Anda di halaman 1dari 21

EKOSISTEM KARST

Karst berawal dari nama kawasan batu gamping di wilayah Yugoslavia. Nama
ini kemudian dipakai secara umum oleh masyarakat ilmiah untuk seluruh kawasan
batu gamping yang terdapat di dunia. Kawasan karst yang terdapat di Indonesia
antara lain Karst Gunung Sewu, Karst Gombong Selatan, Karst Maros, Karst
Tuban dan beberapa tempat di daerah Kalimantan. Tipe karst di Indonesia
merupakan karst tropik basah dan hal ini yang membedakan dengan kawasan karst
di tempat lain di dunia.
Kawasan karst di Indonesia rata-rata mempunyai ciri-ciri yang hampir sama
yaitu, tanahnya yang kurang subur untuk pertanian, sensitif terhadap erosi, mudah
longsor, bersifat rentan dengan pori-pori aerasi yang rendah, gaya permeabilitas
yang lamban dan didominasi oleh pori-pori mikro. Ekosistem karst mengalami
keunikan tersendiri, dengan keragaman aspek biotis yang tidak dijumpai di
ekosistem lain.
Habitat dalam gua merupakan suatu habitat yang gelap total, tidak ada sinar
matahari yang masuk sehingga tidak terdapat organisme heterotrofik. Peran
organisme khas gua seperti kelelawar yang setiap malam hari mencari makan ke
luar gua dan pada siang hari kembali lagi, akan membawa energi dari luar gua
untuk kehidupan berbagai organisme gua (Arthropoda) terutama kotoran (guano)
dan bangkai kelelawar tersebut. Disamping itu energi dibawa oleh akar tumbuhan
yang berada di atas gua yang menembus dinding atas gua. Sungai di dalam gua
yang semula mengalir di permukaan luar gua juga berperan terhadap transfer
energi ke dalam lingkungan gua dengan membawa bahan organik.
Di dalam gua sendiri mengalami jaring-jaring makanan yang rumit.
Perubahan-perubahan lingkungan di luar gua sangat mempengaruhi kehidupan di
dalam gua. Dalam kondisi gua yang sangat ekstrem, tanpa adanya cahaya,
kelembaban yang sangat tinggi dan suhu yang konstan sepanjang tahun,
mengakibatkan organisme penghuni gua beradaptasi terhadap lingkungannya.

Bentuk adaptasi organisme gua antara lain: 1) adaptasi morfologi hewan


diperlihatkan dengan memucatnya warna kulit, adanya alat sensoris yang
berkembang sangat baik, mata mereduksi dll; 2) adaptasi fisiologis yang
diperlihatkan adalah tidak adanya kemampuan untuk membedakan antara siang
dan malam hari sehingga hewan tidak peka terhadap sinar karena lingkungan
hidupnya yang gelap sepanjang tahun; 3) tumbuhan di lingkungan gua
mempunyai sifat poikilohidri yaitu mempunyai ketahanan yang besar terhadap
kekurangan air secara berkala.
Gua merupakan lingkungan yang sangat rentan, perubahan sedikit saja pada
lingkungan gua maupun luar gua dapat mengganggu kehidupan di dalamnya dan
memusnahkan berbagai jenis biota yang unik dan khas.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan
karst yang tersebar di hampir semua pulau besar dari Sumatra sampai Papua.
Namun, sampai saat ini, keberadaan kawasan karst di Indonesia masih
terpinggirkan. Terutama di kawasan konservasi, yang menonjol hanyalah
potensi dari sisi ekonomi, seperti penambangan batu kapur. Perhatian
terhadap potensi kawasan karst dan guanya dari sisi non ekonomi mulai
meningkat beberapa tahun terakhir, namun kemauan untuk melakukan
perlindungan yang menyeluruh belum juga terwujud.
Sampai saat ini, ekosistem karst belum banyak tersentuh. Ekosistem
ini menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik
terestrial maupun akuatik, baik di permukaan maupun di dalam gua.
Beberapa penelitian di kawasan karst menunjukkan temuan yang cukup
menarik dan mencengangkan, yaitu dengan banyak ditemukannya jenis baru
maupun catatan baru. Sampai saat ini, gua-gua di Indonesia menduduki
daerah-daerah tropis yang memiliki kekayaan aneka ragam hayati yang tinggi
(Deharveng dan Bedos, 2000).

Sementara data dari Jawa masih belum terdokumentasi dengan baik.


Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri mengingat laju kerusakan dan
kehancuran ekosistem karst di Jawa menghadang terutama dengan aktivitas
penambangan dan penurunan kualitas lingkungan, baik di karst maupun di
luar kawasan karst.
II. Lingkungan Gua
Lingkungan gua merupakan lingkungan yang unik dan khas, misalnya
dengan kondisi gelap yang di dalamnya. Lingkungan gua lazim dibagi menjadi
4 zona, yaitu mulut gua, zona peralihan (zona remang-remang), zona gelap,
dan zona gelap abadi. Masing-masing zona mempunyai karakteristik
lingkungan (abiotik) yang berbeda-beda, begitu juga dengan kehidupan
faunanya (biotik) (Howarth, 1983; Howarth and Stone 1990; Howarth,
1991).
Zonasi Kehidupan Gua berdasar Adaptasi
Gua

digambarkan

kumpulan

sebagai

organismenya

Dalam klasifikasi

klasik,

pulau

dengan

masing-masing.
organisme

gua

dibedakan berdasarkan tingkat adaptasinya


terhadap lingkungan gua yaitu:
1. Trogloxene adalah organisme yang
hidup di dalam gua namun tidak pernah
menyelesaikan seluruh siklus hidupnya
di dalam gua. Kelelawar salah satu
contoh hewan trogloxene.
2. Troglophile adalah organisme yang
menyelesaikan seluruh siklus hidupnya
di dalam gua, namun individu yang lain
dari jenis yang sama juga hidup di luar

gua, seperti: salamander, cacing tanah,


kumbang dan crustacea .
3. Troglobite adalah organisme gua sejati
dan hidup secara permanen di zona
gelap total dan hanya ditemukan di
dalam gua. Contoh : ikan Amblyopsis
spelaeus, Puntius sp, Bostrychus sp.

Zonasi Kehidupan Gua Berdasar Cahaya


Ekosistem gua memiliki ciri khas terbatas dengan absennya cahaya matahari,
iklim yang hampir seragam, temperatur yang konstan sepanjang tahun dan
kelembaban relatif yang tinggi dan konstan. Berdasarkan ketersediaan cahaya
matahari, gua memiliki tiga zonasi :
1. Zona mulut atau zona terang ( entrance zone ).
Mulut gua merupakan daerah yang menghubungkan luar gua dengan
lingkungan dalam gua agar cahaya matahari bisa masuk Pada zona ini
terdapat cahaya matahari langsung dan iklim gua sangat terpengaruh oleh
faktor luar gua. Temperatur dan kelembaban berfluktuasi, tergantung
kondisi luar gua. Mulut gua mempunyai komposisi fauna yang mirip
dengan komposisi fauna di luar gua. Kondisi iklim mikro di mulut
gua masih sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi di luar gua.

2. Zona senja atau zona remang-remang ( twilight zone ) atau zona peralihan
adalah zona dengan cahaya matahari tidak langsung, berupa pantulan

cahaya dari zona mulut. Di zona peralihan, kondisi lingkungan masih


dipengaruhi oleh luar gua, yaitu dengan masih ditemukannya aliran
udara.

Temperatur

dan

kelembaban

masih

dipengaruhi

oleh

lingkungan luar gua. Komposisi fauna mulai bervariasi, baik dalam


hal jumlah jenis maupun individunya. Kemelimpahan jenis dan
individu lebih sedikit dibandingkan di daerah mulut gua.
3. Zona gelap total ( dark zone ) adalah zona dimana tidak ada cahaya sama
sekali. Organisme gua sejati hidup di zona ini.kondisi temperatur dan
kelembabannya mempunyai fluktuasi yang sangat kecil.Biasanya, zona
ini mempunyai kandungan karbondioksida yang sangat tinggi. Zona
ini biasanya terdapat pada sebuah ruangan yang lorongnya sempit
dan berkelok-kelok Jenis fauna yang ditemukan sudah sangat khas dan
telah beradaptasi dengan kondisi yang gelap total ini. Fauna yang
ditemukan biasanya mempunyai jumlah individu yang kecil namun juga
mempunyai jumlah jenis yang besar (Deharveng dan Bedos, 2000).
Berdasarkan keberadaan aliran sungai di dalam gua, maka terdapat
beberapa istilah gua fosil dan gua aktif. Gua fosil adalah gua yang sudah
tidak mempunyai aliran sungai di dalamnya, sehingga di sepanjang
lorongnya sama sekali tidak ditemukan aliran sungai yang berasal dari
permukaan gua. Air di dalam gua biasanya berasal dari air perkolasi yang
berasal dari permukaan tanah yang mengalir ke dalam gua melalui sistem
celah rekahan dalam batu gamping. Air ini menetes dan membentuk ornamen
gua seperti stalagtit dan stalagmit serta kolam-kolam air kecil yang sangat
menarik. Sedangkan gua aktif adalah gua yang di dalamnya terdapat aliran
sungai yang berasal dari luar gua, baik besar maupun kecil. Gua tipe ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi luar gua, seperti terjadinya banjir pada saat
musim hujan.
Gua tidak hanya berupa satu lorong tunggal saja, namun juga terdiri
dari berbagai macam lorong yang bercabang-cabang dan berkelok-kelok,
yang ditentukan oleh proses speleogenesisnya. Lorong gua yang bercaban g-

cabang, berkelok-kelok, dan bahkan bertingkat, membentuk satu sistem


yang biasanya disebut dengan sistem gua. Dalam sistem gua ini, biasanya
terdapat lorong aktif, lorong vadose, dan lorong fosil yang ditentukan
berdasarkan keberadaan aliran air. Lorong aktif adalah sama dengan gua
aktif, yang di dalamnya ditemukan aliran air dan pembentukan ornamen gua
yang masih berjalan. Lorong vadose adalah lorong gua yang seluruh
lorongnya dipenuhi oleh air dan untuk melewatinya memerlukan teknik
khusus. Sedangkan lorong fosil adalah lorong yang biasanya berada di
bagian atas lorong aktif dan lorong vadose. Lorong ini sudah tidak
mempunyai aliran air karena turunnya permukaan air. Kondisi lorong yang
berbeda-beda sangat menentukan kekayaan fauna di dalam gua karena
variasi habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman fauna gua
(Poulson dan Culver, 1967).
III. Adaptasi Fauna Gua
Gua sebagai lingkungan yang gelap dapat berperan sebagai
perangkap fauna. Dengan begitu, gua dapat memicu terjadinya proses
evolusi fauna dari luar gua untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup di
dalam gua. Bentuk adaptasi di dalam gua bermacam-macam, baik secara
morfologi, perilaku, maupun fisiologi, sehingga fauna gua mempunyai
bentuk bahkan perilaku yang berbeda dengan kerabatnya yang ada di luar
gua. Adaptasi yang paling utama adalah tereduksinya organ penglihatan
karena kondisi lingkungan gua yang gelap total. Karena tidak berfungsinya
indra

penglihatan

menggantikan

indra

menyebabkan
penglihatan.

perkembangan
Di

dalam

indera

kelompok

lain

untuk

Arthropoda,

khususnya serangga, indera penglihatan digantikan oleh indera peraba, yaitu


antena. Antena serangga gua dapat mencapai 10 kali panjang tubuhnya
seperti pada jangkrik gua. Sedangkan kelompok Arthropoda yang tidak
mempunyai antena, seperti kelompok Arachnida (laba-laba), mengalami
adaptasi dengan berubah fungsinya kaki yang paling depan menjadi indera

peraba yang berfungsi seperti antena, contohnya pada kala cemeti


(Amblypygi). Kondisi lingkungan gua yang terkadang minim bahan organik
menyebabkan fauna gua mempunyai laju metabolisme yang lebih lambat.
Lingkungan gua mempunyai kondisi mikroklimat yang relatif stabil
baik temperatur, kelembaban, kandungan karbondioksida, dan oksigen. Hal
ini disebabkan kondisi lingkungan yang relatif stagnan karena minimnya
aliran udara dalam gua. Kondisi ini mempengaruhi adaptasi fauna gua pada
lingkungan yang relatif stabil sehingga mempunyai kisaran toleransi yang
sempit. Sedikit perubahan dalam lingkungan gua akan berpengaruh sekali
pada kehidupan fauna gua. Sehingga, fauna yang telah teradaptasi pada
lingkungan gua sangat rentan terhadap gangguan. Perubahan lingkungan
yang drastis seperti tercemarnya perairan gua akan berpengaruh pada
kehidupan fauna aquatik maupun terrestrial.
Berdasarkan tingkat adaptasi di dalam gua, fauna gua dibedakan
menjadi 3 kelompok yaitu trogloxenes, troglophiles, dan troglobionts
(Howarth, 1983; Culver, 1986; Tercaf, 2000; Ferreira dan Horta, 2001).
Kelompok

trogloxenes

merupakan

kelompok

dari

fauna

gua

yang

menggunakan gua sebagai tempat tinggal, namun hidupnya secara periodik


masih tergantung pada lingkungan luar gua, terutama untuk mencari pakan.
Contoh fauna dalam kelompok ini adalah kelelawar, walet, sriti, dan mamalia
lain yang tinggal di sekitar mulut gua. Kelompok troglophiles merupakan
kelompok fauna yang seluruh daur hidupnya terdapat di dalam gua, namun
kelompok ini juga dapat hidup di luar gua. Kelompok troglobionts atau
troglobites adalah kelompok fauna yang seluruh daur hidupnya di dalam gua
dan sangat tergantung sekali dengan lingkungan dalam gua. Kelompok ini
hanya mampu hidup di alam gua.
IV. Sumber Energi di Gua

Gua merupakan sebuah ekosistem yang khas. Ada yang menganggap


bahwa gua merupakan sebuah ekosistem yang tertutup, namun hal ini tidak
sebenarnya terjadi dalam ekosistem gua. Ekosistem gua merupakan sebuah
ekosistem yang terbuka di mana semua komponen saling berkaitan, baik di
dalam lingkungan gua maupun di luar gua. Kondisi gelap total tidak
memungkinkan produsen utama seperti di lingkungan luar gua dapat hidup.
Hal ini menyebabkan tumbuhan hijau sebagai sumber utama energi di
ekosistem lain di luar gua, tidak ditemukan di dalam gua. Sehingga, energi
dalam gua merupakan sumber energi yang allochtonous dan sangat
bergantung pada produktivitas mikroorganisme yang ada di dalam gua
maupun sumber-sumber lain yang berasal dari luar gua.
Sumber energi gua masuk ke dalam lingkungan gua melalui beberapa
cara. Menurut Culver (1986), ada 5 sumber pakan yang penting untuk habitat
terestrial di dalam gua di daerah empat musim, yaitu guano kelelawar, telur
dan guano jangkrik gua, mikroorganisme, kotoran mamalia dan bangkai
hewan, dan terakhir adalah serasah tanaman yang terbawa banjir. Semua
sumber pakan ini juga penting di gua-gua daerah tropis, namun guano
jangkrik tetap merupakan hasil dari adanya guano kelelawar karena jangkrik
tidak pernah meninggalkan gua untuk mencari pakan (Deharveng dan
Bedos, 2000). Umumnya, di tropis terutama di Indonesia, jangkrik gua
ditemukan sangat melimpah di lorong yang melimpah guanonya , seperti di
Gua Lawa (Nusakambangan). Sumber pakan yang penting berasal dari akar akar yang menerobos melalui celah rekahan dan menggantung di langit langit gua.
Berdasarkan kemelimpahan dan jenis sumber pakan , terdapat 5 tipe
gua yang dibedakan, yaitu:
1. Oligotrophic, gua yang mempunyai jumlah ketersediaan bahan
organik yang rendah yang berasal dari hewan atau tumbuhan;

2. Eutrophic, gua yang mempunyai ketersediaan bahan organik


yang sangat tinggi, umumnya berasal dari hewan, khususnya
guano kelelawar;
3. Distrophic, gua yang ketersediaan bahan organiknya berasal
dari tumbuhan yang terbawa banjir;
4. Mesotrophic, gua yang berada pada tingkat menengah antara
tiga tipe tersebut, dicirikan dengan ketersediaan bahan organik
dari hewan dan tumbuhan dalam jumlah yang sedang;
5. Poecilotrophic, gua yang merupakan pemanjangan bagian gua
dengan suplai energi yang berbeda dengan rentang bagian
Oligotrophic sampai Eutrophic (Gnaspini dan Trajano, 2000).
Gua merupakan sebuah habitat yang tidak terpisahkan dari lingkungan
di luar gua. Perubahan yang terjadi di luar gua akan sangat berpengaruh pada
lingkungan gua. Perubahan lingkungan luar gua akan mempengaruhi
ketersediaan sumber pakan di dalam gua. Terjadinya perubahan lahan, seperti
penebangan liar atau penggundulan hutan, sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan guano yang dihasilkan kelelawar. Gundulnya hutan di luar gua
akan berpengaruh juga pada ketersediaan air di dalam gua yang mengalir
melalui sistem percelah rekahan sehingga menyebabkan perubahan kondisi
mikroklimat dalam gua yang berpengaruh pada proses dekomposisi dan
perkembangan mikroorganimse yang penting sebagai sumber energi utama
dalam gua. Semua komponen sumber makan yang telah disebutkan di atas
merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan dan membentuk
satu jaring-jaring makanan yang penting dalam gua. Hilangnya salah satu
rantai makanan akan berpengaruh pada keseluruhan eksosistem dalam gua
maupun luar gua.
V. Flora Fauna Karst
Kawasan karst menyimpan kekayaan flora fauna yang sangat menarik
dan unik. Karena kondisi lingkungan karst yang kering, beberapa jenis flora
harus mampu beradaptasi dengan kondisi kekeringan yang tinggi pada musim

kemarau. Selain itu, kandungan kalsium yang tinggi juga mengharuskan


semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi pada lingkungan karst.

Flora
Flora di kawasan karst mempunyai keunikan dalam segala hal.
Keanekaragaman

dan

komposisi

jenisnya

sangat

berbeda

dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya. Flora di kawasan karst


mempunyai tingkat keendemikan yang sangat tinggi dengan potensi
ekonomi yang sangat tinggi pula. Beberapa jenis flora seperti anggrek,
paku-pakuan, palem, dan pandang merupakan jenis yang terkadang
hidup di tebing-tebing karst. Beberapa jenis mempunyai habitat yang
sangat spesifik, seperti anggrek yang ditemukan di Borneo. Beberapa
adaptasi flora terhadap kondisi lingkungan karst adalah kemampuan
hidup di puncak bukit dengan sistem perakaran yang sangat panjang
yang mampu menembus celah rekahan batu karst dan mencapai batas
sumber air, contohnya adalah pohon beringin. Beberapa jenis mampu
beradaptasi pada lingkungan yang sangat minim lapisan tanahnya.
Adaptasi tersebut adalah cara meningkatkan kemampuan bertahan
hidup tanpa kesulitan dengan cara sistem perakaran di udara bebas,
contohnya adalah anggrek yang mampu memanfaatkan celah-celah
batuan untuk tumbuh. Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas
yang sangat tinggi, terkadang satu bukit karst mempunyai satu jenis
yang tidak ditemukan di bukit lain yang ada di sekelilingnya
(Vermaullen dan Whitten, 1999).

Fauna
Fauna di permukaan karst belum banyak diteliti, namun diyakini
bahwa tebing-tebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis
burung yang khas, seperti gelatik Jawa yang ditemukan di tebing tebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul. Tebing-tebing karst
juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang di
dahan-dahan yang tumbuh di tebing karst. Berbagai jenis mamalia

juga sering dijumpai, seperti macan kumbang, macan tutul, maupun


berbagai jenis karnivora lainnya. Fauna yang menarik adalah fauna
yang hidup di kegelapan gua. Karena kondisi gua yang gelap sepanjang
masa, berbagai jenis fauna mempunyai morfologi yang unik, seperti
pemanjangan antena, pemanjangan kaki, warna putih pucat dan
bermata kecil atau bahkan tidak bermata. Contoh-contoh fauna khas
gua yang ditemukan di Gunung Sewu antara lain: kepiting gua
(Sesarmoides jacobsoni) dan udang gua (Macrobrachium poeti). Jenisjenis khas lainnya, seperti Isopoda terestrial yang sangat kecil,
ditemukan di Gua Semuluh dan Gua Bribin, yaitu Javanoscia
elongata dan Tenebrioscia antennuata. Jenis-jenis udang lainnya juga
mempunyai kekhasan tersendiri, namun sampai sekarang belum
diteliti lebih lanjut, seperti udang kecil yang ditemukan di Gua
Jomblang Bedoyo. Ikan-ikan gua juga sangat menarik karena biasanya
mempunyai mata yang sangat kecil. Gunung Sewu merupakan tempat
temuan jenis ikan khas gua yang sudah terancam punah, yaitu Puntius
microps yang ditemukan di perairan bawah tanah.
Berbagai jenis fauna bertulang belakang juga sering ditemukan
hidup di dalam gua. Fauna yang paling sering ditemui adalah
kelelawar. Berbagai jenis kelelawar menghuni lorong-lorong gua di
Gunung Sewu, baik jenis-jenis pemakan serangga maupun pemakan
buah. Jenis-jenis pemakan serangga lebih banyak hidup di lorong lorong yang sempit dan jauh di dalam gua, sedangkan pemakan buah
banyak menghuni lorong gua yang tidak jauh dari mulut gua. Fauna
lain seperti walet sangat banyak ditemukan di gua-gua di pesisir
selatan Gunung Kidul dan memberikan fungsi ekonomi dan ekologi
tersendiri.
Ciri-ciri Organisme Gua

Kondisi lingkungan gua yang telah kehilangan cahaya dan relatif stabil dengan
suhu rendah dan kelembaban yang tinggi, berbeda dengan kondisi lingkungan di
luar gua dimana semua kehidupan didapatkan dari sinar matahari, sehingga
dianggap sebagai ekosistem tersendiri walaupun hanya seluas sistem perguaan
tersebut. Kondisi lingkungan gua yang telah kehilangan cahaya dan relatif stabil
dengan suhu rendah dan kelembaban yang tinggi, berbeda dengan kondisi
lingkungan di luar gua dimana semua kehidupan didapatkan dari sinar matahari,
sehingga dianggap sebagai ekosistem tersendiri walaupun hanya seluas sistem
perguaan tersebut. Berikut ini ciri-ciri organisme gua :
1. Tubuh tidak berpigmen.
2. Waktu reproduksinya tertentu.
3. Mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang (Jangkrik gua
mempunyai antena 20-21 mm).
4. Mempunyai alat indera (alat penggetar) yang sudah berkembang.
5. Mata tereduksi atau hilang sama sekali.
6. Metabolismenya lamabat karena kurangnya suplai makanan.
7. Dapat beradaptasi dengan lingkungan kelembaban yang tinggi.

Para Penghuni Kegelapan Gua Indonesia

Gua merupakan salah satu habitat yang paling ekstrim di bumi ini. Kegelapan
yang menyelimutinya merupakan sebuah misteri yang layak dikenali. Gua sendiri
terbentuk dengan proses yang rumit dengan berbagai proses fisik maupun kimia
yang tak terhitung berapa lama mereka berproses. Lingkungan gelap, lembab dan
sangat minim makanan ini menyumbang kehidupan berbagai jenis fauna yang
sangat bernilai ditinjau dari segi ilmu pengetahuan.
Berkeliaran dalam gelap untuk mencari makan adalah satu hal yang sulit
dibayangkan oleh kita. Namun bagi para penghuni kegelapan gua, mencari makan
dan mencari pasangan untuk bereproduksi adalah satu hal yang biasa. Mereka
mampu mendeteksi keberadaan makanan dengan organ perasanya yang sangat
sensitif seperti antena yang sangat panjang dan rambut-rambut yang berperan
sebagai sensor kondisi lingkungan. Dengan kondisi gua yang sangat minim
sumber makanan, mereka mempunyai strategi dengan menurunkan laju
metabolisme sampai batas yang sulit dipahami. Kecepatan dan kemampuan
reproduksinya pun turun drastis. Rendahnya kemampuan reproduksi ini
menyebabkan para penghuni gua mempunyai populasi yang sngat kecil. Dalam
satu gua mungkin jumlah individunya tidak lebih dari dua puluh individu.

Gambar 1. Kepiting Sesarmoides dari gua A. Sesarmoides jacobsoni dari Gunung


Sewu, B. Sesarmoides microphthalmus dari Maros (Dok. C. Rahmadi)
Troglobite, itulah istilah yang lazim dikenal di dunia biospeleologi untuk
mencirikan fauna yang telah teradaptasi secara mutlak di dalam gua. Istilah ini
membatasi fauna-fauna yang hidupnya sangat tergantung dengan gua dan tidak
ditemukan lagi di luar gua. Bentuknya pun telah mengalami proses evolusi yang
panjang untuk mampu hidup di dalam gua dengan segala batasannya. Antena dan
kaki yang panjang serta warna putih pucat bahkan transparan adalah bentuk yang
lazim ditemukan di fauna troglobite. Bahkan matanya pun sudah tidak ditemukan
lagi, hilang tanpa bekas.
Di Indonesia, troglobite yang telah dideskripsi jumlahnya tidak lebih dari
50 jenis. Jenis troglobite pertama kali dideskripsi dari gua di Gunung Sewu yaitu
kepiting gua yang dikenal dengan Sesarmoides jacobsoni (Ihle, 1912). Kepiting
ini ditemukan di kolam-kolam air yang berasal dari resapan air di celah-celah
batuan gua. Sampai saat ini, kepiting gua ini hanya ditemukan di Gunung Sewu.
Peningkatan jumlah jenis yang dideskripsi terjadi di era 80-an dimana kegiatan
eksplorasi biologi gua di Indonesia begitu gencar. Dua tahun terakhir, sedikitnya
telah dipublikasi 6 jenis baru dari gua-gua di Sulawesi dan Jawa. Jenis tersebut
umumnya jenis krustasea yang menghuni perairan di dalam gua. Jenis udang gua
yang sangat khas dari Maros adalah Marosina longirostris Cai and Ng, 2006 dan
Marosina brevirostris Cai and Ng, 2006. Nama marganyapun diambil dari nama

kawasan karst Maros yang telah menyumbang puluhan jenis troglobite di


Indonesia. Jenis berikutnya adalah sejenis udang yang berukuran 7 mm yang
ditemukan di genangan air di gua Cibinong. Jenis yang diberi nama Stenasellus
javanicus Magniez and Rahmadi, 2006 ini merupakan catatan baru bagi Pulau
Jawa. Sebelumnya marga yang sama hanya ditemukan di Malaya, Sumatra dan
Borneo. Jenis ini hanya ditemukan di satu gua bahkan hanya di satu genangan air,
eksplorasi lebih lanjut di gua-gua sekitarnya tidak berhasil menemukan catatan
lebih lanjut. Jenis terbaru yang dideskripsi adalah kecoak gua raksasa dari
Sangkulirang Miroblatta baai Grandcolas, 2007 dan kemudian kepiting gua dari
Maros yang diberi nama Sesarmoides microphthalmus Naruse and Ng, 2007 yang
hanya ditemukan di satu gua di kawasan karst Maros.

Gambar 2. Stenasellus dari kolam perkolasi di Gua Buniayu (Dok. C. Rahmadi)


Jumlah jenis troglobite yang telah dideskripsi ini masih sangat rendah jika
dibandingkan dengan keberadaan gua dan kawasan karst di Indonesia yang
luasnya mencapai 145.000 km2 yang sampai saat ini hanya 15% yang dilindungi.
Luasan kawasan karst di indonesia adalah yang terluas di negara-negara Asia
Tenggara. Namun sayangnya jumlah jenisnya belum sebanding dengan jumlah
gua dan luasan karst di Indonesia. Puluhan bahkan mungkin ratusan jenis
troglobite yang telah dikoleksi saat ini telah menunggu untuk dideskripsi.
Beberapa jenis bahkan belum diketahui marganya. Sebagai contoh, hasil
eksplorasi biologi di kawasan karst Sangkulirang telah menghasilkan puluhan
catatan baru dan hampir semuanya dipastikan jenis baru. Sebagai contoh temuan

kepiting dari famili Hymenosomatidae yang merupakan catatan baru bagi Borneo
telah merubah pemahaman tentang famili ini di gua. Temuan jenis-jenis akuatik
dari Amphipoda, Isopoda, Natantia, Brachyura telah memberikan kontribusi yang
signifikan bagi perkembangan pengetahuan troglobite di Indonesia. Di Jawa pun,
sampai saat ini beberapa jenis telah menunggu untuk dideskripsi seperti temuan
Isopoda akuatik dari marga Stenasellus di gua Sukabumi. Jenis udang dari
kelompok Macrobrachium dengan mata kecil pun berhasil ditemukan di gua Karst
Grobogan. Kelompok laba-laba dari ordo Amblypygi dengan nama marga
Stygophrynus pun diyakini tercatat dua jenis yang layak menjadi kandidat jenis
baru. Dua jenis ini berasal dari gua di Grobogan (Jawa Tengah) dan gua di Tuban
(Jawa Timur). Temuan-temuan ini tentu saja akan menambah daftar panjang
troglobite di Indonesia yang sudah selayaknya mulai sekarang diungkap sebelum
perubahan dan kehancuran ekosistem gua dan karst terjadi.
VI. Potensi Keanekaragaman Hayati Karst
Keanekaragaman hayati karst mempunyai potensi yang sangat tinggi,
antara lain potensi ekologi, ilmiah, dan ekonomi. Keanekaragaman yang
berpotensi ekologi antara lain jenis-jenis kelelawar, baik kelelawar pemakan
serangga maupun pemakan buah. Kelelawar pemakan serangga mempunyai
peran untuk mengendalikan serangga hama yang berpotensi merugikan
pertanian. Sedangkan kelelawar pemakan buah mempunyai peran penyebaran
biji maupun membantu dalam penyerbukan berbagai jenis tanaman yang
bernilai ekonomi tinggi. Kelelawar di Gunung Sewu yang mempunyai
kemelimpahan populasi sangat tinggi ditemukan di Gua Ngeleng di daerah
Paliyan. Namun, kemelimpahannya sangat ditentukan oleh musim. Potensi
ilmiah keanekaragaman hayati karst dan gua adalah tempat di mana berbagai
jenis fauna yang mempunyai nilai ilmiah tinggi ditemukan. Nilai ilmiah
fauna gua dapat ditinjau dari keunikan dan kekhasannya karena adaptasi
terhadap lingkungan gua yang gelap. Bentukan adaptasi morfologi ini
menjadikan bentuk-bentuk fauna gua menjadi unik dan khas. Beberapa jenis
sangat tergantung pada satu habitat dan bahkan hanya ditemukan di satu gua

atau kawasannya saja. Selain itu, fauna gua atau karst juga mempunyai
biogeografi yang menarik untuk dipelajari dan memerlukan kajian lebih
mendalam. Jenis-jenis yang ditemukan pun kebanyakan merupakan jenis
baru bagi ilmu pengetahuan. Potensi ekonomi merupakan potensi yang dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti manfaat sarang walet yang
mempunyai nilai jual tinggi. Namun, dua potensi lainnya juga dapat
memberikan kontribusi pada ekonomi, meskipun perannya tidak secara
langsung.
VII. Ancaman
Seiring laju pembangunan, kawasan karst menghadapi satu ancaman
yang sangat besar terutama meningkatnya aktivitas manusia di kawasan karst
dan gua. Beberapa ancaman yang nyata adalah meningkatnya intensitas
penambangan batu kapur yang terjadi di daerah Bedoyo (Ponjong).
Penambangan fosfat dan guano merupakan ancaman tersendiri untuk
kelestarian

ekosistem

gua.

Sebab,

dengan

hilangnya

guano

akan

menghilangkan sumber bahan organik utama bagi ekosistem gua yang akan
mempengaruhi keseluruhan kehidupan fauna di dalam gua. Seperti yang
telah bertahun-tahun terjadi, penambangan fosfat di Gua Lawa (Ponjong)
telah menghancurkan lorong-lorong gua.
Penangkapan

kelelawar

juga

suatu

ancaman

serius

bagi

keanekargaman hayati karst. Di daerah Gunung Sewu, aktivitas penangkapan


kelelawar terjadi di Luweng Ngeleng yang dijual untuk obat. Aktivitas
penangkapan kelelawar hampir terjadi di hampir semua kawasan karst yang
mempunyai gua-gua, namun di beberapa daerah terdapat kepercayaan yang
melarang untuk menangkap kelelawar, seperti di Sulawesi dan Tuban, Jawa
Timur.

Pembuatan dam untuk keperluan konsumsi air minum, seperti di Gua


Bribin dan Seropan, Gunung Sewu, juga memberikan perubahan yang nyata
terhadap lingkungan gua. Pembuatan dam akan merubah sistem hidrologi
dalam gua, seperti perubahan aliran air. Lorong-lorong yang tadinya lembab
karena dialiri air dapat menjadi kering karena sudah tidak ada lagi aliran
air, begitu juga sebaliknya lorong yang kering dapat menjadi terisi oleh air
dan mengancam punahnya fauna terestrial di dalam gua.
VIII. Konservasi
Gua, sebagai lingkungan yang khas dan unik, memerlukan perlindungan dan
pengelolaan yang semestinya, mengingat potensinya cukup besar di
Indonesia. Beberapa pertimbangan perlunya perlindungan gua dan karst
adalah:
1. Gua merupakan lingkungan yang sangat rentan sekali terhadap
perubahan lingkungan.
2. Gua adalah empat untuk menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati
yang unik.
3. Fauna yang hidup di dalamnya sangat rentan terhadap kepunahan
karena biasanya mempunyai populasi yang sangat kecil dan tingkat
toleransi terhadap perubahan lingkungan sangat sempit.
4. Gua merupakan sebuah laboratorium alam untuk mempelajari biologi
dan evolusi makhluk hidup serta sejarah iklim masa lampau.
5. Gua adalah tempat tinggal beberapa fauna yang penting untuk
keseimbangan ekologi (kelelawar) dan juga fauna bernilai ekonomi
tinggi (walet).
6. Gua mempunyai peninggalan sejarah budaya yang penting.

7. Gua berperan sebagai sumber perokonomian yang penting terutama


sebagai penampung sumber air bawah tanah.
8. Gua merupakan tempat untuk wisata yang bernilai ekonomi tinggai
jika dikelola secara benar.
Beberapa pertimbangan lain pun masih banyak yang belum diungkapkan,
namun pertimbangan di atas sudah cukup untuk menjadikan dasar
perlindungan terhadap ekosistem gua karst. Di Indonesia sendiri, belum
banyak gua yang dilindungi oleh undang-undang, namun ada beberapa yang
dilindungi, seperti perlindungan terhadap Luweng Jaran yang sangat terkenal
dengan keindahan dekorasi guanya. Sementara laju kerusakan ekosistem gua
sangat cepat dengan cepatnya laju penurunan kualitas lingkungan di sekitar
kawasan karst maupun dalam karst karena aktivitas manusia yang tidak
terkendali. Perlindungan terhadap kawasan karst biasanya berbenturan
dengan kepentingan ekonomi sesaat yang kadang tidak mempertimbangkan
kepentingan ekonomi jangka panjang.
Untuk mewujudkan kelestarian gua-gua karst diperlukan beberapa
tindakan nyata yang dapat mencegah atau setidaknya mengurangi laju
kerusakan ekosistem gua. Hal yang mendasar untuk perlindungan ekosistem
gua dan karstnya adalah menumbuhkan kesadaran pentinganya karst dan gua
bagi umat manusia di setiap lapisan masyarakat, mempertahankan tradisi
maupun kepercayaan masyarakat lokal yang dapat mendukung pelestarian
gua dan karst. Di samping itu, juga dapat dimanfaatkan secara bijaksana
sebagai sumber pendapatan, melakukan survei potensi biotik dan abiotik,
sebagai landasan untuk pengelolaan gua, terutama pemantauan terus-menerus
untuk memahami dinamika yang terjadi dalam gua, dan sekaligus sebagai
acauan peringatan dini terhadap perubahan lingkungan, pengelolaan wisata
gua secara bijaksana berlandaskan kaidah- kaidah yang sesuai untuk
mendukung kelangsungan ekosistem gua, pembuatan sistem zonasi kawasan
karst sebagai dasar pemanfaatan kawasan karst.

DAFTAR PUSTAKA
Rahmadi, C., Y.R. Suhardjono, dan J. Subagja. 2002. Komunitas Collembo
Guano Kelelawar di Gua Lawa Nusakambangan, Jawa Tengah
dalam Biologi 2(14): 861-875
http://www.wisatamelayu.com/id/article.php?a=N0pGL3c%3D=
http://kanopiindonesia.org/nilai%20penting%20biota%20gua%20di%20kawawab
%20karst%20gunung%20sewu.html
http://www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid=188&fname=all.htm
http://mafesripala.sakuntalaku.com/2007/12/17/para-penghuni-kegelapan-gua
indonesia/

EKOSISTEM KARST
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ekologi
Dosen Pengampu : Drs. Sarwono, M.Pd

Di susun oleh:
DWI PARTINI
K5407017

PROGRAM STUDI GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008

Anda mungkin juga menyukai