Anda di halaman 1dari 96

Jurnal Promosi Kesehatan

NUSANTARA INDONESIA
PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN MENGGUNAKAN VIDEO DALAM
PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) TERHADAP PERUBAHAN
PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI DI SMAN 9 BALIKPAPAN
TAHUN 2012
Sulastri1, Ridwan M. Thaha2, Syamsiar S. Russeng.MS 3
1
SADARI Foundation
2
Jurusan Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
3
Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin
Abstrak
SADARI merupakan langkah awal yang penting untuk mengetahui secara dini adanya tumor
atau benjolan pada payudara sehingga dapat mengurangi tingkat kematian karena penyakit kanker
tersebut. Rekomendasi dari The American Cancer Sosiety, Menginformasikan bahwa banyak
keuntungan untuk melakukan SADARI saat mencapai usia 20 tahun karena hampir 85% gangguan
atau benjolan ditemukan oleh penderita sendiri melalui pemeriksaan dengan benar. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan
payudara sendiri (SADARI) terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja putri di SMAN 9
Balikpapan Tahun 2012.
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan pre post test control
group design. Subjek penelitian adalah remaja puteri kelas X SMAN 9 Balikpapan yang dipilih
dengan simple random sampling dengan perolehan sampel sebesar 50 siswi. Analisis yang digunakan
adalah analisis univariat dan bivariat dengan uji paired t-test dengan taraf signifikansi 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan perubahan pengetahuan pada kelompok
eksperimen dengan rerata (49.22) lebih besar daripada kelompok kontrol I (17.36), (p = 0.000) dan
untuk perubahan sikap pada kelompok eksperimen (33.46) lebih besar daripada pada kelompok
kontrol (25.94), (p = 0.000) sehingga ada perbedaan yang signifikasi penyuluhan kesehatan
mengunakan video dalam SADARI terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap pada remaja putri
Memotivasi pengetahuan dan sikap remaja terhadap SADARI dengan membentuk organisasi PIK
KRR untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, selain itu adanya
monitoring, strategi promkes yang lebih kreatif, dukungan dari pihak sekolah, YKI, orang tua remaja
putri sehingga terjadinya kesinambungan program.
Kata Kunci : remaja putri, SADARI, kanker payudara, media video
Abstract
BSE is an important first step to determine the presence of early tumors or lumps in the
breast so as to reduce the rate of death from the cancer. Recommendations from the American
Cancer Sosiety, informing that a lot of advantages to doing BSE when they reach the age of 20
years because nearly 85% disruption or lumps are found by patients themselves through the
examination properly.
This study aimed to determine the effect of health education using video in breast selfexamination (BSE) to increase knowledge and attitudes girls in SMAN 9 Balikpapan 2012. This
research is a quasi experimental design with pre - posttest control group design. Subjects were
girls of class X - SMAN 9 Balikpapan selected by simple random sampling with the acquisition of
a sample of 50 students. The analysis is used univariate and bivariate analyzes to test paired t-test
with significance level 0.05.
The results showed there were differences in changes in knowledge in the experimental
group with a mean (49.22) is greater than the control group I (17:36), (p = 0.000) and for the

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
change in attitude in the experimental group (33.46) is greater than in the control group (25.94),
(p = 0.000) so that there is a significance difference in health education using video in BSE to
increase knowledge and attitudes in adolescent girls
Motivating adolescent knowledge and attitudes toward breast self-organization by forming PIK
KRR to provide information on adolescent reproductive health, in addition to the monitoring,
promkes a more creative strategy, support from the school, ICF, parents teenage girls that the
sustainability of the program.
Keywords: young women, self-exam, breast cancer, video media
PENDAHULUAN

anker payudara dikenal sebagai salah satu kanker yang paling sering menyerang kaum
wanita. Selain itu kecenderungan peningkatan prevelensinya tidak dapat dihindari.
Ditambah lagi kematian karena kanker payudara masih tinggi, terutama pada negaranegara sedang berkembang, karena keterlambatan diagnosis, yang berarti juga
keterlambatan pengobatan (Bustan, 2007).
Kanker payudara menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim diantara
kanker yang menyerang wanita Indonesia. Prevalensi kanker payudara di Indonesia adalah 109 per
100.000 penduduk (WHO, 2008). Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) jenis kanker
tertinggi di Rumah Sakit di Indonesia pasien rawat inap tahun 2008 adalah jenis kanker payudara
yaitu sebanyak 18,4% yang kemudian disusul oleh kanker leher rahim (10,3%). Kanker payudara
lebih sering menyerang wanita yang sudah berusia diatas 30 tahun, dan sekarang banyak wanita
usia remaja menderita kanker payudara. Hal ini didukung berdasarkan laporan WHO pada tahun
2005 jumlah wanita khususnya remaja penderita kanker payudara mencapai 1.150.000 orang,
700.000 diantaranya tinggal di Negara berkembang temasuk Indonesia.
Kanker payudara menimbulkan rasa takut yang luar biasa bagi kaum perempuan karena
selain menimbulkan kematian juga berpengaruh pada estetika. Deteksi yang terlambat dan
kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian besar penderita kanker terlambat diobati. Masalah
kanker payudara di Indonesia menjadi lebih besar karena lebih dari 70 % penderita kanker
payudara datang ke dokter pada stadium yang sudah lanjut. Hal ini berbeda dengan di Jepang
dimana pada masalah kanker payudara lanjut hanya ditemukan sebanyak 13 % (Sutjipto, 2008).
Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer), pada tahun
2002 kanker payudara menempati urutan pertama dari seluruh kanker pada perempuan (insidens
rate 38 per 100.000 perempuan) dengan kasus baru sebesar 22,7% dan jumlah kematian 14% per
tahun dari seluruh kanker pada perempuan di dunia (Pusat Komunikasi Publik Setjen Depkes,
2011). Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit A. Wahab Syahranie Samarinda menunjukkan
bahwa jumlah penderita tumor dan kanker payudara yang ada di Kalimantan Timur lebih dari 2000
orang. Berdasarkan data pasien rawat inap tahun 2011 dengan diagnosis kanker payudara di
Kalimantan Timur paling tinggi terdapat di daerah Balikpapan sebesar 616 pasien, daerah bontang
sebesar 185 pasien dan untuk wilayah samarinda sebesar 174 pasien.
Provinsi Kalimantan Timur data tumor/kanker payudara masih terfokus pada tiga kota
besar yaitu Kota Samarinda, Kota Balikpapan dan Kota Bontang. Menurut laporan yayasan kanker
Indonesia (YKI) tahun 2011 data penderita tumor/kanker payudara di tiga kota besar ini lebih
2000 orang. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum A. Wahab Sjahranie rumah sakit Provinsi
Kalimantan Timur tahun 2011 yang berdasarkan rujukan dengan diagnosis kanker payudara di
Kalimantan Timur paling tinggi terdapat di daerah Balikpapan sebesar 616 pasien, daerah bontang
sebesar 185 pasien dan untuk wilayah samarinda sebesar 174 pasien.
Melihat tingginya angka penderita kanker/tumor payudara, maka perlu upaya
pendeteksian dini tumor/kanker payudara dalam hal ini pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)
efektif untuk dilakukan pada tahap remaja, karena pada batasan usia tersebut merupakan saat yang
tepat untuk memulai melakukan usaha preventif deteksi dini terjadinya penyakit Fibroadenoma

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Mammae (FAM) dan Cancer Mammae. Hasil penelitian para ahli yang dikutip oleh Dalimartha
(2006) menyebutkan sekitar 75-82% keganasan payudara ditemukan dengan pemeriksaan
payudara sendiri (SADARI).
Pemeriksaan payudara sendiri adalah upaya deteksi dini kanker payudara. Cara ini perlu
dikuasai dan dilakukan oleh remaja putri agar dapat melakukan deteksi dini kanker payudara.
Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan SADARI remaja adalah
melalui pelatihan SADARI. Promosi Kesehatan di Sekolah ditambah dengan metode promosi yang
tepat dalam pelaksanaan dan penyerapannya merupakan langkah yang strategis dalam upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat hal ini didasari pemikiran bahwa sekolah merupakan
lembaga yang sengaja didirikan untuk membina dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
baik fisik mental maupun spiritual.
Berdasarkan uraian di atas dan informasi kasus kanker dengan insiden tertinggi pada
perempuan dengan kanker payudara, maka perlu adanya upaya pendeteksian dini kanker/tumor
payudara pada tingkat sekolah menengah atas, karena pada tingkatan ini siswa merupakan remaja
putri yang beresiko terkena kanker payudara serta diberikan wadah untuk mendapatkan informasi
dan konseling tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) melalui organisasi PIK-KRR.
Tujuan penelitian ini adalah a). Untuk mengetahui perbedaan perubahan pengetahuan
sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara
sendiri (SADARI). b). Untuk mengetahui perubahan sikap sebelum dan sesudah pada penyuluhan
kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). c) Untuk
mengetahui pengaruh perubahan pengetahuan sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan
mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). d). Untuk mengetahui
pengaruh perubahan sikap sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan mengunakan video
dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Umum Negeri 9 Balikpapan, dijalan
Soekarno Hatta Km 16 Karang Joang Kota Balikpapan. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian quasi experiment dengan rancangan pretest-postest control group design.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi putri SMAN 9 Balikpapan tahun 2012.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara simple random sampling dan
memilih kelas XI (sebelas) sebagai sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria syarat yang
ditetapkan dalam penelitian yaitu siswi kelas X (sebelas) SMA Negeri Balikpapan, siswi yang
belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang payudara dan tumor payudara serta keterampilan
tentang SADARI, berusia 15 17 tahun dan siswi yang bersedia diteliti.
Penelitian ini terdapat tiga kelompok yaitu kelompok eksperimen (penyuluhan
mengunakan video), kelompok kontrol I (penyuluhan tanpa menggunakan video) dan kelompok
kontrol II (tanpa diberikan penyuluhan kesehatan).
Metode Pengumpulan Data
Data Primer diperoleh dengan melakukan pembagian angket pretest pada responden
kemudian diberikan perlakuan dengan penyuluhan kesehatan mengunakan video tentang
pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) selama 3 kali penyuluhan dalam waktu satu bulan.
Setelah 1 bulan diberikan angket posttest kepada responden. Data sekunder diperoleh dari data
instansi terkait dengan tujuan penelitian serta dari hasil sumber informasi yang mendukung
penelitian. Alat pengumpulan data dengan angket terdiri dari item karakteristik responden,
pengetahuan (p1-p48) dan sikap (s1-s23), serta dilakukan uji validitas dalam penelitian dengan
mengunakan uji product moment dari pearson dengan ketentuan pengujiannya adalah apabila nilai
r hasil > r tabel. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode koefisien Alfa Cronbach,

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
dinyatakan reliable jika nilai r hitung > r tabel, nilai r tabel untuk n = 15 dengan taraf signifikasi
5% yaitu 0.514 (Arikunto, 2006).
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) dan
Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan dan pengaruh perubahan pengetahuan dan
sikap terhadap penyuluhan kesehatan mengunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri
(SADARI).
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1. Menunjukkan distribusi karakteristik responden terdiri dari umur, agama dan
suku. Umur atau usia yang merupakan satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu
benda atau mahluk, baik yang hidup maupun mati. Berdasarkan kelompok umur responden
sebagai sampel terdapat rentang umur antara 15 17 tahun. Berdasarkan distribusi kelompok umur
responden eksperimen, dimana terlihat dominan umur responden adalah kelompok umur 16 tahun
sebanyak 25 responden sebanyak 50%, sementara jumlah persentase tidak jauh berbeda adalah
kelompok umur 15 dan 17 tahun dengan masing masing kelompok umur 15 tahun sebesar 26%
dan untuk kelompok umur 17 tahun sebesar 25%.
Distribusi responden menurut agama pada tabel 1 menunjukkan hasil sebanyak
47 responden (94%) kelompok eksperimen memeluk agama Islam sedangkan responden yang
memeluk agama Katolik dan Protestan tidak berbeda jauh hanya 2 responden (4%) pada agama
Katolik serta protestas hanya 1 responden (2%) dan pada kelompok kontrol I dan kontrol II adalah
mayoritas pemeluk agama Islam yang masing-masing berjumlah 50 responden pada setiap
kelompok
Komposisi penduduk Kota Balikpapan sangat heterogen meliputi hampir seluruh suku
yang ada di Indonesia, baik dari Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Jawa, Sumatera dan
Kalimantan sendiri dan pada tabel menyajikan distribusi responden menurut suku di tiga kelompok
dengan mayoritas suku adalah Jawa sebanyak 31 responden (62%), suku lainnya adalah Banjar.
Analisis Univariat
Tabel 2. Menunjukkan hasil penelitian pada pengaruh penggunaan media video dalam
penyuluhan kesehatan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) terhadap perubahan pengetahuan
remaja putri pada kelompok eksperimen adalah pengetahuan tentang SADARI pada responden
dinilai dari 48 pertanyaan yang meliputi pengertian dari kanker payudara, penyebab dan gejalagejala kanker payudara, pencegahan kanker payudara dengan SADARI, langkah-langkah
melakukan SADARI, waktu dalam melakukan SADARI dan posisi melakukan SADARI. Tabel
distribusi kategori pengetahuan tentang SADARI pada remaja sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi berupa penyuluhan kesehatan dengan menggunakan video pada kelompok eksperimen
menunjukkan distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden pada kelompok eksperimen pada
saat sebelum penyuluhan ada sebanyak 3 responden (6%) yang mempunyai pengetahuan baik,
sebanyak 22 responden (44%) mempunyai pengetahuan sedang, dan sebesar 50% mempunyai
pengetahuan yang rendah tentang SADARI.
Tabel 3. Menunjukkan hasil Sikap responden terhadap SADARI dalam deteksi dini
kanker payudara dapat dinilai dari 23 pernyataan yang meliputi pemeriksaan payudara sendiri
secara berkala setiap bulan, SADARI yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, SADARI
merupakan hal yang paling murah untuk mendeteksi adanya kelainan pada payudara serta pergi ke
pelayanan kesehatan apabila mendeteksi kelainan pada payudara, butir 23 pertanyaan sikap
tersebut terbagi dalam 12 pernyataan positif dan 11 pernyataan negatif. Kelompok eksperimen
menunjukkan hasil perbandingan perubahan sikap sebelum dan sesudah dengan diberikan
penyuluhan tentang kesehatan SADARI mengunakan video terdapat 14 orang dengan hasil

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
perubahan sikap sesudah penyuluhan lebih rendah daripada sebelum penyuluhan dan 36 orang
mempunyai perubahan yang lebih baik dari sebelum penyuluhan.
Analisis Bivariat
Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden sebelum
dilakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan video SADARI adalah 18.44 dengan
standar deviasi 7.448 dan setelah kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan dengan
menggunakan video SADARI rata-rata pengetahuan responden adalah sebsar 39.14 dengan
standar deviasi 3.758. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan
pada dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan pengetahuan yang signifikan responden sebelum
dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan dengan mengunakan video SADARI.
Tabel 5. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai rata-rata pengetahuan
responden sebelum diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video
adalah 19.00 dengan standar deviasi 9.470 dan setelah responden mengikuti kegiatan intervensi
berupa penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video SADARI maka rata-rata nilai
pengetahuan responden adalah 36.34 dengan standar deviasi sebesar 5.483. Berdasarkan hal
tersebut maka yang ingin diketahui lebih lanjut perbedaan yang menunjukkan nilai rerata yang
memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh yang dominan dalam perubahan pengetahuan SADARI
pada responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan rerata pengetahuan responden
sebelum dan sesudah kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tentang SADARI dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6. Menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata pengetahuan responden sebelum dan
sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tanpa mengunakan video SADARI
hanya penyuluhan biasa tentang pemeriksaan payudara sendiri dalam upaya deteksi kanker
payudara adalah sebesar 17.36 berdasarkan hal itu kemudian dibandingkan dengan penyuluhan
menggunakan video yang lebih besar nilainya 20.7 dengan nilai p value sebesar 0.000 artinya
secara statistik ada perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan
menggunakan video dan tidak menggunakan video dalam pemeriksaan payudara sendiri
(SADARI) dalam upaya deteksi dini kanker payudara pada remaja
Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis rata-rata sikap responden pada kelompok eksperimen
sebelum dan sesudah tentang SADARI dapat ditarik suatu kesimpulan
rata-rata siswi sebelum
intervensi adalah 34.20 dengan standar deviasi 15.752, sedangkan rata-rata sikap sesudah
diberikan kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan mengunakan video adalah sebesar
67.66 dengan standar deviasi sebesar 9.917. Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value
sebesar 0.000 ( = 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan
mengunakan video SADARI terhadap peningkatan sikap siswi di SMA Negeri 9 Balikpapan tahun
2012.
Tabel 8. Berdasarkan hasil analisis rata-rata sikap responden pada kelompok eksperimen
sebelum dan sesudah tentang SADARI dapat ditarik suatu kesimpulan rata-rata siswi sebelum
intervensi adalah 34.20 dengan standar deviasi 15.752, sedangkan rata-rata sikap sesudah
diberikan kegiatan berupa penyuluhan kesehatan mengunakan video adalah sebesar 67.66 dengan
standar deviasi sebesar 9.917. Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p value sebesar 0.000 ( =
0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan mengunakan
video SADARI terhadap peningkatan sikap siswi di SMA Negeri 9 Balikpapan tahun 2012.
Tabel 9. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata sikap responden
sebelum adanya kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video
SADARI adalah sebesar 36.66 dan rata-rata nilai sikap responden setelah diberi kegiatan
penyuluhan maka nilainya menjadi 62.60, pada taraf kepercayaan 95% didapatkan nilai p sebesar
0.000, maka dapat disimpulkan pada (0.05) terlihat ada perbedaan yang signifikan nilai sikap
pada siswi SMA Negeri 5 Balikpapan sebelum dan sesudah kegiatan intervensi, dengan demikian

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan video berpengaruh terhadap
peningkatan sikap pada siswi SMA Negeri 5 Balikpapan tahun 2012, dengan diperoleh nilai p
value 0.000 < 0.05.
Tabel 10. Berdasarkan hasil penelitian bahwa rata-rata sikap responden sebelumnya
adalah sebesar 40.26 dengan standar deviasi sebesar 13.167 dan hasil sesudah memperlihatkan
nilai rata-ratanya adalah sebesar 41.64 dengan standar deviasi sebesar 12.893. Pada taraf
kepercayaan 95% hasil uji statistik didapatkan nilai 0.425, maka dapat disimpulkan pada = 5%
terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan nilai sikap pada siswi SMA Negeri 6 Balikpapan
sebelum dan sesudah tanpa diberi kegiatan penyuluhan kesehatan tentang SADARI dalam upaya
deteksi dini kanker payudara, dengan demikian tidak ada pengaruh terhadap peningkatan sikap
siswi SMA Negeri 6 Balikpapan tahun 2012 sebelum dan sesudah tanpa diberi kegiatan intervensi
dengan perolehan nilai p value 0.425 < 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan rerata sikap siswi pada 2 SMA Negeri di
Balikpapan yang diberikan kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan menggunakan video
SADARI dan tanpa menggunakan video SADARI memperlihatkan ada perbedaan nilai sikap
sebelum dan sesudah diberi kegiatan intervensi. Pada SMA Negeri 6 Balikpapan dimana tidak
diberikan kegiatan interensi berupa penyuluhan kesehatan SADARI dalam upaya deteksi dini
kanker payudara memperlihatkan tidak ada perbedaan nilai sikap responden sebelum dan
sesudahnya.
Tabel 11. Hasil pada tabel menunjukkan bahwa perbedaan rerata sikap siswi sebelum dan
sesudah pemberian kegiatan intervensi penyuluhan menggunakan video SADARI adalah sebesar
33.46 dibandingkan dengan yang penyuluhan tanpa menggunakan video hanya sebesar 25.94
dimana nilai tersebut lebih kecil dari kegiatan intervensi penyuluhan menggunakan video.
Berdasarkan uji statistik paired t test kedua kegiatan intervensi tersebut memperoleh nilai p value
= 0.000 artinya secara statistik ada perbedaan yang signifikan antara pemberian kegiatan intervensi
penyuluhan dengan menggunakan video SADARI dan tanpa menggunakan video terhadap
peningkatan sikap responden tentang SADARI dalam upaya deteksi dini kanker payudara
PEMBAHASAN
Pengetahuan
Penggunaan media video pemeriksaan payudara sendiri dalam penyuluhan kesehatan
bertujuan meningkatkan pengetahuan siswi yang dapat dilakukan dengan faktor-faktor pemungkin
(enabling factors) sehingga dapat memungkinkan atau memfasilitasi perubahan perilaku dan
tindakan dimana setelah dilakukan kegiatan intervensi menjadi 48 responden (96%) yang
berpengetahuan baik. Hal ini didukung oleh Notoatmodjo (2005) bahwa faktor predisposisi berupa
pemberian informasi melalui media mendukung perubahan pengetahuan kesehatan, sehingga
penyuluhan kesehatan dengan mengunakan video tentang SADARI dianggap dapat meningkatkan
pengetahuan siswi dalam mencegah kanker payudara.
Media promosi kesehatan merupakan salah satu sarana atau upaya yang dapat digunakan
untuk menampilkan pesan atau informasi kesehatan yang ingin disampaikan kepada remaja
sehingga dapat meningkatkan pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat merubah
perilakunya kearah positif atau mendukung terhadap kesehatan. Menurut Mubarak, Chayatin dan
Rozikin (2007) mengungkapkan perubahan pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu beberapa diantaranya adalah pendidikan, media massa, sosial budaya, dan ekonomi,
lingkungan, pengalaman dan usia.
Hal lain yang dapat dilihat adalah aspek positif terhadap pengaruh penggunaan media
video dalam penyuluhan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan responden yang terlihat pada
hasil pretest dan posttest. Sebelum dilakukan intervensi pada kelompok eksperimen responden
yang berpengetahuan baik tentang SADARI hanya 3 responden (6%), pengetahuan sedang
sebanyak 22 responden (44%) dan yang berpengetahuan rendah adalah sebanyak 25 responden
(50%), tetapi setelah dilakukan intervensi penyuluhan kesehatan mengunakan video terjadi

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
peningkatan yang cukup signifikan yaitu berpengetahuan baik menjadi 48 responden (96%), selain
itu pada saat prettest terdapat pula responden yang berpengetahuan sedang yaitu sebanyak 2
responden (4%), hal ini menunjukkan bahwa responden telah menyimak informasi dan
menganalisa isi materi yang disampaikan pada penyuluhan menggunakan video SADARI.
Hasil pengukuran selisih nilai pengetahuan responden sebelum dan sesudah pada
kelompok eksperimen dengan penyuluhan kesehatan mengunakan video diperoleh nilai 20.700
sedangkan pada kelompok kontrol I yang diberikan penyuluhan kesehatan tanpa mengunakan
video diperoleh nilai 17.340 hal ini menunjukkan bahwa rerata nilai pengetahuan responden
setelah 3 kali penyuluhan dalam waktu 3 minggu terjadi peningkatan rerata pengetahuan pada
kelompok responden kelompok eksperimen sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan
kesehatan mengunakan video nilai selisih lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penyuluhan
kesehatan tanpa mengunakan video.
Berdasarkan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyuluhan kesehatan
dengan menggunakan video lebih meningkatkan pengetahuan responden tentang SADARI dalam
upaya deteksi dini kanker payudara dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan
penyuluhan kesehatan biasa tanpa menggunakan video. Penggunaan media video mempunyai
suatu dampak yang lebih pada penyuluhan kesehatan yaitu menarik pada orang-orang (sasaran)
sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, mempengaruhi pendapat umum, memperkenalkan
jalan hidup baru dalam bidang kesehatan serta mencakup wilayah perkotaan dan masyarakat
pedesaan.
Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah
melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang), (setuju,tidak
setuju, baik, tidak baik). Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi
terbuka) atau aktivitas, tetapi merupakan presdiposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup
(Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan intervensi (posttest) dengan melakukan
kegiatan penyuluhan tentang pemeriksaan payudara sediri (SADARI) dalam upaya deteksi dini
kanker payudara pada remaja mengalami peningkatan. Pada saat sebelum intervensi kelompok
eksperimen hasil pretest menunjukkan terdapat 36 responden (72%) yang memiliki sikap tidak
mendukung tentang SADARI, sedangkan yang responden dengan sikap sangat mendukung hanya
sebanyak 3 responden (6%). Setelah dilakukan intervensi responden yang memiliki sikap tidak
mendukung menurun menjadi 6 orang (12%), sikap sangat mendukung terhadap SADARI
meningkat menjadi sebanyak 22 responden (44%) dan 16 responden (32%) yang memiliki sikap
cukup mendukung terhadap SADARI dalam upaya deteksi dini kanker payudara.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmadi (2002) yang mengungkapkan, bahwa sikap
seseorang tidak selamanya tetap, karena sikap dapat berkembang manakala mendapat pengaruh
baik dari dalam maupun luar yang bersifat positif dan mengesankan. Antara perbuatan dan sikap
ada hubungan timbal balik, tetapi sikap tidak selalu menjelma dalam bentuk perbuatan atau
tingkah laku.
Secara keseluruhan berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji paired t-tes pada
kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan yang mengunakan video pada kelompok eksperimen
memperoleh nilai p adalah 0.000 yang berarti pada (0.05) terlihat ada perbedaan yang signifikan
sikap pada responden setelah adanya kegiatan penyuluhan mengunakan video dan tanpa
mengunakan video SADARI.

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan adanya perbedaan dan pengaruh
dalam perubahan pengetahuan sikap sebelum dan sesudah pada penyuluhan kesehatan
menggunakan video tentang pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).
Upaya perubahan pengetahuan pada remaja pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)
dalam upaya deteksi dini kanker payudara, adalah sebagai berikut : a). Pihak sekolah dapat
melakukan bentuk penyuluhan sebagai media promosi kesehatan yang tidak membosankan dan
kreatif serta mudah dipahami oleh remaja contohnya penyuluhan kesehatan menggunakan video.
b). Pihak sekolah dapat mencantumkan materi pemeriksaan payudara sendiri pada mata pelajaran
pengampu maupun melalui pendidikan tambahan dari petugas kesehatan secara berkala dalam
upaya deteksi dini kanker payudara. c) Pihak sekolah dapat mengadakan kegiatan seperti event
remaja yang positif dan mencantumkan aspek deteksi dini kanker payudara dengan pemeriksaan
payudara sendiri (SADARI) seperti kompetisi cerdas cermat tentang kanker payudara,
pertandingan majalah dinding (Mading) dengan tema kanker payudara antar kelas serta pada grup
kegiatan teater dapat mengambarkan drama pencegahan kanker payudara.
Upaya peningkatan perubahan sikap siswa SMA Negeri 9 Balikpapan tentang
pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dalam upaya deteksi dini kanker payudara, adalah
sebagai berikut : a). Penyuluhan kesehatan mengunakan video dapat dibuat dengan versi yang
beragam dan memasukkan pesan dengan mengunakan daya penarik emosi remaja seperti cinta,
kebencian, ketakutan dan kebutuhan dalam aktualisasi diri dilingkungan sekolah, b). Kerjasama
antar guru bidang studi dan wali kelas dalam memberikan himbauan kepada siswa dan siswinya
dalam meningkatkan prestasi belajar dan menghindari kegiatan kegiatan yang negatif serta
menutup diri dari informasi kesehatan dikalangan remaja saat ini, c). Meminimalisir persepsi
hambatan remaja butuh adanya program lanjutan dari pelatihan SADARI dengan materi yang
menarik dan gaul, sehingga remaja tidak menganggap SADARI sebagai tindakan yang
menakutkan.
Tabel .1
Karakteristik
Umur Responden
15
16
17
Jumlah
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Jumlah
Suku
Banjar
Jawa
Kutai
Buton
Bugis
Jumlah

Distribusi Karakteristik Responden Remaja Putri Berdasarkan Umur,


Agama dan Suku di Balikpapan Tahun 2012
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol I
Kelompok Kontrol II
n
%
n
%
n
%
13
25
12
50

26
50
24
100

5
39
6
50

10
78
12
100

21
26
3
50

42
52
6
100

47
2
1
50

94
4
2
100

50
50

100
100

50
50

100
100

9
31
2
2
6
50

18
62
4
4
12
100

11
24
6
9
50

22
48
12
18
100

17
17
4
12
50

34
34
8
24
100

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

Tabel 2

Distribusi responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang SADARI pada


Remaja Putri di Balikpapan Tahun 2012
Sebelum Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan
Kelompok
Pengetahuan
n
%
n
%
baik
3
6
48
96
Eksperimen
Sedang
22
44
2
4
Kurang
25
50
jumlah
50
50
100
50
baik
7
14
36
72
Kontrol I
Sedang
15
30
14
28
Kurang
28
56
jumlah
50
50
100
50
baik
3
6
1
2
Kontrol II
Sedang
22
44
27
42
Kurang
25
58
22
56
jumlah
50
50
100
50

Tabel. 3

Distribusi responden Berdasarkan Sikap Tentang SADARI pada Remaja


Putri di Balikpapan Tahun 2012
Sebelum Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan
Kelompok
Sikap
n
%
n
%
Sangat Mendukung
3
6
28
56
Eksperimen
Cukup Mendukung
11
22
16
32
Tidak Mendukung
36
72
6
12
jumlah
50
100
50
100
Sangat Mendukung
5
10
22
44
Kontrol I
Cukup Mendukung
10
20
18
36
Tidak Mendukung
35
70
10
20
jumlah
50
100
50
100
Sangat Mendukung
3
6
Kontrol II
Cukup Mendukung
14
28
16
32
Tidak Mendukung
36
72
31
62
jumlah
50
100
50
100
Tabel. 4
Distribusi Rata-Rata Pengetahuan Responden Kelompok Eksperimen
Tentang SADARI Sebelum dan Sesudah diberikan Penyuluhan Kesehatan
mengunakan Video di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012
Pengetahuan
Mean
SD
SE

Eksperimen
Pre
18.44
7.448
1.053

Post
39.14
3.758
0.531

P value

0.000

50

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

Tabel .5

Pengetahuan
Mean
SD
SE

Distribusi Rata-Rata Pengetahuan Responden Kelompok Kontrol I Tentang


SADARI Sebelum dan Sesudah diberikan Penyuluhan Kesehatan tanpa
mengunakan Video di SMAN 5 Balikpapan Tahun 2012
Kontrol I
Pre
18.98
9.479
1.339

Post
36.34
5.483
0.775

P value

0.000

50

Tabel 6.

Distribusi perbandingan pengetahuan responden tentang Pemeriksaan


Payudara Sendiri (SADARI) sebelum dan sesudah pada remaja di
Balikpapan
Pengetahuan
Perbedaan
Rerata
P value
n
Kelompok Eksperimen
rerata
Sebelum
18.44
49.22
0.000
50
Sesudah
67.66
Pengetahuan
Perbedaan
Rerata
P value
n
Kelompok Kontrol I
rerata
Sebelum
18.98
17.36
0.000
50
Sesudah
36.34
Pengetahuan
Perbedaan
Rerata
P value
n
Kelompok Kontrol II
rerata
Sebelum
18.60
0.64
0.367
50
Sesudah
17.96

Tabel 7.

Sikap
Mean
SD
SE
Tabel 8.

Sikap
Mean
SD
SE

Distribusi Rata-Rata Sikap Responden Kelompok Eksperimen Tentang


SADARI Sebelum dan Sesudah di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012
Eksperimen
Pre
34.20
15.752
2.228

Post
67.66
9.917
1.403

P value

0.000

50

Distribusi Rata-Rata Sikap Responden Kelompok Kontrol I Tentang


SADARI Sebelum dan Sesudah di SMAN 5 Balikpapan Tahun 2012
Kontrol I
Pre
36.66
16.030
2.267

Post
62.60
20.113
2.844

10

P value

0.000

50

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Tabel 9.

Sikap
Mean
SD
SE
Tabel 10.

Distribusi Rata-Rata Sikap Responden Kelompok Kontrol II Tentang


SADARI Sebelum dan Sesudah di SMAN 5 Balikpapan Tahun 2012
Kontrol II
Pre
40.26
13.167
1.862

Post
41.64
12.893
1.823

P value

0.425

50

Distribusi perbandingan Perubahan sikap responden tentang Pemeriksaan


Payudara Sendiri (SADARI) sebelum dan sesudah pada remaja di
Balikpapan

Sikap
Kelompok Eksperimen
Sebelum
Sesudah
Sikap
Kelompok Kontrol I
Sebelum
Sesudah
Sikap
Kelompok Kontrol II
Sebelum
Sesudah

Rerata
34.20
67.66
Rerata
36.66
62.60
Rerata
40.26
41.64

Perbedaan
rerata
33.46
Perbedaan
rerata
25.94
Perbedaan
rerata
1.38

P value

0.000

50

P value

0.000

50

P value

0.425

50

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A, 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Anonim. 2005. Cancer Risk factors. Mayo Fundation For Medical Educattion and Research.
(Online). (www.mayoclinic.com diakses 12 juni 2012)
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta
Burroughs, A. 1997. Maternity Nursing An Introductory Text. Philadelphia : W. B. Sauders
Company
Dalimartha., Setiawan. 2004. Kanker Payudara. Dalam : Deteksi Dini Kanker dan Simplisia
Antikanker. Penebar Swadaya, Jakarta.
Depkes RI. 2007. Petunjuk Teknis Pencegahan Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Kanker
Payudara. Direktorat Pengendalian penyakit Tidak Menular direktorat Jenderal PP dan
PL, Depkes RI. Jakarta
Kearney,A,J and Murray, M. 2006. Evidence Against breasrt Self Examination is Not Conclusive:
What Polymakers and Health Profesionals Need too Know. Journal of Public Health
Policy; 2006. Dalam proquest Medical Library. (Online). (http://www.proquest .co.id
diakses 13 juni 2012)
Kodim, Nasrin. 2004. Eppidemiologi Kanker Payudara, Himpunan Badan Kuliah Epidemiologi
Penyakit Tidak Menular. FKM UI. Jakarta
Lusa, 2009. Tentang Anatomi dan Fisiologi Payudara. (Online), (http://www.lusa.web.id/anatomidan-fisiologi-payudara , diakses 15 Mei 2012)
Ngatimin, Rusli. 2005. Sari dan Aplikasi Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK-3. Makassar
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta,
Jakarta

11

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta
Soelaryo, TS. 2002. Epidemiologi Masalah Remaja. Dalam: Narendra, M.B., Sularyo, T.S.,
Soetjiningsih, Suyitno, H., Ranuh, I.N.G., eds. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan
Remaja Jilid 1 Ed 1. Sagung Seto. Jakarta
Sutjipto. 2008. Permasalah Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker Payudara. (online).
(http://www.dharmais.co.id/new/content.php?page=article&lang=en&id=17
diakses
tanggal 23 maret 2011)
WHO (World Health Organization). 2008. Breast Cancer : Prevention and Control. (Online).
(http://www.who.int/cancer/detection/breastcancer/en/index1.html diakses 12 maret
2010).
WHO (World Health Organization). 2005. Data Penderita Kanker Payudara di Dunia. (Online).
(http://www.who.int/cancer/detection/braestcancer/en/index1.html diakses 12 februari
2012)
International Agency for research on cancer (IARC). 2003. Breast Cancer Incidence and Mortality
Worldwide
in
2002
Summary.
(Online).
(http://globocan.iarc.fr/factsheets/cancers/breast.asp diakses 12 februari 2010)

12

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
PENGARUH KADER KESEHATAN SEBAGAI KOMUNIKATOR TERHADAP
PERILAKU IBU NEONATUS DALAM PERAWATAN NEONATUS DI
KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT
*Suriah
Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Hasanuddin, Kampus FKM Unhas Jl. Perintis Kemerdekaan KM10 Makassar, Sulawesi Selatan
(email : suriah_74@yahoo.com)
ABSTRAK
Penelitian ini dimaksudkan untuk menilai pengaruh kader kesehatan sebagai komunikator
terhadap perilaku ibu dalam perawatan neonatus. Penelitian dilakukan di Kabupaten Garut,
menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pre-test pengetahuan dan sikap dilakukan
terhadap 147 ibu pada kelompok intervensi dan 149 ibu pada kelompok kontrol, dengan usia
kehamilan 5-9 bulan. Kemudian 16 orang kader terlatih sebagai komunikator memberikan
informasi dan edukasi mengenai perawatan neonatus sebanyak 2 kali. Post-test pengetahuan,
sikap dan praktik dilakukan terhadap ibu yang sama pada kedua kelompok. Observasi praktik
dalam perawatan neonatus dilakukan terhadap 32 ibu di wilayah intervensi dan wawancara
mendalam kepada bidan, dukun bayi dan keluarga ibu neonatus. Intervensi dari kader kesehatan
dapat meningkatkan pengetahuan ibu neonatus 3,7 kali, sikap positif 6 kali dan praktik yang baik
12,4 kali dalam perawatan neonatus dibandingkan kelompok tanpa intervensi. Pemanfaatan kader
kesehatan sebagai komunikator dalam perawatan neonatus disarankan direplikasi di kabupaten
lain dengan mempertimbangkan kondisi setempat.
Kata Kunci: Kader Kesehatan, Perilaku Ibu Neonatus, Perawatan Neonatus
ABSTRACT
This research aims to assess the role of voluntary health worker as communicators in influencing
behavior of mothers of neonates in newborn care. The research was conducted in Garut district
employing qualitative and quantitative method. Pre-test on knowledge and attitude was
implemented on 147 mothers in the intervention group and on 149 mothers in the control group
with 5-9 month pregnancy. Sixteen cadres as communicator conducted two information and
education sessions on newborn care. Post-test on knowledge, attitude and practice was given on
mothers of the same groups. Skills one observation in newborn care was applied on 32 mothers in
the intervention group and in-depth interview was conducted to midwives, traditional birth
attendants and the family of mothers of neonates. Intervention from voluntary health workers
resulted in the following improvement: knowledge 3.7 times, positive attitude 6 times, and good
practical skills 12.4 times indicating positive improvement on mother of neonate after
intervention. It can be concluded that the empowerment of voluntary health worker as
communicators in newborn care is suggested to be replicated in different districts where the local
condition should be taken into account.
Key words: Voluntary health worker, behavior of mother of neonates, newborn care

13

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

PENDAHULUAN
i Indonesia diperkirakan sekitar 4,5 juta bayi lahir setiap tahun (Statistik Indonesia,
2010), namun berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007, angka kematian neonatal (AKN) atau bayi baru lahir (Usia 0-28 hari) masih
cukup tinggi yaitu 19/1000 kelahiran hidup (KH). Dalam kurun waktu 5 tahun, angka
kematian neonatal di Indonesia hanya bergeser 1 poin yaitu 20/1000 KH tahun 2002 dan 19/1000
KH tahun 2007 (Biro Pusat Statistik, 2008).
Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia masih terdapat 234
bayi baru lahir (BBL) atau neonatus meninggal setiap hari atau sekitar 10 neonatus meninggal
setiap jam. Angka kematian neonatal di Indonesia masih merupakan yang tertinggi jika
dibandingkan beberapa negara di wilayah Asia Tenggara, seperti Filipina (17/1.000 KH), Vietnam
(12/1.000 KH), Srilanka (11/1.000 KH) dan Singapura yang hanya 1/1.000 KH (Save the Children,
2008).
Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia dengan angka kematian neonatal sama
dengan angka nasional yaitu 19/1000 kelahiran hidup (Biro Pusat Statistik, 2008). Di provinsi ini
terdapat 3 kabupaten dengan jumlah kematian neonatal tertinggi selama tahun 2009 berdasarkan
data laporan rutin jumlah kematian neonatus dari Kementerian Kesehatan, yaitu: Sukabumi 381
neonatus, Bogor 339 neonatus dan Garut 321 neonatus (Kemenkes RI, 2010).
Tiga penyebab utama kematian neonatus di Indonesia adalah Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) sebesar 29%, asfiksia sebanyak 27% dan terdapat 10% neonatus meninggal akibat tetanus
(Kemenkes RI, 2007). Penyebab kematian neonatus di Jawa Barat antara lain: asfiksia sebanyak
20,1%, infeksi sejumlah 19,5% dan 11,3% meninggal akibat komplikasi prematur dan BBLR
(Dinkes, 2007). Pola penyebab kematian neonatus di kabupaten Garut hampir serupa dengan pola
di tingkat nasional yaitu: BBLR (31%), asfiksia (28%), infeksi (3%), dan 38% karena penyebab
lain (Dinkes, 2009).
Kementerian Kesehatan RI dalam memberikan pelayanan kesehatan dan pencegahan
kematian neonatus di Indonesia, melalui Direktorat Bina Kesehatan Anak telah mengupayakan
beberapa program mulai dari saat bayi lahir hingga berusia 28 hari. Upaya yang telah dilakukan
dalam mengatasi masalah kesehatan neonatus di Indonesia, pendekatannya masih cenderung pada
tingkat petugas kesehatan dan hanya sebagian kecil upaya di tingkat keluarga. Padahal
teridentifikasi sekitar 98% kematian neonatus terjadi di negara-negara berkembang (termasuk
Indonesia) yang mana 60% diantaranya lahir di rumah tanpa bantuan perawatan tenaga kesehatan
terampil (Yinger, 2003).
Perawatan neonatus yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI), menjaga bayi tetap hangat serta tunda mandi minimal 6
jam setelah kelahiran, perawatan tali pusat dan pencegahan infeksi, serta pengenalan tanda bahaya
pada neonatus. Perawatan neonatus lebih banyak dilakukan di rumah oleh ibu dan keluarga,
dengan konteks perawatan yang dipengaruhi oleh lingkungan dan tokoh-tokoh kunci di sekitar
mereka. Hasil riset formatif di Kabupaten Garut yang dilakukan oleh Yayasan Melati (2008),
mengungkapkan bahwa perilaku ibu dan keluarga dalam perawatan neonatus dipengaruhi antara
lain oleh dukun bayi, kader kesehatan, dan tetangga. Hasil riset ini juga mengemukakan bahwa
kader kesehatan merupakan salah satu tokoh kunci yang mendampingi ibu hamil saat
memeriksakan kehamilan ke bidan atau petugas kesehatan, mendampingi ibu bersalin saat
persalinan, melakukan kunjungan pasca persalinan, memberi informasi seputar kesehatan ibu
neonatus dan bayinya, serta mendampingi keluarga saat melakukan rujukan dalam kondisi
kegawatdaruratan ibu neonatus dan bayinya (Yayasan Melati, 2008).
Di India dan Bangladesh, telah dilakukan pemanfaatan kader untuk memberikan
pendidikan kesehatan terhadap ibu neonatus dalam upaya perubahan perilaku ibu terkait perawatan
neonatus di tingkat rumah tangga (Baqui, et al 2008 dan Bang, Rany, Reddy, 2005). Di Indonesia
kader kesehatan seringkali berperan dalam memotivasi dan memberikan informasi terkait

14

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
perawatan kehamilan, persalinan dan kesehatan anak, namun belum pada tahap upaya yang
sistematis mempengaruhi perilaku dan membuat individu melakukan serta mempertahankan
perilaku positifnya dalam perawatan neonatus.
Hasil survei data dasar kesehatan neonatus di 10 kecamatan Kabupaten Garut
menemukan rendahnya pengetahuan dan praktik ibu, suami, dan pendamping, dalam perawatan
neonatus (FKM-UI, 2007). Hasil riset formatif oleh Yayasan Melati (2008) di dua kecamatan di
Kabupaten Garut, juga menunjukkan adanya perilaku tidak mendukung dalam perawatan neonatus
yang dilakukan oleh ibu, keluarga, dan penolong persalinan. Pendekatan yang ada di Indonesia
saat ini dapat dikatakan belum memberdayakan tokoh kunci seperti kader kesehatan untuk
menjangkau sasaran yaitu ibu dan keluarga dalam mewujudkan kesehatan dan keselamatan
neonatus, padahal kader kesehatan merupakan salah satu tokoh kunci yang berada di sekitar ibu
neonatus dan keluarga. Kader dapat diberdayakan untuk memberikan informasi dan pembelajaran
perilaku yang mendukung kesehatan dan keselamatan bagi neonatus, sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh kader kesehatan sebagai komunikator terhadap
perilaku ibu neonatus dalam perawatan neonatus di Kabupaten Garut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan dua metode penelitian, yaitu metode kuantitatif dan metode
kualitatif. Pada metode kuantitatif digunakan disain kuasi eksperimen dengan rancangan The
Nonequivalent Control Group Design (Campbell dan Stanley, 1966), sedangkan pada metode
kualitatif digunakan pendekatan rapid assessment procedure (Kemenkes RI, 2000).
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di 3 kecamatan Kabupaten Garut, yaitu Kecamatan Selaawi,
Cisompet dan Karangpawitan. Kecamatan Selaawi dan Cisompet merupakan lokasi intervensi
sedangkan Kecamatan Karangpawitan merupakan wilayah kontrol.
1. Kuantitatif
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh ibu hamil dengan usia kehamilan antara 5-9 bulan yang berada di
10 kecamatan wilayah Proyek SNL-2 di Kabupaten Garut. Untuk kebutuhan studi dilakukan
pemilihan kecamatan sebagai lokasi intervensi, yaitu Kecamatan Cisompet dan Selaawi, kemudian
kelompok kontrol terpilih Kecamatan Karangpawitan dari 32 kecamatan diluar wilayah proyek
SNL-2. Data jumlah ibu hamil dari bulan Oktober hingga Desember 2008 yang diperoleh dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Garut dan puskesmas untuk masing-masing kecamatan, yaitu 124
orang di Kecamatan Cisompet, 210 di Kecamatan Selaawi dan 525 orang di Kecamatan
Karangpawitan.
Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus sampel uji hipotesis beda proporsi
(Ariawan, 1998). Jumlah ibu hamil sifatnya dinamis setiap bulan, penentuan usia kehamilan ibu 59 bulan untuk memenuhi jumlah sampel pada tiap kecamatan lokasi penelitian. Untuk menentukan
besar sampel pada masing-masing kecamatan intervensi, berdasarkan jumlah sampel minimal
kelompok yang diperoleh yaitu 141 orang maka dihitung secara proporsional untuk masingmasing kecamatan, sehingga didapatkan jumlah sampel yaitu; 84 orang di Kecamatan Selaawi dan
57 orang di Kecamatan Cisompet.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data berlangsung selama 10 bulan (Mei 2009 hingga Maret 2010).
Pengumpulan data awal (pre-test) dilakukan dengan meminta responden memilih jawaban pada
kuisioner untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan dan sikap ibu terkait perawatan
neonatus. Kemudian dilakukan intervensi pertama yaitu pemberian informasi dan pembelajaran
mengenai perawatan neonatus kepada ibu hamil dengan usia kehamilan 5-9 bulan. Intervensi
kedua dilakukan setelah bayi lahir saat usia bayi 0-7 hari, kader mengunjungi kembali ibu yang

15

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
sama yang telah dikunjungi pada intervensi awal. Kemudian dilakukan pengumpulan data akhir
(post-test) setelah intervensi kedua untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan, sikap
dan praktik ibu terkait perawatan neonatus. Pengumpulan data akhir atau post-test dilakukan 1-2
bulan setelah intervensi kedua. Pengumpulan data awal dan akhir dilakukan baik pada kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol.
Analisis Data
Uji Wilcoxon Signed Rank Test digunakan untuk menilai perbedaan skor rata-rata
pengetahuan dan sikap ibu sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok,
sedangkan untuk menilai perbandingan selisih rata-rata skor pengetahuan, sikap dan praktik antar
kelompok digunakan uji Mann Whitney. Analisis multivariat berupa analisis Regresi Logistik
Ganda untuk melihat pengaruh intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan praktik ibu neonatus
setelah dikontrol oleh karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, paritas dan sumber informasi)
serta pengetahuan dan sikap ibu sebelum intervensi.
2.

Kualitatif
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber informasi untuk memenuhi kebutuhan data
kualitatif yakni: ibu neonatus, kader kesehatan, bidan koordinator, bidan di desa, dukun bayi dan
keluarga ibu neonatus. Proses pengumpulan data kualitatif dilaksanakan pada awal, tengah dan
akhir proses pengumpulan data kuantitatif. Teknik pengumpulan data yaitu dengan observasi
praktik terhadap ibu hamil yang melakukan simulasi perawatan neonatus dan juga terhadap kader
kesehatan yang diamati pada saat memberikan informasi dan pembelajaran praktik perawatan
neonatus kepada ibu dengan usia kehamilan antara 5-9 bulan. Selanjutnya pengamatan dilakukan
lagi setelah ibu melahirkan, terhadap informan yang sama yaitu ibu neonatus dan kader yang
berkunjung melakukan pembelajaran pada saat bayi berusia antara 0-7 hari.
Dalam penelitian kualitatif, jumlah sumber informasi biasanya sedikit. Oleh karena itu,
agar keabsahan data tetap terjaga, dilakukan strategi yang disebut triangulasi (Faisal, 1990, Morse
dan Field, 1995 serta Kemenkes RI, 2000). Dalam penelitian ini, upaya triangulasi yang dilakukan
adalah triangulasi sumber informasi dan triangulasi metode. Analisis yang dilakukan untuk data
kualitatif yaitu analisis isi (Faisal 1990, Nasution, 1992, serta Morse dan Field, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengetahuan dan sikap ibu neonatus mengenai perawatan neonatus setelah intervensi
lebih baik dibandingkan pengetahuan dan sikap ibu sebelum intervensi pada kelompok intervensi.
Hal tersebut dapat diketahui dari uraian pada tabel berikut:
Tabel 1 Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Ibu Neonatus terhadap Perawatan
Neonatus Sebelum dan Setelah Intervensi
pada Kelompok Intervensi
Variabel
Pengetahuan
(skala 0-20)
Sikap
(skala 0-10)

Mean
14,3
15,7
4,3
7,0

Sebelum intervensi
Setelah intervensi
Sebelum intervensi
Setelah intervensi

SD
3,3
2,8
2,1
1,9

Beda Mean

1,4 (9,4%)

<0,001

2,7 (62,3%)

<0,001

Pada kelompok kontrol, responden ibu neonatus memperlihatkan bahwa


peningkatan pengetahuan dan sikap mereka sangat kecil setelah intervensi dibandingkan
dengan sebelum intervensi. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

16

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Tabel 2 Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Ibu Neonatus tentang Perawatan
Neonatus Sebelum maupun Setelah Intervensi
pada Kelompok Kontrol
Variabel
Pengetahuan
(skala 0-20)

Sebelum intervensi
Setelah intervensi

Sikap
(skala 0-10)

Sebelum intervensi
Setelah intervensi

Mean
13,3

SD
3,3

13,6

3,4

4,9

2,0

5,4

1,9

Beda Mean

0,5 (8,1%)

0,014

Perubahan rata-rata nilai pengetahuan dan sikap ibu neonatus terhadap perawatan
neonatus pada kelompok intervensi lebih besar dibandingkan dengan ibu neonatus pada kelompok
kontrol. Nilai rata-rata praktik ibu neonatus pada kelompok intervensi juga lebih tinggi daripada
praktik ibu neonatus pada kelompok kontrol, setelah intervensi. Uraian mengenai perbandingan
selisih rata-rata pengetahuan dan sikap ibu neonatus sebelum maupun setelah intervensi antar
kelompok serta perbedaan rata-rata praktik ibu neonatus setelah intervensi antar kelompok dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3 Perbandingan Perubahan Rata-rata Nilai Pengetahuan, Sikap dan Praktik
Ibu Neonatus antar Kelompok
Variabel
Pengetahuan
Sikap
Praktik

Intervensi
Kontrol
Intervensi
Kontrol
Intervensi
Kontrol

Mean
1,4
0,3
2,7
0,4
19,1
12,6

SD
2,9
2,8
2,0
1,9
4,1
3,7

Beda Mean
1,1
(9,3%)
2,3
(76,4%)
6,5
(51,6%)

p*
0,017
<0,001
<0,001

*Uji Mann-Whitney
Untuk memperoleh gambaran mengenai praktik yang dilakukan ibu neonatus dalam
perawatan neonatus, dilakukan pengamatan terhadap 32 orang informan ibu neonatus pada
kelompok intervensi. Praktik ibu neonatus dinilai menggunakan lembar observasi dengan jenis
informasi berupa data kualitatif. Pengamatan terhadap tindakan ibu dalam perawatan neonatus
dilakukan sebanyak dua kali. Sebelum intervensi, ibu dengan usia kehamilan 5-9 bulan diminta
melakukan simulasi perawatan neonatus menggunakan manekin bayi, manekin payudara dan
perlengkapan bayi lainnya. Selanjutnya pengamatan kedua dilakukan setelah bayi lahir (usia bayi
masih dalam periode neonatal 2-21 hari).
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut antara lain: 1) hampir
semua ibu neonatus menyusui bayinya secara bergantian antara payudara kiri dan kanan, hanya
dua orang yang tidak melakukan tindakan tersebut, 2) pada saat simulasi sebagian ibu masih
memakaikan gurita kepada boneka bayi namun pada saat dilakukan pengamatan hanya sebagian
kecil ibu neonatus yang masih memakaikan gurita kepada bayinya, 3) sebagian besar ibu yang
mempraktikkan membungkus bayi dengan cara bedong ketat pada saat simulasi, namun hanya
sebagian kecil yaitu dua orang ibu neonatus yang diamati masih membedong ketat bayinya, 4)
pada saat simulasi dan setelah bayi lahir, sebagian besar ibu neonatus yang diobservasi sudah
mempraktikkan pemakaian penutup kepala atau topi kepada bayi baru lahir, 5) sebagian ibu masih
membubuhkan betadine dan atau alkohol kepada boneka bayi dan setelah bayi mereka lahir

17

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
ditemukan masih ada tiga ibu neonatus yang memberikan betadine dan alkohol bahkan terdapat
satu ibu neonatus yang memberikan merica dan abu ke tali pusat bayi.
Bayi baru lahir pada kelompok intervensi lebih banyak mendapatkan perawatan yang
dapat mendukung kesehatan dan keselamatannya dibandingkan bayi pada kelompok kontrol. Hal
ini diketahui dari pernyataan keluarga ibu neonatus dari kelompok kontrol:
...Supados orok teu tiriseun, di anggoan popok, amet, acuk disimbulan... (Wawancara Keluarga
Ibu bayi 1)
(Cara menjaga hangat, bayi dipakaikan popok, gurita, baju dan dibungkus)
...Biasana mah, dipopokan, diacukan, nganggo pernel, dibedong...., sareng nganggo
ametan...(Wawancara Keluarga Ibu bayi 2)
(Seperti biasanya bayi dikasih popok, baju, kain pernel, dibedong serta pakai gurita)
...Udelna nganggo betadin teras dibungkus nganggo perban...(Wawancara Keluarga Ibu bayi
2)(Tali pusat bayi dikasih betadin terus dibungkus dengan kain kasa)
Pemodelan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh intervensi oleh kader kesehatan
terhadap pengetahuan, ibu tentang perawatan neonatus yaitu dengan mengikutsertakan semua
variabel yang berpotensi sebagai confounder antara lain: pengetahuan sebelum intervensi, sikap
sebelum intervensi, umur, tingkat pendidikan, paritas dan sumber informasi serta variabel yang
diduga secara subtansi ada interaksi. Besar kecilnya pengaruh confounder dinilai berdasarkan
perubahan relatif rasio odds terhadap rasio odds acuan. Pengurangan confounder dilakukan dengan
mengeliminasi satu persatu confounder, mulai dari variabel dengan nilai p terbesar.
Pengetahuan
Dari 5 variabel yang diduga sebagai confounder pada hubungan antara intervensi kader
kesehatan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan neonatus, ternyata hanya variabel tingkat
pendidikan merupakan confounder karena perubahan relatif rasio odds >10%, dengan demikian
variabel tingkat pendidikan dipertahankan dalam model untuk memperoleh model akhir hubungan
intervensi kader kesehatan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan neonatus sebagaimana
terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4 Model Akhir Pengaruh Intervensi Kader Kesehatan terhadap Pengetahuan Ibu
Neonatus tentang Perawatan Neonatus
Variabel
Intervensi kader
Pendidikan
Konstanta

B
1,30
1,16
-1,12

p
0,000
0,001
0,000

OR
3,68
3,20
0,32

95%CI
2,22 - 6,10
1,62 - 6,33

Berdasarkan model akhir pengaruh intervensi kader terhadap pengetahuan ibu neonatus
seperti tampak pada tabel 4, dapat dikatakan bahwa intervensi berupa pemberian informasi dan
kunjungan pembelajaran dari kader kesehatan sebanyak dua kali mampu meningkatkan
pengetahuan ibu neonatus mengenai perawatan neonatus hampir 3,7 kali dibanding sebelum
pemberian intervensi setelah dikontrol dengan tingkat pendidikan (OR=3,68, 95%CI:2,22-6,10,
p<0,001). Ibu dengan tingkat pendidikan SLTA/PT berpeluang 3,2 kali mempunyai pengetahuan
yang tinggi mengenai perawatan neonatus dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan SD/SMP
setelah dikontrol oleh intervensi kader (OR=3,20, 95%CI:1,62-6,33, p=0,001).
Sikap

18

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Ada dua variabel merupakan confounder pada hubungan antara intervensi kader
kesehatan dengan sikap ibu neonatus terhadap perawatan neonatus, karena perubahan relatif rasio
odds lebih dari 10%, yaitu sikap sebelum intervensi dan tingkat pendidikan. Untuk variabel tingkat
pendidikan, tetap dikeluarkan dari model meskipun perubahan ORnya >10%, oleh karena
memiliki nilai p>0,05 yaitu 0,067. Dengan demikian hanya variabel sikap yang dipertahankan
dalam model dan didapatkan model akhir hubungan intervensi kader kesehatan dengan sikap ibu
neonatus terhadap perawatan neonatus seperti berikut:
Tabel 5 Model Akhir Pengaruh Intervensi Kader Kesehatan
terhadap Sikap Ibu Neonatus tentang Perawatan Neonatus
Variabel
Intervensi kader
Sikap sebelum
Konstanta

B
1,79
1,72
-1,57

P
0,000
0,000
0,000

OR
5,96
5,59
0,21

95%CI
3,40 10,46
3,08 10,17

Berdasarkan model akhir hubungan intervensi kader dengan sikap ibu neonatus
sebagaimana terlihat pada tabel 5 dapat dikatakan bahwa intervensi dari kader kesehatan mampu
meningkatkan sikap positif ibu terhadap perawatan neonatus sebesar 6 kali dibanding sebelum
intervensi, setelah dikontrol oleh sikap ibu sebelum intervensi (OR = 5,96, 95%CI: 3,40-10,46,
p<0,001). Ibu neonatus yang mempunyai sikap positif sebelum intervensi berpeluang mempunyai
sikap positif pula terhadap perawatan neonatus setelah intervensi sebesar 5,6 kali dibanding ibu
neonatus dengan sikap negatif sebelum intervensi, setelah dikontrol oleh intervensi kader (OR=
5,59, 95%CI: 3,08-10,17, p<0,001).
Praktik
Dari empat variabel yang diduga sebagai confounder pada hubungan antara intervensi
kader kesehatan dengan praktik ibu neonatus, ternyata ada satu variabel dengan perubahan relatif
rasio odds lebih dari 10% yaitu tingkat pendidikan. Meskipun demikian variabel tingkat
pendidikan, tetap dikeluarkan dari model, oleh karena mempunyai nilai p>0,05 yaitu 0,143.
Dengan demikian model akhir hubungan intervensi kader kesehatan dengan praktik ibu dalam
perawatan neonatus seperti pada tabel berikut:
Tabel 6 Model Akhir Pengaruh Intervensi Kader Kesehatan
terhadap Praktik Ibu Neonatus dalam Perawatan Neonatus
Variabel
Intervensi Kader
Konstanta

B
2,52
-1,07

P
0,000
0,000

OR
12,41
0,34

95%CI
7,15 21,57

Pada model akhir hubungan intervensi kader dengan praktik ibu setelah intervensi
sebagaimana terlihat pada tabel 6 dapat dikatakan bahwa intervensi berupa pemberian informasi
dan kunjungan pembelajaran dari kader kesehatan sebanyak dua kali mampu memperbaiki praktik
ibu dalam perawatan neonatus sebesar 12,4 kali dibanding tanpa pemberian intervensi (OR=
12,41, 95%CI: 7,15-21,57, p<0,001).
Pembahasan
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap
obyek melalui indera yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui
indera pendengaran dan penglihatannya (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa

19

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
hasil penginderaan ibu neonatus berupa pengetahuan yang tinggi tentang perawatan neonatus,
meningkat sebesar 3,7 kali setelah mereka memperoleh informasi dan pembelajaran mengenai
perawatan neonatus dari kader kesehatan (OR=3,68, 95%CI:2,22-6,10, p<0,001).
Penelitian Barlow et al (2006) di Amerika juga mendapatkan hal serupa yaitu peluang ibu
neonatus pada kelompok intervensi untuk memiliki pengetahuan tinggi mengenai perawatan
neonatus lebih besar daripada ibu neonatus yang tidak mendapatkan intervensi. Hasil temuan
Barlow menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan untuk memperbaiki perilaku ibu neonatus
dalam perawatan bayi memberikan peluang sebesar 14,9 kali memiliki pengetahuan tinggi
mengenai perawatan neonatus setelah 2 bulan dibandingkan ibu yang tidak mendapatkan
intervensi. Kemudian setelah 6 bulan, ibu neonatus pada kelompok intervensi berpeluang memiliki
pengetahuan tinggi mengenai perawatan neonatus sebesar 15,3 kali daripada ibu neonatus pada
kelompok kontrol.
Penelitian ini juga menemukan bahwa ada pengaruh faktor tingkat pendidikan terhadap
pengetahuan ibu tentang perawatan neonatus. Ibu dengan tingkat pendidikan SLTA/PT berpeluang
3,2 kali mempunyai pengetahuan yang tinggi mengenai perawatan neonatus dibandingkan ibu
dengan tingkat pendidikan SD/SMP (OR=3,20, 95%CI:1,62-6,33, p=0,001). Tingkat pendidikan
merupakan confounder pada pengaruh intervensi kader terhadap pengetahuan ibu, artinya
pendidikan mempunyai pengaruh terhadap penyerapan informasi yang diberikan kader kesehatan
dan juga berpengaruh terhadap kemudahan kader dalam memberikan informasi tentang perawatan
neonatus.
Penelitian Alene dan Edris (2002) terhadap 1.181 rumah tangga di Dembia, Etopia,
menemukan hasil yang serupa. Alene dan Edris mendapatkan bahwa ada pengaruh tingkat
pendidikan terhadap pengetahuan responden tentang perawatan neonatus khususnya terkait
perilaku yang dapat membahayakan bayi antara lain: memberikan makanan berupa mentega
kepada bayi, mengikis sebagian alis bayi, memberikan mentega atau kotoran sapi ke tali pusat
bayi, dan sunat terhadap bayi perempuan. Besar perbedaan nilai OR antara ibu dengan tingkat
pendidikan rendah dan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi yang tidak mengetahui bahwa praktik
tersebut berbahaya bagi bayi yaitu 3,5 kali (OR=3,50, 95%CI:2,82-4,45, p<0,001).
Sikap
Menurut Bloom dalam Guilbert (2000), salah satu tingkatan sikap yaitu penilaian. Pada
tingkatan penilaian, individu akan memberikan nilai dalam bentuk menyukai, menyepakati atau
menghargai, hal ini dapat diketahui dari respon yang diberikan oleh individu apakah mengakui,
menyukai atau tidak menyukai suatu hal atau obyek tertentu. Thurstone dan Osgood (dalam
Azwar, 1995) menyebut respon menyukai atau memihak terhadap obyek psikologis dengan istilah
favorable, sebaliknya respon yang tidak menyukai atau tidak memihak dikatakan unfavorable.
Penelitian ini menunjukkan bahwa respon menyukai dalam bentuk sikap positif ibu
neonatus terhadap obyek psikologis perawatan neonatus, meningkat sebesar 6 kali setelah mereka
memperoleh informasi dan pembelajaran mengenai perawatan neonatus dari kader kesehatan
(OR=5,96, 95%CI:3,40-10,46, p<0,001). Selain itu, dalam penelitian ini didapatkan bahwa sikap
ibu neonatus sebelum intervensi merupakan confounder hubungan antara intervensi yang diberikan
dengan sikap ibu neonatus setelah intervensi. Artinya bahwa ada pengaruh kondisi sikap sebelum
intervensi dalam hubungan intervensi kader dengan sikap ibu setelah intervensi. Ibu neonatus yang
memiliki sikap positif sebelum intervensi berpeluang untuk bersikap positif pula setelah
mendapatkan intervensi sebesar 5,6 kali daripada ibu neonatus dengan sikap negatif sebelum
intervensi (OR=5,59, 95%CI:3,08-10,17, p<0,001), dengan kata lain kader akan lebih mudah
menimbulkan sikap positif pada ibu neonatus yang sudah memiliki sikap positif sebelumnya.

20

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Menurut Sax (1980), dalam Azwar (1995), salah satu ciri sikap adalah mempunyai arah,
artinya sikap akan menunjukkan individu menyetujui atau mendukung suatu nilai atau obyek
psikologis yang sejak awal disetujui atau disukainya. Hal sebaliknya berlaku jika individu tidak
menyukai nilai atau obyek psikologis tersebut dari sejak awal. Berdasarkan konsep tersebut, dapat
dikatakan bahwa jika ibu neonatus yang sejak awal menunjukkan sikap positif terhadap perawatan
neonatus maka sikap tersebut akan dimunculkan kembali ketika berhadapan dengan obyek
psikologis yang sama, begitu pula sebaliknya.
Praktik
Praktik merupakan ranah perilaku yang berkenaan dengan aspek-aspek keterampilan dalam
bentuk tindakan nyata seperti: kesiapan, peniruan, pembiasaan, penyesuaian dan penciptaan atau
kreativitas (Sudrajat, 2011). Berdasarkan konsep tersebut, praktik yang dilakukan oleh ibu
neonatus dalam perawatan neonatus tergolong dalam tindakan peniruan, pembiasaan dan
penyesuaian. Kader kesehatan memperlihatkan cara perawatan bayi dengan metode demonstrasi
disertai dengan alat bantu peraga bayi agar dapat ditiru ibu neonatus dan diaplikasikan kepada
bayinya.
Wade et al (2006) melakukan penelitian terhadap 5.400 ibu hamil di Nepal secara
prospektif, ibu hamil tersebut diikuti hingga melahirkan dan dibagi dalam kelompok intervensi dan
kontrol. Hasil temuan Wade menunjukkan bahwa responden ibu pada kelompok intervensi
berpeluang sebesar 1,8 kali melakukan praktik yang baik dalam perawatan neonatus dibandingkan
responden ibu pada kelompok kontrol (OR=1,79, 95%CI:1,52-2,08, p<0,05). Penelitian ini
mengungkapkan bahwa intervensi berupa pemberian informasi dan pembelajaran mengenai
perawatan neonatus dari kader kesehatan dapat memperbaiki praktik ibu neonatus dalam
perawatan neonatus sebesar 12,4 kali dibandingkan sebelum pemberian intervensi (OR=12,41,
95%CI:7,15-21,57, p<0,001).
Melalui pendekatan kualitatif diperoleh informasi mengenai praktik yang dilakukan oleh
ibu neonatus dalam perawatan tali pusat bayi dan pemberian makanan atau minuman lain sebelum
ASI keluar. Dalam penelitian ini masih ada ibu neonatus yang diobservasi di wilayah intervensi
memberikan betadine dan alkohol ke tali pusat bayi, dan terdapat satu bayi yang tali pusatnya
diberi ramuan tertentu. Selain itu selain masih ditemukan ibu yang memberikan makanan atau
minuman lain sebelum ASI keluar, seperti: susu formula, air putih, biskuit bayi dan bubur bayi
instant. Dengan pendekatan yang sama, Moran et al (2009) di Bangladesh menemukan hal serupa
yaitu pemberian ramuan tertentu ke tali pusat bayi serta lebih banyak ibu yang memberikan PASI
kepada bayinya antara lain: air gula, madu dan makanan bayi.
Metode yang serupa juga digunakan oleh Kesterton dan Cleland (2009) untuk menemukan
informasi tentang praktik ibu dalam perawatan neonatus di rural Karnataka, India. Dalam
penelitian tersebut Kesterton dan Cleland mendapatkan bahwa terdapat praktik membahayakan
keselamatan bayi yang dilakukan sebagian ibu neonatus seperti: 1) Memberikan ramuan atau obat
tertentu berupa bubuk kunyit, bedak dan antiseptik ke tali pusat bayi, 2) Memberikan PASI berupa
minyak jarak, air gula susu hewan atau bayi diserahkan kepada saudara ibu neonatus untuk
disapih, sebelum ASI keluar dan 3) Lebih banyak ibu neonatus memberikan ASI kepada bayi
setelah 2 atau 3 hari pasca persalinan.
SIMPULAN DAN SARAN
Intervensi dari kader kesehatan mampu meningkatkan pengetahuan ibu mengenai
perawatan neonatus sebesar 3,7 dan sikap positif ibu terhadap perawatan neonatus 6 kali
dibandingkan sebelum intervensi. Intervensi dari kader kesehatan juga berpengaruh terhadap

21

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
praktik ibu neonatus dalam perawatan neonatus sebesar 12,4 kali dibandingkan tanpa pemberian
intervensi. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh kader kesehatan sebagai komunikator
untuk memperbaiki perilaku ibu dalam perawatan neonatus di Kabupaten Garut, sehingga
disarankan agar pemanfaatan kader kesehatan dengan kemampuan yang sama dapat direplikasi di
kabupaten lain dengan mempertimbangkan kondisi setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Alene, G.D., & Edris, M. (2002). Knowledge attitudes and practices involved in harmful health
behavior in Dembia District, northwest Ethiopia. Ethiopian Journal Health Dev 2002; 16 (2):
199-207.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Depok: Jurusan
Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Azwar, S. (1995). Sikap manusia (teori dan pengukurannya). Yogyakarta: Liberty.
Bang, A.T., Rany A.B., & Reddy, H.M. (2005). Home-based neonatal care: Summary and
applications of the field trial in rural Gadchiroli, India (1993-2003). Journal of Perinatology,
25, S108-S122.
Baqui, A.H., et al., (2008). Effect of community-based newborn-care intervention package
implemented through two service-delivery strategies in Sylhet District, Bangladesh: A clusterrandomised controlled trial. Lancet, 371, 19361944.
Barlow, A., et al., (2006). Home-visiting intervention to improve child care among American
Indian adolescent mothers. Arch Pediatrics Adolesc Med, 160, 1101-1107.
Biro Pusat Statistik. (2008). Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: BPSBKKBN-Kemenkes RI-USAID Indonesia.
Campbell, D.T., & Stanley, J.C. (1966). Experimental and quasi-experimental design for
research. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Dinkes. (2007). Profil kesehatan provinsi Jawa Barat. Bandung: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Barat.
Dinkes. (2009). Profil kesehatan Kabupaten Garut. Garut: Dinas Kesehatan Kabupaten Garut.
Faisal, S. (1990). Penelitian kualitatif (dasar-dasar dan aplikasi). Malang: YA3.
FKM-UI. (2007). Survey data dasar kesehatan neonatal esensial di Kabupaten Garut. Depok:
Puslitkes-Pusat Promosi Kesehatan FKM-UI.
Guilbert, J-J. (2000). Educational handbook for health personnel. Switzerland: WHO Offset
Publication.
Kemenkes RI. (2000). Prosedur penilaian cepat (rapid assessment procedures). Jakarta: Pusat
Data Kesehatan Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (Juli, 2007). Upaya akselerasi penurunan AKB dengan fokus pada peningkatan
akses dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal. Makalah disampaikan oleh dr. Kirana
Pritasari dalam pertemuan penyusunan informasi pelayanan kesehatan neonatal bagi desa
siaga, Cipayung.
Kemenkes RI. (2010). Laporan rutin jumlah kematian bayi baru lahir. Jakarta: Direktorat Bina
Kesehatan Anak-Kemenkes RI.
Kesterton, A.J., & Cleland, J. (2009, May 20). Neonatal care in rural Karnataka: Health and
harmful practices, the potential for change. BMC Pregnancy and Childbirth, 9 (20), 14712393. July 20, 2010. http://www.biomedcentral.com/ 1471-2393/9/20
Moran, A.C., et al., (2009), Newborn care practices among slum dwellers in Dhaka, Bangladesh: A
quantitave and qualitative exploratory study. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:54,
1471-2393.
Morse, J.M., & Field, P.A. (1995). Qualitative research methods for health professionals (2nd ed).
London: SAGE Publications.
Notatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan: Teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

22

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Save the Children. (2008). Saving the lives of mothers and newborns.Washington, DC: Author.
Statistik Indonesia. (2010). Jumlah kelahiran. 9 Desember 2010. http://www.datastatistikIndonesia.com
Sudrajat, A. Taksonomi Bloom. 7 April 2011. http://www.scribd.com/doc/ 18022257/TaksonomiBloom
Wade, A., et al., (2006, June 15). Behaviour change in perinatal care practices among rural women
exposed to a womens group intervention in Nepal. Journal Biomed Central Pregnancy and
Childbirth, 6 (20): 1-10. December 2, 2007. http://biomedcentral.com/1471-2393/6/20/
Yayasan Melati. (2008). Laporan hasil penelitian formatif untuk pengembangan program
komunikasi dan perubahan perilaku dalam memperkuat pelayanan esensial bagi neonatus di
Kabupaten Garut 2007/2008: Proyek SNL2. Jakarta: Yayasan Melati-Save the Children US
Indonesia.
Yinger, N.V., & Ransom, E.I. (2003). Why invest in newborn health? Washington, DC: Population
Reference Bureau-Save the Children USA.

23

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT KUSTA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS KALUMATA KOTA TERNATE
PROPINSI MALUKU UTARA TAHUN 2010
Watief A. Rachman1, St. Nurhidayanti Ishak1
Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNHAS, Makassar

Abstrak
Persepsi masyarakat tentang kusta sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat yang
cenderung menyalahkan penderita kusta, sehingga pasrah pada nasib. Meskipun sudah sembuh,
penderita kusta masih berpikir ulang untuk kembali hidup bermasyarakat di luar RS. Cacat
permanen pada tubuh akibat penyakit kusta dikhawatirkan menimbulkan stigma negatif yang
membuat penderita dikucilkan masyarakat sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
persepsi masyarakat (penderita, keluarga dan tokoh masyarakat) terhadap penyakit kusta di
wilayah kerja Puskesmas Kalumata Kota Ternate tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif melalui wawancara mendalam, dengan jumlah informan sebanyak 14 orang, (5
penderita, 5 keluarga penderita, 3 tokoh masyarakat dan 1 petugas kesehatan). Hasil penelitian
menunjukan bahwa pengetahuan informan terhadap penyakit kusta didasarkan atas gejala yang
dirasakan dan dilihat secara fisik, yaitu menurut informan adanya bercak-bercak putih, dan lukaluka di kulit serta mati rasa pada kulit. Informan juga masih percaya bahwa penyakit kusta
adalah penyakit keturunan dan kutukan. Penyebab kusta menurut informan karena lingkungan
yang kotor, bakteri dan karena guna-guna. Penularan kusta melalui peralatan makanan jika
digunakan bersama penderita. Upaya pengobatan yang dilakukan menurut informan yaitu pergi
ke dukun dan puskesmas. Kemudian untuk sikap, bagi penderita sendiri masih merasa minder
ketika harus bergaul dengan masyarakat, sedangkan bagi sebagian keluarga dan masyarakat
yang bukan penderita, mereka masih merasa takut jika harus berinteraksi dengan penderita.
Tindakan penderita dalam melakukan upaya pengobatan yaitu dengan berobat ke dukun dan ke
puskesmas, disamping itu dukungan dari keluarga juga sangat menentukan keinginan untuk pergi
berobat, sedangkan tindakan masyarakat yang bukan penderita, mereka mau bergaul dengan
penderita, tapi tetap menjaga jarak karena takut tertular. Perlunya gerakan penyuluhan efektif
dengan melibatkan petugas kesehatan, penderita, keluarga serta tokoh masyarakat sehingga
diharapkan mampu mengoreksi persepsi-persepsi masyarakat yang salah tentang penyakit kusta.
Kata kunci

: Persepsi, penyakit kusta

Abstract
Public perception of leprosy is strongly influenced by local cultural values that tend to blame the
lepers, so resigned to fate. Although cured, lepers are still to return to re-think living in a society
outside the hospital. Permanent disability caused by leprosy on the body caused feared the
negative stigma which makes people shut out the surrounding community. This study aims to
determine the public perception (patients, families and community leaders) against leprosy in the
area of PHC Kalumata of Ternate in 2010. The method used was qualitative research through indepth interviews, with the number of informants as many as 14 people, (5 patients, 5 patients'
family, community leaders and the first three health workers). The results showed that the
knowledge of informants against leprosy is based on symptoms and physical visits, ie according to
the informant of white patches, and the wounds in the skin and numbness on the skin. Informants
also still believe that leprosy is hereditary disease and a curse. The cause of leprosy according to
informants because of the dirty environment, bacteria, and because of witchcraft. Transmission of

24

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
leprosy through food equipment when used with patients. Treatment efforts made by the informant
is to go to traditional healers and health centers. Then, for attitude, for people still feel
embarrassed when they have to mingle with society, while for some families and communities who
are not patients, they still feel scared if you have to interact with patients. Actions patients in
treatment efforts is to go to traditional and to the health center , besides the support from family is
also very decisive willingness to go for treatment, while the actions of society who are not
patients, they want to interact with patients, but still keep a distance for fear of contagion. Need
for effective extension movements by involving health workers, patients, families and community
leaders that is expected to correct the perceptions that one community about the disease of
leprosy.

Keywords: Perception, leprosy

PENDAHULUAN
Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 19 negara di dunia,
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia dan lebih dari 750 ribu kasus baru ditemukan
setiap tahun di dunia atau sekitar 85 orang setiap jamnya. Pada tahun 2005 Indonesia merupakan
penyumbang penyakit kusta ketiga setelah India dan Brazil. Menurut data World Health
Organization (WHO) jumlah penderita kusta yang disebut juga dengan lepra memang mengalami
penurunan. Jumlah kasus lepra baru di dunia yang tahun 2001 sebanyak 760 ribu turun tajam
menjadi 210 ribu kasus pada awal 2008. Jumlah kasus yang terdeteksi di seluruh dunia terus
mengalami penurunan (Susanto, 2009). Penurunan kasus kusta di angka dunia, tidak diikuti
penurunan kasus di Indonesia, kasus kusta yang pada tahun 2002 jumlah kasus barunya baru 12
ribu pada awal tahun 2008 malah bertambah menjadi sekitar 17 ribuan (Soewono, 2009).
Peta endemik kusta di Indonesia sebetulnya bisa disoroti di daerah pesisir pantai. Daerah
seperti Surabaya, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Jakarta Utara menjadi sarang orang dengan
kusta. Dan temuan kasus baru yang Paling tinggi selama beberapa tahun terakhir ini adalah di
Maluku Utara. secara keseluruhan, masih ada 17 provinsi dan 150 kabupaten yang mempunyai
kasus kusta dengan rasio 1 per 10 ribu penduduk. Penderita baru pada 2006 sebanyak 11.719 jiwa
(Anonim, 2009)
Maluku Utara merupakan daerah dengan angka temuan kasus baru kusta tertinggi di
Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini. Sebagai daerah endemik kusta, temuan kasus kusta
baru pada tahun 2006, 2007 dan 2008 masing-masing sebanyak 632 penderita, 479 penderita dan
604 penderita. 85% diantaranya merupakan penderita tipe MB yang diketahui merupakan tipe
yang menular. Selain itu dari penderita baru yang diketemukan tersebut 8.0% sudah mengalami
kecacatan tingkat 2.
Untuk Kota Ternate sendiri temuan kasus kusta pada tahun 2006, 2007 dan 2008, masingmasing sebanyak 144, 114 dan 129 penderita. Dengan tingkat kecacatan yang cukup tinggi.
Khusus untuk wilayah kerja puskesmas Kalumata di Kota Ternate, jumlah kasus jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan wilayah kerja puskesmas lain yang ada di Kota Ternate yang pada tahun
2007, 2008, dan 2009 masing-masing sebanyak 28, 39, dan 40 penderita (Dinkes Malut, 2009)
Menurut Timotius, dalam Susanto dkk (2009), Penyakit Kusta bukanlah penyakit yang
menyebabkan kematian yang seketika, seperti penyakit menular lainnya, melainkan penyakit
kronis sehingga menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang sangat kompleks, bukan hanya
dari segi medis tetapi juga dari segi mental sosial ekonomi dan budaya penderita, terutama akibat
cacat yang ditimbulkan penyakit tersebut, selain kondisi aktif sebagai penderita, maka keadaan

25

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
cacat inilah juga yang biasanya menyebabkan penderita kusta ditolak dan diabaikan masyarakat.
Tak jarang mereka dikucilkan oleh masyarakat atau bahkan oleh keluarganya sendiri. Sebagian
dari mereka harus kehilangan pekerjaannya. Pada beberapa tempat bahkan sangat ekstrim, setiap
langkah penderita kusta dianggap sangat berbahaya karena berpotensi menularkan penyakit ini
kepada orang-orang yang berada disekitar mereka. Padahal penyakit ini adalah penyakit menular
yang paling lambat menular dibandingkan dengan penyakit menular lainnya. Stigma inilah yang
membuat masyarakat penyandang kusta memilih hidup berkelompok, atau mengelompokkan diri.
Sikap hidup seperti ini malah membuat permasalahan semakin banyak dan menumpuk (Susanto
dkk, 2009)
Selain itu, minimnya informasi yang benar membuat masyarakat kerap menganggapnya
sebagai penyakit kutukan. Inilah berbagai salah persepsi tentang kusta: penyakit keturunan, akibat
guna-guna, karena berhubungan seks saat haid, salah makan, hingga penyakit sangat menular dan
tidak dapat disembuhkan (Arizal, 2010)
Menurut Lily dalam Susanto dkk (2009), Persepsi masyarakat tentang kusta sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat yang cenderung menyalahkan korban sehingga
pasrah pada nasib. Biasanya untuk menghilangkan persepsi yang salah ini, diperlukan tokoh
agama untuk melakukan kampanye, sebagai contoh, di Kalimantan Selatan, sebuah poster gambar
dan imbauan seorang Kyai ternama bahwa penyakit kusta bisa disembuhkan, ternyata cukup
efektif untuk membuat masyarakat tidak takut lagi terhadap penyandang kusta (Susanto dkk, 2009)
BAHAN DAN METODE
Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, untuk mengetahui persepsi
masyarakat terhadap penyakit kusta, dengan wawancara langsung secara mendalam (Indept
interview).
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas Kalumata, kota Ternate, dengan
pertimbangan banyak ditemukan kasus baru (pada tahun 2009 sebanyak 40 penderita) diwilayah
kerja puskesmas ini, dibandingkan dengan puskesmas lain yang berada di Kota Ternate.
Informan pada penelitian ini terdiri atas 5 orang penderita kusta yang masih dalam
masa pengobatan, 5 orang anggota keluarga penderita yang terdekat (emosional) baik itu suami,
istri, maupun orang tua dari penderita yang selalu mendampingi penderita berobat, 2 orang
tetangga penderita, 1 orang tokoh masyarakat yang berpengaruh di wilayah setempat, dan 1 orang
petugas kesehatan pemegang program kusta di puskesmas Kalumata. Wawancara dilakukan pada
14 informan. pengambilan informan menggunakan metode snow ball.
Data Primer diperoleh melalui wawancara langsung secara mendalam (Indepth
Interview) terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara serta alat bantu berupa
alat perekam suara, kamera digital dan alat tulis menulis.
Data sekunder di peroleh dari Dinas Kesehatan Kota Ternate berupa Rekapan laporan
kusta tahun 2008-2009 dan dari Puskesmas Kalumata tahun 2008-2009.
Pengolahan data dilakukan dengan analisis isi (content analysis) yaitu teknik yang
digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menentukan karakteristik pesan
secara objektif dan sistematis, kemudian diinterprestasikan dan di sajikan dalam bentuk narasi.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Umum Responden
Dalam penelitian ini setelah melakukan penelusuran maka jumlah informan yang
diwawancarai sebanyak 14 orang. Informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam
(Indepth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (Interview guide). Informan dalam
penelitian ini terdiri atas penderita kusta sebanyak 5 orang, 4 orang tipe Multi Baciller (MB) atau
yang menular dan 1 tipe Paucy Baciller (PB) atau yang tidak menular beserta anggota keluarga
dari masing-masing penderita kusta, 2 orang tetangga penderita kusta, dan 1 orang tokoh agama
serta 1 orang dari petugas kesehatan pemegang program kusta di puskesmas.

26

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Adapun karakteristik umur informan yaitu antara 20 tahun hingga 52 tahun, 20-30 tahun
7 orang, 30-40 tahun 2 orang, dan 40-52 tahun 5 orang. jenis kelamin informan terdiri atas lakilaki 6 orang dan perempuan berjumlah 9 orang. Tingkat pendidikan informan bervariasi yaitu 3
orang tamat SMP, 7 orang tamat SMA, 1 orang D3, dan 3 orang S1. Karakteristik pekerjaan
informan yaitu 5 orang ibu rumah tangga, 1 orang tukang ojek, 3 orang belum kerja,1 orang
kontraktor, dan 4 orang PNS.
Pengetahuan informan tentang kusta bermacam-macam, seperti menurut mereka bahwa
kusta merupakan penyakit kulit, penyakit yang susah hilang, penyakit keturunan, penyakit
kutukan, serta menular, dan pada umumnya masyarakat takut karena dapat menimbulkan
kecacatan. Seperti yang di kutip berikut ini:
memang kusta tuh suatu panyake yang pada umumnya biking masyarakat
jadi tako karena ada timbul kecacatan bagitu
(Mwn, 26 thn)
Pengetahuan informan tentang penyebab terjadinya penyakit kusta bervariasi, menurut
mereka bahwa penyebabnya adalah dari kuman, bakteri, virus, karena jarang mandi, kurang
menjaga kebersihan diri, dan lingkungan yang tidak bersih dan ada juga yang menjawab karena
mendapat kutukan. Seperti yang di kutip dari pernyataan berikut ini:
panyake kusta tuh kalo yang saya dengar penyebabnya tuh dari semacam
virus yang menyerang bagian urat dan kulit
(Dna, 29 thn)
Kemudian untuk gejala kusta, para informan menuturkan berbagai pendapat sesuai
dengan apa yang mereka lihat dan alami. Informan mengungkapkan bahwa gejalanya adalah
timbulnya bercak-bercak di kulit seperti panu, adanya bintik-bintik merah, adanya benjolanbenjolan kecil, kulit terasa gatal, dan mati rasa pada kulit. Seperti di kutip berikut ini:
pertamanya kan timbul bercak-bercak putih trus kayak benjolan-benjolan
bagitu, lama-lama kan mati rasa sampe tong cubit me tara rasa
(Adn, 29 thn)
Cara penularan menurut informan bermacam-macam. Seperti menurut mereka bahwa
penularan kusta berasal dari aktivitas yang dilakukan sehari-hari bersama dengan penderita terjadi
kontak kulit dengan penderita, penularan juga berasal dari lingkungan yang kotor. Seperti yang di
kutip dari pernyataan berikut ini:
mungkin karena saya kontak terus-menerus deng saya p tamang kong
akhirnya kana ni panyake
(Eyn, 27 thn)
Cara pencegahan kusta menurut informan yaitu pergi ke Puskesmas memeriksakan diri,
tidak kontak terus menerus dengan penderita yang belum berobat, minum obat untuk
meningkatkan daya tahan tubuh, serta menjauh dan menghindari penderita. Seperti yang di kutip
berikut ini:
pergi ke puskesmas memeriksakan diri
(Eyn, 27 thn)
Pengetahuan informan mengenai cara pengobatan bervariasi, seperti ungkapan mereka
yaitu pergi berobat ke dukun/pengobatan tradisional, dan ada juga yang menjawab langsung
melakukan pengobatan ke petugas kesehatan atau dokter. Seperti di kutip berikut ini:
pertama tuh saya pergi berobat di orang tua-tua, waktu itu dong kase aer
deng kase mandi lagi, tapi tar ada perubahan akhirnya saya ke puskesmas
trus di kase obat, skarang saya so berobat di puskesmas secara rutin
(Adn, 29 thn)
Sikap informan yaitu khususnya bagi penderita sendiri, penderita cenderung merasa
minder ketika bergaul dengan masyarakat. Sedangkan sikap keluarga bervariasi, ada yang bersikap
baik-baik saja terhadap penderita namun ada juga yang menghindari penderita karena takut
tertular. Seperti dalam kutipan berikut ini:

27

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
bagi diri kita yang sudah kena panyake ini kita merasa minder dan
kepercayaan diri tuh sadiki hilang dan merasa masyarakat menjauhi kita.
karena kita sudah sakit seperti ini
(Mwn, 26 thn)
a. Upaya pengobatan yang dilakukan
Bagi informan, khususnya penderita sendiri dalam upaya pengobatan yang dilakukan
menurut beberapa penderita mereka rutin ke Puskesmas setiap bulan untuk mengambil obat dan
meminumnya setiap hari secara rutin. Kemudian dari hasil wawancara dengan keluarga penderita,
informan mengatakan bahwa informan juga ikut mengambil bagian dalam upaya membantu si
penderita dalam melakukan tindakan pengobatan. seperti yang di kutip dari penuturan informan
berikut ini:
biasanya setiap bulan saya deng istri ke puskesmas buat ambe obat
(Adn, 29 thn)
b. Penerimaan penderita kusta di tengah-tengah keluarga dan masyarakat
Menurut informan (penderita), tindakan anggota keluarga terhadap informan baik-baik
saja, keluarga tetap mau menerima penderita walaupun mereka terkena penyakit kusta. Seperti
yang di kutip berikut ini:
kalo tindakan keluarga terhadap saya tuh biasa-biasa saja, mereka mau
tetap menerima saya walaupun saya dapa panyake ini, mereka juga ingatkan
saya untuk selalu minum obat. Bagi masyarakatkan mereka itu liat dengan
baik-baik saja karena mungkin mereka blum tau kalo saya ini panyake kusta

(Mwn, 26 thn)
Sedangkan bagi informan yang bukan penderita kusta, mereka mengungkapkan bahwa
mereka cenderung menghindar dan jaga jarak dengan penderita kusta karena selain takut tertular
juga karena stigma negatif kusta yang sudah melekat dalam benak mereka. Seperti yang di kutip
berikut ini:
ya kalo orang so sake bagitu lebe bae saya menghindar
(Nha, 52 thn)
c. Tindakan petugas kesehatan dalam rehabilitasi sosial terhadap penderita kusta
Dalam melakukan rehabilitasi terhadap penderita, informan yaitu petugas Puskesmas
pemegang program kusta berupaya untuk memberikan penyuluhan kepada penderita, keluarga
serta masyarakat sekitar. Selain itu petugas juga langsung memeriksa jika ada keluhan-keluhan
atau gejala-gejala yang timbul yang dirasakan oleh masyarakat pada saat petugas sedang
memberikan penyuluhan. Petugas juga turun ke sekolah-sekolah untuk melakukan penyuluhan
serta memeriksakan para siswa. Seperti dalam kutipan berikut ini:
kalo yang masih dalam masa pengobatan, biasanya diberi penyuluhan
setiap kali penderita datang berobat, selain kepada penderita, torang juga
kase penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat sekitar pada saat turun
posyandu. Selain itu, ada juga nama kegiatan survey atau pemeriksaan di SD
pemeriksaan di anak-anak sekolah, atau pemeriksaan dini, kita lakukan
penyuluhan ini pas tahun ajaran baru, trus kalo untuk anak SMP dan SMA
hanya ada penyuluhan saja
(Dli, 29 thn)
PEMBAHASAN
Pengetahuan
Menurut Ngatimin dalam Detek (2010), perubahan pengetahuan sendiri memerlukan
beberapa tingkatan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks yaitu pengetahuan dasar,
pengetahuan menyeluruh, penerapan, kemampuan analisis, kemampuan menguraikan dan
kemampuan evaluasi (Detek, 2010)

28

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Pengetahuan informan tentang penyebab, gejala-gejala, penularan, bahaya, pencegahan
serta cara pengobatan kusta sangat bervariasi sesuai dengan faktor pengalaman dan kepercayaan
masing-masing informan. Seperti ada yang mengatakan bahwa kusta adalah penyakit kutukan,
guna-guna, keturunan, penyakit yang menular, serta penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan.
Pengetahuan informan baik penderita maupun keluarga, pada awalnya masih sangat
awam dengan kusta dan menganggap bahwa kusta adalah penyakit kutukan, keturunan, guna-guna
dan karena dosa dan kesalahan yang dilakukan orang-orang tua mereka pada masa lalu sehingga
mendapat balasannya
Sedangkan pengetahuan informan yang bukan penderita, dari hasil wawancara di
lapangan menunjukkan dua dari tiga informan masih menganggap kusta adalah penyakit kutukan,
guna-guna, dan penyakit keturunan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan informan
tentang penyakit kusta dan juga pengalaman informan di masa lalu.
Menurut Alexander, dalam Susanto dkk. (2009), Pentingnya masyarakat tahu dan
mengenal tentang seluk-beluk kusta agar mereka tidak salah mengartikan penyakit kusta dan pada
akhirnya tidak terjadi hal-hal seperti diskriminasi, mengucilkan dan mengasingkan penderita kusta.
Pemahaman yang benar, konstruktif, dan logis mampu mengubah pandangan masyarakat yang
salah tentang kusta. Perubahan akan mendorong masyarakat memiliki tingkah laku yang benar dan
pola pikir yang rasional (Susanto dkk, 2009).
Dari hasil wawancara dengan informan (penderita dan keluarga), sebagian besar/tujuh
dari sepuluh informan menceritakan penyebab kusta. sesuai dengan apa yang mereka ketahui dan
alami, informan menuturkan bahwa penyebabnya karena bakteri, virus, dan kuman, informan juga
menambahkan lingkungan yang kotor, dan karena jarang mandi juga ikut mempengaruhi
terjadinya penyakit kusta, sedangkan tiga informan lainnya tidak mengetahui penyebab dari
penyakit kusta.
Sedangkan pengetahuan informan mengenai gejala dan tanda-tanda penyakit kusta,
dikemukakan oleh informan berdasarkan pengalaman yang dilihat dan dirasakan sendiri oleh
informan. Menurut informan gejala penyakit ini adalah timbulnya bercak-bercak putih di kulit
seperti panu, kulit tidak terasa atau mati rasa pada kulit, dan timbul bintik-bintik merah.
Berat ringannya suatu gejala penyakit yang dialami penderita sangat menentukan
perilaku mereka mencari pertolongan pengobatan. Apabila gejala yang dialami dianggap ringan
maka mereka membiarkan dengan gejala akan hilang berangsur-angsur, tetapi apabila gejala yang
dialami dianggap suatu ancaman, maka pertolongan petugas kesehatan dilihat sebagai suatu cara
mengurangi ancaman tersebut (Pattilouw, 2009)
Pengetahuan informan yang bukan penderita tentang penyebab dan gejala-gejala kusta
berdasarkan hasil wawancara, jawaban mereka bervariasi, ada yang menjawab bahwa penyebab
dari kusta adalah karena bakteri, karena kutukan dan adapula yang tidak tahu penyebabnya. Dan
mengenai gejala-gejalanya jawaban yang didapat masih dalam tahap menduga-duga. Menurut
informan gejalanya yaitu adanya bercak-bercak putih dikulit, bintik-bintik merah, dan ada luka di
tangan-dan kaki penderita.
Mengenai cara penularan, penderita menceritakan awalnya mereka terkena penyakit
kusta karena sering bergaul dengan teman yang ternyata adalah seorang penderita kusta, namun
tidak menyadari kalau diri mereka adalah seorang penderita atau bahkan sudah tahu tapi tidak mau
berobat, sehingga menularkannya pada orang lain.
Pengetahuan informan mengenai cara penularan penyakit kusta seperti yang di
kemukakan diatas berpengaruh langsung terhadap proses pengobatan penderita. Informan juga
menuturkan tentang bahaya kusta, menurut informan penyakit kusta ini sangatlah berbahaya
karena menular dan jika tidak segera berobat maka dapat menyebabkan kecacatan sehingga
penderitanya tidak dapat menjalankan kehidupannya sebagaimana mestinya.
Sedangkan pengetahuan informan yang bukan penderita tantang penularan kusta,
informan menuturkan bahwa penularannya terjadi dari kontak langsung dengan penderita,

29

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
memakai bekas peralatan makan penderita, serta melakukan aktifitas bersama-sama dengan si
penderita.
Berdasarkan teori Bloom, setiap orang memiliki perilaku dan cara pandang yang
berbeda terhadap suatu kejadian penyakit sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahamannya,
kemudian mengambil sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2005)
Soewono dalam Susanto dkk. (2009), mengatakan banyak anggapan yang salah tentang
penyakit kusta beredar di tengah-tengah masyarakat dan diyakini kebenarannya oleh sebagian
besar anggota masyarakat. Sebagai contoh, kusta selalu identik dengan kecacatan fisik secara
permanen pada penderitanya. Akibatnya, seseorang yang telah sembuh dari penyakit kusta, namun
mengalami cacat, tetap dianggap sebagai penderita kusta yang berbahaya oleh masyarakat
(Susanto dkk, 2009)
Cara pencegahan kusta berpengaruh langsung terhadap praktek pengobatannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan penderita dan keluarga, mereka mengungkapkan bahwa
untuk mencegah agar tidak tertular penyakit kusta maka jangan kontak terlalu dekat dengan
penderita yang belum berobat, pergi ke puskesmas memeriksakan diri dan minum obat daya tahan
tubuh agar tidak mudah tertular penyakit.
Sedangkan bagi informan yang bukan penderita, mereka menuturkan bahwa, cara
pencegahannya yaitu jangan bergaul dengan penderita, minum obat untuk meningkatkan daya
tahan tubuh agar tidak mudah terjangkit penyakit.
Pengetahuan informan yang minim tentang cara pencegahan mengakibatkan mereka
salah paham sehingga sulit menerima penderita kusta untuk berada di tengah-tengah mereka.
Padahal jika penderita yang telah melakukan pengobatan tidak akan menularkannya lagi kepada
orang lain.
Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan penderita didapatkan bahwa ketika
penderita mengalami suatu gejala penyakit seperti penyakit kusta maka yang pertama kali mereka
lakukan adalah pergi berobat ke dukun/pengobatan tradisional, namun dari waktu ke waktu tidak
ada perubahan yang menunjukan penderita akan sembuh, hingga akhirnya penderita beralih ke
petugas kesehatan/dokter, mereka mau pergi ke dokter atau ke petugas kesehatan bilamana
penyakit/sakit mereka bertambah parah dan tidak menunjukan tanda-tanda kesembuhan.
Tujuan dari pengobatan yaitu membebaskana penderita kusta dari penyakit kusta dan
kecacatan serta merupakan upaya dalam memutuskan rantai penularan kepada orang lain.
Menurut Soewono dalam Susanto dkk (2009), semakin menunda pengobatan, semakin
besar pula kemungkinan timbulnya cacat fisik. Jika mendapatkan pengobatan sebelum adanya
cacat, dapat dipastikan akan sembuh sempurna dan tidak seorang pun akan mengetahui kalau dulu
pernah mengidap penyakit kusta (Susanto dkk, 2009)
Untuk masalah pengobatan ini ketika ditanyakan kepada informan yang bukan
penderita, mereka menuturkan, cara pengobatan kusta adalah pergi ke dokter atau puskesmas, dan
ada juga yang tidak tahu ketika ditanya karena ia menganggap penyakit tersebut adalah penyakit
kutukan sehingga sulit mencari pengobatan.
Sikap
Dari hasil wawancara dengan penderita, rata-rata mereka merasa minder dan tidak
percaya diri ketika harus bergaul dengan masyarakat luas. Penderita juga cenderung mengurung
diri dan menghindar dari masyarakat.
Dalam hal sikap keluarga terhadap penderita, tiga dari lima informan mengutarakan
bahwa sikap mereka terhadap penderita baik-baik saja, tidak menjauhi atau bahkan mengasingkan
si penderita. Karena menurut mereka hal-hal semacam itu tidak perlu dilakukan sebab hanya akan
menambah kesulitan dan beban pikiran bagi penderita sehingga sakit penderita akan bertambah
parah, namun ada dua informan lainnya yang memang masih merasa takut tertular, sehingga
bersikap membeda-bedakan penderita dengan anggota keluarga yang lain.
Menurut Yusep dalam Samna (2010), dukungan keluarga adalah support system terdekat
24 jam bersama-sama dengan klien keluarga yang mendukung klien secara konsisten akan

30

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
membuat klien mandiri dan patuh mengikuti program pengobatan, salah satu petugas keperawatan
perlu memberikan pengetahuan, informasi kepada keluarga. Sedangkan sikap informan yang
bukan penderita, dari hasil penelitian dilapangan menunjukkan mereka masih enggan bergaul
dengan penderita kusta karena takut tertular.
Menurut Soewono dalam Susanto dkk. (2009), masyarakat memahami bahwa para
penyandang kusta identik dengan golongan masyarakat miskin dan sebagian besar cacat fisik
permanen. Kebanyakan anggota masyarakat masih mengalami ketakutan berinteraksi dengan
penderita. Itulah sebabnya, penderita mengalami kesulitan ketika ingin bekerja secara mandiri,
misalnya, membuka usaha sendiri atau bekerja sebagai tenaga kerja normal (Detek, 2010)
Soewono juga menuturkan, akibat pandangan negatif masyarakat terhadap penyandang
kusta, terdapat kecenderungan ketika seseorang baru terserang penyakit kusta akan berusaha
menyembunyikan fakta penyakitnya. Dampaknya, mereka menularkan penyakitnya kepada
masyarakat sekelilingnya. Mereka berobat ketika fakta penyakitnya tidak dapat disembunyikan lagi
dan sudah menimbulkan cacat fisik permanen sehingga menyulitkan aktivitas mereka sepanjang
hidup.
Tindakan
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (penderita), dapat dilihat bahwa informan
mempunyai kesadaran penuh untuk berobat dan keinginan yang kuat untuk sembuh. Informan juga
menuturkan dukungan dari keluarga juga sangat menentukan keinginan untuk pergi berobat.
Keluargalah yang selalu memotivasi informan untuk tetap menjalani pengobatan hingga sembuh.
Dari hasil wawancara dengan keluarga, informan menuturkan bahwa mereka mendukung
sepenuhnya pengobatan penderita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Samna di
Makassar (2010) penderita kusta yang mempunyai dukungan keluarga yang baik akan mempunyai
motivasi hidup yang lebih baik di bandingkan yang kurang memiliki dukungan keluarga.
Dari hasil wawancara dengan informan yang bukan pederita menunjukkan bahwa
informan masih menjaga jarak, menghindar serta tidak mau bergaul dengan penderita, tapi tidak
menampakkannya secara langsung untuk menjaga perasaan penderita.
Dari hasil penelitian Zulkifli (2003), masyarakat masih takut dengan kusta karena
disebabkan oleh adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini
timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat
menakutkan (Zulkifli, 2003)
Dari hasil wawancara dengan petugas kesehatan yang menangani program kusta
menunjukkan bahwa informan telah melakukan upaya-upaya dalam menanggulangi penderita
kusta, terutama dalam hal pengobatan, setiap penderita yang datang berobat di puskesmas
informan selalu memberikan peyuluhan-penyuluhan kepada penderita dan keluarganya, informan
juga mengutarakan bahwa penderita yang pertama kali datang berobat ke puskesmas mempunyai
pengetahuan yang sangat minim terhadap kusta, mereka juga masih menganggap kusta adalah
penyakit kutukan, guna-guna, dan keturunan tapi setelah diberi pengertian, akhirnya mereka tahu
tentang kusta.
Pelbagai studi sosial terhadap kesehatan melaporkan bahwa kebanyakan penyakit yang
diderita individu maupun penyakit masyarakat pada umumnya bersumber dari ketidaktahuan
dan kesalahpahaman atas pelbagai informasi kesehatan yang mereka akses. Oleh karena itu, kita
perlu memperhatikan arus informasi kesehatan yang dikirimkan dan diterima oleh individu dan
masayarakat (Liliweri, 2009).
SIMPULAN
Pengetahuan informan terhadap penyakit kusta didasarkan atas gejala yang dirasakan
dan yang dilihat secara fisik, yaitu gejalanya menurut informan adanya bercak-bercak putih,
informan juga masih percaya bahwa penyakit kusta adalah penyakit keturunan dan kutukan.
Penyebab kusta yakni bakteri, karena lingkungan yang kotor dan karena kutukan. Penularan kusta
melalui kontak dengan penderita. Upaya pengobatan yang dilakukan yaitu dengan pergi ke dukun
dan puskesmas. Kemudian untuk sikap, bagi penderita sendiri masih merasa minder ketika harus

31

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
bergaul dengan masyarakat, sedangkan bagi sebagian keluarga dan masyarakat yang bukan
penderita, mereka masih merasa takut jika harus berinteraksi dengan penderita. Tindakan penderita
dalam melakukan upaya pengobatan yaitu dengan berobat ke dukun dan ke puskesmas, disamping
itu dukungan dari keluarga juga sangat menentukan keinginan untuk pergi berobat, sedangkan
tindakan masyarakat yang bukan penderita, mereka mau bergaul dengan penderita, tapi tetap
menjaga jarak karena takut tertular.
SARAN
Gerakan penyuluhan efektif Dengan melibatkan petugas kesehatan, penderita,
keluarga, serta tokoh masyarakat sehingga diharapkan mampu mengoreksi persepsi-persepsi yang
keliru tentang penyakit kusta, dan pengenalan gejala dini gangguan saraf akibat penyakit kusta
secara meluas untuk mencegah kecacatan akibat penyakit kusta.
Agar para penyandang penyakit kusta dapat diterima kembali kedalam pergaulan di
tengah-tengah masyarakat, mereka yang mengalami cacat fisik akibat penyakit ini harus diberikan
pelatihan guna mengatasi berbagai kendala, terutama kendala psikologis yang mereka hadapi
sehingga dapat melakukan berbagai aktivitas secara lebih baik dan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Susanto.
2009.
Penderita
kusta
di
Indonesia
meningkat
tajam,
http://www.eng.suaramedia.com/.../4834-penderita-kusta-di-indonesia-meningkat-tajam.
(diakses 27 Januari 2010).
2. Soewono.
2009.
Penderita
kusta
di
Indonesia
terus
bertambah.
http://www.antaranews.com/penderita-kusta-di-indonesia-terus-bertambah.
(diakses
27
Januari, 2010).
3. Anonim. 2009b. Apakah penyakit kusta itu?, http://dimaswibie.wordpress.com/.../apakahpenyakit-kusta-itu (diakses 30 Januari 2010).
4. Dinkes, Malut. 2009. Situasi kusta dan penemuan penderita baru propinsi Maluku utara.
5. Susanto, dkk. 2009. Lepra, siapa takut?. Jakarta: YTLI.
6. Arizal, S Imam. 2010. Empati penderita kusta. http://www.surya.co.id/2010/01/25/empatipenderita-kusta.html. (diakses 27 Januari 2010).
7. Detek, Samna. 2010. faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan berobat
penderita kusta rawat inap di Rumah Sakit Dr. Tadjudin Chalid tahun 2010, skripsi sarjana
tak diterbitkan, FKM Unhas Makassar.
8. Pattilouw, Jaty. 2009. perilaku penderita TB paru terhadap kegagalan pengobatan melalui
strategi DOTS di wilayah kerja puskesmas perawatan Mako kecamatan Waeapo Kabupaten
Buru Propinsi Maluku tahun 2009, skripsi sarjana tak diterbitkan, FKM Unhas Makassar.
9. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi kesehatan teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
10. Zulkifli.
2003.
Penyakit
kusta
dan
masalah
yang
ditimbulkannya.
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf. (diakses 30 Januari, 2010).
11. Liliweri, Alo. 2009. Cetakan ke3. Dasar-dasar komunikasi kesehatan. Yogyakarta: pustaka
pelajar.

32

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

PERILAKU WARIA DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV DAN AIDS DI


KABUPATEN BULUKUMBA
Eka Sari Ridwan1, Rusli Ngatimin2, Shanti Riskiyani3
Pascasarjana Konsentrasi Promosi Kesehatan Universitas Hasanuddin
(Penerima Beasiswa Bakrie Care Foundation/BCF)
2
Bagian Promosi Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
3
Bagian Promosi Kesehatan , Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
1

ABSTRAK
Waria merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS.
Berdasarkan data kasus HIV dan AIDS di Bulukumba, hingga tahun 2012 terdapat 89 kasus HIV
dan AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku waria dalam
upaya pencegahan HIV dan AIDS. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan
melalui teknik wawancara mendalam. Informan berjumlah 9 orang yang terdiri dari 6 waria, 1
ketua KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), 1 bocah, dan 1 petugas kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman waria terhadap HIV dan AIDS adalah penyakit
menular yang diakibatkan oleh seks bebas, jarum suntik bergantian, dan disebut sebagai penyakit
malam. Waria memahami HIV dan AIDS sebagai penyakit yang ditularkan melalui seks,
persamaan golongan darah, nafas, serta cairan dalam tubuh. Perilaku pencegahan dilakukan
adalah tidak bergaul dengan ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) serta menggunakan tisu
basah. Waria telah menyadari pentingnya menggunakan kondom, namun dalam penggunaannya
dipengaruhi oleh status pasangan, penampilan fisik pasangan, persamaan golongan darah, dan
pasangan yang kadang merasa tidak nyaman. Dari hasil penelitian ini, disarankan agar informasi
melalui penyuluhan tentang HIV dan AIDS lebih ditekankan pada penularan dan resiko tindakan
ganti-ganti pasangan terhadap HIV dan AIDS.
Kata Kunci : Perilaku,Waria, Pencegahan, HIV and AIDS
ABSTRACT
Waria is one of the groups at high risk of HIV infection HIV and AIDS. Based on the cases
of HIV and AIDS in Bulukumba, in 2012 there are 89 cases of HIV and AIDS. This study aimed to
obtain information about the behavior of Waria in preventing HIV and AIDS. This study is a
qualitative research conducted through in-depth interview techniques. Informants totaled 9 people
consisting of 6 transvestites, 1 head of KDS (Peer Support Group), one Bocah, and one health
worker.
The results showed an understanding Waria to HIV and AIDS is an infectious disease
caused by sex, sharing needles, and called Penyakit Malam. Waria understanding of HIV and
AIDS as a disease that is transmitted through sex, blood type equations, breath, and fluid in the
body. Prevention behaviors do is not hang out with PLWHA (People Living with HIV and AIDS)
and using wet wipes. Waria has realized the importance of using condoms, but its used by family
status, physical appearance spouse, blood type equations, and couples who sometimes feel
uncomfortable. From these results, it is suggested that information through counseling about HIV
and AIDS transmission and greater emphasis on risk measures change sexual partners against
HIV and AIDS.

33

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Keywords: Behavior,Waria, Prevention, HIV and AIDS

PENDAHULUAN

alah satu aspek kesehatan pada akhir abad ke-20 yang merupakan bencana bagi manusia
adalah munculnya penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang dapat menyebabkan AIDS (Aquarired Immunodeficiensy
Syndrome). Saat ini WHO mengistemasikan telah terdapat 34,2 juta kasus positif HIV
(UNAIDS, 2012). Indonesia sendiri juga menjadi salah satu perhatian utama penanggulangan
HIVdan AIDS sebab merupakan negara Asia dengan epidemi HIVdan AIDS yang berkembang
paling cepat (UNAIDS, 2012). Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012,
menunjukkan tahun 2012 terdapat 86.762 kasus HIV dengan faktor risiko penularan utama
melalui transmisi hubungan seks heteroseksual sebanyak 81,92% (Vivalife, 2013).
Diantara 34 propinsi lainnya di Indonesia, propinsi Sulawesi Selatan termasuk 4 besar wilayah
tertinggi di Indonesia untuk kasus AIDS yakni sebanyak 56 kasus (periode januari-maret 2012)
dan berada diperingkat 7 nasional dengan jumlah penderita HIV mencapai 5.658 orang (Ditjen PP
& PL Kemenkes RI, 2012). Dari 23 kabupaten/kota di Sul-sel, Kabupaten Bulukumba memiliki
jumlah penderita HIV dan AIDS sebanyak 69 kasus di tahun 2010 dan merupakan tertinggi ketiga
setelah Makassar dan Pare-pare. Di tahun 2012 meningkat menjadi 89 kasus (KPAD, 2010).
Kab.Bulukumba termasuk dalam 21 daerah provinsi yang telah mengeluarkan perda AIDS
yang dituangkan dalam perda No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang
didalamnya mengatur penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi pada masyarakat tentang
HIV dan AIDS, serta melaksanakan pemeriksaan tes HIV dan AIDS terhadap kelompok rawan dan
berisiko tinggi, termasuk didalamnya PSK dan Waria (Harahap, 2010).
Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan
HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria
memberikan kontribusi penularan HIV dan AIDS yang signifikan. Penularan HIV melalui seks
anal dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal. Menurut Yayasan Riset
AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular
penyakit HIV dibanding masyarakat umum(Rabudiarti, 2007).
Menurut Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait prevalensi HIV di Tiga Kota di
Indonesia tahun 2007, Di Jakarta tercatat 34% waria positif HIV, disusul Surabaya dengan 25%,
dan Bandung 14%. Hasil Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kota Pontianak tahun 2007
dari 10 waria ditemukan 5 waria terinfeksi HIV (Rabudiarti, 2007). Penelitian sebelumnya yang
dilakukan di kota Abepura Papua dan Sorong diperoleh hasil dari 15 waria yang jadi informan,
hanya 3 Waria di Abe dan 2 waria disorong yang memakai kondom ketika berhubungan
seks.Begitupun dengan Data STBP 2007 menunjukkan pemakaian kondom pada waria saat
berhubungan seks tidak mencapai 50% dengan hasil di Jakarta hanya 13% dan Bandung 48%.
Salah satu hal yang mendasari adalah kenyamanan dan kepuasan mereka berhubungan seks
terganggu jika menggunakan kondom (Djoht, 2003).
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa waria merupakan kelompok yang berisiko terhadap
peningkatan jumlah kasus HIVdan AIDS, khusus untuk wilayah Kabupaten Bulukumba akan
sangat berpotensi mengalami peningkatan kasus HIVdan AIDS karena jumlah waria yang relatif
banyak diperkirakan mencapai 300 waria.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian

34

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara
mendalam (indept interview), untuk mengetahui perilaku waria dalam upaya pencegahan HIVdan
AIDS di Kabupaten Bulukumba.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan kurang lebih tiga bulan(November 2011 Januari 2012) di
Kabupaten Bulukumba. Pemilihan Kabupaten Bulukumba sebagai tempat penelitian karena
memilki kasus HIV dan AIDS tertinggi ke-3 di Sulawesi Selatan dan memiliki perda AIDS yang
mengatur upaya preventif pada kelompok berisiko termasuk waria.
Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini berjumlah 9, dengan jumlah waria sebanyak 7 orang, termasuk
waria yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), 1 orang bocah,
serta 1 orang petugas kesehatan.
Pengumpulan Data
Pengumpulan Data dilakukan melalui wawancara mendalam pada informan. Informan
diperoleh dengan dibantu oleh ketua KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) yang juga merupakan
waria. Data yang dikumpulkan meliputi pemahaman waria terhadap HIV dan AIDS, akses mereka
terhadap informasi serta perilaku pencegahan HIV dan AIDS yang mereka lakukan. Pemilihan
Informan yang mewakili pasangan waria hanya berasal dari bocah. Pemilihan bocah dikarenakan
beberapa responden mengaku jika tindakan ganti-ganti pasangan itu dilakukan dengan remaja lakilaki yang memiliki usia lebih muda.
Informan lain dalam penelitian ini adalah seorang Petugas kesehatan yang dianggap penting
untuk memberikan informasi terkait dengan penyalahgunaan obat yang sering dilakukan oleh
waria dan pasangan sebagai obat kuat dan penambah gairah seksual.
Keabsahan Data
Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah
diperoleh melalui Triangulasi sumber yaitu dengan membandingkan informasi informan (cross
check) antara informasi yang satu dengan yang lainnya. Dalam melihat akurasi informasi yang
diperoleh pada penelitian ini, sumber tidak hanya berasal dari waria, tapi juga mereka yang
bertindak sebagai bocah serta pemilihan petugas kesehatan terkait dengan penyalahgunaan obat.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan mengikuti petunjuk Miles dan Huberman (dikutip dalam
Sugiyono, 2010), mengemukakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, dan
berlangsung terus-menerus sampai tuntas. Aktifitas dalam analisis data yaitu reduksi data,
penyajian data, dan menetapkan kesimpulan/verifikasi data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemahaman waria terhadap HIV dan AIDS
Pengertian HIV dan AIDS
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pada dasarnya waria memberikan
defenisi tentang HIVdan AIDS berdasarkan kepercayaan, pengetahuan dan pengalaman yang
mereka miliki. Beberapa waria mendefenisikan HIV dan AIDS sebagai penyakit menular yang
disebabkan oleh seks bebas dan penyakit yang menyerupai sipilis. Pengalaman pribadi juga
menjadi salah satu cara memperoleh pengetahuan (Notoatmojo, 2003), seperti yang diungkapkan
oleh seorang Informan (Tulip) yang memiliki riwayat suntik silikon. Pengalaman sebelumnya
sebagai waria yang pernah melakukan suntik silikon dan dekat dengan alat tersebut, maka
memahami HIV dan AIDS sebagai akibat dari perilaku penggunaan jarum suntik silikon
bergantian. Menurutnya menggunakan jarum suntik bekas orang lain akan menyebabkan
munculnya penyakit seperti HIVdan AIDS.
Pemahaman lain juga diungkapkan oleh seorang informan yang mengetahui HIV dan
AIDS sebagai istilah dari penyakit malam, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh aktifitas malam
waria yang berisiko pada seks bebas yaitu Ngallang. Pemahaman informan ini karena dikelompok

35

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
mereka penyakit malam lebih mereka kenal sebagai penyakit HIV dan AIDS yang disebabkan
oleh tindakan ganti-ganti pasangan yang sering dilakukan pada malam hari. Menurut Bloom
(dikutip dalam Ngatimin, 2005) Pengetahuan adalah ketika seseorang mampu menjelaskan secara
garis besar, meskipun hanya sebatas sebagai istilah-istilah.
Tanda-tanda HIV dan AIDS
Tanda-tanda HIV dan AIDS diperoleh dari beberapa informan yang memahami jika HIV
dan AIDS pada dasarnya memiliki tanda yang sama pada penyakit kelamin seperti sipilis. Hal ini
dipahami karena HIV dan AIDS merupakan penyakit akibat hubungan seks sehingga berdampak
pada organ vital (kelamin). Sifilis adalah penyakit kelamin menular yang disebabkan oleh bakteri
spiroseta, penularan penyakit ini salah satunya melalui kontak seksual. Gejala dan tanda sifilis
banyak dan berlainan, sulit didiagnosa karena penyakit ini sering menyerupai penyakit lainnya.
Sifilis jelas berbeda dengan penyakit HIV dan AIDS meskipun memiliki rantai penularan yang
sama yaitu melalui hubungan seks. Namun Sifilis dapat mempertinggi risiko terinfeksi HIV dan
AIDS. Hal ini dikarenakan lebih mudahnya virus HIV dan AIDS masuk ke dalam tubuh seseorang
bila terdapat luka (Judarwanto, 2009).
Beberapa informan mengetahui HIV dan AIDS sebagai penyakit menular. Sehingga
Penularan HIV dan AIDS yang sangat mudah, juga diyakini sebagai tanda-tanda penyakit
tersebut. Selain itu, terdapat pula Informan yang mengetahui tanda-tanda HIV dan AIDS melalui
pengamatan lingkungan sekitarnya yaitu tetangganya yang diyakini positif HIV dan AIDSAIDS
dan memiliki tanda-tanda seperti bercak-bercak pada kulit disertai kulit terkelupas. Hal ini sesuai
dengan teori Ann.Mariner (dikutip dalam Notoatmojo, 2003) lingkungan adalah seluruh kondisi
yang ada disekitar manusia dan merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
pengetahuan. Pengamatan Tulip terhadap lingkungan sekitarnya yang memperoleh informasi jika
salah satu tetangganya terkena HIV dan AIDS, mengantarkan Tulip memahami tanda-tanda HIV
dan AIDS seperti yang terjadi pada tetanganya.
Penularan HIV dan AIDS
Berdasarkan penelitian diatas, pemahaman informan terhadap penularan HIV dan AIDS
pada umumnya telah mengetahui jika penularan dapat terjadi melalui cairan dalam tubuh seperti
darah dan Air mani, namun berdasarkan pemahaman tersebut mereka juga menggap jika semua
yang berasal dari cairan dalam tubuh termasuk ludah dan keringat dapat menularkan HIV dan
AIDS. Sehingga mereka yang terinfeksi HIV dan AIDS tidak boleh bersentuhan kulit dengan
mereka yang negatif HIV dan AIDS. Bahkan diyakini juga jika HIV dan AIDS dapat menular
melalui udara (nafas saat berbicara).
Pemahaman mengenai penularan HIV dan AIDS melalui jarum suntik juga diungkapkan
oleh informan. Penggunaan jarum suntik bergantian khususnya pada pembuatan tato diyakini
merupakan salah satu media penularan HIV dan AIDS. Terdapat juga informan yang
mengungkapkan jika penularan HIV dan AIDS hanya akan terjadi melalui kecocokan/persamaan
golongan darah, sehingga penularan penyakit ini tidak akan terjadi pada mereka yang memiliki
golongan darah yang berbeda, meskipun melakukan hubungan seks.
Pencegahan HIV dan AIDS
Adanya pemahaman terhadap penularan HIV dan AIDS mempengaruhi upaya
pencegahan yang dilakukan oleh informan dengan tidak menggunakan kondom saat berhubungan
seks meskipun pasangannya diketahui positif HIV/AIDS, namun jika tidak memiliki kecocokan
darah maka tidak akan terjadi penularan. Hal ini juga diungkapkan dalam teori Lawrence Green
(dikutip dalam Walgito, 2005) pengetahuan menjadi faktor predisposisi artinya faktor yang
mempermudah atau yang mempresdisposisi terjadinya perilaku seseorang.
Upaya pencegahan lain yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dengan menghindari,
tidak bergaul dengan mereka yang diketahui terinfeksi HIV dan AIDS, dan perilaku seperti
menutup mulut saat berbicara dan duduk berjauhan dengan ODHA perlu dilakukan. Hal ini
dilakukan untuk menghindari penularan HIV dan AIDS yang diyakini menular melalui nafas saat

36

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
berbicara. Tidak hanya itu, mereka juga memahami HIV dan AIDS sebagai penyakit yang dapat
menular melalui keringat sehingga bersentuhan kulit dengan ODHA juga perlu dihindari.
Terdapat juga informan yang merupakan mahasiswa kesehatan di perguruan tinggi swasta
Bulukumba, yang menyadari jika penggunaan kondom sebagai alat pencegah HIV dan AIDS perlu
dilakukan. Selain kondom, penggunaan tisu basah juga diyakini sebagai alat pencegah yang juga
memiliki fungsi yang sama dengan kondom sekaligus pembersih sebelum melakukan hubungan
seks sehingga tidak terjadi penularan penyakit. Keberadaan tisu basah sebagai antiseptic tidak
dapat dipungkiri sebab beberapa produk tisu basah menawarkan manfaat tersebut, namun dalam
hal pencegahan HIV dan AIDS saat berhubungan seks tisu basah tidak dapat dijadikan sebagai alat
pencegah yang memiliki fungsi yang sama dengan kondom.
Waria secara langsung menyadari bahwa mereka sangat beresiko tertular HIV dan AIDS
karena kebiasaan hubungan seksual mereka yang secara bebas dan tidak memperhatikan alat
pengamannya (kondom). Adanya pemahaman jika waria merupakan kelompok yang memiliki
kebutuhan seks yang lebih besar (haus seks) dibanding kelompok lainnya menjadikan tindakan
ganti-ganti pasangan untuk memenuhi kebutuhan seks mereka dianggap sebagai hal yang biasa
dan sudah merupakan kebutuhan yang alamiah bagi mereka. Hal ini didukung dari hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Rabudiarti (2007) bahwa kehidupan seks kaum waria memiliki dampak
penyebaran HIV dan AIDS cukup tinggi karena relasi seks yang mereka lakukan umumnya
mengandung resiko cukup tinggi karena sering berganti-ganti pasangan.
Namun demikian, walaupun waria menyadari jika kelompok waria beresiko tertular HIV
dan AIDS, tapi umunya waria tetap melakukan hubungan seksual beresiko. Hal ini disebabkan
karena dorongan atau keinginan seksual mereka yang cukup tinggi dan diakui lebih besar
dibanding kelompok lainnya.
Peningkatan pengetahuan tentang penyakit HIV dan AIDS
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku waria dalam mencegah penularan HIV dan AIDS baik di
kalangan waria atau pun di masyarakat. Hal ini didukung oleh pendapat Herek (dikutip dalam
Risnawati, 2010) bahwa pengetahuan dapat meningkatkan perubahan perilaku beresiko tinggi HIV
dan AIDS dan juga dapat meminimalkan transmisi HIV dan AIDS itu sendiri.
Penggunaan alat pencegah
Penggunaan kondom
Menurut Rogers (dikutip dalam Notoatmojo 2003), menyimpulkan bahwa pengadopsian
perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, dan kesadaran yang positif melalui
kesadaran akan manfaat terhadap objek dalam hal ini manfaat penggunaan kondom. Pada umunya
waria mengetahui jika kondom merupakan alat pencegah HIV dan AIDS, dan sadar pentingnya
kondom mereka gunakan saat berhubungan seks. Namun berbagai faktor kadang menjadi kendala
bagi waria untuk menggunakannya seperti tidak adanya kondom, kondom yang mudah rusak, serta
penolakan penggunaan kondom yang kadang datang dari pasangan dengan alasan merasa tidak
nyaman, terutama pada pasangan tetap (suami) waria, sehingga hal tersebut membuat waria tidak
menggunakan kondom.
Kendala dalam penggunaan kondom bagi informan salah satunya adalah kerusakan
kondom yang sering terjadi seperti robek. Berdasarkan STBP kelompok berisiko 2007, diperoleh
hasil jika Waria melaporkan kejadian kerusakan kondom berkisar antara 11% - 18% dalam tiga
bulan terakhir, yang menunjukkan bahwa walaupun Waria cenderung menyadari adanya manfaat
dari kondom, mereka tidak selalu tahu bagaimana cara menggunakannya dengan benar. Olehnya
itu penyuluhan sebaiknya tidak hanya memberikan materi pentingnya penggunaan kondom, tetapi
juga pada penyuluhan pemakaian kondom yang benar sehingga kerusakan saat menggunakan
kondom tidak lagi terjadi.
Selain masalah seringnya kondom rusak, hal lain yang juga berpengaruh pada
penggunaan kondom adalah bentuk hubungan seks yang dilakukan. Nugraha (2006)
mengemukakan jika homoseksual (termasuk waria) mengalami intensitas perasaan yang sama dan
kebutuhan yang sama untuk mengekspresikan afeksi dan intim dengan manusia lain seperti yang
dilakukan oleh kaum heteroseksual. Homoseksual (termasuk waria) melakukan percintaan hampir

37

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
sama dengan heteroseksual yaitu lewat sentuhan, memeluk sambil mencumbu dan melakukan
anal serta oral sex. Bentuk hubungan seks ini juga berpengaruh pada penggunaan kondom yang
dilakukan dikalangan waria dan pasangan. Hubungan seks yang dilakukan dengan oral dianggap
tidak berisiko terhadap HIV dan AIDS sehingga tidak dibutuhkan penggunaan kondom.
Seks oral adalah suatu variasi seks dengan memberikan stimulasi melalui mulut dan lidah
pada organ seks / kelamin pasangannya. Aktifitas seks oral memiliki resiko terkena penyakit
menular termasuk HIV/AIDS, meskipun risiko ini lebih kecil dibandingkan dengan anal atau
vaginal seks. Hal ini disebabkan karena mulut manusia rentan terhadap serangan bakteri dan virus
sehingga memudahkan terjangkitnya virus HIV/AIDS melalui organ ini. Jika saat itu ada luka
terbuka di mukosa mulut, meski kecil dan tidak terlihat, bisa menyebabkan risiko penularan
infeksi menular seksual karena luka terbuka ini adalah jalan masuk virus atau bakteri ke dalam
aliran pembuluh darah (Bakri, 2009).
Penggunaan kondom pada waria juga dipengaruhi oleh status pasangan, karena beberapa
waria selain memiliki pasangan tetap mereka juga memiliki pasangan tidak tetap yang memiliki
beberapa istilah seperti bocah, pete-pete, nasi bungkus. Beberapa waria mengungkapkan jika
mereka tidak menggunakan kondom pada pasangan tetapnya, namun pada pasangan tidak tetap
kadang mereka menggunakan kadang juga tidak. Penilaian penggunnaan kondom ini dipengaruhi
oleh keadaan fisik lekong, jika waria merasa pasangan bersih maka kondom tidak perlu digunakan.
Hal yang berbeda diungkapkan oleh bocah, jika kendala dalam penggunaan kondom karena
sulitnya memperoleh kondom, apalagi jika harus membeli di Apotek karena adanya rasa malu.
Hal ini disebabkan adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap kondom.
Hasil penelitian diatas didukung dari hasil surveilans waria yang dilakukan oleh STBP
(2007) pada lima kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Malang, menunjukkan
bahwa rata-rata 80% waria telah mengetahui bahwa kondom melindungi terhadap infeksi menular
seksual (IMS) dan HIV dan AIDS. Namun penggunaan kondom selama hubungan seks hanya
berkisar rata-rata 30%. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa penggunaan kondom
dikalangan waria sangat rendah dalam hal pencegahan HIV dan AIDS di Kota Abepura dan Kota
Sorong yaitu masing-masing hanya 3,3% dan 7,5% (Djoht, 2003).
Beberapa Informan dalam penelitian ini juga mengungkapkan jika dalam hal penggunaan
kondom, maka yang menggunakan atau yang bertindak sebagai laki-laki adalah pasangan waria
sehingga mereka yang memakai alat pencegah tersebut.Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan
oleh Mandra (2008), dalam hubungan seks, waria tidak bisa bertindak sebagai laki-laki dan akan
bahagia jika diperlakukan sebagai wanita. Hal ini sejalan dengan penuturan informan dalam hal
penggunaan kondom, yang bertindak sebagai laki-laki adalah pasangan waria sehingga mereka
yang memakai alat pencegah tersebut.
Tindakan ganti-ganti pasangan
Terdapat hal menarik dalam penelitian ini, waria pada umumnya selain memiliki
pasangan tetap mereka juga memiliki pasangan tidak tetap. Pasangan tetap waria (laki-laki dan
mereka sebut lekong atau suami) yang secara pasti selama berpacaran akan saling memenuhi
hasrat seksual. Untuk pasangan tidak tetap pada umumnya mereka memilih dan lebih menyukai
anak-anak remaja yang memiliki usia yang lebih muda dibanding mereka. Waria memiliki banyak
istilah untuk pasangan tidak tetap seperti bocah, pete-pete, dan nasi bungkus yang
menggambarkan jika hubungan mereka hanya bersifat sementara, dimana bocah (heteroseksual)
diberi imbalan sesuai dengan permintaannya. Namun, terdapat pula waria yang hanya memiliki
satu pasangan seksual saja (setia pada pasangannya).
Hal tersebut di atas sangatlah jelas bahwa kondisi ini akan sangat mempengaruhi pada
tingkat kejadian HIV dan AIDS di Kabupaten Bulukumba. Karena dengan seringnya waria
berganti-ganti pasangan seksual bahkan memiliki pasangan heteroseksual yang secara jelas
heteroseksual akan pula melakukan hubungan seksual dengan kaum wanita sehingga penularan
dan kejadian penyakit HIV dan AIDS baik dikalangan wanita ataupun waria sangat beresiko

38

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
terjadi peningkatan. Hal ini juga diungkapkan KPAN (2009) bahwa berganti-ganti pasangan seks
dapat beresiko terhadap penularan dan peningkatan kejadian HIV dan AIDS.
Menurut Luc Montagnier, penemu HIV dan AIDS, cara-cara medis tidaklah cukup untuk
mencegah AIDS. Khususnya bagi kelompok berisiko seperti waria, perlu pendidikan mengenai
risiko berganti-ganti pasangan seksual. Centers for Disease Control (CDC), yang diterbitkan pada
20 Juli 2001 menyatakan dengan tegas strategi yang benar-benar efektif adalah memantangkan
hubungan seks dan melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak terinfeksi serta
saling setia satu sama lain. Atau dengan sederhana, berpantang dari hubungan seks berganti-ganti
pasangan (Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan, 2010) .
Adanya keterlibatan bocah laki-laki sebagai pasangan tidak tetap waria, menunjukkan
jika tidak hanya waria yang berisiko tetapi pasangan juga merupakan kelompok berisiko terhadap
HIV/AIDS. Bocah pada umumnya adalah usia anak sekolah yang memiliki usia 15-19 tahun dan
merupakan masa puberitas. Masa puberitas merupakan masa perkembangan fisik yang cepat
ketika reproduksi seksual pertama kali cepat terjadi. Di usia pubertas ini, tubuh seseorang mulai
memproduksi hormon-hormon seksual. Hormon-hormon tersebut, membuat tubuh menjadi dewasa
secara fisik dan juga menimbulkan daya tarik seksual. Daya tarik seksual ini, mendorong seorang
anak untuk melakukan perilaku seksual (Pangkahila, 2007).
Hal ini terjadi pula pada bocah. Namun, dalam perilaku seksual mereka termasuk
menyimpang karena berhubungan seks dengan laki-laki(waria). Menurut Nadia (dikutip dalam
Muthiah, 2007) Penyimpangan seksual ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor
biologik maupun faktor lingkungan. Dalam penelitian ini faktor lingkungan merupakan salah satu
faktor utama seperti keberadan mereka yang dekat dengan komunitas waria serta keinginan untuk
memenuhi kebutuhan mereka menjadi pemicu munculnya perilaku tersebut.
Akses terhadap informasi kesehatan
Menurut Lawrence Green (dikutip dalam Walgito, 2005) ketersediaan dan keterjangkauan
serta kemudahan akses pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor pemungkin yang dapat
berpengaruh langsung terjadinya suatu penyakit pada masyarakat. Selain itu pendidikan juga
merupakan faktor penentu pada perubahan perilaku seseorang. Pendidikan berarti bimbingan yang
diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang
kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.Pendidikan sendiri dapat dilakukan melalui
penyuluhan atau pemberian informasi pada masyarakat.
Waria di kab.Bulukumba termasuk sebagai waria yang terorganisir dalam suatu
perkumpulan ikatan waria yang diberi nama Wakerba (Waria kreatif Bulukumba) yang sering
dilibatkan serta dalam berbagai kegiatan termasuk dalam penyuluhan terkait masalah-masalah
kesehatan khususnya HIV dan AIDS.
Beberapa informan mengaku pernah mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh instansi
pemerintah. Namun ada juga yang mengaku tidak pernah mengikuti penyuluhan karena terkendala
dengan aktifitasnya yang padat sebagaiperias penantin. Sehingga hanya memperoleh informasi
HIV dan AIDS melalui teman dan orang disekitarnya. Menurut Ann.Mariner (dikutip dalam
jannah, 2009) lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya
yang dapat mempengaruhi perkembangan orang atau kelompok terhadap pemahaman dalam
perilaku kesehatan terkait dengan HIV dan AIDS . lingkungan sekitar seperti pergaulan dengan
teman-teman juga menjadi sumber informasi terhadap pengetahuan tersebut. Salah satu informan
menyebutkan jika penyuluhan tidak hanya diperoleh dari seminar yang sering dilakukan, namun
juga melalui kontes atau pemilihan miss waria. Pemilihan miss waria juga menjadi salah satu
media penyuluhan yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan waria terhadap HIV dan
AIDS. Dalam kompetisi tersebut waria tidak hanya harus tampil menarik namun juga memiliki
wawasan yang luas terhadap HIV dan AIDS, sebab hal tersebut menjadi salah satu kriteria
penjurian. Penekanan kelompok yang beresiko tinggi termasuk waria dalam upaya pencapaian

39

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
derajat kesehatan yang optimal dilakukan melalui pencegahan penyakit dan meningkatkan
kesehatan, dalam hal ini mengutamakan upaya peningkatan kesehatan secara preventif dan
promotif yang umumnya dalam bentuk penyuluhan kesehatan (Mahmud, 2010).
Peranan KDS dalam memberikan informasi terkait penyuluhan HIV dan AIDS dan
penjangkauan dengan pembagian kondom juga memiliki peranan dalam menyampaikan informasi
kesehatan pada waria. Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) adalah wadah untuk berkumpulnya
Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) dan Orang yang Hidup Dengan HIV dan AIDS (OHIDA)
untuk dapat saling bercerita, mendapatkan informasi kesehatan dan bersama - sama memecahkan
permasalahan yang dibutuhkan anggotanya supaya saling mendukung antar kesebayaan. KDS lahir
atas dasar kebutuhan untuk berkelompok dengan satu tujuan yang sama, sebab anggotanya
mempunyai permasalahan yang sama untuk mendapatkan kenyamanan didalam kelompok.
KDS merupakan salah satu bentuk dukungan sosial yang diberikan pada ODHA. Menurut
Emery dan Oltmanns (dalam Nurbani, 2005) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan
bantuan secara emosional dan langsung yang diberikan kepada seseorang. Dukungan ini bisa
berasal dari pihak manapun yang merupakan significant others bagi orang yang menghadapi
masalah atau situasi stres, seperti orang tua, pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan
komunitas organisasi.
KDS tidak hanya berfokus pada mereka (ODHA dan OHIDA) namun juga pada
kelompok berisiko seperti penasun dan waria. Menurut ketua KDS semua orang bisa bergabung di
kelompok tersebut, namun penyeleksian itu tetap ada untuk lebih melindungi anggotanya yang
memang ODHA, sebab kadang mereka yang ingin bergabung bermaksud lain yaitu untuk
mengetahui siapa saja yang terinfeksi HIV dan AIDS. Penjangkauan terhadap kelompok waria
dilakukan dengan memberikan sosialisasi dan pembagian kondom yang diharapkan dapat
terjadinya perubahan perilaku.
Salah satu kendala waria sulit mengikuti penyuluhan yang kadang diberikan adalah
jadwal penyuluhan yang sering dilakukan pada saat mereka sibuk beraktifitas di tempat kerja yaitu
pagi hari, sehingga mereka sulit untuk mengikutinya. Padahal diungkapkan oleh mereka jika
mereka membutuhkan sosialisasi terkait masalah HIV dan AIDS. Selain itu kendala lain adalah
karena jarangnya penyuluhan yang dilakukan dipedesaan, sehingga waria yang beraktifitas disana
sulit mengakses informasi tersebut.
Pada dasarnya Kabupaten Bulukumba merupakan salah satu kabupaten yang menerapkan
PERDA AIDS dimana salah satu bentuk pencegahan yang dituangkan dalam perda BAB III pasal
5 adalah melakukan pemeriksaan/tes darah HIV dan AIDS pada kelompok berisiko termasuk
waria dan pelayanan konseling yang dilakukan secara sukarela di klinik VCT RSUD pada pasal 6.
Pada pelaksanaan perda khususnya pencegahan HIV dan AIDS terdapat dua hal utama yang
dilakukan yaitu konseling dan tes darah.
Terkhusus pada tes darah HIV dan AIDS, beberapa waria mengaku jika telah melakukan
tes darah. Namun waria merasa jika tes darah hanya sebagai formalitas sebuah program yang
pengawasannya tidak ada, hal ini didasari karena tidak adanya konseling HIV dan AIDS yang
pada dasarnya merupakan langkah pencegahan yang juga perlu untuk dilakukan, karena tes HIV
dan AIDS hanya lebih menekankan pencegahan penularan pada mereka yang akhirnya diketahui
positif, sementara mereka yang negatif seharusnya diupayakan agar melakukan perubahan
perilaku dari yang berisiko menjadi tidak berisiko, terutama dalam tindakan ganti-ganti pasangan.
Oleh karena itu implementasi perda terkait pencegahan HIV dan AIDS tidak hanya menekankan
pada tes darah tetapi penting juga untuk memberikn layanan konseling yang memberikan
informasi baik penularan, pencegahan dan upaya yang harusnya dilakukan oleh kelompok berisiko
untuk mencegah HIV dan AIDS.
Kesimpulan
Waria memahami HIV dan AIDS sebagai penyakit yang ditularkan melalui seks bebas,
bergantian pasangan, persamaan golongan darah, nafas, serta cairan dalam tubuh seperti air mani
bahkan melalui ludah, dan keringat. Perilaku pencegahan dilakukan dengan menggunakan

40

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
kondom, tidak bergaul dengan mereka yang positif HIV dan AIDS serta menggunakan tisu basah
sebagai pengganti kondom. Waria memenuhi kebutuhan seks dengan melakukan tindakan gantiganti pasangan yang dilakukan pada bocah, pete-pete, dan nasi bungkus, dengan memberikan
imbalan kepada mereka
Terkait dengan adanya PERDA AIDS di kab. Bulukumba agar kiranya pelaksanannya
tidak hanya menjalankan tes darah HIV dan AIDS sebagai langkah pencegahan , tapi perlunya
implementasi perda dalam bentuk konseling agar terjadi perubahan perilaku dari yang berisiko
menjadi tidak berisiko, mengingat aktifitas waria yang sebagian besar melakukan tindakan gantiganti pasangan dan berdampak munculnya kelompok beresiko baru yaitu remaja pria usia sekolah
yang merupakan pasangan mereka.
DAFTAR PUSATAKA
1. Djhot, Djekky, 2003, Waria Asli Papua dan Potensi Penularan HIV/AIDS di Papua
(Kasus Abepura dan Kota Sorong ), Tesis, Jurusan Antropologi Universitas Cendrawasih
2. Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK), 2010, kasus kondom, artikel,
http://www.sayangihidup.org diakses tanggal 20 Januari 2012
3. Harahap, Syaiful , 2010, Menguji Peran Perda AIDS Bulukumba, http://lsminfokespro.blogspot.com diakses tanggal 23 Okteber 2012
4. Jannah,
2009, Teori Pengetahuan. http://bidanlia.blogspot.com/2009/06/teoripengetahuan.html dikases tanggal 17 Januari 2012
5. KPAD Bulukumba, 2012, Laporan Daftar Penderita HIV/AIDS Di klinik VCT RSUD
H.A. Sulthan Daeng Radja Kabupaten Bulukumba tahun 2012.
6. Muthiah, D, 2007, Konsep diri dan latar belakang kehidupan waria, Artikel,
http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache diakses tanggal 20 Januari 2012
7. Ngatimin, H, M, Rusli, 2005, Sari dan Aplikasi Ilmu Perilaku Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Notoatmodjo, Soekodjo, 2003,
Ilmu Kesehatan Masyarakat (prinsi-prinsip
dasar),Jakarta; PT. Rineka Cipta
8. Nugraha, B,D, 2006, Apa yang ingin diketahui remaja tentang seks?, Jakarta; Bumi
aksara
9. Nurbani, Farah, 2005, Dukungan sosial pada ODHA. Sripsi, Sumatra, USU
10. Pangkahila, A, 2007, Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya, Sagung Seto;
Jakarta.
11. Rabudiarti, Ratna, 2007, Perilaku Seks Waria Di Kota Pontianak Kalimantan Barat
Tahun 2007,Skripsi,Sumatra; USU.
12. Survailans Terpadu Biologis Perilaku (STBP), 2007, Rangkuman Survailans Waria,
Departemen Kesehatan Jakarta
13. UNAIDS, 2012, AIDS Epidemic Update, http//www.unaids.org diakses tanggal 26
Desember 2012.
14. Vivalife, 2013, Dalam 3 bulan terdapat 5.489 kasus baru HIV di Indonesia.
http://lifeviva.co.id/news/read/378705-dalam-3-bulan-ada-5-489-kaus-HIV-diindonesia.
diakses tanggal 20 Januari 2013
15. Walgito, B, 2005, Psikologi sosial (suatu pengantar), ed, revisi, CV, ANDI;Yogyakarta

41

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

ANALISIS PENERIMAAN MEDIA KOMUNIKASI (POSTER) TENTANG


JAJANAN SEHAT DI KALANGAN SISWA SEKOLAH DASAR
DI KOTA SAMARINDA
Maryam Amir1 Suriah2 Syamsiar Russeng 3
Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
2
Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
3
Konsentrasi Kesehatan Keselamatan Kerja Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
1

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerimaan siswa Sekolah Dasar tentang jajanan
sehat melalui penyuluhan media poster. Penelitian ini melibatkan 92 siswa kelas V sekolah dasar
negeri 004 Awang Long Samarinda yang diambil secara acak sederhana. Penelitian dilakukan uji
coba media di kalangan siswa SD Muhammadiyah dengan menggunakan desain penelitian one
shot case study, kemudian dilanjutkan di SD Negeri 004 Awang Long Samarinda dengan desain
quasi eksperimen one group pretest posttest. Pretest digunakan untuk mengukur pengetahuan dan
sikap awal siswa SD tentang jajanan sehat. Selanjutnya, dilakukan posttest untuk mengukur
pengetahuan dan sikap akhir siswa SD setelah mendapatkan penyuluhan dengan poster jajanan
sehat. Hasil penelitian menunjukan bahwa media poster yang diuji coba diterima siswa SD
Muhammadiyah dengan nilai rata-rata skor keberterimaan 60-100%. kemudian terjadi
peningkatan pengetahuan 71 siswa dan sikap positif 33 siswa dengan uji wilcoxon menunjukkan
signifikan (0,000< p 0,05).
ABSTRACTS
The aim of research is to analyze the acceptance of Elementary School students on healthy snacks
through poster media counselling. The population consisted of 92 students of Class V of 004
Awang Long State Elemntary School Samarinda. The simples were selected by using simple
random sampling method. The research use previous experiment among the students of
Muhammadiyah Elementary School by using one shot case study. After that, the research was
conducted among the students of 004 Awang Long State Elementary School, Samarinda by using
quasi experiment one group pretest posttest design. Pretest was used to measure students
knowledge and attitude on healthy snacks, while posttest was done to assess students knowledge
and attitude after having counselling by using poster on healthy snacks. The result of the research
reveal that tried-out poster media is accepted by the students of Muhammadiyah Elementary
School with the mean score of 60-100%. There is an increase of knowledge among 71 students
and positive attitude among 33 students using wilcoxon test which indicates a significance
(0,000< p0,05).

PENDAHULUAN
angan jajanan memegang peranan yang cukup penting dalam mendukung terpenuhinya
asupan gizi anak sekolah. Hasil survei yang dilakukan BPOM pada tahun 2008 pada
4500 SD di 79 kabupaten atau kota di 18 propinsi di Indonesia melaporkan bahwa
pangan jajanan yang dikonsumsi anak sekolah menyumbang sebesar 31,1 persen energi
dan 27,4 persen protein dari konsumsi pangan harian (BPOM 2009). Anak usia sekolah merupakan
generasi penerus bangsa, untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas harus

42

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
didukung dengan pemberian asupan gizi yang seimbang dan terjamin keamanannya. Namun
kenyataannya menurut data KLB keracunan pangan tahun 2008 yang dikumpulkan oleh BPOM,
menunjukkan bahwa 17,26 persen kasus keracunan terjadi di sekolah dan siswa sekolah dasar
merupakan kelompok yang paling sering (79,41%) mengalami keracunan pangan. Data juga
menyebutkan bahwa sebesar 15,74 persen kasus tersebut diakibatkan oleh konsumsi Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS).
Peranan PJAS yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan gizi anak belum
diimbangi dengan kualitas dan keamanan pangan jajanan yang baik. Hal tersebut terbukti dengan
masih banyaknya PJAS yang tidak memenuhi standar pangan yang aman untuk dikonsumsi. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh BPOM pada tahun 2006 terhadap enam jenis pangan jajanan
didapatkan bahwa sebanyak 49,43 persen sampel PJAS tidak memenuhi persyaratan atau standar
pangan jajanan sehat (BPOM 2007).
Target anak sebagai konsumen sangat strategis terutama berkaitan dengan konsumsi
pangan jajanan. Salah satu usaha untuk mengurangi paparan anak sekolah dasar terhadap pangan
jajanan yang tidak sehat dan tidak aman adalah dengan melakukan pemasaran sosial jajanan sehat
kepada anak sekolah dasar dengan menerapkan metode persuasif baik dengan motivasi pesan
positif maupun negatif melalui berbagai media, baik media elektronik maupun media cetak.
Hasil penelitian Harris, Bargh, dan Brownell (2009) menyebutkan bahwa anak akan
lebih banyak mengonsumsi jajanan setelah melihat iklan makanan. Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Hawkins dan Allison (2009) yang menyatakan
bahwa anak-anak mempelajari dan mengembangkan pengetahuan tentang kesehatan dari berbagai
sumber, misalnya sekolah, keluarga, buku, label nutrisi, dan media. Penelitian ini juga menemukan
bahwa televisi merupakan media utama yang berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan
perilaku anak tentang kesehatan. Meskipun demikian, perkembangan teknologi media audio visual
sekarang ini tidak menyurutkan kehadiran media cetak sebagai salah satu sumber informasi yang
digemari masyarakat.
Havelock (1971) diacu dalam Harahap (1994) menyatakan bahwa dalam melakukan
kampanye sosial dengan menggunakan media cetak merupakan pilihan yang sangat tepat. Salah
satu media cetak yang cocok untuk digunakan dalam pemasaran sosial adalah poster. Hasil
penelitian Saptarini (2005) menjelaskan bahwa responden tidak mengalami kesulitan dalam
menginterpretasikan gambar perumpamaan, isi dan susunan kalimat pada poster, sehingga
hambatan penerimaan pesan dari segi substansi poster (bahasa, gambar dan tulisan) bisa dianggap
kecil. Selain itu poster merupakan media komunikasi yang bisa diakses banyak orang.
Poster merupakan salah satu media yang banyak dipakai dalam praktik promosi
kesehatan karena poster menyampaikan informasi dengan kata-kata dan gambar atau simbol yang
dapat mengungkit rasa keindahan, mempermudah pemahaman serta mampu mempengaruhi dan
memotivasi perilaku orang yang melihatnya (Notoatmodjo, 2007). Pernyataan tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon (2009) tentang pengaruh media visual poster
dan leaflet makanan sehat terhadap perilaku konsumsi makanan jajanan pelajar kelas khusus SMA
Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, penelitian yang dilakukan oleh Anjelisa, dkk
(2010) tentang sosialisasi cara penggunaan obat yang baik melalui penyebaran poster dan leaflet
pada unit pelayanan kesehatan di Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang, dan penelitian yang
dilakukan oleh Rapiasih (2009) tentang pelatihan hygiene sanitasi dan poster berpengaruh
terhadap pengetahuan, perilaku penjamah makanan, dan kelayakan hygiene sanitasi di Instalasi
Gizi RSUP Sanglah Denpasar. Ketiga penelitian ini menyimpulkan bahwa media poster mampu
mempengaruhi perilaku respondennya
Dengan demikian, poster sebagai media cetak yang digunakan dalam penelitian ini
diharapkan dapat menjadi media alternatif untuk menyampaikan pesan dan mampu mengubah
pengetahuan serta sikap anak sekolah dasar tentang jajanan sehat. Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis penerimaan media komunikasi poster jajajan sehat di kalangan siswa
SD di kota Samarinda

43

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Disain penelitian yang digunakan adalah Kuasi eksperimental (rancangan eksperimen
semu) dengan melalui proses dua tahap yaitu tahap pertama sebelumnya dilakukan uji
keberterimaan poster dengan uji one shot case study. Desain ini dimaksudkan untuk mempelajari
dinamika dan variasi variabel yang termuat dalam judul penelitian Analisis Penerimaan Media
Komunikasi Poster tentang Jajanan sehat di kalangan siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda.
Populasi, dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar Negeri 004 Awang Long Samarinda
kelas V yang terdiri dari 3 kelas yaitu kelas VA, VB dan VC dengan jumlah siswa sebanyak 120
orang. Ditetapkan pada kelas V karena kelas V dianggap memiliki pola pikir yang lebih
berkembang dan kemampuan membaca yang lebih baik dibandingkan dengan kelas I hingga kelas
IV serta sudah mampu melakukan pengambilan keputusan pembelian sendiri tanpa bergantung
pada orang dewasa yang ada disekitarnya. Sampel adalah sebagian dari populasi. Besaran jumlah
sampel dapat ditentukan dengan rumus yang perhitungannya berdasarkan rumus Slovin (Umar
2005), sehingga diketahui besar sampel 92 orang. Untuk mengantisipasi kesalahan atau kegagalan
yang mungkin terjadi pada saat pengambilan data, maka responden diambil secara acak sederhana
(simple random sampling).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 004 Jl. Awang Long Samarinda.
Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa SD 004 Awang Long
Samarinda merupakan salah satu SD di wilayah kota Samarinda yang memiliki kantin dan juga
penjual jajanan di sekitar sekolah. Pengumpulan data primer baik sebelum maupun sesudah
perlakuan serta pengambilan data yang dilaksanakan mulai bulan Juli s/d Oktober 2012.
Pengumpulan dan Jenis Data
Pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner. Jenis data yang
adalah data primer melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan data
sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subyek penelitiannya, berupa data dokumentasi atau data laporan.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik responden
Jenis kelamin responden dan umur responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin yaitu jumlah
responden laki-laki sebanyak 54 orang (58,7%) dan perempuan sebanyak 38 orang yakni 41,3%.
Tabel 2 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan umur yaitu jumlah berumur 9 tahun
sebanyak 3 orang (3,3%) dan 10 tahun sebanyak 82 orang (89,1%) yang berumur 11 tahun 7 orang
(7,6%).
Analisi Univariat
Keberterimaan Media Poster
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil uji coba media pada Sekolah Dasar di Samarinda
didapat hasil bahwa 18 item pertanyaan dari 20 pertanyaan/pernyataan menjawab ya 60, sehingga
dapat disimpulkan bahwa hasil uji coba media poster yang dipakai adalah ; responden merasa
tertarik dengan judul pada poster, responden setuju dengan apa yang disampaikan pada poster,
responden setuju kalau poster dapat memberikan pengetahuan tentang jajanan sehat, responden
dapat memahami isi poster, responden menyarankan perbaikan pada gambar, tulisan dan
penegasan warna dan responden setuju kalau poster dapat disebarkan di sekolah lain.

44

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Pengetahuan responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media
poster.
Tabel 4 hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan penyuluhan media
poster, ada 16 siswa (17,4%) responden yang sudah memiliki pengetahuan tentang Jajanan sehat
dan setelah perlakuan tingkat pengetahuan Tinggi sebesar 87 siswa (94,57%) Adapun hasil
tersebut dipaparkan pada Tabel berikut
Sikap responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebelum diberikan penyuluhan media poster, ada 54 siswa
(58,7%) responden yang sudah memiliki respon sikap yang positif tentang Jajanan sehat dan
setelah perlakuan respon sikap positif meningkat sebesar 85 siswa (92,4%).
Bivariat
Analisis Pengetahuan responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan dengan
media poster
Tabel 6 menunjukkan perbandingan pengetahuan sebelum dan sesudah perlakuan tidak
terdapat responden dengan pengetahuan lebih rendah dari pada sebelum dilakukan penyuluhan
dengan media poster, 21 orang tetap dan 71 orang mempunyai pengetahuan lebih baik. Selain itu
uji Wilcoxon diperoleh significancy 0,000 (p<0,05) dan hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media
poster.
Analisis perubahan sikap responden tentang jajanan sehat sebelum dan sesudah penyuluhan
dengan media poster
Tabel 7 menunjukkan perbandingan sikap sebelum dan sesudah perlakuan terdapat 3
orang dengan sikap terhadap media poster jajanan sehat lebih rendah dari pada sebelumnya, 56
orang tetap dan 33 orang mempunyai respon lebih baik. Selain itu uji Wilcoxon diperoleh
significancy 0,000 (p<0,05) dan hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap yang
bermakna antara sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster.
Pembahasan
Analisis keberterimaan (Acceptance) siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda terhadap poster
jajanan sehat.
Dari hasil uji coba media poster menunjukkan bahwa adanya keberterimaan terhadap
media poster jajanan sehat yang digunakan dalam penelitian. Sebagian besar siswa menganggap
media poster yang dipakai menarik dan mengandung gambar maupun teks yang dapat dipahami.
Sebagian besar responden juga menilai bahwa poster tersebut dapat diterima karena sesuai dengan
norma-norma yang berlaku serta layak untuk disebarkan sepada siswa Sekolah Dasar.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan teori bahwa poster adalah salah satu media yang
terdiri dari lambang kata atau simbol yang sangat sederhana, dan pada umumnya mengandung
anjuran atau larangan Depdikbud (1988). Poster adalah kombinasi visual dari rancangan yang
kuat, dengan warna, dan pesan dengan maksud untuk menangkap perhatian orang yang lewat
tetapi cukup lama menanamkan gagasan yang berarti didalam ingatannya. Poster disebut juga
plakat, lukisan atau gambar yang dipasang telah mendapat perhatian yang cukup besar sebagai
suatu media untuk menyampaikan informasi, saran, pesan dan kesan, ide dan sebagainya Rohani
(1997)
Poster mempunyai kelebihan dengan harganya terjangkau oleh seorang guru tetapi ada
juga kelemahannya dikarenakan media poster berdimensi dua, sehingga sukar untuk melukiskan
sebenarnya. Poster bersifat persuasif, yaitu bermaksud menarik perhatian dengan menyatukan

45

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
gambar, warna, tulisan dan kata-kata. Poster dapat menarik minat siswa dalam mempelajari suatu
topik yang baru Novidar (2012)
Pengetahuan siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda tentang jajanan sehat dengan menggunakan
media poster
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok responden sebelum dan setelah
penyuluhan dengan media poster menunjukkan perubahan yang siginifikan dimana tingkat
pengetahuan sebelum penyuluhan mengalami peningkatan setelah dilakukan penyuluhan dengan
media poster.
Menurut Mowen dan Minor (2002) pengetahuan konsumen merupakan pengalaman
dan informasi tentang produk dan jasa yang dimiliki seseorang. Pengetahuan konsumen
dikategorikan menjadi tiga golongan, yaitu pengetahuan objektif, pengetahuan subjektif, dan
informasi mengenai pengetahuan lainnya. Pengetahuan tentang jajanan sehat dalam penelitian ini
merupakan pengetahuan subjektif, yaitu pengetahuan anak mengenai apa dan berapa banyak yang
anak ketahui mengenai jajanan sehat.
Pengetahuan tentang jajanan sehat adalah aspek kognitif yang menunjukkan
pemahaman contoh tentang jajanan sehat. Menurut Sumarwan (2004) pengetahuan yang dimiliki
individu akan mempengaruhi individu tersebut dalam mengambil keputusan pembelian. Individu
yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak akan lebih baik dalam mengambil keputusan dan
akan lebih tepat dalam mengolah informasi. Maka pengetahuan tentang jajanan sehat merupakan
hal penting yang harus dimiliki oleh siswa sekolah dasar sebagai landasan untuk mengambil
keputusan pembelian terutama dalam memilih jajanan sehat.
Hasil Uji Wilcoxon dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebelum diberikan
perlakuan melalui penyuluhan dengan media poster terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata
skor pengetahuan pada responden. Begitu juga setelah diberikan perlakuan cara penyuluhan media
poster, rata-rata skor pengetahuan responden tentang jajanan sehat menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata. Perubahan skor pengetahuan responden dari sebelum dan sesudah perlakuan,
menunjukkan peningkatan yang nyata.
Namun hasil penelitian eksperimen yang dilakukan di Stanford University tentang
kekuatan media massa dalam mengubah perilaku penyebab penyakit jantung, menyebutkan bahwa
media massa menarik, jika direncanakan secara efektif, dapat memberikan informasi, memotivasi
dan mendorong untuk berperilaku sehat secara berkelanjutan walaupun tanpa disertai intervensi
interpersonal tatap wajah. Hal tersebut dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi efektifitas media massa, diantaranya faktor audiens, faktor pesan, faktor media dan
faktor mekanisme respon Kotler & Roberto (1989).
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosyida (2009)
Metode Poster Commend sebagai upaya dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa SD
(kasus di Malang) menunjukkan bahwa metode poster commend dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan menulis siswa.
Sikap siswa Sekolah Dasar di kota Samarinda terhadap jajanan sehat menggunakan media
poster
Jefkins (1997) mengemukakan bahwa komunikasi efektif dapat dibangun melalui poster
dimana senantiasa ditentukan oleh perpaduan antara kata-kata dan gambar pada model. Modelmodel poster memerlukan keterampilan dalam memainkan kata-kata. Kata-kata selalu dipilih agar
terkesan unik dan memikat, sehingga dapat memaksa para pembacanya untuk berhenti sejenak
merenungkan maknanya.
Penelitian tentang sikap siswa terhadap jajanan sehat sebelum dan setelah dilakukan
penyuluhan dengan media poster juga terjadi perbedaan skor rata-rata meningkat, meski perbedaan
skornya tidak terlalu jauh. Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan
bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi

46

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup,
bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku terbuka.
Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh Tampubolon et,al (2009) berjudul
Pengaruh Visual Poster dan Leaflet terhadap perilaku makan pelajar SMA di Kabupaten
Mandailing Natal Sumatera Utara menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara
perilaku konsumsi makanan jajanan pada anak sekolah sebelum dan sesudah intervensi.
Menyimpulkan bahwa penyuluhan gizi dengan media poster dan leaflet mampu meningkatkan
perilaku gizi anak sekolah.
Penelitian Wijayasa (1993) pada penelitiannya memakai poster aksi penanggulangan
anemi gizi besi ibu hamil untuk meningkatkan perilaku minum tablet tambah darah dan komsumsi
makan. Penelitian ini menunjukkan bahwa media poster digunakan untuk mengingat pesan pada
ibu. Setelah mengingat pesan, dengan sendirinya sebelum mengomsumsi makanan bagi keluarga
dan dirinya akan teringat makanan bergizi apa yang tepat untuk dikomsumsi.
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil uji coba media menunjukkan adanya penerimaan media poster terhadap siswa
sekolah Dasar di kota Samarinda yaitu 18 pertanyaan responden menjawab ya (menerima) 60100%, sehingga media dapat dipakai atau disebarkan ke Sekolah Dasar yang lain untuk dijadikan
sebagai media komunikasi untuk mempengaruhi tingkat pengetahuan maupun sikap siswa
terhadap jajanan sehat. Peningkatan pengetahuan tentang jajanan sehat bagi siswa Sekolah Dasar
setelah dilakukan penyuluhan dengan media poster dengan hasil uji adalah 0,000 (p<0,05)
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Untuk perbedaan sikap siswa terhadap jajanan
sehat sebelum dilakukan penyuluhan media poster dengan setelah dilakukan penyuluhan media
poster dengan hasil uji 0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Untuk itu
Dinas Kesehatan Kota Samarinda dan komunitas sekolah dapat mengembangkan poster jajanan
sehat untuk pengawasan dan pembinaan dan Pengendalian Jajanan anak sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Anjelisa 2010 sosialisasi cara penggunaan obat yang baik melalui penyebaran poster dan leaflet
pada unit pelayanan kesehatan di Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Medan.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2007. Food Watch Jajanan Anak Sekolah diakses dari
http://www.pom.go.id
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2008. Data KLB Keracunan Pangan 2001-2008 diakses
dari http:// www.pom.go.id
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2009. Food Watch Pangan Jajanan Anak Sekolah diakses
dari http:// www.pom.go.id
Buccheri C, Casuccio A, Giammanco S, Guardia M, dan Mammina C. Food Safety in Hospital:
Knowledge, Attitudes and Practices of Nursing Staff of two Hospitals in Sicily, Italy, BMC
Health Service Research [serial online] 2007 [cited 2007 Dec 30]. Avalaible from:
http://www.biomedcentral.com/1472-6963/7/45
Campbell, D.T., & Stanley, J.C. 1996) Eksperimental design and Quasi Experimental design for
Research, Chicago : Raund MC Nally College Publishing Company
Daniaty, 2009 pengetahuan, Sikap dan Tindakan siswa tentang Makanan Minuman Jajanan yang
mengandung BTM tertentu. Medan 2009
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998, Media Pembelajaran. Depdikbud. Jakarta.
Green, LW, M.W. Kreuter 1991. Health Promotion Planning: An Educational and Environmental
Approach. Mayfield Publishing Company. London
Harahap, H (1994) Pengaruh bentuk dan Frekuensi Penyajian Pesan Gizi Seimbang melalui
Folder [Tesis]. Bogor Program Studi Pasca Sarjana Komunikasi Pertanian dan Pedesaan.
Fakultas Pertanian IPB.
Harris LJ, Bargh JA, dan Brownell KD. 2009. Priming Effect of Television Food Advertising on
Eating Behavior. Journal of Health Psychology, 28(4), 404-413.

47

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Hawkins J, Allison G. 2009. Consumer Socialisation of Children: Exploring the influence of TV
Programme Content on Childrens Health Knowledge, Attitudes, and Behaviour.
www.duplication.net.au/ANZMAC2009/papers/ANZMAC2009-396.pdf Diakses2 Oktober
2011.
Jefkins,F. 1997. Periklanan. Jakarta. Erlangga.
Kotler P, Roberto EL. 1998. Social Marketing : Strategies For Changing Public Behaviour. New
York. The free Press.
Mowen JC, Minor M. 2002. Perilaku Konsumen Jilid I Edisi kelima. Jakarta. Erlangga.
Notoatmodjo,S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta
Notoatmodjo, S, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta.
Novidar 2012, Komputer dan Media Pembelajaran. Diakses tanggal 10 Oktober 2012 dari
http://novidar.blogspot.com/2012/06/komputer-dan-media-pembelajaran.html
Rapiasih, dkk. 2009. Pelatihan Hygiene Sanitasi dan Poster Berpengaruh terhadap Pengetahuan,
Perilaku Penjamah Makanan, dan Kelayakan Hygiene Sanitasi di Instalasi Gizi RSUP
Sanglah Denpasar. Jurnal Gizi Klinik Indonesia (The Indonesian Journal of Clinical
Nutrition)
Rohani, 1997 Penggunaan Media Poster terhadap Pembelajaran menulis Puisi di Kelas VIII SMP
Negeri 1 Panimbang.
Rochimah 2011, Pengaruh Motivasi Pesan dan Cara Penyajian Buklet terhadap Persepsi dan
Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar tentang Jajanan Sehat. Bogor diakses Juli 2011 melalui
http://respository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52371
Rosyida, 2009. Penggunaan Metode Poster Command dalam Pembelajaran Bahasa Inggeris
Sebagai upaya Peningkatan Kemampuan Menulis Siswa Kelas IV C SD Insan Amanah di
Malang. Malang.
Saptarini, 2005. Efektivitas Media Promkes Poster. Pesan Keamanan Pangan dari Badan POM
RI. Jakarta 2005
Sopiyudin M 2012. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta. Salemba Medika.
Sumarwan U. 2004. Perilaku Konsumen : Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran.Bogor
Ghalia Indonesia.
Tampubolon 2009, pengaruh media visual poster dan leaflet makanan sehat terhadap perilaku
konsumsi makanan jajanan pelajar kelas khusus SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten
Mandailing Natal. Medan Sumatera Utara
Umar H. (2005). Metode Penelitian untuk Skrispsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Wijayasa N.1993, Poster Aksi Penanggulangan Anemi GiziIbu Hamil Untuk Meningkatkan
Perilaku Minum Tablet Tambah Darah dan Konsumsi Makan. Tesis. Program Magister
PKIP Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.
________ 2011. Pengaruh Penyuluhan dan Metode Ceramah dengan Poster terhadap Perilaku
Konsumsi
Makanan
Jajanan
Murid
SD
sibolga.
Medan
2011
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008. diakses tanggal 27 Nopember 2012
_____Kekuatan
Poster
untuk
Media
Belajar.
(Online),
(http://ummimarsya.multiply.com/journal/item/14/Kekuatan_Poster_untuk Media_Belajar, diakses
3 Juni 2011.

48

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

LAMPIRAN
Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
n

Laki-laki
54
58,70
Perempuan
38
41,30
Jumlah
92
100
Sumber : Data Primer

Tabel 2. Karakteristik Responden Menurut umur


Umur
n

9 thn
3
3,30 %
10 thn
82
89,10 %
11 thn
7
7,6%
92
100%
Sumber : Data primer
Tabel 3. Hasil uji coba media poster di kalangan siswa SD Muhammadiyah
Samarinda
KATEGORI JAWABAN
Jumlah
Persentase
Ya
Tdk
No
Pertanyaan
n
n

1
1
20
100.00 20
100.00
2
2
10
50.00
10
50.00 20
100.00
3
3
15
75.00
5
25.00 20
100.00
4
4
9
45.00
11
55.00 20
100.00
5
5
12
60.00
8
40.00 20
100.00
6
6
12
60.00
8
40.00 20
100.00
7
7
20
100.00 20
100.00
8
8
18
90.00
2
10.00 20
100.00
9
9
20
100.00 20
100.00
10
10
16
80.00
4
20.00 20
100.00
11
11
20
100.00 20
100.00
12
12
20
100.00 20
100.00
13
13
20
100.00 20
100.00
14
14
20
100.00 20
100.00
15
15
16
80.00
4
20.00 20
100.00
16
16
20
100.00 20
100.00
17
17
20
100.00 20
100.00
18
18
20
100.00 20
100.00
19
19
20
100.00 20
100.00
20
20
20
100.00 20
100.00
Jumlah
17.4 87
2.6 13
20
100
Rata Rata

49

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Sumber : Data Primer
Tabel 4.

Tingkat Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah Penyuluhan


dengan media poster
Sebelum Perlakuan
n

76
82,6
16
17,4
92
100.00

Tingkat
Pengetahuan
Rendah
Tinggi

Setelah Perlakuan
n

5
5,43
87
94.57
92
100.00

Sumber : data Primer


Tabel 5.

Sikap Responden Sebelum dan Sesudah Penyuluhan dengan media


Poster

Sikap

Sebelum Perlakuan
n

Negatif
38
Positif
54
Total
92
Sumber : data Primer
Tabel 6.

Setelah Perlakuan
n

41,3
58,7
100,0

7
85
92

7,6
92,4
100,0

Hasil uji tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media
poster.

Nilai maksimum
Nilai minimum

Sebelum
Penyuluhan
n

100
43

Skor rerata
55
Sumber : data Primer

Sesudah
Penyuluhan
n

100
54

92

0,000

90

Tabel 7.

Hasil uji prubahan sikap responden sebelum dan sesudah penyuluhan dengan
media poster
Sebelum
Sesudah
Penyuluhan
Penyuluhan
n
p
n
n

Nilai maksimum
48
48
92
0,000
Nilai minimum
22
22
Skor rerata
32
44
Sumber : data Primer

50

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

FAKTOR MEMPENGARUHI PERILAKU PECANDU PENYALAHGUNAAN


NAPZA PADA MASA PEMULIHAN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH
ATMA HUSADA MAHAKAM SAMARINDA
Laurensia Enny Pantjalina , Muh. Syafar, Sudirman Natsir
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda
Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
Abstrak
NAPZA atau Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya merupakan zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku pecandu
penyalahguna NAPZA pada masa pemulihan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada
Mahakam Samarinda. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
Existential Phenomenology. Informan dalam penelitian ini adalah pecandu NAPZA yang
mengikuti masa pemulihan di rumah sakit tersebut. Informasi yang telah dikumpulkan
dikategorikan sesuai dengan kelompok pertanyaan dalam bentuk transkrip. Selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan content analysis dan diinterpretasikan serta disajikan dalam bentuk narasi.
Hasil penelitian NAPZA pada umur 15 tahun dan pada saat mengenyam pendidikan SMP.
diperoleh bahwa pecandu menyatakan NAPZA adalah narkotika dan obat-obatan serta zat adiktif.
Bahwa pengguna NAPZA perlu direhabilitasi dan memiliki harapan untuk menjadi lebih baik,
tidak mengkonsumsi NAPZA serta menjadi relawan narkoba. Pertama kali mengkonsumsi Waktu
tersedia untuk mengikuti program rehabilitasi dan mengikuti program rehabilitasi karena
keinginan pecandu. Keluarga, teman sebaya, dan masyarakat termasuk petugas rumah sakit
sangat mendukung pecandu NAPZA untuk mengikuti program rehabilitasi. Pentingnya
penyebaran informasi secara kontinyu tentang NAPZA dan dampaknya bagi pecandu NAPZA
melalui konseling, penyuluhan, dan media, meningkatkan rasa percaya diri bagi pecandu agar
lebih kuat dalam mengikuti program rehabilitasi melalui konseling oleh tenaga konselor di rumah
sakit, meningkatkan peran anggota keluarga, teman sebaya, dan masyarakat dalam melakukan
pendampingan dan dukungan baik secara moril maupun materiil kepada pecandu NAPZA, dan
meningkatkan peran pihak petugas kesehatan di rumah sakit sebagai pemberi layanan rehabilitasi
bagi pecandu agar para pecandu tidak tergantung lagi pada NAPZA.
Kata Kunci : Faktor Internal dan Eksternal, Pecandu NAPZA
Abstract
NAPZA or Narcotic, Psikotropika, and Zat vitamin of Adiktif other represent Zat vitamin or drug
coming from crop or non good crop of and also sintetis of semisintetis able to cause degradation
or change awareness, loss feeling, lessening eliminate feel pain in bone, and can generate
depended. This research aim to analyse internal factor and factor eksternal influencing behavior
addiction abuse NAPZA at a period of cure at home Psychopath Area of Atma Husada Mahakam
Samarinda. This Type Research use research qualitative with approach Existential

51

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Phenomenology. Informan in this research is addiction NAPZA following a period of cure at home
pain. Information which have been collected to be categorized as according to question group in
the form transcript. Is hereinafter analysed using analysis content and interpreted is and also
presented in the form. Result research NAPZA at age 15 year and at the (time) of education of
SMP. obtained that addiction express NAPZA is and narcotic drug and also Zat vitamin adiktif.
That consumer NAPZA require to rehabilitate and have expectation to become betterly, do not
consume NAPZA and also become volunteer narkoba. First time consume Time available
following program rehabilitate and follow program rehabilitate because desire addiction. Family,
friend coeval, and society is including officer hospital very is supporting of addiction NAPZA to
follow rehabilitating program. Important of him spreading information kontinyu about NAPZA
and its impact to addiction NAPZA through konseling, counselling, and media, improving to feel
self confidence to addiction [so that/ to be] stronger in following program rehabilitate to
[pass/through] konseling by energy konselor at home pain, improving role family member, friend
coeval, and society in conducting adjacent and support either through morale and also material to
addiction NAPZA, passing konseling, counselling, and media, improving to feel self confidence to
addiction to be stronger in following program rehabilitate to through konseling energy konselor at
home pain, improving role family member, friend coeval, and society in conducting adjacent and
support either through morale and also material to addiction NAPZA, and improve role side
officer ill health at home as giver service rehabilitate to addiction to be all addiction do not
depended again at NAPZA.
Keyword : Internal Factor and Eksternal, Pecandu NAPZA

PENDAHULUAN
angguan penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lain (NAPZA) merupakan
masalah yang menjadi keprihatinan dunia international di samping masalah HIV/AIDS,
kekerasan (violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan
kelangkaan pangan. Sejak tahun 1987, PBB mengeluakan laporan tahunan konsumsi
narkoba di dunia. Saat ini, sekitar 25 juta orang mengalami ketergantungan NAPZA. Di Indonesia
pengguna NAPZA mencapai 3,8 juta jiwa. Yang menjadi lebih memprihatinkan adalah sebagian
besar pengguna tersebut ternyata adalah usia produktif, dan sebagian besar di antaranya adalah
remaja dan dewasa awal (20-30 tahun). 70 persen dari total pengguna NAPZA di Indonesia anak
usia sekolah, 4 persen lebih siswa SMA dan selebihnya mahasiswa. Hal ini bila tidak segera
ditanggulangi merupakan ancaman bagi kesejahteraan generasi yang akan datang, di mana anak
sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia
bagi pembangunan nasional yang perlu untuk dilindungi (BNN, 2012).
Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam, dalam kurun waktu
3 tahun (2009-2011) kunjungan pasien rawat jalan korban NAPZA rata-rata berkisar 140 pasien
tiap bulannya,. pasien rawat inap korban NAPZA sekitar 2-3 orang/bulan, konsultasi rata-rata tiap
bulan berkisar 5-10 orang. Baik pasien rawat jalan maupun rawat inap sebagian besar
berpendidikan SLTA (42,5% untuk rawat jalan dan 38% untuk rawat inap). Sebagian besar
(78,1% ) berusia 25-35 tahun. Jenis NAPZA yang digunakan sangat bervariasi, di antaranya opiat,
ganja, amfetamin, sedatif hipnotik, alkohol, kokain, atau multiple. Dalam upaya masa pemulihan
penyalahgunaan NAPZA perlu dilakukan melalui pola pre-emptif, preventif, represif, treatment
dan rehabilitasi serta pola peningkatan partisipasi masyarakat melalui pendekatan keluarga
(Support Family Group).
Menurut perkiraan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), sekitar 200
juta orang di seluruh dunia menggunakan NAPZA jenis narkotika dan psikotropika secara illegal.
Kanabis merupakan jenis NAPZA yang paling sering di gunakan, diikuti dengan Amfetamin,
Kokain, dan Opioida. Penyalahgunaan NAPZA jenis ini di dominasi oleh pria, dan juga lebih
terlihat di kalangan kaum muda dibandingkan katagori usia lebih tua. Sebanyak 2,7% dari populasi

52

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
dunia dan 3,9% dari seluruh orang berusia 15 tahun keatas telah menggunakan Kanabis paling
sedikit sekali antara tahun 2000 dan 2001 (Depkes, 2008).
Berkembangnya jumlah pecandu NAPZA ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dari
dalam (internal) diri meliputi: minat, rasa ingin tahu, lemahnya rasa ketuhanan, kesetabilan emosi.
Faktor yang kedua adalah faktor dari luar (eksternal) diri meliputi: gangguan psikososial keluarga,
lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, lemahnya sistem sekolah termasuk
bimbingan konseling, lemahnya pendidikan agama. Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor
Internal (Intelegensia, Kepribadian, Karakteristik Usia, Pendidikan) dan faktor Eksternal
(Kesempatan, Dukungan Keluarga, Teman Sebaya, Masyarakat) yang mempengaruhi perilaku
pecandu penyalahguna NAPZA pada masa pemulihan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada
Mahakam Samarinda.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan Existential
Phenomenology yaitu memahami esensi pengalaman seseorang dengan cara mengelompokkan isu
yang ada dan memberikan makna atas isu tersebut sesuai pandangan orang tersebut. Pecandu
NAPZA diharapkan mampu memberikan pandangan mereka berdasarkan pengalaman dalam
mengkonsumsi NAPZA.
Metode Penentuan Informan
Pemilihan informan berdasarkan data rekam medik yang ada di Rumah Sakit Daerah
Atma Husada Mahakam Samarinda. Informan yang dimaksudkan adalah pecandu NAPZA yang
masih aktif mengikuti masa pemulihan di rumah sakit tersebut sebanyak 9 orang. Pemilihan
Informan dilakukan secara Purposive Sampling yakni pemilihan informan berdasarkan kriteria
sebagai berikut : (1) Aktif mengikuti program pemulihan di Rumah Sakit Atma Husada Mahakam
Samarinda. (2) Bersedia menjadi informan dalam penelitian ini
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menggali informasi dari berbagai data yaitu
melalui wawancara mendalam (indepth interview), observasi (participant observation) dan
pengambilan data melalui Focus Group Discussion (FGD).
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi dilakukan secara
manual sesuai dengan petunjuk pengolahan data kualitatif serta sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Data tersebut dikategorikan sesuai dengan kelompok pertanyaan dalam bentuk transkrip.
Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Content Analysis kemudian diinterpretasikan dan
disajikan dalam bentuk narasi.
HASIL
Jenis NAPZA sangat beragam antara lain Narkotika. Narkotika adalah zat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti
ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Psikotropika adalah zat atau obat baik
alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran
yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang
mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, korosif, dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah
zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh
dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan. Informan mengkonsumsi jenis NAPZA

53

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
lebih dari satu jenis. Informan mengkonsumsi NAPZA jenis Narkotika alami, narkotika sintesis,
semi sintesis, psikotropika, dan zat adiktif.
Keterpaparan lingkungan pergaulan yang negatif akan mengakibatkan seseorang terjebak
pada perilaku yang menyimpang. Informan mengkonsumsi NAPZA disebabkan lingkungan
pergaulan, permasalahan keluarga yang dihadapi sehingga mendorong mereka memiliki keinginan
untuk mencoba. Berbagai dampak yang dirasakan pengguna sebagai akibat ketergantungan
NAPZA. Informan menyatakan bahwa dampak yang mereka rasakan saat ketergantungan NAPZA
adalah sakit pada seluruh badan, stamina kurang fit, pola pikir yang tidak sehat, dan tidak memiliki
tujuan hidup. Rasa penyesalan yang muncul akibat ketergantungan NAPZA merupakan respon
pengguna setelah menyadari dampak yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi NAPZA. Informan
menyatakan bahwa mereka menyesal telah mengkonsumsi narkoba. Namun, terdapat juga
informan yang mengaku tidak menyesal dengan perilakunya.
Ketersediaan waktu pengguna NAPZA untuk melakukan konseling dan rehabilitasi di
rumah sakit yang telah ditentukan menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam
mengikuti program tersebut. Informan menyatakan bahwa mereka bersedia meluangkan waktu
untuk mengikuti program rehabilitasi. Informasi tersebut juga diperoleh pada saat dilakukan FGD
bahwa mereka tersedia waktu untuk mengikuti program rehabilitasi. Kemauan yang kuat dari diri
seorang pengguna untuk mengikuti program rehabilitasi merupakan kunci keberhasilan program
pemulihan dari ketergantungan NAPZA. Informan menyatakan bahwa mereka mengikuti program
rehabilitasi karena keinginan yang kuat dari diri sendiri.
Selain keinginan yang kuat dari diri pengguna NAPZA, hal yang tak kalah pentingnya
adalah dukungan dari keluarga. Informan menyatakan bahwa keluarga mereka sangat mendukung
untuk mengikuti program rehabilitasi. Teman bergaul merupakan keluarga terdekat yang dapat
dijadikan sebagai motivasi dalam mencapai keberhasilan termasuk keberhasilan dalam mengikuti
program pemulihan dari ketergantungan NAPZA. Informan menyatakan bahwa teman mereka
mendukung untuk mengikuti program rehabilitasi.
PEMBAHASAN
Informan berpendapat NAPZA adalah narkotika dan obat-obatan serta zat adiktif.
Pengguna NAPZA perlu direhabilitasi agar menjadi lebih baik, tidak mengkonsumsi NAPZA, dan
menjadi relawan narkoba. Informan pertama kali mengkonsumsi NAPZA pada umur 15 tahun dan
mengkonsumsi NAPZA pada saat mengenyam pendidikan SMP. Kemampuan seseorang
memberikan pernyataan atas pertanyaan yang diberikan merupakan salah satu tolak ukur tingkat
kecerdasan atau intelegensia orang tersebut. Pengetahuan tentang NAPZA bagi sebagian orang
masih kurang, namun pada kelompok tertentu hal ini bukan suatu informasi yang sifatnya baru dan
tabu. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa informan mengetahui NAPZA merupakan zat
berbahaya bagi kesehatan. Hal ini didukung oleh pernyataan mereka bahwa dampak
ketergantungan dan badan menjadi kurang fit bahkan kematian akan dirasakan jika mengkonsumsi
NAPZA.
Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki. Hasil
penelitian Rilley dan Schutte dalam (Handoko, 2009) menunjukkan bahwa prediktor penting di
dalam permasalahan penyalahgunaan NAPZA adalah kecerdasan emosional yang rendah.
Penelitian Caruso, Mayer, dan Salovey dalam (Handoko, 2009) juga menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional yang rendah berhubungan secara signifikan dengan penyalahgunaan
NAPZA, alkohol, serta dapat meningkatkan perilaku menyimpang.
Penelitian yang dibuktikan oleh Alcoholics Anonymous dan program pemulihan obat
terlarang yang didasarkan pada lebih dari 200 orang pasien pecandu heroin dapat disembuhkan
dengan mengajarkan kecerdasan emosional yang mendasar cenderung akan menghilangkan
keinginan untuk menggunakan obat terlarang (Goleman, 2007).

54

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Mayoritas pecandu Narkoba adalah remaja. Alasan remaja mengkonsumsi narkoba karena
kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, identitas dan kelabilan emosi (Supriatna,
2012). Kelompok remaja merupakan populasi berisiko dalam penyalahgunaan narkoba. Masa
remaja seringkali identik dengan masa pencarian jati diri sehingga mendorong remaja
berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru diketahui termasuk mencoba mengkonsumsi
NAPZA. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan (Syam, 2007) bahwa rasa ingin tahu bagi
kalangan muda tidak hanya sebatas pada hal-hal yang negatif. Akan tetapi rasa ingin tahu terhadap
narkotika dan psikotropika ini merupakan salah satu pendorong bagi seseorang untuk melakukan
perbuatan yang menyimpang termasuk keingintahuan terhadap NAPZA, yang pada akhirnya
sampai menimbulkan ketergantungan.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa informan pada usia 15 tahun telah mengenal dan
mengkonsumsi NAPZA. Solidaritas persahabatan seringkali dijadikan sebagai alasan untuk
melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan untuk dilakukan secara bersama. Pada usia ini,
kematangan secara psikologi belum stabil, masih sering merasa kurang bermanfaat di
lingkungannya dan sangat mudah terprovokasi dari orang lain, hal ini medorong mereka untuk
berperilaku menyimpang termasuk mengkonsumsi NAPZA. Hal ini sesuai dengan penelitian
(Adisukarto, 2001); (Yurliani, 2007), bahwa 47,7 % korban penyalahgunaan narkoba adalah
remaja.
Di samping pengetahuan, usia, faktor internal yang mempengaruhi informan dalam
mengkonsumsi NAPZA adalah faktor pendidikan. Pendidikan merupakan modal utama yang
sangat diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan hidupnya dengan baik. Baik pendidikan
formal maupun non formal. Dengan pendidikan, seseorang akan mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak seharusnya
dilakukan. Sehingga dengan pendidikan yang baik seseorang tidak akan terjerumus ke dalam
permasalahan penyakit-penyakit masyarakat (Supriatna, 2012). Hal ini menjadi catatan penting
bahwa seyogyanya pihak sekolah secara dini memperkenalkan kepada siswa tentang NAPZA agar
menjadi tambahan informasi yang sangat penting bagi siswa bahwa mengkonsumsi NAPZA
merupakan perilaku yang membahayakan baik bagi diri siswa, keluarga, dan lingkungan
masyarakat.
Pada saat pecandu dalam kondisi stres atau apabila menghadapi tekanan baik dari dalam
dirinya maupun dari luar maka pada saat itulah sering terjadi relapse, yaitu peristiwa mantan
pecandu yang telah beberapa lama tidak memakai NAPZA kembali memakai dan terus
mengkonsumsinya. Hasil penelitian Ariskasuci (2008) menunjukkan hasil bahwa seorang mantan
pecandu yang kembali ke lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan lingkungan kerja
mengalami reaksi dan hambatan dalam berinteraksi yang berasal dari stigma negatif yang ada
dalam masyarakat yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya relapse.
Menurut Masten dan Coatsworth dalam (Davis, 1999), ada tiga faktor pelindung yang
dapat meningkatkan resiliensi pada diri individu, yaitu faktor individual, keluarga, dan masyarakat
sekitar. Pertama, faktor individual antara lain nampak dalam kemampuan untuk berkomunikasi,
rasa optimis, kemampuan menyelesaikan masalah, dan keyakinan diri. Keinginan untuk sembuh
harus bersumber dari dalam diri siswa sendiri tetapi kenyataannya, bagi siswa yang sudah
mengalami ketergantungan, lepas dari NAPZA merupakan hal yang sulit karena NAPZA
dipandang sebagai keyakinan untuk menyelesaikan masalah. Siswa dengan kemampuan
berkomunikasi yang rendah, ketika mengalami masalah mereka cenderung akan menyendiri dan
menggunakan NAPZA, mereka kurang mampu mengekspresikan berbagai macam perasaan dan
pikiran kepada orang lain.
Kedua, berasal dari lingkungan keluarga yang peduli, dalam hal ini hubungan keluarga
yang harmonis, saling memberikan dorongan antara anak dengan orangtua atau dengan keluarga
besar (extended family). Faktanya, bahwa informan memperoleh dukungan yang besar dari
keluarga untuk mengiktui program rehabilitasi. Anggota keluarga harus secara intensif
mendampingi dan mendukung informan. Salah satu teknik terapi yang digunakan yakni

55

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
pendekatan sirkumpleks. Terapi ini berfokus kepada pola-pola dalam keluarga. Asumsi dasar terapi
keluarga model sirkumpleks ini ialah, pada saat ini sistem keluarga yang dinamis lebih membantu
dalam memperbaiki gejala-gejala perilaku yang negatif. Sehingga, perlunya melakukan perubahan
pada pola interaksi keluarga, agar gejala-gejala atau hadirnya masalah lain bisa diminimalkan
(Olson, 1999).
Kurangnya dukungan keluarga selama proses rehabilitasi ataupun lingkungan yang
merendahkan dan tidak menghargai usaha yang dilakukan mereka untuk sembuh akan menambah
stress dan sulit mengendalikan perasaan sehingga membuat individu rentan untuk menggunakan
narkoba lagi atau relaps. Sikap keluarga yang selalu mencurigai, memojokkan, mengungkit ungkit
masa lalu, serta menjadikan pecandu sebagai kambing hitam untuk setiap kejadian yang tidak
menyenangkan sering menjadi penyebab terjadinya relaps (Joewana, 2005).
Dukungan keluarga terhadap informan dalam bentuk dukungan motivasi, kunjungan, dan
materil. Hal ini berdasarkan hasil observasi yang dilakukan bahwa informan pada saat melakukan
kunjungan ditemani oleh istri dan keluarga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh (Elisa, 2011) keluarga memberikan dukungan instrumental maksimal kepada anggota
keluarganya yang penyalahguna NAPZA. Pemberian dukungan instrumental yang maksimal
berarti bahwa keluarga menyediakan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial
dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan.
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis atau rehabilitasi sosial di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika. Dengan rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan
kemampuan fisik, mental, dan sosial pecandu, dengan tujuan akhir dengan sembuhnya pecandu
dari ketergantungan narkotika (Dewi, 2012).
Usaha untuk menyembuhkan dari ketergantungan NAPZA saat ini dapat dilakukan
dengan rehabilitasi. Tujuan dari program rehabilitasi adalah memotivasi pecandu untuk melakukan
perubahan ke arah positif serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk
melakukan perubahan (Retnowati, dkk, 2005). Beberapa tahapan dalam masa pemulihan
ketergantungan NAPZA antara lain tahap prakontemplasi, kontemplasi, bertindak, pemantapan dan
pemeliharaan.
Pada tahap prakontemplasi, seorang pecandu akan mengambil keputusan untuk ikut atau
tidaknya dalam program rehabilitasi. Hasil interview yang dilakukan diperoleh bahwa informan
memiliki alasan untuk mengikuti program rehabilitasi. Informan menyatakan bahwa mereka
memutuskan untuk mengikuti program rehabilitasi karena ingin menjadi lebih baik dan berubah,
ingin sembuh agar lebih tenang dan sehat, dan alasan bosan hidup dengan narkoba.
KESIMPULAN DAN SARAN
Informan berpendapat NAPZA adalah narkotika dan obat-obatan serta zat adiktif.
Pengguna NAPZA perlu direhabilitasi agar menjadi lebih baik, tidak mengkonsumsi NAPZA, dan
menjadi relawan narkoba. Informan pertama kali mengkonsumsi NAPZA pada umur 15 tahun dan
mengkonsumsi NAPZA pada saat mengenyam pendidikan SMP. Informan meluangkan waktu
untuk mengikuti program rehabilitasi dan mengikuti program rehabilitasi karena keinginan sendiri.
Di samping itu, keluarga, teman sebaya, dan masyarakat sangat mendukung untuk mengikuti
program rehabilitasi. Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini, maka disarankan beberapa
hal yaitu Pentingnya penyebaran informasi secara kontinyu tentang NAPZA dan dampaknya bagi
pecandu NAPZA melalui konseling, penyuluhan, dan media. Meningkatkan rasa percaya diri bagi
pecandu agar lebih kuat dalam mengikuti program rehabilitasi melalui konseling oleh tenaga
konselor di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Adisukarto, (2001). Gambaran Social Support pada Pecandu Narkoba. Jurnal Repository USU

56

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Anonim. 2012. Jenis Penyalahgunaan NAPZA. http:/www.kaltimprop.co.id, diakses 4 Juni 2012.
Ariskasuci. (2008). Gambaran Interaksi Sosial Pecandu NAPZA Pasca Rehabilitasi. Skripsi (tidak
diterbitkan). Jurnal Psikologi Universitas Paramadina.
Badan Narkotika Nasional. (2012). Jenis-jenis Narkoba dan Aspek Kesehatan Penyalahgunaan
Narkoba. Departemen Sosial RI : Jakarta.
Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Bumi Aksara : Jakarta.
Davis, N. J. (1999). Subtance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Mental
Health Services Division of Program Development, Special Populations & Projects
Special Programs Development Branch (301), pp.443-2844. Status of Research and
Research-based Programs. http://mentalhealth.samhsa.gov/schoolviolence/
Departemen Kesehatan RI. (2008). Kebijakan dan Rencana Strategi Penanggulangan
Penyalahhgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA).
Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
Dewi, (2012). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika. Jurnal Hukum
Universitas Udayana.
Elisa. (2011). Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah
Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Jurnal Keperawatan Jiwa USU
Goleman, D. (2007). Emotional Intelligence. Alih Bahasa: T. Hermaya. PT. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta
Handoko, I. (2009). Profil Emotional Intelligence pada Pecandu Narkoba Berdasarkan 5 Skala
Baron Emotional Quotient Inventory (EQ-i). Tesis (tidak diterbitkan).Jurnal Psikologi
Unika Atma Jaya
Joewana, (2005). Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah
Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Jurnal Keperawatan Jiwa USU
Yurliani (2007). The Providers of Social Support to Dual-Parent Families Caring for Young
Children. Australia : Journal of Community Psychology.
Olson. (1999). Circumplex model VII : Validation Studies & FACES III. Family process. Jurnal
Family Therapy.
Retnowati, dkk. (2005). Persepsi Remaja Ketergantungan NAPZA Mengenai Dukungan Keluarga
Selama Masa Rehabilitasi. Arkhe Jurnal Ilmiah Psikologi, 10, 2. 76 87.
Supriatna, Aang. (2012). Upaya Pencegahan dan Penyembuhan Patologi Sosial Penyalahgunaan
Narkotika Berbasis Keagamaan. Jurnal Repository Universitas Pendidikan Indonesia.
Syam, Safri. (2007). Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Kajian dari
Aspek Kebijakan Kriminal. Jurnal Hukum Universitas Jamb

57

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

POLA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI


BAYI 6-12 BULAN PADA ETNIS BANJAR DI KELURAHAN
TELUK LERONG ILIR
Ida Hayati1, Suriah2, Nur Haedar Jafar3
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wiyata Husada Samarinda
2
Jurusan Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin 3Jurusan
Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanudin
1

ABSTRAK
Untuk tumbuh kembang optimal, anak membutuhkan asupan gizi yang cukup, bayi usia 0-6 bulan
cukup ASI saja, dan bayi diatas 6 bulan memerlukan MP-ASI. Kebiasaan yang dijumpai
dikalangan etnis Banjar adalah adanya pemberian MP-ASI pada bayi kurang dari 6 bulan, yaitu
pemberian pisang kepok pada 2-3 hari setelah bayi lahir, hal ini akan mempengaruhi status gizi
bayi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis tentang pola pemberian MP-ASI pada
bayi usia 6-12 bulan pada kalangan orang Banjar di Kelurahan Teluk Lerong Ilir Kecamatan
Samarinda Ulu. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan informan yaitu ibu beretnis
Banjar yang memiliki bayi 6-12 bulan yang bersedia menjadi informan. Pemilihan informan
dilakukan dengan metode Snowball Sampling. Data berupa informasi dikumpulkan melalui
wawancara mendalam (indeph interview) dan observasi partisipasi. Tehnik analisis data
menggunakan desain studi kasus. Hasil Penelitian menunjukkan perilaku pemberian MP-ASI
pada informan yang diambil dari etnis Banjar adalah usia pemberian MP-ASI paling cepat
diberikan pada usia 3 hari setelah bayi lahir dan paling lambat pada usia 6 bulan. jenis MP-ASI
bervariasi (Pabrikan, bubur nasi, kentang, biskuit, sayur, lauk). Frekuensi pemberian makanan
pokok 3 kali sehari, Porsi pemberian MP-ASI 1-1/2 mangkok bubur nasi yang dicampur dengan
sayur dan lauk sekali makan, cara pemberiannya bervariasi dan konsistensinya ada yang lunak
dan ada yang padat. Pola pemberian MP-ASI di kalangan informan dengan etnis Banjar ada
yang belum tepat dan ada yang mendekati ketepatan.
Kata Kunci : Pola, MP-ASI, Usia, Etnis Banjar
ABSTRACT
For optimal growth and development, children need adequate nutrition, infants aged 0-6 months
just enough milk, and babies over 6 months need the MP-ASI. Habits were found among ethnic
Banjar is the grant of complementary feeding in infants less than 6 months, namely providing
kepok banana on 2-3 days after the baby is born, it will affect the nutritional status of infants. This
study aims to analyze the patterns of giving complementary feeding in infants aged 6-12 months in
the Gulf of Banjar in the Village District Lerong Ilir Samarinda Ulu. This study used a qualitative
design was taken informant Banjar ethnic mothers with infants 6-12 months who are willing to
become informants. The selection of informants Snowball sampling method. Data is information
gathered through in-depth interviews and participant observation. Technical analysis of the data
using a case study design. Behaviour Research shows giving complementary feeding at age among
the informan Banjar is giving MP-ASI fastest given at 3 days after birth and no later than 6

58

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
months of age. various types of complementary feeding (Manufacturing, rice porridge, potatoes,
biscuits, vegetables, side dishes). Frequency of staple food 3 times a day, giving the MP-ASI
portion 1-1/2 cups rice porridge mixed with vegetables and a side dish for a meal, how varied and
consistency of administration was soft and there were solid. complementary feeding patterns
among informan ethnic Banjar there is not right and there are approaching accuracy.
Keywords: Pattern, Complementary feeding, Age, Ethnic Banjar
PENDAHULUAN
ntuk tumbuh kembang optimal, anak membutuhkan asupan gizi yang cukup. Bagi bayi
usia 0-6 bulan, pemberian ASI saja sudah cukup, namun bagi bayi di atas 6 bulan
diperlukan makanan selain ASI yaitu berupa makanan pendamping ASI atau MP-ASI
(Depkes RI., 2006).
Berdasarkan hasil observasi pendahuluan di Kelurahan Teluk Lerong Ilir terdapat tiga pola
pemberian MP-ASI dari 20 bayi 6-12 bulan pada ibu etnis Banjar, yaitu ditemukan bayi
mendapatkan MP-ASI tradisional, buatan pabrik (instan) dan kombinasi. Dari 20 bayi umur 6-12
bulan h a n ya 4 b a yi ( 20%) yang diberi MP-ASI dengan benar (sesuai degan umur, frekuensi
pemberian, porsi, jenis dan cara pemberiannya dilakukan secara bertahap), sedangkan 1 6 bayi
(8 0%) diberikan MP ASI dengan tidak benar (37% diberikan pada usia kurang dari 6 bulan, 22%
bayi diberi bubur buatan pabrik pada saat pertamakali diberi MP-ASI dan langsung diberikan 2
kali dalam sehari, 15% diberi bubur lumat atau nasi yang dilumatkan dan biskuit pada bayi usia 6
bulan, 6% diberi buah pisang yang dikerik pada bayi usia 4 bulan).
Perilaku pemberian MP-ASI pada etnis Banjar secara khusus masih belum banyak dibahas,
berdasarkan temuan di lapangan bayi etnis Banjar ketika lahir langsung diolesi madu pada langitlangit rahangnya, dan jenis makanan yang diberikan tidak sesuai dengan umur bayi. oleh karena
itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui pola
pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan Di Kelurahan Teluk
Lerong Ilir Kecamatan Samarinda Ulu tahun 2012 (Studi Kasus Pada Etnis Banjar).

BAHAN DAN METODE


Jenis dan Desain penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan desain Studi Kasus
yang bermaksud untuk memperoleh informasi yang luas dan mendalam pada permasalahan yang
ada.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Teluk Lerong Ilir Kecamatan Samarinda Ulu, dengan
fokus pada pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada etnis Banjar.
Metode pengumpulan data
Dalam pengumpulan data peneliti berperan langsung sebagai instrumen penelitian dengan
menggunakan pedoman wawancara mendalam yang berisi pertanyaan terbuka sebagai pedoman
untuk wawancara dan lembar observasi untuk mengetahui kebenaran dari hasil wawancara.
Analisis Data
Tehnik analisis data dalam penelitian ini sesuai dengan desain studi kasus. Langkah-langkah
analisis data pada studi kasus menurut Saryono dan Anggraeni (2010), yaitu: mengorganisir
informasi, membaca keseluruhan informasi dan memberi kode, membuat suatu uraian terperinci
mengenai kasus dan konteksnya, peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa
kategori, selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari
kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain, menyajikan secara
naratif, temuan yang ada di lapangan disesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik informan

59

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Penelitian ini menggunakan sumber informasi sebanyak 6 (enam) orang ibu beretnis Banjar yang
berdomisili di Kelurahan Teluk Lerong Ilir yang memiliki bayi usia 6-12 bulan yang bersedia
menjadi informan, yaitu ibu Cy 23 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam, pendidikan
SMP, memiliki 1 orang anak. Ibu Tb. 25 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama islam,
pendidikan SMP, memiliki 3 orang anak. Ibu Nr 34 tahun, seorang ibu rumah tangga beragama
islam, pendidikan SMP, memiliki 6 orang anak. Ibu Hm 22 tahun, seorang ibu rumah tangga
beragama islam, pendidikan SMK, memiliki 1 orang anak. Ibu Jn 44 tahun, seorang ibu rumah
tangga beragama islam, pendidikan SD, memiliki 3 orang anak, dan ibu S 32 tahun, seorang ibu
rumah tangga beragama islam, pendidikan SMK, memiliki 2 orang anak.
Hasil
Usia pertama pemberian MP-ASI
Hasil wawancara dan observasi dari 6 Informan didapatkan 4 informan yang memberian MP-ASI
pada umur kurang dari 6 bulan, seperti yang dikutip dari hasil wawancara sebagai berikut :
Habis lahir tu diadzani, trus kami bari madu sedikit aja pang dimulutnya lawan air rendamam
jari jempol abahnya, jar urang Banjar biar nurut lawan urang tuanya. Mulai usia 2 bulan, mama
mertua yang nyuruh mbarii makan. anak ikam nangis tarus lapar kalo bariii haja makan, dulu
pang ading ikam kada papa dibarii makan pulas malahan guringnya..... (Ibu Cy, usia 23 tahun)
(Habis lahir diadzani, lalu kami kasih madu sedikit aja di mulutnya dan dikasih air bekas
rendaman jempol kaki ayahnya, kata orang Banjar agar nurut dengan orang tuanya kelak. Mulai
usia 2 bulan, mama mertuanya menyuruh memberikan makan anakmu nangis terus lapar
mungkin coba kasih makan aja, dulu adekmu gak papa dikasih makan tidurnya tambah pulas).
Dua informan lagi memberikan MP-ASI nya pada umur 6 bulan, seperti hasil kutipan
wawancara berikut ini:
Pernah umur 6 bulan saya coba tapi gak mau dimuntahkannya, nangis malahan anaknya, kakakkakaknya dulu mulai umur 2 tahun baru mau makan...(Ibu.Tb. usia 25 tahun)
Jenis MP-ASI
Jenis MP-ASI yang diberikan pada etnis Banjar hampir sama pada saat pertama kali di berikan
MP-ASI berasal dari pabrikan yaitu Bubur SUN, seperti yang dikutip dari hasil wawancara
sebagai berikut:
Pertama dulu ulun bari Bubur Sun Beras Merah, ulun nukar di warung mudah haja kalo...
(Ibu Cy, usia 23 tahun) (Waktu pertama dulu saya kasih bubur SUN Beras merah, saya beli di
warung mudah aja kan)
Hanya 1 informan yang memberikan MP-ASI berupa buah pisang yang dikerik dengan sendok,
seperti yang dikutip dari hasil wawancara berikut:
pisang kepok disisir sama sendok aja, tapi dimuntahkannya... (Ibu Hm, usia 22 tahun)
Dari hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa jenis MP-ASI yang diberikan bervariasi,
pada umumnya MP-ASI lanjutan yang diberikan kebanyakan bubur nasi, seperti dikutip dalam
hasil wawancara:
Wahini macam-macamae, dibarii bubur nasi, kadang nasi lawan sayur labu, pentol, kue handak
aja inya tu...( Ibu Cy, usia 23 tahun) (Sekarang macam-macam, dikasih bubur nasi, kadang
nasi sama sayur labu, pentol bakso, kue mau juga dia itu...)
Frekuensi pemberian MP-ASI
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi 5 dari 6 informan didapatkan bahwa, frekuensi
pemberian MP-ASI umumnya diberikan 2-3 kali, seperti kutipan dari hasil wawancara berikut:
Sekarang saya kasih bubur nasi 3 kali sehari diseling roti dan Susu SGM kira-kira 4 sampai 5
botol kecil sehari.. (Ibu.Tb. usia 25 tahun)

60

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Porsi pemberian MP-ASI
Berdasarkaan hasil wawancara dan observasi dari 6 informan didapatkan bahwa, porsi pemberian
MP-ASI umumnya sudah diberikan secara bertahap, seperti kutipan dari hasil wawancara berikut:
6 bulan saya beri SUN beras merah 2 sendok campur dengan air biasa aja sampai setengah
kental (sedanglah), anak saya paling habis hanya setengahnya, diberikan 2 kali sehari
9 bulan diberi SUN sama, di tambah pisang dipegang sendiri sampil digigit paling habis sampai 1
ruas jari aja di tambah Susu SGM 1 dot kecil, ya kadang saya seling biskuit atau kue.
Sekarang saya kasih bubur nasi 3 kali sehari diseling roti dan Susu SGM kira-kira 4-5 botol kecil
sehari.. (Ibu Nr. Usia 34 tahun)
Cara penyajian MP-ASI
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti pada 6 informan dilapangan didapatkan
informasi sebagai berikut:
6 bulan saya beri SUN beras merah 2 sendok campur dengan air biasa aja sampai setengah
kental (sedanglah), anak saya paling habis hanya setengahnya, diberikan 2 kali sehari
9 bulan diberi SUN sama, di tambah pisang dipegang sendiri sambil digigit paling habis sampai 1
ruas jari aja di tambah susu SGM 1 dot kecil, ya kadang saya seling biskuit atau kue.
Sekarang saya kasih bubur nasi 3 kali sehari diseling roti dan Susu SGM kira-kira 4 sampai 5
botol kecil sehari.. (Ibu Nr. Usia 34 tahun)
Konsistensi MP-ASI
Berikut cuplikan hasil wawancara dengan informan tentang konsistensi MP-ASI:
Pertama kali pisang gak mau, 3 bulan dikasih bubur SUN rasa pisang sebanyak setengah sendok
aja dimakan 3-4 suap aja...
sekarang ulun barii kentang haja disayur hanyar dipirik, satu kentang saya potong jadi empat
sekali makan seperempat saya kasih 3 kali, kadang nasi dengan wortel, kuning telur saya pirik
jadi satu untuk 3 kali makan...( Ibu Hm, usia 22 tahun)
PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan penelitian tentang pola pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) bayi umur 6-12 bulan pada etnis Banjar, sebagai berikut :
Makanan utama untuk bayi adalah Air Susu Ibu (ASI), dari hasil wawancara dan observasi
informan beretnis Banjar ini telah memberikan ASI pada bayinya semenjak lahir. Ada informan
tidak memberikan ASI karena ibunya menderita stroke sehingga sejak lahir diberikan pengganti
ASI (PASI) sampai sekarang. Lama pemberian ASI bervariasi ada yang hari kedua, ada yang
diberi ASI hanya 1 minggu saja dikarenakan ASI sudah tidak keluar dan diberi PASI, ada yang
memberikan ASI saja sampai sekarang (bayi berusia 9 bulan), karena bayi menolak diberi PASI
maupun MP-ASI. Sedangkan informan lainnya masih memberikan ASI sampai sekarang. Hal ini
membuktikan bahwa secara naluriah setiap ibu yang melahirkan bayi akan memberikan ASI
kepada anaknya dan dianggap sebagai perilaku normal karena sudah menjadi budaya
dimasyarakat. Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari
kebudayaan, selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat akan
menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan.
Berdasarkan hasil peneliti diketahui bahwa ada Informan yang masih memberikan makanan
pendamping ASI pada bayinya di bawah usia 6 bulan, yaitu pada usia 3 hari, 2, 3 dan 4 bulan
karena anjuran dari ibu mertua, kakaknya, inisiatif sendiri karena bayinya nangis terus dikira
anaknya lapar, sehingga diberikan MP-ASI lebih cepat. Budaya atau kebiasaan yang terjadi di
kalangan informan Etnis Banjar pada bayi yang baru lahir akan diolesi madu di mulutnya dan 2-3
hari setelah lahir diberi pisang sanggar (pisang kepok) yang dikerok dengan sendok, karena sudah

61

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
jadi kebiasaan turun-temurun sehingga generasi selanjutnya ikut melakukannya juga. Pada
penelitian ini ada ditemukan informan yang memberikan buah pisang pada saat 3 hari setelah
melahirkan karena informan ketika melahirkan berada di kampung (Banjarmasin), sedangkan
informan lainnya tidak mengikuti kebiasaan ini karena lingkungan tempat tinggalnya sudah
berbeda. Seseorang yang memberikan MP-ASI terlalu dini pada anaknya bisa dikarenakan orang
tersebut tidak mengetahui usia berapa seharusnya anak bisa diberi makanan selain ASI, Atau
karena hanya mengikuti tradisi atau kebiasaan dari orang tua sebelumnya atau masyarakat di
sekelilingnya (predisposing factors). Minimnya informasi tentang cara dan waktu pemberian MPASI yang tepat (enabling factor), atau peran petugas yang terbatas dalam penyebaran informasi
tentang MP-ASI (reinforsing factor). Hal ini sesuai dengan teori Lowrence Green dalam
Notoatmodjo (2003), yang menyebutkan bahwa perilaku seseorang tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling
factor), dan faktor pendorong (reinforcing factor).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi ditemukan mengenai jenis MP-ASI yang
diberikan pada anak saat pertama kali, informan etnis Banjar masih memberikan MP-ASI hasil
pabrikan, dengan alasan lebih mudah diperoleh, tidak repot dan mudah cara menyajikannya,
informasi ini diperoleh dari lingkungannya (keluarga, tetangga, bidan, TV dan majalah).
Sedangkan jenis makanan yang diberikan pada saat pengambilan data adalah bubur nasi atau nasi
yang dilumatkan (makanan lunak) karena disesuaikan dengan usia bayi (6, 8, 9 dan 11 bulan).
Seseorang berperilaku tertentu disebabkan dari pengetahuan yang dimilikinya yang diperoleh dari
pengalaman sendiri maupun orang lain, dan dari media massa. Hal ini sejalan dengan teori WHO
(1984) dalam Notoadmodjo (2003), yang menyebutkan pengetahuan diperoleh dari pengalaman
sendiri atau pengalaman orang lain. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau
nenek. Seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian
terlebih dahulu.
Scherbaum, et all. (2012), tentang praktik pemberian makan bayi pada anak-anak sedikit
terbuang; studi retrospektif di pulau Nias Indonesia, menambahkan bahwa 6% ibu pernah
menyusui, 52% ibu menyusui dimulai dalam waktu enam jam setelah lahir, tetapi 17% dibuang
kolostrum, 12% ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, 74% ibu yang ditawarkan cairan tambahan
selain ASI dalam 7 hari pertama kehidupan, 14% bayi menerima sampai bayi usia 6 bulan, 79%
bayi diberi makanan pendamping (padat, makanan semi padat, atau lembut) sebelum usia 6 bulan,
9% anak-anak ASI sampai dua tahun. Penilaian kualitatif menemukan bahwa pemberian MP-ASI
tidak tepat sangat dipengaruhi oleh keyakinan tradisional dari ibu dan nenek dari pihak ayah di
wilayah studi.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa, informan memberikan makanan
pendamping ASI pada bayinya sehari 3 kali dengan porsi 1-1/2 mangkok. Informasi mengenai
frekuensi pemberian MP-ASI diperoleh dari pengalaman lingkungan informan sendiri, ( pengalaman
anak-anak sebelumnya, keluarga, posyandu, bidan di desa buku). Penyebab seseorang berperilaku
tertentu menurut teori WHO (1984) dalam Notoatmodjo (2003), adalah pemikiran dan perasaan
(thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian
seseorang terhadap objek (objek kesehatan), satu diantaranya yaitu sikap menggambarkan suka
atau tidak suka seseorang terhadap objek. Depkes RI (2007), menjelaskan bahwa frekuensi dalam
pemberian makanan pendamping ASI yang tepat biasanya diberikan tiga kali sehari. Hasil
identifikasi ini didukung oleh hasil penelitian Sumartini (2011), tentang pengaruh pola pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) terhadap status gizi pada bayi 6-12 bulan di Kecamatan Medan
Ampalas, dijelaskan bahwa pola pemberian MP-ASI (jenis makanan tambahan, konsumsi energi
dan protein serta frekuensi makan berpengaruh terhadap ststus gizi bayi 6-12 bulan. Usia
pertamakali pemberian MP ASI tidak berpengaruh terhadap status gizi pada bayi 6-12 bulan.
Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa pemberian MP-ASI pada informan etnis
Banjar sudah diberikan secara bertahap yaitu pada awal pemberian (bayi usia 2,3, dan 4 bulan)
diberikan bubur SUN sebanyak 2 sendok untuk sekali makan dan diberikan 2 kali sehari, dan saat

62

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
sekarang (usia 6, 8, 9 dan 11 bulan) diberikan bubur nasi maupun nasi yang dilumatkan (makanan
lunak), diberikan 3 kali sehari, sebanyak - 1 mangkok setiap kali makan. Anjuran untuk porsi
pemberian MP-ASI ini tidak ada anjuran dari siapapun melainkan dari nalurinya sendiri ataupun
dari pengalaman anak sebelumnya. Teori Kar (1983) dalam Notoadmodjo (2003), yang mencoba
menganalisis perilaku kesehatan bahwa perilaku merupakan fungsi dari otonomi pribadi orang
yang bersangkutan dalam hal pengambilan keputusan (personal autonomy), dan tergantung dari
situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).Aminah (2010), dalam bukunya
menerangkan bahwa porsi makanan hendaknya diberikan secara bertahap, berangsur mulai
dari satu sendok hingga bertambah sesuai porsi kebutuhan bayi. Penelitian serupa oleh Leksono
(2007), ditemukan 95% pernah menerima MP-ASI dan selama 3 bulan pelaksanaan program MPASI lokal terdapat 42,10% responden pernah mendapat MP-ASI, 1Kali, 21,10% 2 kali, 36,80% 3
kali.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa ada informan memberikan
makanan pendamping ASI dengan mencampurnya bersama susu formula dan memberikannya melalui
dot, dengan alasan anaknya masih lapar walau sudah di kasih ASI, informasi tentang pemberian MPASI diperoleh dari lingkungan dan informasi dari kebiasaan dalam keluarga. Hal ini tidak sesuai
dengan pendapat Pujiarto (2008), yang mengatakan bahwa MP-ASI diberikan dengan menggunakan
sendok bukan dengan botol, hal ini diduga karena informan masih belum mengetahui secara pasti
tentang cara pemberian MP-ASI yang benar. Teori Kar (1983) dalam Notoatmodjo, (2003)
menerangkan perilaku merupakan fungsi dari niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan
kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention) dan situasi yang memungkinkan
untuk bertindak
Penemuan dalam wawancara dan observasi lapangan adalah kalangan informan etnis Banjar
memberikan makan bayinya yang pada saat diidentifikasi dengan menggunakan sendok dan tangan,
diberikan dengan cara anak dipangku,didudukkan di lantai sambil bermain, dinaikkan kereta,
digendong sambil jalan-jalan. Makanan yang disajikan dalam bentuk hangat. Menurut Marimbi
(2010), MP-ASI diberikan secara hati-hati sedikit demi sedikit dari bentuk encer kemudian yang
lebih kental secara berangsur-angsur, makanan diperkenalkan satu persatu sampai bayi benarbenar dapat menerimanya, makanan yang menimbulkan alergi diberikan paling terakhir dan harus
dicoba sedikit demi sedikit, misalnya telur, cara pemberiannya kuningnya lebih dahulu setelah
tidak ada reaksi alergi, maka hari berikutnya boleh diberikan putihnya.
Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan ditemukan bahwa konsistensi pemberian
makanan dikalangan informan etnis Banjar tidak ada ciri khas tertentu. Pada usia di atas enam
bulan makanan yang diberikan adalah makanan lunak (bubur nasi atau nasi yang dipirik atau
dilumatkan) yang diberikan dalam bentuk sedang (kental). Pengetahuan tentang konsistensi
makanan ini sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Hal ini
sesuai dengan Pendapat WHO (1984) dalam Notoatmodjo (2003), menganalisis bahwa yang
menyebabkan seseorang berperilaku tertentu, satu diantaranya adalah Pengetahuan diperoleh dari
pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Penelitian sejenis oleh Fathurrahman (2010),
tentang faktor yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI pada bayi oleh ibu-ibu
pedesaan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan diketahui bahwa proporsi bayi yang telah diberi
MP-ASI di pedesaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah 38,8%. Bayi-bayi di
pedesaan sudah mulai diberi MP-ASI pada bulan keempat (33%), bahkan ada 15.0% yang
diberi pada bulan ke-1. Jenis MP-ASI yang diberikan di samping susu fomula juga
diberikan makanan tradisional berupa makanan Iumat (bubur nasi), makanan lembik (ketupat,
nasi lembik). Menurut Depkes RI (2011), anak mempunyai ukuran lambung yang kecil. Makanan
cair atau bubur encer akan cepat membuat anak kenyang. Kekentalan makanan akan menentukan
kebutuhan gizi anak dapat terpenuhi atau tidak. Bubur yang kental akan memberikan energi lebih
banyak bagi anak daripada bubur MP-ASI encer.
Perilaku pemberian MP-ASI pada kalangan informan etnis Banjar ada yang sudah tepat dan
ada yang belum tepat, dan semuanya disebabkan oleh pengalaman yang berbeda. Perilaku

63

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Pemberian MP-ASI yang tidak tepat (diberikan pada usia dini) di kalangan orang Banjar lebih
banyak dikarenakan oleh pengaruh orang terdekat (ibu, mertua, kakak) atau karena kebiasaan yang
terjadi di masyarakat sekitarnya, dan kebiasaan ini sudah menjadi suatu budaya, bahkan menurut
informan kebiasaan orang Banjar, 3-4 hari setelah bayi lahir diberi pisang sanggar (pisang kepok)
yang disisir atau dikerok dengan sendok. Hal ini sesuai dengan pendapat Prabantini (2010), yaitu
orang tua juga mungkin memberikan nasehat yang berbeda, terlebih jika bayi dinilai terlalu kurus.
Tak jarang orang tua mendesak agar bayi diberi pisang saat umurnya masih 3 bulan. Sejalan
dengan pengamalan perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku setiap individu, sangat
erat hubungannya dengan belief atau kepercayaan sebagai bagian dari budaya masyarakat yang
bersangkutan (Ngatimin, 2005).Perilaku pemberian MP-ASI pada etnis Banjar secara khusus
masih belum banyak dibahas. Berdasarkan temuan di lapangan bayi etnis Banjar ketika lahir
langsung diolesi madu pada langit-langit rahangnya dan bayi diberi makan sebelum usia 6 bulan
dengan alasan bayi rewel karena lapar dan lain sebagainya.Lismintari (2010), dalam penelitiannya
diketahui bahwa budaya di dalam masyarakat (Jawa, Kutai, Banjar, Bugis dan Dayak), yang
memiliki kebiasaan memberikan makanan sejak bayi dengan alasan ASI tidak cukup memenuhi
kebutuhan bayi. Kebiasaan di dalam masyarakat tersebut meliputi memberikan makanan pisang,
memberi madu, dan kelapa muda setelah bayi lahir.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
bayi usia 6-12 bulan pada etnis Banjar di Kelurahan Teluk Lerong Kecamatan Samarinda Ulu,
dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
Usia pertama pemberian MP-ASI bervariasi, yaitu MP-ASI diberikan pada usia 3 hari setelah bayi
lahir, bayi usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan ada yang sampai sekarang (bayi usia 9 bulan)
tidak diberi MP-ASI karena bayi menolak Jenis MP-ASI yang diberikan pada anak saat pertama
kali, adalah buah pisang kepok yang dikerok dengan sendok dan MP-ASI hasil pabrikan, dengan
alasan lebih mudah diperoleh, tidak repot dan mudah cara menyajikannya, informasi tentang
makanan pabrikan ini diperoleh dari lingkungannya seperti dari keluarga, tetangga, bidan ataupun
dari media seperti TV dan majalah. Sedangkan jenis makanan yang diberikan pada saat
pengambilan data adalah bubur nasi atau nasi yang dilumatkan karena disesuaikan dengan usia
bayi yang pada saat pengumpulan data sudah berusia 6, 8, 9 dan 11 bulan dan ada yang diberikan
pentol bakso dengan dilumatkan menggunakan tangan terlebih dahulu.
Frekuensi pemberian MP-ASI pada bayi usia 3, 4, dan 6 bulan dibrikan 2 kali sehari sedangkan pada
bayi usia 6, 8, 9 dan 11 bulan pada saat pengumpulan data diberikan MP-ASI sehari 3 kali (pagi,
siang dan sore) Informasinya diperoleh informan dari pengalaman pemberian MP-ASI pada anak
sebelumnya, keluarga, posyandu, bidan di desa maupun dari membaca buku.
Porsi pemberian MP-ASI diberikan secara bertahap yaitu pada awal pemberian (bayi usia 3, 4 dan
6 bulan) diberikan bubur SUN dengan rasa beras merah atau rasa buah pisang dengan takaran 2
sendok untuk sekali makan dan diberikan 2 kali sehari, dan saat saat pengambilan data (usia 6, 9
dan 11 bulan) diberikan bubur nasi maupun nasi yang dilumatkan (makanan lunak), diberikan 3
kali sehari, sebanyak -1 mangkok setiap kali makan. Tidak ada anjuran dari siapapun untuk porsi
pemberian MP-ASI ini, melainkan dari nalurinya sendiri ataupun dari pengalaman anak
sebelumnya.
Cara pemberian MP-ASI, ada informan yang mencampur MP-ASI dengan susu formula dan
diberikan melalui dot, informasi diperoleh dari lingkungan dan kebiasaan dalam keluarga. Saat bayi
berusia 6,8, 9 dan 11 bulan diberikan menggunakan sendok dengan cara anak dipangku atau dibiarkan
duduk di lantai sambil bermain, di naikkan kereta, digendong sambil jalan-jalan, makanan yang
disajikan dalam bentuk hangat.
Konsistensi pemberian makanan dikalangan etnis Banjar yang menjadi informan seperti
kebanyakan masyarakat pada umumnya, tidak ada ciri khas tertentu. Pada usia di atas enam bulan

64

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
diberikan makanan lunak (bubur nasi atau nasi yang dipirik atau dilumatkan). informasinya
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.
Perilaku pemberian MP-ASI pada kalangan orang Banjar ada yang mendekati tepat dan ada yang
belum tepat, dan semuanya disebabkan oleh pengalaman yang berbeda.
SARAN
Berdasarkan simpulan di atas maka saran yang bisa penulis berikan, sebagai berikut:
Kepada Dinas Kesehatan khususnya bidang Gizi, perlu mengadakan pelatihan konseling MP-ASI,
tentang usia pertama pemberian MP-ASI, porsi dan konsistensi MP-ASI pada bayi, untuk tenaga
gizi dan bidan di desa.
Kepada puskesmas, khususnya bidang gizi, KIA dan bidan di desa, perlu meningkatkan
pengetahuan masyarakat, tentang MP-ASI Khususnya usia pertama pemberian, porsi dan
konsistensi MP-ASI melalui penyuluhan model pendampingan.
Kepada ibu menyusui dan keluarga, diharapkan rajin untuk melakukan konsultasi tentang
pemberian MP-ASI dan konsistensi MP-ASI yang tepat dan benar kepada bidan di desa dengan
mengikuti penyuluhan tentang PMT dan usia awal pemberian MP-ASI, porsi dan konsistensi MPASI melalui posyandu, puskesmas, informasi media masa (koran, majalah) maupun media
elektronik (TV atau radio).
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, M.S., (2009). Seri Buku Pintar, Babys Corner. Kamus Bayi 0-12 bulan. Luxima. Jakarta
Depkes RI, (2006). Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
Lokal. Jakart
Depkes RI. (2007). Buku Pedoman Pemberian Makanan Pendamping ASI. Ditjen Bina Kesehatan
Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Jakarta
Depkes RI, (2011). Pelatihan Konseling Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).
Kementrian Kesehatan RI, Direktorat Bin Gizi. Jakarta
Faturrahman, F., (2010). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Makanan
Pendamping Asi Oleh Ibu-Ibu Di Pedesaan Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Staf
Pengajar Gizi. Kalimatan Selatan
Leksono, P., (2007). Evaluasi Pelaksanaan Program MP-ASI Lokal di Kota Kendari. Media Gizi
dan Kesehatan. Jurusan Gizi Poltekes Kendari
Lismintari, L., (2010). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini
Pada Bayi usia 0-6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Teluk Dalam Kecamatan Tenggarong
Seberang Kabupaten Tenggarong Seberang
Ngatimin, M., R. (2005). Ilmu Perilaku Kesehatan, Sari dan Aplikasi. Makassar : Yayasan PK-3.
Notoatmodjo, S, (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakart
Pujiarto, P.S., (2008). Q & A Smart Parents For Healthy Children. Inti Sari Mediatama. Jakarta
Prabantini D., (2010). A to Z, Makanan Pendamping ASI, Si Kecii Sehat dan Cerdas Berkat MPASI Rumahan. Andi Offset. Yogyakarta.
Saryono, S., dan Anggraeni, A., (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang
Kesehatan. Mulia Medika, Yogyakarta
Scherbaum, V., et al, (2012). Praktik Pemberian Makan Bayi Pada Anak-Anak Sedikit Terbuang:
Studi Retrospektif Di Pulau Nias, Indonesia. International breastfeeding journal. BioMed
Central Ltd
Sumartini, S., (2011), Pengaruh Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Terhadap
Status Gizi pada Bayi 6-12 Bulan di Kecamatan Medan Amplas. diakses dari
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33100

65

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

DAMPAK PENYULUHAN INISIASI MENYUSU DINI PADA IBU BERSALIN


DI KOTA PAREPARE
Henrick Sampeangin1, Suriah1, Noer Bahry Noor2
Konsentrasi Promosi Kesehatan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
2
KonsentrasiAdministrasi Rumah Sakit Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
1

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menilai perbedaan pengetahuan ibu bersalin tentang IMD sebelum dan
sesudah intervensi, menilai perbedaan sikap ibu bersalin sebelum dan sesudah intervensi, menilai
tindakan ibu bersalin dalam pemberian IMD, dan menilai dampak penyuluhan IMD pada ibu
bersalin setelah intervensi di Kota Parepare. Jenis penelitian adalah kuasi eksperimen dengan
rancangan Non-Randomized Control Group Pretest-postest Design. Sampel sebanyak 200 orang
ibu hamil yang usia kehamilannya 35-36 minggu di Kota Parepare, pada kelompok intervensi dan
kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan
menggunakan uji Wilcoxon, Mann-Whitney, dan Regresi Linear. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada perbedaan pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah
intervensi (p = 0,000). Ada perbedaan sikap ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan
sesudah intervensi (p = 0,000). Sebanyak 55,0 % ibu melaksanakan inisiasi menyusu dini setelah
mendapatkan intervensi. Pengaruh media yaitu pernah terpapar video IMD yang paling dominan
berdampak terhadap pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini (p = 0,001), tidak ada satu
pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap terhadap inisiasi menyusu dini
(semua p > 0,05), serta pengaruh media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan
berdampak terhadap tindakan inisiasi menyusu dini (p = 0,014). Dinas Kesehatan Kota Parepare,
Puskesmas, dan rumah sakit perlu mensosialisasikan pentingnya IMD kepada bidan sebagai
tangan pertama yang dapat merangkul ibu hamil untuk melaksanakan IMD
Kata Kunci

penyuluhan, inisiasi menyusu dini, ibu bersalin

ABSTRACT
The aims of the research are to assess the difference between the knowledge of giving birth
mothers before intervention and the one after intervention, to assess the difference between the
attitude of giving birth mothers before intervention and the one after intervention, to assess the
giving birth mothers action in giving early breast-feeding initiation, and to assess the impact of
counseling of early breast-feeding initiation on giving birth mothers after intervention in
Parepare.The research was a quasi-experimental study with Non-Randomized Control Group
Pretest- Postest Design. The sample consisted of 200 pregnant mothers whose pregnant age
samples from 35 to 36 weeksin Parepare. The data were ibtained by giving questionnaire. They
were analyzed by using Wilcoxon, Mann-Whitney, and Linear Regression tests.The results of the
research indicate that there is a difference between mothers knowledge on early breast-feeding
initiation before intervention and the one after intervention (p = 0.000). There is also a difference
between mothers attitude on early breast-feeding initiation before intervention and the one after

66

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
intervention (p = 0.000). There is 55.0 % of mothers who perform early breast-feeding initiation
after they get intervention. The most dominant influence of media about early breast-feeding is
mothers knowledge (p = 0.001), but there is no variable giving dominant influence on mothers
attitude about early-breastfeeding initiation ( all p > 0,05). On the other hand, media has
dominant influence on the action of early breast-feeding initiation(p = 0.014). Therefore, Health
Department of Parepare, Public Health Centre, and hospitals need to give socialization on the
importance of early breast-feeding initiation to midwives as the first people who make contact
with pregnant mothers to conduct early breast-feeding initiation.
Keywords

: counseling, early breast-feeding initiation, giving birth mothers

PENDAHULUAN
nisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah suatu upaya untuk membantu bayi agar dapat menyusu
dengan memanfaatkan insting bayi yang sudah muncul sejak satu jam pertama setelah
dilahirkan (Roesli, 2008). Lebih lanjut dijelaskan oleh Roesli (2008), inisiasi dilakukan
ketika bayi lahir, tali pusat dipotong, lalu dilap kering dan langsung diberikan kepada ibu.
Dalam proses ini, harus ada sentuhan skin to skin contact, dimana bayi tidak boleh dipisahkan dulu
dari ibunya. Bayi dibiarkan di dada ibu minimal 30 menit sampai mencari sendiri puting susu
ibunya dan langsung diminum.
Pelaksanaan IMD dan pemberian ASI Eksklusif pada bayi merupakan cara terbaik bagi
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sejak dini. Di Indonesia, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia melalui program perbaikan gizi masyarakat telah menargetkan
cakupan ASI eksklusif 6 bulan sebesar 80% (Depkes RI, 2005). Namun demikian angka ini sangat
sulit untuk dicapai bahkan trend prevalensi ASI eksklusif dari tahun ke tahun terus menurun, hal
tersebut sangat memprihatinkan mengingat ASI eksklusif sangat penting bagi tumbuh kembang
bayi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmiati dan Besral tentang pengaruh durasi
pemberian ASI terhadap ketahanan hidup bayi di Indonesia ditemukan bahwa durasi pemberian
ASI sangat mempengaruhi ketahanan hidup bayi di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ariefudin, dkk tahun 2009 di Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal, menunjukkan ada
hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian infeksi saluran
pernapasan akut pada bayi 0-12 bulan p = 0,000 (p < 0,05). Bayi yang diberi ASI secara eksklusif
kemungkinan untuk menderita penyakit ISPA lebih rendah dibanding bayi yang tidak mendapat
ASI secara eksklusif. Bayi yang diberi ASI eksklusif hanya 10,4% sedangkan yang tidak mendapat
ASI ekslusif sebanyak 32,4%.
Sesuai dengan penjelasan Mandi (1981) dalam Danga (2007) bahwa penerangan yang baik
mengenai keuntungan-keuntungan ASI akan cukup membantu jika ibu memutuskan untuk
menyusui bayinya, dengan demikian dibutuhkan penyuluhan dengan berbagai metode yang tepat
tentang IMD oleh karena pertama; sekarang ini air susu ibu dan menyusui dianggap suatu hal yang
tidak perlu dipelajari lagi padahal ASI eksklusif terlebih IMD termasuk informasi yang relatif
baru. Kedua; manajemen laktasi yang benar dapat dipraktekkan secara efektif dan ketiga; adanya
mitos-mitos yang menyesatkan yang menghambat pemberian ASI.
Banyak aspek yang berperan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
Eksklusif antara lain adalah kebijakan instansi pemerintah, ibu menyusui menghadapi banyak
hambatan yang berhubungan dengan pelayanan yang diperoleh di tempat persalinan, dukungan yang
diberikan oleh anggota keluarga di rumah, banyaknya ibu yang belum dibekali pengetahuan yang
cukup tentang teknik menyusui yang benar dan manajemen kesulitan laktasi, termasuk tantangan
yang dihadapi oleh ibu bekerja (Aprilia, 2009; Asmiajati, 2000). Menurut Elaine (2003) konseling
laktasi akan sangat membantu ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif. Faktor lain penyebab
rendahnya pemberian ASI di Indonesia adalah faktor sosial budaya, hal ini dapat terlihat dalam
aspek pengetahuan, kepercayaan/keyakinan, pekerjaan, pemanfaatan sarana kesehatan dan norma /

67

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
nilai-nilai yang sedang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Banyak ibu-ibu yang tidak
menyusui bayinya termasuk tidak melakukan IMD hanya karena meniru teman-teman atau
tetangganya (Amiruddin, 2006; Siregar, 2004).
Adanya Komitmen yang kuat dari para petugas kesehatan atau health
provider (dokter, bidan, perawat, manajemen rumah sakit dan lain-lain yang
terkait) dalam melaksanakan penyuluhan tentang IMD kepada ibu hamil agar
menyusui bayinya secara dini akan sangat membantu dalam peningkatan IMD
oleh karena merekalah yang selalu kontak langsung dengan masyarakat dan
memungkinkan untuk memberikan penyuluhan. Karena itu peneliti melihat
bahwa dengan metode penyuluhan tentang IMD yang sifatnya praktis,
persuasif dan edukatif diharapkan akan meningkatkan prosentase ibu bersalin
dalam melaksanakan IMD. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menilai dampak
penyuluhan IMD pada Ibu Bersalin.

METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan Non-Randomized
Control Group Pretest-postest Design. Diharapkan dengan desain ini memungkinkan dilakukan
pengukuran pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
yang tidak mendapatkan perlakuan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan kurang lebih tiga bulan (Maret 2012 Mei 2012) di Kota
Parepare.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang usia kehamilannya 35 36
minggu di kota Parepare pada bulan Januari 2012 sebanyak 120. Besar sampel dihitung dengan
menggunakan rumus sampel untuk penelitian kesehatan dengan populasi diketahui.
Pengolahan dan Analisis Data
Penyuntingan data dilakukan dua kali yakni : pertama, pada saat pelaksanaan wawancara
dilapangan dengan tujuan untuk mengoreksi secara langsung kesalahan-kesalahan pada pengisian
kuesioner oleh pewawancara. Kedua pada saat awal pengolahan data yang dimaksudkan untuk
menilai hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan apakah memenuhi syarat untuk diikutkan
dalam analisis atau tidak. Analisis univariat untuk melihat sebaran pengetahuan, sikap, tindakan,
karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), media dan dukungan keluarga. Analisis
bivariat : Kesetaraan variabel pada kelompok intervensi dan kontrol dan Menilai perbedaan ratarata skor pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah intervensi. Analisis multivariat untuk
melihat dampak intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pelaksanaan IMD
setelah dikontrol oleh karakteristik ibu, media dan dukungan keluarga.
Kesetaraan Variabel
Sebaran pengetahuan, sikap, tindakan, karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan,
pekerjaan), media dan dukungan keluarga di Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap yang diambil
sebagai sampel oleh peneliti dianggap setara, dikarenakan nilai frekuensi dari karakteristik ibu
(umur, tingkat pendidikan, pekerjaan), media, dan dukungan keluarga memiliki nilai yang hampir
sama pada kelompok intervensi dan kontrol, begitu pula dengan nilai rata-rata dari pengetahuan,
sikap, dan tindakan responden pada kelompok intervensi dan kontrol. Dengan demikian maka
variabel telah setara dan dapat dianalisis lebih lanjut.

68

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
HASIL
Karakteristik Responden
Usia, Pekerjaan, dan Pendidikan Terakhir
Jumlah responden paling banyak pada kelompok umur 26-30 tahun sebesar 31,0 % untuk
kelompok intervensi sedangkan pada kelompok kontrol yaitu pada kelompok umur 21-25 tahun
sebesar 28,0 % dan jumlah responden paling sedikit pada kelompok umur > 50 tahun sebesar 0 %
untuk kelompok intervensi sedangkan pada kelompok kontrol yaitu > 50 tahun sebesar 1,0 %.
Jenis pekerjaan responden pada kelompok intervensi paling banyak sebagai ibu rumah tangga
sebesar 76,0 %, demikian pula pada kelompok kontrol yaitu ibu rumah tangga sebesar 80,0 %
sedangkan jenis pekerjaan responden pada kelompok intervensi paling sedikit sebagai petani
sebesar 0 %, dan pada kelompok kontrol yaitu pegawai swasta sebesar 2,0 %. Pendidikan terakhir
responden pada kelompok intervensi paling banyak yaitu SMA sebesar 49,0 %, demikian pula
pada kelompok kontrol yaitu SMA sebesar 38,0 %, sedangkan pendidikan terakhir responden pada
kelompok intervensi paling sedikit yaitu tidak sekolah sebesar 4,0 %, demikian halnya dengan
kelompok kontrol yaitu tidak sekolah sebesar 5,0 %.
Terpapar Video IMD dan Dukungan Keluarga
Distribusi responden berdasarkan keterpaparan video IMD yang terbanyak pada kelompok
intervensi yaitu tidak pernah melihat video IMD sebesar 90,0 %, demikian pula pada kelompok
kontrol yang tidak pernah melihat video IMD sebesar 78,0 %. Responden menurut dukungan
keluarga yang terbanyak pada kelompok intervensi yaitu ada dukungan keluarga sebesar 88,0 %,
demikian pula pada kelompok kontrol yaitu dukungan keluarga sebesar 69,0 %.
Analisis Sebelum dan Setelah Intervensi
Pengetahuan tentang IMD
Perbandingan pengetahuan sebelum dan setelah intervensi penyuluhan yang dilakukan terhadap
100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum intervensi
adalah 7,47 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata pengetahuan adalah 9,28. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
bermakna antara sebelum dan setelah intervensi penyuluhan terhadap pengetahuan responden
tentang IMD.
Perbandingan pengetahuan sebelum dan setelah intervensi jenis penyuluhan kelompok
yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata pengetahuan
responden sebelum intervensi adalah 7,47 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata pengetahuan
adalah 9,45.Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05), dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis
penyuluhan kelompok terhadap pengetahuan responden tentang IMD.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
ada perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis penyuluhan individu
terhadap pengetahuan responden tentang IMD. Perbandingan pengetahuan sebelum dan setelah
melahirkan pada kelompok kontrol yang dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa
nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum melahirkan adalah 6,96 kemudian setelah
melahirkan nilai rata-rata pengetahuan adalah 7,48. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 (p <
0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara sebelum dan
setelah melahirkan terhadap pengetahuan responden tentang IMD.
Sikap terhadap IMD
Perbandingan sikap sebelum dan setelah intervensi penyuluhan yang dilakukan terhadap
100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi adalah
31,39 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata sikap adalah 34,00. Ada perbedaan bermakna
antara sebelum dan setelah intervensi penyuluhan terhadap sikap responden tentang IMD.
Perbandingan sikap sebelum dan setelah intervensi jenis penyuluhan kelompok yang dilakukan

69

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi
adalah 31,06 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata sikap adalah 34,12. Ada perbedaan
bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis penyuluhan kelompok terhadap sikap
responden tentang IMD.
Analisis Dampak Penyuluhan Individu Terhadap Sikap Responden tentang IMD pada
Kelompok Intervensi
Perbandingan sikap sebelum dan setelah intervensi jenis penyuluhan kelompok yang
dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum
intervensi adalah 32,03 kemudian setelah intervensi nilai rata-rata sikap adalah 33,76. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p = 0,002 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah intervensi pada jenis penyuluhan kelompok
terhadap sikap responden tentang IMD.
Analisis Sikap Responden terhadap pada Kelompok Kontrol di Kota Parepare
Perbandingan sikap sebelum dan setelah melahirkan pada kelompok kontrol yang
dilakukan terhadap 100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum
melahirkan adalah 29,41 kemudian setelah melahirkan nilai rata-rata sikap adalah 30,08. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p = 0,001 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah melahirkan terhadap sikap responden tentang
IMD.
Tindakan dalam IMD
Berdasarkan hasil uji statistik pada lampiran hasil analisis dengan menggunakan Kolmogorov
Smirnov yang bertujuan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak, hasil
analisis menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal, sehingga dilakukan analisis dengan
uji Wilcoxon untuk mengetahui dampak intervensi penyuluhan terhadap tindakan IMD responden.
Perbandingan tindakan pada jenis penyuluhan kelompok dan individu yang dilakukan terhadap
100 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata tindakan pada penyuluhan kelompok adalah
4,85 kemudian pada penyuluhan individu nilai rata-rata tindakan adalah 6,76. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,109 (p < 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna antara jenis penyuluhan kelompok dan individu terhadap tindakan IMD
responden.
PengetahuanSebelum Intervensi tentang IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Tabel 1 menunjukkan bahwa perbandingan pengetahuan sebelum intervensi pada
kelompok intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa
nilai rata-ratanya adalah 7,22. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney
menunjukkan bahwa nilai p = 0,123 (p> 0,05), ini berarti tidak ada perbedaan pengetahuan tentang
IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol sebelum intervensi.
Pengetahuan Setelah Intervensi tentang IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Tabel 2 menunjukkan bahwa perbandingan pengetahuan setelah intervensi pada
kelompok intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa
nilai rata-ratanya adalah 8,38. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney
menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05), ini berarti ada perbedaan pengetahuan tentang
IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol setelah intervensi.
Sikap Sebelum Intervensi terhadap IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Tabel 3 menunjukkan bahwa perbandingan sikap sebelum intervensi pada kelompok
intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rataratanya adalah 30,40. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa
nilai p = 0,000 (p < 0,05), ini berarti ada perbedaan sikap tentang IMD antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol sebelum intervensi.
Sikap Setelah Intervensi terhadap IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol

70

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan sikap setelah intervensi pada kelompok
intervensi dan kontrol yang dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rataratanya adalah 32,04. Hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa
nilai p = 0,000 (p < 0,05), ini berarti ada perbedaan sikap tentang IMD antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol setelah intervensi.
Tindakan dalam IMD pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Tabel 5 menunjukkan bahwa perbandingan tindakan pada kelompok intervensi dan kontrol yang
dilakukan terhadap 200 responden diperoleh hasil bahwa nilai rata-ratanya adalah 3,05. Hasil
analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05),
ini berarti ada perbedaan tindakan IMD antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Pengetahuan tentang
IMD
Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear
menunjukkan bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang
paling berdampak terhadap pengetahuan tentang IMD adalah media (pernah terpapar video IMD),
dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling
dominan berdampak terhadap pengetahuan tentang IMD.
Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Sikap terhadap IMD
Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan
bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, tidak ada satu pun variabel
yang berdampak terhadap sikap terhadap IMD, disebabkan semua nilai p > 0,05. Ini berarti tidak
ada satu pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap terhadap IMD.
Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap Tindakan dalam IMD
Tabel 8 menunjukkan bahwa hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan
bahwa dari variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang paling
berdampak terhadap tindakan dalam IMD adalah media (pernah terpapar video IMD), dengan nilai
p = 0,014 (p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan
berdampak terhadap tindakan dalam IMD.
PEMBAHASAN
Pengetahuan
Untuk perbedaan pengetahuan sebelum intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol,
hasil analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,123
(p>0,05), ini berarti tidak ada perbedaan pengetahuan tentang IMD antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol sebelum intervensi. Sedangkan untuk perbedaan pengetahuan setelah
intervensi pada kelompok intervensi dan kontrol, hasil analisis dengan menggunakan uji MannWhitney menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p<0,05), ini berarti ada perbedaanpengetahuan
tentang IMD antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol atau setelah intervensi.
Untuk dampak karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga terhadap pengetahuan
tentang IMD, hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari
variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang paling berdampak
terhadap pengetahuan tentang IMD adalah media (pernah terpapar video IMD), dengan nilai p =
0,001 (p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak
terhadap pengetahuan tentang IMD.
Sejalan pula dengan teori yang dikemukakan oleh Snehandu B. Kar (1983) dalam
Notoatmodjo (2005), bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : (1)
Behavior Intention, (2) Social Support, (3) Acessebility of Information, (4) Personal Autonomy,
dan (5) Action Situation. Pengetahuan termasuk dalam salah satu elemen Personal Autonomy, di
samping karakteristik individu dan sikap.
Sejalan dengan penelitian Jurana (2008), bahwa pengetahuan belum dilakukan
sebagaimana mestinya yang seharusnya mempersiapkan terlebih dahulu materi, media, metode

71

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
dan teknik serta kerjasama dengan sasaran sebelum penyuluhan dilakukan. Di sinilah letak peran
penting pengetahuan ibu yang diharapkan dapat meningkat setelah ada penyuluhan tentang
IMD.Variabel penelitiannya terdiri dari pengetahuan bidan, sikap bidan, dan praktek bidan.
Sampelnya 5 bidan bertugas Puskesmas, pustu, dan polindes; 1 dokter Kepala Puskesmas; 8 ibu
yang mempunyai bayi; 7 ibu. Metodenya kualitatif dengan pendekatan fenomena.
Sejalan pula dengan penelitian Rahayu (2002), bahwa pengetahuan ibu bersalin tentang
ASI dan pengetahuan petugas kesehatan tentang manajemen laktasi memberikan kontribusi besar
dalam keberhasilan praktek menyusui dini. Variabel penelitiannya terdiri dari variabel independent
berupa karakteristik ibu bersalin serta karakteristik petugas kesehatan, dan variabel dependent
berupa praktek menyusui dini. Sampelnya ibu bersalin dan petugas kesehatan. Metodenya
rancangan penelitian crosssectional, pengolahan data dengan deskriptif analitik, metode
kuantitatif, dan kualitatif.
Sikap
Untuk dampak karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga terhadap sikap tentang
IMD, hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari variabel
karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, tidak ada satu pun variabel yang berdampak
terhadap sikap tentang IMD, disebabkan semua nilai p > 0,05. Ini berarti tidak ada satu pun
variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap tentang IMD. Sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh Ngatimin (2005) yang dikutip dari Teori Blum, bahwa sikap (affective domain),
tujuannya ditekankan pada perubahan perhatian, sikap, nilai, penghargaan dan penyesuaian,
dimana domain ini terdiri atas lima tingkatan yaitu Tingkat A-1; penerimaan (receiving) bahwa
bila seorang berada pada posisi sadar adanya rangsangan dari luar yang menyadarkan padanya
bahwa telah terjadi sesuatu biasanya dengan adanya rangsangan dari luar, akan timbul perhatian;
Tingkat A-2; penjawaban (responding) bahwa bila seseorang berada pada posisi dimana
rangsangan telah mampu merubahnya untuk memberi perhatian dan ikut serta; Tingkat A-3;
memberikan nilai (valuing) bahwa bila seorang berada pada posisi merasakan adanya nilai baru
dalam masyarakat. Tetapi pada tingkat ini, nilai itu belum merupakan nilai yang khas bagi
masyarakat bersangkutan; Tingkat A-4; pengorganisasian (organization) bahwa bila seorang
berada pada posisi ini merasakan nilai yang ada itu telah terorganisasi menjadi milik masyarakat;
serta Tingkat A-5; menentukan adanya kekhususan dalam suatu nilai yang kompleks
(characterizatrion by value complex) bahwa bila berada pada posisi ini merasakan bahwa
masyarakat telah memiliki suatu nilai khusus dankhas bagi mereka. Menurut Krathwohl, nilai ini
nilai tertinggi dan erat dengan cognitive domain.
Tindakan
Untuk dampak karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga terhadap tindakan
dalam IMD, hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear menunjukkan bahwa dari
variabel karakteristik ibu, media, dan dukungan keluarga, variabel yang paling berdampak
terhadap tindakan dalam IMD adalah media (pernah terpapar video IMD), dengan nilai p = 0,014
(p < 0,05). Ini berarti media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan berdampak
terhadap tindakan dalam IMD.
Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ngatimin (2005) yang dikutip dari Teori Blum,
bahwa tindakan atau perbuatan (psychomotor domain), tujuannya ditekankan pada keterampilan
yang bersifat motorik, dimana domain ini terdiri dari lima tingkatan yaitu Tingkat P-1; persepsi
(perception) bahwa bila seorang berada pada posisi mampu mendeteksi kelainan berdasarkan
adanya rangsangan melalui pendengaran, penglihatan ataupun pengecapan. Tingkat keterampilan
pada tingkat ini hanyalah sekedar dapat mendeteksi; Tingkat P-2; tersusun (set) bila seorang
berada pada posisi mampu dalam keadaan siap fisik, mental dan emosional terhadap keadaan
tertentu. Ia telah siap untuk bekerja; Tingkat P-3; sambutan pada petunjuk bimbingan untuk
meniru mencoba (guided response by imitation trial and error) bahwa bila seorang berada pada
posisi memiliki kemampuan untuk mengerjakan sesuatu asalkan dibawah bimbingan seorang
instruktur; Tingkat P-4; berbuat secara mekanis (mechanism) bahwa bila seorang berada pada

72

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
posisi telah siap bekerja dengan amat sangat lancar seperti mkesin saja; serta Tingkat P-5;
kemampuan berbuat dan terampil yang kompleks (complex overt response).
Sejalan pula dengan teori yang dikemukakan oleh Snehandu B. Kar (1983) dalam
Notoatmodjo (2005), bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : (1)
Behavior Intention, (2) Social Support, (3) Acessebility of Information, (4) Personal Autonomy,
dan (5) Action Situation. Personal Autonomy merupakan otonomi pribadi orang yang
bersangkutan dalam hal mengambil tindakan.
Bila seorang telah berada pada tingkat keterampilan tertinggi bekerja sangat terampil
tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Memanfaatkan domain ini pada proses perubahan perilaku,
hendaknya disadari bahwa perubahan pengetahuan ke sikap dan seterusnya perbuatan, bukan
merupakan garis lurus. Terdapat beberapa catatan bahwa perubahan dari pengetahuan ke sikap
sangat dipengaruhi oleh persepsi yang bersangkutan tentang masalah dan perubahan dimaksud.
Begitupun bila sikap telah berubah, keadaan itu merupakan predisposisi untuk perubahan prilaku.
Sebagai perbandingan, penelitian Aprillia (2009), bahwa variabel kebijakan
berhubungan dengan persepsi bidan terhadap proses sosialisasi program inisiasi menyusu dini dan
ASI eksklusif di Kabupaten Klaten. Penelitian Sudarsono (2008), bahwa terdapat hubungan antara
persepsi bidan desa tentang ASI eksklusif dengan cakupan ASI eksklusif. Penelitian Mulyati
(2004), bahwa ada keterkaitan antara faktor sosek (sosek tinggi dan rendah), sosbud (positif dan
negatif), pendidikan ibu (tinggi dan rendah), dan pekerjaan ibu (ibu bekerja formal/di luar rumah
atau tidak) dengan pemberian ASI eksklusif. Penelitian Affandi (2009), bahwa rata-rata
pertumbuhan BB kelompok intervensi adalah laki-laki (1,26 0,32 kg) dan perempuan (1,40 53
kg).Penelitian Rahardjo (2006), bahwa faktor dominan yang berhubungan dengan pemberian ASI
dalam satu jam pertama adalah tenaga periksa hamil. Faktor lain daerah tempat tinggal, kehamilan
yang diinginkan, tenaga periksa hamil, penolong persalinan, akses terhadap radio, dan berat lahir.
Terdapat interaksi antara daerah dengan tenaga periksa, kehamilan diinginkan dengan tenaga
periksa dengan berat lahir dengan penolong persalinan.
SIMPULAN DAN SARAN
Ada perbedaan pengetahuan ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah
intervensi (p = 0,000), dimana terjadi peningkatan pengetahuan ibu sesudah intervensi. Ada
perbedaan sikap ibu tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah intervensi (p = 0,000),
dimana terjadi peningkatan sikap ibu sesudah intervensi. Beberapa ibu telah melaksanakan
tindakan inisiasi menyusu dini sesudah intervensi (55,0 %). Media (pernah terpapar video IMD)
yang paling dominan berdampak terhadap pengetahuan tentang inisiasi menyusu dini (p = 0,001),
tidak ada satu pun variabel yang paling dominan berdampak terhadap sikap terhadap sinisiasi
menyusu dini (semua p > 0,05), serta media (pernah terpapar video IMD) yang paling dominan
berdampak terhadap tindakan dalam inisiasi menyusu dini (p = 0,014).
Dinas Kesehatan Kota Parepare, Puskesmas, dan rumah sakit perlu mensosialisasikan
pentingnya IMD kepada bidan sebagai tangan pertama yang dapat merangkul ibu hamil untuk
melaksanakan IMD. Puskesmas dan rumah sakit di Kota Parepare perlu lebih giat melakukan
penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya inisiasi menyusu dini terutama dalam bentuk
media berupa pemutaran video IMD.
Perlu adanya reward dan punishment terhadap para
bidan yang melaksanakan atau tidak melaksanakan inisiasi menyusu dini.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, A. (2009). Pengaruh Pemberian DIP ASI Biskuit Ikan Teri Terhadap Pertumbuhan
BADUTA Gizi Kurang di Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Tesis tidak
diterbitkan. Makassar, PPT Unhas.

73

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Amiruddin, R., Rostia. (2012). PromosiSusu Formula Menghambat Pemberian ASI Eksklusif
Pada Bayi 6-11 Bulan Di Kelurahan Pa'baeng-baeng Makassar Tahun 2006.
(www.google.com). Diakses 3 Januari, 2012.
Aprilia. (2008). Analisis Sosialisasi Program Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif Kepada
Bidan di Kabupaten Klaten. (www.google.com) Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Asmiajati, (2000). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah
Kerja Puskesmas Tiga Raksa Kec.Tiga Raksa Tangerang. (Online). (http://
www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/ ng/detail.jsp?id) Diaksestanggal5 Januari2012.
Danga, N.E. (2007). Pengembangan Model Konseptuil Komunikasi Dalam Upaya Meningkatkan
Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Di Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu. Tesis
tidak diterbitkan. Makassar PPs UNHAS.
Departemen Kesehatan R.I. (2005). Kebijakan Departemen Kesehatan Tentang Peningkatan
Pemberian
ASI
Pekerja
Wanita.
Pusat
Kesehatan
Kerja
(Online),
(http://www.dinkeskotasemerang.go.id), Diakses tanggal 7 Januari 2012.
Elaine, Albernez Et.al. (2003). Lactation Conseling increases breast-feeding duration but not
breast milk intake as measured by isotopic methods the American society for nutritional
sciences. J. Nutr. 133 : 205- 2010, Januari 2003. Diakses tanggal 30 Januari 2012.
Mulyati, S : (2004). Strategi Sosialisasi Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) Eksklusif di Kota
Bengkulu. (www.google.com) Diakses tanggal 15 Januari 2012.
Ngatimin, H. M. R. (2005). Sari Dan Aplikasi Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK3, Makassar.
Rahayu, S. (2002). Determinan Keberhasilan Praktek Menyusui Dini pada Ibu Bersalin di RS
Umum Daerah dr. Moewardi. (www.google.com) Diakses tanggal 7 Januari 2011.
Roesli, U. (2008). Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Pustaka Bunda, Jakarta.
Siregar, A. (2004). Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian ASI Oleh Ibu Melahirkan.
Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat. FKM Universitas Sumatera Utara.Digitized by USU
Digital Library (Online), (http://www.library.usu.ac.id) Diakses tanggal 7 Januari 2012.
Sudarsono, A. (2006). Hubungan Persepsi Bidan Desa Tentang ASI Eksklusif dengan Cakupan
ASI Eksklusif di Kabupaten Pamekasan diterbitkan, (www.google.com) Diakses tanggal
15 Januari 2012.

74

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
LAMPIRAN
Tabel 1.

Analisis Perbedaan Pengetahuan Sebelum Intervensi tentang IMD


pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Pengetahuan
Intervensi
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Tabel 2.

Sebelum

Nilai
rata

200

7,22

Rata-

p
0,123

Sumber : Data Primer, 2012


Analisis Perbedaan Pengetahuan Setelah Intervensi tentang IMD pada
Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Pengetahuan
Intervensi
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Tabel 3.

Setelah

Nilai
rata

200

8,38

Rata-

p
0,000

Sumber : Data Primer, 2012


Analisis Perbedaan Sikap Sebelum Intervensi terhadap IMD pada
Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Sikap Sebelum Intervensi

Nilai
rata

Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol

200

30,40

Rata-

p
0,000

Sumber : Data Primer, 2012

75

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Tabel 4.

Tabel 5.

Tabel 6.

Analisis Perbedaan Sikap Setelah Intervensi terhadap IMD pada Kelompok


Intervensi dan Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Sikap Setelah Intervensi

Nilai
rata

Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol

200

32,04

Rata-

p
0,000

Sumber : Data Primer, 2012


Analisis Perbedaan Tindakan dalam IMD pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol di Kota Parepare Tahun 2012

Tindakan

Nilai
rata

Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol

200

3,05

Rata-

p
0,000

Sumber : Data Primer, 2012


Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap
Pengetahuan tentang IMD di Kota Parepare Tahun 2012

Variabel
Karakteristilk Ibu :
Umur
Pekerjaan
Pendidikan

S.E.

Beta

-0,029
-0,101
0,161

0,077
0,133
0,101

-0,037
-0,082
0,170

-0,380
-0,758
1,592

0,705
0,450
0,115

0,305

0,348

3,572

0,001

0,283

-0,117

-1,193

0,236

Media (Pernah Terpapar 1,089


Video IMD)
Dukungan Keluarga

-0,338

Sumber : Data Primer, 2012

76

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Tabel 7. Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap
Sikap tentang IMD di Kota Parepare Tahun 2012

Variabel
Karakteristilk Ibu :
Umur
Pekerjaan
Pendidikan

S.E.

Beta

0,429
0,021
-0,058

0,279
0,484
0,366

0,158
0,005
-0,018

1,537
0,044
-0,160

0,128
0,965
0,874

1,107

0,013

0,123

0,903

1,028

-0,146

-1,400

0,165

Media (Pernah Terpapar 0,136


Video IMD)
Dukungan Keluarga

-1,439

Sumber : Data Primer, 2012


Tabel 8. Dampak Karakteristik Ibu, Media, dan Dukungan Keluarga Terhadap
Tindakan dalam IMD di Kota Parepare Tahun 2012

Variabel
Karakteristilk Ibu :
Umur
Pekerjaan
Pendidikan

S.E.

Beta

-0,073
0,078
0,302

0,422
0,731
0,554

-0,017
0,012
0,060

-0,173
0,107
0,546

0,863
0,915
0,586

Media (Pernah Terpapar -4,202


Video IMD)

1,673

-0,253

-2,511

0,014

1,553

0,175

1,727

0,087

Dukungan Keluarga

2,682

Sumber : Data Primer, 2012

77

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA AUDIO VISUAL DALAM PENYULUHAN


KESEHATAN TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP
TENTANG NAPZA DI SEKOLAH MENENGAH UMUM NEGERI 4
SAMARINDA
Edi1, Ridwan M. Thaha1, A.Arsunan Arsin2
Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, 2Bagian
Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana pengaruh media audio visual dalam penyuluhan
kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap positif tentang penyalahgunaan
NAPZA pada siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda tahun 2012. Jenis penelitian ini
adalah quasi eksperimental. Rancangan penelitian dengan prepost design dan untuk mengetahui
efektivitas media digunakan uji t-test. Penelitian ini dilakukan di tiga Sekolah Menengah
Umum/Kejuruan yaitu SMUN 4 Samarinda, SMK Pelayaran Samarinda, dan SMK Al-Khairiyah
Samarinda yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2012 dengan jumlah sampel 50
responden untuk tiap-tiap kelompok. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada
pengetahuan Kelompok A terdapat perbedaan rerata sebesar 9.2600 (p=0,00) dan lebih besar
daripada Kelompok B yang sebesar 5.2000 (p=0,00). Dengan demikian secara statistik ada
perbedaan yang signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan
video dan tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh
terhadap pengetahuan para responden tentang penyalahgunaan NAPZA. Sikap responden diketahui
Kelompok A terdapat perbedaan rerata sebesar 9.04000 (p=0,00) dan lebih besar daripada
Kelompok B yang sebesar 3,77925 (p=0,00). Dengan demikian, secara statistik ada perbedaan yang
signifikan antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan menggunakan video dengan tidak
menggunakan media audio visual untuk dapat memberikan pengaruh terhadap sikap responden
terhadap penyalahgunaan NAPZA.
Kata Kunci : Perubahan Pengetahuan dan Sikap, Media Audio Visual

Abstract
The purpose of this study is to find out the effect of using audio visual media in health
education on the increase of knowledge and positive attitude about drug abuse among the students of
SMU Negeri 4 Samarinda in 2012. The research was conducted in three senior high schools (general
and vocational) including SMUN 4 Samarinda (Senior High School 4, Samarinda), SMK Pelayaran
Samarinda (Samarinda Sailing Vocational School), and SMK Al-Khairiyah Samarinda (Al-Khairiyah
Vocational School, Samarinda)- from October to November 2012 with 50 responden in each group.
The quasi experimental study method was used with pre-post design, and t-test was used to determine
the effectiveness of media. The results revealed that in terms of knowledge, group A had a mean value
of 9.2600 (p=0,00), which was greater than group B (mean value = 5.2000; p = 0,00). In terms of
attitude, the mean value of
group A was 9.04000 (p = 0,00), which was higher than group B
(mean value = 3.77925; p = 0,00). This means that, statistically, there as a significant difference
between health education with and without audio-visual media.

78

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Keywords: Drug, Knowledge and Attitude Change, Audio Visual Media

PENDAHULUAN
elah di estimasi sebesar 172 juta dan 250 juta orang di dunia menggunakan narkoba.
Jenis narkoba yang umum digunakan oleh pengguna usia 15-64 tahun adalah
amphetamine tipe stimulant (termasuk methampethamine 0. 4 1. 2 % dan
methylenedioxy methamphetamine (MDMA yang sering dikenal dengan nama
ekstasi) 0.3-0.5 persen selanjutnya kokain 0.4 0.5 persen dan opiate 0.3-0.5 persen (INCB,
2009).
Sebuah laporan terkini dirilis oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) di
Wina pada Selasa (13/9). UNODC memposisikan NAPZA Stimulan Tipe Amfetamin atau
Amphetamine-Type Stimulant (ATS) seperti ekstasi dan metamfetamin (shabu) sebagai NAPZA
kedua terbanyak digunakan diseluruh dunia setelah ganja. Penelitian ATS Global tersebut
menawarkan analisa terkini dan paling komprehensif tentang situasi NAPZA dunia. Ekspansi
perdagangan NAPZA dan tingginya profit yang didapatkan dari transaksi kejahatan meningkatkan
ancaman keamanan dan kesehatan di seluruh dunia (UNODC, 2011).
Di Indonesia masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di berbagai wilayah
Indonesia sudah merambah ke daerah-daerah, berdasarkan data dari banyaknya kasus Narkoba
yang terjadi dan masih banyak yang belum diungkap semakin hari menunjukkan adanya
peningkatan. Berdasarkan penggolongan Narkoba tahun 2006-2010 jumlah kasus narkotika
mengalami peningkatan yang sangat tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar 60,2% atau 6.699
kasus, sedangkan kasus psikotropika tahun 2010 mengalami penurunan yang sangat tajam yaitu
sebesar 86,5% atau 7.598 kasus, hal ini disebabkan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009, dimana Ekstasi dan shabu masuk ke golongan Narkotika yang sebelumnya masuk
digolongan psikotropika (BNP Kaltim, 2011).
Kaltim sendiri masuk peringkat 5 pengguna narkoba terbesar di Indonesia setelah Jakarta,
Surabaya, Medan, dan Bandung. Dan saat ini, Samarinda tercatat sebagai kota dengan kasus
narkoba terbanyak di propinsi Kalimantan Timur (Diskominfo Kaltim, 2011). Hingga Juni 2011,
pengguna NAPZA di Kaltim mencapai 51 ribu jiwa atau naik 3 ribu dari tahun 2010 lalu. Di
Indonesia Kaltim menempati peringkat 5 terbesar pengguna NAPZA. Samarinda peringkat
pertama yang mencapai 60 persen pengguna NAPZA, sedangkan Balikpapan peringkat kedua
sekitar 20 persen lalu Kabupaten Kutai Kertanegara, Tarakan dan Nunukan (BNP Kaltim, 2011).
Hawari (2006), berpendapat bahwa kenakalan remaja yang saat ini sedang heboh adalah
kenakalan remaja yang berupa penggunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya, yang dalam
istilah kriminologi disebut NAPZA. Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif adalah zat yang
memiliki dampak terhadap syaraf manusia yang dapat menimbulkan sensasi atau perasaanperasaan tertentu. Kartono (2003), mengungkapkan bahwa penyalahgunaan Narkotika, Alkohol
dan Zat adiktif lainnya merupakan wujud dari bentuk kenakalan remaja. Edukasi dan sosialisasi ke
sekolah-sekolah menengah umum dan sekolah menengah atas telah sering dilakukan namun angka
penyalahgunaan di kalangan pelajar terus saja meningkat dari tahun ke tahun. Apa yang salah
dengan edukasi dan sosialisasi ini. Apakah tehniknya yang salah ataukah metodenya yang kurang
tepat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh Media Audio Visual Dalam
Penyuluhan Kesehatan Terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap positif tentang
penyalahgunaan NAPZA pada Siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga Sekolah Menengah Umum/Kejuruan yaitu SMUN 4
Samarinda (untuk responden dari kelompok eksprimen), SMK Pelayaran Samarinda (untuk
responden dari kelompok kontrol 1), dan SMK Al-Khairiyah Samarinda (untuk kelompok kontrol

79

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
2). Rancangan penelitian dengan pre-post with control design untuk mengetahui pengaruh
penggunaan media audio visual dalam penyuluhan kesehatan dengan menggunakan uji t-test.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas X pada Sekolah Menengah Umum Negeri 4
Samarinda. L.R Gay dalam buku Educational Research menyatakan bahwa untuk riset deskriptif
besar sampel 10% dari populasi, riset korelasi 30 subjek, riset kausal komparatif 30 subjek per
kelompok dan riset eksperimental 50 subjek per kelompok. Dengan demikian jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah 50 orang siswa untuk masing-masing kelompok responden, yaitu ; a)
Kelompok eksperimen, yaitu kelompok kasus dengan kriteria sampel sebagai berikut: siswa Kelas
X Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012, bersedia menjadi responden, diberi
perlakuan berupa penyuluhan kesehatan tentang penyalahgunaan NAPZA dengan menggunakan
audio visual berupa video pendidikan tentang NAPZA dari Badan Narkotika Nasional. b)
Kelompok kontrol 1, yaitu kelompok dengan kriteria sampel sebagai berikut: siswa Kelas X
Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran di Samarinda Tahun 2012, bersedia menjadi responden,
diberi perlakuan berupa penyuluhan kesehatan tentang penyalahgunaan NAPZA tanpa
menggunakan media audio visual berupa video pendidikan. c) Kelompok kontrol 2, yaitu
kelompok dengan kriteria sampel sebagai berikut: siswa Kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Al Khairiyah Samarinda Tahun 2012, bersedia menjadi responden dan tidak diberikan perlakuan
apapun.
Metode Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan memberikan kuisioner pre test yang berisikan pertanyaan tentang
karakteristik responden, 30 pernyataan tentang pengetahuan dan 15 pertanyaan tentang sikap
responden terhadap penyalahgunaan NAPZA. Kemudian : a) Bagi kelompok eksperimen
dilakukan dua kali penyuluhan dengan menggunakan media audio visual berupa video tentang
NAPZA dari Badan Narkotika Nasional selama satu bulan, dan selanjutnya dilakukan post test
pada responden. b) Bagi kelompok kontrol 1, juga dilakukan dua kali penyuluhan biasa tanpa
menggunakan media audio visual selama satu bulan dan selanjutnya dilakukan post test pada
responden, dan c) Bagi kelompok kontrol 2, setelah pre test tidak dilakukan intervensi apapun
selama satu bulan dan kemudian dilakukan post test pada responden. Namun demi menjaga
tanggung jawab moral dan etika dalam meneliti, penyuluhan tetap dilakukan setelah post test
dilakukan. Penyuluh kesehatan berjumlah satu orang dan merupakan orang yang kompeten di
bidangnya serta juga menjadi Ketua Tim Penyuluh pada Badan Narkotika Nasional Kota
Samarinda.
Analisis Data
Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan SPSS dengan uji t-test
secara univariat dan bivariat untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi atau besarnya
proporsi dari variabel yang diteliti dan juga untuk mendapatkan adanya perbedaan petubahan
pengetahuan dan sikap pada kelompok eksperimen (kelompok yang diberi penyuluhan dengan
menggunakan media audio visual berupa video pendidikan dari BNN), pada kelompok kontrol 1
(kelompok yang diberi penyuluhan tanpa menggunakan media audio visual berupa video
pendidikan dari BNN), serta kelompok kontrol 2 (kelompok yang tidak diberikan penyuluhan
kesehatan).
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi berdasarkan usia responden ; terbanyak pada semua
kelompok adalah responden yang berusia 15 tahun, yaitu 70 % pada kelompok eksperimen, 42 %
pada kelompok kontrol 1, dan 52% pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan jenis kelamin ;
terbanyak perempuan (56%) pada kelompok eksperimen, laki-laki (92%) pada kelompok kontrol 1
dan wanita (100%) pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan kebiasaan merokok ; terbanyak adalah
responden yang tidak merokok pada semua kelompok yaitu 92 % pada kelompok eksperimen, 84

80

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
% pada kelompok kontrol 1 dan 94 % pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan Keterpaparan
Informasi Tentang NAPZA ; terbanyak pada semua kelompok adalah responden yang pernah
mendapatkan informasi tentang NAPZA yaitu 72 % pada kelompok eksperimen, 60 % pada
kelompok kontrol 1, dan 100 % pada kelompok kontrol 2. Berdasarkan pengetahuan tentang
NAPZA ; terbanyak pada semua kelompok responden adalah responden dengan pengetahuan yang
baik yaitu 60 % pada kelompok eksperimen, 78 % pada kelompok kontrol 1, dan 64 % pada
kelompok kontrol 2. Berdasarkan sikap responden terhadap penyalahgunaan NAPZA ; 100 % pada
semua kelompok responden adalah responden yang memiliki sikap positif terhadap
penyalahgunaan NAPZA.
Analisis Bivariat
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden sebelum dilakukan
penyuluhan kesehatan dengan menggunakan Media Audio Visual NAPZA adalah 17.5200 dengan
standar deviasi 5.91173 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata pengetahuan responden adalah
sebesar 26.7800 dengan standar deviasi 2.87345. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar
0.000, maka dapat disimpulkan pada dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan pengetahuan
yang signifikan responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan dengan
menggunakan Media Audio Visual NAPZA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh penyuluhan dengan menggunakan media audio visual NAPZA terhadap peningkatan
pengetahuan responden di SMA Negeri 4 Samarinda tahun 2012 dengan diperoleh nilai p value
(0.00) < 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden sebelum dilakukan
penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual NAPZA adalah 19.600 dengan standar deviasi
6.275975 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata pengetahuan responden adalah sebesar 24.8000
dengan standar deviasi 4.86973. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat
disimpulkan pada dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan pengetahuan yang signifikan
responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual
NAPZA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penyuluhan dengan
menggunakan media audio visual NAPZA terhadap peningkatan pengetahuan responden di SMK
Pelayaran Samarinda tahun 2012 dengan diperoleh nilai p value (0.00) < 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden adalah 17.5400
dengan standar deviasi 5.52623 dan 26.7800 dengan standar deviasi 2.87345. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p sebesar 0.378, maka dapat disimpulkan pada dengan nilai 5% terlihat tidak
adanya perbedaan pengetahuan pada kelompok kontrol 2. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan pada kelompok kontrol 2 di SMK Al-Khairiyah
Samarinda.
Hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan rerata pengetahuan responden sebelum dan
sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan mengunakan media audio
visual NAPZA dan pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi
penyuluhan kesehatan dengan tanpa media audio visual NAPZA, Namun tidak ada perbedaan
pengetahuan pada kelompok tanpa intervensi (perlakuan). Pada kelompok eksperimen terdapat
perbedaan rerata sebesar 9.2600 ( p = 0.00) dan lebih besar daripada kelompok kontrol 1 yang
sebesar 5.2000 ( p = 0.00). Dengan demikian secara statistik ada perbedaan yang signifikansi
antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan menggunakan video dan
tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh terhadap
pengetahuan para responden tentang penyalahgunaan NAPZA. Dari hasil di atas dapat diketahui
bahwa penggunaan media audio visual pada penyuluhan kesehatan sangat berpengaruh dan
memiliki kontribusi yang sangat positif dalam meningkatkan pengetahuan responden bila
dibandingkan dengan penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan media audio visual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sikap responden sebelum dilakukan
penyuluhan kesehatan dengan menggunakan Media Audio Visual NAPZA adalah 62.7600 dengan
standar deviasi 4.47469 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata sikap responden adalah sebesar

81

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
71.800 dengan standar deviasi 4.57589. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka
dapat disimpulkan pada dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan sikap yang signifikan
responden sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan Media
Audio Visual NAPZA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penyuluhan
dengan menggunakan media audio visual NAPZA terhadap peningkatan sikap responden di SMA
Negeri 4 Samarinda tahun 2012 dengan diperoleh nilai p value (0.00) < 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sikap responden sebelum dilakukan
penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual NAPZA adalah 61.2600 dengan standar deviasi
4.83591 dan setelah dilakukan intervensi rata-rata sikap responden adalah sebesar 65.0200 dengan
standar deviasi 4.58253. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0.000, maka dapat
disimpulkan pada dengan nilai 5% terlihat adanya perbedaan sikap yang signifikan responden
sebelum dan sesudah kegiatan penyuluhan kesehatan tanpa Media Audio Visual NAPZA. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penyuluhan dengan menggunakan media audio
visual NAPZA terhadap peningkatan sikap responden di SMK Pelayaran Samarinda tahun 2012
dengan diperoleh nilai p value (0.00) < 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sikap responden adalah 62.9800 dengan
standar deviasi 5.69457 dan 61.9200 dengan standar deviasi 6.05027. Hasil uji statistik didapatkan
nilai p sebesar 0.378, maka dapat disimpulkan pada dengan nilai 5% terlihat tidak adanya
perbedaan sikap pada kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan sikap pada Kelompok kontrol 2 di SMK Al-Khairiyah Samarinda.
PEMBAHASAN
Secara umum, pengetahuan responden tentang penyalahgunaan NAPZA sebagian besar
dalam kategori yang baik. Pada kelompok eksperimen sebanyak 30 orang (60%) memiliki
pengetahuan yang baik, sedangkan pada kelompok kontrol 1 sebanyak 39 orang (78%) memiliki
pengetahuan yang baik,dan sebanyak 28 orang (56%) memiliki pengetahuan yang baik.
Menurut Marines (1986) dikutib dari Nursalam(2003). Lingkungan adalah seluruh kondisi
yang ada disekitar manusia. Dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dalam perilaku
orang/kelompok. Lingkungan budaya dimana daerah perkotaan merupakan lokasi tempat tinggal
responden yang memungkinkan berbagai media massa dan elektronik serta fasilitas kesehatan
untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat
termasuk informasi tentang
penyalahgunaan NAPZA.
Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan
keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan
kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara
ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan (Jones dan Beck,
1996). Pengalaman responden pun turut mempengaruhi pengetahuan responden tentang NAPZA.
Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan
yang ditujukan kepada masyarakat. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menggugah
kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku.
Biasanya menggunakan dan melalui media massa. Informasi yang diperoleh melalui media massa
dan elektronik sebagai sumber informasi dan faktor utama yang membantu pemahaman tentang
penyalahgunaan NAPZA.
Umur responden pun turut membantu responden dalam menerima berbagai informasi
termasuk informasi tentang penyalahgunaan NAPZA. Pada hasil penelitian diketahui usia
responden pada Kelompok eksperimen adalah sebagai berikut : responden yang berusia 14 tahun
sebanyak 3 orang (6%), responden yang berusia 15 tahun sebanyak 35 orang (70%), responden
yang berusia 16 tahun sebanyak 9 orang (18%), responden yang berusia 17 tahun sebanyak 2
orang (4%), responden yang berusia 18 tahun sebanyak 1 orang (2%). Usia responden pada
kelompok kontrol 1 yaitu ; responden yang berusia 14 tahun sebanyak 4 orang (8%), responden
yang berusia 15 tahun sebanyak 21 orang (42%), responden yang berusia 16 tahun sebanyak 18

82

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
orang (36%), responden yang berusia 17 tahun sebanyak 7 orang (14%). Dan usia responden pada
kelompok kontrol 2 adalah sebagai berikut : responden yang berusia 14 tahun sebanyak 8 orang
(16%), responden yang berusia 15 tahun sebanyak 26 orang (52%), responden yang berusia 16
tahun sebanyak 12 orang (24%), responden yang berusia 17 tahun sebanyak 4 orang (8%)
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ada perbedaan rerata pengetahuan responden
sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan mengunakan
media audio visual NAPZA dan pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan
intervensi penyuluhan kesehatan dengan tanpa media audio visual NAPZA, namun tidak ada
perbedaan pengetahuan pada kelompok tanpa intervensi (perlakuan). Pada kelompok eksperimen
terdapat perbedaan rerata sebesar 9.2600 ( p = 0.00) dan lebih besar daripada kelompok kontrol 1
yang sebesar 5.2000
(p = 0.00). Dengan demikian secara statistik ada perbedaan yang
signifikansi antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan menggunakan
video dan tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh
terhadap pengetahuan para responden tentang penyalahgunaan NAPZA.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kayanaya (2001) yang menyatakan bahwa
pendidikan kesehatan dengan metode penyuluhan dan VCD tentang GAKI lebih meningkatkan
pengetahuan dan sikap ibu dalam penggunaan garam beriodium di rumah tangga. Selain itu,
penelitian ini juga mendukung penelitian Sriyono (1999) yang mengemukakan bahwa promosi
kesehatan dengan ceramah mengunakan audio visual VCD lebih meningkatkan pengetahuan, sikap
dam keterampilan kader posyandu dalam menemukan penderita TB Paru.
Peningkatan pengetahuan dan sikap pada penyuluhan dengan menggunakan media audio
visual juga diperlihatkan pada penelitian Fitri Rosawani Argarini (2011) tentang pengaruh
pendidikan kesehatan dengan media video terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku
ibu dalam memberi asupan vitamin A pada balita di Desa Sumberjo Kabupaten Rembang Tahun
2010 menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara pendidikan kesehatan dengan
mengunakan media video dan tanpa menggunakan media terhadap peningkatan pengetahuan ibu
tentang vitamin A dengan nilai p value sebesar 0.0001.
Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa nilai presisi penyuluhan kesehatan dengan
menggunakan media audio visual adalah 12 dan nilai presisi penyuluhan kesehatan tanpa
menggunakan audio visual adalah 4. Dengan demikian penggunaan media audio visual pada
penyuluhan kesehatan mempunyai pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan pengetahuan
responden bila dibandingkan dengan responden yang mendapat penyuluhan kesehatan tanpa
menggunakan media audio visual.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu.
Pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang yang berpengaruh, media massa, institusi pendidikan maupun lembaga agama.
Dengan perkataan lain, sikap merupakan perubahan yang meniru perilaku orang lain karena orang
lain tersebut dianggap sesuai dengan dirinya (Azwar, 2007). Pada sikap responden, diperoleh hasil
penelitian bahwa seluruh responden pada kelompok eksperimen, kelompok kontrol 1 dan
kelompok kontrol 2 memiliki sikap yang positif untuk menolak dan menghindari penyalahgunaan
NAPZA. Dan berbagai faktor yang menunjang sikap yang positif terhadap penyalahgunaan
NAPZA juga merupakan faktor-faktor yang menunjang pengetahuan yang baik pada responden
yang meliputi usia, pengalaman, lingkungan, nilai budaya, media massa, dan juga pendidikan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan rerata sikap responden sebelum dan
sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan mengunakan media audio
visual NAPZA, sikap responden sebelum dan sesudah diberikan kegiatan intervensi penyuluhan
kesehatan dengan tanpa media audio visual NAPZA. Pada kelompok eksperimen terdapat
perbedaan rerata sebesar 9.04000(p = 0.00) dan lebih besar daripada kelompok kontrol 1 yang
sebesar 3. 77925 (p = 0.00). dengan demikian secara statistik ada perbedaan yang signifikansi
antara kegiatan intervensi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan menggunakan video dan

83

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
tidak menggunakan media audio visual NAPZA untuk dapat memberikan pengaruh terhadap sikap
responden terhadap penyalahgunaan NAPZA.
Pada penelitian dapat diketahui bahwa semua responden memiliki sikap positif terhadap
penyalahgunaan NAPZA baik pada kelompok eksperimen, kelompok kontrol 1 dan kelompok
kontrol 2. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa 36 orang pada kelompok
eksperimen (72%), 30 orang pada kelompok kontrol 1 (60%), dan 50 orang pada kelompok
kontrol 2 (100%) responden memperoleh pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dari orang
lain tentang NAPZA. Kemudian setelah diberikan penyuluhan baik dengan menggunakan media
audio visual ataupun tanpa media audio visual, terjadi perubahan nilai yang cukup signifikan pada
kuesioner sikap. Hal ini sejalan dengan Azwar (2007) yang mengatakan bahwa pembentukan sikap
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang
berpengaruh, media massa, institusi pendidikan maupun lembaga agama. Dengan perkataan lain,
sikap merupakan perubahan yang meniru perilaku orang lain karena orang lain tersebut dianggap
sesuai dengan dirinya (Azwar, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ; a) ada pengaruh penggunaan Media Audio
Visual tentang penyalahgunaan NAPZA terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap tentang
NAPZA di Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012. b) Terdapat perbedaan
perubahan pengetahuan dan sikap tentang NAPZA antara kelompok yang diberi perlakukan
penyuluhan kesehatan dengan menggunakan media audio visual dan pada kelompok yang diberi
perlakukan penyuluhan kesehatan tanpa menggunakan media audio visual. Namun tidak ada
perbedaan pada kelompok tanpa perlakuan. c) Penggunaan media audio visual dalam penyuluhan
kesehatan sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang NAPZA di
Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012. Untuk itu ; Bagi Pemerintah Kota
Samarinda, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Timur ;
a)
Peningkatan berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan siswa didik mengenai
penyalahgunaan NAPZA dengan menggunakan media audia visual agar meingkatkan kepedulian
dan sikap siswa untuk mencegah dan menghindari penyalahgunaan NAPZA terutama dikalangan
usia sekolah yang saat ini termasuk dalam usia penyalahgunaan NAPZA tertinggi di Indonesia. b)
Peningkatan Program Promosi Kesehatan melalui sekolah-sekolah dan berbagai media yang
dikemas menarik dalam bentuk-bentuk kegaitan yang lebih menarik seperti lomba cerdas cermat,
mading, permainan-permainan, serta diskusi maupun seminar antar kelompok-kelompok pelajar
guna mananamkan sejak dini mengenai sikap anti-NAPZA dikalangan para pelajar.
c) Penyuluhuan tentang NAPZA hendaknya selalu menggunakan media audio visual mengingat
kontribusinya yang besar dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang NAPZA dan sikap
terhadap penyalahgunaan NAPZA. d) Hendaknya diberikan penyuluhan NAPZA sedikitnya dua
kali dalam setahun guna mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan tentang NAPZA dan
sikap positif untuk menghindari penyalahgunaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar. (2007). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Pustaka Seminar, Jakarta.
Badan Narkotika Propinsi Kalimantan Timur. (2011). Jurnal Data Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) Kaltim 2011.
Diskominfo Kaltim. (2011). Ayo! Berantas dan Perangi Narkoba di Kaltim.
Fitri Rosawani Argarini. (2011). Pengaruh pendidikan Kesehatan Dengan Media Video
Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Ibu Dalam Memberi
Asupan Vitamin A pada balita di Desa Sumberjo Kabupaten Rembang Tahun 2010.
Hawari, D. (2006). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat
Adiktif). Balai Penerbit Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia.

84

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Jones, Rebecca A. Patronis, Beck, Sharon E. (1996). Decision Making in Nursing. Delmar
Publisher, USA.
Kanayana, A.A.G.R. (2001). Pengaruh Pendidikan Gizi tentang Garam Beryodium terhadap
Pengetahuan, Sikap, dan Penggunaan Garam Beryodium Berkualitas di Daerah
Gondok Endemik di Propinsi Bali. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Kartono, K. (2003). Patologi Sosial II, Kenakalan Remaja. CV. Rajawali, Jakarta.
Nursalam. (2003). Konsep dan Perawatan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Professional. Salemba Medika, Jakarta.
Sriyono. (2001). Pendidikan Kesehatan Melalui Metode Diskusi Kelompok Dan Ceramah
Menggunakan Audio Visual Untuk Meningkatkan, Pengetahuan, Sikap, Dan
Ketrampilan Kader Posyandu Dalam Menemukan Tersangka Tuberculosis Paru.
Thesis,
Program
Pascasarjana
UGM,
Yogyakarta.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30158/4/Chapter%20I.pdf
The Report of the International Narcotics Kontrol Board for 2009. (2009).
http://www.incb.org/pdf/annual-report/2009/en/AR_09_English.pdf
http://www.unodc.org/documents/data-and-analysis/WDR2011/World_Drug_Report
2011_ebook.pdf

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di Kota Samarinda Kalimantan Timur


Eksperimen
Kontrol 1
Kontrol 2
Variabel
n
%
n
%
n
%
Usia
14

16

15

35

70

21

42

26

52

16

18

18

36

12

24

17

14

18

Laki-laki

22

44

46

92

Perempuan

28

56

50

100

Merokok

16

Tidak Merokok

46

92

42

84

47

94

Pernah

36

72

30

60

50

100

Tidak Pernah

14

28

20

40

Baik

30

60

39

78

28

56

Kurang

20

40

11

22

22

44

Jenis Kelamin

Kebiasaan Merokok

Informasi NAPZA

Pengetahuan NAPZA

Sikap Responden

85

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Positif

50

100

50

100

50

100

Negatif

Tabel 2. Distribusi Pengetahuan dan Sikap Responden tentang NAPZA


Eksperimen
Kontrol 1

Kontrol 2

Variabel

Pre

Pre
n

Post

Pre

Post

60

5
0

100

3
9

78

4
7

94

40

11

22

2
8
2
2

Post
%

Pengetahuan NAPZA
3
0
2
0

Baik
Kurang

44

3
2
1
8

56

64
36

Sikap Responden
Positif

5
0

100

5
0

100

5
0

100

5
0

100

5
0

100

5
0

100

Negatif

Tabel 3. Hasil Uji Regresi Pengaruh Penggunaan Media Audio Visual Terhadap
Perubahan Pengetahuan dan Sikap Tentang NAPZA di Sekolah Menengah
Umum Negeri 4 Samarinda Tahun 2012
Mean
Kelompok
Pre
Post

Beda
Mean

P Value

Pengetahuan
Eksperimen

17,5200

26,7800

9,2600

0,000

50

Kontrol 1

19,6000

24,8000

5,2000

0,000

50

Kontrol 2

17,8400

17,5400

-0,3000

0,387

50

Eksperimen

62,7600

71,8000

9,0400

0,000

50

Kontrol 1

61,2600

65,0200

3,7600

0,000

50

Kontrol 2

62,9800

61,9200

-1,0600

0,070

50

Sikap

86

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA

UPAYA-UPAYA PENCEGAHAN DAN POLA PENCARIAN PELAYANAN INFEKSI


MENULAR SEKSUAL (IMS) PEREMPUAN PEKERJA SEKS DI TEMPAT
PROSTITUSI BANDANG RAYA KOTA SAMARINDA
Hariyati,1 HM. Rusli Ngatimin,2 Sudirman Natsir 2
Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
2
Konsentrasi Promosi Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
1

ABSTRAK
Perempuan Pekerja Seksual merupakan kelompok resiko tinggi tertular dan menularkan
IMS. Berdasarkan Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular Seksual pada wanita pekerja
seksual di Puskesmas Pembantu Bandang Raya tahun 2011 mengalami peningkatan sebanyak 236
kasus dengan 303 orang penderita. Tujuan penelitian adalah menggali secara mendalam perilaku
dan kepercayaan kesehatan wanita pekerja seks dalam pencegahan infeksi menular
seksual.Penelitian ini berjenis studi kualitatif dengan rancangan penelitian studi kasus. Pemilihan
informan penelitian dilakukan secara incidental. Informan dalam penelitian ini adalah wanita
pekerja seksual, petugas kesehatan dan perwakilan mucikari.Hasil penelitian terhadap upaya
pencegahan infeksi menular seksual menunjukkan bahwa penyebab IMS karena hubungan seks
dan kotoran pada kelamin dan dapat dicegah dengan menggunakan kondom. Walaupun
keseriusan dan manfaat yang dirasa baik namun dalam kenyataannya kerentanan terhadap
kondisi kesehatannya masih kurang. Hambatan terhadap konsistensi penggunaan alat pelindung
di pengaruhi oleh pelanggan. Faktor pendorong untuk bertindak berasal dari kesadaran sendiri,
pengalaman dan penyuluhan.Saran perlu kerjasama lintas sektoral instansi kesehatan,
masyarakat khususnya lembaga swadaya, dan perguruan tinggi untuk mengintervensi komunitas
wanita pekerja seksual sehingga kasus infeksi menular seksual di Lokalisasi Bandang Raya dapat
ditekan.
Kata Kunci : Wanita Pekerja Seks, Perilaku, dan Infeksi Menular Seksual
ABSTRACT
Female Sexual Workers are a group at high risk of contracting and transmitting STIs.
Based on the Monthly Report on Sexually Transmitted Infections Patients prostitute at the health
center Bandang Kingdom in 2011 increased by 236 cases with 303 sufferers. The purpose of
research is exploring in depth the behavior and health beliefs of female sex workers in the
prevention of sexually transmitted infections.The research was a qualitative study of type design
case study. Selection of studies conducted incidental informant. Informants in this study were
female sex workers, health officials and representatives of the pimps.The study of the prevention of
sexually transmitted infections suggests that the cause of STIs because of sex and dirt on the
genitals and can be prevented by using condoms. Despite the seriousness and the perceived
benefits of both, but in reality susceptibility to the condition of his health is still lacking. Barriers
to consistent use of personal protective equipment is influenced by the customer. Motivating factor

87

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
to act comes from his own consciousness, experience and education.Advice agencies need
cooperation across the health sector, the public, especially non-governmental organizations, and
community colleges to intervene prostitute so that cases of sexually transmitted infections in the
localization Bandang Kingdom can be suppressed.
Keywords: Female Sex Workers, Behavior, and Sexually Transmitted Infections

PENDAHULUAN
orld Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta
penderita baru IMS di negara-negara berkembang di Afrika, Asia, Asia Tenggara,
dan Amerika Latin. Di negara-negara berkembang infeksi dan komplikasi IMS
adalah salah satu dari lima alasan utama tingginya angka kesakitan. Dalam
kaitannya dengan infeksi HIV-AIDS, United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan
bahwa di daerah yang tinggi prevalensi IMS-nya, ternyata tinggi pula prevalensi HIV-AIDS dan
banyak ditemukan perilaku seksual berisiko tinggi. Salah satu kelompok seksual yang berisiko
tinggi terkena IMS adalah Perempuan Pekerja Seks (Sarwi, 2003).
Di Indonesia lokasi transaksi seks komersial terdapat hampir di setiap Kabupaten/Kota.
Seks komersial ditandai dengan perilaku yang berisiko secara berganti-ganti pasangan, rendahnya
penggunaan kondom pada transaksi seks, akses pada layanan kesehatan yang masih terbatas.
Pekerja seks bekerja dalam berbagai macam bentuk. Mereka dapat bekerja di lokalisasi terdaftar di
bawah pengawasan medis yang disebut sebagai WPS Langsung (direct sex workers) atau dapat
juga sebagai WPS Tidak Langsung (indirect sex workers). WPS Tidak Langsung (indirect sex
workers) mendapatkan klien dari jalan atau ketika bekerja di tempat-tempat hiburan seperti kelab
malam, panti pijat, diskotik, cafe, tempat karaoke atau bar (Wong, et.al, 1999).
Berdasarkan laporan bulanan penderita yang berkunjung ke klinik IMS Program
Pengobatan Berkala tahun 2010 Puskesmas Temindung merupakan salah satu Puskesmas yang
mengalami peningkatan kasus dan penderita IMS di Samarinda. Dengan WPS merupakan
kelompok yang berisiko tinggi IMS yaitu 605 kasus dan 339 orang penderita (Dinas Kesehatan
Kota Samarinda, 2010).
Tempat Prostitusi Bandang Raya adalah salah satu Lokalisasi yang memiliki Klinik
IMS atau disebut juga Puskesmas Pembantu Bandang Raya yang merupakan wilayah kerja
Puskesmas Temindung Samarinda. Karena letaknya yang strategis dengan jaraknya yang dekat
menyebabkan Lokalisasi ini mudah untuk dikunjungi, sehingga dapat dikatakan tempat ini berisiko
terhadap penularan penyakit IMS. Berdasarkan Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular
Seksual di Puskesmas Pembantu Bandang Raya tahun 2011 dari bulan januari sampai juni IMS
mengalami peningkatan sebesar 1.219 kasus dengan penderita 1.168 orang pada kelompok
perempuan. Dengan kelompok yang berisiko tinggi pada WPS sebanyak 236 kasus dan 303 orang
penderita. Hal ini menunjukkan bahwa WPS merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi yang
rentan terhadap penularan IMS. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pencegahan terhadap IMS
pada WPS (Puskesmas Temindung, 2011). Tujuan Penelitian ini untuk menggali secara mendalam
tentang perilaku perempuan pekerja seks dalam upaya-upaya pencegahan dan pola pencarian
pelayanan IMS dikalangan perempuan pekerja seks di tempat prostitusi Bandang Raya tahun
2012. Teknik Pengumpulan Data dengan Wawancara, Focus Group Discussion dan Observasi.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk
memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut
keterangan populasi. Rancangan penelitian adalah studi kasus (case study) yaitu studi yang

88

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan yang terperinci, memiliki pengambilan data yang
mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi (Saryono & Anggraeni, 2010).
HASIL PENELITIAN
Dari kegiatan wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dilakukan pada saat
penelitian, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Pengetahuan wanita pekerja seks mengenai upaya pencegahan IMS
Pengetahuan mengenai cara pencegahan IMS, Pemakaian kondom saat berhubungan
seksual, dinyatakan oleh Informan sebagai upaya pencegahan infeksi menular seksual. Selain itu,
menggunakan antibiotic atau mengkonsumsi obat-obatan seperti ampicillin/ supertetra/ binotal
juga dianggap perlu untuk membantu mencegah infeksi seperti pernyataan Informan dibawah ini :
pake kondom, jaga kebersihan itu, kadang-kadang suntik, ampisilin, kebersihan harus dijaga
pake ampisilin, supertetra atau apalah pokoknya antibiotiklah agar mencegah
(WTT, Wisma MND)
obat-obat, antibiotic itu aja ya kayak ampisilin, binotal. Beli mba, dari apotik, klu dari
penyuluhan cuma dikasi kondom aja. Iya, selalu menjaga kesehatan
(WFT, Wisma MND)
Praktik perempuan pekerja seks terhadap upaya pencegahan IMS
Yang dimaksud dengan praktik Informan terhadap upaya pencegahan IMS adalah tindakan
yang berhubungan dengan upaya yang dilakukan untuk pencegahan terhadap infeksi menular
seksual oleh Informan.
Penggunaan alat pelindung dalam berhubungan seksual dengan klien, Semua Informan
berusaha untuk menggunakan alat pelindung yaitu kondom selama melakukan hubungan seksual
(intercourse) namun hanya beberapa orang saja yang tetap berupaya menggunakan kondom.
Mereka menyadari bahwa dengan menggunakan kondom maka akan mencegah penularan IMS.
aku nanya dulu, pake kondom kah, ya sudah bisa pake aja katanya, kadang-kadang kalau udah
kenal ya uda, kalau lama uda tau, klu yang baru aku ngga tau, ya dipaksa, ya uda klu ngga mau,
ya uda, ya kadang-kadang ngga mau, ya uda klu ngga mau pake kondom, ya uda gapapa (g jadi)

(WMI, Wisma BNT)


Tetapi tidak semua tamu yang Informan layani mau memakai kondom. Tidak jarang mereka
pun kalah posisi dengan para tamu dan akhirnya melakukan hubungan seksual tanpa kondom.
Selain itu ada juga Informan yang minum obat terlebih dahulu seperti supertetra, ampisilin atau
pinotal sebelum melayani klien.
kadang-kadang tamunya ngga mau, ya terpaksa kita layani, ya ada tamunya sendiri yang, yang
ngga kondom padahal mbanya sebenarnya lebih suka kondom kan lebih, lebih apa, lebih menjaga
gitu na, kadang-kadang tamunya ngga mau. Ya, tergantung kitanya jaga kebersihan, klu lakinya
jorok kita jorok waduh sudah, hahaaa
(WTT, Wisma MND)
Cara memperoleh alat pelindung , Sebagian Informan mengakui mereka mendapatkan alat
pelindung dengan gratis dari Puskesmas yang datang ke lokalisasi atau di klinik. Terkadang ada
juga yang mendapatkan alat pelindung dengan membeli. Mereka pada umumnya selalu
mempersiapkan kondom di dalam kamarnya jika habis mereka akan meminta di klinik atau
membelinya lagi di eceran di lokalisasi.
kemarin thu ada edaran dari anu thu juga dari puskesmas juga, itu dikasi waktu pengobatan thu
na, presumtif thu, 4 bulan sekali kayaknya, itu stok klu kita ngga ngambil pasti dibagi-bagi, tapi
gratis
(WMN, Wisma GMB)

89

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Kerentanan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMS
Kerentanan yang dirasakan yaitu persepsi/pemahaman subyektif subjek penelitian
menyangkut resiko dari kondisi kesehatannya terhadap IMS. Pemahaman tentang perempuan
pekerja seks termasuk kelompok resiko tinggi IMS, Informan mengakui bahwa menjadi Wanita
pekerja Seks beresiko terkena IMS. Sebenarnya ada juga yang sudah mau berhenti akan tetapi
karena masalah ekonomi dan hutang sehingga mereka mau bekerja sebagai Informan. Seperti
pernyataan dibawah ini:
Mudah sekali. Karena kan sering gonta-ganti pasangan. Ada yang ngga mau pake kondom,
kebanyakan tamu-tamukan ngga mau pake kondom kan
(WMA, Wisma CND)
ya batin tersiksa mba tapi semua demi anak, kerja apa, sebenarnya mba ngga mau melakukan
mau berhenti, tapi yang berhentikan ini modalnya apa gitu, ya memang keadaanlah yang bikin
kita begini, sebenarnya ngga ada mba cewek atau perempuan batinnya tersiksa kayak gini, wis
namanya liku-liku masa depan kan pasti, banyak aja ngga disini jugakan, ya, kadang-kadang tu
orang menilai kita itu kotor sampah padahal kita ya sama-sama perasaan thu na
(WTT, Wisma MND)
Terdapat pula WPS yang menyatakan tidak berpikir terhadap peluang terkena IMS yang
penting adalah mereka sehat dan bisa tetap mendapatkan uang.
kadang ya berpikir kadang ya ngga, klu kita memang sehat kita ngga berpikir sampe kesitu. klu
waktu kita sehat-sehat haha..yang penting uang hehee..
(WMN, Wisma GMB)
Keseriusan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMS
Keseriusan yang dirasakan yaitu keyakinan subjek penelitian mengenai kegawatan terhadap
suatu penyakit dalam hal ini yaitu IMS. Tempat pengobatan yang dijangkau perempuan pekerja
seks, Pelayanan kesehatan seperti pengobatan berkala menjadi salah satu tujuan perempuan
pekerja seks apabila akan melakukan pengobatan. Untuk tempat selalu berpindah-pindah setiap
bulannya sehingga koordinator lokalisasi akan memberikan surat kepada seluruh wisma yang
datang agar mereka bisa hadir untuk berobat.
wisma gunung sari itukan tempatnya berobatkan, ya disitu sering aku ikut (pengobatan
berkala)
(WMI, Wisma BNT)
ga tentu juga kadang klu itu, apa itu tempat pengobatannya kadang pindah juga, diwisma apa,
kadang pindah-pindah pokonya, itukan kebersamaan jadi kitakan harus datang, waktu ada apa,
undangan itu datang. Ya, undangannya biasanya dikasi anu koordinatornya, adakan sini kayak itu
lho dikasi lembaran pemberitahuan gitu lho, itukan ada petugasnya sendiri . itu yang periksa
orang puskesmas juga, puskesmas temindung hee, oo banyak
(WMN, Wisma GMB)
Berobat atas anjuran orang lain atau kesadaran sendiri, Berdasarkan hasil wawancara
mendalam informan melakukan pengobatan itu berasal dari kemauan sendiri. Mereka mengakui
akan berobat jika mereka merasakan sesuatu yang terjadi pada tubuh mereka.
ya anjuran sendirilah, kan kita sendiri mau jaga kesehatan sendiri
(WFT, Wisma MND)
Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasa Perempuan pekerja seks dalam upaya
pencegahan IMS
Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasa (Perceived Barriers) yaitu keuntungan dan
hambatan yang dirasakan atau dialami oleh Perempuan pekerja seks dalam mencegah dan
mengobati IMS

90

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Sikap terhadap penggunaan kondom ketika berhubungan seksual, Berdasarkan hasil
wawanvcara mendalam, Informan setuju terhadap penggunaan kondom ketika berhubungan.
Mereka sadar terhadap penyakit yang dapat menyerang kapan saja ketika berhubungan seksual
dengan pola berganti - ganti pasangan.
supaya sehat kita, ya tapi klu ngga mau ya ngga jadi gitu aja hehee..,orang kita jaga kok

(WFT, Wisma MND)


kita ngga tau laki-laki itu punya apa-apakan (penyakit) ngga tau, kita dapat 200 terus
kena penyakit habis buat berobat
(WMI, Wisma BNT)
Pengertian mengenai manfaat dari pemakaian kondom, Berdasarkan wawancara mendalam
Informan mengatakan bahwa keuntungan pemakaian kondom pada saat berhubungan yaitu
mencegah penyakit dan mencegah penularan penyakit dari laki-laki.
ya bagus untuk pencegahan itu
(WMA, Wisma CND)
ya supaya ngga sakit aja, supaya ngga tertular, menjaga kesehatan gitu aja
(WFT, Wisma MND)
Pengertian mengenai kerugian dari pemakaian kondom, Informan menyatakan tidak ada
kerugian dalam pemakaian kondom terhadap kesehatan mereka sendiri. Sedangkan sebagian
menyatakan tidak ada keuntungan maupun kerugian dalam hal penggunaan kondom, yang penting
kondisinya sehat .
ya ya ruginya tamunya ngga mau
(WTT, Wisma MND)
ngga ada untung ngga ada rugi..sama aja, ngga juga gapapa yang penting orangnya
sehat, bersih
(WMN, Wisma GMB)
Faktor pendorong untuk melakukan upaya pencegahan IMS, Faktor pendorong untuk
bertindak (cues to action) yaitu media massa, nasehat dokter, dan lain-lain, memberikan pengaruh
secara tidak langsung yang berkaitan dengan perilaku dalam upaya pencegahan dan pengobatan
IMS.
Akses media informasi tentang IMS, Informan menyatakan bahwa informasi tentang IMS di
dapatkan dari pengalaman penyakit yang pernah mereka dapatkan dan dari hasil pemeriksaan oleh
dokter/klinik. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka pernah mempelajarinya semasa duduk di
bangku sekolah.seperti materi pelajaran IPA.
Pengalaman aja, cuma waktu sakit itu kedokter, oo ini infeksi ini
(WMN, Wisma MND)
ya dari kesehatan juga, iya, kan bukannya kesehatan itu, masalahnya itu apa, kami thu
pernah kena sakit itu nda. Cuma dulukan pernah metode pelajaran IPA, walaupun SD
thu sudah dipelajari, kalau di Jawa itu mulai kelas 3 sampe kelas 6 sudah dipelajari
(WLS, Wisma MND)
Hasil Observasi
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama penelitian berlangsung di lokalisasi
Bandang Raya Samarinda. Dalam hal ini Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) melakukan
kerjasama dengan Puskesmas Temindung dalam lebih sering melakukan pelaksanaan pengobatan
berkala di Lokalisasi Bandang Raya.
Selain itu ada juga penjangkau dari LSM seperti BKKBN, LARAS biasanya terlebih
dahulu lapor ke Puskesmas Temindung. LARAS merupakan LSM yang kadang melakukan
pemeriksaan secret dan penyuluhan di lokalisasi Bandang Raya. Walaupun harapan coordinator

91

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
lokalisasi LSM maupun instansi kesehatan ini dapat bergabung namun dalam perjalanannya
terkadang jalan masing-masing tergantung program yang dilakukannya sehingga kurang kerjasama
dalam penanggulangan pencegahan IMS. Dalam upaya mendukung pelaksanaan kegiatan di
Lokalisasi, oleh koordinator lokalisasi dilakukan kerjasama dengan pihak kepolisian dan dinas
kesehatan Samarinda.
KPA merupakan bagian dari unsur pemerintah yang menjalankan fungsi koordinasi.
Diantara tugasnya memfasilitasi dan koordinasi semua kegiatan oleh berbagai sektor, seperti
polisi, pelayanan sosial, dan kesehatan melalui KPA di setiap jenjang, melakukan advokasi kepada
para pengambil keputusan dalam pengembangan peraturan perundangan dan memberikan
dukungan kepada lingkungan demi terlaksananya program pengendalian IMS.
Pelaksanaan untuk pengobatan berkala di tempat prostitusi Bandang Raya yang paling
sering dilakukan baik oleh KPA satu bulan sekali maupun dari Puskesmas dua kali sebulan
biasanya dilakukan di wisma-wisma secara bergantian agar dapat menjangkau kesadaran dan
perhatian perempuan pekerja seks. Sehingga koordinator akan memberikan undangan yang berisi
pengumuman pelakasanaan kegiatan pada seluruh wisma yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian selama meneliti sering juga peneliti bertemu dengan
perempuan pekerja seks yang mendatangi pelayanan kesehatan ada yang jalan kaki bersama
teman-temannya dan ada juga yang diantar naik motor. Hal yang dilakukan seperti melakukan
pemeriksaan terhadap kesehatannya, meminta KB ataupun suntik KB, ada juga yang melakukan
pemeriksaan kehamilan biasanya petugas klinik memeriksanya namun untuk kelanjutan lebih
disarankan ke Puskesmas pembantu solong atau Puskesmas temindung. Hal ini dikarenakan klinik
IMS lebih kepada pelayanan IMS baik pemeriksaan, pengobatan, kondom maupun KB serta
pemberian penyuluhan.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan bahwa umur PPS pada penelitian ini di dominasi kelompok
umur 20 27 tahun yaitu sebanyak 6 orang. Untuk tingkat pendidikan PPS ada yang SD, SMP
maupun SMA. Mayoritas status pernikahannya yaitu sudah bercerai dengan lamanya bekerja
sebagai PPS paling lama 3 tahun. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita yang
berprofesi sebagai WPS adalah wanita yang tidak terikat oleh pernikahan sehingga ia harus
menghidupi diri sendiri dan keluarga di sekitarnya. Mayoritas pekerja berasal dari pulau jawa yaitu
Surabaya, Bondowoso, Lumajang maupun Madura.
Uraian berikut memberikan gambaran mengenai perilaku perempuan pekerja seks dalam
pencegahan infeksi menular seksual di tempat prostitusi Bandang Raya Samarinda :
Perilaku Kesehatan
Menurut Green (2000), perilaku ditentukan oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi
(predidposing factors) yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu perilaku,
faktor pendukung atau pemungkin (enabling factors) meliputi semua karakter lingkungan dan
semua sumber daya atau fasilitas yang mendukung atau memungkinkan terjadinya suatu perilaku
dan faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya
perilaku antara lain tokoh masyarakat, teman atau kelompok sebaya, peraturan, undang-undang,
surat keputusan dari para pejabat pemerintahan daerah atau pusat (Ngatimin Rusli, 2005).
Pengetahuan WPS mengenai upaya pencegahan IMS, Pengetahuan merupakan domain
yang penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Penerimaan seseorang terhadap suatu
perilaku baru karena suatu rangsangan yang melalui proses kesadaran, merasa tertarik,
menimbang, mencoba dan akhirnya subyek berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. (Notoatmodjo, S. 2003)
Praktik WPS terhadap upaya pencegahan IMS, Dalam pembahasan ini akan dijelaskan
mengenai tindakan yaitu tindakan perempuan pekerja seks berhubungan dengan upaya yang

92

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
dilakukan untuk pencegahan dan pengobatan terhadap IMS, dalam hal ini penggunaan kondom
sebelum melakukan hubungan seksual.
Mereka menyadari bahwa dengan menggunakan kondom maka akan mencegah penularan
IMS. Penggunaan kondom tidak hanya dapat mencegah kehamilan tetapi juga dapat mencegah
IMS termasuk HIV/AIDS. Penggunaan kondom yang konsisiten (selalu menggunakan kondom
dalam setiap hubungan seksual) merupakan perilaku yang efektif untuk mencegah penularan IMS.
Hal ini sejalan dengan pernyataan petugas klinik IMS bahwa hanya beberapa orang saja
yang tetap berupaya menggunakan kondom. Karena tidak semua klien yang mereka layani mau
memakai kondom seperti merasa tidak enak walaupun sudah diberi penjelasan bagaimana cara
supaya pake kondom dengan usaha merayunya. Namun tidak jarang mereka pun kalah posisi
dengan para klien dan akhirnya melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Sehingga minum
obat baik sebelum melakukan hubungan seksual menjadi hal yang biasa bagi WPS demi mencegah
terjadinya infeksi menular seksual.
Salah satu faktor resiko tingginya penularan IMS adalah banyaknya pelanggan yang
dilayani seorang perempuan pekerja seks. Makin besar pelanggan, makin besar kemungkinan
tertular IMS. Sebaliknya jika Perempuan pekerja seks telah terinfeksi IMS maka makin banyak
pelanggan yang mungkin tertular darinya. Di lain pihak, sedikitnya jumlah pelanggan dapat
memperlemah kekuatan negoisasi perempuan pekerja seks untuk pemakain kondom, karena
mereka takut kehilangan pelanggan (Jazan S, dkk, 2004). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Sarwi (2003) bahwa penggunaan kondom di Resosialisasi Argorejo sebesar 4,7%, hal
ini dikarenakan posisi tawar PSK yang lemah sehingga ketidakberhasilan dipengaruhi oleh
pelanggan.
Kepercayaan Kesehatan
Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 4 variabel
kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu
penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam
tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. (Notoatmodjo,
2007).
Kerentanan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMS, Agar seseorang bertindak
untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptibility)
terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit
akan timbul apabila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap
penyakit tersebut. (Notoatmodjo, 2007).
Terdapat dua pemahaman perempuan pekerja seks yaitu yang menyatakan bahwa
perempuan pekerja seks sebagai kelompok resiko tinggi dan yang menyatakan semua pekerjaan
memiliki resiko tinggi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, didapatkan bahwa alasan
informan utama memilih jalan hidupnya untuk menjadi perempuan pekerja seks adalah karena
alasan ekonomi dan hutang, mereka membutuhkan uang untuk membiayai hidup anak dan
keluarganya.
Namun dilain pihak beberapa wanita pekerja seks menikmati perannya sebagai wanita
pekerja seks. Wanita pekerja seks dianggap sebagai pekerjaan yang menjanjikan karena dengan
menjadi wanita pekerja seks, uang dapat dengan mudah diperoleh sehingga kebutuhan sehari-hari
dapat terpenuhi, namun dibalik itu semua, wanita pekerja seks mengalami konflik dalam dirinya.
Sehingga mereka tidak mengetahui/berpikir bahwa sebagai perempuan pekerja seks mudah
terkena IMS karena menurut mereka itu semua tergantung dari orangnya sendiri.
Hal ini sejalan dengan teori konsep teori proteksi motivasi bahwa seseorang yang
mempunyai persepsi yang baik mengenai kerentanan terkena penyakit, keparahan penyakit yang
dideritanya dan memiliki respon efektif serta kemampuan diri yang baik untuk mengatasi atau
mencegah suatu penyakit maka akan memiliki niat dan perilaku yang baik (Shaluhiyah, 2007).
Menurut hasil penelitian perempuan pekerja seks menyatakan bahwa hak mereka untuk
menjaga diri dilakukan dengan bernegosiasi dengan klien tentang penggunaan kondom dan ada

93

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
juga dengan cara minum obat-obtan, antibiotik antiseptik. Hal ini dilakukan untuk menjaga
kesehatan mereka untuk melindungi diri dari tertularnya IMS.
Perempuan pekerja seks berusaha menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual.
Adapula perempuan pekerja seks yang menyatakan tidak berpikir terhadap peluang terkena IMS
yang penting adalah mereka sehat dan bisa tetap mendapatkan uang. Mereka mengakui memang
bekerja seperti itu tetap ada resiko jika tidak dapat menjaga kesehatan. Tetapi hal itu tidak
berpengaruh besar bagi mereka. Justru mereka merasa tidak suka atau mereka pikir akan berakibat
buruk jika mereka tidak mendapatkan uang. Padahal mereka termasuk dalam kelompok resiko
tinggi yang perlu diwaspadai. Mereka adalah kelompok yang sering sekali bergonta-ganti
pasangan sehingga sangat memudahkan penularan IMS.
Keseriusan yang dirasa perempuan pekerja seks terhadap IMS, Tindakan individu untuk
mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit
tersebut terhadap individu atau masyarakat. (Ngatimin Rusli, 2005)
Sebagian besar dari mereka memeriksakan diri ke Klinik IMS dan Pengobatan Presumtif
Berkala yang di adakan di lokalisasi dengan tempat yang berpindah-pindah di setiap wisma.
sehingga koordinator lokalisasi akan memberikan surat kepada seluruh wisma yang datang agar
mereka bisa hadir untuk berobat. Bahkan ada yang pergi keluar periksa ke bidan yang ada di
Puskesmas setempat.
Perempuan pekerja seks mengaku motivasi pergi untuk berobat atas keinginan sendiri
karena untuk menjaga kesehatan mereka sendiri jika sakit, mereka sangat merasakan dampaknya
secara pribadi. Biaya pengobatan gratis sehingga tidak begitu memberatkan bagi semua subjek
yang diteliti. Walaupun gratis tidak semua dari mereka yang rutin melakukan pengobatan tapi
hanya sebagian dari mereka yang merasa bahwa pengobatan ini untuk kepentingan mereka sendiri
yang akan berakibat fatal bagi pekerjaannya jika keluhan yang dirasakan tidak segera diobati.
Rata-rata perempuan pekerja seks melihat IMS sebagai suatu penyakit yang menakutkan.
Tetapi adapula yang mengatakan bahwa kalau mau berusaha maka segala penyakit akan dapat
diobati. Secara umum mereka memang dapat melihat suatu masalah dalam diri mereka yaitu resiko
terkena IMS. Mereka cukup tahu dengan perilaku mereka yang bergonta-ganti pasangan maka
akan mempermudah IMS masuk ke dalam tubuh. Tetapi ada anggapan bahwa semuanya itu dapat
dicegah dengan berbagai pengobatan yang sebenarnya merupakan mitos di dalam komunitas
mereka.
Semua sikap perempuan pekerja seks membenarkan jika orang yang sering berganti-ganti
pasangan mempunyai resiko lebih tinggi tertular IMS. Tetapi ada sebagian kecil dari perempuan
pekerja seks yang mempunyai angapan bahwa seseorang yang dapat menjaga kebersihan alat
kelamin dengan baik dapat membantu mengeluarkan kuman-kuman yang menurut mereka ada di
dalam alat kelamin. Padahal anggapan tersebut merupakan salah satu mitos seputar IMS.
Disamping itu meskipun mereka yang terkena penyakit kelamin tampak sehat dan bersih tetap saja
bisa menularkan penyakit tersebut pada orang lain.
Pengobatan berkala di wisma adalah salah satu tempat yang mereka datangi untuk
memeriksakan kesehatan secara rutin. Pengobatan berkala dilakukan satu bulan sekali bersama
KPA dan dua bulan sekali oleh petugas dari puskesmas Temindung. Sebagian informan
menyatakan tidak pergi jika memang tidak sangat memerlukan.
Manfaat dan penghalang yang dirasa perempuan pekerja seks dalam upaya pencegahan
IMS, Berdasarkan teori Health Belief Model oleh Rosentock menyebutkan bahwa variabel
manfaat dan rintangan mendorong individu serius dalam melakukan suatu tindakan tertentu.
Tindakan ini akan tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan yang ditemukan dalam
mengambil tindakan tersebut. Sehingga untuk meningkatkan pengetahuan tentang IMS tidak selalu
memperhatikan pendidikan tetapi lebih ditekankan pada upaya memberikan kesadaran akan
manfaat yang dirasakan.
Faktor pendorong untuk melakukan upaya pencegahan IMS, Untuk mendapatkan tingkat
penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan

94

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut misalnya pesan-pesan
pada media massa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit dan
sebagainya. (Notoatmodjo, S. 2007)
Informasi dari teman sebenarnya membawa pengaruh yang lebih besar karena belajar dari
pengalaman lebih efektif dari pada membaca. Mereka menanggapi secara positif akan kehadiran
dari informasi tersebut. Manfaat yang mereka terima dari informasi yang mereka dapatkan cukup
memuaskan mereka, dari yang tidak pernah atau tidak suka berobat menjadi mau berobat. Dari
yang tidak tahu tentang sesuatu hal menjadi tahu akan sesuatu hal walaupun terkadang
pengetahuan yang mereka miliki masih kurang tepat dan bercampur dengan mitos yang
sebelumnya sudah dipegang.
Sesuai dengan penelitian Oktarina (2009), orang yang memiliki sumber informasi yang
lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang lebih luas pula. Salah satu sumber informasi yang
berperan penting bagi pengetahuan adalah media massa. Pengetahuan masyarakat khususnya
tentang kesehatan bisa didapat dari beberapa sumber antara lain media cetak, tulis, elektronik,
pendidikan sekolah dan penyuluhan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap Perempuan Pekerja Seks di tempat
prostitusi Bandang Raya Kota Samarinda dapat disimpulkan perilaku perempuan pekerja seks
dalam pencegahan IMS dalam hal ini pengetahuan tentang IMS masih cukup rendah sedangkan
tindakan (praktik) yang dilakukan adalah dengan menggunakan kondom. Kerentanan dan
keseriusancukup dirasakan oleh PPS terhadap IMS sehingga mereka cukup menyadari manfaat
kondom dalam menjaga diri dari penularan IMS.
Adapun saran, Bagi para perempuan pekerja seks di tempat prostitusi Bandang Raya
Samarinda diharapkan dapat lebih meningkatkan perilaku pencegahan terhadap IMS dengan
menggunakan kondom dengan benar dan melakukan pemeriksaan secara rutin pada pengobatan
berkala, pengobatan berkala yang dilakukan oleh Puskesmas maupun KPA merupakan akses
terdekat pelayanan kesehatan perempuan pekerja seks. Oleh karena itu ke depan dapat lebih
meningkatkan pelayanan dan pembinaan kepada para WPS dengan lebih memperluas jaringan
kerjasama misalnya bekerja sama dengan institusi pendidikan kesehatan (Kedokteran,
Keperawatan dan Analis Kesehatan), institusi Pendidikan Kesehatan harapannya dapat
memberikan perhatian pada kasus IMS yang menimpa para perempuan pekerja seks. Support
mental dan sosial diperlukan oleh para perempuan pekerja seks disamping tambahan pengetahuan
tentang IMS. Selain itu perguruan tinggi dapat membuat rancangan sebuah model penyuluhan
efektif berupa iklan spot di tempat-tempat lokalisasi untuk segmentasi klien, perlunya dilakukan
penelitian lanjut tentang hubungan antara perilaku perempuan pekerja seks terhadap kejadian IMS
dengan mengangkat variabel lain seperti douching vaginal dan sosial ekonomi, bagi dinas
kesahatan kota samarinda agar rutin melakukan kegiatan VCT pada daerah lokalisasi yang ada di
kota Samarinda khususnya pada lokalisasi bandang raya, bagi dinas kesejahteraan sosial kota
samarinda agar melakukan upaya pembinaan keterampilan bagi perempuan pekerja seks seperti
salon kecantikan, kursus menjahit, Komputer dll agar mereka bisa meninggalkan pekerjaan
sebagai PPS dan membuka usaha sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Daily,S.F. (2007).Tinajuan Penyakit Menular Seksual Dalam ilmu penyakit Kulit dan kelamin
edisi 3 Jakarta FK UI
Dinas Kesehatan Kota Samarinda.Laporan Program PengobatanBerkala (2010). Samarinda.
Green L.W.,Kreuter M.W., (2000). Health Promotion Planning an Educationaland Environmental
Approach.Maylield Publishing Company.

95

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Jurnal Promosi Kesehatan


NUSANTARA INDONESIA
Widodo, Edy. (2008). Praktik Wanita Pekerja Seks (WPS) Dalam Pencegahan Penyakit Infeksi
Menular Seksual (IMS) Dan HIV&AIDS Di Lokalisasi Koplak, Kabupaten Grobogan.
JurnalPromosi Kesehatan Indonesia, Vol. 4.
Lokollo, Yuliawati, Fitriana. (2009). Studi Kasus Perilaku Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung
Dalam Pencegahan IMS, HIV dan Aids di Pub&Karaoke, Cafe dan Diskotek di Kota
Semarang.Tesis Tidak Diterbitkan. Semarang : Program Studi Magister Promosi
Kesehatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). PendidikandanPerilakuKesehatan. Jakarta : PT. RinekaCipta.
PuskesmasTemindung. Laporan Bulanan Penderita Infeksi Menular Seksual 2011. Samarinda.
Saryono & Anggraeni, D. Mekar. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang
Kesehatan. Yogyakarta : Mulia Medika.
Sarwi. (2003). Hubungan anatara pengetahuan, sikap dengan praktik pekerja seks komersial
(PSK) dalam pencegahan penyakit infeksi menular seksual (IMS) di Resosialisasi
Argorejo kelurahan kalibanteng kulon kecamatan semarang barat kota Semarang.
Skripsi Tidak Diterbitkan.Semarang : Program Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro.
Wong, ML., et.al. (1999).Sexually transmitted diseases and condom use among free-lance sex and
brothel-based sex workers in Singapore. Singapore.
World Health Organization and UNAIDS. (2000). Guidelines for Second Generation Surveillance
for HIV,The Next Decade. Geneva : World Health Organization.

96

Nomor 10 Edisi 10 Jul-Des 2012

Anda mungkin juga menyukai