Anda di halaman 1dari 10

DESENTRALISASI PEMBANGUNAN

Oleh Sutoro Eko Y.


Posisi Desa Dalam Pembangunan
Selama ini, desa menjadi obyek pembangunan pemerintah pusat, didukung
lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembagunan Asia dan juga
para ilmuwan sosial terutama yang berhaluan modernis-kapitalis atau developmentalis.
Pada tahun 1970-an, ada suatu konsep besar yang dilahirkan oleh Bank Dunia, ilmuwan
sosial, dan oleh pemerintah. Konsep tersebut terkenal dengan sebutan integreted rulal
development atau pembangunanan desa terpadu. Pembangunan desa terpadu ini, ingin
mengkafer segala hal yang berkaitan dengan desa. Sektor pendidikan, kesehatan, sarana
fisik dan sebagainya dikafer jadi satu, dan dijalankan secara sentral oleh pemerintah
pusat. Salah satu wadahnya adalah REPELITA. REPELITA mulai dijalankan di Indonesia
tahun 1969. REPELITA sebagai Integrated Rulal Development merupakan salah satu
bentuk strategi pembangunan desa terpadu yang diterapkan di seluruh dunia.
Konsep-konsep integrited rulal development, dibawa Bank Dunia ke Indonesia,
sebagai dampak dari teoritori pembangunan developmentalisme. Teori pembangunan
developmentalisme bertujuan bagaimana membangkitkan kapital di tingkat lokal dengan
cara penetrasi modal ke tingkat desa. Desa dijadikan sebagai pusat-pusat pertumbuhan.
Untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan, maka desa diusahakan menjadi
modern. Modernisasi desa dilakukan baik terhadap institusinya maupun terhadap
orangnya, dengan maksud memerangi kemiskinan dan keterbelakangan desa. Desa
diharapkan akan bertumbuh secara fisik, berubah seperti kota. Oleh karena itu, kalau kita
merujuk pada Michael Lepton, pembangunan desa yang dirancang oleh pemerintah dan
Bank Dunia, disebut sebagai pembangunan yang bias kota.
Pembangunan yang bias kota dimaksudkan untuk menjadikan desa sebagai basis
pendukung (support) bagi pembangunan kota. Pembangunan bias kota ini, memiliki
orentasi agar semua sumber daya desa dibawa ke kota. Implikasinya, terjadi urbanisasi
orang desa ke kota. Kota digebyargebyar sebagai simbol pembangunan modern. Hal
yang sama diharapkan terjadi di desa. Pembangunan desa dalam benak pikiran awam
adalah pembangunan fisik semata-mata. Pembangunan fisik itu, seperti jalan raya, sarana
transportasi, penerangan, air bersih dan sebagainya yang menghubungkan desa dengan
kota. Pembangunan fisik seperti itu, sampai sekarang sangat diakaui dan diagungagungkan masyarakat.
Pembangunan desa terpadu, yang dikendalikan secara sentralis oleh pemerintah
pusat memang harus diakui membawa hasil yang luar bisa. Selama ini, Orde Baru selalu
menceritakan tentang kisah sukses pembangunan desa terpadu. Kita bisa melihat, wajah
desa berubah dari yang dulunya tradisional, tidak ada sarana PUSKESMAS, Sekolah
Dasar (SD), listrik, jalan yang beraspal, berubah menjadi desa modern dengan wajah
yang sangat berbeda dengan wajah desa sebelumnya. Sampai dengan tahun 1970-an telah
tumbuh SD INPRES dimana-mana, diseluruh Indonesia. Tetapi pembangunan desa
terpadu di sektor pertanian gagal total.
Revolusi hijau yang dilancarkan waktu itu, bertujuan menciptakan swasbada
beras, gagal total. Tahun 1984, pemerintah Indonesia menargetkan menjadi negara
pengekspor beras, tetapi gagal. Para petani hanya menjadi korban revolusi hijau. Revolusi
Hijau justru manciptakan kemenangan bagi tengkulaktengkulak lokal, kapitalisme lokal.

Para petani setiap hari menjerit akibat harga pupuk yang semakin tinggi sementara hasil
pertanian mereka, sangat rendah. Banyak cerita lokal, ternyata hasil panen petani itu tidak
laba, dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkan petani untuk membiayai
kehidupan pertanian mereka. Apalagi misalnya, di kampungkampung masyarakat
kurang menghargai tenaganya. Tenaga dipakai untuk membeli pupuk. Hal itu yang selalu
menjadi problem. Fakultas Pertanian gagal total, khususnya dalam membangun basis
pertanian kuat di daerah pedesaan. Ini suatu yang sangat ironis. Indonesia sebagai negara
agraris, tetapi mengimpor beras dari Thailand, Vietnam, dan dari tempat-tempat lainnya.
Bahkan pada waktu terjadi krisis Jepang memberikan bantuan beras terhadap Indonesia.
Padahal Jepang, tidak punya lahan pertanian seperti Indonesia. Ini merupakan suatu
pukulan besar bagi program pertanian termasuk juga Fakultas Pertanian.
Dari segi pendanaan dan perencanaan, pembangunan desa terpadu direncanakan
dan dikendalikan oleh pemerintah pusat, dan bahkan dibiayai oleh hutang. Jadi ada dana
yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui banyak program, dimulai dari INPRES,
BANGDES, yang tahun 1969 mulai dari lima ratus rupiah (Rp.500), berakhir sekitar
tahun 1990an dengan jumlah Rp 10.500.000 yang dibagi rata untuk semua desa. Semua
desa, diseragamkan. Istilahnya hanya sedekah yang diberikan tanpa membuat
perencanaan. Dalam prakteknya, INPRES atau dana bantuan untuk desa, lebih banyak
dikorupsi oleh Kepala Desa, atau paling tidak untuk memenuhi kebutuhan Kepala Desa.
Jadi praktis manfaatnya tidak ada, padahal dana ini diperoleh dari hutang Indonesia
kepada lembaga-lembaga keuangan internasional. Hutang itu menjadi permasalahan yang
sangat besar. Pembangunan yang dipimpin hutang ini, di Indonesia justru menabur
korupsi, menabur diktatator, menabur ketergantungan, dan sebagainya.
Berkaitan dengan perencanaan, sejak tahun 1982, pernah dibuat perencanaan dari
bawah, butten up. Pembangunan mulai dari desa, kemudian naik ke kecamatan dalam
bentuk UDKP ( Unit Daerah Kecamatan Pembangunan), di bawa ke RAKORBANG,
kemudian diteruskan ke Jakarta. Model perencaanaan ini, menimbulkan banyak distrosi
dalam prakteknya. Dalam wacana publik, model perencanaan butten up tidak mendorong
pembangunan dari bawah ke atas, tetapi yang terjadi mboten up, tidak naik. Artinya,
desa-desa dipaksa membuat semacam daftar kebutuhan, bikin cara prioritas, tetapi begitu
sampai di tingkat kecamatan dipangkas, kemudian di tingkat kabupaten dipangkas lagi
dan seterusnya. Akibatnya, usulan perencanaan pembangunan yang dibuat desa, tidak
sampai ke tangan pemerintah pusat. Perencanaan pembangunan yang berhasil sampai di
tingkat pusat, hanya perencanaan pembangunan yang disusun oleh kabupaten/kota. Di
kabupaten-kabupaten sendiri, sampai dengan sekarang, tetap menerapkan pola itu.
Kabupaten punya rancangan sendiri termasuk rancangan proyek. Semua rancangan
proyek dimiliki oleh kabupaten/kota, sehingga alur dari bawah ini, hanya sekedar
justifikasi. Akibatnya, perencanaan pembangunan dari bawah menjadi sangat elitis.
Semua sumber daya kekuasaan dan keuangan, dikuasai kabupaten. Jadi desa
selalu menjadi wilayah eksploitasi. Perencanaan pembangunan yang tidak naik ke atas
ini, menjadi sumber utama ketidakadilan terhadap desa. Masyarakat desa, selalu berharap
bahwa perencanaan pembangunan yang mereka buat, dapat diterapkan atau dijalankan
dengan baik. Akhirnya pola perencanaan yang sudah terdesentralisasi itu, justru semakin
rusak, tidak legitimate di mata masayarakat. Dalam konteks ini, pemerintah lagi-lagi
menerapkan program pembangunan desa yang terpusat. Misalnya, adanya program
pengembangan kecamatan, P2KP, P3DP, PMPD, termasuk IDT. Jadi semua dibangun di

tingkat pusat, didukung oleh lembaga hutang seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan
Asia. Yang membedakan cara pandang perencana pembangunan tahun 1990an dengan
cara pandang tahun 1970-an, terletak dalam konsepnya yang berbeda.
Tahun 1970-an konsepnya adalah integrited rulel development atau pembangunan
desa terpadu, mulai tahun 1990-an, konsep itu diubah oleh Bank Dunia dengan konsep
sustainable livelihood atau penghidupan masyarakat desa yang berkelanjutan.
Sustainable livelihood ini berbeda dengan integrited rule development yang lebih
berorentasi pada pembangunan fisik dan material. Bank Dunia menganggap
pembangunan desa terpadu telah gagal. Bank Dunia menyadari bahwa ternyata ada aspek
intitusional, ada aspek manusia, aspek keterlibatan warga yang diabaikan pada tahun
1970-an, sehingga yang terjadi adalah bias pembangunan fisik dan material yang gagal
membangun kepemilikan lokal (local sense of belonging). Masyarakat lokal, tidak merasa
memiliki hasil-hasil pembangunan tersebut. Justru mereka mengatakan bahwa
pembangunan menjadi urusan pemerintah, sehingga banyak monumen-monumen atau
hasil-hasil pembangunan dalam bentuk fisik, tidak berguna, karena tidak dirawat baik
oleh mayarakat. Mereka menganggap pembangunan fisik itu, sebagai proyeknya
pemerintah. Model perencanaan pembangunan terpusat ini, dipandang oleh para sosiolog,
menghancurkan modal sosial seperti gotong royong, karena masyarakat tidak merasa
memiliki pembangunan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Kalau di Jawa gotong royong
masih lumayan. Gotong royong menjadi modal swadaya, walaupun dimobilisasi oleh
ketua RT, tokoh masyarakat, kepala dusun, dan sebagainya. Tetapi kalau kita melihat di
banyak tempat di luar Jawa, gotong royong sudah tidak ada. Di Papua, tidak ada swadaya
mayarakat. Kalau mau membangun jalan harus ada dana dari pemerintah. Padahal daya
jangkau pemerintah sangat terbatas. Program-program yang muncul tahun 1990-an
termasuk PPK (Program Pengembangan Kecamatan), berupaya mengurangi peran hirarki
birokrasi. Jadi peran-peran kabupaten justru dikurangi. Bantuan dari pusat, diharapkan
masuk langsung ke masyarakat lewat Bank. Dengan skema ini, diharapkan dapat
melibatkan partisispasi unsur-unsur nonpemerintah, terutama LSM.
LSM ini, diharapkan sebagai institusi yang tumbuh dari masyarakat, lebih bersih
menfasislitasi, dan memperkuat pemberdayaan masyarakat. Skema program PPK, secara
bijaksana dapat dijalankan. Program itu, sebenarnya punya misi besar misalnya,
bagaimana mendorong semangat demokratisasi di tingkat lokal, bagaimana
menyelesaikan persoalan-persolan lokal secara demokratis. Dengan program ini, setiap
desa dijatah sekitar 80-100 juta rupiah. Melalui program ini, masyarakat desa dan
pemerintah dapat membaginya secara demokratis. Uang 80100 juta, mau digunakan
untuk apa, tidak jelas, tetapi dana itu dikelola melalui forum desa. Forum Desa,
didampingi oleh Fasilitator Desa. Artinya kalau pembangunan yang dulu mengabaikan
partisipasi dan aspek institusi lokalnya, maka sekarang diupayakan ada partisispasi
masyarakat secara luas, supaya masyarakat memiliki rasa kepemilikan atas pembangunan
desa. Cuma persoalannya, hal ini harus dikaji ulang, karena lagi-lagi program ini adalah
program yang berbasis utang. Kita juga tidak tahu meskipun program ini, berusaha
memotong matarantai perencanaan pembangunan, tetapi di Jakarta tidak. Tangan-tangan
dari DEPDAGRI dan BAPPENAS terlibat, ikut merumuskan perencanaan pembangunan,
sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membiaya faslitator itu. Hal ini
bertentangan sekali dengan konsep desentralisasi menurut UU no 22/99. Desentralisasi
itu artinya memberikan peran yang seluas-luarsnya bagi pemerintah daerah untuk

mengelolah pemerintahan dan pembangunan daerah sendiri. Tetapi program PPK


sebenarnya juga merupakan program yang sentralistik, karena banyak anggaran yang
harus dikeluarkan untuk membayar tiap tenaga fasilitator, dirancang oleh pemerintah
pusat. Dulu sebenarnya dana itu dikelola oleh daerah, tetapi dengan melihat banyaknya
pembocoran-pembocoran yang dilakukan pemerintah daerah, maka diambil-alih oleh
pemerintah pusat. Kalau di satu sisi menurut UU no. 22/1999, pemerintah melakukan
desentralisasi, artinya memberikan peran yang seluas-luasnya bagi pemerintah daerah
mengelola pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya, tetapi di sisi lain PPK adalah
program yang sentralistik. Program PPK ini, merupakan jalan pintas sentralisasi desa
yang tidak melalui jalur desentralisasi.
Program-program seperti ini, dampak buruknya tidak memberikan pelajaran bagi
daerah mempunyai kepekaan dan kemampuan mendorong masyarakat desa semakin
berdaya. Kita bisa lihat di kabupaten-kabupaten. Orentasi kabupaten membangun desa
sangat indah, bisa dilihat dari pos belanja pembangunan, karena pemerintah daerah selalu
berlindung dari program-program yang datang dari situ. Mereka senang, karena ada dana
yang harus mereka makan bersama. Jadi program ini kurang mendidik bagi daerah,
karena memang pengalaman masa dulu, sentralisasi yang dijalankan terhadap daerah
hanya dicekokan begitu saja, tanpa diberikan bantuan. Implikasinya, sekarang ini,
pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mempercepat,
memacu atau mengembangkan pembangunan desa. Kemudian di sisi lain di tingkat
masyarakat juga, terjadi perubahan orentasi. Kalau ada perencanaan tahunan, ada
perencanaan dari bawah, inilah sebenarnya yang digunakan sebagai patokan bagi desa
untuk melangkah dalam pembangunan. Tetapi dengan masuknya program-program
seperti PPK dan P2MD, dst, justru menambah ketergantungan pemerintah desa. Ini
skema yang susah dibangun, efektivitasnya berkurang, bahkan di banyak tempat,
perhatian masyarakat berpindah dari perencanaan yang butten up ke PPK, karena PPK
duitnya jelas, sedangkan perencanaan dari bawah (dari kabupaten) belum tentu duitnya.
Kalau sekarang buat perencanaan nanti belum tentu pada tahun yang sama duitnya akan
keluar. Sementara PPK itu, duitnya pasti keluar. Point konteks yang ingin dikatakan di
sini adalah; Pertama, pembangunan desa selama ini, baik dari sisi perencanaan,
pengelolaan dan pendanaan berlangsung secara sentrlistik. Jadi pemerintah pusat yang
didukung oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, punya semacam blue
print. Hukum yang konperhensif, yang seragam yang mereka yakini bisa diterapkan di
seluruh Indonesia secara sadar. Kedua, aspek pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan desa, relatif kurang maksimal. Dalam arti memberikan ruang-ruang atau
membangkitkan potensi atau partasipasi masyarakat di tingkatan desa relatif kurang,
yang dapat dilihat dari suatu gejala rendahnya kepemilikan lokal terhadap penggunaan
program itu. Ketiga, pemerintah daerah sekarang, karena belajar pada pengalaman masa
lalu, tidak mempunyai kepekaan dan kemampuan dalam membangun desa. Bahkan ketika
daerah memperoleh otonomi pemerintah daerah belum berubah, belum mampu
mengelola desa dengan baik. Kita bisa melihat banyak daerah yang melakukan
pembangunan secara sensasi. Secara sensasi maksudnya adalah berlomba-lomba
membuat stadion, membangun air port, taman kota, dan sebagainya. Artinya,
pembangunan tetap bias kota. Gula itu selalu di tumpuk di kota, sehingga membuat orang
desa lari ke kota. Dimana-mana begitu. Kabupaten kota seperti, tidak punya orentasi.
Pendanaan dan perencanaan atau istilahnya dari sisi duit, gula tadi tersentralisasi di kota.

Jadi dampaknya jelas. Itu bagian dari ketidakadilan terhadap desa. Kemudian dari dulu
sampai sekarang kemajuan desa, tidak pernah siknifikan. Kritik David Korten, Robert
Chambers, tentang pembangunan bias kota, dapat dijadikan rujukan. Mengenai isu
tentang desa lebih menukik kritikan dari Robert Chamber, dibandingkan dengan David
Korten. David Korten hanya melihat teori pembangunan secara makro, seperti kritiknya
terhadap defelopmentalisme, modernisasi, dsb. Poinnya, desentaralisasi perlu dilihat
dalam pola pengelolan pembangunan desa, mulai dari pendanaan, perencanaan, sampai
pada pengelolaan. Itu memang perlu secara berencana, tidak hanya bottom up tetapi jug
self planning yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Desentralisasi politik adalah membagi kewenangan secara proposional terhadap
Desa. Kalau Desa sudah mempunyai kewenangan termasuk kewenangan dalam
mengelola pembangunan, maka desa kemudian membuat suatu skenario untuk
menerapkannya. Atas apa yang direncanakan di desa, didukung oleh desentralisasi
keuangan. Jadi ada dana yang dipindahkan dari pusat atau dari kabupaten yang digunakan
untuk membiayai sendiri pembangunan desa.
Untuk pembangunan di desa, kita orentasikan pada pelayanan yang paling
minimal. Paling minimal di sini artinya seperti perawatan terhadap jalan kampung,
perawatan terhadap posyandu, perawatan makam, masjid, dll. Kalau misalkan mau
membangun Gedung SD, atau perawatan Gedung SD cukup diserahkan kepada desa. Jadi
harus dipilah betul, kewenangan atau urusan-urusan apa yang bisa dikelola oleh desa.
Desa membuat perencanaan berdasarkan rambu- rambu desentralisasi politik, dengan
demikian desa tidak ngoyo negoro . Membikin perencanaan yang besar dengan paket
modal, lebih baik menggerakan pembangunan yang padat karya. Contohnya dulu ada
proyek padat karya dikampung saya, yaitu perbaikan tanggul sungai yang rusak. Itupun
dulu merupakan proyek sentralistik.
Kalau menurut saya, proyek semacam itu, bisa diserahkan ke desa. Secara teknis
sangat mudah, dan waktu itu yang namanya keterlibatan tenaga kerja, sangat besar. Pada
saat itu, kerja dari pagi sampai sore Rp 800 per hari, tetapi ukuran tahun 1980-an, jumlah
itu sudah lumayan. Itulah proyek-proyek padat karya. Yang lebih penting bagaimana
jalinan antara pemerintah pusat, kabupaten dan desa, membuat tantangan yang sangat
serius, melalui pengembangan potensi ekonomi lokal atau mengembangkan usaha kecil
home industry. Sampai sekarang pemerintah desa belum mempunyai kamampuan untuk
itu. Disamping memperoleh kewenangan atau ada desentralisasi politik, keuangan dan
pembangunan, dibutuhkan penguatan kapasistas di desa. Kalau kita berbicara di negaranegara besar seperti Cina. Cina memiliki kekuatan ekonomi luar biasa, karena sektor
usaha kecil dan menengah diperkuat betul oleh pemerintah.
Sampai sekarang, orang desa di sana meras enjoy tinggal di desa, tidak perlu
urbanisasi ke kota, bahkan data terakhir pemerintah Cina membuka sistem ekonomi
dengan memberikan tempat bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran.
Investasi itu dikembangkan di kota-kota dengan industri baru. Pemerintah mengajak
masyarakat berurbanisasi ke kota. Orang desa, ternyata tidak mau berpindah ke kota.
Mereka sudah merasa mandiri hidup di desa. Karena tidak mau, maka pemerintah Cina
mengundang tenaga kerja dari Indonesia. Cina luar biasa. Mereka tidak bermasalah
dengan globalisasi, karena fundamental ekonomi lokalnya sudah kuat. Bisa juga menjadi
contoh lokal self planning. Jadi kalau pembangunan desa di tingkat lokal itu, akan
berbicara tentang aspek-aspek institusional berkaitan dengan pemerintah desa,

pemerintah desa dengan warga, pemerintah desa dengan institusi yang lain, termasuk juga
persoalan perencanaan. Kedua persoalan kapasitas, kapasistas pemerintah desa beserta
organ-organnya, baik BPD, maupun LPMD dalam merencanakan maupun melaksanakan
perencanaan. Ketiga, aspek partisipasi. Partisipasi masyarakat, harus dikembangkan
dengan baik. Dari sisi demokrasi bagaimana aspirasi mereka terhadap kebijakankebijakan di tingkatan desa. Keempat, bagaimana desentralisasi baik politik, keuagan,
dan pembangunan bisa mendorong pengembangan ekonomi lokal. Saya kira ini bukan
sesuatu yang sulit, kalau kita serius menangani hal ini. Banyak individu yang sukses
tanpa difasilitasi. Kita juga bisa mencontoh pengalaman Korea Selatan dan Cina, dalam
mendorong ekonomi di tingkat lokal itu. Nah itu yang kita sebut dengan desentralisasi
pembangunan desa.
Kewenangan Desa
Desa selama ini hanya dijadikan sebagai tempat untuk membuang bantuan
program pembangunan yang diberikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sementara pemerintah daerah sendiri memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam
membuat perencanaan pembangunan, pengentasan kemiskinan, perbaikan layanan publik,
maupun dalam mengurus masalah-masalah sosial. Implikasinya, hasil-hasil dari
perencanaan program tersebut tidak maksimal. Pemerintah daerah sendiri menjalankan
program-programmya, tidak disertai analisis yang memadai berkaitan dengan
keberlanjutan program-program yang dilaksanakannya. Akibatnya, pembangunan desa
sering diidentikan dengan penanggulangan kemiskinan. Padahal pembangunan desa,
tidak sekedar merubah wajah kemiskinan desa, tetapi bagaimana memaksimalkan
pelayanan publik di desa.
Selama ini swadaya di desa dieksploitasi oleh pemerintah dengan memberikan
bantuan intensif alakadarnya, yang seharusnya tidak perlu. Swadaya sendiri hanya hidup
di Jawa, sementara di luar Jawa tidak ada. Padahal swadaya merupakan suatu modal
sosial yang harus dimiliki masyarakat desa supaya survive. Tetapi pemerintah tidak bisa
berlindung dibalik sewadaya ini. Sewadaya tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk
memperkecil perhatian pemerintah terhadap masyarakat desa. Bagaimana sekarang
policy atau kebijakan yang berhubungan dengan desa dibuat secara affirmative,
bagaimana supaya seluruh dana yang dialirkan ke kabupaten, dibuatkan juga prosentase
yang jelas untuk dialokasikan ke desa. Oleh karena itu, orentasi pembangunan desa harus
dikaji ulang, tidak hanya sekedar merubah wajah desa secara fisik, tetapi juga harus
membangkitkan transformasi sosial masyarakat desa.
Dalam teori Pentagon, desa dipandang memiliki modal sosial, fisik, alam,
keuangan dan modal manusia. Pembangunan desa dilihat sebagai strategi bagaimana
menjadikan modal ini menjadi satu, menjadi kekuatan yang terpadu dalam membangun
desa, sehingga desa tidak mengalami kerentanan. Juga harus diperhatikan aspek relasi
antara desa dengan kabupaten. Karena itu, sekarang berkembang satu pradigma
pembangunan desa yang integrated, terpadu, yang berkelanjutan berbasis pada
masyarakat. Berbasis pada masyarakat tidak berarti bahwa desa dibangun sendiri oleh
masyarakat, tetapi harus ada desentralisasi. Artinya pemerintah juga harus melakukan
transfer kewenangan, uang, tanggungjawab pada desa.
Sebenarnya menuru UU No.22/1999, ada tiga desentralisasi yang diberikan
kepada kabupaten. Pertama, adalah desentralisasi politik yang berbicara tentang

pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Daerah


diberikan kewenangan yang luar biasa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Dalam konteks ini, daerah sebenarnya harus memiliki perencanaan sendiri.
Perencanaan yang berbasis pada kapasitas masing-masing sektor yang ada di daerah.
Kedua, adalah desentralisasi keuangan. Dalam UU No.25/1999, daerah diberikan
kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri, sehingga daerah tidak sepenuhnya
tergantung pada pemerintah pusat, meskipun uang didatangkan dari pemerintah pusat.
Sehingga daerah tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Itu artinya
otonomi tidak berhenti hanya dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah), tetapi juga
substansinya adalah keadilan. Ketiga, adalah desentralisasi pembangunan. Aspek yang
paling penting dari desentralisasi pembangunan adalah perencanaan. Kalau dulu dikenal
dengan adanya perencanaan dari bawah, mulai dari desa sampai ke pusat melalui
berbagai macam mekanisme seperti MUSBANGDUS, tetapi dengan adanya otonomi
daerah, perencanaan model ini mulai dipotong, tidak sampai ke tingkat pusat, tetapi
berhenti hanya sampai di tingkat kabupaten saja. Jadi kita tidak lagi mengenal model
bottom up planning, tetapi decentralization planning atau perencanaan yang
didesentralisasikan ke kabupaten. Perencanaan yang decentralization planning ini
disebut juga dengan regional self plainning atau local self planning. Jadi skemanya,
perencanaan dari bawah tetap berjalan, dari MUSBANGDUS terus ke MUSBANGDES,
di bawa ke UDKP dan berhenti di RAKORBANG. Jadi tidak lagi sampai ke tingkat
pusat. Ini suatu lompatan.
Kalau bottom up planning disebut dengan democratic planning, maka yang
menghentikan perencanaan sampai di tingkat kabupaten ini disebut dengan
decentralization planning. Hal ini sebenarnya merupakan suatu lompatan yang luar biasa.
Tetapi dalam konteks ini, ada beberapa titik lemah, yakni belum maksimal dijalankan,
karena dari segi keuangan, perencanaan yang dibuat oleh kabupaten ini, tidak begitu
berarti, jika dibandingkan dengan perencanaan yang sebelumnya dibuat oleh pemerintah
pusat secara sentral, didukung oleh keuangan yang mantap. Apalagi perencanaan yang
dibuat oleh pemerintah pusat, didukung oleh lembaga-lembaga donor internasional yang
anggarannya sangat jelas. Program-program yang ada, yang disusun oleh pusat, tidak
melalui sekema desentralisasi, malah matarantai birokrasi yang ada di daerah, dikurangi
peranaannya. Seperti PPK, memberikan peran yang besar pada institusi community base
organization (CBO) melalui fasilitator yang tersebar di setiap desa. Organisasi
nonpemerintah ini diharapkan banyak bermain dalam menjalankan program yang
dilaksanakan oleh pemereintah. Peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah provinsi,
BAPPEDA, dan dinas-dinas daerah, maupun kecamatan, tugasnya hanya fasilitasi dan
kordinasi.
Dampaknya, terjadi clash antara perencanaan yang terdesentralisasi tadi dengan
perencanaan yang dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat. Hal ini membuat konsentrasi
menjadi bertambah. Perencanaan yang dibuat sendiri oleh daerah, dikacaukan oleh
perencanaan yang datangnya dari pemerintah pusat. Banyak pengalaman, misalnya di
Gunung Kidul, masyarakat bawah lebih suka menjalankan program PPK, dibandingkan
dengan program-program yang dijalankan oleh pemerintah kabupaten. Karena program
RAKORBANG, uangnya tidak jelas, sementara program PPK, uangnya sangat jelas
misalnya 80-100 juta rupiah. Hal ini menyebabkan implementasi program menjadi tidak
terpadu. Terpadu maksudnya, perencanaan sektor yang dibuat oleh kabupaten, tetap

terkalahkan oleh perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Sementara pemerintah
kabupaten sendiri sangat senang dengan mekanisme seperti itu, karena dia bisa
tergantung dengan pemerintah pusat.
Kabupaten menjadi tergantung, tidak perlu membuat perencanaan yang memadai, tidak
perlu mengeluarkan dana yang cukup, tetapi menunggu dana dari pusat. Kalau kita
belajar dari negara lain, pemerintah pusat sebenarnya hanya berfungsi sebagai fasilitator,
dan membantu penguatan pemerintah daerah. Program tetap dijalankan oleh pemerintah
daerah, dipusatkan di daerah dan direncanakan sendiri oleh daerah. Ini merupakan
kelemahan pertama dari praktek perencanaan yang decentralization planning dan
democratic planning. Kelemahan yang kedua, decentralization planning yang berbasis
pada kabupaten, ternyata tidak menjangkau, tidak responsif pada desa sama sekali.
Perencanaan ini rawan dengan manipulasi, sehingga akses desa sangat berkurang. Oleh
karena itu, kita mengembangkan suatu pemikiran alternatif, bagaimana desentralisasi
menjadi suatu unit yang bisa dibawa sampai ke desa. Desentralisasi kewenangan,
keuangan dan pembangunan menjadi kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang harus
dibawa sampai ke desa. Desa mesti mempunyai kewenangan di dalam mengambil
keputusan tentang pembangunan dan keuangan. Urutanya kewenangan dulu, kemudian
pembangunan dan keuangan. Itu harus di bawa sampai ke desa. Desentralisasi
kewenangan yang harus dibawa sampai ke desa, mencakup kewenangan desa dalam
membuat peraturan desa. Yang paling penting adalah, desa mampu mengidentifikasi
kewenangan-kewenangan yang bisa dilakukan dan diurus oleh desa sendiri. Misalnya di
dalam bidang pertanian, apa yang menjadi kewenangan desa, di dalam kependudukan
apa, di dalam bidang kesehatan apa, di dalam bidang pendidikan apa, karena, tidak
semuanya harus diserahkan kepada desa. Sehingga jelas apa yang menjadi urusan pusat,
provinsi, kabupaten dan desa.
Jika semuanya clear, maka ini yang disebut dengan local self planning, dimana
desa membuat perencanaan sendiri atas kewenangan pembangunan dan keuangan yang
telah diberikan ke desa. Keuangan yang dialokasikan ke desa didasarkan pada
kewenangan perencanaan dan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah kabupaten. Ini alternatif yang pertama. Desentralisasi pembangunan itu,
intinya adalah memberikan kewenangan kepada desa untuk merencanakan sendiri
pembangunannya sesuai dengan kemampuannya. Kedua, supaya local self planning ini
bermakna, membutuhkan pembangunan lokal yang berbasis masyarakat desa. Itu yang
kita sebut dengan demokratisasi dalam pembangunan desa. Artinya, kalau berbasis pada
masyarakat, point terpenting adalah partisipasi di dalam perencanaan pembangunan desa
dan APBDes. APBDes, sangat penting sebagai politik anggaran. Dana-dana yang masuk
di kabupaten dari pusat dimasukkan ke dalam APBdes untuk menghindari terjadinya
kebanjiran proyek ke desa yang tidak berbasis pada kebutuhan desa.
Kalau pusat hanya melakukan fasilitasi dan kordinasi, kemudian pelaksanaan
program diserahkan sepenuhnya kepada kabupaten, maka kabupaten bisa
mengidentifikasi segala kebutuhan yang ada di desa. Karena itu, dana yang dialokasikan
ke desa berfungsi untuk mendukung perencanaan yang sudah ada di desa, sehingga
semuanya terencana, jangan non-budgeter. Di sini juga diperlukan partisipasi masyarakat
dan yang terpenting bahwa partisipasi ini, didasarkan atas saluran informasi yang
diterima masyarakat. Kuncinya ada partisipasi masyarakat dalam perencanaan sampai
dengan menikmati hasil-hasil dari pembangunan tersebut.

Decentralization planning ini, juga harus didukung oleh aspek yang lain yakni
democratic planning yang poin intinya adalah akuntabilitas pemerintah desa beserta
institusinya, transparansi di dalam pemerintahan, dan dalam pengelolaan keuangan dan
responsif. Responsivitas ini didasarkan pada kebutuhan masyarakat desa sendiri.
Anggaran APBDes harus mengkafer semua sektor yang ada di desa. Diperlukan
komitmen politik tingkat tinggi atau affirmative policy yang didasarkan pada kepentingan
masyarakat. Hal yang lainnya juga mencakup kapasitas dan kemampuan pemerintah
daerah dalam membuat perencanaan, alokasi anggaran, dan sebagainnya, sehingga dana
tidak dihabiskan oleh birokrasi. Kapasitas di tingkat desa, baik pemerintah desa, BPD
maupun institusi lain (masyarakat sipil) juga sangat penting dalam perencanaan
pembangunan. Diperlukan keterlibatan semua komponen yang ada di desa, masyarakat
sipil, pemerintah desa dan swasta. Masyarakat sipil yang ada di desa dan juga NGO perlu
diberikan peran, seperti dalam membuat mediasi antara rakyat biasa dengan pemerintah
desa. Masyarakat sipil ini juga penting untuk memediasi hubungan antara desa dengan
kabupaten.
Di sisi lain perlu ada perimbangan pelayanan publik. Pelayanan dasar diserahkan
ke desa, sedangkan pelayanan sektoral dilakukan kabupaten. Contoh yang paling pokok
menangani irigasi dan jalan. Jalan yang menghubungkan desa dengan desa adalah
pelayanan strategis. Tetapi kalau jalan atau irigasi yang menghubungkan antara kampung
dengan kampung, masuk dalam pelayanan teknis yang harus dilakukan oleh desa.
Selokan Mataram misalnya, merupakan pelayanan strategis, karena menghubungkan
antara desa. Yang belum dicermati adalah bagaimana orang desa diberikan kewenangan
untuk merumuskan sendiri pelayanan dasarnya. Harus ada undang-undang yang dibuat
oleh pemerintah pusat berkaitan dengan kewenangan dasar yang harus diurus sendiri oleh
desa.
Berkaitan dengan pelayanan sektoral yang harus dirumuskan sendiri oleh
kabupaten, perlu melibatkan desa dalam perencanaannya. Pertanyaannya adalah apakah
sekema perencanaan dari bawah melalui mekanisme MUSBANGDES sampai dengan
RAKORBANG, masih dibutuhkan, karena ini berbicara tentang perencanaan sektoral.
Poinnya harus ada kemampuan dinas-dinas yang didasarkan pada data-data, misalnya
berkaitan dengan kondisi kesehatan di seluruh wilayah kabupaten. Artinya perencanaan
itu, tidak hanya melibatkan sebanyak mungkin orang, tetapi juga berhubungan dengan
kepekaan dan kemampuan mengelola data. Misalnya, di Kabupaten Kulonprogo harus
dibuat identifikasi terhadap daerah-daerah yang rawan penyakit. Treatment-nya adalah
kapasitas untuk mengolah dan menguasai data. Data harus diperoleh dengan
menggunakan assessment, tidak selalu mengikuti model MUSBANGDUS sampai dengan
RAKORBANG segala.
Data memuat pilihan program yang sesuai dengan kebutuhan lokal yang tepat.
Kabupaten-kabupaten perlu ada konsentrasi-konsentrasi terhadap data-data yang penting,
bagaimana cara penanganannya, dan sebagainya. Contohnya di daerah-daerah endemis
penyakit malaria, kita pakai yang namanya JURKAM Malaria yang mengetahui persis
cara-cara penanganan penyakit malaria. Hal ini sangat efektif untuk mencegah penularan
penyakit malaria. Untuk mengidentifikasi persoalan semacam ini, diperlukan local self
planning yang didasarkan pada kemampuan dan kapasitas kabupaten untuk membuat
perencanaan sektoral. Hal yang sama juga, sangat penting untuk dilakukan oleh desa-

desa. Program-program sektoral ini, harus benar-benar berbasis pada data, harus terusmenerus diefaluasi dan diperlukan penguasaan terhadap data. ***

10

Anda mungkin juga menyukai