Anda di halaman 1dari 14

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PASCA SALIN

Panduan Penatalaksanaan Pascasalin di Indonesia

Koordinator

: Johanes C. Mose

Sekretaris

: Udin Sabarudin

Anggota

: Hidayat Wijayanegara
Firman F. Wirakusumah
Sofie R. Krisnadi
Jusuf S. Effendi
Anita D. Anwar
Budi Handono
Setyorini Irianti
Adhi Pribadi
M. Alamsyah
Mintareja Teguh
Isharyah Sunarno
Herlambang
Khrismawan
Donel S

I. Tujuan Pedoman ( baru, revisi, melengkapi, perbaharui )

Sesuai dengan rekomendasi POGI 2010 tentang perubahan format buku panduan, maka
perlu dilakukan revisi terhadap Panduan Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin yang sudah
ditetapkan oleh HKFM POGI yang berlaku sejak 2006.

II. Harapan Dan Ruang lingkup

Dengan disusunnya pedoman ini


Penatalaksanaan

Perdarahan

Pasca

Salin

diharapkan didapatkan kesepahaman dalam


baik

dalam

hal

definisi,

diagnosis,

dan

penatalaksanaannya.
Ruang lingkup bahasan :
1. Insiden
2. Definisi
3. Klasifikasi
4. Diagnosis
5. Penatalaksanaan

III. Pendahuluan Dan Latar Belakang

Perdarahan pasca salin merupakan penyebab kematian maternal yang penting meliputi
hampir dari seluruh kematian meternal di seluruh dunia. Penyebab perdarahan pasca salin
yang paling sering adalah uterus tidak dapat berkontraksi baik untuk menghentikan perdarahan
dari bekas insersi plasenta ( tone ), trauma jalan lahir ( trauma ),sisa plasenta atau bekuan darah
yang menghalangi kontraksi rahim yang adekuat ( tissue ), dan gangguan pembekuan
( thrombin ). Saat ini telah dikeluarkan rekomendasi untuk melaksanakan manajemen aktif
persalinan kala III sebagai upaya pencegahan perdarahan pasca salin, akan tetapi masih terdapat
beberapa permasalahan yang belum terselesaikan seperti kesepakatan langkah - langkah
intervensi, metode - metode yang terbaik, dan syarat - syarat yang diperlukan untuk pemakaian
langkah - langkah tersebut secara aman. Sebagai contoh kapan pemberian uterotonika yang
paling tepat setelah persalinan? Obat mana yang direkomendasikan untuk keadaan yang
berbeda? Bagaimanakah cara pemberian obat yang tepat? Apakah perlu dilakukan klem dan
peregangan tali pusat dini? Apa makna dini pada perdarahan pasca salin ? Traksi pada tali
pusat sebelum pelepasan plasenta dari uterus dapat meningkatkan risiko komplikasi maternal.
Rekomendasi tersebut harus merupakan langkah - langkah yang dapat dikerjakan secara aman
oleh seluruh tenaga kesehatan.
Injeksi oksitosin telah direkomendasikan untuk pemakaian rutin pada manajemen aktif
persalinan kala III, namun pemberian injeksi memerlukan keahlian dan peralatan steril untuk
pemberian yang aman. Oksitosin dapat tidak aktif jika terpapar suhu tinggi. Misoprostol, suatu

prostaglandin analog dengan efek-efek uterotonika, dilaporkan lebih stabil dibandingkan


oksitosin dan telah diberikan secara oral, sublingual dan rektal pada beberapa studi. Saran - saran
telah dikemukakan untuk menyediakan tablet misoprostol pada saat tidak tersedia oksitosin pada
tenaga medis yang tidak ahli dan untuk wanita itu sendiri untuk mencegah perdarahan pasca
salin, namun ada risiko penyalahgunaan misoprostol yang dapat mengakibatkan meningkatnya
morbiditas bahkan mortalitas maternal.
Untuk memecahkan permasalahan ini, WHO telah melakukan Technical Consultation on
The Prevention of Post Partum Haemorrhage di Genewa pada tanggal 18 - 20 Oktober 2006
untuk membahas berbagai hal yang berhubungan untuk pencegahan PPH dan untuk menyusun
rekomendasi - rekomendasi.4
Selain mortalitas maternal, morbiditas maternal akibat kejadian perdarahan pasca salin
juga cukup berat, sebagian bahkan menyebabkan cacat menetap berupa hilangnya uterus akibat
histerektomi. Morbiditas lain diantaranya yaitu anemia, kelelahan, depresi, dan risiko tranfusi
darah. Histerektomi menyebabkan hilangnya kesuburan pada usia yang masih relatif produktif
sehingga dapat menimbulkan konsekuensi sosial dan psikologis. Selain itu di ketahui bahwa
perdarahan pascasalin yang masif dapat mengakibatkan nekrosis lobus anterior hipofise yang
menyebabkan Sindroma Sheehans.1,3
Trias keterlambatan sudah lama di ketahui menjadi penyebab terjadinya kematian
maternal yaitu terlambat merujuk, terlambat mencapai tempat rujukan, dan terlambat mendapat
pertolongan yang adekuat di tempat rujukan. Dua faktor yang pertama sering terjadi di negaranegara berkembang. Sedangkan faktor ketiga bisa terjadi baik di negara berkembang maupun di
negara maju. The Confidential Enquiries menekankan bahwa kematian karena perdarahan pasca
salin disebabkan too little done & too late , oleh karena itu perdarahan pasca salin yang
merupakan komplikasi obstetri ini merupakan masalah yang sangat menantang bagi para klinisi.1

IV. Identifikasi Dan Asesment Berbasis Bukti


V. Definisi - Definisi Dari Istilah Yang Dipakai ( sesuai dengan topik guideline )

1. Perdarahan pasca salin adalah perdarahan yang mencapai 500 ml atau lebih setelah

bayi lahir.
2. Perdarahan pasca salin primer (primary post partum haemorrhage ) adalah
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca salin.
3. Perdarahan pasca salin sekunder ( secondary post partum haemorrhage ) adalah
perdarahan yang terjadi setelah periode 24 jam tersebut.1,6 Pada umumnya perdarahan
pascasalin dini lebih berat dan lebih tinggi tingkat morbiditas dan mortalitasnya di
bandingkan perdarahan pasca salin lanjut.
4. Perdarahan pasca salin bisa disebabkan oleh 4 faktor yaitu kelemahan tonus uterus,
robekan jalan lahir ( dari perineum, vagina sampai uterus ), sisa jaringan konsepsi,
dan gangguan faktor pembekuan.
5. Manajemen aktif kala III terdiri dari pemberian oksitosin 10 IU intramuskuler 1 menit
setelah bayi lahir, melakukan peregangan tali pusat terkendali dengan melakukan
traksi berlawanan setinggi os pubis, masase uterus, jika tidak terjadi penurunan
plasenta traksi dihentikan dan tunggu kontraksi selanjutnya, dan setelah plasenta lahir
masase fundus uteri setiap 15 menit selama 1 jam untuk merangsang kontraksi.
6. Masase fundus uteri adalah meletakkan telapak tangan pada fundus uteri, kemudian
dengan lembut dan mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada fundus uteri
supaya uterus berkontraksi setiap 15 menit.
7. Kompresi bimanual eksterna adalah meletakkan satu tangan pada dinding abdomen
dan dinding depan korpus uteri di atas simfisis pubis, kemudian letakkan tangan yang
lain pada dinding abdomen dan dinding belakang korpus uteri sejajar dengan dinding
depan korpus uteri, setelah itu lakukan kompresi uterus dengan cara saling
mendekatkan tangan depan dan belakang agar pembuluh darah di dalam anyaman
miometrium dapat dijepit secara manual.
8. Kompresi bimanual interna adalah mengepalkan tangan dan tempatkan pada forniks
anterior, tekan dinding anterior uterus ke arah tangan luar yang menahan dan
mendorong dinding posterior uterus ke arah depan sehingga uterus ditekan dari arah
depan dan belakang, tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka ( bekas implantasi
plasenta ) di dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.

VI. Keterbatasan Data Dalam Pedoman

VII. Keterangan Sesuai Evidens Based Medicine Practice

Faktor risiko

Tabel 1. Faktor risiko untuk perdarahan pascasalin


Risiko PPH
Penelitian retrospekti
Penelitian prospektif
Odds Ratio (rentang)
Risiko relatif (99% CI)

PPH sebelumnya
Kehamilan ganda
Preeklamsia

2,9 8,4
2,8 4,5
2,2 5,0

Kala III memanjang


Kala II memanjang (> 20 mnt)
Fase aktif memanjang
Episiotomi
Usia ibu > 35
Anestesi umum
Kegemukan
Khorioamnionitis
Seksio sesarea sebelumnya
Multiparitas
Abrupsio plasenta
Plasenta previa
Retensio plasenta
Persalinan > 12 jam
Demam saat persalinan > 38
Berat lahir > 4 kg
Induksi persalinan

3,5 7,6
2,9 5,5
2,4 4,4
1,6 4,7
3,0
3,0
3,1
2,7
2,7
1,5
-

4,5 (3,0 6,6)


1,2 (0,3-4,2)
1,7(1,2-2,5)

2,1 (1,4 3,1)


1,4 (1,0 2,0)
1,6 (1,2 2,2)
1,1 (0,6 2,1)
12,6 (7,6 20,9)
13,1 ( 7,5 23,0)
5,2 (3,4 7,9)
2,0 (1,4 2,9)
2,0 (1,03 4,0)
1,9 (1,4 2,6)
1,7 (1,7 3,0)

Tabel 2 Bentuk persalinan dan risiko PPH > 500 mL


Bentuk persalinan
Risiko relatif terhadap PPH (99% CI)
Seksio sesarea tidak terencana
dibandingkan elektif
2,2 (1,4 3,5)
dibandingkan operasi pervaginam
3,7 (2,5 5,4)
dibandingkan persalinan spontan
8,8 (6,74 11,6)
Seksio sesarea elektif
dibandingkan operasi pervaginam
1,7 (0,98 2,8)
dibandingkan persalinan spontan
3,9 (2,5 6,2)
Operasi pervaginam
dibandingkan persalinan spontan
2,4 (1,6 3,5)
Sumber : (5)

VIII. Intervensi ( medisinalis, operatif, termasuk informed consent )

Bila perdarahan pasca salin terjadi harus ditentukan dulu kausa perdarahan itu dan
penatalaksanaannya dilakukan secara simultan meliputi perbaikan tonus uterus, evakuasi
jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka disertai dengan persiapan koreksi faktor pembekuan.
Tahapan penatalaksanaan perdarahan Pascasalin berikut ini dapat disingkat dengan istilah
HAEMOSTASIS.1
a. Ask for HELP
Segera meminta pertolongan, atau dirujuk ke rumah sakit bila persalinan di bidan /
PKM.1,6 Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi dan hematologis sangat penting.
Pendekatan multi disipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan. Monitoring
elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang penting untuk penentuan tahap tindakan
berikutnya.
b. Assess and resuscitate
Penting sekali untuk segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin dan
menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik overestimate jumlah darah yang hilang
dan bersikap proaktif daripada underestimate dan bersikap menunggu / pasif. Nilai tingkat
kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus
dimonitor. Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G - 16G, harus segera diambil spesimen
darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah, elektrolit dan penentuan golongan
darah, serta crossmatch ( RIMOT = resusitasi, infus 2 jalur, monitoring keadaan umum , nadi
dan tekanan darah, oksigen, team approach ). Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara cepat
sambil menunggu hasil crossmatch.
c. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood
Sambil melakukan resusitasi juga dilakukan upaya menentukan etiologi perdarahan pasca
salin. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen, bila ada risiko trauma
( bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit ) atau bila kondisi pasien lebih buruk
daripada jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput
plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent
placentae saat seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika
dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi pada kasus plasenta
praevia pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, dr. Sarah P.
Brown dan Queen Charlotte Hospital ( Labour ward course ) menyarankan untuk tidak

berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin dan kemudian dilanjutkan


dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan abdominal. Bila retensio
plasenta / sisa plasenta terjadi setelah persalinan pervaginam, dapat digunakan tamponade
uterus sementara menunggu kesiapan operasi / laparotomi.
d. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera ditangani dengan
masase uterus dan pemberian obat - obatan uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus
dilakukan kompresi bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan kanan di dalam
uterus dan telapan tangan kiri melakukan masase di fundus uteri.

1. Medisinalis ( regimen - regimen )


a. Oxytocin infusion / ergometrin / prostaglandin
Dapat diberikan oksitosin ( Syntocinon ) 40 unit dalam 500 cc normal salin dan
dipasang dengan kecepatan 125 cc / jam. Hindari kelebihan cairan karena dapat menyebabkan
edema pulmoner hingga edema otak yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena
hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic hormone ( ADH ) - like effect dan oksitosin.
Jadi monitoring ketat input dan output cairan sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam
jumlah besar.
Ergometrin dapat diberikan secara intramuskuler atau intravena dengan dosis awal
0,2 mg ( secara perlahan ). Dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan.
Pemberian ergometrin dapat diulang setiap 2 - 4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal
adalah 1 mg atau 5 dosis per hari. Ergometrin tidak boleh diberikan / kontraindikasi pada
preeklampsia, vitium cordis, dan hipertensi.
Bila perdarahan pascasalin tidak berhasil dengan pemberian ergometrin atau oksitosin,
dapat diberikan misoprostol per rektal 800 - 1000 ug.
Selain resusitasi cairan dan pemberian obat-obat uterotonik pada perdarahan masif perlu
diberikan transfusi darah, bahkan juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma ( FFP ) untuk
menggantikan faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP
( 15 m1 / kg ) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan

transfusi trombosit. Cryopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan
kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).
2. Operatif ( prosedure teknis operatif )
a. Shift to theatre
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang operasi.
Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput ketuban. Bila
diduga ada sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual dilakukan
selama ibu dibawa ke ruang operasi.
b. Tamponade intra uterine or uterine packing
Pada keadaan perdarahan masih berlangsung setelah langkah - langkah di atas, pikirkan
juga kemungkinan adanya koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade
uterus dapat membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi
kesempatan koreksi faktor pembekuan. Segera libatkan tambahan tenaga dokter spesialis
kebidanan dan hematologis, juga menyiapkan ruang ICU. Dapat dilakukan tamponade test
dengan menggunakan Tube Sengstaken, yang mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk
menilai keberhasilan penanganan PPH. Bila pemasangan tube tersebut mampu menghentikan
perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi bila
setelah pemasangan tube perdarahan masih tetap masif maka pasien harus menjalani tindakan
bedah.
Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah dilaksanakan
dan hanya memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan,
mencegah koagulopati karena perdarahan masif dan kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu
dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi medis. Walaupun saat ini yang
paling banyak dipakai adalah Sengstaken - Blakemore oesophageal catheter ( SBOC ), dapat
juga dipakai Rush urological hydrostatic baloon dan Bakri SOS baloon. Biasanya
dimasukkan 300 - 400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga
perdarahan berhenti. Balon tamponade ini dilengkapi alat untuk membaca tekanan intrauterin
sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan mendekati tekanan sistolik untuk menghentikan
perdarahan. Saat ini alat tersebut sedang dalam proses uji klinik setelah sukses dengan
pemakaian balon SBOC.

c. Apply compression suture


Harus selalu dipertimbangkan antara mempertahankan hidup dan keinginan
mempertahankan fertilitas. Sebelum mencoba setiap prosedur bedah konservatif harus dinilai
ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang
masih berlangsung, keadaan hemodinamik dan paritasnya. Keputusan untuk melakukan
laparotomi harus cepat setelah melakukan informed consent terhadap segala kemungkinan
tindakan yang akan dilakukan di ruang operasi.
Ikatan kompresi, pertama kali diperkenalkan oleh Christopher B - Lynch sehingga
tindakan tersebut dinamakan Ikatan B - Lynch ( B - Lynch suture ). Benang yang dapat
dipakai adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0 ( Ethicon ), chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa
adanya komplikasi. Akan tetapi perlu diingat bahwa tindakan B - Lynch ini harus didahului
test tamponade yaitu upaya menilai efektifitas tindakan B - Lynch dengan cara kompresi
bimanual uterus secara langsung di meja operasi.
Penting sekali kerjasama yang baik dengan ahli anestesi untuk menilai kemampuan
pasien bertahan lebih lanjut dalam keadaan perdarahan bila upaya konservatif gagal.
Khususnya di negara Indonesia, karena pasien seringkali datang ke tempat rujukan dalam
keadaan sudah kehilangan banyak darah dan cadangan darah yang minim atau tidak ada.
Dalam keadaan ini, lebih bijaksana bila klinisi langsung melakukan histerektomi, daripada
melakukan upaya konservatif. Upaya bedah konservatif hanya dilakukan bila kondisi pasien
stabil.
d. Systemic Pelvic Devascularization
a. Ligasi a. uterine.
b. Ligasi a. hipogastrika.
e. Subtotal or total abdominal hysterectomy

ALOGARITMA PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PASCA SALIN

Penatalaksanaan aktif kala III :


- Oksitosin pada saat atau setelah persalinan
- Tarikan tali pusat terkendali
- Masase uterus setelah plasenta lahir

Perdarahan masif
Tekanan darah menurun
Nadi meningkat

Kompresi bimanual eksterna


Oksitosin 20 IU dalam NaCl
Infus kristaloid 500 ml selama 10 menit

Kehilangan darah 500 ml


Perdarahan pasca salin

Eksplorasi traktus
genetalia bagian bawah
dan uterus
Evakuasi bekuan darah

Pemeriksaan plasenta

Observasi
pembekuan darah

EMPAT T

Uterus lembek
( tonus )

Robekan jalan lahir


Inversio ( trauma )

Retensio plasenta
Jaringan ( tissue )

Gangguan pembekuan darah


( trombin )

Misoprostol 1000 mcg per rectal


Metil ergometrin 0,2 mg IM
Karboprost 0,25 mg IM

Jahit robekan
Evakuasi hematom
Koreksi inversion uteri

Manual plasenta
Kuretase
Metotreksat

Transfusi :
- Fresh Frozen Plasma
- Faktor rekombinan VIIA
- Transfusi trombosit

Kehilangan darah > 1000 sampai 1500 ml


Perdarahan aktif

RIMOT :
RESUSITASI
INFUS 2 jalur jarum ukuran besar
MONITORING tekanan darah, nadi, produksi urin
OKSIGEN
TEAM APPROACH

Transfusi RBC, trombosit, dan faktor pembekuan


darah
Pemberian vasopressor, anestesi, hematologist,
pembedahan, ICU, tampon uterus, embolisasi
pembuluh darah, ligasi dan jahitan kompresi,
histerektomi

III. Lain Lain

IV. Informed Consent

Pemberian informed concent secara komplit, jelas dan benar terutama mengenai tindakan
yang akan terkahir yang akan dilakukan disertai dengan dampak yang akan terjadi di saat itu dan
pada masa mendatang.

IX. Penjelasan - Penjelasan Sesuai Dengan Nilai - Nilai Evidensnya

X. Isu - Isu Yang Terkait Dengan Pedoman

XI. Standar Audit

Penegakan diagnose, persiapan pre op, urutan tindakan yang dilakukan pada saat itu /
prosedur operasi, dan kelengkapan catatan medis.

XII. Manajemen Risiko ( medikolegal / pitt - fall )

1.Mengenal faktor resiko yang dapat menimbulkan perdarahan pasca salin antara lain :
- Adanya riwayat perdarahan pasca salin sebelumnya
- Kehamilan ganda
- Preeklampsia
- Kala III memanjang
- Kala II memanjang ( > 20 menit )
- Fase aktif memanjang
- Episiotomi
- Usia ibu > 35 tahun
- Anestesi umum
- Kegemukan
- Khorioamnionitis
- Riwayat seksio sesarea sebelumnya
- Multipara
- Abruptio plasenta
- Plasenta previa
- Retensio plasenta
- Persalinan > 12 jam
- Demam saat persalinan 380C
- Berat lahir > 4 kg
- Induksi persalinan
2. Memasukkan ke dalam kelompok resiko tinggi dan observasi dengan ketat
3. Mempersiapkan penanggulangan bila resiko terjadi ( darah )

4. Pendekatan tim penanggulangnan kegawatdaruratan medis


5. Memberikan informed consent

XIII. Jadual revisi yang akan datang setiap 3 tahun oleh pengurus HKFM yang baru.

XIV. Kepustakaan

1. Chandraharan E, Arulkumaran S. Management Algorith for Atonic Postpartum


Haemmorrhage. JPOG May/Jun 2005; (3 1)3: 106-12.
2. Schuurmans N, MacKinnon C, Lane C, Etches D. Prevention and Management of
Postpartum Haemorrhage. SOGC Clinical Practice Guidelines, J Soc Obstet Gynaecol Can
2000;22(4):271-81.
3.

Roman A, Rebarber A, Seven Ways to control Postpartum Haemorrhage. Cont OB/Gyn


2003;48 (3):34-53,.Available at:

http:// geocities.com /rltmm; 4e/pph.html Last retrieved

1/21/2006.
4. WHO Recommendation for the Prevention of Postpartum Haemorrhage.
5. NSW Pregnancy & Newborn Services Network. Framework for prevention, early recognition
and management of postpartum haemorrhage (PPH). 7 November 2002. NSW Health Dept.
Sydney 2002.
6. Schellenberg JC. Primary Postpartum Haemorrhage (PPH). Last edited. August 13,2003
Available at:http://www. gfmer.ch/Endo/ Lectures_09 / primary
_postpartum_haemorrhage.htm. Retrieved at: 21/1/2006.
7. Naib JM, Siddiqui MI, Jehangir S. The Role of prostaglandin in the management of primary
postpartum haemorrhage due to uterine atony/ hypotony and the impact of their use on the
need for obstetrical hysterectomy. JPMI 2004; 18(2).
8. Smith Kl, Baskett TF. Uterine compressions sutures as an alternative to hysterectomy for
severe postpartum hemorrhage. J Obstet Gynecol Can 2003; 25(3): 197-200.
9. Prendiville WJ, Elbourne D, McDonald D. Active versus expectant management in the third
stage of labour. Cochrane Database syst.Rev. 2003,3: CD000057.
10. Rogers J, Wood J, McCandlish R, et al. Active versus expectant management of labor; the
Hutchingbrooke trial. Lancet 1998; 35: 693-7.

11. Cameron MJ, Robson SC. Vital statistics: an overview. Dalam : Lynch CB, Keith LG,
Lalonde AB, Karoshi M, penyunting: textbook of postpartum hemorrhage a comprehensive
guide to evaluation, management and surgical intervention, edisi ke-1. Lancashire: Sapiens
Publishing; 2006.h.17-30.
12. B-Lynch C, Chez R. B-Lynch for Control of Postpartum Hemmorrhage Contemporary
Obstetrics and Gynecology.

In: Magann E F, Lanneau G S. Third stage of Labour.

Obstet Gynecol Clin N Am 32 (2005) 323-332; P.321-32)


13. Tamizian O, Arulkumaran S. The Surgical Management of Postpartum Haemorrhage. In:
Best Practice & Research Clinical Obstetric & Gynecology 2002, 16(1): 81-98.

Anda mungkin juga menyukai