Anda di halaman 1dari 7

2.

Kortikosteroid
2.1. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik
(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, dan rangsangan angiotensin II.
Hormon ini berperan pada berbagai sistem fisiologis pada tubuh, misalnya sebagai
respon terhadap stres, sistem kekebalan tubuh, dan reaksi inflamasi, metabolisme
karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah, serta prilaku seseorang.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis
yang menonjol darinya, yakni:
1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan dalam pengendalian
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, memiliki efek anti inflamasi dengan
cara menghambat enzim fosfolipase A2, serta dapat pula menurunkan kinerja
eosinofil.
2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar
elektrolit dan air, dengan cara retensi air dan garam di ginjal.
2.2.

Klasifikasi

Kortikosteroid Sistemik
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan, berdasarkan masa
kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan kerja
lama (>36 jam).
Tabel 1 Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen sediaan kortikosteroid
Kortikosteroid
Kortisol
(Hidrokortison)
Kortison
Kortikosteron
6-metil
prednisolon
Pludrokortison
(Mineral
kortikoid)

Potensi
Retensi
Natrium
1

Lama Kerja

Dosis
Ekuivalen (mg)

20

0,8
15
0,5

0,8
0,35
5

S
S
I

25
4

125

10

Antiinflamasi

Prednison
Prednisolon
Triamnisolon
Parametason
Betametason
Deksametason
Keterangan:

0,8
0,8
0
0
0
0

4
4
5
10
25
25

I
I
I
L
L
L

5
5
4
2
0,75
0,75

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV


S: kerja singkat (t biologik 8-12 jam)
I : intermediate, kerja sedang (t biologik 12-36 jam)
L : kerja lama (t biologik 36-72 jam)
2.3.

Farmakodinamik
Glukokortikoid pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid akan berdifusi

atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor
sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein
dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana
akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan
protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada
keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan
DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja
glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik
jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur
respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan
balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin
diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.
2.4.

Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.

Kadar kortikosteroid yang tinggi dapat dicapai dengan cepat dalam cairan tubuh, jika
ester kortisol dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. Efek kortisol dan ester
memiliki durasi yang lama dapat diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia
sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena
perubahan struktur juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.

Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang


synovial. Penggunaan jangka panjang atau penggunaan pada daerah kulit yang luas
dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis protein plasma yaitu
globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas
ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya relatif
tinggi. Oleh karena itu, kortikosteroid pada kadar rendah atau normal, sebagian besar
kortikosteroid terikat pada globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah
hormon yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat
globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk
berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroi; kortisol mempunyai afinitas tinggi
sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukuronat dan aldosteron
afinitasnya rendah.
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin
pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali,
namun hal ini tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif
memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi
ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta menghasilkan
senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati.
Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C 3 melalui gugus hidroksinya
secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukuronad membentuk
ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar
dan sebagian kecil di ginjal.
Oksidasi gugus 11- hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar dan
secara lambat di jaringan ekstrahepetik. Kortikosteroid dengan gugus keton untuk
aktifitas biologiknya pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil;
sedangkan reduksi gugus keton pada atom C 20 hanya memberikan senyawa dengan
aktifitas biologik yang lemah.
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C 17 akan dioksidasi menjadi
17-ketosteroid yang tidak mempunyai aktifitas kortikosteroid tetapi bersifat
androgenik. Sekresi 17-ketosteroid dalam urin dapat digunakan sebagai ukuran
aktifitas hormon kortikosteroid dalam tubuh.

Steroid radioaktif setelah penyuntikan IV sebagian besar di ekskresi dalam


urin dalam waktu 72 jam, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada.
Metabolisme kortisol diperkirakan paling sedikit 70% dari kortisol yang di ekskresi
mengalami metabolismenya di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitsr 1,5 jam.
Ikatan rangkap dan atom C1-2 atau subtitusi atom flour memperlambat proses
metabolism dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.
2.5.

Indikasi

1. Terapi Substitusi
Pemberian kortikosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat
insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal
sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder). Insufisiensi adrenal
akut umumnya disebabkan oleh kelainan pada adrenal atau oleh penghentian
pengobatan kortikosteroid dosis besar secara tiba-tiba.
2. Terapi Non-Endokrin
Dasar penggunaan kortikosteroid dalam terapi ini adalah adanya efek antiinflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya
respon imun, obat ini bermanfaat. Pada keadaan yang perlu penanganan reaksi radang
atau reaksi imun untuk mencegah kerusakan jaringan yang parah dan menimbulakan
kecacatan, penggunaan kortikosteroid mungkin berbahaya sehingga perlu disertai
dengan penanganan tepat bagi penyebabnya. Preparat kortikosteroid adalah preparat
dengan kerja singkat dan kerja sedang misalnya prednison atau metil prednisolon
dengan dosis serendah mungkin. Kemungkinan efek samping harus terus dimonitor.
Contoh penggunaannya adalah
a. Fungsi paru pada Fetus, penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi
kortisol pada fetus. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi kepada ibu hamil akan
membantu pematangan fungsi paru pada fetus yang akan dilahirkan prematur
sehingga risiko terjadi respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular
dan kematian berkurang. Betamethasone atau Dexamethasone selama 2 hari
diberikan pada minggu ke 27 sampai 34 kehamilan. Overdosis akan menganggu
berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
b. Artritis. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien atritis rheumatoid yang
sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga

pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan
obat golongan anti inflamasi nonsteroid.
c. Karditis reumatik. Pemberian kortikosteroid belum terbukti lebih baik
dibandingkan salisilat, namun risiko penggunaan kortikosteroid lebih besar
dibandingkan salisilat, maka pengobatan karditis reumatik dimulai dengan
salisilat. Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan akut, pada pasien yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan salisilat saja, atau sebagai terapi permulaan
pada pasien dalam keadaan sakit keras dengan demam, payah jantung akut,
aritmia dan perikardithis.
d. Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang
disebabkan lupus eritematosus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali
amiloidosis.
e. Penyakit Kalogen. Pemberian dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg atau sediaan
lain yang ekuivalen) bermanfaat untuk eksaserbasi akut; sedangkan terapi jangka
panjang hasilnya bervariasi. Glukokortikoid dapat menurunkan mordibitas dan
memperpanjang masa hidup pasien poliartritis nodosa dan granulomatosis
Wegener.
f. Asma Bronkhiale dan penyakit saluran napas lainnya. Respon asma terhadap
farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemukan pasien yang
resisten terhadap steroid meskipun jarang dan tidak menunjukkan hasil baik
dengan inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan
akut pasien asam bronkhiale akut maupun kronik untuk mengatasi secara cepat
radang yang ternyata selalul terjadi pada saat serangan asma.
g. Penyakit Alergi. Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu
tertentu, dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan disamping
obat primernya; misalnya pada penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak,
reaksi obat, edema angioneurotik. Pada reaksi yang gawat, misalnya anafilaksis
dan edema angioneurotik glotis, diperlukan pemberian adrenalin dengan segera.
Pada keadaan yang mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dapat diberikan IV.
h. Penyakit mata. Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar
maupun pada segmen anterior.
i. Penyakit kulit. Bermacam-macam kelainan kulit dapat diobati dengan sediaan
steroid topikal.
j. Penyakit Hepar. Uji

klinis

menunjukkan

bahwa

glukokortikoid

dapat

memperpanjang masa hidup pasien nekrosis hepar subakut dan hepatitis kronik
aktif, hepatitis alkoholik dan sirosis non alkoholik pada wanita.

k. Keganasan. Leukemia limfositik akut dan limfoma dapat diatasi dengan


glukokortikoid karena efek antilimfositiknya. Prednison biasanya digunakan
bersama alkilator, antimetbolit dan alkaloid vinka. Selama pengobatan selain
evaluasi klinik perlu dilakukan pemeriksaan darah dan sumsum tulang.
l. Gangguan Hematologik lain. Anemia hemolitik autoimun yang idiopatik maupun
yang didapat memberi respon yang baik terhadap terapi steroid. Obat ini tidak
akan mengurangi hemolisis pada reaksi transfusi, meski mungkin dapat
mengurangi hemolisis yang diinduksi oleh obat (drug-induced hemolisis).
m. Syok. Kortikosteroid sering digunakan untuk mengatasi syok. Pada syok
anafilaktik mungkin manfaatnya adalah melalui efek permisif yaitu membuat
adrenalin bekerja lebih baik mengatasi syok tersebut, adrenalin tetap merupakan
obat utama yang harus diberikan. Kortikosteroid yang diberikan untuk syok
septik, sampai sekarang masih banyak pertentangan pendapat.
n. Edema Serebral. Glukokortikoid sangat efektif untuk mencegah atau mengobati
edema serebral, karena parsit atau tumor otak, terutama pada kasus metastasis.
o. Trauma Sumsum tulang Belakang. Uji klinik multisentra membuktikan manfaat
metilprednisolone dosis besar (30 mg/kgBB dilanjutkan infuse 5,4 mg/kgBB
perjam selama 23 jam), sebelum 8 jam setelah trauma akan mengurangi gejala
neurologis.
2.6.

Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan,
keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat
dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat
akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi
relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi
atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Keadaan-keadaan
tersebut membutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan
sebelum obat diberikan.

2.7.

Efek Samping

Efek samping kortikosteroid, antara lain:


1. Efek samping jangka pendek
1.

Peningkatan tekanan intraokuler mata (glaukoma)

2.

Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.

3.

Peningkatan tekanan darah

4.

Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang.

2. Efek samping jangka panjang.

Katarak

Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh


sehingga mudah patah.

Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal

Menstruasi tidak teratur

Mudah terinfeksi

Penyembuhan luka yang lama

(Buku Farmako UI)

Anda mungkin juga menyukai