Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

2.1.1. Sejarah singkat perusahaan

PT. Total Optima Prakarsa merupakan salah satu perusahaan yang


bergerak di bidang pertambangan batuan komoditas Granodiorit dan telah
memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batuan sesuai
Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No: 943/DISTAMBEN/2016
Tanggal 29 Desember 2016, yang berlokasi di Desa Peniraman, Kecamatan
Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat dengan
luas wilayah 7,16 hektar .

Wilayah Peniraman dan sekitarnya memiliki potensi kandungan


granodiorit yang sangat melimpah dan bernilai ekonomis untuk
dikembangkan. Oleh karena itu dalam rangka mendukung pembangunan
nasional yang sedang digalakkan oleh Pemerintah terutama dalam hal ini
Pemerintah Kabupaten Mempawah, maka kebutuhan akan bahan galian
batuan harus tetap terpenuhi.

Sejalan dengan kebutuhan pembangunan berbagai prasarana fisik,


seperti gedung perkantoran, perumahan, jalan, jembatan, dan sebagainya,
maka kebutuhan akan bahan galian konstruksi dari tahun ke tahun cendrung
meningkat pesat. Begitu pula dengan seiring berkembangnya industri yang
menggunakan bahan galian, baik sebagai bahan baku maupun campuran,
maka butuhan akan bahan galian industri juga akan meningkat pesat.

Dalam kegiatan operasionalnya, PT. Total Optima Prakarsa


mengupayakan pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok
kemakmuran rakyat, antara lain dilakukan secara terencana , rasional,
optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya.
Hal itu dilakukan dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, serta memperhatikan kelestarian fungsi, konservasi dan keseimbangan
lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. (Laporan Triwulan
PT TOP IV. 2017).

2.1.2. Letak dan Luas Wilayah Penelitian


Berdasarkan Dokumen UKL-UPL PT. TOP Semester I tahun 2017,
wilayah penelitian terletak di Desa Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh,
Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Secara
geografis lokasi penelitian terletak antara 109°07’44,5’’ Bujur Timur sampai
dengan 109°07’56’’ Bujur Timur serta 00°13’42’’ Lintang Utara sampai
dengan 00°14’04’’ Lintang Utara, dan dengan batas-batas lokasi sebagai
berikut :
 Sebelah Utara berbatasan dengan lahan milik H. Nawawi;
 Sebelah Selatan berbatasan dengan lahan milik PT. Semangang;
 Sebalah Timur berbatasan dengan lahan milik H. Tohir;
 Sebalah Barat berbatasan dengan lahan milik H. Nawawi.
Luas wilayah penelitian berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan
Barat No: 943/DISTAMBEN/2016 Tanggal 29 Desember 2016, yang
berlokasi di Desa Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten
Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah 7,16 hektar.
(Dokumen UKL-UPL PT. TOP Semester I, 2017).

Tabel 2.1. Tabel Koordinat Batas IUP PT TOP

GARIS LINTANG
GARIS BUJUR
NO LINTANG UTARA/LINTANG
BUJUR TIMUR (BT)
TITIK SELATAN(LU/LS)
Derajat Menit Detik Derajat Menit Detik LU/LS
1 109 7 46.50 0 13 52.72 LU
2 109 7 54.00 0 13 52.72 LU
3 109 7 54.00 0 13 52.00 LU
4 109 7 56.00 0 13 52.00 LU
5 109 7 56.00 0 13 44.50 LU
6 109 7 53.50 0 13 44.50 LU
7 109 7 53.50 0 13 42.00 LU
8 109 7 49.50 0 13 42.00 LU
9 109 7 49.50 0 13 46.00 LU
10 109 7 48.00 0 13 46.00 LU
11 109 7 48.00 0 13 50.50 LU
12 109 7 46.50 0 13 50.50 LU
Sumber : Laporan Triwulan PT TOP IV, 2017

2.1.3. Kesampaian Lokasi Penelitian


Lokasi penambangan batuan PT. Total Optima Prakarsa dapat
ditempuh dari Kota Pontianak dengan jalur darat menggunakan kendaraan
roda empat maupun roda dua menuju Desa Peniraman dengan waktu tempuh
±1¼ jam, kemudian dilanjutkan menuju lokasi quarry dengan jarak tempuh ±
2 Km. Kondisi prasarana transportasi menuju Desa Peniraman ini merupakan
jalan Provinsi/Negara yang sebagian besar beraspal baik dengan kondisi jalan
hotmix. (Laporan Triwulan PT TOP IV, 2017).
Gambar 2.1. Peta batas IUP PT Total Optima Prakarsa
Sumber: Penulis
Gambar 2.2. Foto Citra Satelit PT Total Optima Prakarsa
Sumber: Penulis
Gambar 2.3. Peta Kesampaian Daerah
Sumber: Dokumen UKL-UPL PT TOP Semester I Tahun 2017
2.2.Kondisi Fisik
2.2.1. Geologi
a. Stratigrafi

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Singkawang skala 1 : 250.000 yang


diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Tahun
1993, stratigrafi yang menempati wilayah penambangan di Desa Peniraman
dan skitarnya berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai berikut :

1. Batuan Terobosan Granodiorit (Klm)


Terdiri dari/ terutama granodiorit dengan granit, diorit kuarsa, diorit,
adamelit, tonlit.
2. Endapan Alluvial dan Rawa (Qa)
Terdiri dari lumpur, pasir, kerikil, sisa tumbuhan.

Secara umum daerah penambangan PT. Total Optima Prakarsa dan


sekitarnya adalah daerah perbukitan yang menempati satuan batuan granitik
atau formasi batuan terobosan granodiorit (Klm) yang terdiri dari
granodiorit, granodiorit hornblend-biotit, ademelit, tonalit, monzogranit,
syenogranit, tonalit diorite kuarsa, monzoit kuarsa granit dan aplit ;
kemagnetan sedang sampai kuat; umumnya terubah dan termodifikasi;
setempat tergeruskan kuat, terlimonitkan dan terbreksikan; mengandung
batuan asing (senolit) batuan gunung api dan sedimen; berbutir sedang dan
equgranular batuan ini berupa batolit dan sedikit retas dan stock, menerobos
Batuan Gunungapi Kerabai, Betupasir Bengkayang dan kompleks Batuan
Beku dan Malihan Embuoi. Berumur 87 sampai 128 juta tahun yang lalu
(Kapur Awal). Satuan batuan ini merupakan satuan batuan tertua dan
banyak tersingkap di seluruh daerah penyelidikan. Secara genesis
menerobos satuan batuan diatasnya. (Laporan Triwulan PT TOP IV, 2017).
b. Struktur Geologi
Morfologi regional berupa perbukitan, perbukitan bergelombang
lemah dan dataran yang merupakan daerah dataran banjir dari daerah pantai
dan sungai-sungai besar, termasuk stadia dewasa, dicirikan dengan bentuk
sungai berbentuk huruf “U” dan bermeander dengan tingkat erosi yang sudah
melemah.
Struktur geologi yang berkembang di daerah ini adalah struktur
kekas. Struktur kekas yang terdapat di daerah ini terdiri dari kekas jenis gash
fracture dan share fracture. Kekas-kekas tersebut pada umumnya
mempunyai arah Timur Laut – Barat Daya dan Barat Laut – Tenggara.
(Laporan Triwulan PT TOP IV, 2017).
Gambar 2.6. Kondisi Geologi
Sumber : N. Suwarna dan R.P.Langford
2.2.2. Morfologi

Secara umum daerah Kalimantan Barat terdiri atas satuan


morfologi dataran, satuan morfologi bergelombang lemah dan satuan
morfologi perbukitan. Daerah yang relatif datar pada umumnya
merupakan daerah dataran pantai, rawa dan alluvial. Satuan morfologi
bergelombang lemah meliputi daerah transisi antara satuan morfologi
dataran dan satuan morfologi perbukitan. Daerah perbukitan yang
merupakan daerah potensial pertambangan mempunyai ketinggian sampai
lebih kurang 30 – 140 meter di atas permukaan air laut.

Secara fisiografi daerah Kabupaten Mempawah terdiri dari suatu


zona pantai, dataran alluvial dan undakan pasir putih di bagian barat, serta
perbukitan bergelombang rendah yang meningkat sampai perbukitan
curam yang terisolasi di bagian timur.

Zona pantai terdiri dari suatu dataran pantai, pematang pantai dan
tepi bagian utara delta Sungai Kapuas. Dataran alluvial terdiri dari sedimen
lembah-rawa berair penuh dan dataran banjir yang dicirikan oleh tanah
lempung dan pasir halus kaya organik kelabu sampai coklat tua yang
menutupi terus menerus, kerikil yang ditunjang matrik. Undak pasir putih
yang muncul sampai 25 meter di atas permukaan laut di dataran dekat zona
pantai dan sedimen rawa dan dataran banjir holosen.

Perbukitan bergelombang rendah umumnya berkembang pada


batuan sedimen tersier dan granit lapuk, dan bertimbulan umumnya lebih
kecil dari pada 75 meter. Salurannya cukup berbelit-belit, sangat
dipengaruhi oleh rekahan pada batuan granit. Perbukitan curam dicirikan
oleh bentang alam berbatu-batu kasar di sepanjang pantai dan pulau-pulau
di lepas pantai yang muncul dengan curam dari dasar lautan. Perbukitan
ini terutama terdiri dari batuan gunung api atau batuan terobosan sub
gunung api.
Dari hasil peninjauan lapangan dan pengamatan topografi maka
dapat disimpulkan bahwa daerah penyelidik berdasarkan klasifikasi “Van
Zuidam, 1979” dibagi menjadi 2 satuan morfologi, yaitu :

 Satuan Morfologi Dataran


Merupakan dataran tanah alluvial dan dataran rawa dengan
ketinggian 0 – 2 meter di atas permukaan air laut.
 Satuan Morfologi Perbukitan
Meliputi seluruh perbukitan yang merupakan daerah potensial
penambangan dengan ketinggian antara 2 – 140 meter di atas
permukaan air laut serta kemiringan lereng hingga mencapai 70 %.

Tabel 2.2. Pembagian Satuan Morfologi Berdasarkan “Van Zuidam”

Ketinggian
Satuan Relief
0–2m
Dataran atau hampir datar
3–7m
Bergelombang/Miring Landai
8 – 13 m
Bergelombang/Miring
14 – 20 m
Berbukit Gelombang/Miring
21 – 55 m
Berbukit Tersayat Tajam/Miring
56 – 140 m
Pegunungan Tersayat Tajam/Sangat Terjal
>140 m
Pegunungan/Sangat Curam

Sumber :(Laporan Triwulan PT TOP IV, 2017).

2.2.3. Tata Guna Lahan


Lokasi penambangan PT. Total Optima Prakarsa berupa daerah
terbuka dengan tanaman-tanaman tropis dan semak belukar. Penggunaan
tanah di Kecamatan Sungai Pinyuh berjumlah 12.112 Ha yang digunakan
antara lain untuk tadah hujan (1.349 Ha), pasang surut (34 Ha),
tegal/kebun (743 Ha), perkebunan (4.475 Ha), hutan rakyat (454 Ha),
tambak (24 Ha), kolam/tebar/empang (4 Ha), rumah-bagunan dan halaman
sekitarnya (1.131 Ha), hutan negara (2.797 Ha), dan peruntukan lainnya
(643 Ha) (Laporan Triwulan PT TOP IV, 2017).

Tabel 2.3. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Pinyuh (Ha)

Penggunaan Tanah 2013 2014 2015 2016


Land Utilization

(1) (2) (3) (4) (5)


1. Irigasi Sederhana - - - -
2. Irigasi Desa - - - -
3. Tadah Hujan 1.349 1.349 1.349 1.349
4. Pasang Surut 304 304 304 304
5. Lebak 188 188 188 188
6. Tegal/Kebun 743 743 743 743
7. Ladang/Huma - - - -
8. Perkebunan 4.475 4.475 4.475 4.475
9. Hutan Rakyat 454 454 454 454
10. Tambak 24 24 24 24
11. Kolam/Tebat/Empang 4 4 4 4
12. Rumah, Bangunan dan Halaman Sekitarnya 1.131 1.131 1.131 1.131
13. Hutan Negara 2.797 2.797 2.797 2.797
14. Rawa-rawa (Tidak Ditanami) - - - -
15. Lainnya 643 643 643 643
Lahan Sawah 1.841 1.841 1.841 1.841
Lahan Kering 10.271 10.271 10.271 10.271
Luas Wilayah 12.112 12.112 12.112 12.112
Gambar 2.7. Peta Status Kawasan Hutan
Sumber: Penulis
2.2.4. Topografi
Sebagian besar wilayah Kabupaten Mempawah merupakan
wilayah datar (dengan kemiringan lahan 0-2%). Wilayah-wilayah dengan
kemiringan lahan yang kecil ini menyebar memanjang dari utara ke selatan
wilayah pesisir pantai Kabupaten Mempawah pada ketinggian 0-25 meter.
Pada wilayah pantai ini, banyak terdapat areal dataran yang relatif rendah
dari permukaan pasang air laut tertinggi sehingga sangat rawan mangalami
banjir. Keadaan banjir sangat rawan terjadi pada saat air dalam keadaan
pasang terutama pada bulan-bulan yang yang memiliki curah hujan tinggi
(Oktober-Januari). Adapun wilayah yang berkemiringan lebih dari 2%
dijumpai di bagian perbatasan timur laut kabupaten dengan kawasan
pebukitan yang relatif lebih banyak jumlahnya.
Pada umumnya, Kabupaten Mempawah berdaratan rendah,
perbukitan dan pesisir pantainya berawa – rawa. Wilayah ini didominasi
oleh kemiringan lereng 0-8 % atau < 8% dan ketinggian antar 0 - 200 mdpl.
Wilayah dengan kemiringan lereng 0-8 % terdapat di Kecamatan Sungai
Kunyit, Mempawah Hilir, Mempawah Timur, Sungai Pinyuh, Segedong
dan Siantan. Luas wilayah Kabupaten Mempawah berdasarkan klasifikasi
kemiringan lereng adalah seperti pada Tabel 2.3 dibawah ini. (Pokja AMS,
2015)
Tabel 2.4. Luas Kemiringan Lahan (Rata-Rata) Kabupaten Mempawah

No Kemiringan Luas (Ha)

1 Datar (0 - 8%) 149.948

2 Landai (9 - 15%) 12.644

3 Agak Curam (16 - 25%) 28.042

4 Curam (26 – 45%) 2.852

5 Sangat Curam (> 46%) 14.331

Jumlah 207.789
Sumber : Pokja AMS, 2015
Gambar 2.8. Peta Topografi
Sumber: Penulis
2.3. Pengertian Umum Batuan Granodiorit
Granodiorit adalah batuan beku intrusif yaitu batuan beku yang berasal dari
pembekuan magma di dalam bumi disebut juga dengan batuan plutonik. Batuan
beku bersifat asam yang kandungan silika (SiO2) > 65 %, kandungan mineral
mafic 0-30 % dengan indeks warna leucocratic.(Khairil Rusman, Muh. 2016;
Suprapto. 2016)

Gambar 2.9. Batuan Granodiorit di PT TOP


Sumber : Penulis

2.4. Faktor Kestabilan Lereng


Secara umum faktor keamanan suatu lereng merupakan perbandingan nilai
rata-rata kuat geser batuan di sepanjang bidang keruntuhan kritisnya terhadap
beban yang diterima lereng di sepanjang bidang keruntuhannya.
Nilai faktor keamanan yang sesuai dengan bidang keruntuhannya juga perlu
mempertimbangkan akibat yang ditimbulkannya, seperti korban jiwa atau
kehilangan secara ekonomi. Peristiwa keruntuhan ini hanya merupakan
pernyataan umum dan tidak mencakup setiap peristiwa keruntuhan lereng.
Keruntuhan lereng yang termasuk ke dalam kategori beresiko tinggi terhadap
kehidupan tidak dapat ditoleransi meskipun kondisi kritis muka airnya jarang
terjadi. Meskipun nilai faktor keamanan lerengnya 1.4, jika beresiko tinggi
terhadap keselamatan orang-orang disekitarnya maka harus diubah menjadi 1.1
berdasarkan hasil prediksi kondisi air tanah terburuk.
Pada area quarry atau proyek site formation atau proyek bahan tambang,
nilai faktor keamanan yang diadopsi untuk desain suatu lereng juga harus
mempertimbangkan penggunaan area tersebut di massa depan, serta keleluasan
yang dilakukan pada saat menghitung beban-beban tambahan yang timbul
akibat adanya proyek tersebut. Jika penggunaan area di masa yang akan datang
tidak dapat diperkirakan, maka dapat diasumsikan bahwa lahan tersebut akan
digunakan sebagai area permukiman penduduk.

Tabel 2.5. Rekomendasi Nilai Faktor Keamanan Untuk Lereng

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 2005

Pada kasus keruntuhan atau lereng yang rusak dan akan runtuh, penyebab
keruntuhan atau kerusakan lereng tersebut harus diidentifikasi secara detail dan
dijadikan acuan dalam desain pekerjaan perbaikan. (Departemen Pekerjaan
Umum, 2005)
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng
Kestabilan suatu lereng dipengaruhi oleh beberapa faktor, sebagi berikut :
1) Geometri Lereng
Geometri lereng yang terdiri dari kemiringan dan ketinggian sangat
mempengaruhi kemantapan suatu lereng. Semakin besar kemiringan dan
ketinggian lereng, maka makin besar perubahan tegangan (stress) yang
dapat menyebabkan konsentrasi tegangan pada kaki lereng serta dengan
makin besarnya geometri, maka ketersingkapan struktur pun akan makin
besar sehingga menyebabkan terjadinya kelongsoran blok batuan. Selain itu
kegiatan penimbunan dan pemotongan lereng akan menyebabkan
penambahan dan pengurangan beban sehingga kesetabilan material akan
berubah. (Sujiman. 2016)
Geometri lereng yang dapat mempengaruhi kestabilan lereng
meliputi tinggi lereng, kemiringan lereng dan lebar berm (b), baik itu lereng
tunggal (single slope) maupun lereng keseluruhan (overall slope). Suatu
lereng disebut lereng tunggal (single slope) jika dibentuk oleh satu jenjang
saja dan disebut keseluruhan (overall slope) jika dibentuk oleh beberapa
jenjang.
Lereng yang terlalu tinggi akan cenderung untuk lebih mudah
longsor dibanding dengan lereng yang tidak terlalu tinggi dan dengan jenis
batuan penyusun yang sama atau homogen. Demikian pula dengan sudut
lereng, semakin besar sudut kemiringan lereng, maka lereng tersebut akan
semakin tidak stabil. Sedangkan semakin besar lebar berm maka lereng
tersebut akan semakin stabil. (Alves Mangubali, Bonaventura. 2013)

2) Sifat Fisik dan Mekanika Batuan


Sifat fisik batuan yang mempengaruhi kestabilan lereng, sebagi
berikut :
a) Bobot Isi (Density)
Bobot isi batuan akan mempengaruhi besarnya beban pada
permukaan bidang longsor. Sehingga semakin besar bobot isi batuan,
maka gaya penggerak yang menyebabkan lereng longsor akan semakin
besar. Dengan demikian, kestabilan lereng tersebut semakin berkurang.
(Arfan Manaf, Muhammad. 2011)

b) Porositas
Porositas didefinisikan sebagai perbandingan volume pori (yaitu
volume yang ditempati oleh fluida) terhadap volume total batuan.
Jeni-jenis porositas dibagi menjadi dua, sebagai berikut :
 Porositas antar butir.
 Porositas rekahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran pada porositas, sebagai


berikut :

 Ukuran butir
 Susunan butir
 Sudut kemiringan
 Komposisi mineral pembentuk batuan.

Porositas juga dapat didefenisikan sebagai ruang yang terdapat


diantara fragmen butiran yang ada pada batuan yang akan menyimpan
air.

Berdasarkan waktu dan cara terjadinya porositas dapat


diklasifikasikan menjadi dua, sebagi berikut :

1. Porositas primer, yaitu porositas yang terbentuk pada waktu yang


bersamaan dengan proses pengendapan berlangsung.
2. Porositas sekunder, yaitu porositas batuan yang terbentuk setelah
proses pengendapan.

c) Kandungan Air (water content)


Bertambahnya kandungan air menambah berat massa batuan dan
sekaligus mengurangi kuat geser batuan tersebut, sehingga menambah
besar kemungkinan terjadinya gerakan massa. Khusus untuk lempung
berfungsi sebagai bidang gelincir gerakan massa, air dalam jumlah
banyak dapat mengisi mengisi pori-pori dan mempermudah mineral
lempung yang pipih untuk saling bergeser. (Rahim, Azhary. 2014)

Sedangkan sifat mekanik batuan yang mempengaruhi kestabilan


lereng, sebagai berikut :
a) Kuat Tekan (Unconfined Compressive Strength)
Pengujian ini menggunakan mesin tekan untuk menekan
percontohan batu yang berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu
arah (uniaksial). Perbandingan antara tinggi dan diameter percontohan
1
(𝐷) mempengaruhi nilai kuat tekan batuan. Untuk perbandingan
1
(𝐷 = 1) kondisi tegangan triaksial saling bertemu sehingga akan

memperbesar nilai kuat tekan batuan. Pengujian kuat tekan digunakan


1 1
2 < < 2,5. Makin besar ( ) maka kuat tekan akan bertambah kecil.
𝐷 𝐷

Gambar 2.10. Penyebaran Tegangan Didalam Percontoan Batu


(a) Teoritis dan (b) Eksperimental, (c) Bentuk Pecahan Teoritis dan
(d) Bentuk Pecahan Eksperimental
1
Gambar 2.11. Kodisi Tegangan Didalam Percontoh untuk (𝐷)
1 1
berbeda (a) (𝐷 = 1) dan (b) (𝐷 = 2)

Gambar 2.12. Regangan yang Dihasilakan dari Pengujian Kuat Tekan


Batuan (a) Regangan Aksial, (b) Regangan Lateral dan
(c) Regangan Volumik

Perpindahan dari percontohan batuan baik aksial (∆𝑙) maupun


lateral (∆𝐷) selama pengujian diukur dengan menggunakan dial gauge
atau electric strain gauge. Dari hasil pengujian kuat tekan, dapat
digambarkan kurva tegangan-regangan (stress-strain) untuk tiap
percontohan batuan, kemudian dari kurva ini dapat ditentukan sifat
mekanik batuan :
1. Kuat tekan 𝜎𝑐
2. Batas elastik 𝜎𝐸
Δ𝜎
3. Modulus young 𝐸 = Δ𝜀𝑎
𝜀𝐼1
4. Poisson’s ratio 𝜐 =
𝜀𝑎1

Gambar 2.13. Kurva Tegangan-Regangan Hasil Pengujian Kuat


Tekan Batuan

b) Kuat Tarik-Uji Brazilia (Indirect Tensile Strength Test)


Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tarik (tensile strength) dari
percontohan batu berbentuk silinder secara tidak langsung. Alat yang
digunakan adalah mesin tekan seperti pada pengujian kuat tekan.
Gambar 2.14. Pengujian Kuat Tarik

𝑃
Kuat Tarik : 𝜎𝑡 = 𝜋𝑅𝐻

Dimana :
𝜎𝑡 = Kuat tarik
P = Beban (kg)
R = Jari-jari lingkaran percontoan batuan/sampel
H = Tinggi percontoan

Hasil pengujian kuat tarik dapat digabungkan dengan hasil uji kuat
tekan (pada percontoan batu yang sama) untuk menentukan harga
kohesi (𝑐) dan sudut geser dalam (𝜙) dari percontohan batuan tersebut.

c) Kuat Geser (Kohesi dan Sudut Geser Dalam)


Kuat geser yaitu perlawanan intrinsik suatu benda terhadap
dorongan internal. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan
parametr-parametr untuk mendesain lereng tambang, diantaranya
kohesi (𝑐) dan sudut geser dalam (𝜙). Pengujian ini merupakan
pengujian yang merusak conto batuan yang diuji atau disebut destructive
test. (Haryanto, R., Sudarsono., dan Priyo Widodo. 2016)
Kuat geser batuan dibagi menjadi dua jenis, yaitu kuat geser puncak
(peak) dan kuat geser sisa (residu). Kuat geser puncak ialah kuat geser
yang terjadi ketika tegangan geser mencapai titik maksimalnya (puncak)
disitu pula batuan mengalami deformasi plastic yang kemudian runtuh.
Setelah itu tegangan geser akan menurun hingga menunjukan angka
yang konstan untuk menggeser batuan tersebut atau disebut kuat geser
residu (setelah batuan runtuh).

Gambar 2.15. Kuat Geser

Nilai kuat geser didapat dengan minimal tiga kali pengujian. Nilai
kuat geser beseta parameternya didapat dengan mengeplot nilai
tegangan geser dan tegangan normal dalam kurva Mohr Coloum dan
dengan persamaan, sebagai berikut :
𝜏 = 𝑐 + 𝜎𝑛 (tan 𝜙)

Dimana :

𝜏 = Kuat geser

c = Kohesi

𝜎𝑛 = Tegangan normal

𝜙 = Sudut geser dalam


Gambar 2.15. Kurva Mohr Coloum

3) Struktur Geologi dan Karakteristiknya


Struktur geologi yang mempengaruhi kemantapan lereng, sebagai
berikut :
a) Sesar (Fault)
Sesar adalah suatu rekahan yang memperlihatkan pergeseran
cukup besar dan sejajar terhadap bidang rekahan yang terbentuk.
Pergeseran pada sesar dapat terjadi sepanjang garis lurus (translasi) atau
terputar (rotasi).
Unsur-unsur sesar, sebagai berikut :
1. Bidang sesar (fault plane) adalah suatu bidang sepanjang
rekahan dalam batuan yang tergeserkan.
2. Jurus sesar (strike) adalah arah dari suatu garis horizontal yang
merupakan perpotongan antar bidang sesar dengan bidang
horizontal.
3. Kemiringan sesar (dip) adalah sudut antar bidang sesar dengan
bidang horizontal dan diukur tegak lurus jurus sesar.
4. Atap sesar (hanging wall) adalah blok yang terletak diatas
bidang sesar apabila bidang sesamnya tidak vertikal.
5. Kaki sesar (foot wall) adalah blok yang terletak dibawah bidang
sesar.
6. Hade adalah sudut antara garis vertikal dengan bidang sesar dan
merupakan penyiku dari dip sesar.
7. Heave adalah komponen horizontal dari slip/separation, diukur
pada bidang vertikal yang tegak lurus jurus sesar.
8. Throw adalah komponen vertikal dari slip/separation, pada
bidang vertikal yang tegak lurus jurus sesar.
9. Slickensides yaitu kenampakan pada permukaan sesar yang
memperlihatkan pertumbuhan mineral-mineral fibrous yang
sejajar terhadap arah pergeseran.

Sifat pergeseran sesar dapat dibedakan menjadi dua, sebagi


berikut :
1. Pergeseran semu (separation)
Jarak tegak lurus antar bidang yang terpisah oleh gejala sesar
dan diukur pada bidang sesar. Komponen dari separation diukur
pada arah tertentu, yaitu sejajar jurus (strike separation) dan arah
kemiringan sesar (dip separation). Sedangkan total pergeseran
semu ialah net separation namun pergeserannya bukan
berdasarkan slip.
2. Pergeseran relatif (slip)
Pergeseran relatif pada sesar, diukur dari blok satu kelainnya
pada bidang sesar dan merupakan pergeseran titik yang
sebelumnya berhimpit. (Prastistho, Bambang., dkk. 2016)

b) Kekar (Joint)
Kekar merupakan struktur rekahan pada batuan dimana tidak
ada atau sedikit sekali mengalami pergeseran. Struktur kekar merupakan
salah satu struktur geologi yang paling mudah ditemukan hampir
disemua batuan yang tersingkap di permukaan. Terbentuknya struktur
kekar ini dapat terjadi bersamaan dengan pembentukan batuannya atau
sesudah batuan terlitifikasi dan dapat terjadi setiap saat.
Walupun struktur kekar ini paling mudah diketemukan, namun
merupakan bagian yang tersulit dalam menganalisinya. Kesulitan utama
dalam menganalisi struktur kekar ini, antara lain :
 Dapat terbentuk kapan saja baik akibat tektonik maupun non-
tektonik.
 Sulit menentukan pergeseran relative bidang kekar.
 Sulit menentukan urutan pembentukan kekar yang saling
berpotongan.
 Sulit menentukan jenis-jenis kekar di lapangan.

Proses terbentuknya kekar :

 Pada saat pengendapan (batuan sedimen) atau pada saat pembekuan/


pendinginan (batuan beku) ››› Nontectonic Joint.
 Setelah pengendapan (batuan sedimen) atau setelah pembekuan/
pendinginan (batuan beku) ››› Tectonic joint.

Proses tersebut diatas dipengaruhi oleh faktor luar, seperti


pelapukan (weathering) maupun gaya-gaya yang menyebabkan
terjadinya perubahan atau deformasi.

1. Tectonic Joint
Kekar akibat proses deformasi sangat berhubungan dengan
gaya yang penyebabnya, yaitu tegasan dan keterakan (stress dan
strain) dibagi menjadi tiga jenis, yakni:
a. Kekar gerus (shear joint/Compression joint), kekar yang terjadi
akibat tekanan/kompresi. Ciri-ciri di lapangan :
 Mempunyai pola sejajar dengan arah yang jelas.
 Bidang kekar rata dan lurus.
 Rekahan tertutup.
b. Kekar tegangan (tension joint), kekar yang terbentuk akibat
tarikan, disebut juga extension fracture (terjadi akibat
peregangan/tarikan), release joint (terjadi akibat hilangnya
tegasan yang bekerja). Cirri-ciri di lapangan :
 Tidak mempunyai pola dan arah yang jelas.
 Bidang kekar tidak rata.
 Rekahan terbuka.
c. Kekar hybrid (hybrid Joint), merupakan campuran dari kedua
kekar diatas, dan umumnya terisi mineral sekunder.

Gambar 2.15. Hubungan Kekar dengan Arah Gaya Yang Bekerja


Sumber : Khairil Rusman, Muh. 2016

Gambar 2.16. Jenis-Jenis Kekar


Sumber : Khairil Rusman, Muh. 2016
Berdasarkan kedudukan terhadap lapisan batuan.

 Strike joint/longitudinal joint : jurus kekar dan jurus perlapisan


saling sejajar.
 Dip joint/transversal joint : jurus kekar sejajar dengan arah
kemiringan lapisan batuan.
 Diagonal/oblique joint : jurus kekar dan jurus perlapisan batuan
saling memotong.
 Bedding joint : bidang kekar dan bidang lapisan saling sejajar.

Gambar 2.17. Jenis Kekar Berdasarkan Kedudukannya


Sumber : Khairil Rusman, Muh. 2016

2. Nontectonic Joint
Nontectonic joint dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
a. Columnar joint
Terjadi pada pembekuan magma, yaitu batuan beku
membentuk seperti tiang atau pilar.
b. Sheeting joint (release joint)
Terjadi akibat hilangnya atau pengurangan tekanan saat
batuan beku membeku, cirinya yaitu berlembar.

Berdasarkan ukurannya, kekar dibagi menjadi:

1. Master joint (puluhan hingga ratusan kaki) biasanya sampai


memotong beberapa lapisan.
2. Major joint (lebih kecil, tapi masih bisa dilihat dengan baik).
3. Minor joint (lebih kecil lagi dan kurang penting).
4. Micro joint (lebih kecil dari yang lain). (Khairil Rusman, Muh.
2016)

c) Lipatan ( Fold)
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk dari suatu bahan yang
ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan dari lengkungan pada
unsur garis atau bidang di dalam bahan tersebut. Mekanisme gaya yang
menyebabkan lipatan ada dua, sebagai berikut :
 Beding (pelengkungan), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya
tegak lurus permukaan lempeng.
 Buckling (melipat), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya
sejajar dengan permukaan lempeng. (Prastistho, Bambang., dkk.
2016)

d) Rekahan (crack)
Struktur geologi tersebut merupakan bidang-bidang lemah dan
sekaligus sebagai tempat merembesnya air dan dapat menyebabkan
terjadinya tension crack yang menyebabkan batuan menjadi mudah longsor.
(Sujiman. 2016)

4) Keadaan Hidrologi dan Hidrogeologi pada Lereng


Keberadaan air, terutama air tanah (ground water) sangat
mempengaruhi kestabilan suatu lereng, karena air tanah tersebut memiliki
tekanan yang dikenal dengan tekanan air pori (pore water pressure) yang
dapat menimbulkan gaya angkat (uplift force) yang sangat berpengaruh
pada terjadinya longsor karena menurunkan kekuatan geser. (Sujiman.
2016)
5) Gaya-gaya Luar (Faktor Eksternal)
Gaya-gaya dari luar dapat mempengaruhi kemantapan suatu lereng
sebagai berikut : getaran yang diakibatkan oleh gempa, peledakan,
pembebanan dan lain-lain. (Sujiman. 2016)

6) Pelapukan
Pelapukan sangat mempengaruhi kemantapan lereng. Temperatur
yang cepat berubah dalam waktu yang singkat akan mempercepat proses
pelapukan batuan. Untuk daerah tropis pelapukan terjadi lebih cepat. Oleh
karena itu, singkapan batuan pada lereng tropis akan lebih cepat lapuk dan
ini menyebabkan lereng mudah longsor. (Sujiman. 2016)

2.6. Stabilitas Lereng Batuan


Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu
dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alami maupun buatan
manusia. Lereng yang terbentuk secara alami misalnya: lereng bukit dan tebing
sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain: galian dan timbunan
untuk membuat bendungan, tanggul dan kanal sungai serta dinding tambang
terbuka. (Zaman Huri, Ahmad. 2013)
Biasanya, ada beberapa faktor pemicu kestabilan lereng batuan, antara lain :
1) Peningkatan tekanan rembesan karena membangun tekanan hidrostatik di
retakan penghubung / tegangan.
2) Karena penggalian di material kaki lereng.
3) Karena peningkatan pembebanan biaya tambahan dan peningkatan
tegangan geser.
4) Karena penurunan kekuatan material yang lambat dan penurunan resistensi
geser dari bidang penghubung. (Madras, IIT. 2016)
Gambar 2.18. Contoh Kekar
Sumber : Madras, IIT. 2016

Gambar 2.19. Tipe Umum Dari Longsoran Batuan


Sumber : Madras, IIT. 2016

Analisis stabilitas lereng batuan secara rutin dilakukan dan diarahkan untuk
menilai keamanan dan desain fungsional dari lereng yang digali (misalnya
penambangan terbuka, pemotongan jalan, dll.) atau kondisi keseimbangan
lereng alami. Secara umum tujuan utama analisis stabilitas kemiringan batuan
adalah:

 Untuk menentukan kondisi stabilitas lereng batuan,


 Untuk menyelidiki kemungkinan mekanisme kegagalan,
 Untuk menentukan sensitivitas / kerentanan lereng terhadap mekanisme
pemicu yang berbeda,
 Untuk menguji dan membandingkan berbagai pilihan dan stabilisasi,
 Untuk merancang galian lereng yang optimal dalam hal keselamatan,
reabilitas, dan ekonomi.

Diketahui bahwa struktur geologi dan kekuatan diskontinuitas batuan serta


sifatnya orientasi terhadap permukaan lereng adalah faktor penting untuk
kegagalan lereng batuan. Bidang lemah yang sudah ada atau diskontinuitas
dengan orientasi yang tidak menguntungkan biasanya adalah permukaan
kegagalan lereng batu yang tidak stabil, sedangkan di tanah, tampak umumnya
dalam bentuk busur lingkaran. Geser murni sebagian besar merupakan cara
kegagalan dalam rekayasa kemiringan batuan. (Madras, IIT. 2016)

2.6.1. Klasifikasi Longsoran


Bentuk longsoran pada lereng tambang dapat diklasifikasikan
tergantung dari jenis material pembentuk/penyusun, tingkat pelapukan, dan
struktur geologi yang berkembang di daerah tersebut. Karena batuan
mempunyai sifat heterogen dan diskontinu, maka jenis longsorannya pun
akan beragam.
Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai dalam massa
batuan di tambang terbuka (surface mining), sebagai berikut :
1) Longsor Bidang (Planar Falure)
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang
terjadi sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur
tersebut dapat berupa bidang kekar (joint), rekahan maupun bidang
perlapisan batuan. Syarat-syarat terjadinya longsoran bidang :
 Terdapat bidang lincir bebas (daylight) berarti kemiringan bidang
lurus lebih kecil daripada kemiringan lereng.
 Arah bidang perlapisan (bidang lemah) sejajar atau mendekati
dengan arah lereng (maksimum berbeda 200).
 Kemiringan bidang luncur atau lebih besar daripada sudut geser
dalam batuannya.
 Terdapat bidang geser (tidak terdapat gaya penahan) pada kedua sisi
longsoran. (Zaman Huri, Ahmad. 2013)

Gambar 2.20. Analisis Kerusakan Longsoran Bidang Sederhana

Sumber : Madras, IIT. 2016

𝐾𝑒𝑘𝑢𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙
𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐾𝑒𝑎𝑚𝑎𝑛𝑎𝑛 (𝐹𝐾) =
𝐾𝑒𝑘𝑢𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑌𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙

𝑐 ′ 𝐴 + 𝑊 cos 𝜃 tan ∅′
𝐹𝐾 =
𝑊 sin 𝜃

Jika terdapat air dalam diskontinuitas, tekanan air mengurangi


tekanan normal pada diskontinuitas dan kekuatan geser dari bidang
diskontinuitas berkurang. Pengaruh tekanan air dapat diperkirakan
dengan menentukan tekanan normal yang efektif.

𝑐 ′ 𝐴 + (𝑊 cos 𝜃 − 𝑈𝑏 ) tan ∅′
𝐹𝐾 =
𝑊 sin 𝜃 + 𝑈𝑟
Ketika 𝑐 ′ dan ∅′ adalah kohesi yang efektif dan sudut gesekan.
A adalah bidang kegagalan ketebalan per unit. 𝑈𝑏 dan 𝑈𝑟 adalah tekanan
rembesan. (IIT Madras, 2016)

Gambar 2.21. Longsor Bidang (Planar Falure)


Sumber : Zaman Huri, Ahmad. 2013

Efek dari tegangan retak pada stabilitas lereng dengan mengacu


pada lokasi dan kedalaman biasanya ditentukan oleh grafik stabilitas
(Hoek & Bray, 1977) atau persamaan empiris. Jika posisi tegangan
retakan diketahui, analisis kestabilannya dapat dilakukan berdasarkan
keberadaan informasi ini. Ketika posisi-posisi retak tegangan kritis tidak
diketahui, maka perlu menggunakan pendekatan optimasi untuk
menemukan posisi dan kedalaman ketegangan retak. (Madras, IIT.
2016)

(a)
(b)

Gambar 2.22. Analisis Kegagalan Bidang Dengan Tegangan Retak

Sumber : Madras, IIT. 2016

Lokasi tegangan retakan dinyatakan oleh dimensi (b) (Hoek


dan Bray, 1981). Ketika permukaan atas horisontal, transisi dari satu
kondisi ke kondisi lainnya terjadi ketika tegangan retak bertepatan
dengan puncak lereng. Kedalaman ketegangan retak kritis, z c dan
lokasinya, bc puncak balik dapat dihitung dengan persamaan berikut:

𝑍𝑐
= (1 − cot 𝛼 tan 𝜃)
𝐻
𝑏𝑐
= √(cot 𝛼 cot 𝜃) − cot 𝛼
𝐻

𝑧 = 𝐻 − (𝑏 + 𝐻 cot 𝛼) tan 𝜃

𝐻 − 𝐶𝐷
𝐴𝐷 =
sin 𝜃

𝛾𝑟 𝐻 2 𝑧 2
𝑊= ((1 − ( ) ) cot 𝜃 tan ∅)
2 𝐻

𝑐𝐴 + 𝑤 cos 𝜃 tan ∅
𝐹𝐾 =
𝑤 sin 𝜃
Diasumsikan bahwa retakan tegangan bersifat vertikal dan diisi
dengan air hingga kedalaman zw. Diperkirakan bahwa air masuk ke
permukaan geser di sepanjang dasar retakan tegangan dan meresap di
sepanjang permukaan geser, bergerak pada tekanan atmosfer di mana
caha permukaan geser di permukaan lereng. Untuk analisis stabilitas
lereng, ketebalan satuan irisan adalah dianggap pada sudut kanan ke
permukaan lereng. Kondisi ini, tekanan air menurun linear menuju dan
keluar di ujung lereng. Distribusi tekanan ini menghasilkan gaya V
karena pengisian air dalam diskontinuitas sub-vertikal dan
meningkatkan kekuatan U karena air mengalir di permukaan antara
blok dan dasarnya. (Madras, IIT. 2016)

𝑍 = 𝐻 𝑏 tan 𝛼𝑐 − (𝑏 + 𝐻 cot 𝛼) tan 𝜃

𝛾𝑟 𝐻 2 𝑧 2 𝛾𝑟
𝑊= ((1 − ( ) ) cot 𝜃 − cot 𝛼) + (𝑏 × tan 𝛼𝑐 )
2 𝐻 2

𝐴 = (𝐻 cot 𝛼 − 𝑏) sec 𝜃

1
𝑉= 𝛾 𝑍2
2 𝑤 𝑤
1
𝑈= 𝛾 𝑍 𝐴
2 𝑤 𝑤

Faktor keamanan yang dipengaruhim oleh tekanan air,


persamaannya sebagai berikut:
𝑐𝐴 + (𝑊 cos 𝜃 − 𝑈 − 𝑉 sin 𝜃) tan ∅
𝐹𝐾 =
𝑊 sin 𝜃 + 𝑉 cos 𝜃

Jika terjadi getaran yang diakibatkan oleh adanya gempa,


peledakan ataupun aktifitas manusia lainnya, yaitu : (Rohmatillah,
Rully Riyan. 2014)
𝑐𝐴 + [(𝑊 cos 𝜃 − 𝛼 sin 𝜃) − 𝑈 − 𝑉 sin 𝜃] tan ∅
𝐹𝐾 =
𝑊 (sin 𝜃 + 𝛼 cos 𝜃) + 𝑉 cos 𝜃
Dimana :
FK= Faktor keamanan
c = Kohesi pada bidang luncur
A = Panjang bidang luncur (A)
W = Berat massa batuan yang akan longsor (ton)
𝜃 = Sudut kemiringan bidang luncur (o)
U = Gaya angkat yang ditimbulkan oleh tekanan air disepanjang

bidang longsor (ton)

V = Gaya mendatar yang ditimbulkan oleh tekanan air pada regangan

tarik (ton)

∅ = Sudut geser dalam batuan (o)

𝛾𝑤 = Bobot isi air (ton/m3)

𝑍𝑤 = Tinggi kolom air yang mengisi regangan tarik (m)

Z = Kedalaman regangan tarik (m)

H = Tinggi lereng

𝛼 = Percepatan getaran pada arah mendatar

2) Longsoran Baji (Wedge Failure)


Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika lebih dari
satu bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan. Sudut
perpotongan antara bidang lemah tersebut lebih besar dari sudut geser
dalam batuannya. Bidang lemah ini dapat berupa bidang sesar, kekar
(joint) maupun bidang perlapisan. Cara longsoran baji dapat melalui
satu atau beberapa bidang lemahnya maupun melalui garis perpotongan
kedua bidang lemahnya. Longsoran baji dapat terjadi dengan syarat
geometri sebagai berikut :
 Permukaan bidang lemah A dan bidang lemah B rata, tetapi
kemiringan bidang lemah B lebih besar daripada bidang lemah A.
 Arah penunjaman garis potong harus lebih kecil daripada sudut
kemiringan lereng.
 Bentuk longsoran dibatasi oleh muka lereng, bagian atas lereng dan
kedua bidang lemah. (Zaman Huri, Ahmad. 2013)

Gambar 2.23. Longsor Baji (Wedge Failure)


Sumber : Zaman Huri, Ahmad. 2013

Gambar 2.24. Analisis Longsor Baji (Wedge Failure)


Sumber : Madras, IIT. 2016
Faktor keamanan longsoran baji didefinisikan dengan asumsi
geser hanya ditentang oleh gesekan dan sudut gesekan (ϕ) sama untuk
kedua permukaan.

(𝑅𝐴 + 𝑅𝐵 ) tan ∅
𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐾𝑒𝑎𝑚𝑎𝑛𝑎𝑛 (𝐹𝐾) =
𝑊 tan 𝜓𝑖 cos 𝜓𝑖

𝑅𝐴 dan 𝑅𝐵 adalah reaksi normal asal oleh bidang A dan B.


Komponen berat bertindak di bawah garis persimpangan adalah W sin
𝜓𝑖 . Gaya 𝑅𝐴 dan 𝑅𝐵 berdasarkan dengan mengurangi komponen normal
dan sejajar dengan arah sepanjang garis persimpangan.

𝜉 𝜉
𝑅𝐴 sin (𝛽 + ) = 𝑅𝐵 sin (𝛽 + )
2 2
𝜉 𝜉
𝑅𝐴 cos (𝛽 − ) + 𝑅𝐵 cos (𝛽 + ) = 𝑊 cos 𝜓𝑖
2 2
𝑊 cos 𝜓𝑖 sin 𝛽
𝑅𝐴 + 𝑅𝐵 =
𝜉
sin 2

sin 𝛽 tan ∅
𝑂𝑙𝑒ℎ 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑖𝑡𝑢, 𝐹𝑆 =
𝜉
sin 2 tan 𝜓𝑖

𝐷𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑎 𝑙𝑎𝑖𝑛, 𝐹𝑆𝑊 = 𝐾. 𝐹𝑆𝑃

Dimana 𝐹𝑆𝑊 adalah faktor keamanan irisan didukung oleh


gesekan saja. 𝐹𝑆𝑃 adalah faktor a bidang gagal di mana bidang geser
dengan sudut gesekan ϕ dips pada sudut yang sama dengan garis dari
persimpangan 𝜓𝑖 . K adalah faktor irisan tergantung pada sudut irisan 𝜉
dan sudut kemiringan 𝛽 dari irisan. (Madras, IIT. 2016)

3) Longsoran Busur (Circular Failure)


Longsoran busur adalah yang paling umum terjadi di alam,
terutama pada batuan yang lunak (tanah). Pada batuan yang keras
longsoran busur hanya terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami
pelapukan dan mempunyai bidang-bidang lemah (rekahan) yang sangat
rapat dan tidak dapat dikenali lagi kedudukannya. Pada longsoran
bidang dan baji, kelongsoran dipengaruhi oleh struktur bidang
perlapisan dan kekar yang membagi tubuh batuan kedalam massa
diskontinuitas.
Pada tanah pola strukturnya tidak menentu dan bidang gelincir
bebas mencari posisi yang paling kecil hambatannya. Longsoran busur
akan terjadi jika partikel individu pada suatu tanah atau massa batuan
sangat kecil dan tidak saling mengikat. Oleh karena itu batuan yang
telah lapuk cenderung bersifat seperti tanah. Tanda pertama suatu
longsoran busur biasanya berupa suatu rekahan tarik permukaan atas
atau muka lereng, kadang-kadang disertai dengan menurunnya sebagian
permukaan atas lereng yang berada disamping rekahan. Penurunan ini
menandakan adanya gerakan lereng yang pada akhirnya akan terjadi
kelongsoran lereng, hanya dapat dilakukan apabila belum terjadi
gerakan lereng tersebut. (Zaman Huri, Ahmad. 2013)

Gambar 2.25. Longsoran Busur (Circular failure)

Sumber : Zaman Huri, Ahmad. 2013


(a)

(b)
Gambar 2.26. Bentuk Permukaan Geser Khas:
(a) Radius Besar Permukaan Melingkar Dalam Homogen, Material Yang
Lemah, (b) Permukaan Tidak Melingkar Dalam Material Surfacial
Batu Yang Lemah Kuat Di Pangkalan.
Sumber : Madras, IIT. 2016
Faktor keamanan longsoran busur dilakukan berdasarkan
analisis kesetimbangan batas. Prosedur melibatkan membandingkan
kekuatan geser yang tersedia di sepanjang permukaan geser dengan gaya
yang dibutuhkan untuk mempertahankan kemiringan dalam
kesetimbangan. Penerapan prosedur ini untuk kegagalan melingkar
melibatkan pembagian lereng menjadi serangkaian irisan yang biasanya
vertikal, tetapi mungkin cenderung bertepatan dengan permukaan
geologis tertentu. Berdasarkan setiap irisan condong pada sudut 𝜓𝑏 dan
sudut gesekan A. Dalam kasus yang paling sederhana, gaya yang bekerja
berdasarkan pada setiap iris adalah resistan geser S karena kekuatan
geser batuan (kohesi c; gesekan sudut 𝜑), dan gaya E (sudut
kemiringan 𝜓; tinggi h di atas dasar) yang bekerja pada sisi-sisi irisan.
Prosedur analisis adalah untuk mempertimbangkan kondisi
kesetimbangan irisan dengan irisan, dan jika kondisi keseimbangan
yakin untuk setiap iris, maka itu juga yakin untuk keseluruhan massa
geser. (Madras, IIT. 2016)

𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑢𝑎𝑡 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘𝑎𝑛 (𝑐 + 𝜎 tan 𝜙)


𝐹𝐾 =
𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑙𝑖𝑛𝑐𝑖𝑟 (𝜏𝑐 )

Gambar 2.27. Gaya Yang Bekerja Pada Irisan Dalam Analisis


Kesetimbangan Batas

Sumber : Madras, IIT. 2016


4) Longsoran guling (Toppling failure)
Longsoran guling terjadi pada batuan yang keras dan memiliki
lereng terjal dengan bidang-bidang lemah yang tegak atau hampir tegak
dan arahnya berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Longsoran ini
bisa berbentuk blok atau bertingkat. Kondisi untuk menggelincir atau
meluncur ditentukan oleh sudut geser dalam dan kemiringan bidang
luncurnya, tinggi balok dan lebar balok terletak pada bidang miring.
Namun demikian, seringkali tipe longsoran yang ada merupakan
gabungan dari beberapa longsoran utama sehingga seakan-akan
membentuk suatu tipe longsoran yang tidak beraturan (raveling failure)
atau seringkali disebut sebagai tipe longsoran kompleks. (Zaman Huri,
Ahmad. 2013)

Gambar 2.28 Longsoran Guling (Toppling Failure)

Sumber : Zaman Huri, Ahmad. 2013

Penentuan faktor keamanan (FK) longsoran guling dengan


metode kesetimbangan batas (lihat pada gambar 2.22.) seperti yang
diuraikan Klische A.C, adalah :

𝑡 ℎ
∑ 𝑀𝑜 = 𝑊 cos 𝛽 ( ) − 𝑊 sin 𝛽 ( ) = 0
2 2
Maka faktor keamanannya :

𝑡 𝑡
∑(𝑚𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑔𝑎𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑎ℎ𝑎𝑛) 𝑊 cos 𝛽 (2) ( )
𝐹𝐾 = = = ℎ
∑(𝑚𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑔𝑎𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔) ℎ tan 𝛽
𝑊 sin 𝛽 ( 2)

Dimana :

FK= Faktor keamanan

W = Berat massa batuan yang akan longsor

β = Sudut kemiringan

t = Tebal kolom

h = Tinggi kolom pada base plane

Dapat diketahui bahwa yang menentukan adalah ratio 𝑡⁄ℎ dan


tangent 𝛽. (Haswanto, 2003)

Gambar 2.29. Model Umum Longsoran Guling

Sumber : Haswanto, 2003


Pada lereng highwall, bidang perlapisan batuan mempunyai arah
kemiringan yang berlawanan dengan lereng. Maka tipe longsoran akan
dipengaruhi oleh hadirnya struktur geologi selain bidang perlapisan dan
tingkat pelapukan batuan, sehingga potensi kelongsoran akan berbentuk
bidang, baji, guling dan busur (Hoek dan Bray, 1981). Sedangkan dalam
lereng low wall, bidang perlapisan batuan mempunyai arah kemiringan yang
sejajar dengan lereng. Faktor pengontrol kelongsoran pada lereng low wall
adalah tebal perlapisan batuan, adanya kekar/sesar, dan infiltrasi air. Tipe
kelongsoran yang berpotensi terjadi di lereng low wall adalah :

1) Buckling Failure
Kegagalan longsoran adalah kemungkinan melalui
diskontinuitas apapun, kira-kira sejajar dengan lereng, memisahkan
lempengan batu yang tipis. Longsoran gagal mungkin dipengaruhi oleh
kekuatan eksternal ke pelat, tekanan air tanah, kekuatan yang diterapkan
atau berat lempengan itu sendiri, terutama jika lempengan melengkung
ke atas. Mode kegagalan ini muncul di batuan sedimen yang
mengandung lempengan yang dipisahkan oleh bidang datar dan juga
penghubung batuan.
Secara umum, kegagalan longsoran bisa terjadi di lereng batu,
jika kemiringan melandai lebih tajam dari sudut gesekan internal
diskontinuitas sejajar dengan lereng. Batas dasar kondisi dapat
digambarkan sebagai berikut:
a) Set diskontinuitas utama sejajar dengan muka lereng,
b) Jarak set diskontinuitas relatif kecil,
c) Diskontinuitas memiliki sudut gesekan rendah lebih kecil dari
sudut kemiringan. (Madras, IIT. 2016)
Gambar 2.30. Bucklin Failure

Sumber : Madras, IIT. 2016

Analisis kegagalan longsoran


Untuk setiap lempengan panjang B, tebal d dan tinggi Lb , beban kritis
Pcr di mana lempengan akan tertekuk, di mana E adalah modulus elastis.
(Madras, IIT. 2016)
𝜋 2 𝐸𝐼 𝐵𝑑3
𝑃𝑐𝑟 = 2 ,𝐼=
𝐿𝑏 12

Gambar 2.31. Tekuk Lempeng Dengan Tekanan Kritis

Sumber : Madras, IIT. 2016


Panjang tekuk kritis lempengan dapat diperkirakan sebagai berikut:

3
𝜋 2 𝐸𝑑 2
𝐿 =
𝑐′
2.25 (𝛾 sin 𝑖 − 𝛾 cos 𝑖 × tan ∅′ − )
𝑑

Gambar 2.32. Analisis Kegagalan Tekuk

Sumber : Madras, IIT. 2016

Gambar 2.33. Analisis Panjang Kritis Untuk Lempeng Tekuk Dengan


Ketebalan Yang Sesuai Dengan Sudut Gesekan Yang Berbeda

Sumber : Madras, IIT. 2016


Untuk simulasi dan analisis kegagalan lereng tekuk
menggunakan FLAC, geometri lereng pertama akan dibuat dengan
permukaan yang sangat curam. Penambahan lapisan akan dilakukan
menggunakan pilihan antarpemukaan di perangkat lunak pemosisian
bahan antarpermukaan planar. Sifat material harus ditentukan dari dasar
data. Pemuatan tambahan akan diterapkan dari atas sampai tekuk
terjadi. Kemiringan akan stabil dengan pemasangan dukungan
struktural seperti paku atau batu baut menggunakan usur sifat struktural
dari FLAC. (Madras, IIT. 2016)

2) Longsoran Semi Busur (non circular)


Longsoran ini terjadi bila bidang perlapisan penyusun lereng
low wall berupa bidang perlapisan yang relatif tebal dan agak lapuk.
Longsoran terjadi disepanjang bidang perlapisan batuan yang semi
busur dengan bidang gelincir di sepanjang bidang perlapisan batuan
kemudian berbelok memotong batuan sampai muka lereng atau
melewati bidang lemah yang lain.

Gambar 2.34. Longsoran Semi Busur (non circular)


2.7. Penelitian Terdahulu
Dalam penyusunan suatu rencana tambang, disamping faktor cadangan,
teknis, ekonomi, dan lingkungan, faktor kestabilan lereng menjadi faktor
penting yang harus diperhitungkan dengan seksama. Parameter geoteknik yang
disampaikan juga harus lebih fleksible dalam merespon isu-isu kegiatan
operasional penambangan sehingga para-meter geoteknik harus diterapkan.
Perubahan geometri lereng harus diimbangi dengan perubahan parameter
geoteknik dalam hal ini nilai lereng keseluruhan sehingga desain tambang
dapat dilakukan dengan optimum.
Tinjauan terhadap penelitian terdahulu, dilakukan untuk memberikan
perbandingan sekaligus referensi bagi peneliti. Beberapa penelitian terdahulu
yang menjadi pembanding dan acuan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1) Dari penelitian oleh Adi Nata, Refky., dan Zikri Prima Zulfira. 2017. Yang
berjudul “Kajian Geoteknik Kestabilan Lereng pada PT. Indoasia
Cemerlang Site Kintap Kecamatan Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut
Provinsi Kalimantan Selatan” dapat ditarik kesimpulan:
a) Dari hasil pengolahan data, nilai FK yang di dapat untuk section_E
(lereng original) PT. Indoasia Cemerlang adalah: 1.590 (lereng relatif
stabil).
b) Untuk lereng campuran pada pit PT. Indoasia Cemerlang adalah:
Section_A (1.136), Section_B (1.137), Section_C (1.150), dan
Section_D (1.181).
c) Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan lereng pit PT. Indoasia Cemerlang adalah:
 Material timbunan pembentuk lereng,
 Paritan yang berada tepat diatas lereng hight wall,
 Sifat fisik, kimia dan struktur batuan atau material pembentuk
lereng.

2) Untuk penelitian selanjutnya oleh Chandra Kusuma, Arin., Bagus Wiyono.,


dan Sudaryanto. 2015. Yang berjudul “Analisis Kestabilan Lereng di Pit
Pajajaran PT. Tambang Tondano Nusajaya Sulawesi Utara” dapat ditarik
kesimpulan:
a) Massa batuan andesit di lereng SLP 1 termasuk medium strong rock
yang memiliki estimasi nilai kuat tekan uniaksial berkisar antara
25-50 MPa dan masuk ke dalam batuan kelas III yaitu fair rock dengan
nilai RMR 55. Nilai kohesi dan sudut gesek dalam pada massa batuan
andesit di lereng SLP 1 sebesar 98 KPa dan 51o.
b) Massa batuan andesit pada lereng SLP 2 termasuk dalam strong
rock yang memiliki estimasi nilai kuat tekan uniaksial berkisar
antara 50-100 MPa dan masuk ke dalam batuan kelas II yaitu good
rock dengan nilai RMR 73. Nilai kohesi dan sudut gesek dalam pada
massa batuan andesit di lereng SLP 2 sebesar 406 KPa dan 62o.
c) Pada kedua lokasi, baik lereng SLP 1 dan lereng lereng SLP 1 longsor
baji mengarah ke N 048oE. Sedangkan pada lereng SLP 2 longsor
baji mengarah ke N 189oE.
d) Lereng tunggal pada SLP 1 dan SLP 2, baik lereng desain maupun
lereng aktual dalam kondisi aman.
e) Lebar lereng yang diterapkan sebesar 5 meter tidak memenuhi. Lebar
lereng minimum yang memenuhi untuk tinggi 15 meter dan
kemiringan 60o adalah 5,4 meter. Sedangkan untuk tinggi 15 m dan
kemiringan 70o, lebar lereng minimum yang memenuhi adalah sebesar
5,6 meter.
f) Lereng keseluruhan pada SLP 1 dan SLP 2, dalam kondisi aman.

3) Penelitian yang dilakukan oleh Utama, P.P.; Nusantara, Y.P.; Aprilia, F. ,


dan Indrawan, I.G.B. 2014. Yang berjudul “Analisis Kinematika Kestabilan
Lereng Batu Pasir Formasi Butak” dapat ditarik kesimpulan :
a) Lokasi penelitian memiliki potensi longsor dengan tipe longsoran
bidang (plane failure) dan tipe longsoran baji (wedge failure).
b) Potensi longsoran tipe baji (wedge failure) didasarkan pada perpotongan
bidang lemah minor (joint set) dengan orientasi garis perpotongan
plunge/trend yaitu 79o/N 44o E.
c) Potensi longsoran tipe bidang (plane failure) didasarkan pada beberapa
data kekar pada zona non-daylight envelope yaitu berarah N 333o E/81o.
d) Rekomendasi untuk mengurangi keterjadian longsor adalah
menghentikan kegiatan penambangan. Jika kegiatan penambangan tetap
dilakukan, keamanan lereng harus diperhatikan dengan nilai dip lereng
harus kurang dari 60o dan nilai dip direction lereng berkisar antara
kurang dari N 30o E dan/atau lebih besar dari N 90o E.

4) Pada penelitian Sustriani, Yunita. 2012. Yang berjudul “Pengaruh Struktur


Kekar Terhadap Kestabilan Lereng Dinding Bagian Barat Daya dan Timur
Laut pada Desain Fase 6 Tambang Terbuka Batu Hijau PT.Newmont Nusa
Tenggara” dapat ditarik kesimpulan :
a) Pengaruh struktur kekar terhadap stabilitas lereng dinding bagian
Barat Daya dan Timur laut pada desain fase 6 tambang Batu Hijau
adalah :
 Menentukan jenis longsoran yang terjadi, yaitu apabila bidang
struktur kekar berarah sejajar dengan muka lereng maka akan
berpotensi terjadi longsoran bidang (planar failure), sedangkan
apabila bidang struktur kekar saling berpotongan maka
berpotensi terjadi longsoran baji (wedge failure)
1. Pada lereng dinding Barat Daya terdapat potensi longsoran
baji dengan arah longsoran 022o/33o.
2. Pada lereng dinding Timur Laut terdapat banyak potensi
longsoran baji dan satu potensi longsoran bidang.
 Menurunkan nilai kestabilan lereng.
1. Nilai FK pada lereng Barat Daya pada saat tidak terkena
struktur kekar adalah 1,417, ketika terdapat kekar nilai FK
menurun menjadi 1,376.
2. Nilai FK pada lereng Timur Laut pada saat tidak terkena
struktur kekar adalah 1,432, ketika terdapat kekar nilai FK
menurun menjadi 1,177 yang berarti kondisi lereng longsor.
b) Kriteria struktur kekar yang berpengaruh mengurangi nilai kestabilan
lereng dinding adalah :
 Arah kemiringan (dip/dip direction) struktur kekar,
 Letak dan jarak struktur kekar terhadap lereng,
 Tebal struktur kekar,
 Intensitas struktur kekar.

Anda mungkin juga menyukai