
yang menular. Selain itu dari penderita baru yang diketemukan tersebut 8.0% sudah mengalami
kecacatan tingkat 2.
Untuk Kota Ternate sendiri temuan kasus kusta pada tahun 2006, 2007 dan 2008, masingmasing sebanyak 144, 114 dan 129 penderita. Dengan tingkat kecacatan yang cukup tinggi.
Khusus untuk wilayah kerja puskesmas Kalumata di Kota Ternate, jumlah kasus jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan wilayah kerja puskesmas lain yang ada di Kota Ternate yang pada tahun
2007, 2008, dan 2009 masing-masing sebanyak 28, 39, dan 40 penderita (Dinkes Malut, 2009)
Menurut Timotius, dalam Susanto dkk (2009), Penyakit Kusta bukanlah penyakit yang
menyebabkan kematian yang seketika, seperti penyakit menular lainnya, melainkan penyakit
kronis sehingga menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang sangat kompleks, bukan hanya
dari segi medis tetapi juga dari segi mental sosial ekonomi dan budaya penderita, terutama akibat
cacat yang ditimbulkan penyakit tersebut, selain kondisi aktif sebagai penderita, maka keadaan
25
26
27
(Mwn, 26 thn)
Sedangkan bagi informan yang bukan penderita kusta, mereka mengungkapkan bahwa
mereka cenderung menghindar dan jaga jarak dengan penderita kusta karena selain takut tertular
juga karena stigma negatif kusta yang sudah melekat dalam benak mereka. Seperti yang di kutip
berikut ini:
ya kalo orang so sake bagitu lebe bae saya menghindar
(Nha, 52 thn)
c. Tindakan petugas kesehatan dalam rehabilitasi sosial terhadap penderita kusta
Dalam melakukan rehabilitasi terhadap penderita, informan yaitu petugas Puskesmas
pemegang program kusta berupaya untuk memberikan penyuluhan kepada penderita, keluarga
serta masyarakat sekitar. Selain itu petugas juga langsung memeriksa jika ada keluhan-keluhan
atau gejala-gejala yang timbul yang dirasakan oleh masyarakat pada saat petugas sedang
memberikan penyuluhan. Petugas juga turun ke sekolah-sekolah untuk melakukan penyuluhan
serta memeriksakan para siswa. Seperti dalam kutipan berikut ini:
kalo yang masih dalam masa pengobatan, biasanya diberi penyuluhan
setiap kali penderita datang berobat, selain kepada penderita, torang juga
kase penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat sekitar pada saat turun
posyandu. Selain itu, ada juga nama kegiatan survey atau pemeriksaan di SD
pemeriksaan di anak-anak sekolah, atau pemeriksaan dini, kita lakukan
penyuluhan ini pas tahun ajaran baru, trus kalo untuk anak SMP dan SMA
hanya ada penyuluhan saja
(Dli, 29 thn)
PEMBAHASAN
Pengetahuan
Menurut Ngatimin dalam Detek (2010), perubahan pengetahuan sendiri memerlukan
beberapa tingkatan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks yaitu pengetahuan dasar,
pengetahuan menyeluruh, penerapan, kemampuan analisis, kemampuan menguraikan dan
kemampuan evaluasi (Detek, 2010)
28
29
30
31
32
ABSTRAK
Waria merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS.
Berdasarkan data kasus HIV dan AIDS di Bulukumba, hingga tahun 2012 terdapat 89 kasus HIV
dan AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku waria dalam
upaya pencegahan HIV dan AIDS. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan
melalui teknik wawancara mendalam. Informan berjumlah 9 orang yang terdiri dari 6 waria, 1
ketua KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), 1 bocah, dan 1 petugas kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman waria terhadap HIV dan AIDS adalah penyakit
menular yang diakibatkan oleh seks bebas, jarum suntik bergantian, dan disebut sebagai penyakit
malam. Waria memahami HIV dan AIDS sebagai penyakit yang ditularkan melalui seks,
persamaan golongan darah, nafas, serta cairan dalam tubuh. Perilaku pencegahan dilakukan
adalah tidak bergaul dengan ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) serta menggunakan tisu
basah. Waria telah menyadari pentingnya menggunakan kondom, namun dalam penggunaannya
dipengaruhi oleh status pasangan, penampilan fisik pasangan, persamaan golongan darah, dan
pasangan yang kadang merasa tidak nyaman. Dari hasil penelitian ini, disarankan agar informasi
melalui penyuluhan tentang HIV dan AIDS lebih ditekankan pada penularan dan resiko tindakan
ganti-ganti pasangan terhadap HIV dan AIDS.
Kata Kunci : Perilaku,Waria, Pencegahan, HIV and AIDS
ABSTRACT
Waria is one of the groups at high risk of HIV infection HIV and AIDS. Based on the cases
of HIV and AIDS in Bulukumba, in 2012 there are 89 cases of HIV and AIDS. This study aimed to
obtain information about the behavior of Waria in preventing HIV and AIDS. This study is a
qualitative research conducted through in-depth interview techniques. Informants totaled 9 people
consisting of 6 transvestites, 1 head of KDS (Peer Support Group), one Bocah, and one health
worker.
The results showed an understanding Waria to HIV and AIDS is an infectious disease
caused by sex, sharing needles, and called Penyakit Malam. Waria understanding of HIV and
AIDS as a disease that is transmitted through sex, blood type equations, breath, and fluid in the
body. Prevention behaviors do is not hang out with PLWHA (People Living with HIV and AIDS)
and using wet wipes. Waria has realized the importance of using condoms, but its used by family
status, physical appearance spouse, blood type equations, and couples who sometimes feel
uncomfortable. From these results, it is suggested that information through counseling about HIV
and AIDS transmission and greater emphasis on risk measures change sexual partners against
HIV and AIDS.
33
PENDAHULUAN
alah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia
adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang dapat menyebabkan AIDS (Aquarired Immunodeficiensy
Syndrome). Saat ini WHO mengistemasikan telah terdapat 34,2 juta kasus positif HIV
(UNAIDS, 2012). Indonesia sendiri juga menjadi salah satu perhatian utama penanggulangan
HIVdan AIDS sebab merupakan negara Asia dengan epidemi HIVdan AIDS yang berkembang
paling cepat (UNAIDS, 2012). Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012,
menunjukkan tahun 2012 terdapat 86.762 kasus HIV dengan faktor risiko penularan utama
melalui transmisi hubungan seks heteroseksual sebanyak 81,92% (Vivalife, 2013).
Diantara 34 propinsi lainnya di Indonesia, propinsi Sulawesi Selatan termasuk 4 besar wilayah
tertinggi di Indonesia untuk kasus AIDS yakni sebanyak 56 kasus (periode januari-maret 2012)
dan berada diperingkat 7 nasional dengan jumlah penderita HIV mencapai 5.658 orang (Ditjen PP
& PL Kemenkes RI, 2012). Dari 23 kabupaten/kota di Sul-sel, Kabupaten Bulukumba memiliki
jumlah penderita HIV dan AIDS sebanyak 69 kasus di tahun 2010 dan merupakan tertinggi ketiga
setelah Makassar dan Pare-pare. Di tahun 2012 meningkat menjadi 89 kasus (KPAD, 2010).
Kab.Bulukumba termasuk dalam 21 daerah provinsi yang telah mengeluarkan perda AIDS
yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang
didalamnya mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi pada masyarakat tentang
HIV dan AIDS, serta melaksanakan pemeriksaan tes HIV dan AIDS terhadap kelompok rawan dan
berisiko tinggi, termasuk didalamnya PSK dan Waria (Harahap, 2010).
Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan
HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria
memberikan kontribusi penularan HIV dan AIDS yang signifikan. Penularan HIV melalui seks
anal dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal. Menurut Yayasan Riset
AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular
penyakit HIV dibanding masyarakat umum(Rabudiarti, 2007).
Menurut Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait prevalensi HIV di Tiga Kota di
Indonesia tahun 2007, Di Jakarta tercatat 34% waria positif HIV, disusul Surabaya dengan 25%,
dan Bandung 14%. Hasil Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kota Pontianak tahun 2007
dari 10 waria ditemukan 5 waria terinfeksi HIV (Rabudiarti, 2007). Penelitian sebelumnya yang
dilakukan di kota Abepura Papua dan Sorong diperoleh hasil dari 15 waria yang jadi informan,
hanya 3 Waria di Abe dan 2 waria disorong yang memakai kondom ketika berhubungan
seks.Begitupun dengan Data STBP 2007 menunjukkan pemakaian kondom pada waria saat
berhubungan seks tidak mencapai 50% dengan hasil di Jakarta hanya 13% dan Bandung 48%.
Salah satu hal yang mendasari adalah kenyamanan dan kepuasan mereka berhubungan seks
terganggu jika menggunakan kondom (Djoht, 2003).
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa waria merupakan kelompok yang berisiko terhadap
peningkatan jumlah kasus HIVdan AIDS, khusus untuk wilayah Kabupaten Bulukumba akan
sangat berpotensi mengalami peningkatan kasus HIVdan AIDS karena jumlah waria yang relatif
banyak diperkirakan mencapai 300 waria.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
34
35
36
37
38
39
40
41
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerimaan siswa Sekolah Dasar tentang jajanan
sehat melalui penyuluhan media poster. Penelitian ini melibatkan 92 siswa kelas V sekolah dasar
negeri 004 Awang Long Samarinda yang diambil secara acak sederhana. Penelitian dilakukan uji
coba media di kalangan siswa SD Muhammadiyah dengan menggunakan desain penelitian one
shot case study, kemudian dilanjutkan di SD Negeri 004 Awang Long Samarinda dengan desain
quasi eksperimen one group pretest posttest. Pretest digunakan untuk mengukur pengetahuan dan
sikap awal siswa SD tentang jajanan sehat. Selanjutnya, dilakukan posttest untuk mengukur
pengetahuan dan sikap akhir siswa SD setelah mendapatkan penyuluhan dengan poster jajanan
sehat. Hasil penelitian menunjukan bahwa media poster yang diuji coba diterima siswa SD
Muhammadiyah dengan nilai rata-rata skor keberterimaan 60-100%. kemudian terjadi
peningkatan pengetahuan 71 siswa dan sikap positif 33 siswa dengan uji wilcoxon menunjukkan
signifikan (0,000< p 0,05).
ABSTRACTS
The aim of research is to analyze the acceptance of Elementary School students on healthy snacks
through poster media counselling. The population consisted of 92 students of Class V of 004
Awang Long State Elemntary School Samarinda. The simples were selected by using simple
random sampling method. The research use previous experiment among the students of
Muhammadiyah Elementary School by using one shot case study. After that, the research was
conducted among the students of 004 Awang Long State Elementary School, Samarinda by using
quasi experiment one group pretest posttest design. Pretest was used to measure students
knowledge and attitude on healthy snacks, while posttest was done to assess students knowledge
and attitude after having counselling by using poster on healthy snacks. The result of the research
reveal that tried-out poster media is accepted by the students of Muhammadiyah Elementary
School with the mean score of 60-100%. There is an increase of knowledge among 71 students
and positive attitude among 33 students using wilcoxon test which indicates a significance
(0,000< p0,05).
PENDAHULUAN
angan jajanan memegang peranan yang cukup penting dalam mendukung terpenuhinya
asupan gizi anak sekolah. Hasil survei yang dilakukan BPOM pada tahun 2008 pada
4500 SD di 79 kabupaten atau kota di 18 propinsi di Indonesia melaporkan bahwa
pangan jajanan yang dikonsumsi anak sekolah menyumbang sebesar 31,1 persen energi
dan 27,4 persen protein dari konsumsi pangan harian (BPOM 2009). Anak usia sekolah merupakan
generasi penerus bangsa, untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas harus
42
43
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Disain penelitian yang digunakan adalah Kuasi eksperimental (rancangan eksperimen
semu) dengan melalui proses dua tahap yaitu tahap pertama sebelumnya dilakukan uji
keberterimaan poster dengan uji one shot case study. Desain ini dimaksudkan untuk mempelajari
dinamika dan variasi variabel yang termuat dalam judul penelitian Analisis Penerimaan Media
Komunikasi Poster tentang Jajanan sehat di kalangan siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda.
Populasi, dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar Negeri 004 Awang Long Samarinda
kelas V yang terdiri dari 3 kelas yaitu kelas VA, VB dan VC dengan jumlah siswa sebanyak 120
orang. Ditetapkan pada kelas V karena kelas V dianggap memiliki pola pikir yang lebih
berkembang dan kemampuan membaca yang lebih baik dibandingkan dengan kelas I hingga kelas
IV serta sudah mampu melakukan pengambilan keputusan pembelian sendiri tanpa bergantung
pada orang dewasa yang ada disekitarnya. Sampel adalah sebagian dari populasi. Besaran jumlah
sampel dapat ditentukan dengan rumus yang perhitungannya berdasarkan rumus Slovin (Umar
2005), sehingga diketahui besar sampel 92 orang. Untuk mengantisipasi kesalahan atau kegagalan
yang mungkin terjadi pada saat pengambilan data, maka responden diambil secara acak sederhana
(simple random sampling).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 004 Jl. Awang Long Samarinda.
Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa SD 004 Awang Long
Samarinda merupakan salah satu SD di wilayah kota Samarinda yang memiliki kantin dan juga
penjual jajanan di sekitar sekolah. Pengumpulan data primer baik sebelum maupun sesudah
perlakuan serta pengambilan data yang dilaksanakan mulai bulan Juli s/d Oktober 2012.
Pengumpulan dan Jenis Data
Pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner. Jenis data yang
adalah data primer melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan data
sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subyek penelitiannya, berupa data dokumentasi atau data laporan.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik responden
Jenis kelamin responden dan umur responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin yaitu jumlah
responden laki-laki sebanyak 54 orang (58,7%) dan perempuan sebanyak 38 orang yakni 41,3%.
Tabel 2 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan umur yaitu jumlah berumur 9 tahun
sebanyak 3 orang (3,3%) dan 10 tahun sebanyak 82 orang (89,1%) yang berumur 11 tahun 7 orang
(7,6%).
Analisi Univariat
Keberterimaan Media Poster
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil uji coba media pada Sekolah Dasar di Samarinda
didapat hasil bahwa 18 item pertanyaan dari 20 pertanyaan/pernyataan menjawab ya 60, sehingga
dapat disimpulkan bahwa hasil uji coba media poster yang dipakai adalah ; responden merasa
tertarik dengan judul pada poster, responden setuju dengan apa yang disampaikan pada poster,
responden setuju kalau poster dapat memberikan pengetahuan tentang jajanan sehat, responden
dapat memahami isi poster, responden menyarankan perbaikan pada gambar, tulisan dan
penegasan warna dan responden setuju kalau poster dapat disebarkan di sekolah lain.
44
45
46
47
48
LAMPIRAN
Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
n
Laki-laki
54
58,70
Perempuan
38
41,30
Jumlah
92
100
Sumber : Data Primer
9 thn
3
3,30 %
10 thn
82
89,10 %
11 thn
7
7,6%
92
100%
Sumber : Data primer
Tabel 3. Hasil uji coba media poster di kalangan siswa SD Muhammadiyah
Samarinda
KATEGORI JAWABAN
Jumlah
Persentase
Ya
Tdk
No
Pertanyaan
n
n
1
1
20
100.00 20
100.00
2
2
10
50.00
10
50.00 20
100.00
3
3
15
75.00
5
25.00 20
100.00
4
4
9
45.00
11
55.00 20
100.00
5
5
12
60.00
8
40.00 20
100.00
6
6
12
60.00
8
40.00 20
100.00
7
7
20
100.00 20
100.00
8
8
18
90.00
2
10.00 20
100.00
9
9
20
100.00 20
100.00
10
10
16
80.00
4
20.00 20
100.00
11
11
20
100.00 20
100.00
12
12
20
100.00 20
100.00
13
13
20
100.00 20
100.00
14
14
20
100.00 20
100.00
15
15
16
80.00
4
20.00 20
100.00
16
16
20
100.00 20
100.00
17
17
20
100.00 20
100.00
18
18
20
100.00 20
100.00
19
19
20
100.00 20
100.00
20
20
20
100.00 20
100.00
Jumlah
17.4 87
2.6 13
20
100
Rata Rata
49
76
82,6
16
17,4
92
100.00
Tingkat
Pengetahuan
Rendah
Tinggi
Setelah Perlakuan
n
5
5,43
87
94.57
92
100.00
Sikap
Sebelum Perlakuan
n
Negatif
38
Positif
54
Total
92
Sumber : data Primer
Tabel 6.
Setelah Perlakuan
n
41,3
58,7
100,0
7
85
92
7,6
92,4
100,0
Hasil uji tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media
poster.
Nilai maksimum
Nilai minimum
Sebelum
Penyuluhan
n
100
43
Skor rerata
55
Sumber : data Primer
Sesudah
Penyuluhan
n
100
54
92
0,000
90
Tabel 7.
Hasil uji prubahan sikap responden sebelum dan sesudah penyuluhan dengan
media poster
Sebelum
Sesudah
Penyuluhan
Penyuluhan
n
p
n
n
Nilai maksimum
48
48
92
0,000
Nilai minimum
22
22
Skor rerata
32
44
Sumber : data Primer
50
51
PENDAHULUAN
angguan penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lain (NAPZA) merupakan
masalah yang menjadi keprihatinan dunia international di samping masalah HIV/AIDS,
kekerasan (violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan
kelangkaan pangan. Sejak tahun 1987, PBB mengeluakan laporan tahunan konsumsi
narkoba di dunia. Saat ini, sekitar 25 juta orang mengalami ketergantungan NAPZA. Di Indonesia
pengguna NAPZA mencapai 3,8 juta jiwa. Yang menjadi lebih memprihatinkan adalah sebagian
besar pengguna tersebut ternyata adalah usia produktif, dan sebagian besar di antaranya adalah
remaja dan dewasa awal (20-30 tahun). 70 persen dari total pengguna NAPZA di Indonesia anak
usia sekolah, 4 persen lebih siswa SMA dan selebihnya mahasiswa. Hal ini bila tidak segera
ditanggulangi merupakan ancaman bagi kesejahteraan generasi yang akan datang, di mana anak
sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia
bagi pembangunan nasional yang perlu untuk dilindungi (BNN, 2012).
Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam, dalam kurun waktu
3 tahun (2009-2011) kunjungan pasien rawat jalan korban NAPZA rata-rata berkisar 140 pasien
tiap bulannya,. pasien rawat inap korban NAPZA sekitar 2-3 orang/bulan, konsultasi rata-rata tiap
bulan berkisar 5-10 orang. Baik pasien rawat jalan maupun rawat inap sebagian besar
berpendidikan SLTA (42,5% untuk rawat jalan dan 38% untuk rawat inap). Sebagian besar
(78,1% ) berusia 25-35 tahun. Jenis NAPZA yang digunakan sangat bervariasi, di antaranya opiat,
ganja, amfetamin, sedatif hipnotik, alkohol, kokain, atau multiple. Dalam upaya masa pemulihan
penyalahgunaan NAPZA perlu dilakukan melalui pola pre-emptif, preventif, represif, treatment
dan rehabilitasi serta pola peningkatan partisipasi masyarakat melalui pendekatan keluarga
(Support Family Group).
Menurut perkiraan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), sekitar 200
juta orang di seluruh dunia menggunakan NAPZA jenis narkotika dan psikotropika secara illegal.
Kanabis merupakan jenis NAPZA yang paling sering di gunakan, diikuti dengan Amfetamin,
Kokain, dan Opioida. Penyalahgunaan NAPZA jenis ini di dominasi oleh pria, dan juga lebih
terlihat di kalangan kaum muda dibandingkan katagori usia lebih tua. Sebanyak 2,7% dari populasi
52
53
54
55
56
57
ABSTRAK
Untuk tumbuh kembang optimal, anak membutuhkan asupan gizi yang cukup, bayi usia 0-6 bulan
cukup ASI saja, dan bayi diatas 6 bulan memerlukan MP-ASI. Kebiasaan yang dijumpai
dikalangan etnis Banjar adalah adanya pemberian MP-ASI pada bayi kurang dari 6 bulan, yaitu
pemberian pisang kepok pada 2-3 hari setelah bayi lahir, hal ini akan mempengaruhi status gizi
bayi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis tentang pola pemberian MP-ASI pada
bayi usia 6-12 bulan pada kalangan orang Banjar di Kelurahan Teluk Lerong Ilir Kecamatan
Samarinda Ulu. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan informan yaitu ibu beretnis
Banjar yang memiliki bayi 6-12 bulan yang bersedia menjadi informan. Pemilihan informan
dilakukan dengan metode Snowball Sampling. Data berupa informasi dikumpulkan melalui
wawancara mendalam (indeph interview) dan observasi partisipasi. Tehnik analisis data
menggunakan desain studi kasus. Hasil Penelitian menunjukkan perilaku pemberian MP-ASI
pada informan yang diambil dari etnis Banjar adalah usia pemberian MP-ASI paling cepat
diberikan pada usia 3 hari setelah bayi lahir dan paling lambat pada usia 6 bulan. jenis MP-ASI
bervariasi (Pabrikan, bubur nasi, kentang, biskuit, sayur, lauk). Frekuensi pemberian makanan
pokok 3 kali sehari, Porsi pemberian MP-ASI 1-1/2 mangkok bubur nasi yang dicampur dengan
sayur dan lauk sekali makan, cara pemberiannya bervariasi dan konsistensinya ada yang lunak
dan ada yang padat. Pola pemberian MP-ASI di kalangan informan dengan etnis Banjar ada
yang belum tepat dan ada yang mendekati ketepatan.
Kata Kunci : Pola, MP-ASI, Usia, Etnis Banjar
ABSTRACT
For optimal growth and development, children need adequate nutrition, infants aged 0-6 months
just enough milk, and babies over 6 months need the MP-ASI. Habits were found among ethnic
Banjar is the grant of complementary feeding in infants less than 6 months, namely providing
kepok banana on 2-3 days after the baby is born, it will affect the nutritional status of infants. This
study aims to analyze the patterns of giving complementary feeding in infants aged 6-12 months in
the Gulf of Banjar in the Village District Lerong Ilir Samarinda Ulu. This study used a qualitative
design was taken informant Banjar ethnic mothers with infants 6-12 months who are willing to
become informants. The selection of informants Snowball sampling method. Data is information
gathered through in-depth interviews and participant observation. Technical analysis of the data
using a case study design. Behaviour Research shows giving complementary feeding at age among
the informan Banjar is giving MP-ASI fastest given at 3 days after birth and no later than 6
58
59
60
61
62
63
64
65
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menilai perbedaan pengetahuan ibu bersalin tentang IMD sebelum dan
sesudah intervensi, menilai perbedaan sikap ibu bersalin sebelum dan sesudah intervensi, menilai
tindakan ibu bersalin dalam pemberian IMD, dan menilai dampak penyuluhan IMD pada ibu
bersalin setelah intervensi di Kota Parepare. Jenis penelitian adalah kuasi eksperimen dengan
rancangan Non-Randomized Control Group Pretest-postest Design. Sampel sebanyak 200 orang
ibu hamil yang usia kehamilannya 35-36 minggu di Kota Parepare, pada kelompok intervensi dan
kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan
menggunakan uji Wilcoxon, Mann-Whitney, dan Regresi Linear. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada perbedaan pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah
intervensi (p = 0,000). Ada perbedaan sikap ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan
sesudah intervensi (p = 0,000). Sebanyak 55,0 % ibu melaksanakan inisiasi menyusu dini setelah
mendapatkan intervensi. Pengaruh media yaitu pernah terpapar video IMD yang paling dominan
berdampak terhadap pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini (p = 0,001), tidak ada satu
pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap terhadap inisiasi menyusu dini
(semua p > 0,05), serta pengaruh media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan
berdampak terhadap tindakan inisiasi menyusu dini (p = 0,014). Dinas Kesehatan Kota Parepare,
Puskesmas, dan rumah sakit perlu mensosialisasikan pentingnya IMD kepada bidan sebagai
tangan pertama yang dapat merangkul ibu hamil untuk melaksanakan IMD
Kata Kunci
ABSTRACT
The aims of the research are to assess the difference between the knowledge of giving birth
mothers before intervention and the one after intervention, to assess the difference between the
attitude of giving birth mothers before intervention and the one after intervention, to assess the
giving birth mothers action in giving early breast-feeding initiation, and to assess the impact of
counseling of early breast-feeding initiation on giving birth mothers after intervention in
Parepare.The research was a quasi-experimental study with Non-Randomized Control Group
Pretest- Postest Design. The sample consisted of 200 pregnant mothers whose pregnant age
samples from 35 to 36 weeksin Parepare. The data were ibtained by giving questionnaire. They
were analyzed by using Wilcoxon, Mann-Whitney, and Linear Regression tests.The results of the
research indicate that there is a difference between mothers knowledge on early breast-feeding
initiation before intervention and the one after intervention (p = 0.000). There is also a difference
between mothers attitude on early breast-feeding initiation before intervention and the one after
66
PENDAHULUAN
nisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah suatu upaya untuk membantu bayi agar dapat menyusu
dengan memanfaatkan insting bayi yang sudah muncul sejak satu jam pertama setelah
dilahirkan (Roesli, 2008). Lebih lanjut dijelaskan oleh Roesli (2008), inisiasi dilakukan
ketika bayi lahir, tali pusat dipotong, lalu dilap kering dan langsung diberikan kepada ibu.
Dalam proses ini, harus ada sentuhan skin to skin contact, dimana bayi tidak boleh dipisahkan dulu
dari ibunya. Bayi dibiarkan di dada ibu minimal 30 menit sampai mencari sendiri puting susu
ibunya dan langsung diminum.
Pelaksanaan IMD dan pemberian ASI Eksklusif pada bayi merupakan cara terbaik bagi
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sejak dini. Di Indonesia, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia melalui program perbaikan gizi masyarakat telah menargetkan
cakupan ASI eksklusif 6 bulan sebesar 80% (Depkes RI, 2005). Namun demikian angka ini sangat
sulit untuk dicapai bahkan trend prevalensi ASI eksklusif dari tahun ke tahun terus menurun, hal
tersebut sangat memprihatinkan mengingat ASI eksklusif sangat penting bagi tumbuh kembang
bayi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmiati dan Besral tentang pengaruh durasi
pemberian ASI terhadap ketahanan hidup bayi di Indonesia ditemukan bahwa durasi pemberian
ASI sangat mempengaruhi ketahanan hidup bayi di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ariefudin, dkk tahun 2009 di Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal, menunjukkan ada
hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian infeksi saluran
pernapasan akut pada bayi 0-12 bulan p = 0,000 (p < 0,05). Bayi yang diberi ASI secara eksklusif
kemungkinan untuk menderita penyakit ISPA lebih rendah dibanding bayi yang tidak mendapat
ASI secara eksklusif. Bayi yang diberi ASI eksklusif hanya 10,4% sedangkan yang tidak mendapat
ASI ekslusif sebanyak 32,4%.
Sesuai dengan penjelasan Mandi (1981) dalam Danga (2007) bahwa penerangan yang baik
mengenai keuntungan-keuntungan ASI akan cukup membantu jika ibu memutuskan untuk
menyusui bayinya, dengan demikian dibutuhkan penyuluhan dengan berbagai metode yang tepat
tentang IMD oleh karena pertama; sekarang ini air susu ibu dan menyusui dianggap suatu hal yang
tidak perlu dipelajari lagi padahal ASI eksklusif terlebih IMD termasuk informasi yang relatif
baru. Kedua; manajemen laktasi yang benar dapat dipraktekkan secara efektif dan ketiga; adanya
mitos-mitos yang menyesatkan yang menghambat pemberian ASI.
Banyak aspek yang berperan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
Eksklusif antara lain adalah kebijakan instansi pemerintah, ibu menyusui menghadapi banyak
hambatan yang berhubungan dengan pelayanan yang diperoleh di tempat persalinan, dukungan yang
diberikan oleh anggota keluarga di rumah, banyaknya ibu yang belum dibekali pengetahuan yang
cukup tentang teknik menyusui yang benar dan manajemen kesulitan laktasi, termasuk tantangan
yang dihadapi oleh ibu bekerja (Aprilia, 2009; Asmiajati, 2000). Menurut Elaine (2003) konseling
laktasi akan sangat membantu ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif. Faktor lain penyebab
rendahnya pemberian ASI di Indonesia adalah faktor sosial budaya, hal ini dapat terlihat dalam
aspek pengetahuan, kepercayaan/keyakinan, pekerjaan, pemanfaatan sarana kesehatan dan norma /
67
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan Non-Randomized
Control Group Pretest-postest Design. Diharapkan dengan desain ini memungkinkan dilakukan
pengukuran pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
yang tidak mendapatkan perlakuan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan kurang lebih tiga bulan (Maret 2012 Mei 2012) di Kota
Parepare.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang usia kehamilannya 35 36
minggu di kota Parepare pada bulan Januari 2012 sebanyak 120. Besar sampel dihitung dengan
menggunakan rumus sampel untuk penelitian kesehatan dengan populasi diketahui.
Pengolahan dan Analisis Data
Penyuntingan data dilakukan dua kali yakni : pertama, pada saat pelaksanaan wawancara
dilapangan dengan tujuan untuk mengoreksi secara langsung kesalahan-kesalahan pada pengisian
kuesioner oleh pewawancara. Kedua pada saat awal pengolahan data yang dimaksudkan untuk
menilai hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan apakah memenuhi syarat untuk diikutkan
dalam analisis atau tidak. Analisis univariat untuk melihat sebaran pengetahuan, sikap, tindakan,
karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), media dan dukungan keluarga. Analisis
bivariat : Kesetaraan variabel pada kelompok intervensi dan kontrol dan Menilai perbedaan ratarata skor pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah intervensi. Analisis multivariat untuk
melihat dampak intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pelaksanaan IMD
setelah dikontrol oleh karakteristik ibu, media dan dukungan keluarga.
Kesetaraan Variabel
Sebaran pengetahuan, sikap, tindakan, karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan,
pekerjaan), media dan dukungan keluarga di Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap yang diambil
sebagai sampel oleh peneliti dianggap setara, dikarenakan nilai frekuensi dari karakteristik ibu
(umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), media, dan dukungan keluarga memiliki nilai yang hampir
sama pada kelompok intervensi dan kontrol, begitu pula dengan nilai rata-rata dari pengetahuan,
sikap, dan tindakan responden pada kelompok intervensi dan kontrol. Dengan demikian maka
variabel telah setara dan dapat dianalisis lebih lanjut.
68
69
70
71
72
73
74
Pengetahuan
Intervensi
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Tabel 2.
Sebelum
Nilai
rata
200
7,22
Rata-
p
0,123
Pengetahuan
Intervensi
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Tabel 3.
Setelah
Nilai
rata
200
8,38
Rata-
p
0,000
Nilai
rata
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
200
30,40
Rata-
p
0,000
75
Tabel 5.
Tabel 6.
Nilai
rata
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
200
32,04
Rata-
p
0,000
Tindakan
Nilai
rata
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
200
3,05
Rata-
p
0,000
Variabel
Karakteristilk Ibu :
Umur
Pekerjaan
Pendidikan
S.E.
Beta
-0,029
-0,101
0,161
0,077
0,133
0,101
-0,037
-0,082
0,170
-0,380
-0,758
1,592
0,705
0,450
0,115
0,305
0,348
3,572
0,001
0,283
-0,117
-1,193
0,236
-0,338
76
Variabel
Karakteristilk Ibu :
Umur
Pekerjaan
Pendidikan
S.E.
Beta
0,429
0,021
-0,058
0,279
0,484
0,366
0,158
0,005
-0,018
1,537
0,044
-0,160
0,128
0,965
0,874
1,107
0,013
0,123
0,903
1,028
-0,146
-1,400
0,165
-1,439
Variabel
Karakteristilk Ibu :
Umur
Pekerjaan
Pendidikan
S.E.
Beta
-0,073
0,078
0,302
0,422
0,731
0,554
-0,017
0,012
0,060
-0,173
0,107
0,546
0,863
0,915
0,586
1,673
-0,253
-2,511
0,014
1,553
0,175
1,727
0,087
Dukungan Keluarga
2,682
77
Abstrak
Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana pengaruh media audio visual dalam penyuluhan
kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap positif tentang penyalahgunaan
NAPZA pada siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda tahun 2012. Jenis penelitian ini
adalah quasi eksperimental. Rancangan penelitian dengan prepost design dan untuk mengetahui
efektivitas media digunakan uji t-test. Penelitian ini dilakukan di tiga Sekolah Menengah
Umum/Kejuruan yaitu SMUN 4 Samarinda, SMK Pelayaran Samarinda, dan SMK Al-Khairiyah
Samarinda yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2012 dengan jumlah sampel 50
responden untuk tiap-tiap kelompok. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada
pengetahuan Kelompok A terdapat perbedaan rerata sebesar 9.2600 (p=0,00) dan lebih besar
daripada Kelompok B yang sebesar 5.2000 (p=0,00). Dengan demikian secara statistik ada
perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan
video dan tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh
terhadap pengetahuan para responden tentang penyalahgunaan NAPZA. Sikap responden diketahui
Kelompok A terdapat perbedaan rerata sebesar 9.04000 (p=0,00) dan lebih besar daripada
Kelompok B yang sebesar 3,77925 (p=0,00). Dengan demikian, secara statistik ada perbedaan yang
signifikan antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan menggunakan video dengan tidak
menggunakan media audio visual untuk dapat memberikan pengaruh terhadap sikap responden
terhadap penyalahgunaan NAPZA.
Kata Kunci : Perubahan Pengetahuan dan Sikap, Media Audio Visual
Abstract
The purpose of this study is to find out the effect of using audio visual media in health
education on the increase of knowledge and positive attitude about drug abuse among the students of
SMU Negeri 4 Samarinda in 2012. The research was conducted in three senior high schools (general
and vocational) including SMUN 4 Samarinda (Senior High School 4, Samarinda), SMK Pelayaran
Samarinda (Samarinda Sailing Vocational School), and SMK Al-Khairiyah Samarinda (Al-Khairiyah
Vocational School, Samarinda)- from October to November 2012 with 50 responden in each group.
The quasi experimental study method was used with pre-post design, and t-test was used to determine
the effectiveness of media. The results revealed that in terms of knowledge, group A had a mean value
of 9.2600 (p=0,00), which was greater than group B (mean value = 5.2000; p = 0,00). In terms of
attitude, the mean value of
group A was 9.04000 (p = 0,00), which was higher than group B
(mean value = 3.77925; p = 0,00). This means that, statistically, there as a significant difference
between health education with and without audio-visual media.
78
PENDAHULUAN
elah di estimasi sebesar 172 juta dan 250 juta orang di dunia menggunakan narkoba.
Jenis narkoba yang umum digunakan oleh pengguna usia 15-64 tahun adalah
amphetamine tipe stimulant (termasuk methampethamine 0. 4 1. 2 % dan
methylenedioxy methamphetamine (MDMA yang sering dikenal dengan nama
ekstasi) 0.3-0.5 persen selanjutnya kokain 0.4 0.5 persen dan opiate 0.3-0.5 persen (INCB,
2009).
Sebuah laporan terkini dirilis oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) di
Wina pada Selasa (13/9). UNODC memposisikan NAPZA Stimulan Tipe Amfetamin atau
Amphetamine-Type Stimulant (ATS) seperti ekstasi dan metamfetamin (shabu) sebagai NAPZA
kedua terbanyak digunakan diseluruh dunia setelah ganja. Penelitian ATS Global tersebut
menawarkan analisa terkini dan paling komprehensif tentang situasi NAPZA dunia. Ekspansi
perdagangan NAPZA dan tingginya profit yang didapatkan dari transaksi kejahatan meningkatkan
ancaman keamanan dan kesehatan di seluruh dunia (UNODC, 2011).
Di Indonesia masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di berbagai wilayah
Indonesia sudah merambah ke daerah-daerah, berdasarkan data dari banyaknya kasus Narkoba
yang terjadi dan masih banyak yang belum diungkap semakin hari menunjukkan adanya
peningkatan. Berdasarkan penggolongan Narkoba tahun 2006-2010 jumlah kasus narkotika
mengalami peningkatan yang sangat tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar 60,2% atau 6.699
kasus, sedangkan kasus psikotropika tahun 2010 mengalami penurunan yang sangat tajam yaitu
sebesar 86,5% atau 7.598 kasus, hal ini disebabkan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009, dimana Ekstasi dan shabu masuk ke golongan Narkotika yang sebelumnya masuk
digolongan psikotropika (BNP Kaltim, 2011).
Kaltim sendiri masuk peringkat 5 pengguna narkoba terbesar di Indonesia setelah Jakarta,
Surabaya, Medan, dan Bandung. Dan saat ini, Samarinda tercatat sebagai kota dengan kasus
narkoba terbanyak di propinsi Kalimantan Timur (Diskominfo Kaltim, 2011). Hingga Juni 2011,
pengguna NAPZA di Kaltim mencapai 51 ribu jiwa atau naik 3 ribu dari tahun 2010 lalu. Di
Indonesia Kaltim menempati peringkat 5 terbesar pengguna NAPZA. Samarinda peringkat
pertama yang mencapai 60 persen pengguna NAPZA, sedangkan Balikpapan peringkat kedua
sekitar 20 persen lalu Kabupaten Kutai Kertanegara, Tarakan dan Nunukan (BNP Kaltim, 2011).
Hawari (2006), berpendapat bahwa kenakalan remaja yang saat ini sedang heboh adalah
kenakalan remaja yang berupa penggunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya, yang dalam
istilah kriminologi disebut NAPZA. Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif adalah zat yang
memiliki dampak terhadap syaraf manusia yang dapat menimbulkan sensasi atau perasaanperasaan tertentu. Kartono (2003), mengungkapkan bahwa penyalahgunaan Narkotika, Alkohol
dan Zat adiktif lainnya merupakan wujud dari bentuk kenakalan remaja. Edukasi dan sosialisasi ke
sekolah-sekolah menengah umum dan sekolah menengah atas telah sering dilakukan namun angka
penyalahgunaan di kalangan pelajar terus saja meningkat dari tahun ke tahun. Apa yang salah
dengan edukasi dan sosialisasi ini. Apakah tehniknya yang salah ataukah metodenya yang kurang
tepat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh Media Audio Visual Dalam
Penyuluhan Kesehatan Terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap positif tentang
penyalahgunaan NAPZA pada Siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga Sekolah Menengah Umum/Kejuruan yaitu SMUN 4
Samarinda (untuk responden dari kelompok eksprimen), SMK Pelayaran Samarinda (untuk
responden dari kelompok kontrol 1), dan SMK Al-Khairiyah Samarinda (untuk kelompok kontrol
79
80
81
82
83
84
16
15
35
70
21
42
26
52
16
18
18
36
12
24
17
14
18
Laki-laki
22
44
46
92
Perempuan
28
56
50
100
Merokok
16
Tidak Merokok
46
92
42
84
47
94
Pernah
36
72
30
60
50
100
Tidak Pernah
14
28
20
40
Baik
30
60
39
78
28
56
Kurang
20
40
11
22
22
44
Jenis Kelamin
Kebiasaan Merokok
Informasi NAPZA
Pengetahuan NAPZA
Sikap Responden
85
50
100
50
100
50
100
Negatif
Kontrol 2
Variabel
Pre
Pre
n
Post
Pre
Post
60
5
0
100
3
9
78
4
7
94
40
11
22
2
8
2
2
Post
%
Pengetahuan NAPZA
3
0
2
0
Baik
Kurang
44
3
2
1
8
56
64
36
Sikap Responden
Positif
5
0
100
5
0
100
5
0
100
5
0
100
5
0
100
5
0
100
Negatif
Tabel 3. Hasil Uji Regresi Pengaruh Penggunaan Media Audio Visual Terhadap
Perubahan Pengetahuan dan Sikap Tentang NAPZA di Sekolah Menengah
Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012
Mean
Kelompok
Pre
Post
Beda
Mean
P Value
Pengetahuan
Eksperimen
17,5200
26,7800
9,2600
0,000
50
Kontrol 1
19,6000
24,8000
5,2000
0,000
50
Kontrol 2
17,8400
17,5400
-0,3000
0,387
50
Eksperimen
62,7600
71,8000
9,0400
0,000
50
Kontrol 1
61,2600
65,0200
3,7600
0,000
50
Kontrol 2
62,9800
61,9200
-1,0600
0,070
50
Sikap
86
ABSTRAK
Perempuan Pekerja Seksual merupakan kelompok resiko tinggi tertular dan menularkan
IMS. Berdasarkan Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular Seksual pada wanita pekerja
seksual di Puskesmas Pembantu Bandang Raya tahun 2011 mengalami peningkatan sebanyak 236
kasus dengan 303 orang penderita. Tujuan penelitian adalah menggali secara mendalam perilaku
dan kepercayaan kesehatan wanita pekerja seks dalam pencegahan infeksi menular
seksual.Penelitian ini berjenis studi kualitatif dengan rancangan penelitian studi kasus. Pemilihan
informan penelitian dilakukan secara incidental. Informan dalam penelitian ini adalah wanita
pekerja seksual, petugas kesehatan dan perwakilan mucikari.Hasil penelitian terhadap upaya
pencegahan infeksi menular seksual menunjukkan bahwa penyebab IMS karena hubungan seks
dan kotoran pada kelamin dan dapat dicegah dengan menggunakan kondom. Walaupun
keseriusan dan manfaat yang dirasa baik namun dalam kenyataannya kerentanan terhadap
kondisi kesehatannya masih kurang. Hambatan terhadap konsistensi penggunaan alat pelindung
di pengaruhi oleh pelanggan. Faktor pendorong untuk bertindak berasal dari kesadaran sendiri,
pengalaman dan penyuluhan.Saran perlu kerjasama lintas sektoral instansi kesehatan,
masyarakat khususnya lembaga swadaya, dan perguruan tinggi untuk mengintervensi komunitas
wanita pekerja seksual sehingga kasus infeksi menular seksual di Lokalisasi Bandang Raya dapat
ditekan.
Kata Kunci : Wanita Pekerja Seks, Perilaku, dan Infeksi Menular Seksual
ABSTRACT
Female Sexual Workers are a group at high risk of contracting and transmitting STIs.
Based on the Monthly Report on Sexually Transmitted Infections Patients prostitute at the health
center Bandang Kingdom in 2011 increased by 236 cases with 303 sufferers. The purpose of
research is exploring in depth the behavior and health beliefs of female sex workers in the
prevention of sexually transmitted infections.The research was a qualitative study of type design
case study. Selection of studies conducted incidental informant. Informants in this study were
female sex workers, health officials and representatives of the pimps.The study of the prevention of
sexually transmitted infections suggests that the cause of STIs because of sex and dirt on the
genitals and can be prevented by using condoms. Despite the seriousness and the perceived
benefits of both, but in reality susceptibility to the condition of his health is still lacking. Barriers
to consistent use of personal protective equipment is influenced by the customer. Motivating factor
87
PENDAHULUAN
orld Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta
penderita baru IMS di negara-negara berkembang di Afrika, Asia, Asia Tenggara,
dan Amerika Latin. Di negara-negara berkembang infeksi dan komplikasi IMS
adalah salah satu dari lima alasan utama tingginya angka kesakitan. Dalam
kaitannya dengan infeksi HIV-AIDS, United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan
bahwa di daerah yang tinggi prevalensi IMS-nya, ternyata tinggi pula prevalensi HIV-AIDS dan
banyak ditemukan perilaku seksual berisiko tinggi. Salah satu kelompok seksual yang berisiko
tinggi terkena IMS adalah Perempuan Pekerja Seks (Sarwi, 2003).
Di Indonesia lokasi transaksi seks komersial terdapat hampir di setiap Kabupaten/Kota.
Seks komersial ditandai dengan perilaku yang berisiko secara berganti-ganti pasangan, rendahnya
penggunaan kondom pada transaksi seks, akses pada layanan kesehatan yang masih terbatas.
Pekerja seks bekerja dalam berbagai macam bentuk. Mereka dapat bekerja di lokalisasi terdaftar di
bawah pengawasan medis yang disebut sebagai WPS Langsung (direct sex workers) atau dapat
juga sebagai WPS Tidak Langsung (indirect sex workers). WPS Tidak Langsung (indirect sex
workers) mendapatkan klien dari jalan atau ketika bekerja di tempat-tempat hiburan seperti kelab
malam, panti pijat, diskotik, cafe, tempat karaoke atau bar (Wong, et.al, 1999).
Berdasarkan laporan bulanan penderita yang berkunjung ke klinik IMS Program
Pengobatan Berkala tahun 2010 Puskesmas Temindung merupakan salah satu Puskesmas yang
mengalami peningkatan kasus dan penderita IMS di Samarinda. Dengan WPS merupakan
kelompok yang berisiko tinggi IMS yaitu 605 kasus dan 339 orang penderita (Dinas Kesehatan
Kota Samarinda, 2010).
Tempat Prostitusi Bandang Raya adalah salah satu Lokalisasi yang memiliki Klinik
IMS atau disebut juga Puskesmas Pembantu Bandang Raya yang merupakan wilayah kerja
Puskesmas Temindung Samarinda. Karena letaknya yang strategis dengan jaraknya yang dekat
menyebabkan Lokalisasi ini mudah untuk dikunjungi, sehingga dapat dikatakan tempat ini berisiko
terhadap penularan penyakit IMS. Berdasarkan Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular
Seksual di Puskesmas Pembantu Bandang Raya tahun 2011 dari bulan januari sampai juni IMS
mengalami peningkatan sebesar 1.219 kasus dengan penderita 1.168 orang pada kelompok
perempuan. Dengan kelompok yang berisiko tinggi pada WPS sebanyak 236 kasus dan 303 orang
penderita. Hal ini menunjukkan bahwa WPS merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi yang
rentan terhadap penularan IMS. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pencegahan terhadap IMS
pada WPS (Puskesmas Temindung, 2011). Tujuan Penelitian ini untuk menggali secara mendalam
tentang perilaku perempuan pekerja seks dalam upaya-upaya pencegahan dan pola pencarian
pelayanan IMS dikalangan perempuan pekerja seks di tempat prostitusi Bandang Raya tahun
2012. Teknik Pengumpulan Data dengan Wawancara, Focus Group Discussion dan Observasi.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk
memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut
keterangan populasi. Rancangan penelitian adalah studi kasus (case study) yaitu studi yang
88
89
90
91
92
93
94
95
96