PENDAHULUAN
Membicarakan tentang karst tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut batu gamping
(limestone). Perlu kiranya memahami bagaimana batu gamping itu terbentuk, tekstur, struktur,
mineral penyusun, bidang perlapisan, porositas dan permeabilitas.
KARST berasal dari bahasa daerah Yugoslavia yang merupakan nama suatu kawasan
diperbatasan Italia Utara dan Yugoslavia sekitar kota Trieste. Istilah Karst ini kemudian dipakai
untuk menyebut semua kawasan batu gamping yang telah mengalami suatu proses pelarutan,
bahkan berlaku juga untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam.
Kawasan karst sering menunjukkan penampakan (ciri-ciri) khas seperti :
1. Terdapatnya sejumlah cekungan (depresi) dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi,
cekungan tersebut digenangi air atau tanpa air dengan kedalaman dan jarak yang berbeda-beda.
2. Bukit-bukit kecil dalam jumlah banyak yang merupakan sisi-sisi erosi akibat pelarutan kimia
pada batu gamping, sehingga terbentuk bukit-bukit (conical hills).
3. Sungai-sungai tidak mengalami perkembangan pada permukaan. Sungai pada daerah karst
umumnya terputus-putus, hilang kedalam tanah dan begitu saja muncul dari dalam tanah.
4. Terdapatnya sungai-sungai di bawah permukaan, adanya gua-gua kapur pada permukaan atau
di atas permukaan.
5. Terdapatnya endapan sedimen lumpur berwarna merah (terrarosa) yang merupakan endapat
resedual akibat pelapukan batu gamping.
6. Permukaan yang terbuka mempunyai kenampakan yang kasar, pecah-pecah atau lubanglubang mapun runcing-runcing (lapies)
Tidak semua batu gamping akan mengalami proses karstifikasi, proses ini sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor diantaranya adalah sifat dari batuan karbonat (batu gamping) itu sendiri yang
meliputi : biota penyusun, kemurnian/ pengotoran mineral lain maupun porositas.
Proses yang dipelajari di dalam karstologi tidak bisa dipisahkan dengan masalah eksokarst
(segala fenomena yang dijumpai di atas permukaan tanah kawasan karst) dan endokarst (segala
fenomena yang dijumpai di bawah permukaan tanah kawasan karst termasuk gua), keduanya
merupakan bahasan satu kesatuan yang saling berkaitan.
Fenomena karst telah diteliti di Eropa sejak abad ke-19 oleh para ahli geologi Slovenia,
Hongaria, Jerman, dan Australia. Eksplorasi gua dan usaha mempelajari aneka ilmu terkait mulai
ditekuni abad lalu. Dimulai ketika ditemukannya aneka fosil hewan dan manusia purba (homo
erectus dan homo sapiens neanderthalensis). Sejak tahun 1925 mulai ditekuni geomorfologi dan
hidrologi karst, biospleologi, speleogenesis, speleokhronologi. Mulai tahun 1960 ditekuni
ekosistem karst.
mengotori air karst. (Contoh : pada tahun 1999 di Kawasan Karst Maros telah punah tujuh
spesies kupu-kupu unik akibat kunjungan wisatawan yang tidak terkendali).
Hingga kini di Indonesia, kawasan karst masih dianggap oleh sebagian besar masyarakat bahkan
oleh sebagian besar ahli tambang dan geologi Indonesia hanya sebagai sumber daya alam yang
memiliki nilai ekonomi dari segi tambang. Yang ditambang antara lain adalah batu kapur sebagai
bahan baku industri semen, bahan bangunan, untuk dijadikan ubin (batu marmer), sebagai bahan
untuk perhiasan, maupun macam-macam industri lainnya. Dolomit dan kalsit (CaCO3 yang telah
mengalami proses kristalisasi) juga ditambang untuk aneka industri. Selain itu, fosfat yang
terkandung dalam sedimen beberapa gua yang pernah dihuni banyak kelelawar dan burung walet
juga ditambang untuk digunakan sebagai pupuk organik.
Di zaman orde baru, analisa dampak lingkungan yang dipersyaratkan sebelum keluar izin
tambang, sering dibuat secara tidak benar. Tidak melibatkan pakar-pakar multidisiplin dan lintas
sektoral terpadu dengan melibatkan para ahli biologi dan ekologi kawasan karst, ahli speleologi,
ahli hidrologi karst, ahli geomorfologi karst, ahli geografi, ahli sosiobudaya, dan kalau perlu
dilibatkan pula para ahli dalam bidang kepurbakalaan.
Analisis dampak lingkungan sering kali tidak mengikuti persyaratan yang harus dipenuhi, seperti
diploma AMDAL A dan B yang wajib dimiliki konsultan pembuat AMDAL. Kursus AMDAL
pun tidak ada yang memperhatikan masalah lingkungan karst secara khusus. AMDAL untuk
penambangan batu gamping untuk industri semen atau penambangan lainnya dikerjakan secara
dangkal dan tidak melibatkan pakar-pakar terkait yang bisa meneliti secara independen dan
objektip. Bahkan ada beberapa AMDAL yang dilakukan oleh konsultan yang tidak memiliki
diploma AMDAL A atau B yang dipersyaratkan (Contoh : AMDAL Industri Semen Gombong).
DAMPAK NEGATIF AKIBAT PERTAMBANGAN PADA KAWASAN KARST
1. Kemiskinan keanekaragaman hayati pada kawasan karst setempat dan lingkungan nonkarst
dalam radius pencemaran udara oleh polutan.
2. Punahnya beberapa spesies yang khas.
3. Kerusakan bentukan-bentukan alam yang unik
4. Rusaknya situs arkeologi dan budaya (Kemungkinan akan dialami pada kawasan karst Batu
Buli di Kab. Tabalong yang merupakan situs purbakala yang akan rusak akibat penambangan
batu gunung (Eksplore Mapala Stienas Banjarmasin tahun 1996).
5. Hancur atau lenyapnya temuan paleontologi.
6. Lenyapnya pemandangan yang indah.
7. Rusaknya tatanan air (sumber air karst berkurang dan tercemar).
8. Rusaknya lahan pertanian, peternakan dan perikanan.
9. Hancurnya tanaman bernilai ekonomi tinggi.
10. Hilangnya mata pencaharian dan lahan penduduk setempat.
11. Tercemar dan rusaknya obyek wisata alam gua dan karst (Gua Marmer di Plaihari, Eksplore
Mapala Stienas Banjarmasin tahun 1994).
12. Tercemarnya lingkungan hunian penduduk oleh debu dan suara alat berat.
13. Rusaknya sarana dan prasarana seperti jalan aspal, dll.
14. Terganggunya kesehatan oleh polutan industri.
Secara internasional kawasan karst dan gua-gua sudah sejak lama diidentifikasikan sebagai
sumber daya alam yang memiliki nilai yang jauh lebih penting dari bahan tambang. Sebagai
bahan tambang, sumber daya alam ini PASTI akan habis dan tidak mungkin bisa pulih atau
tumbuh kembali.
Wajib diidentifikasi aneka nilai non-tambang kawasan karst dan gua-gua melalui disiplin
Karstologi dan Speleologi. Hingga kini di Indonesia kedua ilmu penting tersebut belum ditekuni
secara merata. Terbukti bahwa nilai dan manfaat kawasan karts dan sistem perguaan hampir tidak
dapat dijelaskan oleh para ahli pertambangan dan geologi Indonesia. Mereka belum memahami,
bahwa fenomena endokarst erat hubungannya dengan fenomena eksokarst.
Gua alam sebagai obyek wisata sudah sejak lama dikelola di beberapa negara maju, seperti Gua
Mammoth dan Gua Carlsbad yang setiap tahunnya dikunjungi satu juta pengunjung dan
menghasilkan US $ jutaan setiap tahunnya, gua ini merupakan dua dari puluhan gua komersial
yang dikelola sebagai gua untuk turis santai di Amerika Serikat. Di Belgia terkenal dengan Gua
Hahn, Perancis dengan Gua Padirac dan Gua Pierre St. Martin, Italia dengan Gua Biru, di
Selandia Baru dengan Gua Waitomo, Swis dengan Gua Holloch, Australia dengan Gua Seegrotte
dan Gua Eisriesenwelt, Malaysia dengan Gua Mulu, dan di Cina dengan Gua Sembilan Naga.
Gua-gua komersial itu merupakan gua kaliber dunia karena memiliki keindahan yang fantastis
dan menakjubkan dan semuanya dikelola dengan profesional.
Keindahan gua-gua dan pemandangan beberapa kawasan karst di Indonesia tidak ada yang
bertingkat nasional, namun cukup menarik untuk kunjungan wisata gua minat khusus. Seperti
Gua Jatijajar, Gua Donan dan Gua Petruk di Jawa Barat, Gua Lawa, Gua Seplawan dan Gua
Kiskendo di Jawa Tengah, Gua Sripit, Gua Terus, Gua Tuk Embul di Jawa Timur, Gua Losan di
Kalimantan Timur, serta Gua Tamputuk, Gua Beramban, Gua Kelok Sembilan dan Gua-gua di
kawasan Batu Hapu di Kalimantan Selatan.
Sejak puluhan tahun yang lalu masyarakat kita sudah mengenal keberadaan gua dan sebagian
masyarakat kita beranggapan bahwa gua memiliki unsur magis. Hal ini erat hubungannya dengan
pandangan masyarakat terhadap gua sebagai tempat pemujaan, tempat meletakkan sesajen,
tempat pertapaan dan kuburan yang dikeramatkan. Sehingga masyarakat setempat percaya akan
legenda atau mendapatkan sesuatu di gua tersebut (mendapat berkah, wangsit, terhindar dari
musibah, dll). Hal ini merupakan daya tarik tersendiri yang mampu menarik minat orang untuk
berkunjung dan ingin mengetahui sejarah dari gua tersebut.
Di negara kita cukup banyak terdapat gua-gua yang memiliki nilai budaya, diantaranya Gua
Pamijahan, Gua Sang Hyang Sirah di Jawa Barat, Gua Langsa, Gua Semar, Gua Selarong di
Jawa Tengah, Gua Selomangleng di Jawa Timur, Gua Tengkorak di Kal-Tim, Gua Batu
Teluwungan di Kal-Teng, Gua Pahajatan di Kal-Sel (Eksplore Mapala Stienas Banjarmasin tahun
1999). Semua gua-gua tersebut memiliki legenda unik yang memiliki nilai budaya yang tinggi.
Pada jaman prahistory, manusia sudah memanfaatkan gua sebagai tempat tinggal karena gua
memiliki ruangan (chamber) yang mampu menampung orang lebih banyak dan mempunyai sifat
yang khas dalam mengatur suhu di dalamnya. Sifat tersebut yang menyebabkan gua digunakan
terjadinya proses fotosintesa. Aneka lumut (algae) yang dikenal dengan sebutan lampenflora
dipelajari efeknya terhadap lingkungan fisik gua. Perubahan suhu di dalam gua oleh panas badan
para pengunjung dan sumber cahaya akan mempengaruhi mikroklimatologi. Hal ini akan
memfasilitasi pertumbuhan flora-fauna yang berasal dari eksokarst, akibatnya mikro-ekosistem
khas gua akan terganggu. Kunjungan orang ke dalam interior gua juga akan menambah
kandungan CO2, mengurangi kandungan O2, meningkatkan kelembaban interior gua,
memadatkan tanah di atas lantai yang diinjak. Sering pula mengintroduksi algae, spora dan
bakteri eksokarst ke dalam endokarst. Pengunjung yang membuang sisa makanan atau buang
hajat dalam gua akan merubah mikro-ekosistem gua. Demikian pula kalau membuang sisa karbit
atau baterai dalam gua.
Berbagai dekorasi alamiah gua (Speleotem) seperti stalaktit, stalagmit, gourdams, drapery,
dsbnya selain indah dipandang juga sangat penting untuk menentukan umurnya
(speleochronologi). Gua-gua di Indonesia dengan speleotem yang umurnya ratusan ribu tahun,
pada saat dikunjungi wisatawan, sering ada yang mematahkanya tanpa alasan yang jelas atau
untuk dibawa pulang sebagai cindera mata (Contoh kasus ini terjadi di Gua Kering Kab.Tapin,
salah satu stalaktit pada gua tersebut sengaja dipatahkan oleh pengunjung yang tidak
bertanggung jawab (Eksplore Mapala Stienas Banjarmasin tahun 2004). Hal ini disebabkan
karena tidak ada petugas yang senantiasa mendampingi dan mengawasi pengunjung atau
penelusur gua seperti di negara maju. Pemandu wisata gua di Eropa, Australia dan AS, biasanya
merupakan orang yang sarat akan pengetahuan tentang speleologi, dan berfungsi sebagai
pendidik dalam bidang etika, kebersihan lingkungan dan konservasi alam.
Di Indonesia hampir tidak ada seorang pemandu wisata gua yang di persyaratkan. Pemandu
wisata gua kebanyakan hanya masyarakat setempat yang tidak mengerti apa-apa tentang
pengetahuan gua (Speleologi), bahkan ironisnya ada anak kecil yang menjadi pemandu wisata
gua. Di Indonesia hanya Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI) yang dikelola
oleh Yayasan Speleologi Indonesia yang telah diakui oleh kelompok-kelompok Pecinta Alam dan
banyak instansi pemerintah Indonesia bahkan diakui oleh International Union Of Speleology
(Austria) sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Eksplorasi Karst dan Gua maupun sebagai
Pusat Pendidikan Pengelolaan Obyek Wisata Gua dan Pemandu Wisata Gua.
Sebelum suatu gua alam dikembangkan secara fisik, wajib diidentifikasi dulu aneka nilai yang
terkandung dalam gua tersebut. Identifikasi secara dini dan terpadu oleh tim multidisiplin ini
penting sekali agar pembenaran (justifikasi) pengembangan suatu gua alam untuk dijadikan
obyek wisata dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini juga perlu untuk memberikan
masukan pada tim AMDAL yang wajib membuat penelitian sebagai syarat perizinan.
Di negara maju, dibutuhkan paling tidak tiga sampai lima tahun sebelum suatu gua komersial
dibuka untuk kunjungan umum. Penelitiannya terfokus pada sedimen gua, karena merupakan
struktur penting sekali yang mempreservasi sisa aneka flora dan fauna masa lalu. Dengan
demikian dapat dianalisa iklim dan ekologi masa lalu, yaitu melalui ilmu palinologi yang
meneliti spora dalam sedimen gua, ilmu paleontologi yang meneliti aneka fosil hewan purba
yang telah lama punah, dan ahli arkeologi yang meneliti aneka artefak peninggalan manusia
penghuni gua dan peradaban zaman prasejarah. Di Indonesia, sedimen gua kurang diperhatikan
sama sekali dan dianggap tidak memiliki nilai apapun.
C. PENYELESAIAN MASALAH
Guna menyelesaikan berbagai macam aneka permasalahan yang terjadi pada kawasan karst dan
gua, maka penyelesaian masalah harus berdasarkan :
1. Identifikasi secara holistik aneka permasalahan karst yang dilakukan oleh suatu tim terpadu,
karena masing-masing kawasan karst memiliki permasalahan berbeda.
2. Menganut pola manajemen kawasan karst secara profesional. Pola manajemen kawasan karst
harus disusun, dimengerti, difahami, dipartisipasi oleh dan dikoordinasi antar instansi terkait
dengan senantiasa melibatkan penduduk setempat.
3. Menyediakan sumber daya manusia yang tepat dan terdidik untuk melakukan manajemen.
Oleh karena itu, segala jenis kegiatan eksploitatif di kawasan karst khususnya untuk segala jenis
pertambangan wajib didahului oleh suatu proses AMDAL terpadu yang dilaksanakan oleh tim
ilmuwan yang memahami segala permasalahan kawasan karst.
ARAHAN UNTUK EKSPLOITASI KAWASAN KARST
1. Harus sangat berhati-hati memilih lokasi eksploitasi, sehingga dampak negatif terhadap
keanekaragaman hayati, kebudayaan dan nilai arkelogi dapat diminimalisasi.
2. Wajib melakukan penelitian secara profesional, obyektip, independen oleh suatu tim terpadu
terdiri dari para ahli terkait di lokasi penambangan maupun daerah sekitarnya.
3. Harus ada rencana komprehensip untuk memantau dampak negatip selama penambangan
4. Memindahkan seluruh peralatan, bangunan, sisa-sisa penambangan setelah eksploitasi selesai.
5. Melakukan rehabilitasi lingkungan atau relandscaping, replanting dan reshaping lokasi
penambangan untuk regenerasi vegetasi dengan pemantauan secara berkala.
REKOMENDASI EKSPLOITASI KAWASAN KARST
1. Sebaiknya menambang kawasan batu gamping yang belum terkarstifikasi.
2. Jangan membongkar bukit-bukit batu gamping yang terisolasi yang letaknya berjauhan dari
deretan bukit batu gamping lainnya karena memiliki keanekaragaman hayati yang lebih unik.
3. Pilih lokasi kawasan batu gamping yang paling luas, namun jangan sampai merusak seluruh
kawasan dan sisakan sebagian yang cukup besar dari kawasan itu tanpa disentuh.
4. Kalau melakukan penambangan di suatu areal yang luas, sebaiknya eksploitasi dibatasi pada
satu bagian dari kawasan tersebut. Jangan menambang pada banyak bagian dari kawasan
tersebut.
Kawasan karst ada yang memiliki nilai estetika dan nilai wisata alam (keindahan bukit-bukit
karst dan keindahan gua), nilai ilmiah, nilai budaya, dan nilai ekonomi (tanaman endemis,
sumber air, wisata alam dan budaya). Semua nilai ini akan lenyap dalam waktu singkat apabila
kawasan karst itu ditambang. Proses dan gangguan maupun tekanan terhadap kawasan karst akan
semakin cepat dengan hadirnya para pengusaha yang mengeksploitasi kawasan karst dalam skala
besar. Keadaan ini juga didukung dengan adanya slogan yang sering digunakan oleh pemerintah
dalam memberdayakan masyarakat, yaitu dari, oleh dan untuk rakyat, bila tidak diikuti dengan
suatu penjelasan, mengingat bahwa rakyat yang dimaksud adalah rakyat yang heterogen, dan
pada umumnya berpendidikan rendah, belum sadar lingkungan dan hanya berorientasi pada
peningkatan penghasilan semata.
Kawasan karst dengan isinya berupa komponen biotik dan abiotik memberikan potensi sebagai
penyangga kehidupan bagi insan yang berada di bumi ini. Dalam melaksanakan fungsi ini secara
optimal, diperlukan suatu upaya perlindungan, dimana pada akhirnya kawasan karst mampu
memberikan kontribusi yang besar secara ekonomi namun tetap lestari. Salah satu tindakan yang
perlu dilaksanakan adalah tindakan pencagaran berdasarkan konsep upaya perlindungan kawasan
karst dari gangguan dan atau tekanan-tekanan akibat salah kelola dan pemanfaatan secara tidak
berkesinambungan. Agar misi tersebut dapat diterapkan secara tepat dan terarah, maka
diperlukan perangkat hukum, berupa peraturan dan perundang-undangan yang nantinya menjadi
dasar pelaksanaan pengelolaan.
Kaitannya dengan permasalahan di atas, dibutuhkan koordinasi dan kerjasama antar berbagai
pihak terkait, seperti pemerintah, para akademisi, pemerhati lingkungan seperti LSM dan
kelompok-kelompok pecinta alam, masyarakat, serta pengusaha, yang dapat dijadikan pengelola
yang harus mempunyai persepsi dan aspirasi yang sama dalam memandang keberadaan kawasan
karst.
Koordinasi dalam bentuk kerja sama yang terpadu antar berbagai pihak sangat diperlukan,
seperti :
a. Pihak Pemerintah Daerah sebagai pihak yang mempunyai otoritas wilayah, perlu lebih proaktif
dalam mengendalikan eksploitasi kawasan karst.
b. Peran Departemen Kehutanan, khususnya Ditjen PKA (Perlindungan dan Konservasi Alam)
dalam upaya konservasi kawasan karst dan gua, dapat dipertegas tugasnya dalam perlindungan
bentukan alam ini. Antara lain dengan diberi wewenang melakukan identifikasi aneka nilai yang
terkandung dalam suatu kawasan karst, baik di dalam maupun di luar wilayah konservasi alam.
c. LSM / Kelompok Pecinta Alam sebagai pemerhati lingkungan, memiliki fungsi kontrol
terhadap aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan karst. Agar disponsori
untuk mendidik/ menyiapkan SDM yang mengerti akan pentingnya pengkonservasian kawasan
karst.
d. Peran perguruan tinggi (pihak akademisi) sangat penting, mengingat perguruan tinggi
berfungsi sebagai lembaga ilmiah, konsultasi dan pengembangan SDM. Lembaga ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi pengelolaan dan pemanfaatan kawasan karst
secara berkelanjutan.
2. Gua yang dialiri sungai bawah tanah yang telah dimanfaatkan atau dapat dimanfaatkan sebagai
sumber air bersih oleh penduduk setempat atau penduduk di kawasan karst tersebut. Gua
demikian tidak boleh dibuka untuk wisata, karena pengunjung akan mencemari air bersih yang
ada pada gua itu.
3. Gua yang dihuni oleh ratusan sampai ribuan kelelawar dan atau burung walet maupun banyak
biota gua lainnya yang memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologi, penting
pula untuk sains. Gua demikian tidak boleh dikunjungi oleh umum, karena akan mengganggu
keberadaan makhluk bermanfaat itu. Bila dibuka untuk gua wisata, maka lorong-lorong dengan
biota gua tersebut harus ditutup untuk pengunjung gua.
4. Gua dengan sedimen yang memiliki nilai ilmiah tinggi, karena mengandung serbuk bunga atau
spora yang bisa dipakai untuk menganalisa vegetasi dan iklim masa lampau di sekitar gua,
bahkan mungkin mengandung artefak bernilai ilmiah, seperti fosil atau aneka temuan arkeologi.
Gua atau lorong bawah tanah demikian tidak boleh dikunjungi wisatawan penelusur gua.
5. Gua dengan peninggalan sejarah dengan kuburan yang dikeramatkan yang bernilai mistik,
pernah atau masih dipakai sebagai situs pertapaan. Gua demikian hanya boleh dikembangkan
sebagai cagar budaya.
6. Gua yang memiliki nilai strategis dalam keadaan perang, juga ditutup untuk umum.
7. Gua yang memiliki nilai ekonomis dari segi pertambangan (fosfat,dsbnya), gua demikian tidak
boleh dikunjungi dan hanya boleh untuk ditambang.
8. Gua yang memiliki nilai pendidikan untuk konservasi alam dan ekowisata, hanya boleh untuk
obyek penelitian.
Pengelolaan gua sebagai obyek wisata untuk umum, memerlukan perhatian khusus dan seimbang
terhadap keselamatan objek wisata (jangan sampai dicorat-coreti, dirusak, dicemari, diambil
bentukan alam atau flora faunanya) dan keselamatan bagi pelaku wisata itu sendiri. Karenanya
untuk obyek wisata minat khusus kawasan karst (menelusuri gua belantara, observasi flora dan
fauna karst), diperlukan suatu sistem perizinan. Untuk mendukung sistem perizinan ini
diperlukan sumber daya manusia terdidik antara lain pemandu wisata gua dan pengelola wilayah
karst dan gua.
D. KESIMPULAN
1. Kawasan karst merupakan suatu ekosistem yang unik, komplek dan rentan. Pengelolaan dan
pemanfaatannya harus berdasarkan konsep holistik dan komprehensip, disusun oleh pakar interdan multidisiplin, dilaksanakan secara lintas sektoral terpadu dengan melibatkan berbagai
departemen atau instansi terkait.
2. Guna melakukan identifikasi nilai dan pemanfaatan serta pengelolaannya secara profesional,
maka hal ini wajib dilakukan oleh suatu tim terpadu yang terdiri dari para ilmuwan terkait yang
memiliki visi ke depan, tidak berorientasi proyek tetapi berorientasi program jangka panjang.
3. Sebelum suatu gua alam dijadikan obyek wisata, harus diidentifikasi dulu oleh suatu tim
terpadu lintas sektoral multidisiplin, apakah tepat atau tidak rencana tersebut, karena mungkin
saja gua tersebut mengandung nilai-nilai lain yang lebih penting. Hasil penelitian tim tersebut
penting untuk digunakan sebagai acuan tim AMDAL.
4. Sebelum suatu obyek wisata gua dibuka untuk umum, diwajibkan pemandu wisata gua di
didik secara terarah agar dapat mengawasi, memberikan penyuluhan dan menanamkan motivasi
konservasi (pencagaran) alam pada pengunjung gua komersial.
5. Perlu segera dipilih satu gua untuk dijadikan gua komersial percontohan.
6. Pemerintah daerah wajib mendata gua alam dan berusaha mengidentifikasi aneka nilai yang
terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aristiyanto, I. Hari, 1996. Karstologi. Makalah Pada Gladian Nasional Pecinta Alam ke 11,
Yogyakarta.
Irawan, Haris, 2003. Ekowisata Kawasan Karst dan Aneka Permasalahannya. Radar Banjar, 27
Februari 2003.
-------------------------, 2003. Aneka Nilai Sebuah Gua. Radar Banjar, 18 Desember 2003.
R.K.T. Ko, 1999. Dampak Penambangan Terhadap Ekosistem Karst. Makalah Pada Lokakarya
Kawasan Karst (Pengelolaan Sumber Daya Kawasan Karst Berwawasan Lingkungan),
Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral,
Jakarta.
- - - - - - -, 2000. Aneka Nilai Kawasan Karst dan Peran Penduduk Setempat. Makalah Pada
Seminar Nasional Karst, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Universitas 11 Maret,
Surakarta.
- - - - - - -, 2000. Azas Pengelolaan Wisata Gua. Makalah Pada Rakornas VII KKPO Wisata
Alam, Balikpapan.
- - - - - - -, 2002. Identifikasi Aneka Nilai Yang Terkandung Dalam Kawasan Batu Gamping dan
Strategi Pendayagunaan Secara Berkelanjutan Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Makalah Sosialisasi dan Pelatihan Identifikasi Aneka Nilai dan Permasalahan Kawasan Karst,
Ditjend Bangda Depdagri, Jakarta.
(By : Haris Irawan)
PEDOMAN
PENGELOLAAN KAWASAN KARS
BAB I, KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan kars adalah kawasan batuan karbonat (batugamping dan dolomit) yang
memperlihatkan morfologi kars.
2. Kars adalah bentukan bentang alam pada batuan karbonat yang bentuknya sangat khas berupa
bukit, lembah, dolina dan gua.
3. Proses karstifikasi adalah proses alam yang menyebabkan terbentuknya kars.
4. Dolina adalah lekuk tertutup di permukaan kawasan kars yang terjadi akibat proses pelarutan
dan atau peruntuhan.
5. Gua aktif adalah gua yang mempunyai aliran sungai bawah tanah.
6. Gua tidak aktif atau gua fosil adalah gua kering yang kadang-kadang dibanjiri oleh air asal
permukaan.
7. Speleotem adalah bentukan alam hasil pengendapan ulang larutan jenuh kalsium karbonat
(CaCO3) yang menghiasi bagian dalam gua, yang berupa stalaktit, stalakmit, pilar dan flowstone.
8. Proses geologi di kawasan kars adalah rangkaian peristiwa alam yang disebabkan oleh sifat
bumi yang dinamis, berupa pelarutan, pelapukan, erosi, pengendapan ulang, pembatuan,
pengangkatan, pelipatan dan pensesaran.
9. Flora dan fauna kars adalah vegetasi dan binatang yang hidup dan berkembang biak secara
alami di lingkungan kawasan kars, beberapa jenis fauna gua seperti walet dan kelelawar
mempunyai nilai ekosistem yang tinggi.
10. Akuifer adalah lapisan batuan yang dapat menyimpan dan sekaligus meluluskan air dalam
jumlah yang cukup.
11. Pengelolaan kawasan kars adalah kegiatan yang meliputi inventarisasi, penyelidikan,
pemanfaatan, dan perlindungan sumberdaya batuan karbonat bermorfologi kars.
12. Inventarisasi adalah kegiatan untuk menentukan kawasan kars.
13. Kegiatan inventarisasi adalah menarik batas-batas kawasan batugamping dan atau dolomit
yang mempunyai bentang alam kars, yang mungkin terdapat pada singkapan batuan karbonat,
yang diujudkan dalam bentuk peta berskala 1 : 250.000.
14. Penyelidikan adalah kegiatan untuk menentukan klasifikasi kawasan kars.
15. Kegiatan penyelidikan adalah pengklasifikasian kawasan kars yang diujudkan dalam peta
klasifikasi kawasan kars berskala 1 : 100.000.
16. Pemanfaatan dan perlindungan kawasan kars adalah semua usaha atau kegiatan di kawasan
kars dengan mempertimbangkan daya dukung fungsi lingkungan, yang merupakan hubungan
timbal balik yang dinamis antara manusia dengan sumberdaya alam di sekitarnya.
17. Objek wisata adalah benda atau tempat yang memiliki daya tarik karena keindahan,
keunikan, dan kelangkaannya.
18. Benda bersejarah adalah benda yang mempunyai arti arkeologi dan antropologi penting
berupa fosil, benda-benda hasil budaya, piranti (artefak), lukisan dan prasasti yang ada di
kawasan kars.
19. Data primer adalah data hasil penyelidikan, baik melalui kegiatan lapangan maupun inderaan
jauh.
20. Data Sekunder adalah informasi yang dikumpulkan dari berbagai laporan atau publikasi hasil
bertujuan menciri muka air bawah tanah rata-rata di kawasan kars dan hal-hal lain yang berkaitan
serta mendukung fungsi umum hidrologi;
b. Mengkaji secara rinci jumlah total air yang masuk dan ke luar di kawasan kars, sehingga dapat
diciri jumlah air yang tertampung di dalam sistem pori-pori batuan, celah, retakan dan gua;
c. Melakukan pemetaan geologi rinci kawasan eksokars yang meliputi jenis, sifat fisik,
penyebaran, ketebalan lapisan, hubungan antar lapisan serta tabulasi arah, kedudukan dan
besaran unsur-unsur struktur geologi;
d. Melakukan kajian laboratorium yang memadai untuk mendukung data dan informasi geologi
yang akurat;
e. Melakukan pemetaan gua dan jaringannya, termasuk inventarisasi unsur-unsur endokars yang
ada;
f. Melakukan inventarisasi :
1. Lokasi industri yang memanfaatkan batugamping, termasuk usaha penggalian oleh rakyat dan
skalanya;
2. Demografi (jumlah penduduk dan penyebarannya), sosio ekonomi dan sosio budaya penduduk
kawasan kars;
3. Jenis, penyebaran dan kerapatan vegetasi di kawasan kars;
4. Pemanfaatan lahan (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, pariwisata);
5. Lokasi dan jenis-jenis peninggalan sejarah atau situs arkeologi yang terdapat di permukaan
kawasan kars dan di dalam gua;
6. Jenis-jenis flora-fauna kars, baik yang bersifat endemis maupun yang dapat ditemukan di
semua kawasan kars, terutama yang bersifat ekonomi;
7. Jenis kawasan lindung yang sudah ada di kawasan kars;
8. Nilai-nilai strategis kawasan kars yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan,
ekonomi dan kemanusiaan.
(2). Pembuatan peta klasifikasi kawasan kars sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b,
yaitu:
a. Menentukan batas masing-masing kelas kawasan, yang penggambarannya diwujudkan dalam
bentuk warna-warna baku dan dibuat dengan menggunakan kaidah-kaidah penyusunan
peta yang berlaku secara umum;
b. Peta disusun di atas peta dasar topografi yang baik dan dilatarbelakangi oleh peta geologi yang
disederhanakan dari daerah di luar kawasan kars;
c. Peta dilengkapi dengan keterangan pinggir, sebagai penjelasan atau informasi ringkas
mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam peta;
d. Menyusun peta klasifikasi kawasan kars berskala 1 : 100.000, dengan menggunakan kaidahkaidah yang berlaku dan dilengkapi dengan laporan.
(3). Penyusunan laporan teknis hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c,
berisi :
a. Uraian secara rinci sistem hidrologi kars, termasuk daerah tangkapan air di luar kawasan kars
dan daerah penyangga yang berfungsi menjadi pengimbuh air;
b. Uraian secara rinci unsur-unsur eksokars dan endokars, terutama bentuk fisik hasil pelarutan
dan proses geologi lainnya yang khas, yang mencirikan kawasan kars tersebut;
c. Uraian secara rinci tataan stratigrafi kawasan kars, termasuk jenis litologi, nilai kesarangan
(porositas) dan kemampuan meluluskan air (permeabilitas) batuan, kedudukan lapisan, ketebalan
serta hubungan antara satuan batugamping dengan satuan lain yang menindih dan mengalasinya;
d. Uraian secara rinci struktur geologi, termasuk jenis unsur-unsur struktur yang ada, besaran,
kerapatan serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan sifat dinamika bumi;
e. Peta-peta (hidrologi, geologi, jaringan gua) dan potret lapangan.
Pasal 10
(1). Laporan teknis hasil kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
disampaikan kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
(2). Bupati/Walikota menetapkan klasifikasj kawasan kars melalui Peraturan Daerah.
(3). Penetapan klasifikasi kawasan kars yang penyebarannya melintasi batas kabupaten/kota
ditetapkan oleh Gubernur.
(4). Penetapan klasifikasi kawasan kars yang penyebarannya melintasi batas propinsi dilakukan
melalui koordinasi dengan Instansi terkait.
(5). Bupati/Walikota dan atau Gubernur wajib memberikan salinan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)kepada Menteri.
Pasal 11
Klasifikasi kawasan kars sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibagi menjadi 3 kelas, yaitu
Kawasan Kars Kelas I, Kawasan Kars Kelas II, dan Kawasan Kars Kelas III.
Pasal 12
(1). Kawasan Kars Kelas I merupakan kawasan yang memiliki salah satu, atau lebih kriteria
berikut ini :
a. berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer,
sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah yang keberadaannya mencukupi fungsi
umum hidrologi:
b. mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya membentuk jaringan
baik mendatar maupun tegak yang sistemnya mencukupi fungsi hidrologi dan ilmu pengetahuan;
c. gua-guanya mempunyai speleotem aktif dan atau peninggalanpeninggalan sejarah sehingga
berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata dan budaya;
d. mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan fungsi sosial, ekonomi,
budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan.
(2). Kawasan Kars Kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua kriteria
berikut ini :
a. berfungsi sebagai pengimbuh air bawah tanah, berupa daerah tangkapan air hujan yang
mempengaruhi naik-turunnya muka air bawah tanah di kawasan kars, sehingga masih
mendukung fungsi umum hidrologi;
b. mempunyai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan sungai dan gua yang sudah
kering, mempunyai speleotem yang sudah tidak aktif atau rusak, serta sebagai tempat tinggal
tetap fauna yang semuanya memberi nilai dan manfaat ekonomi.
(3). Kawasan Kars Kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 13
Kawasan Kars Kelas I merupakan kawasan lindung sumberdaya alam, yang penetapannya
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI, PEMANFAATAN DAN PERLINDUNGAN KAWASAN KARS
Pasal 14
(1). Di dalam Kawasan Kars Kelas I tidak boleh ada kegiatan pertambangan.
(2). Di dalam Kawasanl Kars Kelas I dapat dilakukan kegiatan lain, asal tidak berpotensi
mengganggu proses karstifikasi, merusak bentukbentuk kars di bawah dan di atas permukaan,
serta merusak fungsi kawasan kars.
(3). Di dalam Kawasan Kars Kelas II dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan
lain, yaitu seteleh kegiatan tersebut dilengkapi dengan studi lingkungan (Amdal atau UKL dan
UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4). Di dalam Kawasan Kars Kelas III dapat dilakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan izin pemanfaatan
kawasan kars.
Pasal 16
Kepada pelaku kegiatan usaha di dalam dan sekitar kawasan kars yang mengganggu proses
karstifikasi yang sedang berlangsung serta merusak bentuk-bentuk morfologi, gua dengan
speleotem di dalamnya dan fungsi kawasan kars diberikan sanksi sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
BAB VII, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 17
Direktur Jenderal merakukan pembinaan pengelolaan kawasan kars yang meliputi pemberian
pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan sosialisasi.
Pasal 18
Pengawasan pengelolaan kawasan kars meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan izin yang
telah diberikan, dilakukan oleh :
a. Gubernur, untuk kawasan kars yang sebarannya meliputi dua atau lebih wilayah kabupaten
atau kota;
b. Bupati atau Walikota, untuk kawasan kars yang sebarannya terdapat di dalam satu wilayah
kabupaten atau kota yang bersangkutan.
Pasal 19
Salinan hasil kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan
Pasal 18 wajib disampaikan kepada Menteri setiap akhir tahun.
BAB VIII, BIAYA
Pasal 20
Semua biaya yang diperlukan untuk kegiatan inventarisasi, penyelidikan, pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, 7, 17 dan 18 dibebankan kepada anggaran
Instansi/Lembaga yang terkait sesuai dengan kewenangan masingmasing.
BAB IX, KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1). Semua kegiatan usaha yang berada di kawasan kars dan sudah mendapat izin sebelum daerah
tersebut ditetapkan sebagai kawasan kars tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan.
(2). Semua kegiatan usaha yang berada di kawasan kars kelas I dan sudah mendapat izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perizinannya wajib ditinjau kembali sesuai dengan
Keputusan Menteri ini.
(3). Permohonan izin kegiatan usaha yang berada di kawasan kars yang telah diterima sebelum
ditetapkan Keputusan Menteri ini, diproses sesuai dengan Keputusan Menteri ini.
BAB X, KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
(1). Dengan berlakunya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi nomor 1518 K/20/MPE/1999 tanggal 29 September 1999 dinyatakan tidak berlaku.
(2). Ketentuan pelaksanaan Keputusan Menteri ini ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Pasal 23
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2000
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,
Purnomo Yusgiantoro
Diposkan oleh Hariez Om'Cing di 06.10 2 komentar:
berbisa, bahaya banjir, terdapat sumuran (vertikal) yang dalam, bahaya gas racun, hunian
kelelawar dan walet, dsbnya. Selama ini hal tersebut kurang diperhatikan oleh instansi terkait,
lihat saja beberapa gua yang telah ditetapkan menjadi gua wisata yang ada di daerah kita
semuanya tanpa ada mengidentifikasikan aneka nilai yang terkandung di dalam gua tersebut dan
tanpa ada pemikiran yang berdasarkan speleosentrisme dan antropesentrisme.
Gua-gua yang ada di kawasan karts Batu Hapu (Kab. Tapin) yang sejak lama telah dibuka untuk
umum dan pada tahun 2005 telah dibenahi dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 192.484.000,namun sekarang ini sudah mulai mengalami penurunan kualitas akibat ulah pengunjung yang
berlebihan, anak-anak tangga yang dibuat kurang memenuhi standart dan kurang terpelihara
akibatnya banyak ditumbuhi lumut sehingga bila tidak hati-hati akan tergelincir. Pada waktuwaktu tertentu (malam tahun baru) di halaman mulut gua sering dijadikan sebagai tempat ajang
hiburan (musik) tentunya hal ini sangat mengganggu ketenangan satwa penghuni gua, selain itu
juga akan berdampak pada semakin kotornya lingkungan gua tersebut akibat sampah maupun
grafiti, dan sudah pasti lorong-lorong gua yang remang-remang dan gelap dijadikan ajang
perbuatan yang tidak semestinya dilakukan ditempat itu. Hal ini dikarenakan pihak instansi
terkait tidak pernah mengawasi keadaan kawasan gua tersebut.
Gua Marmer (Kab. Tanah Laut), salah satu objek wisata gua yang juga sudah lama menjadi objek
wisata yang sekarang menunggu kehancurannya saja disebabkan semakin maraknya aktivitas
pertambangan batu marmer dan biji besi di kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan pihak instansi
terkait kurang memperhatikan pemanfaatan gua tersebut.
Gua Berangin (Kab. HSS) salah satu gua yang sejak lama ditetapkan sebagai objek wisata gua
dan dibuka untuk umum oleh pihak instansi setempat, padahal bila ditinjau dari segi
keindahannya gua tersebut kurang memiliki keindahan alam bawah tanah bahkan cukup
mengadung resiko yang tinggi karena tidak menutup kemungkinan lorong di gua tersebut akan
banjir yang disebabkan aliran sungai di depan mulut gua (Allogenic), ditambah lagi dengan
adanya aktivitas masyarakat setempat yang menggali (mengeruk) batu sungai di depan mulut gua
yang menyebabkan debit air akan bertambah sehingga tidak menutup kemungkinan dindingdinding gua akan terkikis dan akhirnya hancur.
Contoh lainnya adalah Gua Kering dan Gua Air dua diantara gua yang ada di kawasan karst
Telungin yang dikenal dengan Gua Beramban (Kab. Tapin). Gua-gua yang ada di sana juga
sudah lama dijadikan sebagai gua wisata, padahal bila ditinjau dari segi antroposentrisme dan
speleosentrisme gua-gua tersebut kurang cocok dijadikan gua wisata untuk umum karena jalan
untuk menuju ke lokasi gua-gua tersebut sangat terjal dan licin serta populasi kelelawar yang ada
di lorong-lorong gua cukup banyak, apalagi Gua Air sangat tidak pantas dibuka untuk umum
karena lorong-lorong gua sering banjir bila musim penghujan. Hal ini sangat berbahaya dan
mengandung resiko yang sangat tinggi (apakah instansi terkait siap bertanggung jawab bila
terjadi kecelakaan di dalam gua ini ??). Seharusnya pihak instansi terkait menutup gua tersebut
untuk kunjungan umum atau dipasang papan pengumuman di depan mulut gua yang menjelaskan
keadaan lorong gua bila musim penghujan.
Gua Batu yang ada dikawasan karts Gunung Batu (Kab. Balangan) sudah cukup lama
dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Namun sangat disayangkan pemanfaatan gua ini kurang
didukung dengan cara pengembangan dan pengelolaannya, padahal pemda setempat telah
menghabiskan dana kurang lebih sebesar Rp. 300 juta untuk pengembangan dan pengelolaan gua
beserta kawasan tersebut. Namun berdasarkan hasil di lapangan objek wisata Gua Batu beserta
kawasannya, pengembangan dan pengelolaannya sangatlah memprihatinkan sekali.
Pengembangan dan pengelolaan Gua Batu tersebut tampaknya kurang memperhatikan
standarisasi dalam manajemen gua wisata sehingga tidak memperhatikan kelestarian lingkungan
gua dan keselamatan pengunjung gua. Hal ini dapat dilihat seperti bangunan-bangunan untuk wc
umum, pendopo, kursi untuk istirahat, tempat pos jaga dan sebagainya terlihat sangat tidak
terawat. Rumput-rumput liar dan sampah dibiarkan berserakan. Coretan-coretan tangan para
vandalis yang tidak ada artinya juga sangat banyak ditemui di setiap lorong-lorong gua dan
ornamen gua, bahkan ada sebagian ornamen gua yang sengaja dipatahkan. Sampah-sampah yang
sulit terurai cukup banyak ditemui di lantai gua dan hal ini akan mengganggu jutaan micro
organisme yang ada pada sedimen gua tersebut.
Uraian di atas hanyalah sebagian dari gua-gua yang telah ditetapkan menjadi gua wisata untuk
umum, sebenarnya masih banyak lagi gua-gua di daerah kita yang telah ditetapkan menjadi gua
wisata, dan berdasarkan hasil eksplorasi di lapangan membuktikan bahwa selama ini pihak
instansi terkait kurang memperhatikan tentang pemanfaatan, pemeliharaan dan pengelolaan gua
alam untuk dijadikan objek wisata gua sehingga kelestarian lingkungan gua dan keselamatan
pengunjung juga kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat seperti tidak ada melakukan
identifikasi nilai-nilai yang terkadung dalam gua alam tersebut sebelum dijadikan gua wisata,
tidak disediakannya pemandu gua yang profesional (Cave Guide), adanya aktivitas
pertambangan batu bara, biji besi, batu gunung, maupun batu marmer yang sangat dekat dengan
lokasi gua. Jalan untuk menuju lokasi gua sangat terjal dan curam yang tentunya berbahaya bagi
pengunjung, meskipun telah dibuatkan anak-anak tangga namun anak-anak tangga tersebut
masih kurang standart dan kurang terpelihara. Selain itu keadaan gua penuh dengan coretancoretan di dinding gua yang sangat merusak keindahan ornamen gua (speleotem), bahkan ada
ornamen yang sengaja dipatahkan oleh para vandalis. Lorong-lorong gua yang penuh dengan
kelelawar atau burung walet tidak ditutup dengan pagar khusus sehingga hewan terbang tersebut
terganggu oleh pengunjung, demikian juga dengan gua yang memiliki lorong berair seharusnya
tidak dibuka untuk umum karena sangat berbahaya bila dikunjungi. Tidak ada menentukan
perhitungan daya dukung dinamis berapa jumlah pengunjung optimal yang dapat memasuki
interior gua secara bersama untuk menikmatinya dalam kunjungan waktu tertentu, tidak ada
menentukan tapak lintas sirkulasi pengunjung, tidak ada menentukan periodisasi kunjungan,
maupun menentukan zonasi atau pemintakatan.
Masih banyak aspek-aspek yang wajib diperhatikan dalam pengelolaan gua alam untuk dijadikan
objek wisata gua, untuk itulah alangkah bijaksananya bila objek wisata gua yang ada di daerah
kita ditinjau ulang dengan melibatkan para ahli terkait.
* Hariez Om'Cing (Pemerhati Kawasan Karst dan Gua)
Diposkan oleh Hariez Om'Cing di 20.40 1 komentar:
Kalau kita tinjau bagaimana gua itu terbentuk, gua adalah lubang alamiah di tanah atau lorong di
bawah tanah yang dapat dimasuki orang (Definisi dari International Union Of Speleologi di
Wina Austria).
Proses terjadinya gua membutuhkan waktu ribuan tahun bahkan jutaan tahun lamanya, dimulai
ketika air dipermukaan menetes ke bawah melalui celah-celah kecil di batu. Air yang
mengandung gas yang disebut karbon dioksida yang terserap dari udara, dan ini membentuk
asam lunak menggerogoti batu gamping. Pada saat air mengalir terus ke bawah tanah, air itupun
terus menggerogoti sebagian batuan sehingga terbentuklah lubang/gua.
Selama ribuan bahkan jutaan tahun, akibat dari air bisa menciptakan seluruh sistem gua yang
berhubungan satu sama lain dengan ajringan terowongan dan lorong. Jauh di bawah tanah
terdapat bagian yang disebut sebagai air bawah tanah. Pada bagian ini tidak ada lagi batuan
gamping melainkan jenis batuan lain yang disebut batuan telap air dan batuan ini tidak bisa
menyerap lebih banyak air lagi. Jadi air dari permukaan mulai mengalir disepanjang air bawah
tanah yang membentuk sungai kecil di bawah tanah. Permukaan air bawah tanah biasanya
berubah dalam periode ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun. Setiap kali perubahan itu terjadi,
sungai itu harus membuka jalan baru dan udara mengisi lubang dan bilik terdahulu, dengan
demikian maka terbentuklah sistem gua.
Ternyata keindahan panorama bukan hanya milik dan didominasi di permukaan bumi saja. Perut
bumipun menyimpan misteri dan pesona keindahan yang fantastis. Berbeda dengan keindahan
panorama di permukaan bumi yang senantiasa memperlihatkan dengan nyata objek yang menjadi
sasaran keindahan. Jauh di dalam perut bumi kita selalu menghadapi ketidakpastian mengenai
apa yang bakal kita jumpai. Pemandangan bawah tanah yang ganjil ini sering kali luar biasa
indahnya dan mengingatkan kita pada dua seniman alam yaitu AIR dan WAKTU.
Formasi batuan yang menakjubkan tampak dalam tiap belokan. Seperti air terjun bawah tanah,
danau bawah tanah yang tenang, dsbnya. Tidak heran kalau beberapa sistem gua di dunia
sekarang menjadi daya tarik wisata yang populer.
Terbentunya formasi batuan ini diakibatkan oleh air pada saat merembes melalui celah-celah di
batu gamping. Air yang melarutkan mineral yang disebut Kalsit di batuan. Setelah menggerogoti
batu gamping dan melubangi gua, air tersebut terus menetes ke dalam dinding gua tapi sebagian
lagi menguap dan lapisan tipis Kalsit tadi tertinggal di batuan dan selama bertahun-tahun lapisan
Kalsit tersebut menumpuk dibeberapa tempat sehingga Kalsit ini membentuk lapisan halus di
dinding gua. Sedangkan Kalsit yang ada di tempat lain menjadi formasi batu yang berbentuk
unik yang disebut Speleotem (ornamen gua). Speleotem yang terkenal adalah Stalaktit dan
Stalagmit.
Gua yang dijumpai pada umumnya merupakan gua batu gamping (90% dari semua gua di dunia),
tapi tidak semua gua berasal dari batuan gamping yang dilubangi oleh air. Beberapa gua yang
bukan berasal dari batuan gamping, diantaranya seperti :
a. Gua Lava. Gua ini terbentuk dalam aliran lava basalt jenis pahoehoe atau terbentuk oleh lava
merah membara yang mengalir dari gunung api. Saat lava mengalir menuruni lereng gunung dan
permukaan luarnya mendingin dan mengeras sehingga menjadi batu. Namun di bawahnya lava
tersebut tetap mencari dan terus mengalir dan akhirnya habis dan meninggalkan tabung
kosong. Gua seperti ini sering kali memiliki sisi yang sangat licin dan bentuknya pun beraturan.
Gua ini biasanya dekat dengan permukaan dan mungkin memiliki banyak lubang di atap
tipisnya.
b. Gua Es. Gua ini biasanya terbentuk di dalam gletser. Saat gletser mendekati daerah yang lebih
hangat, es mulai mencair. Sungai air yang terbentuk di bawah es dan ini bergabung dengan udara
hangat dan melubangi dinding-dinding es.
c. Gua Littoral. Biasanya gua jenis ini terdapat di tepi danau atau tepi pantai laut yang dangkal.
Gua ini terjadi akibat dari kikisan air atau hantaman ombak dan angin yang mengkikis daerah
batuan yang rapuh.
d. Gua Bawah Air. Terbentuknya gua ini bukan oleh lautan (air), akan tetapi gua ini merupakan
jenis gua batu gamping (karst) yang telah tenggelam di bawah samudera.
e. Gua Garam. Terbentuk pada batuan jenis batuan halit (NaCL dan KCL)
f. Gua Gipsum. Terbentuk dari jenis batuan gipsum
g. Gua Rekahan. Terbentuk dari jenis batuan granit
h. Gua Pasir. Terbentuk di lapisan batuan pasir.
*KEPUSTAKAAN *
- Irawan, Haris, 1999. Gua Cagar Alam Yang Perlu Dilindungi. Banjarmasin Post, 7 Februari
1999.
- R.K.T. Ko, 1998. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Temu Wicara dan Kenal Medan ke-X
Mahasiswa Pecinta Alam Se-Indonesia di Yogyakarta, 7 15 Nopember 1998.
Diposkan oleh Hariez Om'Cing di 20.26 1 komentar:
Secara resmi Speleologi lahir pada abad 19 berkat ketekunan EDOUARD ALFRED MARTEL.
Sewaktu kecil ia sudah mengunjungi Gua Hahn di Belgia bersama ayahnya yang seorang ahli
Paleontologi, kemudian juga mengunjungi Gua Pyrenee di Swiss dan Italia. Pada tahun 1818 ia
mulai mengenalkan penelusuran gua dengan peralatan. Ia juga membuat pakaian berkantung
banyak yang sekarang disebut coverall (wearpack). Sistem penyelamatan yang ia gunakan pada
saat itu dengan mengikatkan dirinya kalau naik atau menuruni dengan tali.
Tahun 1889, Martel menginjakan kakinya pada kedalaman 233 meter di sumuran Ranabel dekat
Marsille Prancis, dan selama 45 menit tergantung di kedalaman 90 meter. Ia mengukur
ketinggian atap dengan balon kertas yang digantungi spon yang dibasahi alkohol. Begitu spon
dinyalakan balon akan naik ke atas mencapai atap gua.
Hingga sekarang ia diakui sebagai Bapak Speleologi. Setelah keberhasilan Martel, maka
bermunculanlah para penelusur gua dan ahli speleologi terkemuka yang mengikuti jejak Martel,
seperti Pournier, Jannel, Biret, dllnya yang kesemuanya berasal dari Prancis dan hingga sekarang
Prancis masih dianggap sebagai kiblat dari penelusur gua.
Baru setelah Perang Dunia ke I, Robert De Jolly dan Nobert Casteret mampu mengimbangi
Martel. De Jolly mampu menciptakan peralatan gua yang terbuat dari aluminium alloy. Nobert
Casteret orang pertama yang melakukan Cave Diving pada tahun 1922 dengan menyelami Gua
Montespan yang di dalam gua tersebut ditemukan patung-patung dan lukisan Bison serta
binatang lain dari tanah liat yang menurut para ahli itu sebagai acara ritual sebelum berburu
ditandai adanya bekas-bekas tombak dan panah.
Di Indonesia Speleologi relatif tergolong suatu ilmu yang baru dan masih sedikit ahli-ahli
Speleologi maupun pendidikan formal tentang Speleologi. Speleologi yang baru berkembang di
Indonesia berkisar pada tahun 1980, dengan berdirinya sebuah club yang bernama SPECAVINA
yang didirikan oleh NORMAN EDWIN (alm) dan RKT. Ko. Namun karena adanya perbedaan
prinsip, akhirnya mereka terpecah dan mendirikan perkumpulan masing-maisng, yaitu :
Norman Edwin (alm) mendirikan club yang bernama GARBA BUMI, sedangkan RKT.Ko
mendirikan Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI) pada tahun 1984 dan menjadi
ketuanya.
Beberapa tahun terakhir ini perkembangan speleologi di Indonesia sudah menampakan hasil
yang menggembirakan. Hal ini terbukti sudah mendapat pengakuan dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa Speleologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang turut
berperan dalam lingkungan hidup maupun konservasi, dan mulai banyaknya bermunculan
ilmuwan maupun pemerhati, serta lembaga/perhimpunan/kelompok penggiat alam bebas yang
menjadikan gua beserta lingkungannya sebagai objek kegiatan dan penelitian mereka untuk
menggali misteri yang tersembunyi pada gua tersebut.
*KEPUSTAKAAN *
- Hari Aristiyanto, M, 1996. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Gladian Nasional Pecinta
Alam ke-XI di Yogyakarta.
- R.K.T. Ko, 1998. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Temu Wicara dan Kenal Medan ke-X
Mahasiswa Pecinta Alam Se-Indonesia di Yogyakarta, 7 15 Nopember 1998.
Diposkan oleh Hariez Om'Cing di 19.55 1 komentar:
"VANDALISME GUA"
Membahas vandalisme gua ternyata tidak semudah yang dipikirkan, karena selain harus
dipahami dulu apa yang dimaksud dengan istilah vandalisme, juga harus diusahakan memberi
batasan-batasan siapa yang tergolong vandalis dan apa yang rusak. Vandalisme harus secara
tegas dipisahkan dari pengertian perisakan gua yang lebih luas artinya.
Vandalisme gua adalah perusakan gua yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan manusia secara
sengaja. Apakah kesengajaan ini berlandaskan tahu tidaknya para pelaku, perihal estetika,
ekologi, biologi, geohindrologi, arkeologi, paleontologi, konservasi, bukan menjadi konsiderans
dalam pembahasan ini. Kalau hal itu ikut dipertimbangkan, maka pembahasan menjadi rumit,
karena nanti akan ada kategori vandalisme sejati/mutlak, vandalisme relatif, vandalisme
resmi, vandalisme terselubung, dsbnya. Yang dibahas adalah setiap tindakan serta akibatnya
dari usaha perusakan gua dan lingkungannya secara sengaja itu, disadari atau tidak efek
negatifnya terhadap estetika, ekosistem, fisik dan biota gua, hal mana menyebabkan kemunduran
secara makro dan mikro dari nilai gua sebagai sumber daya alam yang langka.
Pelaku vandalisme gua dengan demikian tidak terbatas pada penulusur gua musiman (penggiat
alam bebas), tetapi termasuk pula penggali fosfat, pengunduh sarang burung walet, pemburu
kelelawar, kontraktor pembangunan fisik, dan pengelola gua, bahkan juga ilmuwan yang kurang
berhati-hati dalam usaha sampling dan kegiatan lain di dalam gua.
Di luar negeri secara tajam telah disorot bobot/derajat perusakan gua oleh para penelusur gua
musiman dan para kontraktor obyek wisata gua dan pengelolanya. Dengan kesimpulan bahwa
secara kualitatif kategori kedua ini menyebabkan kehancuran gua secara menyolok. Namun
secara kuantitatif golongan pertama yang potensial bisa menimbulkan kerusakan gua secara
merata. Apabila kontraktor dan pengelola gua sering mengakibatkan kerusakan intensif pada
suatu atau beberapa gua yang secara salah ditangani oleh mereka, maka penelusur gua kategori
penggiat alam bebas dapat menimbulkan perusakan pada banyak gua sekaligus.
Para kontraktor juga tidak memahami dan tidak qualified untuk mengerjakan analisis dampak
lingkungan, kaidah estetika dan civil engineering di bawah tanah, sementara pengelola tidak
memahami apa yang dinamakan daya dukung gua, pencapaian, pemintakan, nilai ilmiah dan
estetika gua.
Bila kita hendak membicarakan cara-cara penanggulangannya, harus kita sadari bahwa setiap
tindakan pencegahan maupun korektif harus berdasarkan undang-undang dan peraturanperaturan pemerintah. Kiranya yang paling tepat adalah menerapkan undang-undang lingkungan
hidup dan petunjuk pelaksanaannya dengan mengakui gua beserta seluruh isinya (mineral, biota,
air) sebagai sumber daya alam langka yang seluruhnya perlu dilindungi.
Perusakan atau efek negatif yang disebabkan oleh ulah manusia, seyogyanya dikenakan
hukuman atau denda. Di Amerika Serikat setiap usaha merusak formasi gua atau mengusik biota
gua, diancam denda sampai US $ 500 perorang, menurut undang-undang beberapa negara bagian
yang memiliki gua-gua sebagai sumber daya alam.
Menangani gua untuk dijadikan objek wisata alam sudah diakui sebagai pekerjaan yangrumit
sekali dan perlu penanganan secara terpadu, multidipliner dan hati-hati. Untuk memeriksa
apakah setiap tindakan itu tepat diadakan National Cave Management Symposium secara teratur
setahun sekali di Amerika Serikat yang dihadiri oleh ahli-ahli speleologi, geologi, hidrologi,
karstologi, arkeologi, paleontologi, turisme, kehutanan, pengelola gua, pengelola taman nasional,
pendidikan pemandu wisata, ekonomi, hukum dan para pemilik (swasta) gua-gua komersil.
Setiap rencana melakukan intervensi fisik interior maupun eksterior gua akan didahului
konsultasi luas secara horisontal maupun vertikal (bottom-up) oleh dan antara para pengelola
dengan para ilmuwan agar jangan sampai tindakan yang diambil justru akan merusak gua.
Setelitinya tindakan yang dilakukan pihak pengelola, masih saja bisa timbul efek-efek negatif
yang tidak diperkirakan sebelumnya, seperti kasus pengeringan Gua Waitomo di Selandia Baru
dan Gua Carlsbad. Yang pertama karena dibuatkan jendela karst untuk memperbaiki sirkulasi
udara, yang kedua oleh pemasangan lift ke interior gua dan pengaspalan tempat parkir tepat di
atas gua.
Di Indonesia nyata-nyata para kontraktor dan pengelola tidak memahami seluk belum
lingkungan bawah tanah. Namun berani sekali megutak-atik fisik gua, hanya berlandaskan
motivasi keuntungan ekonomis jangka pendek semata-mata. Mereka tidak pernah berkonsultasi
denga para ahli speleplogi, ekologi, biologi, arkeologi maupun ahli lainnya. Hanya sesekaili
berkonsultasi dengan geologiwan yang kurang memahami speleologi. Apalagi ekosistem mikro
gua dan nilai sedimentologinya. Pemikiran, apalagi tidak kurang rasional yang berakibat
rusaknya gua ini bagaimanapun juga harus dikategorikan sebagai vandalisme gua.
Kiranya yang paling tepat adalah kesadaran bahwa setiap tindakan apapun jenisnya terhadap gua
dan lingkungannya merupakan tindakan yang tidak atau sulit diperbaiki efeknya. Hal ini
terutama berlaku bagi gua-gua karstik. Untuk itulah sebelum melakukan suatu tindakan fisik,
wajiblah didahului konsultasi intensif dan analisis dampak lingkungan secara terpadu dan
multidisipliner.
Sumber : R.K.T. Ko (Speleologiwan Indonesia)
Diposkan oleh Hariez Om'Cing di 18.34 Tidak ada komentar:
memerlukan teknologi tepat guna untuk membersihkan agar dapat dimanfaatkan sebagai air
minum.
2. Biodiversity.
Kawasan karst memiliki keanekaragaman hayati yang sangat spesifik dan terbatas jumlahnya.
Beberapa spesies flora dan fauna kawasan karst trgolong endemik dan bernilai ekonomi tinggi,
serta memegang peran penting untuk menjaga keseimbangan ekologi. Bila terjadi gangguan
terhadap habitatnya, akan berdampak negatif terhadap eksistensinya. Flora dan fauna endemis
tersebut juga memiliki nilai ilmiah sebagai plasma nutfah dan nilai ekonomi. Beberapa tanaman
yang tumbuh di kawasan karst potensial ada yang memiliki khasiat obat. Contoh : kawasan karst
Gunung Batu di Kabupaten Balangan (KalSel) yang banyak terdapat tumbuhan Tabat Barito dan
berbagai spesies anggrek.
Keanekaragaman hayati kawasan karst perlu diidentifikasi, diinventarisasi dan ditentukan
prioritas pemanfaatannya dari segi ekonomi, yaitu sebagai komoditi dagang, atau sebagai objek
penelitian dan pelestarian.
3. Arkeologi dan Paleontologi.
Pada beberapa kawasan karst ditemukan peninggalan-peninggalan dari masa prasejarah, terutama
di dalam gua-guanya berupa fosil-fosil atau gambar-gambar simbolik pada dinding gua dan alatalat buatan manusia purba. Temuan-temuan ini dapat dijadikan sarana pendidikan arkeologi dan
paleontologi untuk mempelajari kehidupan binatang dan kebudayaan manusia purba pada jaman
prasejarah. Contoh : Kawasan karst Sangkulirang (KalTim), Kawasan Karst Maros, kawasan
karst Batu Buli Kab. Tabalong (KalSel). Nilai kawasan karst di bidang arkeologi dan
paleontologi wajib didata. Pemanfaatannya adalah di bidang ilmiah, pariwisata, dan pendidikan.
4. Budaya.
Beberapa kawasan karst, terutama sumber-sumber air dan gua-guanya memiliki nilai budaya,
karena memiliki legenda turun-temurun dan upacara tradisonal. Ada pula yang memiliki nilai
sejarah. Beberapa gua juga dijadikan objek ziarah, dan bertapa. Nilai budaya kawasan karst dapat
dimanfaatkan sebagai objek wisata ziarah atau wisata budaya.
5. Pariwisata.
Beberapa kawasan karst memiliki potensi sebagai objek wisata alam, yang juga memiliki nilai
edukatif. Yang paling sering dikembangkan sebagai objek wisata, adalah gua-gua yang indah
bernilai estetika tinggi. Bila masih utuh keanekaragaman hayatinya, dapat dikembangkan sebagai
objek ekoturisme. Lingkungan alam asli dibiarkan utuh tanpa mengembangkan sarana fisik
secara berlebihan. Dalam pengembangan ekoturisme ini, masyarakat setempat sebagai
komponen ekosistem karst wajib diberi pengertian, dididik dan dilibatkan dalam aneka kegiatan
berkelanjutan sebagai penunjang kegiatan ekoturisme.
6. Pertambangan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya hanya mengenal nilai ekonomi karst sebagai bahan
tambang berupa kalsium karbonat, magnesium karbonat, kalsium magnesium karbonat, marmer,
guano, dan fosfat dalam gua. Karena kawasan karst merupakan sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaiki dan tidak dapat diperbaharui, maka pemanfaatan kawasan karst untuk
pertambangan harus berdasarkan AMDAL yang dibuat oleh para pakar secara holistik terpadu
Tanam Nasional Gunung Mulu di Sarawak, terlihat tumbuh di kawasan batu gamping, conifer
dacrydium becorii, phyllocladus hypophyllus dan myrica esculenta.
Di samping itu juga tumbuh beberapa jenis tanaman yang menyukai lokasi terjal atau tergantung
(overhang) seperti pada bukit-bukit dan lereng-lereng terjal batu gamping. Jenis tanaman ini
digolongkan dalam kelompok cremnophytes, antara lain termasuk alam golongan ini adalah
pohon beringin dan berbagai jenis paku-pakuan.
Sebelum melakukan penghijauan suatu kawasan karst, hendaknya dibahas dulu secara seksama
secara multidisipliner, lintas sektoral, apa tujuan dari penghijauan itu. Apakah untuk
memperbaiki oro-hidrologi, memperbaiki keadaan sosioekonomi rakyat setempat, untuk hutan
produktif, untuk tujuan wisata alam, untuk konservasi tanah (mencegah erosi), untuk penunjang
bagi usaha peternakan, pembakaran batu gamping menjadi kapur, ataukah untuk tujuan ilmiah
(silvikultur, plasma nutfah, flora-fauna karst, dll). Erat dengan tujuan itu setiap tindakan
hendaknya dilaksanakan secara konsekuen dan terintegrasi secara konsisten.
Mula-mula harus ditentukan jenis tanaman mana yang potensial untuk digunakan (sesuai dengan
ketinggian lokasi di atas permukaan laut, jenis dan luas tanah tersedia, sudut kemiringan, iklim,
curah hujan, dana yang tersedia, sarana dan prasarana, waktu tanam, segi ekonomis, jangka
waktu yang disediakan untuk penghijauan kembali).
Misalnya untuk memperbaiki hidrologi suatu kawasan karst yang sudah gundul, cukup dilakukan
penghijauan dengan menanam aneka semak belukar maupun tanaman penutup tanah (ground
cover vegetation) yang cepat tumbuh dan tahan kekeringan. Menanami kawasan karst dengan
jenis-jenis pohon dengan laju penguap-peluhan tinggi, seperti pinus mercusii dan aneka jenis
eucalypti yang tahan kekeringan seperti eucalyptus urophylla dan E.alba akan berdampak lebih
mengeringkan tanah. Hal ini dikarenakan sistem perakarannya yang menginvasi percelahanrekahan batu gamping yang terkarstifikasi, juga akan melebarkan celah-rekah itu melalui proses
pelarutan kimia. Celah-rekah yang melebar itu kemudian memudahkan terjadinya erosi tanah ke
dalam interior karst, hal mana bermanifestasi sebagai lapisan lumpur tebal pada dasar sungaisungai bawah tanah (erosion en fissure).
Untuk meneliti silvikultur secara ilmiah di kawasan karst dan memonitori ekologi lingkungan
harus diadakan pencatatan secara cermat dan teratur dari curah hujan, debit dan fluktuasi debit
sungai di dalam gua, taksonomi, daerah penyebaran, frekuensi dan diversifikasi berbagai fauna
dengan stres pada aviafauna dan serangga (siang dan malam), sebagai agens penyebar serbuk
bunga, spora dan biji-bijian. Kelelawar, burung seriti dan walet penghuni gua juga perlu
dimonitor karena erat kaitannya dengan kondisi vegetasi di luar gua dan jumlah serangga yang
dimangsa oleh hewan itu.
Usaha memonitor kualitas tanah (fisik, kimiawi) perlu dikerjakan karena keadaannya tidak
mungkin statis, dan akan mengalami perubahan kualitas dengan semakin banyaknya tanaman
tumbuh. Penyelidikan sedimen di atas kawasan karst ini seyogyanya dilaksankan sambil
menyelidiki kualitas dan kuantitas sedimen gua, untuk dapat memonitor perubahan vegetasi
tingkat kesuburan di atas tanah.
Denudasi karst dan kecepatannya harus diukur. Makin banyak vegetasi dan sisa-sisa organik
yang tertumpuk di sautu kawasan karst, makin cepat timbul denudasi oleh daya korosif air hujan
yang tercemar dengan humus akibat kandungan CO2 galak di dalamnya. Untuk itu perlu
diletakkan satu bongkahan batu gamping dengan ukuran tertentu, diletakkan di suatu tempat
terbuka, dan diukur secara berkala (dua kali setahun) untuk diukur kembali dengan cermat (pakai
mikrometer) berapa persen yang terlarut dalam setahun, dilengkapi data curah hujan pada
periode tersebut. Data yang diperoleh ini penting untuk dibandingkan dengan data jumlah batu
gamping yang larut dalam satuan waktu yang sama, curah hujan yang sama, yang didapatkan
dengan mengukur kesadahan (kandungan Ca(HCO3)2) dari sungai di dalam gua pada periode
itu. Semakin berhasil penghijauan, semakin besar denudasi karst yang akan terjadi.
Kesuburan tanah juga seyogyanya dimonitor dengan bantuan mikrofauna tanah seperti
Collembola. Collembola secara internasional telah dipakai sebagai parameter kesuburan tanah.
Jenis (spesies) sangat banyak. Spesifik sekali untuk satu lokasi. Untuk dokumentasi telah disusun
Internasional Register of Collembola di luar negeri, antara lain dapat dilihat di laboratorium di
bawah tanah MOULIS dari CNRS (Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis). Dari Indonesia baru
dikenal sekitar 18 spesies Collembola bawah tanah (subsoil) dan belum satupun Collembola gua
yang dikenal. Memonitor dinamika pembentukan tanah dan tingkat kesuburan di daerah karst
hendaknya dilaksanakan secara simultan dengan menyelidiki spesies dan kuantitas (kepadatan
per M2) Collembola di atas dan di dalam gua. Makin berhasil usaha penghijauan suatu kawasan
karst, makin banyak jenis dan kepadatan populasi Collembola perunit luas.
Dari uraian di atas kiranya jelas, bahwa menentukan vegetasi mana yang cocok untuk suatu
kawasan karst tertentu tidaklah mudah. Tergantung kepada tujuan penghijauannya. Sifat fisik an
kimiawi tanah, iklim, curah hujan, ketinggian di atas permukaan laut, bahkan juga tergantung
pada vulkanisme di kawasan tersebut. Juga tergantung ada tidaknya agens-agens penyebarnya.
Atau fauna tanah yang membantu menyuburkan tanah di tempat itu. Karena itulah setiap usaha
penghijauan suatu kawasan karst harus didahului oleh suatu studi menyeluruh secara
multidisipliner, lintas sektoral, dimana sifat fisik karst itu sendiri dan pedologinya mendapatkan
prioritas tertinggi di samping sifat hidrologinya yang dapat berbeda dari satu bagian kawasan
karst ke bagian lain dari kawasan yang sama.
Sukses tidaknya tergantung pada pilihan tepat dari pada jenis-jenis tanamannya yang disesuaikan
dengan tujuan penghijauan itu, perawatannya secara kontinyu dan ketekunan dari pihak
pengelola yangtidakmengenal lelah. Bonus daripada berhasilnya penghijauan tersebut adalah
pemandangan elok, menghijau yang mempunyai nilai kepariwisataan yang tinggi, di samping
tentunya orohidrologi yang mantap. Tidak mengenal adanya banjir (terutama di dalam gua)
sewaktu musim hujan dan sewaktu musim kemarau tetap tersedia air bersih yang dapat
dimanfaatkan rakyat di kawasan karst itu.
* KEPUSTAKAAN *
Darmokusumo, D, 1985. Pengembangan Daerah Karst di Kawasan Berbatu Kapur Kabupaten
Gunung Kidul Dengan Segala Pemasalahannya. Simposium Nasional Lingkungan Karst, Jakarta.
Haniin, O, et all, 1985. Pembangunan Hutan di Daerah Batu Gamping Wanagama I. Makalah
Pada Sarasehan Lingkungan Karst, Jakarta.
Manan, S, 1985. Fungsi Hutan di Daerah Batu Gamping. Makalah Pada Simposium Nasional
Lingkungan Karst, Jakarta.
R.K.T. Ko, 1985. Penelitian Sedimen Gua Karstik Sebagai Salah Satu Upaya Memonitori
Pedogenesis dan Kualitas Tanah di Kawasan Karst. Ceramah Ilmiah Pada Jurusan Tanah IPB.