Studi Kawasan
Investor perlu memahami kawasan yang ditetapkan berdasarkan TGHK dan RTRWP.
TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) adalah pembagian hutan negara menurut fungsinya yaitu
hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, serta hutan produksi yang dapat dikonversi.
TGHK ditetapkan sejak tahun 1983 oleh Departemen Kehutanan yang disepakati oleh Pemerintah
Daerah serta sektor lainnya. RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) adalah pembagian
tata ruang wilayah propinsi sebagai penjabaran dari Undang Undang Tata Ruang Tahun 1992.
Dalam RTRWP dikenal pembagian ruang sebagai hutan lindung, kawasan budidaya kehutanan
dan kawasan budidaya nonkehutanan. Dalam implementasinya, sejak tahun 1993, antara TGHK
dan RTRWP dipaduserasikan. Salah satu propinsi yang hingga kini belum paduserasi adalah
Kalimantan Tengah. Di propinsi ini, masih 100 % diberlakukan TGHK, sehingga ijin lokasi yang
diterbitkan oleh Bupati setempat sering masih tumpang tindih dengan kawasan hutan menurut
ketetapan TGHK.
Oleh karenanya, langkah awal yang penting dilakukan dalam memilih atau mengambil
alih lahan adalah pemeriksaan kawasan. Di Indonesia terdapat dua kawasan dengan Penggunaan
yang berbeda, yakni Kawasan Hutan dan Kawasan Non Hutan atau dikenal oleh kalangan
perkebunan sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Pada Kawasan Hutan yang ditetapkan
berdasarkan TGHK maupun RTRWP, hanya Hutan Konversi yang masih memungkinkan untuk
dialih fungsikan menjadi APL apabila memperoleh persetujuan pelepasan kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan, namun dengan prosedur yang tidak mudah dan dapat ditolak oleh Menteri
Kehutanan dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan APL dapat digunakan untuk pengembangan
perkebunan dengan cukup mengajukan permohonan Ijin Lokasi kepada Bupati setempat. Oleh
karenanya, dalam perencanaan pembangunan perkebunan sebaiknya tidak memilih lokasi yang
masuk di dalam Kawasan Hutan dan untuk memastikannya, perlu dilakukan cross check melalui
Badan Pemetaan dan Planologi Nasional yang berada di Bogor (Malangyudo, 2014).
Hutan Lindung
Hutan Konservasi
KawasanHutan
Hutan Konversi
Studi Bio-physical
Pengkajian berikut adalah menyangkut tentang pelestarian lingkungan hidup dan
tentang persyaratan tumbuh untuk produktifitas tanaman kelapa sawit. Letak ketinggian lahan,
data agroklimat, kemiringan lahan, gambut dalam dan jenis tanah sangat perlu diperhatikan untuk
memastikan bahwa lahan yang akan dipilih adalah sesuai baik dari tinjauan aspek lingkungan
hidup maupun dari aspek persyaratan tumbuh untuk produktifitas. Studi awal untuk memperoleh
informasi tentang kondisi diatas dapat dilakukan melalui intepretasi citra satelit dan lain lain,
namun sangat disarankan untuk melaksanakan survey lapangan dengan menunjuk konsultan yang
sudah berpengalaman (Malangyudo, 2014).
Tanah
Kriteria kesesuaian tanah untuk produktifitas tanaman kelapa sawit di klasifikasikan
dalam empat kelas dari sangat sesuai (S1), Sesuai dengan faktor pembatas minor (S2), bisa
sesuai dengan banyak faktor pembatas (S3) dan tidak sesuai (N), seperti dipaparkan pada
tabel berikut ini :
Kondisi
S1
S2
S3
N
Tanah
Kedalaman
Tanah (cm)
Kemiiringan
Tekstur
Struktur
Konsistensi
pH
Permeabilitas
> 90
60 - 90
0 12
12 16
Sandy
Clay
Loam, Sandy loam
Loam
Strongly
Moderate.Developed
Developed
Gembur
Agak Gembur
>4
3,5 - 4
Tergenang
karena
Tidak Tergenang
sumbat
30 - 60
< 30
16 24
> 24
Sandy loam
Sand
Buruk
Sangat Buruk
Padat
3 3,5
Tergenang
musiman
Sangat Padat
<3
Tergenang
permanen
Fragmen
Tidak ada
Tidak ada
s/d 25 % laterit >25 % laterit
Batuan
Status Hara
Subur
Cukup Subur
Kurang Subur Tidak Subur
Sumber : Malaysian Society of Soil Science 1977 dalam Malangyudo (2014)
Iklim
Salah satu parameter yang sering digunakan mewakili kondisi iklim adalah water
deficit. Water deficit merupakan interaksi kompleks dari elevasi, bulan kering, curah hujan
dan penyinaran matahari. Diketahui bahwa dampak signifikan dari besarnya water deficit per
tahun sangat tidak suitable untuk kelapa sawit sebab akan menyebabkan turunnya
produktifitas hingga 54 65 % dan oleh sebab itu, area seperti ini menjadi tidak ekonomis
buat perkebunan kelapa sawit. Area tanpa adanya water deficit merupakan area yang ideal
untuk kelapa sawit., namun water deficit kurang dari 200 mm masih baik untuk kelapa sawit.
Water deficit antara 200 300 m menjadi faktor pembatas ringan untuk kelapa sawit,
sedangkan area dengan water deficit antara 300 500 mm menjadi area marginal land
perkebunan kelapa sawit (Caliman dan Southworth, 1998). Berikut ini adalah peta
perwilayahan (Zona) agroklimat di Indonesia dalam hubungannya dengan perkebunan kelapa
sawit (Malangyudo, 2014).
Zona
Karakteristik
Distribusi
Dampak
Aceh bagian
Barat, Water deficit rendah
Sumatera Utara bagian namun
radiasi
Barat,
Pulau
Nias, matahari
sangat
Sumatera Barat bagian kuat,
sehingga
utara.
produksi dapat turun
di musim kemarau.
Curah hujan 2500 - 3000 mm; Kalimantan Barat dan Water deficit kurang
1 2 bulan kering; lama Papua bagian Barat
dari 200 mm per
penyinaran matahari 6 jam per
tahun; Sesuai untuk
hari
Kelapa Sawit
Curah hujan 1750 3000 mm; Lampung bagian barat Water deficit 200
3 4 bulan kering; lama dan sebagian kecil Jawa 300 mm, sehingga
penyinaran matahari 5,5 6 Barat
produksi
rendah
jam per hari
selama
musim
kemarau
10
Bagian
timur
Jawa Tidak sesuai untuk
Barat, Jawa Tengah, Kelapa Sawit
Jawa Timur, Bali, bagian
selatan Sulawesi Selatan
dan
bagian
selatan
Sulawesi Tenggara.
11
pencarian tenaga kerja, penyelesaian ganti rugi, menghubungi calon pemborong dan lain-lain
(Malangyudo, 2014).
Desain Kebun
Maksud perencanaan/desain kebun adalah untuk merencanakan tata ruang alam kebun
dan afdeling yang terbagi atas: jaringan jalan, areal pembibitan, saluran air serta lokasi afdeling
dan blok.
a. Jaringan Jalan
Panjang dan kualitas jalan di kebun merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan dalam menjamin kelancaran pengangkutan bahan, alat dan produksi serta
pengontrolan lapangan. Rencana pembuatan jaringan jalan harus selaras dengan desain kebun
secara keseluruhan, yang disesuaikan dengan kondisi topografi dan kebutuhan kebun.
Berdasarkan kebutuhan di lapangan terdapat beberapa jenis jalan, antara lain:
Jalan Utama (Main Road), yaitu jalan yang menghubungkan antara satu afdeling dengan
afdeling lainnya maupun dari afdeling ke pabrik serta menghubungkan langsung pabrik
dengan jalan luar/umum. Jalan utama dengan lebar 6 & 8 m, dilalui kendaraan lebih sering
dan lebih berat, termasuk kendaraan umum, sehingga perlu diperkeras dengan batu. Jalan
utama biasanya dibangun secara terpadu dengan infrastruktur lain seperti perumahan, bengkel
dan kantor.
Jalan Produksi (Collection Road), yaitu jalan yang berfungsi sebagai sarana untuk
mengangkut produksi TBS dari TPH. Jalan ini terdapat diantara blok dan berhubungan
dengan jalan utama, dibuat tegak lurus terhadap baris tanaman. Jalan ini lebih kecil dari jalan
utama, dengan lebar 5 – 6 m dan pada tempat tertentu perlu diperkeras. Untuk satu
hektar diperlukan sepanjang 50 m.
Jalan Kontrol (Control Road), yaitu jalan yang terdapat di dalam setiap blok. Jalan kontrol
berfungsi untuk memudahkan pengontrolan areal pada tiap blok dan sebagai batas pemisah
antar blok tanaman. Jalan ini lebarnya 4 & 5 m dan tiap hektar membutuhkan 10 m
(Malangyudo, 2014).
b. Saluran Air
Perencanaan pembangunan saluran air didasarkan atas topografi lahan, letak sumber air,
dan tinggi muka air tanah. Sistem pengeluaran air berlebih (drainase) dibuat berdasarkan kondisi
drainase areal. Untuk lahan gambut, pengelolaan tata air sangat dominan, mengingat karakteristik
lahan gambut yang mengering dan mengkerut tidak balik (irreversible shrinkage) apabila
mengalami kekeringan (Malangyudo, 2014).
ASPEK SOSIAL
Pada dasarnya, penguasaan lahan menurut hukum negara maupun adat, memiliki
banyak kesamaan, karena pada hakekatnya disusun atas nilai-nilai sosial dan kesejahteraan
bersama di dalamnya. Sehingga penggunaan tanah yang mampu memberi nilai ekonomi lebih,
misalnya dengan membangun perkebunan besar, dapat diterima asalkan misalnya dilakukan di
atas prinsip keadilan. Jika berdasarkan akal sehat, tidak mungkin suatu masyarakat hukum adat
mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari
pada hubungannya dengan masyarakat masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam
lingkungan negara sebagai kesatuan, k arena akan berakibat terhambatnya usaha-usaha untuk
mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.
Pada umumnya orang hanya memahami bahwa HGU berlaku untuk tanah negara,
sebagaimana Pasal 28 ayat 1 UUPA dan Pasal 4 PP No. 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Namun Pasal 4 ayat 2 Permenag No. 5/1999
menyatakan bahwa: Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk
keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat
dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka
waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak
dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang
bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru
dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu
masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.
Harus dipahami bahwa di Indonesia secara garis besar hanya dikenal ada dua jenis Hak
atas Tanah, yaitu Hak Milik sebagai bentuk dari penguasaan tetap atas tanah dan Hak Pakai
dimana penguasaan atas tanah bersifat sementara atau tidak permanen. Hak Pakai dibagi menurut
penggunaannya, yang antara lain Hak Guna Bangunan untuk properti, Hak Guna Usaha untuk
perkebunan dan Hak Pakai untuk kepentingan lain lain.
Bagi perkebunan, Hak Guna Usaha baik diatas tanah negara maupun diatas tanah adat
pada hakekatnya adalah sama, yakni hak penguasaan tanah yang bersifat sementara atau tidak
permanen menurut kurun waktu tertentu. Ketika jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah
tersebut tidak dipergunakan lagi, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya
yang sah, yaitu kepada negara bila diatas tanah negara atau kepada masyarakat adat bila di atas
tanah adat atau pemilik perorangan. Bila penggunaannya akan dilanjutkan, maka harus dilakukan
berdasarkan ijin perpanjangan dari negara atau persetujuan baru dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih menghendaki.
Konflik sosial yang sering terjadi adalah akibat tidak adanya pemahaman tentang HGU,
baik dari pihak investor maupun masyarakat. Pada dasarnya dalam HGU tidak pernah terjadi
pengalihan Hak kepemilikan atas tanah, yang ada hanyalah Hak Pakai selama kurun waktu yang
di sepakati, yaitu selama usia HGU itu berlaku. Tanpa penjelasan melalui proses sosialisasi,
masyarakat menjadi tidak paham dan akan merasa kehilangan. Kompensasi yang diberikan pada
hakekatnya bukan GANTI RUGI, akan tetapi semacam BIAYA PINJAM PAKAI dimana pemilik
lahan juga akan menerima bagian kebun sesuai proporsi luas lahannya dalam konteks Program
Inti Plasma (Malangyudo, 2014).
Dalam hal ini lahan plasma melalui wadah koperasi akan dibuatkan sertifikat HGU atas
nama Koperasinya dan bukan sertifikat Hak Milik. Dengan demikian, ketika Ketika jangka
waktu HGU itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi, maka tanah tersebut
akan mudah untuk dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya yang sah. Melalui pola
seperti ini, potensi konflik sosial akan menjadi sangat kecil, namun terlepas dari semua itu,
pemilihan lokasi sebaiknya diarahkan pada area dimana perkampungan tidak banyak dan
pemanfaatan air untuk kebutuhan sehari hari tidak besar dan pemanfaatan lahan untuk
perladangan atau pertanian masyarakat juga tidak luas. Dari pengalaman, dapat dikatakan bahwa,
luas efektif yang dapat diperoleh untuk pembangunan perkebunan berkisar 60 % hingga 70 %
dari luas ijin lokasi yang diberikan oleh Bupati. Adapun faktor pengurang yang utama dapat
dilihat pada contoh berikut ini :
a. Inti Plasma
Pola pengembangan yang diterapkan atau dikembangkan oleh perusahaan harus
mengikuti pola pengembangan berdasarkan pola kemitraan sebagaimana yang diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan dimana Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B akan
membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus)
dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan, artinya adalah jika Perusahaan
membangun kebun milik Perusahaan (Inti). Komposisi inti dan plasma merupakan sebuah hasil
kesepakatan awal antara Pihak Inti dan Masyarakat yang harus dituangkan dalam sebuah
perjanjian ikatan kemitraan. Komposisi tersebut bervariasi dari 50 : 50 hingga 70 : 30 , dimana
pihak inti menguasai 70 % dan pihak Plasma 30 % (Malangyudo, 2014).
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Di dalam permentan tersebut, yaitu Pasal 5 dan
Pasal 6, menginformasikan bahwa untuk usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan
lahan lebih dari 25 hektar wajib memiliki izin usaha perkebunan untuk Budidaya (IUP-B),
sedangkan untuk luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda
Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari Bupati atau Walikota. Terkait dengan pola
usaha perkebunan, Pasal 22 UU No.18/2004 menyebutkan bahwa Perusahaan perkebunan
melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab,
saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar.
Adapun Pola kemitraan usaha perkebunan dapat berupa kerjasama penyediaan sarana produksi,
kerjasama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi, kerjasama operasional, kepemilikan
saham dan jasa pendukung lainnya.
Adapun berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Permentan No.
No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, dinyatakan
bahwa Perusahaan yang memiliki IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar
paling rendah seluas 20% (dua puluh persen) dari total luas areal perkebunan yang diusahakan
oleh perusahaan. Pembangunan kebun masyarakat untuk masyarakat tersebut dapat dilakukan
antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil yang dilakukan bersamaan dengan
pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
UU No.18/2004 memuat ketentuan bahwa usaha industri pengolahan hasil perkebunan
adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan
yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi. Pencapaian nilai tambah tersebut
dapat dilakukan di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan dan dilakukan secara
terpadu dengan usaha budidaya tanaman perkebunan, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27
ayat (3). Di samping itu, usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin
ketersediaan bahan bakunya dengan mengusahakan budidaya tanaman perkebunan sendiri,
melakukan kemitraan dengan pekebun, perusahaan perkebunan dan atau bahan baku dari sumber
lainnya, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 17 UU No.18/2004 dimaksud.
Guna menegaskan keterjaminan pasokan bahan baku bagi usaha industri pengolahan
hasil perkebunan, maka Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007
mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi
paling rendah 20% kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri, sebagaimana
termuat dalam ketentuan Pasal 10 Permentan dimaksud. di dalam atau di luar kawasan
pengembangan perkebunan dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budidaya tanaman
perkebunan, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27 ayat (3). Disamping itu, usaha industri
pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin ketersediaan bahan bakunya dengan
mengusahakan budidaya tanaman perkebunan sendiri, melakukan kemitraan dengan pekebun,
perusahaan perkebunan dan atau bahan baku dari sumber lainnya, sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 17 UU No.18/2004 dimaksud.
Guna menegaskan keterjaminan pasokan bahan baku bagi usaha industri pengolahan
hasil perkebunan, maka Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007
mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi
paling rendah 20% kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri, sebagaimana
termuat dalam ketentuan Pasal 10 Permentan dimaksud. Terkait dengan Perizinan usaha,
Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 mengatur bahwa untuk usaha industri
pengolahan hasil perkebunan yang WAJIB mendapat Izin Usaha Perkebunan untuk pengolahan
(IUP-P) adalah yang memiliki kapasitas produksi pengolahan 5 ton tandan buah segar per jam.
Sedangkan untuk yang berkapasitas dibawah dari kapasitas tersebut cukup mendaftarkannya yang
kemudian dibuktikan dengan Surat Tanda Daftar Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan
(STD-P) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
Dari uraian diatas jelas, bahwa IUP adalah wajib di miliki sebelum mulai melaksanakan
pembangunan Perkebunan, namun IUP itu sendiri tidak akan diterbitkan oleh Bupati atau
Gubernur sebelum pengusaha melaksanakan AMDAL diatas lahan yang sudah dipilih.
Izin Usaha Perkebunan (IUP) diberikan oleh :
Gubernur, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada pada lintas wilayah daerah
Kabupaten dan atau Kota;
Bupati atau Walikota, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada diwilayah daerah
Kabupaten atau Kota.
Izin Usaha Perkebunan berlaku selama perusahaan masih melakukan pengelolaan
perkebunan secara komersial yang sesuai standar teknis dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan.
Usaha perkebunan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia meliputi Koperasi, Perseroaan Terbatas (PT), Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Untuk memperoleh izin
usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Akte pendirian atau perubahannya yang terakhir,
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
c. Surat Keterangan Domisili,
d. Rencana kerja usaha perkebunan,
e. Rekomendasi lokasi dari instansi pertanahan,
f. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan,
g. Rekomendasi teknis kesesuaian lahan dari Kepala Dinas yang membidangi usaha perkebunan
Provinsi, Kabupaten atau Kota setempat yang didasarkan pada perencanaan makro,
perwilayahan komoditi dan RUTR,
h. Pernyataan mengenai pola pengembangan yang dipilih dan dibuat dalam akte notaris,
i. Peta calon lokasi dengan skala 1: 100.000,
j. Surat persetujuan dokumen AMDAL dari komisi AMDAL daerah (Malangyudo, 2014).
Dengan telah diperolehnya perijinan dasar yang berupa, Ijin Lokasi, Amdal dan IUP,
maka perusahaan perkebunan baru secara sah dapat mulai beroperasi. Sedangkan proses
sosialisasi dalam rangka perolehan lahan sudah dapat dimulai sejak Ijin Lokasi sudah di terbitkan
dan laporan hasil survey detil sudah selesai. Diagram proses perijinan untuk kawasan hutan
konversi dan kawasan APL dapat dilihat dibawah ini :
MANAJEMEN PROYEK
Manajemen merupakan kegiatan untuk mengatur dan mengelola suatu aktivitas. Fungsifungsi manajemen, antara lain fungsi perencanaan atau planning, fungsi organisasi atau
organizing, fungsi pengarahan atau actuating, serta fungsi pengawasan atau
controlling.Manajemen perusahaan perkebunan kelapa sawit meliputi visi dan misi, serta
komitmen untuk memproduksi minyak sawit secara lestari, memiliki SOP untuk praktek
budidaya dan pengolahan hasil perkebunan, memiliki struktur organisasi dan uraian tugas yang
jelas bagi setiap unit pelaksana, memiliki perencanaan untuk menjamin berlangsungnya usaha
perkebunan, memiliki sistem manajemen Keuangan Perusahaan dan keamanan ekonomi dan
keuangan yang terjamin dalam jangka panjang, serta memiliki sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia (SDM).Untuk skala perkebunan dalam kegiatan budidaya tanaman kelapa sawit,
manajemen proyek perkebunan terbagi dalam manajemen jangka pendek dan jangka panjang.
Manajemen jangka pendek merupakan suatu kegiatan pengaturan dan pengelolaan yang
berorientasi pada hasil yang akan dicapain dalam waktu 1 tahun. Sedangkan manajemen jangka
panjang merupakan suatu kegiatan pengaturan dan pengelolaan yang berorientasi pada hasil yang
akan dicapai selama periode 1 hingga 5 tahun yang akan datang dengan memperhitungkan
potensi, peluang, serta kendala yang kemungkinan akan muncul. Manajemen jangka pendek
meliputi :
Melakukan pemupukan dengan pupuk yang dibutuhkan tanaman sesuai dengan prinsip 4T
(tepat waktu, tepat dosis, tepat aplikasi, dan tepat jenis);
Memenuhi alat panen serta perbaikan infrastruktur yang mendukung proses panen;
Melaksanakan kastrasi untuk merangsang pertumbuhan generatif;
Melaksanakan polinasi di daerah yang memerlukan, dll.
Sedangkan, manajemen jangka panjang meliputi :
Peremajaan tanaman yang sudah tua dan tidak terlalu produktif lagi;
Pengembangan areal perkebunan baru;
Pembangunan dan pengembangan kawasan industri di sekitar lahan perkebunan;
Pembangunan dan pengembangan industri hilir berbasis sawit;
Pengembangan program riset oleh perusahaan;
Penyediaan serta pengembangan IPTEK untuk mempertahankan dan meningkatkan
produksi kelapa sawit serta pengembangan perusahaan;
Selain itu, kegiatan manajemen proyek jangka panjang dalam perkebunan kelapa sawit meliputi
penentuan visi dan misi, serta menyusun sasaran dan strategi untuk mendukung terciptanya visi
yang diinginkan. Sedangkan untuk penyusunan blueprint atau master plan perusahaan merupakan
landasan ke depan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk menjadikan potensi serta
peluang yang dimiliki sehingga mampu berkompetisi di tengah persaingan yang ketat dan sangat
dinamis, sehingga dengan adanya blueprint atau master plan ini perusahaan mempunyai pijakan
agar kinerja perusahaan perkebunan kelapa sawit akan jelas dan terarah serta lebih siap
menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
PERENCANAAN KEUANGAN
SUMBERDAYA MANUSIA
tiap jabatan. Sedangkan perencanaan karier individu meliputi masa kerja individu,
minimum tingkat pendidikan dan pelatihan karyawan, serta adanya peluang promosi.
Penilaian kinerja masing-masing individu meliputi standar dan ukuran kinerja masingmasing individu, teknik penilaian karyawan, serta teknik wawancara dan evaluasi masingmasing individu karyawan. Penilaian kerja bertujuan untuk menghasilkan data yang akurat
berkenaan dengan perilaku dan kinerja karyawan sebagai dasar pengambilan keputusan
kepersonaliaan, serta dapat menghasilkan alat bantu untuk pimpinan dalam program
pengembangan kinerja karyawan.
2. TAHAP PEMBANGUAN DAN KONSTRUKSI
Pabrik kelapa sawit banyak menggunakan air pengolah dan air umpan
boiler yaitu 1500 liter/ton TBS, yang berarti membutuhkan air 900 M / hari. Pabrik
kelapa sawit dengan kapasitas olah 30 ton TBS / jam akan menghasilkan buangan
air limbah sebanyak 360 400 M setiap harinya. Oleh sebab itu diperlukan sungai
alam untuk Air Baku Boiler dan sekaligus tempat limpahan Air Limbah yang sudah
mendapat perlakuan khusus di Kolam Limbah .
2.4 Aksesibilitas
Disamping pertimbangan Tersedianya Sumber Air yang cukup, letaknya
yang sentral, Penanganan Limbah, dan kondisi Tanah, lokasi Pabrik juga perlu
memperhitungkan kemudahan akses masuk dan keluar, terutama untuk kelancaran
suplai bahan-bahan dan suku cadang serta untuk pengiriman hasil produk ke pasar
dengan lancar agar tanki timbun tidak menjadi penuh. Akan menjadi masalah
apabila lokasi pabrik yang dipilih sudah ditangah-tengah perkebunan, namun akses
masuk keluarnya melalui pemukiman penduduk, atau harus membuat jembatan
dengan bentangan yang panjang dan lain-lain. Oleh sebab itu dalam
mempertimbangkan lokasi pabrik selalu dicari lokasi yang berpeluang lebih dekat
dengan jalan raya atau dekat sungai besar untuk memudahkan angkutan hasil
produksi ke pasar.
3. RANCANG BANGUN INSTALASI PABRIK KELAPA SAWIT
3.1 Keseimbangan Kapasitas Antar Alat dan Mesin
Telah diutarakan diatas bahwa kapasitas olah berdasarkan atas kemampuan
screw press, sedangkan kapasitas olah alat lainnya dianggap bukan faktor pembatas.
Walaupun demikian kapasitas setiap unit alat harus setara dan seimbang dengan
kapasitas alat yang berada diawal proses atau di akhir proses. Faktor keseimbangan
ini perlu diperhatikan karena erat hubungannya dengan kapasitas pemakaian tenaga
( kebutuhan listrik ) dan investasi. Hal ini sering terlihat pada pabrik yang
berkapasitas 20 ton ditemukan alat yang berkapasitas 30 ton sehingga terjadi
pemborosan energy Alat dan instrumen yang digunakan di pabrik hendaknya
dipasang berdasarkan rekomendasi pada design pabrik tanpa modifikasi, walaupun
dalam buku pedoman dicantumkan alternatif, karena alternatif tersebut merupakan
prioritas ke dua.
3.2 Keseimbangan Sumber Tenaga dan Kebutuhan Pabrik
Sumber tenaga dalam pabrik kelapa sawit digerakkan oleh Uap yang berasal
dari Boiler yang bahan bakar utamanya menggunakan serat dan cangkang yang
merupakan limbah padat Kelapa Sawit. Kebutuhan uap untuk processing tergantung
dari mutu TBS dan sistem pengolahannya.
kantor dan tempat tinggal sementara. Lokasi yang sudah ditetapkan tersebut
diupayakan akan menjadi tempat pembangunan kantor permanen, Gudang dan
Emplasemen kebun memasuki masa stabil. Penetapan lokasi harus mendapat
persetujuan dari KAWIL (kepala wiayah) dan GM (general manager) Plantation.
Setelah penentuan lokasi untuk perkantoran, Pimpinan proyek manajer kebun pjuga
mengidentifikasi area yang akan digunakan untuk pembibitan dengan
mempertimbangkan persyaratan lokasi bibitan yang ideal. Setelah lokasi bibitan
disetujui oleh KAWIL ( kepala wilayah) dan GM (general manager) Plantation,
pimpinan proyek / Manager kebun segera menyusun Rencana Kerja dan Anggaran
untuk pelaksanaan oprasional pekerja bibitan.
Menentukan lokasi jalan masuk dengan mempertimbangkna hasil survey
semi detail. Dalam hal ini Pimpinan proyek / manajer kebun bersama-sama dengan
Lahan untuk jalan masuk harus dibebaskan dari kepemilikan masyarakat minimal 50
meter dari kiri kanan jalan. Guna menjaga keamanan dari berbagai gangguan maka
perlu dibuat parit 2 x 2 x 1,5 m sebagai pembatas sepanjang sisi kiri dan kanan jalan.
Kemudian untuk selanjutnya penentuan lokasi pabrik kelapa sawit (PKS) dan
Emplasemen, Pimpinan Proyek / Manager kebun, GIS, dan Enginering malakukan
survey untuk menentukan kelayakan tata letak rencana pembangunan PKS serta
Emplasemen pada tempat yang ditunjuk. Berdasarkan hasil survey tersebut,
managemen memutuskan lokasi terbaik yang akan dibangun. Untuk menghindari
kesalahan penanaman pada lokasi yang di rencanakan akan di bangun PKS maupun
Emplasemen maka harus segera dibuat tanda di lapangan dengan pemasangan papan
nama sekaligus patok batas lokasinya. Pimpinan Proyek/Manajer kebun segera
menginformasikan kepada Asisten Pengembangan untuk menghindari penanaman
pada lokasi yang sudah dicadangkan tersebut.
2. Pembuatan Prasarana Jalan
Jalan merupakan urat nadi perkebunan karena fungsi jalan sangat vital, Yakni:
sebagai penghubung dari dan keluar kebun/ pabrik, jalur transaportasi TBS, jalur
trasportasi pemupukan, karyawan, material bangunan serta sebagai pembatas blok.
Putusnya jalan akan menghambat semua aktivitas sehingga dapat mengganggu. Jenis
-jenis Jalan:
1. Main Road (MR) dibangun dari timur kebarat dengan jarak antar jalan utama
1000M dan lebar badan jalan 9 m. Untuk areal gambut atau rawa jalan dibuat
dengan sistem tanggulan dan pembuatan parit pada salah satu sisi badan jalan.
Ukuran parit lebar atas 4 m, bawah 3 m, dalam 4 m.
2. Collection Road (CR) dibangun searah utara selatan, jarak antar koleksi 300 m dan
lebar badan jalan 7 m.
3. Jalan kontur, jalan yang dibangun padaareal berbukit, dibuat dengn memotong
jalur kontur dngn lebar 5-7 m.
PEMBUKAAN LAHAN
II. DEFINISI DAN TUJUAN
Pembukaan lahan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam usaha tani
yang didalamnya terdapat perencanaan tata ruang dan tata letak yang kegiatannya
melifuti pengukuran areal, pembangunan impra struktur, dan pembersihan lahan
sampai dengan lahan siap ditanami kelapa sawit. Tujuan pembukaan lahan adalah
agar bibit yang ditanam mendapatkan ruang dan tempat tumbuh yang normal terhindar
pengganggu baik berupa gulma, hama, ataupun penyakit.
III.
PERENCANAAN TATA LETAK DAN TATA RUANG
2.1 Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan tata ruang dan tata
letak
1. Tofografi
2.
Iklim
3.
Status dan tataguna lahan
4. Tanah
5.
Jaringan saluran air dan sungai
6.
Jaringan jalan
7.
Perkampungan dan kependudukan
2.2 Jenis dan Asal lahan
1. jenis lahan
a. lahan mineral
b. lahan gambut
2. Asal lahan
a. Hutan primer
b. Hutan sekunder
c. Semak belukar
d. Padang alang-alang
e. Areal konversi
f. Areal tanaman ulang
2.3 System Pembukaan Lahan
1. Manual
2. Mekanis
3. Khemis
4. Kombinasi
PEMUPUKAN
Pemupukan di SAL 1 dilakukan duakali dalam setahun. Pemupukan semester I dilakukan
pada bulan Februari Juni. Jenis pupuk yang diaplikasikan pada semester I adalah NPK 41-41, Rock Phospate(30 % P2O5), Muriate of Potash( 6 0 % K2O), Kieserite (27 % MgO),
dan Dolomite (60 %CaCO3). Dosis yang digunakan berdasarkan hasil analisis daun atau leaf
sample unit (LSU) yang dibuat oleh Head Office(HO) yang berada di Jakarta. Kegiatan
pemupukan diawali dengan penguntilan pupuk dalam karung. Until-until pupuk tersebut
ditakaruntuk kebutuhan 6 pokokke dalam karung yang selanjutnya dilansir ke kebun pada pagi
hari. Apel pagi dilakukan untuk membagi kelompok dan menjelaskan kembali aturan yang
digunakan dalam pemupukan. KHL mengambil pupuk dan melansir ke dalam blok dan
menempatkan pupuk di baris keenam dandi pasar tengah.Penaburan pupuk dilakukan
setelah pelansiran ke dalam blok sudah dilakukan seluruhnya. Kontrol dilakukan oleh mandor
terhadap ketepatandan kecepatan dalam penaburan. Pengawasan oleh mandor dilakukan
di pasar tengah sebagai pemberi aba-aba menabur dan di jalan transport untuk memastikan
pupuk tidak ada yang tertinggal.Satu takaranpupukdigunakan untuk satu jenis pupuk
ya n g a k a n d i a p l i k a s i k a n . C a r a p e n a b u r a n p u p u k d e n g a n menuangkanpupuk ke
takaran dan ditabur dengan tangan secara meratadi piringan dengan radius 50 cm dari
pokok. Setelah kegiatan pemupukan selesai, karung-karung bekas dikumpulkan dan diantar
kembali ke gudang dengan mobil transport untuk KHL. Sistem kerja pemupukan ini dengan
target harian 7 jam kerja. Rata-rata prestasikerja KHL 0.6ha/Hk.
Kode kode dalam peta harus mengikuti aturan yang sudah ada.Sensus dilakukan
PERALATAN KERJA
Peralatan panen
Untuk umur TM muda (3 5 tahun) alat panen yang digunkan adalah
dodos, sedangkan untuk TM dewasa (diatas 5 tahun) alat panen yang digunakan
adalah egrek. Alat alat tambahan dalam kegiatan panen adalah gancu, kereta
sorong (angkong), goni, tali dan kapak.
PENGOLAHAN LIMBAH
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia yang perkembangannya sangat
pesat. Selain produksi minyak kelapa sawit yang tinggi, produk samping atau limbah pabrik
kelapa sawit juga tinggi. Secara umum limbah dari pabrik kelapa sawit terdiri atas tiga macam
yaitu limbah cair, padat dan gas. Limbah cair pabrik kelapa sawit berasal dari unit proses
pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklon. Pada umumnya, limbah
cair industri kelapa sawit mengandung bahan organik yang tinggi sehingga potensial mencemari
air tanah dan badan air.
Sedangkan limbah padat pabrik kelapa sawit dikelompokan menjadi dua yaitu limbah yang
berasal dari proses pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair. Limbah padat
yang berasal dari proses pengolahan berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), cangkang
atau tempurung, serabut atau serat, sludge atau lumpur, dan bungkil. TKKS dan lumpur yang
tidak tertangani menyebabkan bau busuk, tempat bersarangnya serangga lalat dan potensial
menghasilkan air lindi (leachate). Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa
lumpur aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah. Kandungan unsur hara kompos yang
berasal dari limbah kelapa sawit antara lain N, P2O5, dan K2O.
Pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit dari kolam anaerobik sekunder dengan BOD 3.5005000 mg/liter yang dapat menyumbangkan unsur hara terutama N dan K, bahan organik, dan
sumber air terutama pada musim kemarau. Kandungan hara limbah cair sisa tanaman kelapa
sawit adalah 450 mg N/l, 80 mg P/l, 1.250 mg K/l dan 215 mg/l. Sistem aplikasi limbah cair
dapat dilakukan dengan system sprinkle (air memancar), flatbed (melalui pipa ke bak-bak
distribusi ke parit sekunder), longbed (ke parit yang lurus dan berliku-liku) dan traktor tanki
(pengangkutan limbah cair dari IPAL/Instalasi Pengolah Air Limbah) ke areal tanam.
Dengan perencanaan yang benar limbah sisa tanaman kelapa sawit tersebut tidak akan mencemari
lingkungan sekitar dan jika pengolahannya sesuai, limbah kelapa sawit tersebut akan member
manfaat seperti bisa digunakan sebagai sumber unsure hara untuk pertumbuhan kelapa sawit
selanjutnya.
Salah satu strategi pemasaran yang sebaiknya harus diperhatikan agar aktivitas jalannya distribusi
dapat berjalan dengan lancar, adalah dengan memperhatikan saluran distribusi. Saluran ditribusi
dapat membantu perusahaan dalam proses pemasaran terutama untuk menganalisis berbagai
kendala yang terjadi di lapangan, sehingga dapat diambil kebijakan strategi yang tepat untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dan distibusi kembali akan dapat berjalan dengan normal
dan baik demi tercapainya kepuasan konsumen.
Salah satu unit yang sangat membantu dalam jalannya proses distribusi adalah unit distributor.
Distributor sangat dibutuhkan oleh perusahaan dalam membantu pemasaran objek produksi.
Dalam menunjuk distributor yang tepat dan juga menetapkan kebijkan yang benar tentang saluran
distribusi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Melakukan riset dan analisis yang lebih mendalam terhadap pihak-pihak lembaga yang terkait
dalam menunjang proses pemasaran, terutama seabagai contoh adalah pihak-pihak terkait seperti
pedagang perantara antara pihak perusahaan dengan konsumen di daerah tertentu.
2. Mempertimbangkan karakteristisk dari segmen pasar yang telah dibidik, dan secara geografis
bagaimana lokasi pembeli, apakah mudah dijangkau atau keadaan yang terjadi adalah sebaliknya.
3. Memperhitungkan seberapa besar persediaan produk yang dipasok yang disesuaikan dengan
seberapa besar dengan kebutuhan konsumen. Hal ini bertujuan untuk menganailisis efektifitas
proses distribusi yang akan dilakukan dalam jangka panjang.
4. Memikirkan dengan segala jaringan pemasaran yang dimiliki agar dapat didaya upayakan
secara maksimal sehingga hasil pemasaran yang disokong dari proses distribusi dapat
memberikan hasil yang optimal.
5. Melakukan kegiatan promosi. Dengan adanya promosi maka konsumen akan mengetahui
bahwa perusahaan meluncurkan produk baru yang akan menggoda konsumen untuk melakukan
kegiatan pembelian. Kegiatan promosi banyak yang mengatakan identik dengan dana yang
dimiliki oleh perusahaan.
Pola distribusi yang harus dipertimbangkan dan selalu diamati adalah dengan melakukan
penyesuaian dengan perkembangan pola dinamika gaya hidup masyarakat. Jika hal ini dapat
dilakukan dengan baik, maka proses distibusi dapat berjalan dengan baik dan akan mensuport
untuk menghasilkan nilai penjualan yang memuaskan.
Daftar Pustaka
Malangyudo,
Arie.
2014.
Perencanaan
Perkebunan
Kelapa
Sawit
(Online).
http://arieyoedo.blogspot.com/2011/04/perencanaan-pembangunan-perkebunan.html.
Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.
Di susun oleh :
Andi Kurniawan
115040201111128
115040200111124
115040201111243
115040201111198
115040200111010
M. Rizki Yuliansah
115040200111078
Kelas B
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MALANG
2014